Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS

1. Konsep Dasar Penyakit


1.1 Pengertian
Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Glukosa secara normal
bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah (Smeltzer, 2001:1220).
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis
termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price,
2005:1260).

1.2 Etiologi
Menurut Smeltzer (2001:1224-12251) etiologi DM dibagi menjadi 2 yaitu:
1.2.1 Pada Diabetes tipe I:
Ditandai dengan adanya kerusakan sel-sel beta pankreas, yang mungkin
disebabkan oleh kombinasi dari faktor genetik, imunologi dan mungkin lingkungan.
1) Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tetapi mewarisi
suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya diabetes tipe I.
2) Faktor imunologi
Terdapat respon autoimun. Respons ini merupakan respons abnormal dimana
antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap
jaringan tersebut seolah-olah sebagai jaringan asing.
3) Faktor-faktor lingkungan
Penelitian sedang dilakukan terhadap kemungkinan faktor-faktor external yang
dapat memicu destruksi sel beta. Sebagai contoh virus atau toksin tertentu dapat
memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi sel beta.

1.2.2 Pada Diabetes tipe II


Penyebab resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe ini
sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor yang banyak berperan antara lain:
1) Kelainan genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes. Ini
terjadi karena DNA pada orang diabetes akan ikut diinformasikan pada gen
berikutnya terkait dengan penurunan produksi insulin.

1
2) Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis
menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan ini yang akan
beresiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin.
3) Gaya hidup stress
Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang cepat saji
yang kaya pengawet, lemak dan gula. Makanan ini berpengaruh besar terhadap
kerja pankreas. Stress juga akan meningkatkan kerja metabolisme dan
meningkatkan kebutuhan akan sumber energi yang berakibat pada kenaikkan
kerja pankreas. Beban yang tinggi membuat pankreas mudah rusak hingga
berdampak pada penurunan insulin.
4) Pola makan yang salah
Kurang gizi atau kelebihan berat badan dapat meningkatkan resiko terkena
diabetes. Malnutrisi dapat merusak pankreas sedangkan obesitas meningkatkan
gangguan kerja atau resistensi insulin. Pola makan yang tidak teratur dan
cenderung terlambat juga akan berperan pada ketidakseimbangan pankreas.
5) Obesitas
Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertrofi yang akan
berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin. Hipertrofi pankreas
disebabkan karena peningkatan beban metabolisme glukosa pada penderita
obesitas untuk mencukupi energi sel yang terlalu banyak.
6) Infeksi
Masuknya bakteri atau virus kedalam pankreas akan berakibat rusaknya sel-sel
pankreas. Kerusakan ini akan berakibat pada penurunan fungsi pankreas.

1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus


Klasifikasi menurut ADA (American Diabetes Association) yang dikutip oleh
Price (2005) dan yang telah disahkan oleh WHO, yaitu:
1.3.1 Diabetes Melitus Tipe 1 (juvenile onset dan tipe dependen insulin).
Terjadi 5-10% kejadian. DM type 1 disebabkan oleh:
1) Autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta.
2) Idiopatik, tidak diketahui sumbernya. Subtipe ini sering timbul pada etnik
keturunan Afrika-Amerika, Asia.
Awitan terjadi pada segala usia, tetapi biasanya muda < 30 tahun. Biasanya
bertubuh kurus pada saat didiagnosis dengan penurunan BB yang baru saja

