3
SKENARIO 2
KONFUSIO AKUT
Pak Sastro, usia 80 tahun, datang ke UGD dengan keluhan sejak 2 hari jika diajak bicara
kadang tidak nyambung . Pasien mengeluh sesak nafas, nafas kadang berbunyi mengi disertai
batuk dengan dahak banyak. 1 hari ini pasien lebih banyak tidur. Sesekali membuka mata
jika dipanggil oleh anaknya. Pasien tidak demam dan tidak mau makan minum karena mual.
Pada bokong terdapat luka borok dengan diameter 4 cm , dengan dasar otot. Sejak jatuh 2
bulan yang lalu, pasien terus berbaring di tempat tidur karena adanya tungkai kiri nyeri saat
digerakkan dan tampak lebih pendek dibandingkan tungkai kanannya. Pada saat itu sudah
dilakukan pemeriksaan x foto panggul dan tungkai kiri, hasilnya berupa fraktur collum
femoris sinistra. Sejak sakit ini Pak Sastro memakai popok dewasa karena kadang-kadang
ngompol dan BAB tidak terasa. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien
lemah, kesadaran somnolen GCS E3M4V4. Tanda vital TD 100/60 mmHg, Nadi 105
x/menit, RR 28 X/menit, suhu 36,5. Pemeriksaan paru didapatkan ronki basah kasar dan
eksperium diperpanjang pada kedua paru. Pemeriksaan jantung dan abdomen dalam batas
normal. Panjang anatomi tungkai kiri < dibandingkan tungkai kanan.
Daftar Pustaka
1. Harrison’s. Principles of Internal Medicine.
2. Brocklehurst’s Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology
3. Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut)
4. dll, disesuaikan dengan kebutuhan materi (dari textbook atau jurnal)
1. Terminologi
1. Somnolen
Somnolen adalah kondisi mengantuk yang cukup dalam namun masih bisa
dibangunkan dengan menggunakan rangsangan. Ketika rangsangan tersebut
berhenti, maka pasien akan langsung tertidur kembali.
2. GCS E3M4V4
Glasgow Coma Scale atau GCS adalah skala yang dipakai untuk mengetahui
tingkat kesadaran seseorang
Eye = 3
Movement = 4
Verbal = 4
Total = 11 Delirium
Kesimpulan skor gcs :
- Composmentis : 15-14
- Apatis : 13-12
- Delirium : 11-10
- Somnolen : 9-7
- Stupor : 6-4
- Coma : 3
3. Mengi
Mengi atau wheezing adalah suara pernapasan frekuensi tinggi nyaring yang
memanjang, terdengar di akhir ekspirasi. Hal ini disebabkan penyempitan
saluran respiratorik distal dengan posisi dinding saluran pernafasan, sekresi,
benda asing, atau luka yang menghalangi. Suara tersebut dihasilkan oleh vibrasi
dinding saluran pernafasan dengan jaringan sekitarnya. Karena secara umum
saluran pernafasan lebih sempit pada saat ekspirasi, maka mengi dapat terdengar
lebih jelas pada saat fase ekspirasi. Kondisi yang menyebabkan suara wheeze
yaitu asthma, CHF, chronic bronchitis, PPOK dan pulmonary edema.
Pada pasien PPOK juga terdapat mengi pada fase ekspirasi. Mengi polifonik
merupakan jenis mengi yang paling banyak terdapat pada pasien PPOK.
Terdapat suara jamak simultan dengan berbagai nada yang terjadi pada fase
ekspirasi dan menunjukanpenyakit saluran pernafasan yang difus.
5. Eksperium memanjang
Eksperium disebut juga dengan ekspirasi, merupakan bagian dari fungsi
ventilasi proses pernafasan, yaitu mengeluarkan udara dari paru-paru ke
atmosfer. Eksperium memanjang adalah keadaan dimana ekspirasi lebih panjang
akibat adanya obstruksi, edem, penyempitan, ataupun mukus pada saluran
pernafasan yang mengurangi aliran udara dari paru ke luar. Eksperium
memanjang ini dapat ditemukan pada penyakit seperti asma, emfisema dan
PPOK. Pada keadaan ini, jumlah udara yang bisa dikeluarkan secara paksa
dalam 1 detik (FEV) dan kecepatan aliran ekpirasi puncak (PEF) berkurang.
