Anda di halaman 1dari 49

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DENGAN GANGGUAN

NYERI AKUT PADA PASIEN NY R DENGAN FRAKTUR TERBUKA TIBIA


FIBULA PEDIS SINISTRA DI RS GRIYA MEDIKA DOMPET DHUAFA

Oleh :
Kelompok 2

1. Ni Made indah mahayanti 6. Hendro prasetyo


2. Hartono 7. Suherlin
3. Putu eka yuliawan 8. Diah kurnia febrianto
4. Ketut siswanti 9. Ahmad sidiq
5. Joni budi santoso

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PRINGSEWU LAMPUNG
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fraktur disebut sebagai penyebab kematian nomor tiga di Indonesia setelah

penyakit jantung coroner dan tuberculosis. Fraktur biasanya disebabkan oleh kecelakaan,

kelemahan tulang yang abnormal atau tekanan tulang berulang (Noorisa et al., 2017).

Insiden fraktur di dunia semakin meningkat, menurut Badan kesehatan dunia World

Health of Organization (WHO) tahun 2020 menyatakan bahwa insiden fraktur semakin

meningkat mencatat terjadi fraktur kurang lebih 13 juta orang dengan angka prevalensi

sebesar 2,7%. Fraktur pada tahun 2019 terjadi kurang lebih 15 juta orang dengan angka

prevalensi 3,2% dan pada tahun 2018 kasus fraktur menjadi 21 juta orang dengan angka

prevalensi 3,8% akibat kecelakaan lalu lintas. Fraktur pada tahun 2017 terdapat kurang

lebih 20 juta orang dengan angka prevalensi 4,2% ( Mardiono dkk, 2018).

Indonesia merupakan negara berkembang yang tentunya akan mempengaruhi

peningkatan mobilisasi masyarakat terutama dalam bidang penggunaan alat

transportasi/kendaraan bermotor, kususnya bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan

sehingga menambah arus lalulintas. Arus lalu lintas yang tidak teratur dapat meningkatkan

kecendrungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor (Depkes RI 2013). Di Indonesia

terjadinya kasus fraktur banyak disebabkan oleh cedera antara lain karena jatuh,

kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam atau tumpul. Dari 45.987 peristiwa terjatuh

yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (58%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu

lintas yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (25,9%), dan dari 14.125 trauma

benda tumpul yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (20,6%) (Depkes RI, 2013).
Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Lampung mencatat jumlah kecelakaan lalu

lintas pada 2021 di Lampung berjumlah 1.553 kejadian yaitu 588 orang meninggal dunia,

705 orang luka berat, dan 1.432 orang luka ringan. Pada tahun 2020 jumlah kecelakaan

lalu lintas mencapai 1.666 kejadian, dengan korban meninggal dunia 602 orang, 820 orang

luka berat, serta 1.477 orang luka ringan (JPNN, 2021).

Ada beberapa dampak yang akan terjadi apabila fraktur tidak mendapatkan

penanganan secara tepat yaitu syok yang terjadi karena kehilangan banyak darah,

kerusakan arteri, sindrom kompertemen, infeksi, dan dan sindrom emboli lemak.

(Smeltzer & Bare, 2013). Oleh karena itu dibutuhkan penangan yang tepat pada kasus

fraktur. Penanganan terhadap fraktur dapat dengan pembedahan atau tanpa pembedahan

(Smeltzer & Bare, 2013). Hampir semua pembedahan mengakibatkan rasa nyeri. Nyeri

merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari

kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. (Brunner & Suddart, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh (Shinta Aprillia, 2019) dengan judul “Asuhan

Keperawatan Pada Pasien Dengan Fraktur Tibia Fibula di Ruangan Trauma Center RSUP

dr M.Djamil Padang didapatkan Hasil penelitian yang yang diperoleh dari partisipan

menunjukkan adanya tanda dan gejala seperti nyeri. Diagnosa yang diangkat adalah nyeri

akut, gangguan mobilitas fisik, dan kerusakan integritas jaringan. Penelitian yang

dilakukan oleh (Fajar Ratulangi, 2019) dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien

Tn.T Dengan Fraktur Tibia Fibula Di Ruang Ambun Suri Lantai 1 RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi Tahun 2019”. Dari hasil penelitian didapatkan diagnose keperawatan

Gangguan Mobilitas Fisik, rencana keperawatan adalah pasang bidai pada posisi tubuh

seperti saat di temukan.Implementasi yang di lakukan adalah pemasangan bidai pada


posisi tubuh seperti saat di temukan. Penelitian yang dilakukan oleh Noor Faidah, 2022,

Pengaruh Pemasangan Bidai Dengan Tingkat Nyeri Pada Pasien Fraktur IGD RSUD Dr.

Loekmono Hadi Kudus, Hasil uji Wilcoxon test menunjuukan bahwa terdapat pengaruh

yang signifikan terhadap tingkat nyeri responden sebelum dan setelah dilakukan

pembidaian pada luka fraktur dengan nilai signifikasi (p=0,000).

Data dari rekam medis Rs Griya Medika Dompet Dhuafa di dapatkan angka

kejadian fraktur terutama yang disebabkan kecelakaan lalu lintas dari tahun ketahun

mengalami peningkatan, pada tahun 2022 terdapat 40 orang, pada tahun 2023 terdapat 60

orang. Dari prasurvey yang dilakukan dibulan Agustus-September 2023, didapatkan dari

10 klien yang mengalami fraktur, semua klien mengalami nyeri akut karena fraktur.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian masalah dalam latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut “Bagaimana Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Dengan

Gangguan Nyeri Akut Pada Pasien Ny R Dengan Fraktur Terbuka Tibia Fibula Pedis

Sinistra Di Rs Griya Medika Dompet Dhuafa Tahun 2023.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Peneliti dapat memberikan gambaran penerapan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Ny

R Dengan Fraktur Terbuka Tibia Fibula Pedis Sinistra Di Rs Griya Medika Dompet

Dhuafa Lampung Tengah Tahun 2023.

2. Tujuan Khusus

Melalui Asuhan Keperawatan ini diharapkan peneliti mampu :


a. Peneliti mampu melakukan pengkajian pada Pasien Ny R Dengan Fraktur

Terbuka Tibia Fibula Pedis Sinistra Di Rs Griya Medika Dompet Dhuafa Tahun

2023.

b. Peneliti mampu menegakan diagnosa keperawatan Pasien Ny R Dengan Fraktur

Terbuka Tibia Fibula Pedis Sinistra Di Rs Griya Medika Dompet Dhuafa Tahun

2023.

c. Peneliti mampu menyusun rencana tindakan keperawatan Pasien Ny R Dengan

Fraktur Terbuka Tibia Fibula Pedis Sinistra Di Rs Griya Medika Dompet Dhuafa

Tahun 2023.

d. Peneliti mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan Pasien Ny R Dengan Fraktur

Terbuka Tibia Fibula Pedis Sinistra Di Rs Griya Medika Dompet Dhuafa Tahun

2023.

e. Peneliti mempu memberikan evaluasi Asuhan Keperawatan Pasien Ny R Dengan

Fraktur Terbuka Tibia Fibula Pedis Sinistra Di Rs Griya Medika Dompet Dhuafa

Tahun 2023.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Fraktur

Fraktur merupakan suatu keadaan terputusnya kontinuitas tulang dan

ditentukan sesuai jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang

lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. Fraktur biasanya sering disebabkan

karena trauma, tetapi bisa juga disebabkan karena fraktur patologik pada tulang

yang sakit hanya oleh renggangan otot ringan pada aktivitas sehari-hari (Abidin &

Aceh, 2022).

