Anda di halaman 1dari 39

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Tn.

A
DENGAN CLOSE FRAKTUR RADIUS ULNA DEKTRA
DENGAN NYERI AKUT DI RS dr SUYOTO
PUSREHAB KEMHAN

Disusun oleh

1. Diana Puspita Putri 199211192019032005


2. Sarsito 199107122019031005
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah kesehatan diseluruh dunia
yang dapat menyebabkan kerusakan fisik hingga kematian pada siapa saja dan
dapat terjadi dimana saja. Berdasarkan prevalensi data menurut World Health
Organization (WHO) kecelakaan lalu lintas mengakibatkan kematian sekitar
1,35 juta orang di seluruh dunia setiap tahun dan tetap konstan sejak tahun 2000,
sekitar 18 kematian per 100.000 penduduk pada tahun 2016. Pada tahun 2012
angka fraktur pada pria lebih rendah (40%) dari pada wanita (60%) di Negara
Perancis. Kondisi fraktur tidak hanya terjadi lalu lintas, cedera jatuh banyakan
juga terjadi dirumah yang disebabkan oleh mekanisme trauma pada individu
yang berusia lebih dari 65 tahun. Faktor yang menyertai proses degenerative
yang menyebabkan tingginya kasus cidera antara lain pencahayaan yang kurang,
osteoporosis, penggunaan obat dan faktor-faktor lingkungan (Plaines,
Hammond, Educator, Carolina, & Zimmermann, 2013). Di Amerika Serikat
dalam 30 tahun terakhir terjadi peningkatan fraktur pada usia lanjut.
Dikelompokkan berdasarkan usia dari keseluruhan kasus fraktur di Amerika
Serikat terdapat 25% angka kejadian diatas 85 tahun, 37% antara 65- 75 tahun
dan 38% berusia antara 75-85 tahun (Vlavonou, Nguyen, & Touré, 2018).
Penyebab terjadinya kasus fraktur selain oleh kecelakaan lalu lintas disebabkan
juga karena faktor patologis dari kondisi tubuh yang dipengaruhi oleh usia,
lingkungan dan lain-lain.
WHO menyebutkan bahwa negara-negara berkembang mencatat tingkat
kecelakaan lalu lintas yang lebih tinggi dengan 93% kematian berasal dari
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah disebabkan oleh
pengendara sepeda, pengendara sepeda motor dan pejalan kaki yang masih
cenderung mengabaikan sistem lalu lintas dan strategi dalam berkeselamatan.
Menurut data pada Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018 angka kejadian
cedera di Indonesia mengalami kenaikan menjadi 9,2% dibandingkan pada tahun
2013 sebanyak 8,2% (Kemenkes, 2018). Berdasarkan proporsi tempat terjadinya

8
cedera, jalan raya merupakan penyumbang terbanyak terjadinya cedera pada
penduduk Indonesia sebanyak 44,7% dibandingan dengan kejadian cedera di
rumah/sekolah maupun tempat kerja. Aktivitas masyarakat pada wilayah
perkotaan yang saat ini didominasi menggunakan transportasi roda dua
dibandingkan dengan mobil maupun transportasi umum, dikarenakan lebih
ringkas dan fleksibel terhadap kepadatan lalu lintas. Kejadian cedera akibat
kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor lebih tinggi nilainya
dibandingkan penumpang sepeda motor itu sendiri sebanyak 72,7% kejadian
kecelakaan. Menurut Kemenkes (2018) angka kejadian kasus cidera di
Indonesia, fraktur pada ektremitas bawah paling tinggi prevalensinya diantara
fraktur lainnya (67,9%). Kasus pada fraktur femur adalah yang paling sering
terjadi yaitu sebesar 39% sedangkan fraktur tibia dan fibula (11%) dan
diikuti fraktur humerus (15%),dimana penyebab fraktur femur terbesar adalah
kecelakaan pada kendaraanbermotor,mobil atau kendaraan rekreasi (62,6%)
(Desiartama & Aryana, 2017). Angka terjadinya kasus fraktur di Indonesia tiap
tahunnya mengalami peningkatan diakibatkan karena masih kurangnya
kepedulian terhadap sistem lalu lintas dan strategi keselamatan dalam
berkendara.

B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari karya ilmah ini adalah untuk menganalisis praktik
keperawatan dengan manajemen nyeri menggunakan tehnik relaksasi pada
kasus kelolaan dengan close fracture radius ulna dektra.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari karya ilmiah ini adalah :
a. Menganalisis masalah keperawatan terkait kasus kelolaan berdasarkan
teori
b. Menganalisis intervensi teknik relaksasi dengan masalah nyeri pada close
fracture radius ulna dextra.

9
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penulisan karya ilmiah akhir ini adalah:
1. Manfaat Aplikatif
Laporan penulisan ini menggambarkan hasil pengkajian hingga evaluasi
terhadap klien dengan close fracture radius ulna dextra. Dengan acuan berbagai
jurnal, dan modifikasi yang disesuaikan maka diharapkan dapat meningkatkan
tingkat efektefitas memanajemen nyeri pada pasien fraktur. Selain itu dengan
adanya penulisan laporan ini diharapkan perawat dan petugas kesehatan lainnya
dapat meningkatkan pemantauan kesehatan dan meningkatkan kemampuan klien
dalam memanajemen nyeri pada kondisi fraktur

2. Manfaat keilmuan
Laporan penulisan ini diharapkan dapat memicu perkembangan
pendidikan dengan penelitian bidang keperawatan medical bedah untuk
menerapkan manajemen nyeri pada klien dengan masalah close fracture radius
ulna.

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Fraktur Antebrachi
1. Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang terjadi ketika adanya
tekanan yang melebihi dari kekuatan tulang yang dapat disebabkan oleh pukulan
langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot
ekstrem yang tidak dapat dipertahankan (Smeltzer, Hinkle, Bare, & Cheever, 2010).
Fraktur dapat menimbulkan cedera jaringan lunak sekitarnya seperti kulit, jaringan
subkutan, otot, pembuluh darah, syaraf, ligamen, dan tendon (Black & Hawks,
2014).
Fraktur radius-ulna tertutup adalah terputusnya hubungan tulang radius dan
ulna yang disebabkan oleh cedera pada lengan bawah, baik trauma langsung
maupun trauma tidak langsung (Helmi, 2013). Fraktur jika tidak mendapatkan
penanganan yang baik dapat menyebabkan komplikasi, morbiditas yang lama dan
juga kecacatan. Banyaknya komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat pengelolaan
yang tidak tepat pada kondisi fraktur merupakan prioritas dalam mencegah
terjadinya cidera lebih lanjut untuk meningkatkan penyembuhan jaringan yang
trauma (Smeltzer et al., 2010).
Dampak dari cedera yang mengakibatkan terjadinya Fraktur sangat
merugikan individu dan keluarga terlebih jika individu yang terkena fraktur
direntang usia produktif, kepala keluarga yang mengharuskan menjalani perawatan
yang panjang sehingga individu tersebut tidak bisa bekerja dan produktif kembali.
Trauma secara fisik agar tidak menimbulkan kerusakan lebih parah perlu ditangani
dengan segera (Brunner & Suddarth, 2013). Fraktur terjadi akibat adanya tekanan
yang melebihi dari kekuatan tulang, selain cidera pada strutur tulang dapat
mengakibatkan cidera pada jaringan lunak disekitar tulang.

11
2. Anatomi Antebrachii
a. Tulang Ulna
Menurut Hartanto (2013) ulna adalah tulang stabilisator pada lengan
bawah, terletak medial dan merupakan tulang yang lebih panjang dari dua
tulang lengan bawah. Ulna adalah tulang medial antebrachium. Ujung
proksimal ulna besar dan disebut olecranon, struktur ini membentuk
tonjolan siku. Corpus ulna mengecil dari atas ke bawah.