2. Rumusan masalah
1. Apakah hubungan riwayat jatuh dengan keluhan ?
2. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dari kasus ?
3. Bagaimana interpretasi pemeriksaan penunjang pada kasus ?
4. Pada skenario pasien menggunakan popok karena kadang mengompol dan BAB tidak
terasa. Mengapa hal tersebut bisa terjadi ?
5. Apakah diagnosis sementara dan diagnosis banding dari skenario kasus ?
3. Hipotesis
1. Hubungan riwayat jatuh dengan keluhan
a. Tungkai kiri nyeri saat digerakkan dan lebih pendek dari tungkai kanan nya
Usia Pak Sastro sudah 80 tahun sehingga:
80 tahun osteoporosis primer tipe II (senesens) biasanya fraktur vertebra
atau panggul
Hormon testosteron turun bone mass menurun fragilitas meningkat
jatuh fraktur
Hormon testosteron turun kekuatan otot, keseimbangan, status mental,
refleks, mobilitas menurun tendensi jatuh meningkat fraktur
Defisiensi kalsium, vit D, paratiroid hiperplasia hiperparatiroid sekunder
resorbsi tulang meningkat bone mass menurun fragile jatuh fraktur
Defisiensi kalsium, vit D, paratiroid hiperplasi mineralisasi menurun
osteomalacia fragilitas meningkat jatuh fraktur
Fraktur tersering di daerah panggul fraktur collum femur sinistra pada
pasien (hanya low energy falls saja sudah dapat menyebabkan fraktur)
Pada fraktur terdapat pemendekan 5 cm pasti ada displacement femur
sinistra
Kemungkinan adalah tipe 4 (fully displacement) sehinggga di perkirakan fraksi
bagian corpus femuris naik ke level/bagian yang lebih tinggi. Karena naik ke
bagian yang lebih tinggi ada kemungkinan terjadi benturan/gesekan antara
tulang panggul dan corpus femuris tadi yang menyebabkan nyeri pada
pinggang Atau karena patah tulang reseptor nyeri akan teraktifkan dan
dijalarkan oleh N. femoralis dermatom yang sama (L2-4) nyeri pinggang
kiri.
Nyeri saat digerakkan takut imobilitas (pak sastro berbaring terus, tidak
mau bergerak)
PPOK pada usia lanjut meningkat risikonya karena paparan terhadap faktor
risikonya juga meningkat, antara lain karena paparan asap rokok (yang
merupakan faktor terpenting terjadinya PPOK, bahkan perokok pasif pun juga
merupakan faktor risiko); karena polusi udara indoor ( asap kompor, kayu bakar,
obat nyamuk bakar) maupun outdoor (gas buang industri, gas buang kendaraan
bermotor, debu jalanan, kebakaran hutan).
4. Peta konsep
5. Sasaran belajar
1. Definisi, faktor risiko dan etiologi, penegakan diagnosis, dan tatalaksana
komprehensif PPOK
2. Definisi, faktor risiko dan etiologi, penegakan diagnosis, dan tatalaksana
komprehensif Konfusio Akut
3. Definisi, faktor risiko dan etiologi, penegakan diagnosis, dan tatalaksana
komprehensif Sepsis
4. Definisi, faktor risiko dan etiologi, penegakan diagnosis, dan tatalaksana
komprehensif Inkontinensia (urin dan alvi)
5. Risiko kelainan tulang dan patah tulang pada usia lanjut
6. Belajar mandiri
1) Definisi, faktor risiko dan etiologi, penegakan diagnosis, dan tatalaksana
komprehensif Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
a. Definisi PPOK
Penyakit paru obstruksif kronik (PPOK) secara definisi dapat diartikan sebagai
penyakit kronik progresif pada paru yang ditandai dengan adanya hambatan atau
sumbatan aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan
menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi
terhadap derajat keparahan penyakit pasien. Hambatan aliran udara ini bersifat
progresif dan berhubunagn dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap
partikel atau gas beracun atau berbahaya di udara. PPOK merupakan penyakit
multikomponen dengan karakteristik hipersekresi mukus, penyempitan jalan
nafas, dan kerusakan alveoli paru-paru. PPOK dapat terkait dengan kondisi lain,
seperti bronkitis kronik, emfisema, ataupun gabungan keduanya. Pada PPOK,
sering ditemukan bronkitis kronik dan emfisema bersama, meski keduanya
berbeda proses patofisiologisnya. Tetapi menurut Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia (PDPI), bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi
PPOK karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema
merupakan diagnosis patologi.