2
terjadi. Cenderung mengalami ketosis jika tidak mengalami insulin, komplikasi
akut hiperglikemi: ketoasidosis diabetik (Smeltzer, 2001).
1.3.2 Diabetes Melitus Tipe 2 (onset maturity dan nondependen insulin) 90-95%
Obesitas, herediter dan lingkungan sering dikaitkan dengan penyakit ini. Awitan
terjadi di segala usia biasanya > 30 tahun. Cenderung meningkat pada usia > 65
tahun. Mayoritas penderita obesitas dapat mengendalikan kadar glukosa darah
melalui penurunan berat badan. Agens hipoglikemia oral dapat memperbaiki
kadar glukosa darah bila modifikasi diet dan latihan tidak berhasil. Memerlukan
insulin dalam waktu yang pendek atau panjang untuk mencegah hiperglikemi.
Ketosis jarang terjadi, kecuali bila dalam keadaan stress atau menderita infeksi.
Komplikasi akut: sindrom hiperosmolar nonketotik (Smeltzer, 2001).
1.3.3 Gestasional Diabetes Mellitus (GDM)
Dikenali pertama kali selama kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua
kehamilan. Faktor resiko yaitu usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat
keluarga dan riwayat gestasional dahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi
berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa
maka kehamilan adalah suatu keadaaan diabetogenik.
1.3.4 Tipe khusus lain
1) Cacat genetik fungsi sel beta: memiliki prevalensi familial yang tinggi dan
bermanifestasi sebelum usia 14 tahun. Pasien sering kali obesitas dan resisten
terhadap insulin.
2) Kelainan genetik pada kerja insulin, menyebabkan sindrom resistensi insulin
yang berat dan akantosis negrikans.
3) Penyakit pada eksokrin pankreas menyebabkan pankreatitis kronik.
4) Penyakit endokrin seperti sindrom cushing dan akromegali.
5) Obat-obat yang bersifat toksik terhadap sel-sel beta.
6) Infeksi.
1.3.5 Gangguan toleransi glukosa (GTG)
Tes toleransi glukosa menunjukkan kelainan dan pasien menunjukkan
asimtomatis. GTG mungkin menunjukkan adanya diabetes dalam stadium dini.
Mereka ini tidak digolongkan sebagai penderita diabetes tetapi dianggap
beresiko tinggi terhadap diabetes.
1.3.6 Gangguan glukosa puasa (GGP)
Pasien dengan gangguan glukosa puasa juga meningkat resikonya terhadap
diabetes dan komplikasi metabolik akibat GTG.

1.4 Manifestasi Klinis

3
Menurut Sujono & Sukarmin (2008) manifestasi klinis pada penderita DM,
yaitu:
1) Poliuria (peningkatan volume urine)
2) Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urine yang sangat besar dan
keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel
mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel
mengikuti penurunan gradien konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat
pekat). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH (antidiuretic hormone)
dan menimbulkan rasa haus.
3) Rasa lelah dan kelemahan otot akibat gangguan aliran darah pada pasien
diabetes lama, katabolisme protein diotot dan ketidakmampuan sebagian besar
sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi.
4) Polifagia (peningkatan rasa lapar).
5) Peningkatan angka infeksi akibat penurunan protein sebagai bahan
pembentukan antibody, peningkatan konsentrasi glukosa disekresi mukus,
gangguan fungsi imun dan penurunan aliran darah pada penderita diabetes
kronik.
6) Kelainan kulit gatal-gatal, bisul. Gatal biasanya terjadi di daerah ginjal, lipatan
kulit seperti di ketiak dan dibawah payudara, biasanya akibat tumbuhnya jamur.
7) Kelainan ginekologis, keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur
terutama candida.
8) Kesemutan rasa tebal akibat neuropati. Regenerasi sel mengalami gangguan
akibat kekurangan bahan dasar utama yang berasal dari unsur protein.
Akibatnya banyak sel saraf rusak terutama bagian perifer.
9) Kelemahan tubuh
Penurunan energi metabolik yang dilakukan oleh sel melalui proses glikolisis
tidak dapat berlangsung secara optimal.
10) Luka yang lama sembuh, proses penyembuhan luka membutuhkan bahan dasar
utama dari protein dan unsur makanan yang lain. Bahan protein banyak
diformulasikan untuk kebutuha energi sel sehingga bahan yang diperlukan
untuk penggantian jaringan yang rusak mengalami gangguan.
11) Laki-laki dapat terjadi impotensi, ejakulasi dan dorongan seksualitas menurun
karena kerusakan hormon testosteron.
12) Mata kabur karena katarak atau gangguan refraksi akibat perubahan pada lensa
oleh hiperglikemia.