Gambar 2.1 Anatomi os Ulna

12
b. Tulang Radius
Radius terletak di lateral dan merupakan tulang yang lebih pendek
dari dari dua tulang di lengan bawah. Ujung proksimalnya meliputi caput
pendek, collum, dan tuberositas yang menghadap ke medial. Corpus radii,
berbeda dengan ulna, secara bertahap membesar saat ke distal. Ujung distal
radius berbentuk sisi empat ketika dipotong melintang. Processus
styloideus radii lebih besar daripada processus styloideus ulnae dan
memanjang jauh ke distal. Hubungan tersebut memiliki kepentingan klinis
ketika ulna dan/atau radius mengalami fraktur (Hartanto, 2013).

Gambar 2.2 Anatomi os Radius

13
3. Etiologi Fraktur
Fraktur terjadi karena kelebihan beban mekanis pada suatu tulang, saat
tekanan yang diberikan pada tulang terlalu banyak dibandingkan yang mampu
ditanggungnya. Jumlah gaya pasti yang diperlukan untuk menimbulkan suatu
fraktur dapat bervariasi, sebagian bergantung pada karakteristik tulang itu
sendiri. Fraktur dapat terjadi karena gaya secara langsung, seperti saat sebuah
benda bergerak menghantam suatu area tubuh di atas tulang.
Menurut Nampira (2014) fraktur batang radius dan ulna biasanya terjadi
karena cedera langsung pada lengan bawah, kecelakaan lalu lintas, atau jatuh
dengan lengan teregang. Fraktur radius dan ulna biasanya merupakan akibat
cedera hebat. Cedera langsung biasanya menyebabkan fraktur transversa pada
tinggi yang sama, biasanya di sepertiga tengah tulang (Hartanto, 2013).

4. Klasifikasi Fraktur
Menurut Black dan Hawks (2014), kondisi fraktur, fraktur dibagi
menjadi dua klasifikasi yaitu fraktur terbuka (open fracture) dan fraktur tertutup
(close fracture). Fraktur tertutup atau fraktur simple menunjukkan posisi
fragmen tidak merobek lapisan epidermis, sebaliknya pada fraktur terbuka
ditunjukkan adanya perlukaan pada kulit yang menyebabkan terjadinya
hubungan antara fragmen tulang terhadap dunia luar. Dalam buku “Handbook of
Fracture” yang ditulis oleh Egol K.et al (2010) mengemukakan pembagian
klasifikasi dari fraktur terbuka menjadi beberapa grade, yaitu: Grade I terdapat
luka yang ukuran panjang lukanya kurang dari 1 cm, kontusio otot minimal
biasanya dari dalam ke luar dengan patahan fraktur oblik sederhana. Grade II
terdapat luka dengan ukuran yang lebih dari 1 cm terdapat kontusio otot tanpa
terjadinya kerusakan jaringan lunak yang ekstensif dan grade III terdapat luka
yang mengalami kerusakan jaringan lunak yang luas termasuk kulit, otot serta
kerusakan neurovaskuler dan sangat terkontaminasi (Brunner & Suddarth,
2013). Fraktur tipe III dibagi menjadi tiga kategori yaitu: Tipe IIIA adalah
merupakan fraktur segmental/sangat kominutif, kerusakan jaringan lunak yang
luas dengan jaringan lunak cukup memadai adekuat untuk penutupan tulang,
Tipe IIIb kehilangan jaringan lunak cukup luas diakibatkan trauma sangat berat

14
sehingga tulang tampak terbuka dan terkelupasnya daerah periosteum disertai
adanya kontaminasi yang berat, Tipe IIIc adalah kejadian pada fraktur terbuka
yang disertai dengan terjadinya kerusakan pembuluh darah dengan atau tanpa
mengukur derajat kerusakan pada jaringan lunak. Klasifikasi berdasarkan luas
fraktur terdapat fraktur komplit yaitu patah dari seluruh garis tengah tulang
biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal) dan tulang menjadi
dua bagian yang terpisah dan fraktur inkomplit yaitu terjadi patahnya di sebagian
garis tengah tulang. Sedangkan berdasarkan pergeseran anatomis fragmen
tulang, fraktur dibagi menjadi fraktur greenstick yaitu fraktur di mana salah
satu sisi tulang patah sedangkan sisi lainnya membengkok. Fraktur tranversal,
suatu fraktur yang melintang pada tulang (fraktur sepanjang garis tengah tulang)
merupakan akibat dari trauma langsung. Fraktur oblik, fraktur yang membentuk
sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak stabil dibanding tranversal) akibat
trauma langsung. Fraktur spiral, suatu fraktur yang arah garis patahannya
berbentuk spiral mengelilingi batang tulang, yang disebabkan karena trauma
rotasi.
Fraktur impacted (telescopic) atau kompresi, sebagian fragmen tulang
menusuk bagian fragmen yang lain. Dan fraktur displaced, fragmen tulang
terpisah dengan kesegarisan tulang lain. Berdasarkan jumlah dan garis
patah/bentuk/konfigurasi fraktur dibagi menjadi 3 klasifikasi yaitu fraktur
kominutif yaitu jenis fraktur yang patahan tulangnya terpisah-pisah dalam
serpihan, fragmen tulang pecah dan lebih dari satu garis fraktur. Fraktur
segmental terjadi apabila terdapat garis patah lebih dari satu dengan tidak saling
berhubungan ujung yang lain yang tidak memiliki pembuluh darah sehingga
menjadi sulit untuk proses sembuh dan juga pada keadaan ini perlu tindakan
bedah. Fraktur multipel merupakan suatu garis patah pada fraktur lebih dari satu
tetapi terjadi pada tulang yang berlainan tempatnya, seperti fraktur vertebra,
fraktur radius dan ulna, fraktur cruris dan femur (Plaines et al., 2013).

15
5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis dari fraktur menurut Black & Hawks (2014) yaitu;
deformitas yang merupakan perubahan struktur dan bentuk tulang,
pembengkakan muncul akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi fraktur
serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar, memar (ekimosis) terjadi akibat dari
perdarahan subkutan pada likasi fraktur, spasme otot, perubahan neurovascular
terjadi akibat dari kerusakan saraf perifer atau struktur vascular yang terkait,
syok, nyeri Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengringi
fraktur. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan,
atau cedera pada struktur sekitarnya.
Pada fraktur tertutup maupun fraktur terbuka, kerusakan akan mengenai
serabut saraf yang nantinya akan menimbulkan sensasi nyeri, selain itu nyeri
dapat timbul ketika terjadi gerakan yang dapat mengganggu mobilitas fisik pada
individu yang terkena fraktur. Pada fraktur terbuka terjadinya kerusakan
jaringan lunak memungkinkan terjadinya infeksi akibat dari terkontaminasi oleh
udara luar sehingga dapat menimbulkan suatu kerusakan integritas kulit. Reaksi
peradangan sangat mungkin terjadi setelah fraktur. Terutama saat jaringan lunak
mengalami kerusakan sehingga menstimulasi respon inflamasi yang ditandai
dengan eksudasi plasma dan leukosit, vasodilatasi dan infiltrasi oleh sel mast
dan leukosit. Jika pembengkakan tidak terkontrol dapat menimbulkan
peningkatan tekanan pada jaringan yang mengakibatkan hipoksia jaringan yang
dapat menimbulkan kerusakan jaringan otot serta terganggu hingga rusaknya
serabut sarafyang menyebabkan parastesia pada tubuh yang cidera, jika tidak
segera tertangani dapat menimbulkan kompartemen sindrom (Brunner &
Suddarth, 2010). Fraktur juga menyebabkan kerusakan pembuluh darah
sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang mengakibatkan terjadi perubahan
perfusi pada jaringan dan perdarahan yang masif menyebabkan syok.