1 Sesak nafas timbul bila berjalan cepat pada lantai yang datar
atau jika berjalan di tempat yang sedikit landai
d. Tatalaksana PPOK
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah mengurangi gejala dan risiko eksaserbasi
akut. Indikator penurunan gejala adalah gejala membaik, memperbaiki toleransi
terhadap aktivitas, dan memperbaiki status kesehatan. Sedangkan indikator
penurunan risiko adalah mencegah perburukan penyakit, mencegah dan
mengobati eksaserbasi, menurunkan mortalitas.
Golongan obat yang digunakan dalam pengobatan PPOK secara umum, yaitu:
1) Bronkodilatator
Bronkodilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan FEV1
dan atau mengubah variabel spirometri. Obat ini bekerja dengan mengubah
tonus otot polos pada saluran pernafasan dan meningkatkan refleks
bronkodilatasi pada aliran ekspirasi dibandingkan dengan mengubah
elastisitas paru. Bronkodilator bekerja dengan menurunkan hiperventilasi
dinamis saat istirahat dan beraktivitas, serta memperbaiki toleransi terhadap
akivitas. Pada kasus PPOK ketegori berat atau sangat sangat berat sulit untuk
memprediksi perbaikan FEV1 yang diukur saat istirahat.
2) β2-Agonis
Prinsip kerja obat ini adalah relaksasi otot polos pada saluran
pernafasan dengan menstimulasi reseptor β2-adrenergik, dimana akan
meningkatkan siklus AMP dan memproduksi efek fungsional yang
berlawanan dengan bronkokonstriksi. Terdapat β2-agonis dengan kerja
pendek (SABA) dan kerja panjang (LABA), dimana efek SABA biasanya
muncul dalam 4-6 jam. Penggunaan SABA secara regular dapat
meningkatkan FEV1 dan memperbaiki gejala. Untuk dosis tunggal,
khususnya pada kasus PPOK, tidak terdapat keuntungan apabila digunakan
secara rutin, contohnya levalbuterol dibandingkan konvensional
bronkodilator. LABA menunjukkan durasi kerja 12 jam atau lebih dan tidak
dimasukkan sebagai efek tambahan pada terapi SABA.
Folmetrol dan salmeterol merupakan LABA yang diberikan 2 kali
dalam sehari, dimana secara signifikan memperbaiki FEV1 dan volume paru,
sesak, laju eksaserbasi serta jumlah kejadian masuk rumah sakit, namun tidak
terdapat efek pada perbaikan mortalitas atau fungsi paru. Indacaterol atau
LABA yang dikonsumsi 1 kali sehari dapat memperbaiki sesak, status
kesehatan, dan laju eksaserbasi. Beberapa pasien dengan riwayat batuk akan
diikuti dengan pemberian indacaterol inhalasi. Oladaterol dan vilanterol
merupakan tambahan LABA yang dapat dikonsumsi 1 kali sehari dan dapat
memperbaiki gejala dan fungsi paru.