1.5 Komplikasi

4
Menurut Price (2006:1267), komplikasi DM dibagi dalam 2 kategori mayor,
yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular jangka panjang.
1.5.1 Komplikasi Metabolik Akut diantaranya :
1) Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemi dan
glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan
oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton. Peningkatan
keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton
meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan
ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil
akhir dehidrasi dan kekurangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan
mengalami syok. Akibat penurunan oksigen otak, pasien akan mengalami koma
dan kematian.
2) Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik (HHNK)
Awitan didahului beberapa hari sebelumnya gejala-gejala kelemahan, poliuria,
polidipsia. pada pemeriksaan fisik adanya dehidrasi hebat (penururunan tekanan
darah ortostatik, takikardi, membran mukosa kering, dan penurunan turgor kulit,
pasien tampak mengantuk, kacau, dan koma).
3) Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin) terutama komplikasi terapi. Menurut
Smeltzer (2001) hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah turun
dibawah 50-60 mg/dl (2,7-3,3 mmol/L). Keadaan ini dapat terjadi akibat
pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang
terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik yang berat. Tingkatan hypoglikemia
adalah sebagai berikut:
(1) Hipoglikemia ringan
Ketika kadar glukosa menurun, sistem saraf simpatik akan terangsang.
Pelimpahan adrenalin kedalam darah menyebabkan gejala seperti tremor,
takikardi, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar.
(2) Hipoglikemia sedang
Penururnan kadar glukosa yang menyebabkan sel-sel otak tidak memperoleh
cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Berbagai tanda gangguan
fungsi pada sistem saraf pusat mencakup ketidakmampuan berkonsentrasi,
sakit kepala, vertigo, konfusi, penurunan daya ingat, matirasa didaerah bibir
serta lidah, bicara pelo, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional,
perilaku yang tidak rasioal, penglihatan ganda dan perasaan ingin pingsan.

(3) Hipoglikemia berat

5
Fungsi sistem saraf mengalami gangguan yang sangat berat sehingga pasien
memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi hipoglikemi yang
dideritanya. Gejalanya dapat mencakup perilaku yang mengalami disorientasi,
serangan kejang, sulit dibangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan
kesadaran.
4) Komplikasi Kronik Jangka Panjang
Menurut Price (2006:1268), komplikasi kronik jangka panjang terdiri dari:
(1) Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang
kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerolus ginjal (nefropati
diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik).
(2) Makroangiopati, Gangguan dapat berupa penimbunan sorbitol dalam intima
vaskular, hiperlipoproteinemia dan kelainan pembekuan darah mengakibatkan
penyumbatan vaskuler. Jika mengenai arteri-arteri perifer dapat
mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio
intermiten dan gangren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke.
Jika yang terkena adalah arteri koronaria dan aorta dapat mengakibatkan
angina dan infark miokardium.

1.6 Pemeriksaan Penunjang Diagnosa


Pemeriksaan gula darah pada pasien DM menurut Sujono & Sukarmin (2008)
antara lain:
1) Gula darah puasa (GDO) 70-110 mg/dl. Kriteria diagnostik untuk DM > 140
mg/dl paling sedikit dalam 2 kali pemeriksaan. Atau > 140 mg/dl disertai gejala
klasik hiperglikemia atau IGT 115-140 mg/dl.
2) Gula darah 2 jam post prondial <140 mg/dl digunakan untuk skrining atau
evaluasi pengobatan bukan diagnostik.
3) Gula darah sewaktu < 140 mg/dl digunakan untuk skrining bukan diagnostik.
4) Tes toleransi glukosa oral (TTGO). GD < 115 mg/dl ½ jam, 1 jam, 1 ½ jam <
200 mg/dl, 2 jam < 140 mg/dl.
5) Tes toleransi glukosa intravena (TTGI) dilakukan jika TTGO merupakan
kontraindikasi atau terdapat kelainan gastrointestinal yang mempengaruhi
absorbsi glukosa.
6) Tes toleransi kortison glukosa, digunakan jika TTGO tidak bermakna.
Kortison menyebabkan peningkatan kadar glukosa abnormal dan menurunkan
penggunaan gula darah perifer pada orang yang berpredisposisi menjadi DM
kadar glukosa darah 140 mg/dl pada akhir 2 jam dianggap sebagai hasil positif.
7) Glycosetat hemoglobin, memantau glukosa darah selama lebih dari 3 bulan.

6
8) C-Pepticle 1-2 mg/dl (puasa) 5-6 kali meningkat setelah pemberian glukosa.
9) Insulin serum puasa: 2-20 mu/ml post glukosa sampai 120 mu/ml, dapat
digunakan dalam diagnosa banding hipoglikemia atau dalam penelitian
diabetes.
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis
DM (mg/dl) (Mansjoer, 2000:581)
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-199 >200
sewaktu (mg/dl)
Plasma kapiler < 90 90-199 >200
Kadar glukosa darah Plasma vena <100 110-125 >126
puasa
Plasma kapiler <90 90-109 >110

Kriteria Diagnostik
Kriteria diagnostik WHO untuk Diabetes Melitus pada orang dewasa yang
tidak hamil, pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan:
1) Glukosa plasma sewaktu/random > 200 mg/dl (11,1 mmol/L).
2) Glukosa plasma puasa/nuchter > 140 mg/dl (7,8 mmol/L).
3) Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gram karbohidrat (2 jam post prandial (pp)) > 200 mg/dl (11,1
mmol/L).
(World Health Organization, Diabetes Melitus, Report of a WHO study group. Teach
Report Series No. 727, 1985) kutipan dalam Smeltzer (2001).