Fraktur atau patah tulang merupakan gangguan penuh atau sebagian pada

kontinuitas struktur tulang. Fraktur terjadi dikarenakan hantaman langsung

sehingga sumber tekanan lebih besar dari pada yang bisa diserap, ketika tulang

mengalami fraktur maka struktur sekitarnya akan ikut terganggu (Widianti, 2020).

B. Etiologi

Etiologi dari fraktur menurut price dan wilson ada 3 yaitu :

a. Cedera atau benturan.

b. Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah

oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.

c. Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang-orang yang baru saja

menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru diterima dalam angkatan

bersenjata atau orang-orang yang baru mulai latihan lari.


Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur :

a. Faktor ekstrinsik yaitu meliputi kecepatan dan durasi trauma yang

mengenai tulang, arah serta kekuatan tulang.

b. Faktor instrinsik yaitu meliputi kapasitas tulang mengabsorpsi energi

trauma, kelenturan, densitas, serta kekuatan tulang (Dr. Ninik

Nurhidayah, S.Pd.,S.ST., 2022)

C. Patofisiologi

Keparahan akan bergantung pada gaya yang mengakibatkan fraktur. Apabila

ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, kemungkinan tulang hanya

retak saja. Sedangkan apabila gayanya sangat ekstrim misalnya seperti tabrakan

kendaraan, kemungkinan tulang akan patah berkeping-keping. Saat terjadi fraktur

otot yang melekat pada ujung tulang mampu terganggu. Otot akan mengalami

spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Selain itu priosteum dan

pembuluh darah yang terdapat pada korteks dan sumsum tulang yang patah akan

terganggu sehingga mengakibatkan cedera jaringan lunak dan terjadi perdarahan.

Pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang

dibawah periosteum. Jaringan sekitar tulang lokasi fraktur akan mati dan

membentuk respon peradangan hebat yang menyebabkan vasodilatasi, edema,

kehilangan fungsi, nyeri, eksudasi plasma dan leukosit (Indrawan, R. D., &

Hikmawati, 2021).
Klasifikasi

Menurut Sulistyaningsih (2016), berdasarkan ada tidaknya hubungan antar

tulang dibagi menjadi :

1) Fraktur Terbuka

Fraktur terbuka adalah patah tulang yang menembus kulit dan

memungkinkan adanya hubungan dengan dunia luar serta menjadikan

adanya kemungkinan untuk masuknya kuman atau bakteri ke dalam luka.

Menurut Gustillo dan Anderson (2015), berdasarkan tingkat keparahannya

fraktur terbuka dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar yaitu:

a) Derajat I

Kulit terbuka <1cm, biasanya dari dalam ke luar, memar otot yang

ringan disebabkan oleh energi rendah atau fraktur dengan luka terbuka

menyerong pendek.

b) Derajat II

Kulit terbuka >1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang luas,

komponen penghancuran minimal sampai sedang, fraktur dengan luka

terbuka melintang sederhana dengan pemecahan minimal.

c) Derajat III
Kerusakan jaringan lunak yang lebih luas, termasuk otot, kulit, dan

struktur neurovaskuler, cidera yang disebabkan oleh energi tinggi

dengan kehancuran komponen tulang yang parah.

(1) Derajat IIIA

Laserasi jaringan lunak yang luas, cakupan tulang yang memadai,

fraktur segmental, pengupasan periosteal minimal.

(2) Derajat IIIB

Cidera jaringan lunak yang luas dengan pengelupasan periosteal dan

paparan tulang yang membutuhkan penutupan aringan lunak;

biasanya berhubungan dengan kontaminasi masif.

(3) Derajat IIIC

Cidera vaskular yang membutuhkan perbaikan (Kenneth etal.,

2015).

2) Fraktur Tertutup

Fraktur tertutup adalah patah tulang yang tidak mengakibatkan robeknya

kulit sehingga tidak ada kontak dengan dunia luar. Fraktur tertutup

diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakan jaringan lunak dan

mekanisme cidera tidak langsung dan cidera langsung antara lain:

a) Derajat 0

Cidera akibat kekuatan yang tidak langsung dengan kerusakan jaringan

lunak yang tidak begitu berarti.

b) Derajat 1
Fraktur tertutup yang disebabkan oleh mekanisme energi rendah

sampai sedang dengan abrasi superfisial atau memar pada jaringan

lunak di permukaan situs fraktur.

c) Derajat 2

Fraktur tertutup dengan memar yang signifikan pada otot, yang

mungkin dalam, kulit lecet terkontaminasi yang berkaitan dengan

mekanisme energi sedang hingga berat dan cidera tulang, sangat

beresiko terkena sindrom kompartemen.

d) Derajat 3

Kerusakan jaringan lunak yang luas atau avulsi subkutan dan gangguan

arteri atau terbentuk sindrom kompartemen (Kenneth et

al., 2015).

Menurut Purwanto (2016) berdasarkan garis frakturnya dibagi menjadi :

1) Fraktur Komplet

Yaitu fraktur dimana terjadi patahan diseluruh penampang tulang biasanya

disertai dengan perpindahan posisi tulang.

2) Fraktur Inkomplet

Yaitu fraktur yang terjadi hanya pada sebagian dari garis tengah tulang.

3) Fraktur Transversal

Yaitu fraktur yang terjadi sepanjang garis lurus tengah tulang.

4) Fraktur Oblig
Yaitu fraktur yang membentuk garis sudut dengan garis tengah tulang.

5) Fraktur Spiral

Yaitu garis fraktur yang memuntir seputar batang tulang sehingga

menciptakan pola spiral.

6) Fraktur Kompresi

Terjadi adanya tekanan tulang pada satu sisi bisa disebabkan tekanan, gaya

aksial langsung diterapkan diatas sisi fraktur.

7) Fraktur Kominutif

Yaitu apabila terdapat beberapa patahan tulang sampai menghancurkan

tulang menjadi tiga atau lebih bagian.

8) Fraktur Impaksi

Yaitu fraktur dengan salah satu irisan ke ujung atau ke fragmen retak.

D. Manifestasi klinik

Manifestasi klinis fraktur antara lain:

a. Nyeri

Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen diimmobilisasi.

Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang

dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

b. Deformitas dan kehilangan fungsi

Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan cenderung

bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti

normalnya. Pergeseran fragmen pada frakturlengan atau tungkai menyebabkan


deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas, yang bisa diketahui dengan

membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi

dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada intregitas tulang

tempat melengketnya otot.

c. Pemendekan tulang

Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena

kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering

saling melingkupi satu sama lain antara 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).

d. Krepitus

Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang

dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan

lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih

berat.

e. Edema

Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat

trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi

setelah beberapa jam atau hari setelah cedera. Tidak semua tanda dan gejala

tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur

linear, fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama

lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan

sinar-x pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah

tersebut (Latifa, 2018).

