Anda di halaman 1dari 43

BBDM MODUL 6.

3
SKENARIO 2
KONFUSIO AKUT
Pak Sastro, usia 80 tahun, datang ke UGD dengan keluhan sejak 2 hari jika diajak bicara
kadang tidak nyambung . Pasien mengeluh sesak nafas, nafas kadang berbunyi mengi disertai
batuk dengan dahak banyak. 1 hari ini pasien lebih banyak tidur. Sesekali membuka mata
jika dipanggil oleh anaknya. Pasien tidak demam dan tidak mau makan minum karena mual.
Pada bokong terdapat luka borok dengan diameter 4 cm , dengan dasar otot. Sejak jatuh 2
bulan yang lalu, pasien terus berbaring di tempat tidur karena adanya tungkai kiri nyeri saat
digerakkan dan tampak lebih pendek dibandingkan tungkai kanannya. Pada saat itu sudah
dilakukan pemeriksaan x foto panggul dan tungkai kiri, hasilnya berupa fraktur collum
femoris sinistra. Sejak sakit ini Pak Sastro memakai popok dewasa karena kadang-kadang
ngompol dan BAB tidak terasa. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien
lemah, kesadaran somnolen GCS E3M4V4. Tanda vital TD 100/60 mmHg, Nadi 105
x/menit, RR 28 X/menit, suhu 36,5. Pemeriksaan paru didapatkan ronki basah kasar dan
eksperium diperpanjang pada kedua paru. Pemeriksaan jantung dan abdomen dalam batas
normal. Panjang anatomi tungkai kiri < dibandingkan tungkai kanan.

Daftar Pustaka
1. Harrison’s. Principles of Internal Medicine.
2. Brocklehurst’s Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology
3. Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut)
4. dll, disesuaikan dengan kebutuhan materi (dari textbook atau jurnal)

1. Terminologi
1. Somnolen
 Somnolen adalah kondisi mengantuk yang cukup dalam namun masih bisa
dibangunkan dengan menggunakan rangsangan. Ketika rangsangan tersebut
berhenti, maka pasien akan langsung tertidur kembali.

2. GCS E3M4V4
 Glasgow Coma Scale atau GCS adalah skala yang dipakai untuk mengetahui
tingkat kesadaran seseorang
 Eye = 3
 Movement = 4

 Verbal = 4

Total = 11 Delirium
 Kesimpulan skor gcs :
- Composmentis : 15-14
- Apatis : 13-12
- Delirium : 11-10
- Somnolen : 9-7
- Stupor : 6-4
- Coma : 3

3. Mengi
 Mengi atau wheezing adalah suara pernapasan frekuensi tinggi nyaring yang
memanjang, terdengar di akhir ekspirasi. Hal ini disebabkan penyempitan
saluran respiratorik distal dengan posisi dinding saluran pernafasan, sekresi,
benda asing, atau luka yang menghalangi. Suara tersebut dihasilkan oleh vibrasi
dinding saluran pernafasan dengan jaringan sekitarnya. Karena secara umum
saluran pernafasan lebih sempit pada saat ekspirasi, maka mengi dapat terdengar
lebih jelas pada saat fase ekspirasi. Kondisi yang menyebabkan suara wheeze
yaitu asthma, CHF, chronic bronchitis, PPOK dan pulmonary edema.
 Pada pasien PPOK juga terdapat mengi pada fase ekspirasi. Mengi polifonik
merupakan jenis mengi yang paling banyak terdapat pada pasien PPOK.
Terdapat suara jamak simultan dengan berbagai nada yang terjadi pada fase
ekspirasi dan menunjukanpenyakit saluran pernafasan yang difus.

4. Ronki basah kasar


 Rhonkhi (rales atau crackles) adalah suara tambahan paru abnormal yang
terjadi akibat aliran udara yang melewati cairan saluran napas seperti eksudat,
sputum, darah, mukus, atau pus. Karakteristik rhonkhi : suara tambahan, dengan
ciri-ciri pendek, serial, terdengar nyata, lokasi tidak berubah. Ronki kasar sering
terjadi pada awal fase inspirasi, terdengar di daerah trachea, bronkhus dan
cavitas, pada penyakit bronkiektasis, edema paru, tb paru atau cavitas abses
paru. Ronki basah kasar menandakan bahwa sekret atau cairan berada di saluran
napas besar seperti trakea, bronkhus kanan dan kiri.

5. Eksperium memanjang
 Eksperium disebut juga dengan ekspirasi, merupakan bagian dari fungsi
ventilasi proses pernafasan, yaitu mengeluarkan udara dari paru-paru ke
atmosfer. Eksperium memanjang adalah keadaan dimana ekspirasi lebih panjang
akibat adanya obstruksi, edem, penyempitan, ataupun mukus pada saluran
pernafasan yang mengurangi aliran udara dari paru ke luar. Eksperium
memanjang ini dapat ditemukan pada penyakit seperti asma, emfisema dan
PPOK. Pada keadaan ini, jumlah udara yang bisa dikeluarkan secara paksa
dalam 1 detik (FEV) dan kecepatan aliran ekpirasi puncak (PEF) berkurang.

2. Rumusan masalah
1. Apakah hubungan riwayat jatuh dengan keluhan ?
2. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dari kasus ?
3. Bagaimana interpretasi pemeriksaan penunjang pada kasus ?
4. Pada skenario pasien menggunakan popok karena kadang mengompol dan BAB tidak
terasa. Mengapa hal tersebut bisa terjadi ?
5. Apakah diagnosis sementara dan diagnosis banding dari skenario kasus ?

3. Hipotesis
1. Hubungan riwayat jatuh dengan keluhan
a. Tungkai kiri nyeri saat digerakkan dan lebih pendek dari tungkai kanan nya
Usia Pak Sastro sudah 80 tahun sehingga:
 80 tahun  osteoporosis primer tipe II (senesens)  biasanya fraktur vertebra
atau panggul
 Hormon testosteron turun bone mass menurun fragilitas meningkat
jatuh fraktur
 Hormon testosteron turun kekuatan otot, keseimbangan, status mental,
refleks, mobilitas menurun tendensi jatuh meningkat fraktur
 Defisiensi kalsium, vit D, paratiroid hiperplasia hiperparatiroid sekunder
resorbsi tulang meningkat bone mass menurun fragile jatuh fraktur
 Defisiensi kalsium, vit D, paratiroid hiperplasi mineralisasi menurun
osteomalacia fragilitas meningkat jatuh fraktur
 Fraktur tersering di daerah panggul fraktur collum femur sinistra pada
pasien (hanya low energy falls saja sudah dapat menyebabkan fraktur)
 Pada fraktur terdapat pemendekan 5 cm pasti ada displacement femur
sinistra
 Kemungkinan adalah tipe 4 (fully displacement) sehinggga di perkirakan fraksi
bagian corpus femuris naik ke level/bagian yang lebih tinggi. Karena naik ke
bagian yang lebih tinggi ada kemungkinan terjadi benturan/gesekan antara
tulang panggul dan corpus femuris tadi yang menyebabkan nyeri pada
pinggang Atau karena patah tulang reseptor nyeri akan teraktifkan dan
dijalarkan oleh N. femoralis dermatom yang sama (L2-4) nyeri pinggang
kiri.
 Nyeri saat digerakkan takut imobilitas (pak sastro berbaring terus, tidak
mau bergerak)

b. Luka borok 4 cm dengan dasar otot


Luka borok 4 cm ini timbul akibat imobilisasi yang lama (yakni sudah sejak 2
bulan lalu). Luka tersebut adalah ulkus dekubitus yang mana disebabkan oleh
kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat tekanan dari luar yang
berhubungan dengan imbolisasi lama di tempat tidur. Dekubitus ini juga lebih
mudah terjadi pada usia lanjut karena:
• Berkurangnya jaringan lemak subkutan
• Berkurangnya jaringan kolagen dan elastik
• Menurunnya efisiensi kolateral kapiler pada kulit kulit lebih tipis dan rapuh
Berdasarkan kedalaman luka , ulkus dekubitus pada pasien termasuk Derajat IV :
Full Thickness Tissue Loss yakni kehilangan jaringan secara penuh sampai
dengan terkena otot.

c. Sesak napas, napas mengi, batuk berdahak banyak


Sesak napas
Ada banyak hal yang dpt menyebabkan sesak napas, antara lain :
• Cardiac: congestive heart failure, coronary artery disease,
• Pulmonary: chronic obstructive pulmonary disease, asthma, pneumonia,
• Psychogenic: panic attacks, hyperventilation, pain, anxiety
• Upper airway obstruction: epiglottitis, foreign body, croup, EBV
• Endocrine: metabolic acidosis, medications
Adanya sesak napas disertai dengan suara napas terdengar mengi serta batuk
berdahak yang banyak bisa mengarahkan pada PPOK. Gejala PPOK terutama
berkaitan dengan respirasi. Pada PPOK terjadi inflamasi yang kronik dan
perubahan struktural pada paru yang menyebabkan hambatan aliran udara.
Sesak napas PPOK: Tidak bisa menghirup cukup udara – Udara tidak masuk
sempurna, pola sesak napas pada PPOK adalah terus menerus dan bertambah
berat dengan aktivitas
Suara mengi: penyebab paling umum dari mengi adalah ppok dan asma bronkial,
pada asma biasanya ada riwayat keluarga; pola sesak napas hilang timbul; ada
pemicu berupa alergen atau partikel sensitif.
Batu berdahak : karena peningkatan produksi sputum.

