Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-
pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan dekade ini (2000-
2010) menjadi Dekade Tulang dan Persendian. Penyebab fraktur terbanyak adalah karena
kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas ini selain menyebabkan fraktur, menurut WHO
juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian besar korbannya
adalah remaja atau dewasa muda.
Dengan makin pesatnya kemajuan lalu lintas di indonesia baik dari segi jumlah pemakaian
jalan, jumlah kendaraan, jumlah pemakai jasa angkutan dan bertambahnya jaringan jalan dan
kecepatan kendaraan maka mayoritas fraktur adalah akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
lalu lintas sering mengakibatkan trauma kecepatan tinggi dan kita harus waspada terhadap
kemungkinan polytrauma yang dapat mengakibatkan trauma organ-organ lain seperti trauma
capitis, trauma thoraks, trauma abdomen, trauma ginjal, dll (Reksoprojo, 2000. hal. 502).
Fraktur adalah salah satu gangguan musculoskeletal yang umum yang disebabkan oleh
trauma. Dengan semakin pesatnya kemajuan lalu lintas di Indonesia maka mayoritas fraktur
adalah akibat kecelakaan lalu-lintas. Kecelakaan lalu-lintas dengan kecepatan tinggi sering
menyebabkan trauma. dan kita harus waspada terhadap kemungkinan polytrauma yang dapat
mengakibatkan trauma organ-organ lain. Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian,
kecelakaan kerja, kecelakaan domestik, dan kecelakaan/cidera olahraga.
Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya. Prinsip mengenai fraktur meliputi reduksi yaitu memperbaiki posisi
fragmen yang terdiri dari reduksi tertutup (tanpa operasi) dan reduksi terbuka (dengan operasi),
mempertahankan reduksi / imobilisasi yaitu tindakan untuk mencegah pergeseran dengan traksi
terus nmenerus, pembebatan dengan gips, pemakaian penahan fungsional, fiksasi internal dan
fiksasi eksternal, memulihkan fungsi yang tujuannya adalah mengurang oedem,
mempertahankan gerakan sendi, memulihkan kekuatan otot dan memandu pasien kembali ke
aktifitas normal.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Fraktur?
2. Bagaimana Klasifikasi Fraktur Secara Umum dan Fraktur kruris?
3. Bagaimana Tahap Penyembuhan Fraktur?
4. Bagaimana Etiologi dari Fraktur?
5. Bagaimana Patofisiologi dari Fraktur?
6. Bagaimana Manivestasi Klinis dari Fraktur Cruris?
7. Bagaimana Pemeriksaan Diagnostik dari Fraktur Cruris?
8. Bagaimana Penatalaksanaan dari fraktur cruris
9. Bagaimana Asuhan keperawatan dari Fraktur Cruris?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mahasiswa dalam mempelajari fraktur dan
dapat diterapkan dalam kehidupan sesuai teori yang ada.
2. Tujuan Khusus
a. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari fraktur secara umum
b. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui klasifikasi fraktur
c. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui tahap penyembuhan fraktur
c. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui etiologi/penyebab terjadinya fraktur
d. Diharapkan mahasiswa dapat mengerti tentang manifestasi fraktur
e. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui komplikasi dari fraktur
f. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan dari faktur.
g. Agar dapat mamberikan askep pada fraktur tibia fibula cruris 1/3 distal dextra mulai dari
pengkajian sampai evaluasi dengan baik dan benar

2
D. Manfaat Penulisan

1. Intitusi Pendidikan
Dapat di gunakan sebagai informasi bagi institusi pendidikan dalam pengembangan
dan peningkatan mutu pendidikan di masa yang akan datang

2. Pelayanan Kesehatan
Dapat menjadi bahan masukan bagi perawat yang di rumah akit untuk mengambil
langkah-langkah kebijakan dalam rangka upaya peningkatan mutu pelayanan
keperawatan klien dengan fraktur cruris.

3. Klien Dan Keluarga


Dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman dalam merawat diri endiri maupun
orang lain yang berhubungan dengan fraktur cruris.

4. Penulis
Dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam memberikan asuhan
keperawatan serta mengaplikasikan ilmu yang di peroleh selama pendidikan.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Fraktur menurut Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan


ditentukan sesuai jenis luasnya (dalam Lukman,dkk.2009).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari trauma,
beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan
fraktur yang patologis (Mansjoer, 2002).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan , dan krepitasi (Doenges, 2002).

fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula yang
biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis atau persendian pergelangan kaki
(Muttaqin, 2008).
Berdasarkan pengertian para ahli dapat disimpulkan bahwa fraktur cruris adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan luasnya, yang di sebabkan
karena trauma atau tenaga fisik yang terjadi pada tulang tibia dan fibula.

B. KLASIFIKASI FRAKTUR
KLASIFIKASI FRAKTUR SECARA UMUM

Berdasarkanhubungan dengan dunia luar, fraktur dapat dibagi atas fraktur tertutup dan
frakturterbuka.