E. Komplikasi
Komplikasi awal:

a. Syok : dapat berakibat fatal dalam beberapa jam setelah edema

b. Emboli lemak : dapat terjadi 24-72 jam

c. Sindrom kompartemen : perfusi jaringan dalam otot kurang dari kebutuhan

d. Infeksi dan tromboemboli

e. Koagulopati intravaskular diseminata

Komplikasi lanjutan :

a. Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya

b. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan

kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.

c. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali (Hadi purwanto, 2018)

F. Penatalaksanaan

Empat konsep dasar penanganan fraktur yaitu :

a. Rekognisi

Yaitu menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kecelakaan dan selanjutnya di

rumah sakit dengan melakukan pengkajian terhadap riwayat kecelakaan,

derajat keparahan, jenis kekuatan yang berperan pada peristia yang terjadi,

serta menentukan kemungkinan adanya fraktur melalui pemeriksaan dan

keluhan dari klien.

b. Reduksi fraktur (mengembalikan posisi tulang ke posisi anatomis)

1) Reduksi terbuka
Dengan pembedahan, memasang alat fiksasi interna (misal, pen, kawat,

sekrup, plat, paku, dan batangan logam).

2) Reduksi tertutup

Ekstremitas dipertahankan dengan gips, traksi, brace, bidai, dan fiksator

eksterna.

c. Imobilisasi Setelah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau

dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sehingga terjadi

penyatuan. Metode imobilisasi dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna.

d. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi :

1) Mempertahankan reduksi dan imobilisasi.

2) Meninggikan daerah fraktur untuk meminimalkan bengkak.

3) Memantau status neuromuskular.

4) Mengontrol kecemasan dan nyeri.

5) Latihan isometrik dan setting otot.

6) Kembali ke aktivitas semula secara bertahap (Suratun. SKM, 2018)

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi

semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah

tulang atau imobilisasi (Sjamsuhidayat & Jong, 2015). Penatalaksanaan yang dilakukan

adalah :

1) Fraktur Terbuka

Fraktur terbuka adalah kasus emergency karena dapat terjadi kontaminasi oleh

bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden
period). Kuman belum terlalu jauh dilakukan : pembersihan luka, exici,

heacting situasi, antibiotic. Ada beberapa prinsipnya yaitu :

a) Harus ditegakkan dan ditangani terlebih dahulu akibat trauma yang

membahayakan jiwa airway, breathing dan circulation.

b) Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang memerlukan

penanganan segera yang meliputi pembidaian, menghentikan perdarahan

dengan bidai, menghentikan perdarahan besar dengan klem.

c) Life saving.

Semua penderita patah tulang terbuka diingat sebagai penderita dengan

kemungkinan besar mengalami cidera ditempat lain yangserius. Hal ini perlu

ditekankan bahwa terjadinya patah tulangdiperlukan gaya yang cukup kuat

yang sering kali dapat berakibat total dan berakibat multi organ. Untuk life

saving prinsip dasar yaitu : airway, breathing, and circulation.

d) Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat

Dengan terbukanya barrier jaringan lunak maka patah tulang tersebut

terancam untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam

sejak patah tulang terbuka luka yang terjadi masih dalam stadium

kontaminasi (golden period) dan setelah waktu tersebut luka berubah

menjadi luka infeksi. Oleh karena itu penanganan patah tulang terbuka harus

dilakukan sebelum golde periode terlampaui agar sasaran terakhir

penanganan patah tulang terbuka tercapai walaupun ditinjau dari segi

prioritas penanganannya. Tulang secara primer menempati urutan prioritas


ke 6. Sasaran akhir ini adalah mencegah sepsis, penyembuhan tulang, dan

pulihnya fungsi.

e) Pemberian Antibiotik

Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat bervariasi

tergantung dimana patah tulang itu terjadi. Pemberian antibiotik yang tepat

sukar untuk ditentukan hanya saja sebagai pemikiran sadar. Sebaliknya

antibiotika dengan spectrum luas untuk kuman gram positif maupun negatif.

f) Debridemen dan Irigasi

Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada daerah patah

terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal yang mati. Irigasi

untuk mengurangi kepadatan kuman dengancara mencuci luka dengan

larutan fisiologis dalam jumlahbanyak baik dengan tekanan maupun tanpa

tekanan.

g) Stabilisasi

Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan stabilisasi fragmen

tulang, cara stabulisasi tulang tergantung derajat patah tulang terbukanya dan

fasilitas yang ada. Pada derajat 1 dan 2 dapat dipertimbangkan pemasangan

fiksasi dalam secara primer, untuk derajat 3 dianjurkan fiksasi luar.

2) Fraktur tertutup

Penatalaksanaan fraktur tertutup yaitu dengan pembedahan, perlu diperhatikan

karena memerlukan asuhan keperawatan yang komprehensif perioperatif yaitu

Reduksi tertutup dengan memberikan traksi secara lanjut dan counter traksi

yaitu memanipulasi serta imobilisasi eksternal dengan menggunakan gips.


Reduksi tertutup yaitu dengan memberikan fiksasi eksternal atau fiksasi

perkuatan dengan K-wire.

G. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien dengan fraktur adalah:

a. Pemeriksaan rontgen dengan tujuan untuk menentukan lokasi / luasnya

fraktur /trauma.

b. Scan tulang (fomogram, scan CT / MRI) untuk memperlihatkan fraktur dan

juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.

c. Arteriogram, dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai. Hitung darah

lengkap HT mungkin meningkat (hemo konsentrasi) atau menurun (pendarahan

bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple) Hb, leukosit,

LED, golongan darah dan lain-lain (Aditya Asrizal, 2018).

H. Pathway

Pathway Fraktur (Indrawan, R. D., & Hikmawati, 2021).

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi Patologis

Resiko tinggi infeksi Fraktur

Pergeseran fragmen
tulanng

Diskontinuitas tulang Timbul Respon Stimulus Nyeri Tindakan ORIF


I. Konsep Asuhan keperawatan

1. Pengkajian Keperawatan

a. Identitas pasien

Meliputi: nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, bangsa, pendidikan,

pekerjaan tanggal MRS, diagnose medis, nomor registrasi

b. Keluhan utama

Keluhan utama pada masalah fraktur yaitu nyeri. Nyeri akut atau kronik

tergantung berapa lamanya serangan. Unit memperoleh data pengkajian

yang lengkap mengenai data pasien digunakan :

1) P (provokatif atau paliatif)

Merupakan faktor yang memperparah atau meringankan nyeri.

2) Quality of pain. Bagaimana rasanya nyeri saat dirasakan pasien.

Apakah panas, berdenyut / menusuk.

3) Region Radiation of pain

Apakah sakit bisa reda dalam sekejap, apa terasa sakit menular, dan

dimana posisi sakitnya.

4) Severity/scale of pain

Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien berdasarkan skala

nyeri.

5) Time

Berapakah waktu nyeri berlangsung, apa bertambah buruk pada

waktu malam hari atau pagi hari.


c. Riwayat penyakit sekarang

Sejak kapan timbul keluhan, apakah ada riwayat trauma. Hal-hal yang

menimbulkan gejala. Timbulnya gejala mendadak atau perlahan serta

timbul untuk pertama kalinya atau berulang. Perlu ditanyakan pula

tentang ada tidaknya

gangguan pada sistem lainnya. Pada pasien patah tulang disebabkan

karena trauma/kecelakaan, dapat secara degenerative/patologis yang

disebabkan awalnya perdarahan, kerusakan jaringan di sekitar tulang yang

mengakibatkan nyeri, bengkak, pucat,perubahan warna kulit dan terasa

kesemutan.

d. Riwayat penyakit dahulu

Data ini meliputi kondisi kesehatan individu. Data tentang adanya efek

langsung atau tidak langsung terhadap muskuloskeletal, misal riwayat

trauma/kerusakan tulang rawan. Riwayat arthritis, osteomielitis. Riwayat

pengobatan berikut efek sampingnya, misal kortikosteroid dapat

menimbulkan kelemahan otot.

e. Pola fungsi kesehatan

1) Pola persepsi hidup sehat

Klien fraktur apakah ada mengalami perubahan atau gangguan pada

personal hygiene atau mandi.