6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat terjadinya fraktur adalah
perdarahan, emboli lemak, infeksi luka, cedera organ dalam, infeksi luka,
sindroma pernafasan (Desiartama & Aryana, 2017). Komplikasi dapat

16
ditimbulkan sebagai akibat dari pengelolaan yang tidak tepat pada kondisi
fraktur merupakan prioritas dalam mencegah terjadinya komplikasi untuk
meningkatkan penyembuhan jaringan yang trauma (Smeltzer et al., 2010).
Fraktur dapat menyebabkan kecacatan, morbiditas yang lama apabila tidak
mendapatkan penanganan yang baik.

7. Penanganan Fraktur
Prinsip untuk penanganan pada cedera muskuloskeletal adalah rekognisi
(mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan
rehabilitasi (Hinkle & Cheever, 2014). Rekognisi adalah suatu tahap untuk
mengenali dan menegakkan diagnosa terjadinya fraktur di tempat kejadian
ataupun di rumah sakit. Reduksi merupakan suatu proses mengembalikan
fragmen dan pada posisi semula (reposisi), diharapkan pada bagian yang sakit
dapat berfungsi kembali secara maksimal. Retaining adalah suatu tindakan untuk
mempertahankan hasil dari mereposisi fraktur dengan cara fiksasi (imobilisasi).
Retaining dapat menghilangkan spasme pada otot yang terjadi cidera sehingga
dapat sembuh lebih cepat dan terasa lebih nyaman pada pasien. Rehabilitasi
merupakan suatu cara untuk dapat mengembalikan kembali kemampuan pada
ektremitas yang cidera sehingga dapat berfungsi kembali. Mencakup terapi
fisik, terapi okupasi, dan konseling bagi dukungan emosional. Pemilihan
penanganan pada fraktur disesuaikan dengan posisi, kesulitan dan kondisi tulang
yang cidera. Sehingga penanganan fraktur masing-masing mempunyai kelebihan
dan kekurangan sesuai kondisi fraktur yang akan ditangani. Pemilihan
penanganan yang tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi serta kecacatan.

8. Proses Penyembuhan Tulang


Tulang merupakan salah satu jaringan tubuh manusia yang dapat sembuh
melalui regenerasi. Perbaikan fraktur terjadi melalui proses yang sama dengan
pembentukan tulang saat fase pertumbuhan normal dengan mineralisasi dan
matriks tulang baru yang kemudian diikuti oleh remodelisasi menuju tulang
matur. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan pada
fraktur antara lain: ada tidaknya infeksi, tingkatan dari fraktur, immobilisasi dan

17
reposisi anatomis yang stabil, lokasi fraktur, jenis tulang yang mengalami
fraktur, status nutrisi, penyakit sistemik, umur dan juga keadaan umum pasien.

Tabel 2.1 Tahap Penyembuhan Tulang (Black & Hawks, 2014)


Tahapan Penjelasan
Tahap I Pembentukan hematoma pada lokasi fraktur. Darah
Stadium hematoma membentuk gumapalan diantara fragmen fraktur,
atau stadium memberikan sedikit stabilisasi. Terjadi nekrosis pada tulang
inflamatori karena hilangnya suplai darah pada daerah yang terluka dan
Waktu: 1-3 hari akan meluas ke area yang mulai terbentuk sirkulasi
kolateral. Dilatasi vaskular terjadi pada lokasi fraktur
sebagai akibat dari suatu respon dari sel-sel mati dan debris,
serta eksudat dari plasma yang kaya akan fibrin mendorong
migrasi dari sel fagositik ke daerah terjadinya cedera. Jika
suplai vaskular ke lokasi fraktur tidak cukup, penyembuhan
tahap I terganggu.
Tahap II Fibroblas, ostesoblas, dan kondroblas bermigrasi ke daerah
Pembentukan fraktur sebagai akibat dari inflamasi akut. Kemudian
fibrokartilago membentuk fibrokartilago. Adanya hematoma menjadi
Waktu: 3 hari sampai pondasi bagi penyembuhan tulang dan jaringan tahap II.
2 minggu Aktivitas osteoblas distimulasi oleh trauma periosteal dan
kemudian pembentukan tulang terjadi dengan cepat.
Periosteum terangkat jauh dari tulang. Dalam beberapa hari
kombinasi dari elevasi periosteum dan pembentukan
jaringan granulasi akan membentuk sabuk di sekitar ujung
dari tiap fragmen fraktur. Saat sabuk tersebut berkembang
akan terbentuk jembatan diantara lokasi fraktur. Pembentuk
jaringan fibrosa awal ini kadang disebut sebagai kalus
primer dan mengakibatkan stabilitas fraktur.
Tahap III Pertumbuhan jaringan menjadi jaringan kalus provisional
Pembentukan kalus (pro kalus) saat kartilago baru dan matriks tulang tersebar
Waktu: 2-6 minggu melalui kalus primer. Pembentukan kalus biasanya lebih

18
Tahapan Penjelasan
lebar dari tulang yang cedera. Kalus membungkus fragmen
tulang yang terjadi fraktur sehingga kalus meluas dari lokasi
fraktur. Ketika terdapat sel yang letaknya jauh dari
pembuluh darah sehingga suplai oksigen cukup rendah
dapat menyebabkan katilago. Kestabilan posisi kelurusan
tulang penting selama tahap III untuk menentukan
kesembuhan klien. Jika terjadi gangguan ataupun
perlambatan, maka kedua tahap selanjutnya tidak bisa
terjadi. Penyatuan tulang menjadi terlambat bahkan dapat
terjadu ketidak penyatuan tulang
Tahap IV Kalus permanen dari tulang keras diantara periosteum dan
Penulangan korteks untuk bergabung dengan fragmen lain.
Waktu: 3 minggu Sehinggapembentukan kalus medularis akan terjadi di dalam
sampai 6 bulan tulang untuk memastikan terjadinya pembentukan antara
rongga-rongga sumsum. Tulang trabekular menggantikan
kalus. Hasil dari bersatunya tulang dapat dikonfirmasi
dengan rontgen. Traksi pada fraktur tungkai bawah setelah
penyatuan tulang seharusnya bebas dari nyeri.
Tahap V Kalus yang tidak ada manfaatnya akan dibuang atau akan
Konsolidasi dan diresorpsi dari lokasi penyembuhan tulang.. Jumlah dan
remodeling waktu remodeling bergantung dari adanya tekanan yang
Waktu: 6 minggu diberikan terhadap tulang yang dipengaruhi oleh usia, berat
sampai 1 tahun badan, dan otot.

Pada kasus cidera muskuloskletal perbaikan fraktur terjadi melalui proses yang
tidak sebentar. Selain perbaikan tulang, jaringan disekitar juga mengalamai
proses penyembuhan. Akibat terputusnya jaringan tulang serta jaringan lunak
dan pembuluh darah disekitar menyebabkan nyeri pada kasus fraktur. Seringkali
nyeri yang dirasakan oleh klien yang tidak bisa dikontrol menghambat proses
penyembuhan sehingga menyebabkan keenganan klien dalam rehabilitasi serta
mengganggu kebutuhan nutrisi dan tidur klien.

19
B. Konsep Nyeri
1. Definisi Nyeri
Nyeri adalah suatu pengalaman tidak menyenangkan secara emosional dan
merupakan suatu pengalaman sensori akibat dari kerusakan jaringan yang
potensial maupun aktual digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa;
awitan yang lambat dari intensitas ringan hingga berat atau yang terjadi tiba-tiba
dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi berlangsung < 6 bulan
(Herdman & Kamitsuru,2018).
Sensasi nyeri merupakan akibat dari stimulasi emosional, mental dan fisik.
Manajemen nyeri pasca operasi, termasuk pendidikan pra operasi, perencanaan
manajemen nyeri perioperatif, penggunaan modalitas farmakologis dan
nonfarmakologis yang berbeda, kebijakan organisasi, dan transisi ke rawat jalan.
Pendekatan individual seperti itu untuk pendidikan pra operasi mencakup
penyediaan informasi yang sesuai usia, disesuaikan dengan tingkat pemahaman
seseorang dan keluarga dan pemahaman terhadap kesehatan umum, kompetensi
budaya dan bahasa, dan didukung oleh peluang tepat waktu untuk mengajukan
pertanyaan dan menerima otoritatif dan berguna jawaban (Chou et al., 2020).
Nyeri merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan, dibutuhkan
pendekatan individual mengenai informasi prosedur operasi serta perencanaan
manajemen nyeri baik farmakologi maupun nonfarmakologi dalam penangan
nyeri.