1. Fraktur Tertutup (simple/close fracture)


Fraktur tertutup adalah fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit,
tetapiterjadi pergeseran tulang didalamnya. Pasien dengan fraktur tertutup
4
harusdiusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin. Pasiendiajarkan
bagaimana cara mengontrol pembengkakan dan nyeri yaitu denganmeninggikan
ekstremitas yang cedera, dan mulai melakukan latihan kekuatan otot yang dibutuhkan
untuk pemindahan atau menggunakan alat bantu jalan(Smeltzer & Bare, 2009)
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
d. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman
sindroma kompartement.
2. Fraktur Terbuka (complicated/open fracture)
Fraktur terbuka merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membrane mukosa
sampai ke patahan tulang. Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo Anderson
(Smeltzer & Bare, 2009) adalah:
a. Grade I : dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya, kerusakanjaringan lunak
minimal, biasanya tipe fraktur simple transverse dan frakturobliq pendek.
b. Grade II : luka lebih dari 1 cm panjangnya, tanpa kerusakan jaringan lunakyang
ekstensif, fraktur komunitif sedang dan ada kontaminasi.
c. Grade III : yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringanlunak yang
ekstensif, kerusakan meliputi otot, kulit dan strukturneurovascular.
d. Grade III ini dibagi lagi kedalam :
III A : fraktur grade III, tapi tidakmembutuhkan kulit untuk penutup lukanya. III B :
fraktur grade III,hilangnya jaringan lunak, sehingga tampak jaringan tulang,
danmembutuhkan kulit untuk penutup (skin graft). III C : fraktur grade III,dengan
kerusakan arteri yang harus diperbaiki, dan beresiko untukdilakukannya amputasi.

Fraktur juga dapat diklasifikasikan menurut bentuk dan pola patahannya


(Smeltzer & Bare, 2009), yaitu:

5
1. Fraktur transversal: Fraktur yang terjadi karena benturan langsung pada titikfraktur
dengan bentuk patahan fraktur adalah lurus melintang pada batangtulang. Fraktur ini
pada umumnya menjadi stabil kembali setelah direduksi.
2. Fraktur oblik: Fraktur ini terjadi karena benturan tak langsung ketika suatukekuatan
pada jarak tertentu menyebabkan tulang patah pada bagian yangpaling lemah. Fraktur
ini berbentuk diagonal sepanjang tulang dan biasanyaterjadi karena pemelintiran pada
ekstremitas.
3. Fraktur spiral: Fraktur spiral terjadi ketika sebuah anggota gerak terpuntirdengan kuat
dan biasanya disertai dengan kerusakan pada jaringan lunak.Bentuk patahan dari
fraktur spiral hampir sama dengan fraktur obilk, akantetapi pada fraktur spiral
patahannya mengelilingi tulang sehingga seolah-olahterpilin seperti spiral.
4. Fraktur komunitiva: Fraktur komunitiva merupakan kondisi di mana tulangyang patah
pecah menjadi dua bagian atau lebih.
5. Fraktur kompresi: Fraktur yang terjadi ketika kedua tulang menumbuk
(akibattubrukan) tulang ketiga yang berada di antaranya, contoh fraktur jenis
iniadalah tumbukan antara tulang belakang dengan tulang belakang lainnya.
6. Fraktur greenstick: Fraktur di mana garis fraktur pada tulang tersebut hanyaparsial
(tidak lengkap) pada sisi konveks bagian tulang yang tertekuk, sepertiranting pohon
yang lentur. Fraktur jenis ini hanya terjadi pada anak-anak..
7. Fraktur patologik: Fraktur yang terjadi pada tulang yang sudah mengalamikelainan
misalnya metastase tumor.
Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma ada 5 yaitu:
1. Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
2. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu
tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
3. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh
trauma rotasi.
4. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong
tulang kea rah permukaan lain.

6
5. Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.

KLASIFIKASI FRAKTUR CRURIS


1. Fraktur kondilus tibia lebih sering mengenai kondilus lateral daripada medial dan
fraktur pada kedua kondilus.
Fraktur biasanya disebabkan oleh adanya trauma abduksi tibia terhadap femur saat
kaki terfiksasi pada dasar, misalnya trauma sewaktu mengendarai mobil. Pada
anamnesis biasanya didapatkan adanya riwayat trauma pada lutut. Setelah
pemeriksaan fisik, perawat akan menemukan adanya pembengkakan, nyeri, dan
hemartrosis sehingga terjadi gangguan pergerakan sendi lutut

GB. Klasifikasi fraktur pada tibia dan fibula. A, fraktur kondilus/proksimal. B, fraktur
diafisis. C, fraktur dan dislokasi pada pergelangan kaki.