PPOK pada usia lanjut meningkat risikonya karena paparan terhadap faktor
risikonya juga meningkat, antara lain karena paparan asap rokok (yang
merupakan faktor terpenting terjadinya PPOK, bahkan perokok pasif pun juga
merupakan faktor risiko); karena polusi udara indoor ( asap kompor, kayu bakar,
obat nyamuk bakar) maupun outdoor (gas buang industri, gas buang kendaraan
bermotor, debu jalanan, kebakaran hutan).

d. Tidak demam, tidak mau makan karena mual


Adanya infeksi pada pasien usia lanjut tidak memiliki gejala yang khas, salah
satunya tidak demam. Pada pasien curiga adanya sepsis (sistol ≤100 mmHg, RR
≥22 X/menit dan terganggunya pikiran/mental).
Tidak demam
Penyebab tidak mucul demam walaupun pasien ini dicurigai sepsis adalah:
- Defisiensi pirogen endogen pada usia lanjut
- Abnormalitas pirogen endogen secara kualitatif
- Penurunan sensitivitas hipotalanus anterior terhadap pirogen endogen
- Terhambatnya respon produksi prostaglandin (PG E2)
- Berkurangnya respon vasomotor
Mual
Keluhan mual perlu diselidiki lebih lanjut untuk mengetahui penyebabnya. Mual
tidaklah spesifik untuk menunjukkan suatu diagnosis penyakit jadi perlu
anamnesis dan pemeriksaan lebih lanjut. Adapun beberapa hal yang bisa memicu
timbulnya mual antara lain: GERD, gastroenteritis, apendisitis, konsumsi obat-
obatan (misalnya anxiolitik dan antidepressan), konsumsi alkohol berlebih,
menghirup aroma yang tidak disukai.

e. Sejak 2 hari bicara tidak nyambung


Pasien berbicara dengan tidak nyambung karena mengalami konfusio akut. Jadi
pada konfusio ini seseorang mengalami gangguan fungsi kognisi yang ditandai
oleh kesadaran yang turun, gangguan berpikir sehingga terjadi disorientasi.
Penyebab yang paling dekat sesuai dengan kasus adalah sepsis.
Manifestasi dari konfusio akut ini adalah: Gg memori, gg atensi dan kosentrasi,
gangguan dalam proses pemahaman dan reasoning, disorientasi baik waktu,
tempat, orang.

2. Interpretasi pemeriksaan fisik dari kasus


 Keadaan umum pasien lemah
Bisa disebabkan adanya penurunan kemampuan fisik maupun gangguan psikis
 Kesadaran somnolen
Somnolen, yaitu penurunan kesadaran dimana pasien tampak lemah, mengantuk,
respon verbal masih baik dan dapat sadar atau menjawab pertanyaan bila
dirangsang, akan tetapi pasien akan kembali tertidur bila rangsangan dihentikan.
 GCS E3M4V4Total = 11 → Delirium
 Tanda vital
- TD 100/60 mmHg (hipotensi)
Normalnya usia > 60 tahun memiliki tekanan darah berkisar antara 130/80
mmHg sampai 134/87 mmHg.
- Nadi 105 x/menit (takikardi)
Normalnya saat tidak beraktivitas berat 60 – 100 kali/menit
- RR 28 X/menit (takipneu)
Normalnya 14 – 16 kali/menit
- Suhu 36,5 (normal)
Suhu normal : 36 – 36.9 ℃
 Pemeriksaan paru didapatkan ronki basah kasar dan eksperium diperpanjang pada
kedua paru.
- Ronki basah kasar → Bunyi dengan nada rendah, sangat kasar terdengar
kontinu terutama waktu ekspirasi, tapi terkdang saat inspirasi juga terdengar.
Disebabkan terkumpulnya secret dalam trachea atau bronchus.
- Eksperium diperpanjang → Fase ekspirasi yang memanjang menunjukkan
adanya obstruksi jalan napas dan sering ditemukan pada pasien COPD.
 Pemeriksaan jantung dan abdomen dalam batas normal. Menunjukkan belum
adanya komplikasi pada bagian jantung dan abdomen.
 Panjang anatomi tungkai kiri < dibandingkan tungkai kanan
Disebabkan karena ada displacement femur sinistra, diperkirakan fraksi bagian
corpus femuris naik ke level/bagian yang lebih tinggi.

3. Interpretasi dari pemeriksaan penunjang dalam hal ini pemeriksaan radiologi :


 Pemeriksaan dengan sinar-X harus dilakukan dengan 2 proyeksi yaitu anterior
posterior dan lateral, serta dilakukan pada 2 sendi, yaitu diatas dan dibawah sendi
yang mengalami fraktur. Karena pada kasus ditemui pemendekan pada tungkai
kiri, dilakukan pemeriksaan x foto panggul dan tungkai.
 Seperti yang dijelaskan, karena ditemukannya pemendekan tungkai kiri dibanding
tungkai kanan, maka kemungkinan tipe fraktur menurut Garden’s adalah tipe 3
atau 4 yakni adanya pergeseran pada fraktur (sebagian/total).

4. Pasien bisa mengompol dan BAB tidak terasa karena


Ngompol
Mengompol atau inkontinensia urin adalah ketidakmampuan dalam mengendalikan
keluarnya urin, sehingga urin keluar tanpa disengaja. Kondisi ini umumnya dialami
anak-anak, terutama di bawah usia 7 tahun. Mengompol tak hanya terjadi pada anak-
anak namun dapat juga dialami lansia. Berdasarkan onsetnya, inkontinensia urin
terbagi menjadi 2 yaitu inkontinensia urin akut dan kronik.
a. Inkontinensia urin kronik
Inkontinensia urin tidak berkaitan dengan kondisi akut dan berlangsung dengan
lama (lebih dari 6 bulan) ada 2 penyebab Inkontinensia urin kronik (persisten)
yaitu: menurunnya kapasitas kandung kemih akibat hiperaktif dan karena
kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot
detrusor. Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan lagi menjadi 4 tipe
(stress, urge, overflow , fungsional).
Berdasarkan gejala skenario kasus pasien termasuk inkontinensia urin kronik
tipe stress dan tipe fungsional
- Tipe stress yaitu inkontinensia urin terjadi apabila urin dengan secara tidak
terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya
otot dasar panggul, operasi dan penurunan estrogen. Pada gejalanya antara
lain kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal
yang lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut.
- Tipe fungsional yaitu inkontinensia yang dapat terjadi karena penurunan
yang berat dari fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat
mencapai ketoilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi pada demensia berat,
gangguan neurologik, gangguan mobilitas dan psikologik. Sebagaimana
pada kasus disebutkan bahwa pasien sudah berumur 80 tahun yang
termasuk lansia sehingga terjadi penurunan fungsi fisik dan kognitif, serta
adanya riwayat jatuh yang mengakibatkan gangguan mobilitas juga
semakin memperberat kondisi pasien.
b. Inkontinensia urin akut yaitu inkontinensia yang terjadi secara mendadak,
terjadi kurang dari 6 bulan terakhir dan biasanya berkaitan dengan kondisi sakit
akut atau masalah iatrogenik menghilang jika kondisi akut teratasi. Penyebab
umum dari inkontinesia urin akut sering disingkat DIAPPERS yaitu :
- D Delirium atau kebingungan - pada kondisi berkurangnya kesadaran baik
karena pengaruh dari obat atau operasi, kejadian inkontinensia dapat
dihilangkan dengan mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium.
- I Infection – infeksi saluran kemih seperti urethritis dapat menyebabkan
iritasi kandung kemih dan timbul frekuensi, disuria dan urgensi yang
menyebabkan seseorang tidak mampu mencapai toilet untuk berkemih.
- A Atrophic Uretritis atau Vaginitis – jaringan teriritasi dapat menyebabkan
timbulnya urgensi yang sangat berespon terhadap pemberian terapi
estrogen.
- P Pharmaceuticals –dapat karena obat-obatan, seperti terapi diuretik yang
meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih.
- P Psychological Disorder – seperti stres, depresi, dan anxietas.
- E Excessive Urin Output– karena intake cairan, alkoholisme diuretik,
pengaruh kafein.
- R Restricted Mobility – dapat penurunan kondisi fisik lain yang
mengganggu mobilitas untuk mencapai toilet.
- S Stool Impaction – dapat pengaruh tekanan feses pada kondisi konstipasi
akan mengubah posisi pada kandung kemih dan menekan saraf.
BAB tidak terasa
Inkontinensia tinja atau inkontinensia alvi merupakan suatu kondisi ketika tubuh
tidak mampu mengendalikan buang air besar. Terdapat 3 jenis inkontinensia alvi yaitu
urge incontinence, passive incontinence, and fecal seepage. Berdasarkan skenario
kasus maka keluhan pasien termasuk inkontinesia pasif dimana adanya pengeluaran
gas ataupun feses tanpa disadari. Kemampuan untuk mengintrol defekasi terbagi
menjadi 2 komponen yaitu kontinensia dan defekasi. Kontinensia adalah kemampuan
untuk menahan fecal material sampai dengan saat BAB secara sadar. Kontrol ini
melibatkan sfingter ani interna yang berada di bawah kontrol sistem saraf otonom dan
sfingter ani interna yang dipersarafi oleh N. pudendus S2-S4. Sfingter anal eksterna
dan m. puborectal berperan dalam mempertahankan kontinensia. Sedangkan pada
defekasi atau pengeluaran feses terjadi relaksasi m. puborectal disertai pemanjangan
sudut anorektal dan relaksasi sfingter ani interna dan eksterna.
Pada lansia terjadi perubahan anatomis dimana terjadi penebalan sfingter ani
eksterna dan interna serta endovascular cushion loss sehingga menyebabkan
penurunan tekanan squeeze yang merusak mekanisme neuromotorik kontinensia. Oleh
karena rusaknya mekanisme neuromotorik kontinensia dapat menyebabkan pasien
defekasi tanpa disadari (pasif).