2. Klasifikasi Nyeri
Nyeri berdasarkan lama waktu serangan dibagi menjadi nyeri akut dan
nyeri kronis.Nyeri kronis mempunyai pola yang beragam dan dapat berlangsung
selama lebih dari 6 bulan bahkan dapat bertahun-tahun, cenderung sirkuler; awal
nyeri dengan cepat terlupakan karena siklus nyerinya tidak pernah berakhir.
Nyeri akut, merupakan sensasi nyeri yang dirasakanhanya terjadi pada suatu
waktu/kejadian tertentu dalam waktu singkat dan berakhir kurang dari 6 bulan
serta dengan jelas diketahui daerah nyerinya, mempunyai awal dan akhir yang
jelas. Nyeri akut muncul akibat jejas, trauma, spasmus, atau penyakit pada kulit,
otot, struktur somatik, atau organ dalam/viscera tubuh. Intensitas nyeri
20
sebanding dengan derajat jejas, dan akan berkurang sejalan dengan
penyembuhan kerusakan jaringan. Tanda-tanda aktivitas sistem saraf otonom
(misalnya takikardia, hipertensi, berkeringat, dilasi pupil yang berkepanjangan,
demam) sering menyertai sensasi nyeri akut. Biasanya, nyeri akut berkaitan
dengan suatu kejadian, dan secara alami bersifat linier (dengan kata lain ada
permulaan dan akhirnya), memiliki arti dan tujuan positif, dan sering berkaitan
dengan tanda-tanda fisik. (ICSI, 2006).
Terdapat dua tipe sindroma pada nyeri akut yaitu nyeri viscera dan nyeri
somatis. Nyeri visceradisebabkan oleh adanya jejas pada organ dengan saraf
simpatis. Biasanya nyeri yang dirasakan seperti tertarik, diperas, ditekan, linu,
tumpul dan dalam. Nyeri pada viscera dapat disebabkan oleh adanya kontraksi
atau distensi abnormal pada dinding otot polos, iskemi otot skelet, nekrosisi
jaringan, terikan pada kapsul yang menyelimuti suatu organ, pembengkakan
jaringan yang berlekat dengan organ ke ruang peritoneal. Nyeri Somatis terjadi
akibat teraktivasinya nociceptor pada jaringan kutan, subkutan dan mukosa
dasar. Ditandai dengan sensasi panas atau tertusuk, rasa berdenyut yang
disebabkan oleh stimulus yang secara normal tidak mengakibatkan nyeri dan
hyperalgesia. Nyeri ini ditandai sebagai respon terhadap luka bakar, luka
terpotong dan luka gores yang biasanya nyeri tersebut konstan dan jelas
lokasinya.

3. Skala Pengukuran Intensitas Nyeri


Menurut Lynch, et al (2010) terdapat beberapa skala pengukuran
intensitas nyeri yang dapat digunakan dilihat dari respon verbal dan non verbal
terhadap sensasi nyeri yang dirasakan. Berdasarkan penilaian verbal terhadap
nyeri dapat digunakan visual analogue scale (VAS) dan Skala Numerik Verbal.
Skala analog visual (visual analog scale/VAS) adalah cara yang paling banyak
digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan secara visual
gradasi tingkat nyeri yang myngkin dialami seorang pasien. Rentang nyeri
diwakili sebagai garis sepanjang 10-cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap
centimeter.

21
Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10 untuk menggambarkan
tingkat nyeri. Dua ujung ekstrim juga digunakan pada skala ini, sama seperti
pada VAS atau skala reda nyeri. Skala Numerik Verbal menggunakan angka 0
sampai 10 untuk menggambarkan tingkatan nyeri. Skala ini lebih bermanfaat
dikaji pada saat periode pascabedah karena tidak mengandalkan koordinasi
visual dan motoric hanya secara alami dengan kata-kata. Sedangkan untuk
menilai skala nyeri dilihat dari respon nonverbal terdapat wong baker faces pain
scale,Skala FLACC (Faces,Legs,Activity,Cry,dan Consolability), Behavioral
Pain Scale. Wong baker faces pain scale digunakan biasanya mulai dari anak
usia 3 tahun menampilkan enam wajah ekspresi berbeda terhadap nyeri, untuk
mengekspresikan rasa nyeri menampilkan wajah bahagia sampai dengan wajah
sedih. Skala FLACC merupakan skala perilaku yang telah dicobakan pada
rentang usia 3-7 tahun yang setiap kategori diberi nilai 0-2 kemudian ditotalkan
dengan rentang total 0 sampai dengan 10. Behavioral Pain Scale merupakan
skala yang menilai dari tiga indicator yaitu ekspresi wajah, pergerakan
ektremitas atas dan toleransi terhadap ventilasi mekanik. Hasil pengamatan rutin
dari perawat unit perawatan intensif menunjukkan bahwa pasien yang terintubasi
memberikan respon terhaap nyeri dengan perubahan toleransi terhadap ventilasi
mekanik (batuk, melawan). BPS mampu memberikan perbedaan bermakna
antara penilaian nyeri pada pasien yang menjalani prosedur yang mencetuskan
nyeri dibandingkan pada prosedur yang tidak mencetuskan nyeri dimana nilai
BPS lebih tinggi pada pasien yang menjalani prosedur yang dapat menimbulkan
nyeri.

4. Penatalaksanaan Nyeri
Kebutuhan terhadap terbebasnya dari rasa nyeri merupakan suatu
kebutuhan dasar yang merupakan dari tujuan diberikannya suatu asuhan
keperawatan kepada pasien. Bagi perawat sangat penting untuk memahami dari
makna nyeri setiap individu. Penatalaksanaan untuk mengatasi rasa nyeri bukan
hanya sekedar pemberian analgesik. Dengan memahami nyeri secara
keseluruhan, maka perawat dapat mengembangkan lagi suatu strategi yang lebih
baik dan tepatuntuk penanganan nyeri sehingga lebih berhasil tertangani
22
(Andarmoyo, 2013). Upaya penanganan nyeri dibagi menjadi 2 jenis yaitu
tindakan farmakologi dan non farmakologi (Prasetyo, 2010).
a. Tindakan farmakologi
Pemberian farmakologi untuk mengatasi nyeri, terdapat beberapa jenis
yang dapat digunakan. Analgesik Narkotik, tramadol merupakan salah satu
obat analgesic jenis opiate yang digunakan untuk mengurangi nyeri sedang
sampai berat. Pemberian analgesik lokal, bekerja dengan cara memblok saraf
saat diberikan. Analgesik yang ditangani oleh pasien, infus yang telah diisi
oleh narkotik menurut resep dipasang pada intravena dan kemudian
dikendalikan oleh pasien pada nyeri pasca bedah, kanker.Obat-obatan
Nonsteroid (NSAIDs), ibuprofen, ketorolac, naproksen, tolmetin menghambat
agregasi platelet.

b. Tindakan nonfarmakologi
Tindakan nonfarmakologis untuk mengatasinyeri terdapat beberapa cara
penanganan: distraksi, imaginasi terbimbing, stimulasi elektrik (TENS),
relaksasi, akupuntur. Distraksi adalah suatu pengalihan fikiran dan perhatian
klien diluar dari nyeri yang dirasakan, dengan harapan dapat mengurangi
kefokusan klien terhadap rasa nyeri dan meningkatkan toleransi terhadap
nyeri yang dirasakan. Imaginasi terbimbing merupakan suatu upaya
berkonsentrasi pada kesan dalam pikiran yang telah diciptakan sehingga dapat
menurunkan bertahap sensai nyeri pada klien. Sedangkan TENS (Stimulasi
listrik) dalat dilakukan dengan kompres dengan es, mandi air hangat,
massase, pijatan dengan menthol. Akupuntur adalah suatu kegiatan
memasukkan jarum kecil pada kulit dengan tujuan dapat menyentuh titik
tertentu yang dapat memblokade transmisi nyeri ke otak. Sedangkan relaksasi
merupakan suatu kegiatan untuk meredakan ketegangan dan stress di fisik
serta mental sehingga diharapkan dapat meningkatkan toleransi terhadap
nyeri.