2. Fraktur diafisis tibia dan fibula bervariasi menurut usia klien dan jenis trauma
yang terjadi. Pada bayi dan anak kecil, fraktur bersifat spiral pada tibia dengan
fibula yang utuh. Pada usia 3-6 tahun, biasanya terjadi stres torsional pada tibia

7
bagian medial yang akan menimbulkan fraktur green stick pada metafisis atau
diafisi proksimal dengan fibula yang utuh. Pada usia 5-10 tahun, fraktur biasanya
bersifat transversal dengan atau tanpa fraktur fibula. Fraktur tibia dan fibula dapat
bersifat tertutup atau terbuka.

lustrasi jenis kesalahan letak/angulasi pada fraktur kruris. A, angulasi valgus. B, angulasi
valus. C, angulasi anterior. D, angulasi posterior

C. TAHAP PENYEMBUHAN FRAKTUR

Black & Hawks (2009) menyebutkan bahwa tulang yang fraktur akan melewati
beberapa tahap penyembuhan diantaranya :
1. Fase Inflamasi, yaitu terjadi respons tubuh terhadap cedera yang ditandai oleh adanya
perdarahan dan pembentukan hematoma pada tempat patah tulang.Ujung fragmen tulang
mengalami divitalisasi karena terputusnya aliran darah, lalu terjadi pembengkakan dan
nyeri, tahap inflamasi berlangsung beberapa hari.
2. Fase Proliferasi, pada fase ini hematoma akan mengalami organisasi denganmembentuk
benang-benang fibrin, membentuk revaskularisasi dan invasi fibroblast dan osteoblast.
Kemudian menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada
patahan tulang, terbentuk jaringan ikat fibrusdan tulang rawan (osteoid) berlangsung
setelah hari ke lima.
3. Fase Pembentukan Kalus, Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkarantulang rawan
tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudahterhubungkan.Fragmen patahan tulang
digabungkan dengan jaringan fibrus,tulang rawan dan tulang serat imatur. Waktu yang

8
dibutuhkan agar fragmentulang tergabung adalah 3-4 minggu. Pada fase ini, penting
sekalidilakukannya pelurusan tulang secara tepat.
4. Fase penulangan kalus/Ossifikasi, adalah pembentukan kalus mulaimengalami
penulangan dalam 2-3 minggu patah tulang melalui prosespenulangan endokondral.
Mineral terus menerus ditimbun sampai tulangbenar-benar bersatu. Selama minggu ketiga
sampai kesepuluh, kalus berubahmenjadi tulang dan menyatukan patahan tulang dengan
sempurna sehinggatahap ini sering disebut tahap penyatuan Pada patah tulang panjang
orangdewasa normal,penulangan tersebut memerlukan waktu 3-4 bulan.
5. Fase Remodeling/konsolidasi, merupakan tahap akhir perbaikan patah tulangmeliputi
pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunanstruktural sebelumnya.
Pada tahap ini osifikasi terus berlanjut dan jarak antarapatahan tulang semakin hilang dan
akhirnya menutup. Bersamaan denganterbentuknya tulang sejati melalui osifikasi, terjadi
remodeling kalus olehaktivitas osteoblas dan osteoklas. Jaringan tulang berlebih akan
direabsorpsidari kalus. Jumlah dan jangka waktu remodeling tulang tergantung
padatekanan yang dialami tulang, beban tulang, dan usia penderita. Pasien dapatmulai
untuk mengangkat beban pada tahap ini.

D. ETIOLOGI

Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur


1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar,
waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan
kepadatan atau kekerasan tulang.

Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik , terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh
karena tumor, kanker dan osteoporosis.

9
3. Fraktur beban fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja menambah
tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan bersenjata atau orang-
orang yang baru mulai latihan lari.

E. PATOFISIOLOGI
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka
bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di
kulit (Smelter dan Bare, 2002). Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di
sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah
ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang
disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling
untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan
mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia
mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan
sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2002 ).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur
tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan
pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah
tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan,
hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di
imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2007).
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan
dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan

10
struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau
mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2006).

Gambar skematis mekanisme terjadinya fraktur kondilus lateral tibia. Perhatikan arah
panah yang menunjukkan atarah trauma yang mengenai daerah kondilus.

F. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis fraktur tibia-fibula atau fraktur kruris hampir sama dengan
manifestasi klinis fraktur umum tulang panjang, yaitu nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas bawah karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah
tempat fraktur, krepitasi, serta pembekakan, dan perubahan warna local pada kulit akibat
trauma dan perdarahan pada fraktur. Tanda ini baru terjadi beberapa jam atau beberapa hari
setelah cedera. Muttaqin (2008)
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah
yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur

11
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang
lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat dari
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Smelzter dan Bare, 2002).
Menurut Smeltzer & Bare (2002), manifestasi klinis fraktur adalah nyeri,
hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan
lokal, dan perubahan warna.Eldawati (2011) menjelaskan bahwa manifestasi
klinik ini dapat dikaji dengan penggunakan metode look, feel dan move:

1. Look, melihat adanya deformitas berupa penonjolan yang abnormal, bengkak,


warna kulit merah, adanya ekimosis, angulasi,rotasi, dan pemendekan dengan
membandingkan ukuran ekstremitas dengan yang sehat dan adanya perubahan
warna pada ekstremitas seperti pucat atau sianosis. Perubahan warna ini,
kemungkinan bisa disebabkan oleh aliran darah ke bagian distal yang tidak
lancar, karena adanya pembengkakan.
2. Feel, adanya nyeri yang dirasakan oleh pasien atau spasme/ketegangan otot dan
temperatur bagian sekitar yang terkena fraktur.
3. Move, saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus dan terasa nyeri bila fraktur digerakkan, gangguan fungsi
pergerakan, range of motion (ROM) terbatas, dan kekuatan otot berkurang.