5. Diagnosis sementara dan diagnosis banding dari kasus


 Diagnosis sementara: konfusio akut dengan penyebab COPD, komplikasi berupa
fraktur dan ulcus decubitus serta sepsis.
 Diagnosis banding: drop attack, stroke, asma, pneumonia, delirium.

4. Peta konsep
5. Sasaran belajar
1. Definisi, faktor risiko dan etiologi, penegakan diagnosis, dan tatalaksana
komprehensif PPOK
2. Definisi, faktor risiko dan etiologi, penegakan diagnosis, dan tatalaksana
komprehensif Konfusio Akut
3. Definisi, faktor risiko dan etiologi, penegakan diagnosis, dan tatalaksana
komprehensif Sepsis
4. Definisi, faktor risiko dan etiologi, penegakan diagnosis, dan tatalaksana
komprehensif Inkontinensia (urin dan alvi)
5. Risiko kelainan tulang dan patah tulang pada usia lanjut

6. Belajar mandiri
1) Definisi, faktor risiko dan etiologi, penegakan diagnosis, dan tatalaksana
komprehensif Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
a. Definisi PPOK
Penyakit paru obstruksif kronik (PPOK) secara definisi dapat diartikan sebagai
penyakit kronik progresif pada paru yang ditandai dengan adanya hambatan atau
sumbatan aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan
menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi
terhadap derajat keparahan penyakit pasien. Hambatan aliran udara ini bersifat
progresif dan berhubunagn dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap
partikel atau gas beracun atau berbahaya di udara. PPOK merupakan penyakit
multikomponen dengan karakteristik hipersekresi mukus, penyempitan jalan
nafas, dan kerusakan alveoli paru-paru. PPOK dapat terkait dengan kondisi lain,
seperti bronkitis kronik, emfisema, ataupun gabungan keduanya. Pada PPOK,
sering ditemukan bronkitis kronik dan emfisema bersama, meski keduanya
berbeda proses patofisiologisnya. Tetapi menurut Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia (PDPI), bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi
PPOK karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema
merupakan diagnosis patologi.

b. Etiologi dan Faktor Risiko PPOK


PPOK mempunyai progresivitas yang lambat, diselingi dengan fase eksaserbasi
akut yang timbul secara periodik. Pada fase eksaserbasi akut terjadi perburukan
yang mendadak dari perjalanan penyakitnya yang disebabkan oleh suatu faktor
pencetus dan ditandai dengan suatu manifestasi klinis yang memberat. Secara
umum resiko terjadinya PPOK terkait dengan jumlah partikel gas yang dihirup
oleh seorang individu selama hidupnya serta berbagai faktor dalam individu itu
sendiri.
1. Asap Rokok
Dari berbagai partikel gas yang noxious atau berbahaya, asap rokok
merupakan salah stau penyebab utama, kebiasaanmerokok merupakan faktor
resuko utama dalam terjadinya PPOK. Asap rokok yang dihirup serta
merokok saat kehamilan juga aberpengaruh pada kejadian PPOK karena
mempengaruhi tumbung-kembang paru janin dalam uterus. Asap rokok juga
merupkan afaktor risiko utama dari bronkitis kronik dan emfisema. Asap
rokok yang dihasilkan dari hasil pembakaran tembakau dapat mengiritasi
bronkiolus, dan memicu perubahan permanen pada kelenjar mukus sehingga
dapat menyebabkan inflamasi pada dinding organ saluran nafas dan dapat
merusak dinding alveolar, serta akan memperparah kondisi pasien yang
rentan.
Pada pasien PPOK yang disebabkan karena merokok, terjadi
perubahan interaksi antara oksidan dan antioksidan serta terjadi peningkatan
stress oksidatif yang ditandai dengan meningkatkanya oksidan. Terjadinya
peningkatan marker oksida seperti Hidrogen Peroksida (H2O2) dan Nitrit
oksida (NO) yang terlihat pda cairan sel epitel. Peningkatan oksidan tersebut
dipicu oleh zat berbahaya yang terdapat di dalam tokok yang bereaksi dan
menyeybabkan kerusakan berbagai protein dan lipid kemudian terjadi
kerusakan sel dan jaringan paru. Oksidan juga memperantarai terjadinya
respon inflamasi secara langsung dan menghambat aktivitas antiprotease
sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan protease-antiprotease. Beberapa
respon yang diakibatkan stress oksidatif pada paru yaitu aktivasi mediator
inflamasi, peningkatan anti protease, perangsangan pengeluaran mukus, dan
perangsangan peningkatan eksudat plasma. Inflamasi pada PPOK dimulai
dengan adanya kontak antara sel epitel paru dan makrofag alveolar dengan
partikel asap rokok. Kemudian makrofag alveolar akan melepaskan sitokin
atau kemokin diikuti dengan pengumpulan neutrophil dan akumulasi
makrofag di bronkiolus dan alveolar.
2. Paparan berkaitan dengan okupasional
Orang-orang yang bekerja di industri logam atau tekstil memiliki
resiko lebih besar terjangkit PPOK karena sering terpapar oleh bahan-bahan
seperti batu bara, silica, kapas, dan logam berat yang dapat masuk ke dalam
saluran respirasi dan dapat menyebabkan kerusakan apabila terpapar dalam
jangka waktu yang lama.
3. Polusi Udara
Polusi udara terbukti memiliki peran yang dapat memicu PPOK
meskipun resikonya lebih kecil bila dibandingkan dengan merokok. Polusi
udara mengandung material berat seperti karbondioksida dan sulfur oksia
yang merupakan hasil pembakaran batu bara dan bahan bakar fosil
potreleum. Material-material tersebut memiliki peran penting dalam
meningkatkan resiko PPOK. Material pada polusi udara dapat meningkatkna
stres oxidative-nitrosative yang berperan dalam patogenesis PPOK.
4. Infeksi Saluran Nafas Berulang
Infeksi saluran nafas berulang telah diteliti sebagai faktor risiko
potensial dalam perkembangan dan progresivitas PPOK pada orang dewasa,
terutama infeksi saluran nafas bawah berulang. Infeksi saluran nafas berulang
pada masa anak-anak juga telah dinyatakan sebagai faktor predisposisi
potensial pada perkembangan akhir PPOK. Hal ini terkait dengan inflamasi
kronik yang terjadi pada parenkim paru. Apabila terjadi inflamasi kronik
maka akan menghasilkan kerusakan berulang yang akan menyebabkan injury
dan fibrosis pada paru. Penurunan volume ekspirasi paksa (FEV) merupakan
respon terhadap inflamasi yang terjadi pada saluran nafas sebagai hasil dari
abnormalitas perpindahan gas ke dalam darah karena terjadi kerusakan sel
parenkim paru.
5. Kepekaan jalan nafas
Kecenderungan meningkatnya bronkontriksi sebagai reaksi terhadap
berbagai stimulus eksogen, termasuk methakolin dan histamin, adalah salah
satu ciri-ciri dari asma. Bagaimanapun, banyak pasien PPOK juga memiliki
ciri-ciri jalan nafas yang hiperesponsif. Pertimbangan akan tumpang
tindihnya seseorang dengan asma dan PPOK dalam kepekaan jalan nafas,
obstruksi aliran udara, dan gejala pulmonal mengarahkan kepada perumusan
hipotesis Dutch yang menegaskan bahwa asma, bronkitis kronis, dan
emfisema merupakan variasi dari dasar penyakit yang sama, yang dimodulasi
oleh faktor lingkungan dan genetik untuk menghasilkan gambaran patologis
yang nyata.
6. Defisiensi α-1 Antitrypsin (α1AT)
Salah stau faktor genetic yang menjadi faktor resiko PPOK yaitu
kekurangan α-1 antitrypsin,, yaitu suatu pelindung sistem antiprotease pada
paru. α-1 antitrypsin dapat memproteksi sel paru dari detruksi oleh etalase
yang diproduksi oleh neutrophil karena adanya fagositosis maupun kematian
sel. Keadaan defisiensi α-1 antitrypsin ini jarang terjadi, yaitu 1:4000 dalam
suatu populasi.
7. Usia dan Jenis Kelamin
Prevalensi PPOK semakin meningkat seiring dengan meningkatkanya
usia. Kebanyakan PPOK onsetnya berada di usia pertengahan. Prevalensi
PPOK juga ditemukan lebih tinggi pada laki-laki disbanding perempuan.