23
c. Pembedahan
Tindakan dilakukan apabila tindakan non invasif tidak membantu untuk
membebaskan rasa nyari Penatalaksanan manajemen nyeri Berdasarkan
SNARS selain tatalaksana farmakologi dan pembedahan terdapat tatalaksana
non-farmakologi yang meliputi; olahraga, imobilisasi, pijat, relaksasi dan
stimulasi saraf transkutan elektrik. Manajemen nyeri lebih efektif jika
dilakukan follow-up atau asesmen ulang yang sebaiknya dilaksanakan dengan
interval yang teratur. Intervensi non farmakologi dilakukan 30-60 menit.
Upaya memanajemen rasa nyeri baiknya dilakukan kombinasi terhadap
penatalaksanaanya antara farmakologi dengan non-farmakologi agar hasil
yang diharapkan lebih maksimal untuk mengurangi rasa nyeri.
Peningkatan pemulihan setelah bedah ortopedi meliputi multi disiplin
yaitu meliputi program pendidikan pra operasi, anestesi bebas opioid periode
pasca operasi, mobilisasi dini, kontrol mual muntah. Dalam konsep ERAS,
manajemen nyeri adalah salah satu unsur terpenting. Nyeri pasca operasi
tidak hanya memperpanjang LOS, tetapi juga mengurangi kemauan subyektif
pasien untuk mengambil latihan rehabilitasi awal, dan karena itu
mengakibatkan penurunan fungsi sendi. Prosedur nonfarmakologis adalah
untuk memberikan langkah-langkah yang tepat ketika pasien mengeluh sakit
yang tak tertahankan. Adapun pengobatan nyeri pasca operasi menurut
ERAS adalah untuk memberikan analgesia inhibitor COX-2 sebelum
kepunahan total anestesi. Jika skor VAS pasien masih lebih besar dari 4, kita
harus mengambil manajemen nyeri dan opioid tambahan dapat ditambahkan
(Kang et al., 2019). Sebagian besar penelitian memeriksa manajemen nyeri
pre dan pasca operasi sebagai nyeri akut. Menggunakan analgesia tambahan
untuk memblokade saraf yang dapat mempengaruhi rehabilitasi seperti
ambulasi atau mobilitas jika blokade memiliki efek sensorik dan
motorik. Berkurangnya rasa nyeri dan kepuasan pasien dalam perawatan
sering digunakan untuk mengukur hasil manajemen nyeri.(Chou et al., 2020).
Konsep rehabilitasi ERAS sekarang dianggap lebih aman dan efektif. Pasien
yang dirawat sesuai dengan prinsip ERAS dapat mengharapkan pemulihan
yang lebih cepat tanpa meningkatkan efek samping. Manfaat lain dari
24
pendekatan ERAS termasuk pengurangan komplikasi, mobilisasi dini, nyeri,
dan LOS.Untuk mencapai hasil yang sukses, upaya multidisiplin yang
komprehensif harus dimulai sebelum operasi dan dilanjutkan melalui
pemulangan. Periode perioperatif merupakan hubungan penting dalam
manajemen nyeri yang efektif, dan perawat perioperatif adalah kunci dalam
membantu mengarahkan perawatan pasien bedah sebelum, selama, dan
setelah prosedur bedah. Tindakan non farmakologi dalam manajemen nyeri
yang dapat dilakukan oleh perawat salah satunya adalah tindakan relaksasi.
Relaksasi dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri karena memberikan
kebebasan fisik dan mental dari stress dan ketegangan, sehingga individu
menjadi rileks dan meningkatkan suasana hati (Kang et al., 2019).

C. Relaksasi Nafas Dalam


1. Definisi Relaksasi Nafas Dalam
Tehnik relaksasi merupanan suatu latihan terapi yang dirancang dalam
membantu seseorang menurunkan tingkat kecemasan dan ketegangan secara
psikologis maupun fisik. Tehnik ini sangat penting untuk dilakukan dan dapat
digunakan pada seluruh lingkungan perawatan sebagai terapi kesehatan untuk
membantu mengobati pasien yang mengalami stress, kecemasan, depresi dan
nyeri. Tehnik relaksasi dibagi menjadi relaksasi otot dan dan relaksasi nafas
dalam. Tehnik relaksasi nafas dalam adalah suatu bentuk asuhan keperawatan
mandiri yang dalam hal ini perawatn mengajarkan kepada pasien bagaimana
melakukan relaksasi dalam yang benar agar terapi yang dilakukan efektif dalam
menangani keadaan yang terjadi pada pasien. Perawat mengajarkan bagaimana
melakukan pernafasan yang dalam dan menghembuskan atau membuang nafas
secara perlahan. Selain dapat meningkatkan ventilasi paru dan kadar oksigen
dalam darah, pernafasan dalam juga dapat menurunkan intensitas nyeri
(Smeltzer, S.C., Hinkle, J. L., Bare, B. G., & Cheever, K. H, 2010).
Pernapasan dalam relaksasi memainkan peran penting dalam pensinyalan
nyeri dan aktivasi sistem saraf otonom, regulasi emosi, keseimbangan
asam/basa, dan proses antiinflamasi. Pada sistem saraf otonom yang merupakan
bagian dari sistem saraf perifer akan mempertahankan homeostasis di dalam
25
tubuh pada saat teknik relaksasi nafas dalam dilakukan. Sistem respirasi tubuh
dikendalikan oleh sistem saraf otonom, adanya stimulasi dari sistem saraf
simpatik ini akan memunculkan respon tubuh seperti meningkatkan denyut
jantung, otot yang tegang dan pernafasan yang pendek dan dangkal. Sebaliknya,
dengan dilakukannya teknik relaksasi nafas dalam, akan membantu
menstimulasi sistem saraf parasimpatis sehingga menimbulkan tanda dan gejala
seperti meningkatkan konsentrasi dan relaksasi, relaksasi, menstabilisasi tekanan
darah dan denyut jantung serta menurunkan rasa nyeri (Chen et al, 2016).
Pada sistem saraf otonom yang merupakan bagian dari sistem saraf perifer
akan mempertahankan homeostasis di dalam tubuh pada saat teknik relaksasi
nafas dalam dilakukan. Sistem respirasi tubuh dikendalikan oleh sistem saraf
otonom, adanya stimulasi dari sistem saraf simpatik ini akan memunculkan
respon tubuh seperti meningkatkan denyut jantung, otot yang tegang dan
pernafasan yang pendek dan dangkal. Sebaliknya, dengan dilakukannya teknik
relaksasi nafas dalam, akan membantu menstimulasi sistem saraf parasimpatis
sehingga menimbulkan tanda dan gejala seperti meningkatkan konsentrasi dan
relaksasi, relaksasi, menstabilisasi tekanan darah dan denyut jantung serta
menurunkan rasa nyeri (Chen et al, 2016).
Studi terbaru menunjukkan bahwa pernapasan lambat dalam mengurangi
rasa sakit dan gangguan tidur dari rasa sakit dan meningkatkan suasana
hati(Larsen, Brilla, Mclaughlin, & Li, 2019). Teknik relaksasi nafas dalam
merupakan salah satu dari intervensi keperawatan yang mengajarkan bagaimana
melakukan dengan menghembuskan nafas secara perlahan dan menarik nafas
secara dalam. Teknik nafas dalam selain dapat menurunkan intensitas nyeri juga
dapat meningkatkan suplai oksigen dalam darah dan memaksimalkan ventilasi
pada paru (Smeltzer et al., 2010). Prosedur penangan nyeri Relaksasi nafas
dalam memberikan efek ketenangan dan meningkatkan suasana hati sehingga
mengurangi rasa stress dan ketegangan yang dialami saat terjadi nyeri.