12
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/ PENUNJANG
1. Foto Rontgen
a. Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
b. Mengetahui tempat atau tipe fraktur. Biasanya diambil sebelum dan sesudah serta
selama proses penyembuhan secara periodik.

1.Artelogram bila ada kerusakan vaskuler


2.Hitung darah lengkap HT mungkin terjadi (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada organ multiple). Peningkatan jumlah
SDP adalah kompensasi normal setelah fraktur.
3. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau
trauma hati.
4.Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan sinar
rontgen (x-ray). Hal yang harus dibaca pada x-ray:
a. Bayangan jaringan lunak.
b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi.

13
c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
5. Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
a. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup
yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang
kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
b. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di
ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
c. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
d. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari
tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
6. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
d. Pemeriksaan lain-lain
e. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
f. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan
diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
g. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
h. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.
i. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
j. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

14
H. PENATALAKSANAAN
Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan
pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi (menyangkut diagnosis fraktur pada tempat
kejadian dan kejaian di rumah sakit), reduksi (usaha dan tindakan memanipulasi fragmen-
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak asalnya) , retensi (,
dan rehabilitasi.
Prinsip penatalaksanaan fraktur
Prinsip penanganan fraktur menurut Smeltzer & Bare (2002) dalam buku ajar
keperawatan medikal bedah adalah sebagai berikut:
1. Closed reduction (reduksi tertutup)
Dilakukan melalui manipulasi dan traksi manual untuk menggerakkan
fragmen fraktur dan mempertahankan kesejajaran tulang. Closed reduction
harus dilakukan sesegera mungkin setelah trauma guna mengurangi resiko
hilangnya fungsi tulang, untuk mencegah/menghambat degenerasi sendi
(traumatic arthritis) dan untuk meminimalkan efek kerusakan akibat
Trauma.
2. ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)
Open reduction adalah salah satu metode reduksi pada fraktur selain
closed reduction, melalui proses pembedahan.
3. External fixation (fiksasi eksternal), merupakan peralatan mekanik yang
terdiri dari pin dan metal yang dimasukkan ke tulang dan disambungkan
ke kerangka eksternal untuk menstabilkan fraktur selama proses
penyembuhan. Cara ini digunakan jika penanganan fraktur lain sudah tidak
bisa menangani fraktur.
4. Traksi, adalah sebuah aplikasi yang memberikan gaya tarik pada bagian
tubuh untuk meminimalkan spasme otot, mengurangi, meluruskan dan
mengimobilisasi fraktur, mengurangi deformitas.

Konsep Keperawatan Perioperatif dan Open Reduction and Internal


Fixation (ORIF)

15
1. Konsep Keperawatan Perioperatif
Pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal umumnya harus
menjalanipembedahan untuk mengkoreksi masalahnya (Smeltzer & Bare, 2002).
Operasi(perioperatif) merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh
yangmencakup fase praoperatif, intraoperatif dan pascaoperatif (postoperatif), yangpada
umumnya merupakan suatu peristiwa kompleks yang menegangkan bagi individu yang
bersangkutan (Yenichrist, 2008). Keperawatan perioperative merupakan bentuk tindakan
yang menggambarkan keragaman fungsi keperawatanyang berkaitan dengan pengalaman
pembedahan pasien.
Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial maupun aktual
padaintegritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stres fisiologis
maupunpsikologis. Menurut Long B.C (2001), pasien preoperasi akan mengalami
reaksiemosional berupa kecemasan. Berbagai alasan yang dapat
menyebabkanketakutan/kecemasan pasien dalam menghadapi pembedahan. Ketakutan
dankecemasan yang mungkin dialami pasien dapat mempengaruhi respon fisiologistubuh
yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik sepertimeningkatnya frekuensi
nadi dan pernafasan, gerakan-gerakan tangan yang tidakterkontrol, telapak tangan yang
lembab, gelisah, menanyakan pertanyaan yang
sama berulang kali, sulit tidur, dan sering berkemih.
Persiapan yang baik selama periode operasi membantu menurunkan resiko
operasidan meningkatkan pemulihan pasca bedah. Berbagai latihan sangat diperlukan
pada pasien sebelum operasi, hal ini sangat penting sebagai persiapan pasiendalam
menghadapi kondisi pasca operasi, seperti nyeri daerah operasi, batuk danbanyak lendir
pada tenggorokan. Menurut Smeltzer & Bare (2009), latihan yangdiberikan pada pasien
sebelum operasi antara lain:
a. Latihan Nafas Dalam
Latihan nafas dalam sangat bermanfaat bagi pasien untuk mengurangi
nyerisetelah operasi dan dapat membantu pasien relaksasi sehingga pasien lebihmampu
beradaptasi dengan nyeri dan dapat meningkatkan kualitas tidur.Selain itu teknik ini juga
dapat meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasidarah setelah anastesi umum (Potter &
Perry, 2005).