c. Penegakan Digansosis PPOK


Diagnosis PPOK dapat ditegakkan berdasarkan temuan klinis (Anamnesis dan
pemeriksaan fisik) serta didukung oleh hasil pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis terkait PPOK
Dari anamnesis, sebenarnya sudah dapat dicurigai PPOK pada seorang pasien
berdasarkan gejalanya yang khas. Karakteristik penting PPOK yang dapat
didapatkan dari anamnesis, diantaranya:
• Batuk kronik yang sudah berlangsung lama dan berulang, dapat disertai
dengan produksi sputum yang pada awalnya sedikit danberwarna putih,
kemudian lama kelamaan dapat berubah menjadi banyak dan berwarna
kuning keruh. Menurut PDPI, batuk kronik terjadi hilang timbul selama 3
bulan dan tidka hilang dengan pengobatan yang diberikan.
• Adanya riwayat faktor risiko, seperti: merokok, paparan zat iritan dalam
jumlah yang cukup banyak dan bermakna.
• Adanya riwayat emfisema pada keluarga, terdapat faktor predisposisi saat
masa kecil, misalnya berat bdan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran
nafas berulang, tinggal di lingkungan dengan asap rokok dan polisi udara.
• Sesak nafas yang semakin lama semakin memberat terutama saat
melakukan aktivita berat (terengah-engah), sesak nafas berlangsung lama
hingga sesak tidak pernah hilang sama sekali dengan atau tanpa bunyi
mengi. Perlu dilakukan anamnesis dengan teliti menggunakan kuisioner
untuk mengakses keparahan sesak nafas, bisa menggunakan Modified
Medical Research Council (MMRC) Dyspnea Scale seperti pada tabel
berikut.
Tabel Modified Medical Research Council (MMRC) Dyspnea Scale
Grad Keluhan sesak berdasarkan aktivitas
e

0 Sesak nafas baru timbul jika melakukan kegiatan yang berat

1 Sesak nafas timbul bila berjalan cepat pada lantai yang datar
atau jika berjalan di tempat yang sedikit landai

2 Jika berjalan bersama teman seusia di jalan yang datar, selalu


lebih lambat; atau jika berjalan sendirian di jalan yang datar
sering beristirahat untuk mengambil nafas

3 Perlu istirahat untuk menarik nafas setiap berjalan 100 meter


atau setelah berjalan beberapa menit

4 Timbul sesak nafas ketika mandi atau berpakaian

Berdasarkan gejala klinis yang dapat diukur menggunakan skor MMRC


Dyspnea Scale atau COPD Assessment Test (CAT) dan juga berdasarkan
riwayat eksaserbasi, maka PPOK dapat dikelompokkan menjadi:
Tabel Penilaian Kelompok Pasien PPOK

2. Pemeriksaan Fisik terkait PPOK


Pemeriksaan fisik pasien PPOK dapat bervariasi dari tidak ditemukan
kelainan sampai ditemukan lekalinan jelas dan tanda inflasi pada paru.
Inspeksi:
• Pursed-lips breathing
Sikap seseorang yang bernafas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Ini diakibatkan oleh mekanisme tubuh yang berusaha
mengeluarkan karbondioksida yang tertahan dalam paru akibat gagal
nafas kronik.
• Penggunaan otot bantu nafas
Penggunaan otot bantu nafas terlihat dari retraksi dinding dada, hipertrofi
oto bantu nagas, serta pelebaran sela iga.
• Barrel chest
Merupakan penurunan perbandingan diameter antero-posterior dan
transversal pada rongga dada akibatusaha memperbesar volume paru. Bila
telah gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai.
• Pink puffer
Pink pufferadalah gambaran khas pada emfisema, yaitu kult kemerahan
pasien kurus, dan pernafasan pursed lip breathing.
• Blue bloater
Blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronik, yaitu pasien
tampak sianosis sentral serta perifer, gemuk, terdapat edema tungkai dan
ronkhi basah di basal paru.
Palpasi:
Pada palpasi dada didapatkan vokla fremitus melemah dan sela iga melebar,
terutama dijumpai pada pasien dengan emfisema dominan.
Perkusi:
Hipersonor akibat peningkatan jumlah udara yang terperangkap, batas jantung
mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah terutama pada
emfisema.
Auskultasi:
Pada auskultasi didapatkan suara nafas vesikuler normal atau melemah,
terdapat ronkhi atau mengi pada waktu bernafas biasa atau ekspirasi paksa,
ekspirasi memanjang, dan bunyi jantung terdengar jauh.
3. Pemeriksaan Penunjang terkait PPOK
a) Uji Faal Paru dengan Spirometri dan Bronkodilatator (post-
bronchodilatator)
Uji faal paru berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat
perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini
penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran
nafas dalam berbagai tingkat.
Spirometri digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang
dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity
(FVC). Spirometri juga mengukur volume udara yang dikeluarkan pada
satu detik pertama pada saat melakukan manuver tersebut, atau disebut
dengan Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Rasio dari kedua
pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan untuk menilai
fungsi paru. Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan
dari FEV1 dan FVC serta nilai FEV1/FVC < 70%. Pemeriksaan post-
bronchodilator dilakukan dengan memberikan bonkodilator inhalasi
sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
FEV1. Bila perubahan nilai FEV1 <20%, maka ini menunjukkan
pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini
dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar eksaserbasi akut).
Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator dapat
digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit PPOK berdasarkan
derajat obstruksinya. Klasifikasi berdasarkan GOLD kriteria adalah:
1. Stage I : Ringan
Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan hasil rasio
FEV1/FVC < 70% dan nilai FEV1 ≥ 80% dari nilai prediksi.
2. Stage II : Sedang
Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1 diantara 50-
80% dari nilai prediksi.
3. Stage III : Berat
Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1 diantara 30-
50% dari nilai prediksi.
4. Stage IV : Sangat Berat
Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari 30%
ataupun kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik.
b) X-foto thorax PA dan lateral
Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
penyakit paru lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan
gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata, hiperlusensi,
ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan jantung yang
menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada
penderita bronkitis kronis dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan
hasil yang normal ataupun dapat terlihat corakan bronkovaskuler yang
meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen.
c) Analisa Gas Darah
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah sangat penting
dilakukan dan wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita
menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi dan secara klinis tampak
tanda-tanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti sianosis
sentral, pembengkakan ekstrimitas, dan peningkatan jugular venous
pressure. Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda
pada pasien dengan emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis
kronis dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas darah menunjukkan
hipoksemi yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%.
Dapat juga menunjukkan hiperkapnia yang sesuai dengan adanya
hipoventilasi alveolar, serta asidosis respiratorik kronik yang
terkompensasi. Gambaran seperti ini disebabkan karena pada bronkitis
kronis terjadi gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata.
Sedangkan pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena
baik ventilasi maupun perfusi, keduanya menurun disebabkan
berkurangnya jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu
pada emfisema gambaran analisa gas darah arteri akan memperlihatkan
normoksia atau hipoksia ringan, dan normokapnia. Analisa gas darah
berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan oksigenasi, dan untuk
memantau keseimbangan asam basa.
d) Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan memilih antibiotik yang tepat. Infeksi
saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada
penderita PPOK di Indonesia.
e) Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya faktor pencetus
seperti leukositosis akibat infeksi pada eksaserbasi akut, polisitemia pada
hipoksemia kronik.
f) Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Pemeriksaan EKG digunakan untuk mengetahui komplikasi pada jantung
yang ditandai oleh kor pulmonal atau hipertensi pulmonal. Pemeriksaan
lain yang dapat namun jarang dilakukan antara lain uji latih
kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, CT-scan resolusi tinggi,
ekokardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha-1 antitryipsin.