1.7 Penatalaksanaan
1.7.1 Penatalaksanaan Primer
Dasar-dasar pengelolaan diabetes dikenal 4 pilar utama pengelolaan (Arief
Mansjoer, 2005) yaitu:
1) Penyuluhan (edukasi)
Edukasi diabates adalah pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan dan
keterampilan dalam pengelolaan diabetes yang diberikan kepada setiap pasien
diabetes, anggota keluarga kelompok masyarakat beresiko tinggi. Materi yang
diberikan berupa pengertian diabetes, faktor-faktor yang berpengaruh pada
timbulnya diabetes dan upaya-upaya menekannya, pengelolaan diabetes secara
umum, makanan dan latihan jasmani, obat-obat hipoglikemik, komplikasi
diabetes, pemeliharaan kaki.

2) Perencanaan makan

7
Tujuan utama dari terapi diet pada DM adalah
(1) Mengendalikan kadar glukosa darah agar tetap berada pada nilai normal.
(2) Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
(3) Mencegah komplikasi akut dan kronik.
(4) Meningkatkan kualitas hidup.
Ada beberapa cara yang dibutuhkan untuk menghitung jumlah kalori yang
dibutuhkan pasien:
 Menghitung kebutuhan basal dengan cara mengalikan BB dengan 30 untuk
laki-laki dan 25 untuk wanita, dan ditambah sesuai kegiatan yang dilakukan:
Ringan Sedang Berat
100-200Kcal/jm 200-350Kcal/jam 400-900Kcal/jm
Mengendarai mobil Kerja RT Aerobik
Memancing Bersepeda Bersepeda
Kerja Lab Jalan cepat Memanjat
Kerja sekertaris Berkebun Menari, lari
Mengajar Sepak bola
Tennis
 Kerja ringan tambah 10% dari kebutuhan basal
Pada pasien kurus : 2300-2500 Kcal
Pada pasien normal: 1700-2100 Kcal
Pada pasien gemuk: 1300-1500 Kcal
Dewasa Kcalori/ kg BB idaman
Kerja santai Kerja sedang Kerja berat
Gemuk 25-25 30 35
Normal 30 35 40
Kurus 35 40 40-50

 Standar yang dianjurkan adalah komposisi yang seimbang dalam persentase


- Karbohidrat: 60-70% (pada keadaan tertentu boleh sampai 70-75%)
- Protein: 10-15%
- Lemak: 20-25%
- Kolestrol: <300mg/hari
- Serat 25g/hari
- Garam dibatasi terutama bila ada hipertensi, pemanis dapat digunakan
secukupnya.
Menurut Supariasa (2001), untuk menilai status gizi seseorang bisa menggunakan
rumus Indeks Massa Tubuh (IMT), yaitu:

IMT= Berat badan (kg)


Tinggi badan (m)²
Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia

8
Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0-18,5
Normal >18,5-25,0
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan >25,0-27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0
.
Menurut Suryo (2009) menyarankam pola makanan sehat bagi penderita diabetes
dengan sebutan pola makan 3 J yakni:
1. Jumlah kalori
2. Jadwal makan
3. Jenis makanan
3) Olah raga
Manfaat latihan jasmani yaitu: memperbaiki metabolisme, menormalkan kadar
glukosa darah dan lipid darah, meningkatkan kerja insulin, membantu
menurunkan berat badan, meningkatkan kesegaran jasmani dan percaya diri,
mengurangi resiko penyakit kardiovaskuler. Program latihan jasmani yang
dianjurkan latihan aerobik secara teratur 3-4 kali/minggu selam 30 menit dan
bersifat CRIPE :
- Continous : latihan yang diberikan berkesinambungan.
- Rhytmis : olahraga yang dipilih harus berirama yaitu otot-otot berkontraksi
dan berirama secara teratur.
- Intensive : olahraga yang dillakukan selang-seling antara gerak capat dan
lambat.
- Progresiv : latihan yang dilakukan harus berangsur-angsur dari sedikit ke
latihan yang berat secara bertahap.
- Endurance : latihan daya tahan memperbaiki sistem kardiovaskuler, sebelum
latihan dilakukan pemeriksaaan kardiovaskuler.
4) Obat-obatan
Golongan obat-obat Diabetes melitus, antara lain:
(1) Golongan sulfoniluria: merangsang sel beta pankreas
mengeluarkan insulin. Contohnya: chlorpropamide 100- atau 500 mg 1x1,
rastinon 500-3000 mg 2x1, amaryl 1-6 mg 1x1
(2) Golongan binguanid: merangsang sekresi insulin yang tidak
menyebabkan hipoglikemia. Contohnya: Metformin
(3) Alfa glukosidase inhibitor: menghambat kerja insulinalfa
glukosidase didalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan
glukosa dan menurunkan hiperglikemia post prandial.
(4) Insulin sensitizing agent: efek farmakologi meningkatkan
sensitifitas berbagai masalah akibat resistensi insulin.