16
b. Latihan Batuk Efektif
Latihan batuk efektif sangat diperlukan bagi klien terutama klien yangmengalami
operasi dengan anastesi general, karena klien akan mengalaminpemasangan alat bantu
nafas selama dalam kondisi tidak sadar. Hal ini akanmembuat klien mengalami rasa tidak
nyaman pada tenggorokan. c. Latihan Gerak SendiLatihan gerak sendi merupakan hal
sangat penting bagi pasien sehinggasetelah operasi, pasien dapat segera melakukan
berbagai pergerakan yangdiperlukan untuk mempercepat proses penyembuhan. Latihan
perpindahanposisi dan ROM ini pada awalnya dilakukan secara pasif namun kemudian
seiring dengan bertambahnya kekuatan tonus otot maka pasien dimintamelakukan secara
mandiri (Smeltzer & Bare, 2009).
Setelah melewati fase praoperatif, klien kemudian akan menjalani
prosedurpembedahan atau fase intraoperatif. Perawatan yang dilakukan pada
intraoperatifialah perawatan klien selama di ruang operasi. Secara umum anggota tim
dalamprosedur pembedahan ialah ahli bedah, dokter dan perawat anestesi,
perawatsirkulasi, perawat scrub, dan asisten. Secara umum fungsi perawat di dalam
kamaroperasi disebut sebagai perawat scrub (instrumentator) dan perawat sirkulasi.
Perawat scrub berfungsi sebagai penyedia instrument bagi ahli bedah. Perawatsirkulasi
berperan mengatur ruang operasi, melindungi keselamatan dankebutuhan pasien dengan
memantau aktivitas anggota tim bedah, memeriksakondisi di dalam ruang operasi, dan
membantu memposisikan pasien pada posisiyang tepat (Potter & Perry, 2005).
Fase pascaoperatif dimulai saat pasien masuk ke ruang pemulihan dan
berakhirdengan evaluasi tindak lanjut selama periode pascaoperatif, proses
keperawatandiarahkan untuk menstabilkan fisiologi klien, menghilangkan nyeri
danpencegahan komplikasi (Smeltzer & Bare, 2009; Potter & Perry, 2005). Peranperawat
selama masa pascaoperatif berfokus pada peningkatan penyembuhanklien, memberikan
penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan program rehabilitasi.
2. Open Reduction and Internal Fixation (ORIF)
Prosedur pembedahan yang paling sering dilakukan untuk klien dengan masalah
fraktur adalah reduksi terbuka (Open Reduction). Indikasi dilakukannya open
reduction apabila metode closed reduction mengalami kegagalan, adanya

17
kerusakan saraf dan sirkulasi atau pada trauma multipel, serta bila biaya pengobatan dapat
ditekan seminimal mungkin. Kontraindikasi dilakukannya open
reduction bila terdapat infeksi, serpihan yang parah pada fragmen fraktur, dan
adanya osteoporosis yang parah. Open reduction biasanya disertai dengan internal
fixation yang bertujuan untuk menstabilisasi dan mengimobilisasi tulang sehingga
dapat memungkinkan terjadinya proses pemulihan pada tulang yang mengalami
fraktur. Internal fixation merupakan prosedur yang menggunakan alat-alat dari
logam seperti pelat, sekrup, kawat, dan paku. Pemasangan alat-alat dari logam
tersebut tergantung pada tipe fraktur, jenis reduksi yang dilakukan, dan area yang
dipengaruhi oleh fraktur. Internal fixation dilakukan pada patah tulang tertutup
yang tidak stabil, fraktur terbuka, dan fraktur yang disertai cedera jaringan lunak
atau pada korban yang mengalami trauma multipel.
Metode ORIF memiliki beberapa keuntungan diantaranya: ketelitian reposisi
fragmen-fragmen tulang yang patah, kemungkinan untuk mobilisasi lebih cepat,
kesempatan untuk mengobservasi pembuluh darah dan saraf yang berada di dekat
fraktur, mencapai stabilisasi fiksasi yang cukup memadai, tidak perlu berulangkali
menggunakan gips atau alat-alat stabilisasi lainnya, perawatan di rumah sakit
dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-kasus tanpa komplikasi.
Namun perlu diperhatikan bahwa metode ORIF tidak mempercepat proses
penyembuhan tulang (Helfet & Kloen, 2004).fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan
bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka. 2.
Reduksi (manipulasi/ reposisi) Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk
memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur
dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan
sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi
karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit
bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002). 3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam
posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan

18
fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk
fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi
eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan
memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan
distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan
eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia,
tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000). Prinsip
dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang diletakkan pada bagian proksimal dan
distal terhadap daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain
dengan rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk menstabilisasikan
fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary treatment untuk trauma muskuloskeletal atau
sebagai definitive treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan
jaringan lunak (Muttaqin, 2008). 4. Rehabilitasi Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal
mungkin untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera
dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan
mobilisasi (Mansjoer, 2000).

Gambar 3 : Pemasangan OREF pada tibia dan fibula

19
Sumber : www.google.com

Fraktur split pada plateau tibia lateral. Fraktur split pada kondilus lateral plus depresi
Perbaikan dengan screw kanselus yang plateau tibia. Perbaikan dengan elevasi segmen
panjang yang terdepresi plus bone

20
Depresi plateau tibia lateral tanpa fraktur split. Fraktur split kominutif pada plateau tibia medial
Perbaikan dengan elevasi segmen yang dan spina tibial. Perbaikan dengan plate
terdepresi plus interposisi bone graft dan plate penopang.
penopang.
Fraktur bikondilar yang mencakup plateau tibia Fraktur plateau tibia lateral dengan pemisahan

dengan pelebaran. Perbaikan dengan dua plate sendi metafiseal-diafiseal. Perbaikan dengan
penopang dan lag screw. plate penopang dan plate anterior dan screw.