26
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Klien Tn AA berusia 30 tahun 1 bulan, suku jawa, pekerjaan Pegawai Negeri
Sipil berdinas di Badiklat Kemhan. Diantar ke IGD RSCM pada tanggal 27
Desember 2021, setelah kejadian kecelakaan lalu lintas sepulang dari kantor.

B. Riwayat Kesehatan
1. Alasan Masuk Rumah Sakit
Tanggal 27 Desember 2021 sekitar pukul 12:54 WIB, pasien mengendarai
sepeda motor pulang dari kerja dalam kondisi. Pasien menghindari ibu-ibu yang
sedang menyebrang kemudian jatuh kearah sebelah kanan dan tangan kanan
tertimpa badan saat akan menahan jatuh, kemudian pasien melihat tangan
kanannya bengkak, nyeri, dan sulit untuk digerakkan. Tidak ada pingsan, mual,
dan muntah. BAK dan BAB tidak ada keluhan. Pasien lalu dilarikan ke IGD
RSCM karena dekat dengan lokasi kejadian lalu dirujuk ke RS dr. Suyoto karena
pasien dines diBadiklat Kemhan
Pemeriksaan tanda vital di IGD diperoleh data: Tekanan Darah 122/70
mmHg,suhu 36,5 oC, Nadi: 80 x/menit, Pernapasan: 20 x/menit. Tidak terdapat
riwayat mual muntah, tidak ada pingsan dan pasien masih dapat mengingat
seluruh kejadian. Hasil rontgen tanggal 27/12/2021 diRSCM menunjukan pasien
mengalami close fracture diafisis distal os radius kanan, fracture
contractionium diafisis distal ulna kanan dengan angulasi fragment fraktur
kearah dorsal.
Tanggal 30 Desember 2021 pukul 07.00 WIB, pasien menjalani tindakan operasi
ORIF radius ulna dextra.

27
2. Pengkajian Fraktur
Pada pemeriksaan fisik fraktur didapatkan Look : pasien terpasang backslap
pada tangan kanan. Terdapat perubahan warna pada area fraktur yaitu tangan
kanan eritema (-), edema/hematoma (+), pasien terpasang backslap ditangan, di
tangan kanan tidak terdapat luka jejas dan tidak terdapat luka rembesan. Feel :
terdapat nyeri tekan dan krepitasi pada daerah lengan kanan, ektremitas teraba
hangat, CRT < 3 detik, pulsasi arteri radialis posterior dan Arteri ulna kanan
adanya nyeri tekan sensasi rasa pada radius ulna ke elbow kanan adekuat
sedangkan pada jemari tangan kanan masih bisa digerakkan, spasme otot (-).
Move: terdapat ketidakmampuan dan menggerakkan (fleksi-ektensi) tangan
kanan, pergerakan sendi elbow tidak dapat dilakukan dan pergerakan jemari
tangan kanan sangat maksimal, plegi (-), parasathesia (-). Power : ektremitas
kanan atas terpasang backslab. Pada foto rontgen tampak garis fraktur radius ulna
kanan.

3. Pengkajian
a. Aktivasi dan Istirahat
Klien mengatakan kesulitan untuk melakukan mobilisasi mandiri di atas tempat
tidur karena rasa nyeri sehingga membutuhkan bantuan keluarga atau perawat.
Klien tampak lemas dan mengeluh sedikit pusing dan mengatakan takut bila
terlalu banyak bergerak. Gerakan sendi lengan kanan sangat minimal, gerakan
sendi lengan kanan masih bisa digerakkan dengan terbatas. Aktivitas Klien
dibantu sebagian untuk mandi, mobilisasi, berpakaian, toileting. Kekuatan otot
pada yang sakit tidak dapat terkaji karena terpasang backslab. Kondisi
ekstremitas atas kanan edema (+).Skor Katz Index 2 (ketergantungan parsial).
Kondisi ekstremitas bawah kanan edema (+) radius ulna tangan kanan sampai
antebrachi sampai dengan rentang gerak sendi siku 30 Keadaan umum Klien
tampak lemah, aktivitas dan istirahat Klien dihabiskan di tempat tidur dengan
membaca berita dan menonton film di telepon genggam. Pola tidur Klien 7 – 8
jam di malam hari dan Klien tidak terbiasa tidur siang. Klien mengatakan
kurang bisa beristirahat dan tidur dengan nyenyak karena nyeri di area tangan
kanan.
28
b. Sirkulasi
Kesadaran: Compos Mentis, TD: 132/71 mmHg, Suhu: 36,1 oC, RR: 20
x/menit, Nadi 86 x/menit, Saturasi 98% dengan room air. batas jantung kiri:
ICS 2 sternal kiri dan ICS 4 sternal kiri,. Bunyi S1 dan S2 murni, gallop(-),
mumur (-), Capillary Refill Time (CRT) 3 detik, Radial Brachial Index (ABI)
1,3 dan konjungtiva tampak anemis.

c. Oksigenasi
Saturasi 98% dengan room air. Klien tidak merasa sesak saat bernapas.
Thoraks: pengembangan dan gerakan dada simetris, retraksi suprasternal (-),
retraksi interkosta (-), perkusi resonan, rhonki -/-, wheezing -/-, vokal dan taktil
fremitus sama di area paru kanan dan kiri. Kondisi lingkungan ruang perawatan
cukup sehat, terdapat jendela untuk masuknya cahaya matahari dan
menggunakan pendingin ruangan. Klien tampak lemas dan mengeluh sedikit
pusing Hb 14,1 (13,2 – 17,3 gr/dl) sebelum dilakukan operasi.

d. Cairan dan Elektrolit


Klien tampak lemas dan mengeluh sedikit pusing. Klien mampu menghabiskan
sekitar 3 botol air mineral kemasan 600 cc setiap sehari. Klien juga
mendapatkan infus parenteral RL 500 cc/24 jam. Klien mampu minum dari
botol secara mandiri namun terkadang masih dibantu oleh istri Klien. Tidak
ada muntah, mukosa mulut lembab, turgor kulit elastis, tidak tampak adanya
edema anasarka. Intake cairan Klien 2300 cc/24 jam, urin output + IWL = 2500
cc/24 jam, balance cairan – 200 cc/24 jam. Estimasi Blood Lost (EBL) 540ml
s.d 1080ml

e. Nutrisi
Antropometri à BB 85 kg, TB 170 cm, dan IMT 25,9 kg/m2 (normoweight).
Pasien tidak ada keluhan mual muntah namun nafsu makan sedikit berkurang
karena tidak selera dengan makanan yang disajikan dari RS.

29
Clinical à Konjungtiva tidak tampak anemis, kondisi rongga mulut, lidah dan
gigi geligi bersih, tidak ada stomatitis dan gigi berlubang, mukosa lembab,
bising usus 10 – 12 x/menit di tiap kuadran.
Dietary à Pasien mendapat diet bebas TKTP 2400 kalori 3 x/hari dan mampu
menghabiskan makanan 1 porsi makanannya. Pasien mampu makan sendiri
dan kadang disuapi oleh kakak perempuan pasien. Pasien tampak lemas dan
mengeluh sedikit pusing.

f. Eliminasi
Saat ini tidak ada keluhan BAK maupun BAB yang dirasakan Klien. Klien
terakhir BAB 2 hari yang lalu dengan warna kuning, konsistensi lunak, dan bau
khas feses. Klien BAK dan BAB di atas tempat tidur menggunakan urinal dan
pispot. Pola defekasi Klien setiap 2 hari sekali, pagi hari sebelum sarapan.
Sedangkan pola berkemih Klien ± 5–6 kali sehari dan tidak ada keluhan BAK,
urin keruh atau kemerahan dan rasa nyeri saat berkemih. Saat pemeriksaan
fisik diperoleh data tidak ada nyeri tekan dan tidak teraba adanya massa di
abdomen bagian dan area simphisis. Total urin output 1900 cc/hr, warna
kuning, bau khas urin.