Stimulasi reseptor β2-adrenergik dapat memproduksi sinus takikardia
dan memiliki potensi untuk menjadi gangguan ritme jantung. Tremor dapat
dirasakan pada pasien tua dengan dosis tinggi. Apabila terapi dikombinasi
dengan diuretik thiazide, dapat menimbulkan hipokalemia dan peningkatan
konsumsi oksigen pada pasien gagal ginjal kronis, dimana terjadi efek
penurunan metabolik.
3) Antimuskarinik
Prinsip kerjanya dengan mem-blok efek bronkokonstriksi asetikolin pada
reseptor muskarinik M3 pada otot polos saluran pernafasan. Short-acting
antimuscarinic (SAMAS) seperti ipratropium dan oxitroprium juga mem-blok
reseptor neuronal M2, yang secara potensial dapat memicu bronkokonstriksi.
Long acting muscarinic antagonist (LAMAS) seperti tiotropium, aclidinium,
glycopyrronium bromide dan umeclidinium, mempunyai ikatan dengan reseptor
muskarinik M3 dengan disosiasi yang lebih cepat dibandingkan reseptor
muskarinik M2 yang memperpanjang durasi efek bronkodilator.
Ipratropiun sebagai muskarinik antagonis kerja pendek memiliki efek
yang kecil dibandingkan beta2-agonist kerja pendek dalam hal perbaikan fungsi
paru, status kesehatan dan kebutuhan terhadap oral steroid. Beberapa jenis
LAMAs seperti titropiun dan umeclidinium dikonsumsi 1 kali sehari, aclidinium
untuk 2 kali sehari, dan glycopyrronium, dimana beberapa negara memberikan 1
kali sehari dan negara lain memberikan 2 kali sehari. Pengobatan dengan
tiotripium dapat memperbaiki gejala dan status kesehatan, memperbaiki
efektivitas rehabilitasi paru dan mengurangi eksaserbasi terkait hospitalisasi.
Beberapa
4) Methylxanthine
Theophylline merupakan jenis methylxantine yang paling sering
digunakan, dimana dimetabolisme oleh cytochrome P450 dengan fungsi
oksidase. Efek yang ditimbulkan berupa peningkatan fungsi otot skeletal
respirasi. Penambahan theophylline dengan salmeterol memberikan efek
perbaikan pada FEV1 dan gejala sesak dibandingan hanya pemberian
salmeterol saja.
5) Kombinasi terapi bronkodilatator
Kombinasi bronkodilator SABAs dan SAMAs memberikan efek
perbaikan FEV1 dan gejala dibandingkan diberikan secara tunggal.
Pengobatan dengan formoterol dan tiotropium inhaler memberikan efek yang
lebih besar terhadap FEV1, memperbaiki fungsi paru dan status kesehatan
pada pasien PPOK. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian kombinasi
LABA/LAMA, memeberikan efek terhadap laju eksaserbasi. Kombinasi ini
juga dikatakan lebih baik dibandingkan kombinasi antara LABA dan ICS
(inhaled corticosteroid).
6) Anti inflamasi
• Inhaled corticosteroid (ICS)
Pada pasien PPOK, pengobatan dengan ICS menunjukkan respon yang
terbatas. Beberapa obat termasuk beta2-agonist, theophylline atau
macrolide dapat mempengaruhi sensitivitas kortikosteroid pada PPOK.
Pengobatan dengan ICS saja, tidak dapat memodifikasi penurunan FEV1.
Pada pasien dengan PPOK kategori sedang-berat, kombinasi ICS dengan
LABA lebih efektif dalam memperbaiki fungsi paru, status kesehatan dan
menurunkan eksaserbasi. Selain itu, pengobatan dengan LABA/ICS fixed
dose combination (FDC) memberikan efek yang signifikan dibandingkan
dengan LABA saja, pada pasien dengan eksaserbasi maksimal 1 kali
dalam setahun. Efek samping yang ditimbulkan yaitu, candidiasis mulut,
suara parau, kulit memar, dan pneumonia.
• Terapi inhaler triple
Terapi inhaler triple berupa penambahan LABA, LAMA, dan ICS,
dimana efek yang diberikan berupa perbaikan fungsi paru, pada risiko
eksaserbasi.