9
Preparat Insulin (Smeltzer, 2001):
a. Short –Acting Insulin.
 Insulin reguler (yang ditandai “R” pada botolnya).
 Awitan kerja human insulin reguler adalah ½ hingga 1 jam;
puncaknya 2 hingga 3 jam; durasi kejanya 4 hingga 6 jam.
 Nama lain untuk insulin regular adalah Crystalline Zinc Insulin
(CZI).
 Insulin ini diberikan 20 hingga 30 menit sebelum makan dan dapat
dberikan secara tunggal atau dikombinasikan dengan insulin yang
kerjanya lebih lama.

Gambar 1. Contoh obat Short –Acting Insulin.


b. Intermediate- acting Insulin
 NPH insulin (Neutral Protamin Hagedora)
 Lente Insulin (“L”)
 Awitan kerjanya hingga 3 sampai 4 jam; puncaknya 4 hingga 12
jam; durasi kerjanya 16 hingga 20 jam.
 Kedua insulin memiliki kesamaan dalam perjalanan waktu
kerjanya dan tampak berwarna putih serta menyerupai susu.

Gambar 2 Contoh Intermediate-Acting Insulin


c. Long – Acting Insulin
 Ultralente insulin (UL)
 Kadang – kadang disebut sebagai insulin “tanpa puncak kerja”
karena preparat ini cenderung memiliki kerja yang panjang,
perlahan dan bertahan.
 Awitan kerjanya adalah 6 hingga 8 jam; puncak 12 hingga 16 jam;
durasi 20 hingga 30 jam.

Gambar 3 Contoh Long-Acting Insulin

10
11
2. Asuhan Keperawatan
2.1 Pengkajian
2.1.1 Identitas
1) Usia : DM Tipe 1 Usia < 30 tahun. DM Tipe 2 Usia > 30 tahun, cenderung
meningkat pada usia > 65 tahun (Sujono:2008).
2) Tingkat sosial ekonomi, pekerjaan: orang dengan pendapatan tinggi cenderung
mempunyai pola hidup dan pola makan yang salah. Cenderung untuk
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula dan lemak yang

12
berlebihan. Penyakit ini biasanya banyak dialami oleh orang yang pekerjaannya
dengan aktivitas fisik yang sedikit (Sujono:2008).
2.1.2 Keluhan utama
1) Kondisi hiperglikemi:
Penglihatan kabur, lemas, rasa haus dan banyak kencing, dehidrasi, suhu tubuh
meningkat, sakit kepala (Sujono:2008).
2) Kondisi hipoglikemi
Tremor, takikardi, palpitasi, gelisah, rasa lapar, sakit kepala, susah konsentrasi,
vertigo, konfusi, penurunan daya ingat, matirasa di daerah bibir, pelo,
perubahan emosional, penurunan kesadaran (Sujono:2008).
2.1.3 Riwayat penyakit sekarang
Dominan muncul adalah sering kencing, sering lapar dan haus, berat badan
berlebih. Biasanya penderita belum tahu kalau itu penyakit DM, baru tahu
setelah memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan (Sujono:2008).
2.1.4 Riwayat kesehatan dahulu
DM dapat terjadi saat kehamilan, penyakit pankreas, gangguan penerimaan
insulin, gangguan hormonal, konsumsi obat-obatan seperti glukokortikoid,
furosemid, thiazid, beta bloker, kontrasepsi yang mengandung estrogen
(Sujono:2008).
2.1.5 Riwayat kesehatan keluarga
Menurun menurut silsilah karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuhnya
tidak dapat menghasilkan insulin dengan baik (Sujono:2008).
2.1.6 Pemenuhan Kebutuhan Dasar
1) Kebutuhan Nutrisi.
Penurunan nafsu makan, mual , muntah, tidak mengikuti diit, peningkatan
masukan glukosa, Penurunan berat badan dari periode beberapa minggu, haus
(Doenges, 2003).