d. Tatalaksana PPOK
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah mengurangi gejala dan risiko eksaserbasi
akut. Indikator penurunan gejala adalah gejala membaik, memperbaiki toleransi
terhadap aktivitas, dan memperbaiki status kesehatan. Sedangkan indikator
penurunan risiko adalah mencegah perburukan penyakit, mencegah dan
mengobati eksaserbasi, menurunkan mortalitas.
Golongan obat yang digunakan dalam pengobatan PPOK secara umum, yaitu:
1) Bronkodilatator
Bronkodilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan FEV1
dan atau mengubah variabel spirometri. Obat ini bekerja dengan mengubah
tonus otot polos pada saluran pernafasan dan meningkatkan refleks
bronkodilatasi pada aliran ekspirasi dibandingkan dengan mengubah
elastisitas paru. Bronkodilator bekerja dengan menurunkan hiperventilasi
dinamis saat istirahat dan beraktivitas, serta memperbaiki toleransi terhadap
akivitas. Pada kasus PPOK ketegori berat atau sangat sangat berat sulit untuk
memprediksi perbaikan FEV1 yang diukur saat istirahat.
2) β2-Agonis
Prinsip kerja obat ini adalah relaksasi otot polos pada saluran
pernafasan dengan menstimulasi reseptor β2-adrenergik, dimana akan
meningkatkan siklus AMP dan memproduksi efek fungsional yang
berlawanan dengan bronkokonstriksi. Terdapat β2-agonis dengan kerja
pendek (SABA) dan kerja panjang (LABA), dimana efek SABA biasanya
muncul dalam 4-6 jam. Penggunaan SABA secara regular dapat
meningkatkan FEV1 dan memperbaiki gejala. Untuk dosis tunggal,
khususnya pada kasus PPOK, tidak terdapat keuntungan apabila digunakan
secara rutin, contohnya levalbuterol dibandingkan konvensional
bronkodilator. LABA menunjukkan durasi kerja 12 jam atau lebih dan tidak
dimasukkan sebagai efek tambahan pada terapi SABA.
Folmetrol dan salmeterol merupakan LABA yang diberikan 2 kali
dalam sehari, dimana secara signifikan memperbaiki FEV1 dan volume paru,
sesak, laju eksaserbasi serta jumlah kejadian masuk rumah sakit, namun tidak
terdapat efek pada perbaikan mortalitas atau fungsi paru. Indacaterol atau
LABA yang dikonsumsi 1 kali sehari dapat memperbaiki sesak, status
kesehatan, dan laju eksaserbasi. Beberapa pasien dengan riwayat batuk akan
diikuti dengan pemberian indacaterol inhalasi. Oladaterol dan vilanterol
merupakan tambahan LABA yang dapat dikonsumsi 1 kali sehari dan dapat
memperbaiki gejala dan fungsi paru.
Stimulasi reseptor β2-adrenergik dapat memproduksi sinus takikardia
dan memiliki potensi untuk menjadi gangguan ritme jantung. Tremor dapat
dirasakan pada pasien tua dengan dosis tinggi. Apabila terapi dikombinasi
dengan diuretik thiazide, dapat menimbulkan hipokalemia dan peningkatan
konsumsi oksigen pada pasien gagal ginjal kronis, dimana terjadi efek
penurunan metabolik.
3) Antimuskarinik
Prinsip kerjanya dengan mem-blok efek bronkokonstriksi asetikolin pada
reseptor muskarinik M3 pada otot polos saluran pernafasan. Short-acting
antimuscarinic (SAMAS) seperti ipratropium dan oxitroprium juga mem-blok
reseptor neuronal M2, yang secara potensial dapat memicu bronkokonstriksi.
Long acting muscarinic antagonist (LAMAS) seperti tiotropium, aclidinium,
glycopyrronium bromide dan umeclidinium, mempunyai ikatan dengan reseptor
muskarinik M3 dengan disosiasi yang lebih cepat dibandingkan reseptor
muskarinik M2 yang memperpanjang durasi efek bronkodilator.
Ipratropiun sebagai muskarinik antagonis kerja pendek memiliki efek
yang kecil dibandingkan beta2-agonist kerja pendek dalam hal perbaikan fungsi
paru, status kesehatan dan kebutuhan terhadap oral steroid. Beberapa jenis
LAMAs seperti titropiun dan umeclidinium dikonsumsi 1 kali sehari, aclidinium
untuk 2 kali sehari, dan glycopyrronium, dimana beberapa negara memberikan 1
kali sehari dan negara lain memberikan 2 kali sehari. Pengobatan dengan
tiotripium dapat memperbaiki gejala dan status kesehatan, memperbaiki
efektivitas rehabilitasi paru dan mengurangi eksaserbasi terkait hospitalisasi.
Beberapa
4) Methylxanthine
Theophylline merupakan jenis methylxantine yang paling sering
digunakan, dimana dimetabolisme oleh cytochrome P450 dengan fungsi
oksidase. Efek yang ditimbulkan berupa peningkatan fungsi otot skeletal
respirasi. Penambahan theophylline dengan salmeterol memberikan efek
perbaikan pada FEV1 dan gejala sesak dibandingan hanya pemberian
salmeterol saja.
5) Kombinasi terapi bronkodilatator
Kombinasi bronkodilator SABAs dan SAMAs memberikan efek
perbaikan FEV1 dan gejala dibandingkan diberikan secara tunggal.
Pengobatan dengan formoterol dan tiotropium inhaler memberikan efek yang
lebih besar terhadap FEV1, memperbaiki fungsi paru dan status kesehatan
pada pasien PPOK. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian kombinasi
LABA/LAMA, memeberikan efek terhadap laju eksaserbasi. Kombinasi ini
juga dikatakan lebih baik dibandingkan kombinasi antara LABA dan ICS
(inhaled corticosteroid).
6) Anti inflamasi
• Inhaled corticosteroid (ICS)
Pada pasien PPOK, pengobatan dengan ICS menunjukkan respon yang
terbatas. Beberapa obat termasuk beta2-agonist, theophylline atau
macrolide dapat mempengaruhi sensitivitas kortikosteroid pada PPOK.
Pengobatan dengan ICS saja, tidak dapat memodifikasi penurunan FEV1.
Pada pasien dengan PPOK kategori sedang-berat, kombinasi ICS dengan
LABA lebih efektif dalam memperbaiki fungsi paru, status kesehatan dan
menurunkan eksaserbasi. Selain itu, pengobatan dengan LABA/ICS fixed
dose combination (FDC) memberikan efek yang signifikan dibandingkan
dengan LABA saja, pada pasien dengan eksaserbasi maksimal 1 kali
dalam setahun. Efek samping yang ditimbulkan yaitu, candidiasis mulut,
suara parau, kulit memar, dan pneumonia.
• Terapi inhaler triple
Terapi inhaler triple berupa penambahan LABA, LAMA, dan ICS,
dimana efek yang diberikan berupa perbaikan fungsi paru, pada risiko
eksaserbasi.
• Oral glukokortikoid
Efek yang diberikan berupa steroid miopati yang berhubungan dengan
kelemahan otot, penurunan fungsional, dan kegagalan pernapasan pada
pasien dengan PPOK berat. Sistemik glukokortikoid pada akut
eksaserbasi menunjukkan laju kegagalan terapi, laju kekambuhan, serta
memperbaiki fungsi paru dan sesak. Oral glukokortikoid memberikan
efek terapi pada akut eksaserbasi, namun tidak berperan pada kondisi
kronis karena memiliki komplikasi sistemik yang tinggi.
7) Antibiotik
Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik secara regular dapat
menurunkan laju eksaserbasi. Azithromycin (250 mg/hari atau 500 mg 3 kali
per minggu) atau eritromycin (500 mg 2 kali per hari) dalam satu tahun dapat
menurunkan risiko eksaserbasi. Azithromycin berhubungan dengan
peningkatan insiden resistensi bakteri dan gangguan pendengaran.
8) Mukolitik
Pada pasien PPOK yang tidak mendapatkan kortikosteroid inhaler, terapi
regular dengan mukolitik seperti carbocystein dan N-acetylcystein dapat
menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan.