g. Nyeri dan Kenyamanan


Klien mengeluh nyeri pada tangan kanan yang bertambah apabila digerakan
dan ditekan. Nyeri berkurang setelah pemberian analgetik injeksi. Kualitas
nyeri seperti berdenyut dengan intensitas nyeri konstan dan terus menerus.
Nyeri terlokalisir di sekitar area tangan kanan. Nyeri terjadi sepanjang hari
dengan VAS 6. TTV Klien TD 131/74 mmHg dan Nadi 88 x/menit. Klien
tampak mengerutkan wajah menahan nyeri saat akan menggerakkan badannya.
Klien mengungkapkan belum mengetahui tindakan apa saja yang dapat
dilakukan untuk menurunkan nyeri selain pemberian obat–obatan.

h. Promosi ke Arah Normal


Kondisi Klien saat ini sangat mendukung untuk dilakukannya promosi
kesehatan terkait tatalaksana dan rencana perawatan pada tahap persiapan
30
operasi, intra operasi dan pasca operasi. Klien dan keluarganya termasuk well
educated dengan kemampuan belajar yang tinggi sehingga edukasi baik secara
lisan, tulisan maupun praktik sangat mudah diterima dan diaplikasikan.

i. Terapi Farmakologi
Ceftriaxon 2 x 500mg (IV), ketorolac 3 x 30mg (IV), ranitidin 2 x 50mg (IV),
IVFD 500cc/24jam

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Pemeriksaan Radiologi (27/12/2021) Kesan : Close fracture diafisis os radius
kanan, fracture contractionium diafisis distal ulna dengan angulasi fragment ke
arah dorsal.

b. Hasil laboratorium
Tabel 3.1 Hasil Laboratorium
Tanggal 27/12/2021
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hb 14,1 (13,2 – 17,3 gr/dl)
Ht 41 (33 – 45 %)
Leukosit: 9700 (5 – 10 ribu/ul)
Trombosit, 316.000 (150 – 440 ribu/ul)
Natrium 140 (136-- 145 mmol/L)
Kalium 4,1 (3,10 – 5,10 mmol/L)
Klorida 103 (95 – 108 mmol/L)
Golongan darah A Rhesus (+)
PT 11,5 detik 9,9 - 11,6 detik
APTT 26,4 detik 25,3 - 42,1 detik
INR 1,0

31
5. Analisis Data
a. Pre Operasi Fraktur Radius Ulna
Data Etiologi Problem
DS : Agen cidera fisik Katagori : Psikologis
Klien mengeluhkam; Sub katagori : Nyeri
P : Klien mengatakan nyeri didaerah dan keamanan
lengan kanan Diagnosis : Nyeri akut
Q : Klien mengatakan nyeri seperti D.0077
ditusuk tusuk pada tangan kanan
R : Klien mengatakan nyeri pada
tangan kanan
S : Klien mengatakan nyeri yang
dirasakan skala 6
T : Nyeri akan timbul saat digerakan
atau tersenggol berlangsung 5-10
menit
DO :
• Vital sign :
TD 132/86 mmHg
HR 88 x/m
RR 20 x/m
• Tidak tampak ada luka terbuka
• Ekspresi wajah tampak meringis
• VAS 6
• Klien tampak melokalisasi nyeri
DS : Ansietas Domain : integritas ego
• Klien mengatakan takut akan Kelas 2: kurang
rencana operasi terpapar informasi
• Klien mengatakan lebih sering Diagnosis : Ansietas
berkemih D.0080

32
Data Etiologi Problem
DO :
• Vital sign :
TD 132/86
mmHg HR 88
x/m
RR 20 x/m
• Klien tampak gelisah dan tegang
• Klien tampak melaksanakan ibadah
(berdo’a) sebelum mulai tindakan
operasi

b. Post Operasi Fraktur Radius Ulna


Data Etiologi Problem
DS :
P : Klien mengatakan nyeri didaerah Nyeri akut Katagori : Psikologis
luka Sub katagori : Nyeri
Q : Klien mengatakan nyeri seperti dan keamanan
ditusuk tusuk pada tangan kanan Diagnosis : Nyeri akut
R : Klien mengatakan nyeri pada D.0077
tangan kanan
S : Klien mengatakan nyeri yang
dirasakan skala 6
T : Nyeri akan timbul saat digerakan
atau tersenggol berlangsung 5-10
menit
DO :
• Vital sign :
TD 132/86
mmHg HR 88
x/m
RR 20 x/m

33
• Tidak tampak ada luka terbuka

34
Data Etiologi Problem
• Ekspresi wajah tampak meringis
• VAS 5
• Klien tampak melokalisasi nyeri
DS : Gangguan Domain : aktivitas/
Klien mengatakan sulit untuk moblitas fisik istirahat
menggerakan tangan kanan kardiovaskuler/pulmona
Klien mengatakan nyeri saat l Diagnosis:
digerakan Gangguan mobilitas
DO fisik D.0054
Klien tampak tidak bisa
menggerakan tangan kanan
Kekuatan otot menurun
5555/2114
5555/5555
Vas 6
Klien tampak cemas saat
menggerkan tangan kanan
DS : Katagori: lingkungan
Klien mengatakan masih mengantuk Resiko Jatuh Sub katagori:
Klien mengatakan lemas, kepala Keamanan dan proteksi
agak pusing. Diagnosis: Risiko
DO : jatuh D.0143
Kesadaran Compos Mentis (Dalam
Pengaruh Obat Anestesi)
Klien post anestesi general
(umum) Vital sign :
TD 128/78
mmHg HR 92
x/m
RR 20 x/m
Aldrate skor 9
Klien tampak masih mengantuk dan
35
Data Etiologi Problem
sulit untuk membuka mata
Post operasi orif radius ulna dextra

6. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan Pre Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
2) Ansietas berhubungan dengan tindakan pembedahan

b. Diagnosa Keperawatan Post Operasi


1) Nyeri akut berhubungan dengan post pembedahan
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan rangka neuromuskular,
terapi restriktif (imobilisasi)
3) Resiko jatuh berhubungan dengan gangguan keamanan dan pasca operasi

7. Intervensi Keperawatan
a. Pre Operasi Fraktur Radius Ulna
Diagnosis NOC NIC
Keperawatan
Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Manajemen nyeri (I.08238)
agen cidera tindakan keperawatan Observasi
fisik selama 1 x 24 jam, tingkat • Identifikasi nyeri secara komprehensif
nyeri pasien menurun termasuk lokasi, karakteristik,
durasi,frekuensi, kualitas dan
dengan kriteria hasil : intensitas nyeri
- Melaporkan nyeri • Identifikasi skala nyeri
berkurang atau
Terapeutik
terkontrol
• Ajarkan manajemen nyeri
- Menyatakan rasa
nonfarmakologis relaksasi
nyaman setelah nyeri
nafas dalam bagi klien
berkurang (meringis
• Monitor tanda tanda vital pasien
berkurang)
• Mengkaji pengetahuan klien
- Tanda-tanda vital
terkait nyeri serta pengaruh
kebudayaan
36
Diagnosis NOC NIC
Keperawatan
klien dalam rentang klien terkait ungkapan rasa nyeri.
normal • Monitor keberhasilan terapi
- Kolaborasi untuk komplementer yang sudah
pemberian analgesik diberikan.
• Kolaborasi pemberian analgetik
untuk mengurangi nyeri
• Monitor efek samping pengguna
anelgetik
• Berikan tehnik nonfarmakologi
untuk mengurangi rasa nyeri
Pemberian Analgesik
• Identifikasi karakteristik nyeri
• Identifikasi riwayat alergi obat
• Identifikasi kesesuaian jenis anelgesik
• Monitor ttv sebelum dan sesudah
pemberian anelgesik
• Jelaskan efek terapi dan efek samping
obat
Ansietas b.d Setelah dilakukan Observasi
tindakan tindakan keperawatan • Identifikasi saat tingkat
pembedahan selama 1 X 30 menit ansietas berubah (mis. Kondisi,
diharapkan tingkat cemas waktu, stressor)
pasien menurun dengan • Identifikasi kemampuan mengambil
kriteria pasien lebih keputusan
tenang, tidak gelisah, Terapeutik
frekuensi pernafasan dan • Ciptakan suasana terapeutik
nadi berkurang, serta yang menumbuhkan kepercayaan
kolaborasi untuk • Temani pasien untuk
pemberian antiansietas mengurangi kecemasan
• Pahami situasi yang membuat
ansietas