• Oral glukokortikoid
Efek yang diberikan berupa steroid miopati yang berhubungan dengan
kelemahan otot, penurunan fungsional, dan kegagalan pernapasan pada
pasien dengan PPOK berat. Sistemik glukokortikoid pada akut
eksaserbasi menunjukkan laju kegagalan terapi, laju kekambuhan, serta
memperbaiki fungsi paru dan sesak. Oral glukokortikoid memberikan
efek terapi pada akut eksaserbasi, namun tidak berperan pada kondisi
kronis karena memiliki komplikasi sistemik yang tinggi.
7) Antibiotik
Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik secara regular dapat
menurunkan laju eksaserbasi. Azithromycin (250 mg/hari atau 500 mg 3 kali
per minggu) atau eritromycin (500 mg 2 kali per hari) dalam satu tahun dapat
menurunkan risiko eksaserbasi. Azithromycin berhubungan dengan
peningkatan insiden resistensi bakteri dan gangguan pendengaran.
8) Mukolitik
Pada pasien PPOK yang tidak mendapatkan kortikosteroid inhaler, terapi
regular dengan mukolitik seperti carbocystein dan N-acetylcystein dapat
menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan.
Anti-konvulsan Atropin
Anti-histamin Kortikosteroid
Digoksin Opiat
Hipoglikemik Sedatif
c. Penegakan Diagnosis
• Kriteria CAM (Confussion Assesment Methode)
Berdasarkan kriteria CAM, diagnosis konfusio akut ditegakkan bil aterdapat
kriteria 1 dan 2, serta salah satu dari kriteria 3 dan 4:
1. Awitan dan perjalanan yang berfluktuasi
Gambaran ini biasanya didapat dari anggota keluarga atau perawat dan
ditunjukkan dari jawaban positif atas pertanyaan :
“Apakah terdapat bukti perubahan akut dari status mental penderita
sebelumnya?”
“Apakah perilaku abnormal ini berfluktuasi sepanjang hari, yaitu hilang-
timbul atau derajat beratnya naik turun?”
2. Kurang / tak ada perhatian
Gambaran ini diperlihatkan dengan jawaban positif atas pertanyaan
berikut :
“Apakah penderita mengalami kesulitan untuk memfokuskan perhatian,
misalnya mudah sekali berubah perhatian atau sukar mengikuti apa yang
sedang dibicarakan?”
3. Pikiran yang kacau
Gambaran dari keadaan ini ditunjukkan dengan jawaban positif atas
pertanyan berikut :
“Apakah pikiran penderita kacau atau onkoheren, misalnya menggumam
atau bicarakan sesuatu tak relevan, tak jelas atau keluarkan pendapat yang
alurnya tak logis, atau beralih dari suatu subyek ke subyek lain tanpa bisa
diduga?”
4. Perubahan tingkat kesadaran
Gambaran ini ditunjukkan dng. setiap jawaban, kecuali “sadar penuh”
atas pertanyaan berikut :
“Secara keseluruhan, bagaimanakah saudara menilai derajat kesadaran
penderita?, sadar penuh (normal), letargik (mengantuk), tapi mudah
dibangunkan, stupor (sulit dibangunkan) atau koma (tak bisa
dibangunkan)?”
• Kriteria Diagnosis
Kriteria DSM-IV-TR untuk Delirium akibat kondisi medis umum:
a) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian.
b) Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak berkaitan dengan
demensia.
c) Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari.
d) Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan laboratorium
bahwa gangguan disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung dari
suatu kondisi medis umum.
• Pemeriksaan Fisik
1. Ditemukan gejala dan tanda dari kondisi umum yang melatarbelakangi
delilirum akibat kondisi medis umum.
2. Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan, tangan atau kaki.
3. Menemukan gejala intoksikasi, overdosis, putus zat, ataupun komplikasi
medik seperti hepatitis, endocarditis, bronkopneumonia, HIV/AIDS, dan
sebagainya.