2) Pola nutrisi dan metabolisme

Klien fraktur tidak ada perubahan nafsu makan, walaupun menu

makanan disesuaikan dari rumah sakit


3) Pola eliminasi

Perubahan BAK/BAB dalam sehari, apakah mengalami waktu BAB

dikarenakan imobilisasi, feses warna kuning, pada pasien fraktur

tidak ada gangguan BAK.

4) Pola istirahat tidur

Kebiasaan pola tidur apakah ada gangguan yang disebabkan karena

nyeri, misalnya nyeri karena fraktur.

5) Pola aktifitas dan latihan

Aktivitas pada klien yang mengalami gangguan karena fraktur yang

terjadi

mengakibatkan kebutuhan pasien perlu dibantu oleh perawat atau

keluarga.

6) Pola persepsi dan konsep diri

Klien mengalami gangguan percaya diri sebab tubuhnya perubahan

pasien takut cacat / tidak dapat bekerja lagi.

7) Pola sensori kognitif

Adanya nyeri yang disebabkan kerusakan jaringan, jika pada pola

kognitif atau pola berfikir tidak ada gangguan.

8) Pola hubungan peran

Terjadi hubungan peran interpersonal yaitu klien merasa tidak

berguna sehingga menarik diri.

9) Pola penggulangan stress


Penting ditanyakan apakah membuat pasien menjadi depresi /

kepikiran mengenai kondisinya.

10) Pola reproduksi seksual

Jika pasien sudah berkeluarga maka mengalami perubahan pola

seksual dan reproduksi, jika pasien belum berkeluarga pasien tidak

mengalami gangguan pola reproduksi seksual.

11) Pola tata nilai dan kepercayaan

Terjadi kecemasan/stress untuk pertahanan klien meminta

mendekatkan diri pada Tuhan-Nya (Risnanto, 2018).

f. Pemeriksaan fisik Head to Toe:

1) Kepala

Inspeksi : Simetris, ada pergerakan

Palpasi : tidak ada nyeri tekan

2) Leher

Inspeksi : simetris, tidak ada penonjolan

Palpasi : tidak ada nyeri tekan, reflek menelan ada

3) Wajah

Inspeksi : simetris, terlihat menahan sakit

Palpasi : tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk, tidak ada lesi,

dan tidak ada oedema

4) Mata

Inspeksi : Simetris
Palpasi : Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis

(karena tidak terjadi perdarahan)

5) Telinga

Inspeksi : normal, simetris

Palpasi : Tidak ada lesi, dan nyeri tekan

6) Hidung

Inspeksi : Normal, simetris

Palpasi : tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung

7) Mulut

Inspeksi : Normal, simetris

Palpasi : tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,

mukosa mulut tidak pucat.

8) Thoraks

Inspeksi : Simetris, tidak ada lesi, tidak bengkak

Palpasi : Iktus cordis tidak teraba

Perkusi : pekak

Auskultasi : Tidak ada ronchi, wheezing, dan bunyi jantung I,

Iregular

9) Paru

Inspeksi : pernapasan meningkat, regular atau tidak tergantung pada

riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru

Palpasi : Pergerakan simetris, fremitus terasa sama.

Perkusi : Sonor, tidak ada suara tambahan.


Auskultasi : suara nafas normal, tidak ada wheezing atau suara

tambahan lainnya

10) Jantung

Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung

Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba

Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal

11) Abdomen

Inspeksi : simetris, bentuk datar

Palpasi : Turgor baik, tidak ada pembesaran hepar.

Perkusi : Suara timpani, ada pantulan gelombang cairan

Auskultasi : Peristaltic usus normal ± 20 x/meit

12) Inguinal, genetalia, anus

Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe, tidak ada kesulitan

BAB (Reni Novianti Eka Pratiwi, 2019).

g. Keadaan Luka

Pemeriksaan pada system muskulosketal adalah sebagai berikut:

1) Inspeksi (Look): Melihat pada bagian yang akan diperiksa mulai dari

posturnya lalu apakah didapatkan deformitas, hiperemi, jejas, luka,

atrofi, dan scar.

2) Palpasi (Feel): Menyentuh pada bagian yang akan diperiksa lalu

diperiksa

apakah didapatkan nyeri, lalu diperiksa bagaimana konsistensinya,

suhu kulitnya, apakah didapatkan krepitasi dan false movement.


Perhatikan bentuk tulang ada/tidak adanya benjolan atau

abnormalitas.

3) Pergerakan (move): Menggerakkan bagian yang akan diperiksa

secara aktif maupun pasif. Perhatikan gerakan pada sendi baik secara

aktif/pasif, apa pergerakan sendi diikuti adanya krepitasi, lakukan

pemeriksaan stabilitas sendi, apa pergerakan menimbulkan nyeri.

4) Pemeriksaan neurologis: Pemeriksaan persyarafan motorik, sensoris,

refleks fisiologis maupun reflek patologis serta tonus otot (Sulis

Bayusentono, 2022).

2. Diagnosa

Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons

klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya

baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan

bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan

komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (Tim Pokja

SDKI DPP PPNI, 2016).

Menurut SDKI (2017), kemungkinan masalah yang muncul adalah sebagai

berikut:

a) Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik di tandai dengan pasien tampak

meringgis, gelisah.

b) Resiko Infeksi b.d kerusakan integritas kulit.

c) Gangguan Mobilitas Fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang di

tandai dengan pasien nyeri saat bergerak.


d) Gangguan integritas kulit/jaringan b.d kelembabpan di tantai dengan

pasien tanpak nyeri, perdarahan, kemerahan

e) Risiko Disfungsi Neorovaskuler perifer b.d fraktur, penekanan klinis

(balutan)

f) Resiko pedarahan b.d trauma dan tindakan pembedahan.

3. Intervensi

Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh

perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk

mencapai luaran (outcome) yang diharapkan. Intervensi keperawatan

merupakan segala bentuk terapi yang dikerjakan oleh perawat yang

didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai

peningkatan, pencegahan dan pemulihan kesehatan klien individu, keluarga

dan komunitas (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).

No Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi


. hasil
SDKI SLKI SIKI
1 Nyeri Akut b/d Setelah dilakukan Manajemen nyeri
agen pencedera asuhan keperawatan Observasi :
Fisiologis( iskemia selama ...x... jam 1. Identifikasi lokasi,
) ditandai dengan diharapkan nyeri karakteristik, durasi,
a. Tampak pada pasien frekuensi, kualitas,
meringis berkurang dengan intensitas nyeri
b. Bersikap kriteria hasil : 2. Identifikasi skala nyeri
protektoif a. Nyeri berkurang 3. Identifikasi respon nyeri
c. Gelisah skala 2 non verbal
d. Frekuensi nadi b. Pasien tidak 4. Identifikasi faktor yang
meningkat Sulit mengeluh nyeri memperingan dan
tidur c. Pasien tampak memperberat nyeri
tenang 5. Identifikasi
d. Pasien dapat tidur pengetahuan dan
dengan tenang keyakinan tentang nyeri
e. Frekuensi nadi 6. Identifikasi budaya
dalam batas terhadap respon nyeri
normal (60-100 7. Monitor efek samping
x/menit) penggunaan analgesik
f. TD dalam batas 8. Monitor keberhasilan
normal ( 90/60 terapi komplementer
mmhg-120/80 yang sudah diberikan
mmhg) Terapeutik
g. RR dalam batas 9. Fasilitasi istirahat tidur
normal(16-20 10. Kontrol lingkungan
x/menit) yang memperberat nyeri
11. Beri teknik non
farmalogis untuk
meredakan nyeri
Edukasi
12. Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu
nyeri
13. jelaskan strategi
meredakan nyeri
Kolaborasi:
14. Kolaborasi pemberian
analgesik jika perlu
2 Gangguan Setelah dilakukan Pembidaian
Mobilitas Fisik asuhan keperawatan Observasi
berhubungan …x… jam 1. Identifikasi kebutuhan
dengan gangguan diharapkan dilakukan pembidaian
musculoskeletal mobilitas fisik (mis.fraktur, dislokasi)
ditandai dengan: meningkat dengan 2. Monitor bagian distal
- Mengeluh sulit kriteria hasil: area cedera (mis.
menggerakkan - Pergerakan Pulsasinadi, pengisian
ekstremitas ektremitas kapiler, gerakan motorik
- Nyeri saat meningkat dan sensasi)
bergerak - Kekuatan otot 3. Monitor adanya
- Enggan meningkat perdarahan pada area
melakukan - Rentang gerak cedera
pergerakan (ROM) meningkat 4. Identifikasi material
- Merasa cemas - Nyeri menurun bidai yang sesuai (mis.
saat bergerak - Kecemasan Lurusdan keras, panjang
- Kekuatan otot menurun bidai
menurun - Kaku sendi melewati dua sendi)
- Rentang gerak menurun Terapeutik
(ROM) menurun - Gerakan tidak 1. Tutup luka terbuka
- Sendi kaku Terkoordinasi dengan balutan
- Gerakan tidak menurun 2. Atasi perdarahan
terkoordinasi - Gerakan terbatas sebelum bidai dipasang
- Gerakan terbatas menurun 3. Minimalkan pergerakan,
- Fisik lemah - Kelemahan fisik terutama pada
menurun bagianyang cedera
4. Berikan bantalan
(padding) pada bidai
5. Imobilisasi sendi di atas
dan di bawah area cedera
6. Topang kaki
menggunakan
penyangga
kaki(footboard), jika
tersedia
7. Tempatkan ekstremitas
yang cedera dalam
posisifungional, jika
memungkinkan
8. Pasang bidai pada posisi
tubuh seperti
saatDitemukan
9. Gunakan kedua tangan
untuk menopang
areaCedera
10. Gunakan kain
gendongan (sling) secara
tepat

Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
langkah-langkah
prosedursebelum
pemasangan bidai
2. Jelaskan tanda dan gejala
sindrom
kompartemen(5P:
pulseless, parastesia,
pain, paralysis, palor)

4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah implementasi dari suatu rencana tindakan

untuk mencapai tujuan tertentu. Perawat harus memiliki keterampilan

kognitif (intelektual), interpersonal, dan perilaku agar berhasil dalam

memberikan perawatan sesuai dengan rencana perawatan. Proses

implementasi harus didasarkan pada kebutuhan pasien, faktor lain yang

mempengaruhi kebutuhan perawatan, strategi implementasi perawatan, dan

aktivitas komunikasi.

5. Evaluasi

Evaluasi merupakan tahapan terakhir dari asuhan keperawatan, dimana pada

tahapan ini anda mengevaluasi apakah tindakan yang Anda lakukan sudah

efektif atau belum untuk mengatasi masalah keperawatan pasien atau dengan

kata lain, tujuan anda tercapai atau tidak. Evaluasi ini sangat penting karena

manakala setelah dievaluasi ternyata tujuan tidak tercapai atau tercapai

sebagian, maka harus di reassesment kembali kenapa tujuan tidak tercapai.

Evaluasi keperawatan ini bisa evaluasi formatif (catatan perkembangan) atau

evaluasi (Hadi purwanto, 2018).


BAB III
TINJAUAN KASUS

FORMAT PENGKAJIAN DAN RESUME GAWAT DARURAT

I. PENGKAJIAN
A. IDENTITAS MAHASISWA
Nama : KGD Tgl Praktek : 12 Desember 2023

B. IDENTITAS PASIEN
NAMA PASIEN : Ny. R
USIA : 46 tahun
JENIS KELAMIN : Perempuan
TANGGAL MASUK : 12-12-2023
NO REGISTER : 239774
DIAGNOSTIK MEDIK : open fraktur tibia fibula pedis distal sinistra

C. KELUHAN UTAMA/ALASAN MASUK RS


Luka robek dan patah di kaki kiri, post kecelakaan lalu lintas di tabrak motor
vs motor ibu berboncengan, sekitar pukul jam 12.00 WIB, pasien
mengatakan nyeri kaki kiri, ada perdarahan, bengkak area luka, jari masih
bisa gerak, pasien mengeluh lemas, pusing, GCS 15.
R/ HT (+) DM (-)

P : nyeri kaki kiri, nyeri bertambah saat kaki digerakkan


Q : nyeri seperti ditusuk-tusuk
R : nyeri dirasakan pada bagian kaki kiri
bawah
S : rentang nyeri pada skala 7
T : nyeri dirasakan terus-menerus
D. PENGKAJIAN PRIMER
AIRWAY
Sumbatan :
- Benda Asing tidak ada
- Darah tidak ada
- Sputum/lender tidak ada
Perhatian : cedera servikal tidak ada

BREATHING
Sesak, dengan :
- Aktifitas tidak ada
- Tanpa aktivitas tidak ada
- Nafas cuping hidung tidak ada
- Menggunakan otot tambahan tidak ada
Frekuensi : 24x/menit
Irama : Teratur
Kedalaman : Dalam
Batuk : Non produktif
Bunyi nafas tambahan : tidak ada

CIRCULATION
Kesadaran : compos mentis
Sirkulasi perifer : adekuat
Nadi : 104x/menit
Irama : Teratur
Denyut : Kuat
Tekanan darah : 150/90mmHg
Suhu : 360C
Ekstremitas : hangat
Warna kulit : kemerahan
Pengisian kapiler : <2 detik
Edema : ada di sekitar luka terbuka

DISABILITY
Pemeriksaan neurologis singkat
- Alert/perhatian : repon
- Voice respons terhadap suara : respon
- Pain responter hadap nyeri : respon
- Unresponsive/tidak berespon : respon
- Reaksi pupil : +

E. PENGKAJIAN SEKUNDER
1. Riwayat kesehatan sekarang

Pasien datang ke UGD diantar keluarganya pasca KLL. Pasien


mengeluh nyeri dibagian tungkai kiri disertai luka. Luka lebar 4x1 cm
pasca KLL tertabrak motor. Pasien juga mengeluh tungkai kaki terasa
sangat nyeri bila digerakkan. Pasien tidak mengalami cedera kepala
maupun pingsan saat kejadian. Pasien tampak meringis
2. Riwayat kesehatan lalu
Pasien mengatakan sebelumnya tidak pernah mengalami kecelakaan
lalulintas
3. Riwayat kesehatan keluarga :
Tidak ada keluarga pasien yang pernah mengalami kecelakaan
sebelumnya
4. Anamnesa singkat (AMPLE)
Allergies : tidak ada
Medikasi : tidak ada
Nyeri : kaki kiri
Terakhir kali makan : pagi
Event of injury/penyebab injury : kecelakaan lalu lintas
5. Pemeriksaan head to toe
a. Kepala
Rambut pasien berwarna hitam, tidak ada lesi, rambut bersih,
tidak ada nyeri tekan
b. Mata
Penglihatan baik, lapang pandang normal, konjungtiva tidak
anemis, mata simetris kiri dan kiri
c. Telinga
Bentuk telinga simetris kiri dan kiri, tidak tampak serumen,
tampak bersih, pendengaran baik, tidak ada nyeri tekan
d. Hidung
Tampak simetris, tidak ada nyeri tekan, pernapasan normal, tidak
ada lesi, tampak bersih
e. Mulut
Mulut tampak simetris, mukosa bibir tampak lembab, tidak ada
gangguan menelan, tidak ada lesi, gigi lengkap
f. Leher
Tidak ada nyeri tekan, t i d a k a d a d e v i a s i t r a k e a , tidak
ada benjolan pada leher, tidak ada lesi, tidak tampak pembesaran
kelenjar tiroid
g. Dada