37
Diagnosis NOC NIC
Keperawatan
• Dengarkan dengan penuh perhatian
• Gunakan pendekatan yang tenag
dan meyakinkan
Edukasi
• Jelaskan prosedur , termasuk
sensasi yang mungkin dialami
• Informasikan secara faktual
mengenai diagnosis, pengobata, dan
prognosis
• Latih tehnik Relaksasi
• Kolaborasi pemberian
obat antiansietas, jika
perlu

b. Post Operasi Fraktur Radius Ulna


Diagnosis NOC NIC
Keperawatan

38
Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Manajemen nyeri (I.08238)
agen cidera tindakan keperawatan Observasi
fisik selama 1 x 24 jam, tingkat • Identifikasi nyeri secara komprehensif
nyeri pasien menurun termasuk lokasi, karakteristik,
durasi,frekuensi, kualitas dan
dengan kriteria hasil : intensitas nyeri
- Melaporkan nyeri • Identifikasi skala nyeri
berkurang atau
Terapeutik
terkontrol
• Ajarkan manajemen nyeri
- Menyatakan rasa
nonfarmakologis relaksasi
nyaman setelah nyeri
nafas dalam bagi klien
berkurang (meringis
• Monitor tanda tanda vital pasien
berkurang)
• Mengkaji pengetahuan klien
- Tanda-tanda vital
terkait nyeri serta pengaruh
klien dalam
kebudayaan klien terkait
rentang normal
ungkapan rasa nyeri.
- Kolaborasi untuk
• Monitor keberhasilan terapi

39
Diagnosis NOC NIC
Keperawatan
pemberian analgesik komplementer yang sudah diberikan.
• Kolaborasi pemberian analgetik
untuk mengurangi nyeri
• Monitor efek samping pengguna
anelgetik
• Berikan tehnik nonfarmakologi
untuk mengurangi rasa nyeri
Pemberian Analgesik
• Identifikasi karakteristik nyeri
• Identifikasi riwayat alergi obat
• Identifikasi kesesuaian jenis anelgesik
• Monitor ttv sebelum dan sesudah
pemberian anelgesik
• Jelaskan efek terapi dan efek samping
obat
Gangguan Setelah dilakukan Dukungan mobilisasi I.05173
mobilitas fisik tindakan keperawatan Observasi
berhubungan selama 1 X 60 menit • Identifikasi adanya nyeri atau
dengan rangka diharapkan kemampuan keluhan fisik lainnya
neuromuskular, dalam gerakan fisik • Identifikasi toleransi fisik melakukan
terapi restriktif meningkat dengan kriteria pergerakan
(imobilisasi) pasien pergerakan • Monitor kondisi umum
eksremitas meningkat, selama melakukan mobilisasi
kekuatan otot meningkat, Terapeutik
serta nyeri dan kecemasan • Fasilitasi aktifitas
menurun. mobilisasi(mis. Pagar tempat
tidur
• Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi
40
Diagnosis NOC NIC
Keperawatan
• Jelaskan tujuan
danprosedur mobilisasi
• Anjurkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan
• Anjurkan untuk mobilisasi din

Resiko jatuh Setelah dilakukan Pencegahan Jatuh (I.14540)


berhubungan tindakan keperawatan Observasi
dengan selama 1 X 60 menit • Identifikasi faktor resiko jatuh
gangguan diharapkan resiko jatuh (tingkat kesadaran pasien, defisit
keamanan dan berkurang dengan kriteria kognitif, gangguan
pasca operasi hasil kemampuan dalam keseimbangan, gangguan
gerakan fisik meningkat penglihatan).
pergerakan ekstremitas • Identifikasi resiko jatuh pasien
meningkat, kekuatan otot setidaknya tiap pergantian shift
meningkat, serta nyeri atau perubahan kondisi status
menurun. pasien.
• Identifikasi fakator lingkungan
yang meningkatkan resiko jatuh
• Hitung resiko jatuh dengan
menggunakan skala fall morse scale,
hunpty dumpty.
Terapetik
• Orientasikan pasien untuk tetap
tenang dan tidak aktivitas
ditempat tidur.
• Pastikan roda tempat tidur atau
brankart roda dalam keadaan
terkunci
• Pasang handrail tempat tidur
• Atur tempat tidur mekanis pada

41
posisi terendah
• Letakkan posisi tempat tidur pasien

42
Diagnosis NOC NIC
Keperawatan
dekat dengan nurse station atau
yang mudah diawasi perawat
Edukasi
• Anjurkan memanggil perawat
jika membutuhkan bantuan
• Anjurkan berkonsentrasi untuk
menjaga keseimbangan tubuh.

43
DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri. Ar-Ruzz Media:


Yogyakarta.
Black, J M & Hawks, J H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis
untuk Hasil yang Diharapkan Edisi 8 Buku 3 Edisi Indonesia. Singapore :
Elsevier
Black, J dan Hawks, J. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Dialihbahasakan oleh Nampira R. Jakarta: Salemba
Emban Patria.
Brunner & Suddarth. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. (Edisi VIII). Jakarta: EGC
Chou, R., Gordon, D. B., Leon-casasola, O. A. De, Rosenberg, J. M., Bickler, S.,
Brennan, T., … Wu, C. L. (2020). Management of Postoperative Pain: A Clinical
Practice Guideline From the American Pain Society, the American Society of
Regional Anesthesia and Pain Medicine, and the American Society of
Anesthesiologists’ Committee on Regional Anesthesia, Executive Committee, and
Administrative Council. Journal of Pain, 17(2), 131–157.
https://doi.org/10.1016/j.jpain.2015.12.008
Desiartama, A., & Aryana, I. G. N. W. (2017). Lalu Lintas Pada Orang Dewasa Di
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Tahun 2013, 6(5), 1–4.
Helmi, Noor Zairin. 2013. Trigger Finger. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Halaman 236-238
Herdman, T. H., Kamitsuru, S. (2017). NANDA International Nursing Diagnoses :
Definitions and Classification 2018-2020, 8th Edition. New York: Thieme Medical
Publishers
Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI). (2006) Assessment and
Management of Acute Pain. Bloomington: Institute for Clinical Systems
Improvement (ICSI).
Kemenkes. (2018). Hasil Utama Rikesdas 2018.
Larsen, K. L., Brilla, L. R., Mclaughlin, W. L., & Li, Y. (2019). Effect of Deep Slow
Breathing on Pain-Related Variables in Osteoarthritis, 2019.
https://doi.org/10.1155/2019/5487050
Lynch, M.E., et al. (2010). Clinical Pain Management : A Practical Guide. New York :
Wiley-Blackwell
Plaines, D., Hammond, B. B., Educator, C. N., Carolina, N., & Zimmermann, P. G.
(2013). Sheehy’s Manual of Emergency Care 7th ed. Missouri: Elsevier Inc.
Prasetyo, S.N. (2010). Konsep Dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Smeltzer, S. C., Hinkle, J. L., Bare, B. G., & Cheever, K. H. (2010). Textbook of
Medical-Surgical Nursing, 12th Edition. Philadelphia: Lippicontt Wiliams &
Wilkins.
TKJ. (2017). Panduan Manajemen Nyeri. SNARS https://snars.web.id/rs/panduan-
manajemen-nyeri/

Anda mungkin juga menyukai