I. Komplikasi

Komplikasi fraktur terbagi menjadi dua tahap yaitu komplikasi tahap awal dan
komplikasi tahap lanjut. Adapun komlikasi tahap awal adalah sebagai berikut:
a. Syok hipovolemik, Tulang merupakan organ yang sangat vaskuler sehingga
kehilangan darah dalam jumlah besar dapat menyebabkan terjadinya syok
hipovolemik dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak (Smeltzer
A. & Bare, 2002).

b. Sindrom emboli lemak, hal ini dapat terjadi pada fraktur tulang panjang.
Awitan gejalanya yang sangat cepat dapat terjadi dalam beberapa sampai satu
minggu setelah cedera. Pada saat terjadi fraktur, globula lemakdapat masuk
aliran darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler
atau karena katekolamin yang dilepas akibat stres, globula lemak dalam aliran
darah akan bergabung dengan trombosit untuk membentuk emboli yang dapat
menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah kecil. Gejala yang muncul
berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia (Smeltzer & Bare, 2002).
21
c. Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan
dalam otot kurang dari kebutuhan jaringan karena edema atau perdarahan.
Pasien dapat mengeluh nyeri dalam, berdenyut dan tidak dapat diatasi dengan
opioid. Palpasi pada otot akan terasa pembengkakan dan keras. Parestesia
(mati rasa dan geli) timbul sebelum terjadi paralisis (Smeltzer & Bare, 2002)
d. Komplikasi lainnya yang mungkin muncul seperti tromboemboli, infeksi, dan
koagulopati intravaskuler diseminata (KID).
Komplikasi tahap lanjut pada klien fraktur dapat berupa malunion,yaitu suatu
keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak
seharusnya, membentuk sudut, atau miring; delayed union , yaitu proses
penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari
keadaan normal; nonunion merupakan kegagalan fragmen tulang yang patah
untuk menyatu kembali yang dapat terjadi karena reduksi yang tidak benar,
imobilisasi yang kurang tepat, cedera jaringan lunak yang sangat berat, infeksi
(Price & Wilson, 2006). Selain itu nekrosis avaskuler tulang juga dapat terjadi bila
tulang kehilangan asupan darah dan mati. Pasien mengalami nyeri danketerbatasan gerak.

22
I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Identitas klien, meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang
digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,
nomor register, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), dan diagnosis medis.
Pada umumnya, keluhan utama pada kasus fraktur tibia-fibula adalahnyeri hebat.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai nyeri klien, perawat dapat
menggunakan metode PQRST.
Provoking Incident : Hal yang menjadi faktor presipitasi nyeri adalah trauma pada
bagian betis/tungkai bawah.
Quality of pine : Klien merasakan nyeri yang bersifat menusuk.
Region, Radiation, Relief : Nyeri terjadi dibagian betis/tungkai bawah yang
mengalami patah tulang. Nyeri dapat reda dengan imobilisasi atau istirahat dan nyeri
tidak menjalar atau menyebar.
Severity (Scale) of Pain : Secara subjektif, nyeri yang dirasakan klien antara 2-4 pada
rentang skala pengukuran 0-4.
Time : Beberapa lama nyeri berkangsung, kapan, apakah terlambat buruk pada malam
hari.
Riwayat penyakit sekarang. Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan
patah tulang kruris, pertolongan apa yang didapatkan, dan apakah sudah berobat
kedukun patah Selain itu, dengan mengetahui terjadinya kecelakaan, perawat dapat
mengetahui luka kecelakaan yang lain. Adanya riwayat trauma angulasi akan
menimbulakan fraktur tipe transfersal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi
akan menimbulkan fraktur tipe spiral. Penyebab utama terjadinya fraktur adalah
kecelakaan lalu lintas darat.
Riwayat penyakit dahulu. Pada beberapa keadaan, klien yang pernah bertobat ke
dukun patah sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit-penyakit tertentu,
seperti kanker tulang dan penyakit Paget menyebabkan fraktur patologis sehingga
tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka dikaki sangat
beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronis serta penyakit diabetes
menghambat penyembuhan tulang.
Riwayat penyakit keluarga. Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang
kruris adalah salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker cenderung diturunkan secara
genetic.
Riwayat psikososialspiritual. Kaji respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya, peran klien dalam keluarga dan masyarakat, serta respons atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun masyarakat.

23
Dalam tahap pengkajian, perawat juga perlu mengetahui pola-pola funsi kesehatan dalam
proses keperawatan klien fraktur tibia-fibula.

a. Pola hubungan dan peran. klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
b. Pola persepsi dan kosep diri. Dampak yang timbul pada klien fraktur adalah timbul
ketakutan akan kecacatan akibat fraktur yang dialaminy, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan
terhadap dirinya yang salah (gangguan citra diri).
c. Pola sensori dan pola kognitif. Daya raba klien fraktur berkurang, terutama pada
bagian distal fraktur, sedangkan indra yang lain dan kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu, juga timbul nyeri akibat fraktur.
d. Pola tata nilai dan keyakinan. Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik,
terutama frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah. Hal ini disebabkan oleh nyeri
dan keterbatasan gerak yang dibatasi oleh klien.
1. Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum
(status general) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (local).