4. Perhatikan terutama kesadaran, pernafasan, tensi, nadi, cara jalan, sclera
ikterik, conjunctiva anemis, perforasi septum nasi, karies gigi, aritmia
jantung, edema paru, pembesaran hepar, dan lain-lain.
• Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sangat penting untuk mendeteksi atau skrinning
penyakit dasar pada pasien geriatri, seperti:
1. Pemeriksaan neurologis, termasuk CT-Scan jika ada indikasi
2. Laboratorium: darah perifer lengkap, elektrolit, tes fungsi ginjal, glukosa
darah, tes fungsi hati, analisis gas darah, urinalisis
3. Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG dapat menunjukkan perlambatan aktivitas secara
umum dan berguna untuk membedakan konfusio akut dengan depresi
ataupun psikosis.
4. EKG dan Foto torax
Tatalaksana Nonfarmakologi
Tatalaksanan nonfarmakologis yang dapat diberikan adalah memberi dukungan
fisik, sensorik, dan lingkungan.
1. Tempatkan pasien di suasana yang nyaman dan kurangi distress: ruangan tetap,
tidak pindah-pindah, perabot yang familiar, penerangan yang cukup dan adekuat,
suasana tenang, minimalisir jumlah staf untuk menghindari kebingungan akan
orang baru, perbaiki orientasi ruang waktu (misalnya dengan menempatkan jam
dinding atau kalender, ruangan terang saat siang dan kurangi lampu saat malam),
sediakan alat bantu dengar dan lihat, keluarga menemani pasien dan sering
mengajak bicara untuk meningatkan orientasi.
2. Kaji status hidrasi dan perbaiki secara berkala
3. Hindari pengikatan tubuh karen adapat menyebabkan agresivitas, agitasi, dan
trauma.
4. Hindari penggunaan kateter urin.
5. Psikoterapi suportif yang memberikan perasaan aman dapat membantu pasien
menghadapi frustasi dan kebingungan akan kehilangan fungsi memorinya.
6. Edukasi kepada keluarga
Tatalaksana Farmakologi
Antipsikotika dapat dipertimbangkan bila ada tanda dan gejala psikosis, misalnya
halusinasi, waham atau sangat agitatif (verbal atau fisik) sehingga berisiko terlukanya
pasien atau orang lain.
1. Asidosis laktat;
Syok septik Sepsis dengan kelainan hipotensi yang tidak membaik dengan
resusitasi cairan awal.
1- 2 Inkontinensia ringan
Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan otot dasar panggul
• Pemeriksaan vagina
• Pemeriksaan rectal
• Pemeriksaan neurologi
• Valsava pada saat buli penuh untuk menguji kekuatan sfingter
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan urinalisis (urin lengkap dan kultur)
Volume post void residu (PVR)
Kadar gula darah
Kalsium darah dan urin
Perineometri
Studi urodinamik
7. Daftar pustaka
1) Permatasari, Cintia Y. 2016. Studi Penggunaan Kortikosteroid pada Pasien Penyakit
Paru Obstruksi Kronis (PPOK) di RSUD DR. Soetomo Surabaya. Skripsi Fakultas
Farmasi Universitas Airlangga. Surabaya.
2) Lindayani, Luh P. Tedjomartono, Theodore D. Studi Kasus Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK). 2017. Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. Bali.
3) Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
4) GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention: A Guide for
Healthcare Professionals. 2017 ed. Sydney: Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease Inc.; 2017.
5) Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Tim Kelompok Kerja PPOK; 2004.
6) Reilly J, Silverman EK, Shapiro SD. Chronic obstructive pulmonary disease. In: Longo
D, Fauci AS, Kasper D, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison's principles of internal
medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 2011. pp. 2151–2159.
7)
8) Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk teknis penerapan pendekatan praktis kesehatan
paru di Indonesia. Jakarta: Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan; 2015.
9) KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.02.02/MENKES/73/2015 TENTANG PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN
KEDOKTERAN JIWA