1) Inspeksi : Dada simetris, Tidak ada penggunaan otot


bantu nafas, irama nafas teratur, pergerakan dada simetris
2) Palpasi : tidak ada nyeri tekan maupun lesi, ictus cordis tidak
teraba, tidak ada masa
3) Perkusi : terdengar suara sonor pada paru bagian kiridan kiri
4) Auskultasi : terdengar suara vesikuler pada paru bagian
kiridan kiri
h. Abdomen

1) Inspeksi : Bentuk abdomen simetris dan datar, tidak ada


benjolan atau massa pada abdomen
2) Auskultasi : terdengar bising usus 15x/menit
3) Perkusi : terdengar suara timpani pada kuadran I, II, dan
IV. Pada kuadran II terdengar suara dullnes
4) Palpasi : Tidak teraba massa atau benjolan pada abdomen
i. Ekstremitas /musculoskeletal
- Kekuatan otot :
5555 5555
5555 1111

- Deformitas : tampak perubahan bentuk kaki kiri


- Kontraktur : tidak ada
- Edema : Kaki kiri udem dibagian luka terbuka
- Nyeri : Nyeri pada luka terbuka dikaki
- Krepitus : tidak ada
j. Kulit/integument : turgor kulit baik, CRT < 2 detik

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan radiologi : RO ankle joit AP/Lat
Hasil : fraktur tibia fibula distal sinistra
Pemeriksaan EKG : sinus rhtym
Pemeriksaan lab :
No Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
1 WBC 13.10 103/mmk 4 - 10
2 Neu# 8.13 103/mmk 2-7
3 Lym# 2.29 103/mmk 0.8 - 4.0
4 Mon# 0.53 103/mmk 0.12 - 1.20
5 Eos# 0.08 103/mmk 0.02 - 0.50
6 Bas# 0.05 103/mmk 0.00 – 0.10
7 Neu% 73.4 % 50.0 – 70.0
8 Lym% 20.7 % 20.0 – 40.0
9 Mon% 4.7 % 3.0 – 12.0
10 Eos% 0.7 % 0.5 – 5.0
11 Bas% 0.5 % 0.0 – 1.0
12 RBC 4.10 106/mmk 3.50 – 5.00
13 HGB 10.30 g/dl 11.0 – 15.0
14 HCT 31.0 % 37.0 – 47.0
15 MCV 85.2 FL 80.0 – 100.0
16 MCHC 36.2 g/dl 32.0 – 36.00
17 PLT 349 103/mmk 130 – 300
18 GDS 136 mg/dl < 150
19 BT 2 menit 1–3
20 CT 9 menit 3 – 15
21 HbsAG Non Non Reaktif
Reaktif
G. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN
a. Medis
RL 20 tpm
Ketorolac 3x30 mg iv
Ceftriaxone 2x1 gr iv
Amlodipin 1x10 mg

b. Keperawatan
- Wound Dressing dan Hecting luka
- Pasang balut tekan dan bidai

II. ANALISA DATA


NO DATA FOKUS MASALAH ETIOLOGI
1 Data Subjektif Nyeri akut Agen pencedera
Pasien mengatakan nyeri pada luka (D.0077) fisik
di kaki kiri

P : nyeri kaki kiri, nyeri bertambah


saat kaki digerakkan

Q : nyeri seperti ditusuk-tusuk

R : nyeri dirasakan pada bagian kaki


kiri bawah

S : rentang nyeri pada skala 7

T : nyeri dirasakan terus-menerus

Data Objektif
- Pasien tampak meringis dan
gelisah
- Terdapat luka terbuka pada
kaki kiri 4x1 cm
- Area sekitar luka udem
- Deformitas pada kaki kiri
TTV yaitu TD : 150/90 mmHg, N :
104 x/menit, RR : 22 x/menit, dan
T : 360C.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

NO TGL/JAM DIAGNOSA SESUAI PRIORITAS


1 12-12-2023 Nyeri akut b.d Agen pencedera fisik
13.15 WIB

III. RENCANA KEPERAWATAN

TUJUAN RENCANA
NO DX RASIONAL
(SMART) INTERVENSI
1 1 Setelah dilakukan Observasi :
asuhan - Identifikasi lokasi, - Untuk
Keperawatan 1 x karakteristik, durasi, menetukan
1 jam diharapkan frekuensi, kualitas, dan tindakan yang
tingkat nyeri intensitas nyeri. tepat yang akan
menurun dengan Teraupetik : dilakukan
Kriteria Hasil : - Berikan teknik non - Upaya dalam
- Skala nyeri 1-3 farmakologi nafas mengurangi
- Pasien rileks dalam nyeri
- Vital sign Kolaborasi :
dalam rentang Kolaborasi pemberian - Mengurangi
normal analgetik nyeri dalam
sekala nyeri
sedang-berat
Pembidaian
Observasi
- Identifikasi kebutuhan - Menetukan
dilakukan pembidaian jenis
(mis.fraktur, dislokasi) pembidaian
- Monitor bagian distal yang tepat
area cedera (mis.
pulsasi nadi,pengisian
kapiler, gerakan
motorik dan sensasi)
- Monitor adanya
perdarahan pada area
cedera
- Identifikasi material
bidai yang sesuai (mis.
lurus dan keras,
panjang Bidai
melewati dua sendi)
Terapeutik
- Tutup luka terbuka - Memastikan
dengan balutan tidak terjadi
- Atasi perdarahan perdarahan
sebelum bidai sebelum luka
dipasang ditutup dan
- Minimalkan dilakukan
pergerakan,terutama pembidaian
pada bagian
yangcedera
- Berikan bantalan
(padding)pada bidai
- Imobilisasi sendi di
atas dan di bawah area
cedera
- Tempatkan
ekstremitasyang
cedera dalam posisi
fungional,
jikamemungkinkanPas
ang bidai pada posisi
tubuh seperti
saatditemukan
- Gunakan kedua
tangan untuk
menopang areacedera
- Gunakan kain
gendongan(sling)
secara tepat Edukasi
- Jelaskan tujuan dan
langkah langkah
prosedur sebelum
pemasangan bidai
- Jelaskan tanda dan
gejala sindrom
kompartemen
(5P:pulseless,
parastesia,
pain,paralysis, palor)
- Anjurkan membatasi
gerak pada area cedera
IV. IMPLEMENTASI

NO TGL/JAM IMPLEMENTASI TTD/NAMA


1. 12-12-2023 1. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, dan intensitas nyeri.
13.15 WIB
R (respon) :
Pasien mengatakan nyeri pada luka di kaki kiri,
nyeri bertambah saat kaki digerakkan, nyeri seperti
ditusuk-tusuk, nyeri dirasakan pada bagian kaki
kiri bawah, rentang nyeri pada skala 7, nyeri
dirasakan terus-menerus

H (hasil)
- Pasien tampak meringis dan gelisah
- Terdapat luka terbuka pada kaki kiri 4x1
cm
- Area sekitar luka udem
- Deformitas pada kaki kiri
- TTV yaitu TD : 150/90 mmHg, N : 104
x/menit, RR : 22 x/menit, dan T : 360C.

2. Mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam dan


memasang jalur IV line dan memberikan
analgetik Ketorolac Inj 30 mg
R (respon)
- Pasien mengatakan nyeri berkurang
H (hasil)
Pasien tampak rileks , pasien mampu melakukan
teknik nafas dalam, skala nyeri 5

12-12-2023 3. Mengidentifikasi kebutuhan untuk dilakukan


13.45 WIB pembidaian
R (respon)
- Pasien terlihat memegangi kakinya
- Terdapat luka terbuka pada kaki kiri 4x1 cm
- Area sekitar luka udem
- Deformitas pada kaki kiri
- Kekuatan otot
5555 5555
5555 1111

4. Menutup luka terbuka dengan kasa steril dan


melakukan heacting situasi 3 jahitan

R (respon):
- Pasien mengeluh sakit dan perih pada area
luka
- Pasien meringis saat dilakukan WT dan HT
sudah dilakukan dgn NacL 0,9%,
- Luka sudah tertutup dengan kasa steril,
perdarahan aktif (-)

5. Melakukan imobilisasi sendi di atas dan di


bawah area cedera (kaki kiri) Menempatkan
kaki kiri yang cedera dalam posisi fungsional
dan menganjurkan pasien untuk menarik nafas
dalam. Memasang bidai tiga sisi pada kaki kiri
R (respon):
- Pasien mengeluh sakit pada kaki kirinya
- Pasien tampak meringis kesakitan saat
dipasang, bidai sudah terpasang pada kaki
kiri(imobilisasi(+))
- Pasien mengatakan lebih nyaman setelah
dipasang bidai

14.30 WIB 6. Mengukur TTV


TD 140/80 mmHg, N: 90 kali/mnt, RR: 18
kali/mnt, Temp: 36 º C

V. EVALUASI

N NO DX TGL/JAM SOAP
O
1 1 12-12-2023 S:
14.30 WIB - Pasien mengatakan nyeri berkurang
- Pasien mengatakan lebih nyaman setelah
dipasang bidai

O:
- Pasien tampak rileks , pasien mampu
melakukan teknik nafas dalam, skala nyeri 5
- Bidai terpasang
- Luka sudah tertutup dengan kasa steril,
perdarahan aktif (-)
- TD 140/80 mmHg, N: 90 kali/mnt, RR: 18
kali/mnt, Temp: 36 º C

A : Masalah nyeri belum teratasi


P : Lanjutkan intervensi
- Identifikasi skala nyeri
- Lakukan teknik nafas dalam
- Berikan anti nyeri
- Observasi tanda-tanda perdarahan
- Observasi sindrom kompartemen
(5P:pulseless, parastesia, pain,paralysis, palor)
- Anjurkan membatasi gerak pada area cedera

BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisa Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian

Berdasarkan hasil pengumpulan data, pasien datang ke IGD Rumah Sakit

pada tanggal 12 Desember 2023 pukul 13.00 WIB, dengan keluhan nyeri karena

Luka robek dan patah di kaki kiri, post kll di tabrak motor vs motor ibu

berboncengan, kaki tidak bisa digerakan dikarenakan mengalami kecelakaan lalu

lintas 30 menit SMRS. Nyeri dirasa bertambah saat kaki digerakkan, nyeri seperti

ditusuk-tusuk, nyeri dirasakan pada bagian kaki kiri bawah, rentang nyeri pada

skala 7, nyeri dirasakan terus-menerus, GCS : 15, TD: 150/90 mmHg, Nadi :

104x/menit, suhu: 36oC, RR: 24x/mnt. Sumber data ini diperoleh dari pasien,

keluarga, rekam medis dan tenaga kesehatan. Metode yang digunakan yaitu

wawancara, observasi, pemeriksaan fisik dan studi dokumentasi.

2. Diagnosa

Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon

klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialami baik yang

berlangsung aktual maupun potensial. Menurut (SDKI 2017) bahwa diagnosis

keperawatan yang lazim muncul Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik di tandai

dengan pasien tampak meringgis, gelisah. , Resiko Infeksi b.d kerusakan integritas

kulit, Gangguan Mobilitas Fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang di tandai

dengan pasien nyeri saat bergerak, Gangguan integritas kulit/jaringan b.d

kelembapan di tantai dengan pasien tanpak nyeri, perdarahan, kemerahan, Risiko

Disfungsi Neorovaskuler perifer b.d fraktur, penekanan klinis (balutan),Resiko

pedarahan b.d trauma dan tindakan pembedahan.


Sedangkan diagnosa yang didapatkan pada kasus Ny R adalah Nyeri Akut

b.d Agen cedera fisik.

3. Intervensi

Perencanaan keperawatan adalah pengembangan strategi desain untuk

mencegah, mengurangi, dan mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi

dalam diagnosis keperawatan. Desain perencanaan menggambarkan sejauh mana

perawat mampu menetapkan cara menyelesaikan masalah dengan efektif dan

efisien (Rohmah & Walid, 2014). Tahap ini merupakan suatu kegiatan perencanaan

dalam melakukan asuhan keperawatan selanjutnya, karena menentukan

keberhasilan asuhan keperawatan yang memiliki kriteria yang akan dicapai oleh

peneliti. Kegiatan yang dilakukan peneliti dalam tahap perencanaan ini meliputi:

penetapan prioritas masalah, perumusan tujuan, penentuan kriteria hasil dan

rencana tindakan yang sesuai dengan masalah yang ditemukan.

Menurut Artika (2016) menyatakan didalam perencanaan asuhan

keperawatan menggunakan metode, SMART: Spesifik (secara khusus), Measurable

(dapat diukur), Anchivieble (dapat dicapai), Reality (nyata), dan Time (standar

waktu), hal ini sejalan dengan yang peneliti lakukan pada tahap ketiga dalam proses

keperawatan terhadap Ny. S Rencana keperawatan yang telah dibuat berdasarkan

buku referensi Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) tahun 2017

dengan dasar urutan prioritas diagnosis keperawatan yang ditemukan pada kasus

dan yang di sesuaikan dengan Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI)

tahun 2017. Perencanaan intervensi keperawatan diklasifikasikan menjadi beberapa

kelompok intervensi yaitu observasi, terapeutik, edukasi dan kolaborasi (SIKI,


2017). Peneliti menantukan intervensi keperawatan dalam perencanaan

keperawatan di dasarkan pada analisa efektifitas ketercapaian kriteria hasil dari

setiap diagnosis keperawatan, efisiensi, ketersedian sarana prasarana kesehatan, dan

kemampuan pemberi perawatan (perawat). Nyeri akut berhubungan dengan agen

agen cedera fisik (trauma, terputusnya kontinuitas tulang). Setelah didapatkan data

maka dapat dilakukan tindakan keperawatan sesuai kondisi klien dengan

memberikan rencana tindakan sebagai berikut Manajemen nyeri (I.08238),

Observasi : mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan

intensitas nyeri, mengidentifikasi skala nyeri,mengidentifikasi respon nyeri non

verbal, mengidentifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.

Teraupetik : memberikan teknik non farmakologi untuk mengurangi rasa nyeri,

mengontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri, memfasilitasi istirahat dan

tidur. Edukasi : menjelaskan strategi meredakan nyeri, menganjurkan memonitor

nyeri secara mandiri, mengajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa

nyeri. Kolaborasi : berkolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.