Keadaan umum: Keadaan baik dan buruknya klien. Tanda-tanda yang perlu dicatat
kesadaran klien (apatis, spoor, koma, gelisah, kompos mentis yang bergantung pada
keadaan klien), kesakitan atau keadaan penyakit (akut, kronis, ringan, sedang, berat, dan
pada kasus fraktur tibia-fibula biasanya akut), tanda-tanda vital tidak normal karena ada
gangguan local, baik fungsi maupun bentuk.

a. Look (inspeksi)
1) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan)
2) Cape au lait spot
3) Fistulae
4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hiperpigmentasi
5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (
abnormal)
6) Posisi dan bentuk dari ekstremitas (deformitas)
7) Posisi jalan (gait, waktu masuk kekamar operasi)

b. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi
netral (posisi anatomi). Yang perlu dicatat adalah:
1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembapan kulit

24
2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedem terutama disekitar
persendian
3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, distal)
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang terdapat dipermukaan atau
melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan
maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaanya, konsistensinya, pergerakan
terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak dan ukurannya.
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah dilakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakkan
ekstremitas dan catat apakah ada keluhan nyeri pada pergerakan. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metric. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas atau
tidak).
(Padila, 2012 : 317)

No. Data Etiologi Masalah


1. DS: Trauma Gangguan rasa
- Klien mengeluh sakit pada nyaman nyeri
bagian kaki kiri Terputusnya kontinuitas
jaringan
DO:

- Eskpresi wajah klien meringis
Pengeluaran epineprin
kesakitan
dan non epineprin
- Skala nyeri 8

Dihantarkan ke
Hipotalamus

Nyeri

25
2. DS : Keluhan nyeri Risiko disfungsi
neurovascular perifer
-Pasien mengeluhkan lemah
Keterbatasan (Ketidak efektifan
-Pasien mengluh nyeri pada jaringan perfusi
melakukan pergerakan
perifer)
bagian ekstermitas
DO: Penurunan
kemampuan otot
-penurunan Denyut nadi
-Terjadi perubahan karakteristik
Perubahan sirkulasi,
kulit ktika dilakukan inspeksi dan
embolisme lemak
palpasi
Risiko disfungsi
neurovascular perifer
(Ketidak efektifan jaringan
perfusi perifer)

3. DS: Keluhan nyeri Kerusakan intregitas


kulit
-Pasien merasa tidak nyaman
Keterbatasan
dengan balutan pada bagian
melakukan pergerakan
fraktur dan merasakan nyeri
DO: Penurunan
kemampuan otot
-Ditemukannya perubahan turgor

pada kulit di daerah fraktur
Tirai baring lama,
-Penurunan sirkulasi penekanan local

Kerusakan intregitas kulit

4. DS: Adanya/timbul rasa nyeri Kurangnya


- Klien mengeluh kaki kirinya tidak yang bertambah bila aktivitas/mobilitas fisik
bisa digerakkan digerakkan
DO:
- Setiap tindakan dibantu oleh Klien membatasi gerak
keluarga dan perawat tubuhnya
- Klien tampak lemah
- Kaki klien di pasang gips dan traxi Aktivitas yang dilakukan
terbatas/minimal

26
5. DS: Kurangnya pengetahuan Gangguan rasa aman
- Klien selalu menanyakan tentang klien tentang keadaan dan cemas
keadaannya prosedur yang dilakukan
DO:
- Klien kelihatan bingung dan Stresor psikologi bagi klien
cemas
cemas

27
Asuhan Keperawatan
No Dx. Tujuan Intervensi Rasional
.
1. Nyeri akut 1. Nyeri berkurang Pertahankan - Menghilangkan nyeri
b.d. agen setelah dilakukan imobilisasi dan mencegah

ijury fisik tindakan bagian yang kesalahan posisi


sakit dengan tulang/tegangnya
spasme otot, keperawata n (dari
tirah baring jaringan yang cedera
gerakan skala 4 ke skala 0 /
- Meningkatkan aliran
fragmen raut wajah tidak
balik vena
tulang, menunjukkan nyeri
- Tinggikan dan menurunkan
edema, ) dukung oedema dan
cedera ekstremitas menurunkan rasa
jaringan yang terkena nyeri
lunak, - Meningkatkan
pemasangan relaksasi otot dan

traksi - Beri obat meringankan


sebelum partisipasi
perawatan - Mempertahankan
aktivitas kekuatan mobilitas
otot yang sakit dan
- Lakukan dan memudahkan
awasi rentang resolusi inflamasi
gerak aktif/pasif pada jaringan yang
cedera.
- Menurunkan
oedema/
- Lakukan pembentukan
kompres dingin/ hematoma
es 24 48 jam menurunkan sensasi
pertama nyeri
- Diberikan untuk
- Berikan obat menurunkan atau
sesuai indikasi meng-hilangkan rasa