Penatalaksanaan pada keadaan stabil


Penatalaksanaan pada keadaan eksaserbasi akut

2) Definisi, faktor risiko dan etiologi, penegakan diagnosis, dan tatalaksana


komprehensif Konfusio Akut
a. Definisi Konfusio Akut
Konfusio akut adalah suatu akibat gangguan menyeluruh fungsi kognitif yang
ditandai oleh memburuknya secara mendadak derajat kesadaran dan
terganggunya proses berfikir yang berakibat terjadinya disorientasi. Konfusio
akut atau disbeut juga delirium ini merupakan suatu sindrom yang ditandai
dengan gangguan kesadaran dan kognisi yang terjadi secara akut dan
berfluktuasi. Penyebabnya banyak dimana semuanya mengakibatkan pola dan
gejala yang serupa berkaitan dengan tingkat kesadaran dan gangguan kognitif
pasien.

b. Etiologi dan Faktor Risiko


Etilogi konfusio akut biasanya multifaktorial dalam banyak kasus
• Penyebab Intrakranial
A. Penyebab intraserebral:
1. Tumor
2. Ensefalopati hipertensi
3. Edema serebral
4. Perdarahan intrakranial
5. Kejang
6. Migrain
7. TIA
8. Ensefalopati radiasi, emoterapi
9. Infeksi – abses, meningitis, ensefalitis
10. Pasca kejang
11. Penyakit serebrovaskular, stroke
B. Akibat penurunan pasokan nutrisi serebral
1. Penyebab kardiovaskuler
Infark miokard, gagal jantung, aritmia, dan lainnya.
2. Penyebab respiratorik
Infeksi paru, PPOK, emboli paru, hipokisa, gangguan asam basa dan
lain-lain.
3. Iatrogenik dan lainnya
Obat hipotensi, obat hipoglikemi, perdarahan, dan lain-lain.
• Penyebab Esktrakranial
1. Penyebab Toksik
Infeksi, septikemia, toksemia, alkoholisme
2. Kegagalan Mekanisme Hemostatik
DM, Hipoglikemia, Gagal hati, Ganguan elektrolit, dan lain-lain
3. Endokrin
Kegagalan adrenal, abnormalitas tiroid atau paratiroid.
4. Hematologi
Anemia, leukemia, diskrasia
5. Renal
Gagal ginjal, uremia
6. Hepar
Gagal hepar, sirosis, hepatitis
7. Lain-lain
Defisiensi nutrisi, luka bakar, nyeri yang tidak dapat dikontrol, stroke
akibat panas tinggi, di tempat tinggi (>5000 meter)
• Penyebab Iatrogenik
Amantadine Anti-hipertensi

Obat anti-kolinergik Anti-parkinsonisme

Anti-konvulsan Atropin

Anti-depresan Analgesik kerja sentral

Anti-histamin Kortikosteroid

Digoksin Opiat

Hipoglikemik Sedatif

Isoniazid Penenang tranquilizer

Faktor Presdisposisi dan Presipitasi (Pencetus) Konfusio Akut


Delirium atau konfusio akut disebabkan kompleks yang saling mempengaruhi
diantara faktor predisposisi mungkin menjadi delirium dibanding yang tidak
memiliki faktor tersebut.

c. Penegakan Diagnosis
• Kriteria CAM (Confussion Assesment Methode)
Berdasarkan kriteria CAM, diagnosis konfusio akut ditegakkan bil aterdapat
kriteria 1 dan 2, serta salah satu dari kriteria 3 dan 4:
1. Awitan dan perjalanan yang berfluktuasi
Gambaran ini biasanya didapat dari anggota keluarga atau perawat dan
ditunjukkan dari jawaban positif atas pertanyaan :
“Apakah terdapat bukti perubahan akut dari status mental penderita
sebelumnya?”
“Apakah perilaku abnormal ini berfluktuasi sepanjang hari, yaitu hilang-
timbul atau derajat beratnya naik turun?”
2. Kurang / tak ada perhatian
Gambaran ini diperlihatkan dengan jawaban positif atas pertanyaan
berikut :
“Apakah penderita mengalami kesulitan untuk memfokuskan perhatian,
misalnya mudah sekali berubah perhatian atau sukar mengikuti apa yang
sedang dibicarakan?”
3. Pikiran yang kacau
Gambaran dari keadaan ini ditunjukkan dengan jawaban positif atas
pertanyan berikut :
“Apakah pikiran penderita kacau atau onkoheren, misalnya menggumam
atau bicarakan sesuatu tak relevan, tak jelas atau keluarkan pendapat yang
alurnya tak logis, atau beralih dari suatu subyek ke subyek lain tanpa bisa
diduga?”
4. Perubahan tingkat kesadaran
Gambaran ini ditunjukkan dng. setiap jawaban, kecuali “sadar penuh”
atas pertanyaan berikut :
“Secara keseluruhan, bagaimanakah saudara menilai derajat kesadaran
penderita?, sadar penuh (normal), letargik (mengantuk), tapi mudah
dibangunkan, stupor (sulit dibangunkan) atau koma (tak bisa
dibangunkan)?”

• Kriteria Diagnosis
Kriteria DSM-IV-TR untuk Delirium akibat kondisi medis umum:
a) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian.
b) Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak berkaitan dengan
demensia.
c) Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari.
d) Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan laboratorium
bahwa gangguan disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung dari
suatu kondisi medis umum.

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk delirium akibat intoksikasi zat:


a) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian.
b) Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak berkaitan dengan
demensia.
c) Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari.
d) Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium sebagai
berikut:
- Simptom A dan B terjadi selama intoksikasi zat atau penggunaan
medikasi
- intoksikasi zat adalah etiologi terkait dengan delirium

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk delirium akibat putus zat:


a) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian.
b) Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak berkaitan dengan
demensia.
c) Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari.
d) Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium sebagai
berikut:
Simptom A dan B terjadi selama atau segera setelah putus zat

Delirium Akibat Etiologi Beragam


Gejala delirium dimana deliriumnya lebih dari satu etiologi, misalnya lebih
dari satu etiologi, misalnya lebih sari satu konidisi medis umum, kondisi
medis umum + intoksikasi zat, atau efek samping obat.

• Pemeriksaan Fisik
1. Ditemukan gejala dan tanda dari kondisi umum yang melatarbelakangi
delilirum akibat kondisi medis umum.
2. Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan, tangan atau kaki.
3. Menemukan gejala intoksikasi, overdosis, putus zat, ataupun komplikasi
medik seperti hepatitis, endocarditis, bronkopneumonia, HIV/AIDS, dan
sebagainya.
4. Perhatikan terutama kesadaran, pernafasan, tensi, nadi, cara jalan, sclera
ikterik, conjunctiva anemis, perforasi septum nasi, karies gigi, aritmia
jantung, edema paru, pembesaran hepar, dan lain-lain.
• Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sangat penting untuk mendeteksi atau skrinning
penyakit dasar pada pasien geriatri, seperti:
1. Pemeriksaan neurologis, termasuk CT-Scan jika ada indikasi
2. Laboratorium: darah perifer lengkap, elektrolit, tes fungsi ginjal, glukosa
darah, tes fungsi hati, analisis gas darah, urinalisis
3. Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG dapat menunjukkan perlambatan aktivitas secara
umum dan berguna untuk membedakan konfusio akut dengan depresi
ataupun psikosis.
4. EKG dan Foto torax

d. Tatalaksana Konfusio Akut


Pasien geriatrik dengan delirium harus menjalani rawat inap atau intensif sesuai
latar belakang penyakitnya. Tatalaksana utama yang harus diberikan sesuai
dengan penyebab, penyakit dasar, atau komorbiditas yang ada.

Tatalaksana Nonfarmakologi
Tatalaksanan nonfarmakologis yang dapat diberikan adalah memberi dukungan
fisik, sensorik, dan lingkungan.
1. Tempatkan pasien di suasana yang nyaman dan kurangi distress: ruangan tetap,
tidak pindah-pindah, perabot yang familiar, penerangan yang cukup dan adekuat,
suasana tenang, minimalisir jumlah staf untuk menghindari kebingungan akan
orang baru, perbaiki orientasi ruang waktu (misalnya dengan menempatkan jam
dinding atau kalender, ruangan terang saat siang dan kurangi lampu saat malam),
sediakan alat bantu dengar dan lihat, keluarga menemani pasien dan sering
mengajak bicara untuk meningatkan orientasi.
2. Kaji status hidrasi dan perbaiki secara berkala
3. Hindari pengikatan tubuh karen adapat menyebabkan agresivitas, agitasi, dan
trauma.
4. Hindari penggunaan kateter urin.
5. Psikoterapi suportif yang memberikan perasaan aman dapat membantu pasien
menghadapi frustasi dan kebingungan akan kehilangan fungsi memorinya.
6. Edukasi kepada keluarga

Tatalaksana Farmakologi
Antipsikotika dapat dipertimbangkan bila ada tanda dan gejala psikosis, misalnya
halusinasi, waham atau sangat agitatif (verbal atau fisik) sehingga berisiko terlukanya
pasien atau orang lain.