Identifikasi kebutuhan dilakukan pembidaian (mis.fraktur, dislokasi) ,

Monitor bagian distal area cedera (mis. pulsasi nadi,pengisian kapiler, gerakan

motorik dan sensasi) , Monitor adanya perdarahan pada area cedera. Terapeutik :

Tutup luka terbuka dengan balutan, Atasi perdarahan sebelum bidai dipasang,

Minimalkan pergerakan,terutama pada bagian yang cedera. Edukasi: Jelaskan

tujuan dan langkah langkah prosedur sebelum pemasangan bidai, Jelaskan tanda

dan gejala sindrom kompartemen (5P:pulseless, parastesia, pain,paralysis, palor),

Anjurkan membatasi gerak pada area cedera.


4. Implementasi

Pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien Ny. R didasarkan pada

perencanaan keperawatan yang telah disusun. Namun, pada kenyataan tidak semua

perencanaan keperawatan dapat dilaksanakan secara keseluruhan. Hal ini

disebabkan karena disesuaikan dengan kondisi pasien dan waktu tindakan yang

diperlukan di IGD. Adapun pelaksanaan dari diagnosa keperawatan sebagai berikut

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik

Dalam diagnosa keperawatan ini, penulis melaksanakan tindakan keperawatan

yang dilakukan sesuai dengan perencanaan keperawatan yang telah ditetapkan

yaitu mengkaji nyeri secara komprehensif, mengajarkan pasien teknik napas

dalam dan berkolaborasi dalam pemberian anti nyeri. Mengidentifikasi

kebutuhan untuk dilakukan pembidaian, membersihkan luka, menutup luka

terbuka dengan balutan dan melakukan heacting situasi 3 jaritan, melakukan

imobilisasi sendi di atas dan di bawah area cedera (kaki kiri), menempatkan

kaki yang cedera dalam posisi fungsional dan menganjurkan pasien untuk nafas

dalam saat memasang bidai tiga sisi.

5. Evaluasi

Menurut Rohmah & Walit (2014), evaluasi keperawatan adalah penilaian

dengan cara membandingkan perubahan keadaan klien (hasil yang diamati) dengan

tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Semua tindakan

keperawatan yang dilakukan berdasarkan legal etik komunikasi sikap (terapeutik)

dan sesuai dengan SOP (standar operasional prosedur). Pada tahapan implemetasi
keperawatan di masalah keperawatan dan evaluasi hasil yang merupakan penilaian

dari hasil keseluruhan tindakan keperawatan yang telah diberikan berdasarkan

masalah keperawatan yang muncul selama di IGD dalam bentuk SOAP.

Data subjektif dan objektif yang peneliti dapatkan Pasien mengatakan nyeri

berkurang , Pasien tampak rileks , pasien mampu melakukan teknik nafas dalam,

skala nyeri 5. Pasien mengatakan lebih nyaman setelah dipasang bidai, Bidai

terpasang baik, Luka sudah tertutup dengan kasa steril, perdarahan tidak ada, TD

140/80 mmHg, N: 90 kali/mnt, RR: 18 kali/mnt, Temp: 36 º C. Dalam hal ini

Masalah nyeri dan gangguan mobilisasi teratasi sebagian karena dalam kondisi

patah tulang keluhan yang dirasakan akan selalu ada.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan

1. Pengkajian

Berdasarkan data pengkajian dapat simpulkan bahwa pasien pada saat

pengkajian mengalami nyeri dan gangguan mobilitas fisik, gerak dan

aktivitasnya terbatas.

2. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan data yang di peroleh dari pengkajian maka penulis menegakkan

diagnosa Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik dan Gangguan mobilitas fisik

berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang

3. Rencana keperawatan

Rencana keperawatan yang dilakukan pada pasien yaitu untuk mengurangi nyeri

dan memperbaiki mobilitas fisik.

4. Implementasi

Implementasi yang dilakukan pada kasus ini yaitu mengkaji nyeri secara

komprehensif, mengajarkan pasien teknik napas dalam dan berkolaborasi dalam

pemberian anti nyeri, mengidentifikasi kebutuhan untuk dilakukan pembidaian,

membersihkan luka, menutup luka terbuka dengan balutan dan melakukan

heacting situasi 3 jaritan, melakukan imobilisasi sendi di atas dan di bawah area

cedera (kaki kiri), menempatkan kaki yang cedera dalam posisi fungsional dan

menganjurkan pasien untuk nafas dalam saat memasang bidai tiga sisi.

5. Evaluasi
Evaluasi dari tindakan keperawatan setelah dilakukan manajemen nyeri dan

pemasangan bidai tiga sisi, setelah 1-2 jam pada pasien fraktur dengan masalah

keperawatan gangguan mobilitas fisik di IGD terbukti dapat menurunkan nyeri

pasien dengan skala nyeri 5, mengurangi cemas pasien saat menggerakkan

kakinya.

B. Saran

1. Bagi Perawat

Hasil penelitian ini dapat meningkatkan keterampilan perawat sehingga

mampu melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif terutama

pada klien dengan nyeri.

2. Bagi Institusi

Agar dapat menjadikan ini sebagai salah satu rujukan untuk teori tentang

asuhan keperawatan dengan nyeri akut dan dapat digunakan sebagai metode

mengurangi nyeri di Rumah Sakit

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk melakukan penelitian lebih

lanjut terhadap asuhan keperawatan yang belum diteliti oleh peneliti dan

diharapkan peneliti selanjutnya dapat menggunakan atau memanfaatkan

waktu seefektif mungkin, sehingga dapat memberikan asuhan keperawata

kepada klien yang optimal.

4. Bagi Klien dan Keluarga


Meningkatkan pengetahuan tentang tindakan untuk mengatasi nyeri dengan

cara relaksasi nafas dalam pada klien dan juga keluarganya.

DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. (2015). Asmadi. (2008),Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta : EGC (Issue

2008).

Brunner & Suddarth , 2002 dalam Wijaya & Putri, 2013. (2002). Brunner dan

Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC.1(July), 1–7.

Fajar Ratulangi. (2019). Fajar Ratulangi Tahun 2019. Asuhan Keperawatan Pada

Tn.Tdengan Fraktur Tibiafibula Diruang Rawat Inap Bedah Rumahsakit

Achmad Mochtar Bukittinggitahun 2019.

Muttaqin, A. (2008). Muttaqin, Arif (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pasien

Dengan Gangguan Muskuloskaletal. Jakarta : EGC. Revista CENIC. Ciencias

Biológicas, 152(3), 28.

Purwanti R dan Purwaningsih W. (2013). Purwanti R dan Purwaningsih W. 2013.

Pengaruh Latihan Pengaruh Latihan Range of Motion (ROM) Aktif Terhadap

Kekuatan Otot Pada Pasien Post Operasi Fraktur Humerus di RSUD Dr.

Moewardi. GASTER.Vol. 10. No: 2 Agustus 2013.c, 2–6.

Shinta Aprillia. (2019). Shinta Aprillia Tahun 2019. Asuhan Keperawatan Pada Tn.R

Denganfraktur Tibia Fibuladi Ruang Trauma Center Bedah Rsup. Dr.M.Djamil

Padang. Stikes Perintis Padang, 1–136.

Sjamsuhidajat, E. G. C. (2012). Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu

Bedah.Jakarta: EGC Sjamsuhidajat (Issue November).

Anda mungkin juga menyukai