28
nyeri atau dan
spasme otot
2. Ketidak 1. Klien 1. Kaji status 1. Untuk
efektifan memperlihatka neurovaskuler menentukan

jerfusi n perfusi (misal warna intervensi


kulit, selanjutnya
jaringan jaringan yang
suhu,pengisian 2. Meningkatkan
perifer b.d. adekuat
kapiler,denytut aliran balik
penurunan 2. Warna kulit
nadi,nyeri, vena dan
suplai darah normal dan
edema, mengurani
ke jaringan hangat parestesi, edema serta
3. CRT normal gerakan). nyeri
(3dtk) 2. Tinggikan 3. Untuk
ekstermitas memperlancar
yang sakit peredaran
3. Balutan yang darah
ketat harus 4. Latihan ringan
dilonggarkan sesuai indikasi
4. Anjurkan klien untuk
melakukan mencegah
pergeseran kelemahan otot
otot, latihan dan
pergelangan memperlancar
kaki, dan peredaran
pemompaan darah
betis setiap jam
untuk
memperbaiki
peredaran
darah.

3. Kerusakan Menyatakan Inspeksi kulit Mendadak area


integritas ketidaknyamanan terhadap sirkulasi buruk

kulit b.d. perubahan

29
fraktur hilang warna turgor Untuk
terbuka, Menunjukkan dan vaskuler mencegah

pemasangan Pantau masukan kerusakan kulit


perilaku teknik
cairan dan lebih luas.
traksi (pen, untuk mencegah
hidrasi serta
kawat,sekrup
kerusakan kulit membrane
)
lebih lanjut mukosa
Mencapai
penyembuhan
luka sesuai waktu

4. Hambatan Pasien dapat - Kaji derajat - Pasien mungkin


mobilitas melakukan mobilitas immobilitas dibatasi oleh

fisik b.d. fisik kembali setelah yang pandangan diri


dihasilkan tentang keterbukaan
kerusakan diberikan implementasi
oleh fisik aktual
rangka keperawatan.
cedera/peng memerlukan infor-
neuromuskul
obatan dan masi/intervensi
ar, nyeri,
dan untuk meningkatkan
terapi perhatian kemajuan kesehatan
restriktif persepsi - Meningkatkan
(imobilitas) pasien kekuatan otot dan
terhadap sirkulasi,
immo-bilisasi meningkatkan
kesehatan diri
- Bantu/dorong langsung
perawatan diri - Hipotensi posteral
atau kebersihan atau masalah umum
seperti mandi. menyertai tirah
baring yang lemah
- Awasi TD dan dapat
dengan memerlukan
memikirkan intervensi khusus.

30
aktifitas atau - Mencegah/me
kebersihan nurunkan insiden
seperti mandi komplikasi kulit/
pernapasan
- Ubah posisi (dekutibus)
secara periode
dan dorong - Mempertahankan
untuk latihan hidrasi tubuh
bentuk napas menurunkan resiko
dalam infeksi urinarius,
- Dorong pem-bentukan batu
peningkatan dan konstepasi.
masukan cairan - Agar keluarga mampu
sampai 2000- menjadi koping yang
3000 ml/hari baik untuk pasien
termasuk air shg dapat
asam mempercepat
- Beri penjelasan penyembuhan
pada keluraga - Gelombang Ultrasonik
tentang kondisi Integritas rendah
klien selama 15 menit
- Pemberian sebanyak 10x selang
gelombang waktu antar
ultrasonik pemberian 3 hari
intensitas pada fraktur tibia
rendah selama yang ditata laksana
15 menit secara konserfatif
sebanyak 10x (reposisi dan plaster)
selang waktu terbukti dapat
antar mempercepat
pemberian 3 pembentukan kalus
hari
5. Ansietas b.d. Gangguan rasa Diskusikan Menenangkan
perubahan aman cemas dalam tindakan dan

31
status teratasi keamanan. menurunkan
psikologis,st Kondisi klien Dorong pasien ansietas karena
berangsur baik dalam ketidaktahuan
atus peran
setelah
dalam mengekspresika dan atau takut
dilakukan
keluarga, n ketakutan menjadi
tindakan
keterbatasan keperawatan atau masalah. kesepian.

mobilisasi selama 2x24 jam Akui kenyataan Mendefinisikan


dengan kriteria: atau normalitas masalah dan
Ekspresi wajah perasaan, pengaruh
klien tampak
termasuk pilihan
tenang
marah. intervensi.
Keluarga
mengerti Dorong pasien Memberikan
menegani dalam dukungan
kondisi klien menggunakan emosi yang
manajemen dapat
stress membantu
pasien melalui
penilaian awal,
juga selama
pemulihan.
Membantu
memfokuskan
kembali
perhatian,
meningkatkan
relaksasi dan
dapat
meningkatkan
kemampuan
koping.

32
EVALUASI

1. Nyeri berkurang sampai dengan hilang


2. Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan perifer
3. Pemeliharaan kesehatan terjaga dengan baik
4. Dapat melakukan mobilisasi fisik secara mandiri
5. Tidak terjadi perubahan konsep diri, citra diri, harga diri dan peran diri.

33

Anda mungkin juga menyukai