3) Definisi, faktor risiko dan etiologi, penegakan diagnosis, dan tatalaksana


komprehensif Sepsis
a. Definisi Sepsis
Sepsis adalah respon inflamasi sistemik tubuh terhadap infeksi. Respon
inflamasi sistemik tersebut atau disebut juga systemic inflamatory response
syndrome (SIRS), terjadi akibat dari cedera klinis yang berat, misalnya trauma,
luka bakar, pankreatitis, infeksi, dan sebagainya. Oleh sebab itu, ,sepsis
ditegakkan bila curiga atau terbukti bakteremia pada pasien-pasien dengan
SIRS. Dalam perjalanannya, sepsis dapat menjadi sepsis berat, syok septik,
hingga menjadi multiple dysfunction syndrome (MODS).
Istilah Definisi

Systemic Minimal memenuhi 2 dari 4 kriteria berikut:


Inflamatory
1. Suhu tubuh >38°C atau <36°C;
Response
Syndrome 2. Frekuensi nadi >90 kali/menit
(SIRS)
3. Frekuensi napas >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg

4. Jumlah hitung leukosit >12.000/mm3, atau >4.000/mm3,


atau jumlah neutrofil batang > 10%

Sepsis SIRS dengan penemuan atau kecurigaan bakteremia.

Sepsis berat Sepsis dengan disfungsi organ, hipotensi, atau hipoperfusi.

Kriteria ini juga mencakup sepsis dengan:

1. Asidosis laktat;

2. Oliguria (keluaran urin <0,5 mL/KgBB/jam selama


>2 jam meski telah diberi resusitasi cairan secara
adekuat);

3. Acute lung injury (ALI) dengan PaO2/FiO2 <200


(bila tidak ada peneumonia), atau PaO2/FiO2 <250
(bila ada keterlibatan pneumonia).

4. Kreatinin serum >2,0 mg/dL

5. Bilirubin >2 mg/dL

6. Hitung trombosit <100.000/mm3


7. Koagulopati (INR > 1,5)

Syok septik Sepsis dengan kelainan hipotensi yang tidak membaik dengan
resusitasi cairan awal.

Multiple Adanya gangguan fungsi organ-organ tubuh secara akut


Organ sehingga homeotasis yang tidak dapat dipertahankan tanpa
Dysfuction investasi.
Syndrome
(MODS)

b. Etiologi dan Faktor Risiko Sepsis


Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat
disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur).
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah
Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies
Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya,
sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari
mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari
host terhadap infeksi.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi
yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut,
dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:
 Infeksi saluran nafas (pneumonia)
 Flu
 Appendisitis
 Peritonisitis
 Infeksi traktur urinarius (kandung kemih, uretra, atau ginjal)
 Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan karena infus atau karakter
telah dimasukan ke dalam tubuh melalui kulit
 Infeksi pasca operasi
 Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis
Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya populasi
dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat bertahan hidup lebih
lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di antara pasien-pasien AIDS,
terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid atau antibiotika), prosedur invasif
(misalnya pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis.

Faktor risiki sepsi meliputi:


 Usia
Insisdensi sepsis bertambah pada usia tua dan semakin bertambahnya usia,
resiko mortalitas akibat sepsis juga meningkat.
 Ras
Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit hitam dan
terendah di antara orang Asia.
 Penyakit komorbid
Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan tubuh (gagal
ginjal kronis, diabetes mellitus, HIV, penyalahgunaan alkohol) lebih umum
pada pasien sepsis non kulit putih, dan komorbiditas kumulatif dikaitkan
dengan disfungsi organ akut yang lebih berat.
 Genetik
Studi menunjukkan polimorfisme umum dalam gen untuk lipopolysaccharide
binding protein (LBP) dalam kombinasi dengan jenis kelamin laki-laki
berhubungan dengan peningkatan risiko untuk pengembangan sepsis.
 Terapi kortikosteroid
Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan kerentanan
terhadap berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi berhubungan dengan dosis
steroid dan durasi terapi. Meskipun bakteri piogenik merupakan patogen yang
paling umum, penggunaan steroid kronis meningkatkan risiko infeksi dengan
patogen intraseluler seperti Listeria, jamur, virus herpes, dan parasit tertentu.
Gejala klinis yang dihasilkan dari sebuah respon host sistemik terhadap
infeksi mengakibatkan sepsis.
 Kemoterapi
Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat membedakan
antara sel-sel kanker dan jenis sel lain yang tumbuh cepat, seperti sel-sel
darah, sel-sel kulit. Orang yang menerima kemoterapi beresiko untuk terkena
infeksi ketika jumlah sel darah putih mereka rendah. Sel darah putih adalah
pertahanan utama tubuh terhadap infeksi. Kondisi ini, yang disebut
neutropenia, adalah umum setelah menerima kemoterapi.
 Obesitas
Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien
dengan sepsis akut.

c. Penegakan Diagnosis Sepsis


Kriteria Diagnosis Sepsis 2001

Berdasarkan Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic


Shock guidelines (Sepsis-3) 2016, untuk mengidentifikasi pasien yang mungkin
mengalami sepsis atau syok sepsis, kriteria qSOFA (termausk status mental,
darah sistolik tekanan, dan laju pernafasan) harus dipantau pada pasien dengan
kecurigaan infeksi atau terbukti dari dokumentasi mengalami sepsis. Sekali
pasien memenuhi setidaknya 2 kriteria qSOFA, harus dinilai menggunakan skor
SOFA pada tabel di bawah ini. Peningkatan skor SOFA 2 atau lebih berkorelasi
dengan tingkat kematian 10%.
d. Tatalaksana Sepsis

4) Definisi, faktor risiko dan etiologi, penegakan diagnosis, dan tatalaksana


komprehensif Inkontinensia Urin
a. Definisi Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin adalah keluarnya urin secara tidak terkendali
sehingga dapat menimbulkan masalah fisik (jatuh, decubitus akibat kulit
lembab) dan psikososial (hygiene, isolasi sosial, depresi), serta mengakibatkan
penurunan kualitas hidup. Inkontinensia urin sering ditemukan pada pasien
geriatrik, namun usia lanjut bukanlah penyebab inkontinensia urin.
Inkontinensia urin terdapat bersifat akut atau persisten, inkontinensia urin
yang bersifat akut dapat diobati bila penyakit atau masalah yang mendasar
diatasi masalahnya infeksi saluran kemih, obat–obatan, gangguan kesadaran,
vaginitis atrofik dan masalah psikologik Inkontinensia urin yang persisten
biasanya dapat dikurangi dengan berbagai terapi modalitas.

Klasifikasi inkontinensia urin dibagi menjadi 2, yaitu:


1) Inkontinensia urin akut (Transient incontinence)
Inkontinensia urin ini merupakan terjadi secara mendadak, terjadi kurang
dari 6 bulan dan biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau masalah
iatrogenik menghilang jika kondisi akut teratasi.
2) Inkontinensia urin kronik atau persisten
Inkontinensia urin tidak berkaitan dengan kondisi akut dan berlangsung
dengan lama (lebih dari 6 bulan) ada 2 penyebab, yaitu: menurunnya
kapasitas kandung kemih akibat hiperaktif dan karena kegagalan
pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot detrusor.
Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan lagi menjadi 4 tipe (stress, urge,
overflow , fungsional). Berikut ini adalah penjelasan masing-masing tipe
inkontinensia urin kronik atau persisten:
a) Inkontinensia Urin Tipe Stress
Inkontinensia urin terjadi apabila urin dengan secara tidak terkontrol
keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot dasar
panggul, operasi dan penurunan estrogen. Pada gejalanya antara lain
kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal yang
lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat
dilakukan dengan tanpa operasi (misalnya dengan Kegel exercise, dan
beberapa jenis obat-obatan), maupun dengan operasi.
b) Inkontinensia Urin Tipe Urgensi
Timbulnya pada keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil,
di mana otot ini bereaksi secara berlebihan Inkontinensia urin dapat
ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi
berkemih muncul manifestasinya dapat merupa perasaan ingin kencing
yang mendadak (urge), kencing berulang kali (frekuensi) dan kencing di
malam hari (nokturia).
c) Inkontinensia Urin Tipe Overflow
Pada keadaan ini urin mengalir keluar dengan akibat isinya yang sudah
terlalu banyak di dalam kandung kemih, pada umumnya akibat otot
detrusor kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini bisa dijumpai pada
gangguan saraf akibat dari penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang
belakang, dan saluran kencing yang tersumbut. Gejalanya berupa rasanya
tidak puas setelah kencing (merasa urin masih tersisa di dalam kandung
kemih), urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah.
d) Inkontinensia Urin Tipe Fungsional
Dapat terjadi akibat penurunan yang berat dari fungsi fisik dan kognitif
sehingga pasien tidak dapat mencapai ketoilet pada saat yang tepat. Hal
ini terjadi pada demensia berat, gangguan neurologik, gangguan mobilitas
dan psikologik.

b. Etiologi dan faktor risiko Inkontinensia Urin


Secara umum dengan penyebab inkontinensia urin merupakan kelainan
urologis, neurologis dan fungsional. Kalainan urologis pada inkontinensia urin
dapat disebabkan karena adanya tumor, batu, atau radang. Kelainan neurologis
sebagai kerusakan pada pusat miksi di pons, antara pons atau sakral medula
spinalis, serta radiks S2-S4 akan terjadi menimbulkan gangguan dari fungsi
kandung kemih dan hilang sensibilitas kandung kemih.
Sering dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi atau
fungsi organ kemih, antara lain disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul,
kebiasaan mengejan yang salah atau karena penurunan estrogen. Kelemahan otot
dasar panggul yang dapat terjadi karena kehamilan, setelah melahirkan,
kegemukan, menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Dengan
penambahan berat badan dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan dengan lamanya sembilan bulan.
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul menjadikan rusak
akibat regangan otot atau jaringan penunjang serta robekan pada jalan lahir,
sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensi urin. Saat kadar
hormon estrogen pada wanita menurun di usia menopause (50 tahun ke atas),
akan terjadi penurunan tonus otot vagina atau otot pintu saluran kemih (uretra),
sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urin. Faktor risiko yang lain
sebagai obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga
dapat berisiko mengakibatkan inkontinensia urin. Semakin lanjut usia seseorang
semakin besar kemungkinan dapat mengalami Inkontinensia urin, karena terjadi
pada perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul ini
mengakibatkan seseorang yang tidak dapat menahan air seni. Selain itu adalah
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun
kandung kemih yang baru terisi sedikit sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Resiko inkontinensia urin sangat meningkat pada wanita dengan nilai indeks
massa tubuh yang lebih besar.
Dengan pembesaran kelenjar prostat pada pria merupakan penyebab yang
paling umum terjadinya obstruksi aliran urine dari kandung kemih. Kondisi ini
menyebabkan kejadian inkontinensia urin karena adanya mekanisme overflow.
Namun, inkontinensia ini dapat juga disebabkan oleh karena obstruksi yang
berakibat konstipasi dan juga adanya massa maligna dalam pelvis dialami oleh
pria atau wanita. Akibat dari obstruksi, tonus kandung kemih akan menghilang
sehingga disebutkan kandung kemih atonik. Kandung kemih yang kondisinya
penuh gagal berkontraksi, akan tetapi kemudian menyebabkan overflow,
sehingga dapat terjadi inkontinensia. Baik secara langsung maupun secara tidak
langsung, merokok juga sebagai akibat pada terjadinya inkontinensia urin,
Merokok dapat meningkatkan risiko terkena inkontinensia urin disebab karena
merokok itu dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif karena efek nikotin
pada dinding kandung kemih, konsumsi kafein dan alkohol juga terjadi
meningkatkan risiko inkontinensia urin karena keduanya bersifat diuretik, yang
menyebabkan kandung kemih terisi dengan memicu dan cepat keinginan untuk
sering buang air kecil.

c. Penegakan Diagnonis Inkontinensia Urin


Anamnesis
Diagnosis inkontinensia urin ini dilakukan lewat observasu langsung serta
pertanyaan penapis. Pada pertanyaan penapis ditanyakan riwayat obstetric,
ginekologik, dan gejala utama gangguan berkemih. International Consultation
on Incontinence Questionnaire Short Form (ICIQ-SF) dan The Three
Incontinence Questions (3IQ) merupakan salah satu contoh alat ukur yang berisi
pertanyaan penapis diagnosisi urin. ICIQ-SF merupakan instrumen yang telah
diterima setelah perkembangan dari beberapa seri kuesioner yang dapat
diaplikasikan pada pasien dengan inkontinensia. Pertanyaan pada kuesioner,
ICIQSF telah secara penuh tervalidasi. ICIQ-SF ini menggambarkan usaha untuk
menangkap dan merefleksikan pandangan pasien, serta disusun untuk
mengevaluasi kondisi pasien secara tepat.
Sedangkan tipe inkontinensia urin dapat diketahui dengan menggunakan 3IQ.
Alat ukur 3IQ ini terdiri dari tiga pertanyaan dengan pilihan jawaban dimana dari
masing-masing pilihan jawaban tersebut merupakan petunjuk dari gejala tipe
inkontinensia urin yang terjadi. Dari pemeriksaan dengan menggunakan
kuesioner diagnosis inkontinesia urin kita dapat menentukan jenis inkontinensia.
Instrument pengukuran inkontinensia lainnya adalah Sandvix Severity Index
(SSI ). Sandvix Severity Index (SSI ) merupakan alat un tuk mengukur derajat
Inkontinensia urin dengan menggunakan skala SSI. SSI terdiri dari dua
pertanyaan dengan hasil penilaian itu sehubungan dengan Inkontinensia urin
yang terjadi dapatkan dengan mengalikan skor jawaban dan pertanyaan pertama
dengan skor pertanyaan kedua. Hasil pengelompkanya sebagai berikut.
0 Tidak mengalami inkontinensia

1- 2 Inkontinensia ringan

3-6 Inkontinensia sedang

7–9 Inkontinensia berat

12 Inkontinensia sangat berat

Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan otot dasar panggul
• Pemeriksaan vagina
• Pemeriksaan rectal
• Pemeriksaan neurologi
• Valsava pada saat buli penuh untuk menguji kekuatan sfingter

Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan urinalisis (urin lengkap dan kultur)
 Volume post void residu (PVR)
 Kadar gula darah
 Kalsium darah dan urin
 Perineometri
 Studi urodinamik

d. Tatalaksana Inkontinensia Urin


1. Inkontinensia Urin Tipe Urgensi
Tatalaksana non famakologis: latihan otot dasar panggul, bladder training,
schedule toileting (berkemih tiap 2-4 jam)
Tatalaksana farmakologis : obat-obat antimuskarinik/kolinergik seperti
pada tabel

2. Inkontinensia Urin Tipe Stres


Tatalaksana non famakologis: latihan otot dasar panggul, bladder training.
Tatalaksana farmakologis : obat agonis alpha (namun penggunaannya
harus hati-hati pada usia lanjut
3. Inkontinensia Urin Tipe Overflow
Tatalaksana non famakologis:
Hilangkan sumbatan yang ada, kateterisasi intermitten atau menetap, serta
bladder training. Bladder training adalah terapi yang memperpanjang
interval berkemih yang normal dengan teknik relaksasi atau distraksi
sehingga frekuensinya menjadi 3-4 jam sekali. Pasien diajarkan untuk
berkemih dengan interval yang bertahap, mulai dari setiap jam hingga 2-3
jam.
4. Inkontinensia Urin Tipe Fungsional
Tatalaksana non famakologis: manipulasi lingkungan, intervensi perilaku, dan
penggunaan popok.
Berikut beberapa pilihan terapi inkontinensia urin pada lansia:
5) Definisi, faktor risiko dan etiologi, penegakan diagnosis, dan tatalaksana
komprehensif Inkontinensia Alvi
6) Resiko Kelainan Tulang dan Patah Tulang pada Lansia

7. Daftar pustaka
1) Permatasari, Cintia Y. 2016. Studi Penggunaan Kortikosteroid pada Pasien Penyakit
Paru Obstruksi Kronis (PPOK) di RSUD DR. Soetomo Surabaya. Skripsi Fakultas
Farmasi Universitas Airlangga. Surabaya.
2) Lindayani, Luh P. Tedjomartono, Theodore D. Studi Kasus Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK). 2017. Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. Bali.
3) Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
4) GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention: A Guide for
Healthcare Professionals. 2017 ed. Sydney: Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease Inc.; 2017.
5) Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Tim Kelompok Kerja PPOK; 2004.
6) Reilly J, Silverman EK, Shapiro SD. Chronic obstructive pulmonary disease. In: Longo
D, Fauci AS, Kasper D, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison's principles of internal
medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 2011. pp. 2151–2159.
7)
8) Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk teknis penerapan pendekatan praktis kesehatan
paru di Indonesia. Jakarta: Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan; 2015.
9) KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.02.02/MENKES/73/2015 TENTANG PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN
KEDOKTERAN JIWA

Anda mungkin juga menyukai