2) Kebutuhan Aktivitas – Istirahat.


Lemah, letih, sulit untuk melakukan aktivitas, gangguan istirahat – tidur, kram
otot, tonus otot menurun (Doenges, 2003).
3) Kebutuhan Eliminasi.
Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, oliguria/nokturia apabila terjadi
hipovolemia berat akibat poliuria.
(Doenges, 2003)
2.1.7 Psikososial- Spiritual

13
Menurut Sujono (2008), riwayt psikososial dan spiritual meliputi:
Psiko
Stress dan tergantung pada orang lain, ansietas. Biaya untuk pemeriksaan,
pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga
faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan
keluarga. Klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, tidak
kooperatif.
Sosio
Klien akan kehilangan perannya dalam keluarga dan dalam masyarakat karena
ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan seperti biasanya.
Spiritual
Klien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai dengan
keyakinannya baik dalam jumlah ataupun dalam beribadah yang diakibatkan
karena kelemahan fisik dan ketidakmampuannya.
2.1.8 Pemeriksaan Fisik
1) Sistem Pernafasan.
Frekuensi pernafasan meningkat, nafas dalam, hiperventilasi (bila terjadi
gangguan keseimbangan asam-basa/asidosis metabolik akibat penumpukan
benda keton dalam tubuh (Sujono:2008).
2) Sistem Sirkulasi.
Perubahan tekanan darah: hipotensi, nadi lemah dan cepat (bila terjadi syok
hipovolemik akibat diuresis osmotik). Tekanan darah: meningkat apabila DM
sudah kronis sehingga pembuluh darah mengalami aterosklerosis. Turgor kulit
menurun , CRT lambat (bila terjadi syok hipovolemik akibat diuresis osmotik).
Adanya luka/ulserasi yang sulit sembuh (akibat gangguan perfusi perifer)
(Sujono:2008).
3) Sistem Neurologi.
Kesemutan, rasa baal akibat neuropati. Neuropati terjadi karena regenerasi sel
mengalami gangguan akibat kekurangan bahan dasar utama yang berasal dari
unsur protein. Akibatnya banyak sel saraf rusak terutama bagian perifer. Terjadi
gangguan penglihatan (penglihatan kabur). Terjadi penurunan kesadaran (bila
terjadi KAD/koma diabetikum), kejang (tahap lanjut dari KAD) (Sujono:2008).
4) Sistem Pencernaan.
Penurunan nafsu makan, bising usus menurun, turgor kulit jelek,
kekakuan/distensi abdomen, muntah (Doenges, 2003)
5) Sistem Perkemihan.

14
Poliuria (dapat berkembang menjadi oliguria/anuria jika terjadi hipovolemia
berat), nokturia (Doenges, 2003).
6) Sistem Muskuloskeletal.
Penurunan kekuatan otot, kram otot, penurunan umum rentang gerak.
Parastesia/paralisis otot (bila kadar kalium menurun dengan cukup tajam akibat
diuresis osmotik) (Doenges, 2003).

2.2 Diagnosa Keperawatan


Menurut Doenges (2003), Lynda Juall (2006) dan Nanda (2012):
1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan keseimbangan
asam basa (asidosis metabolik).
2) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan curah jantung.
3) Resiko terhadap perubahan persepsi sensori penglihatan berhubungan dengan
gangguan mikrovaskular.
4) Resiko tinggi cedera berhubungan neuropati
5) Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan kerusakan glomerulus.
6) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
7) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan massa otot.
8) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi perifer
9) Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis
10) Kurang pengetahuan mengenai penyakit berhubungan dengan kurang
mengingat interprestasi informasi.

2.4 Intervensi Keperawatan


Menurut Doengoes (2003), Lynda Juall (2006), dan Nanda (2012) intervensi
keperawatan meliputi:
1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan asidosis metabolik.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan peningkatan
keefektifan pola nafas.
Kriteria hasil: Pasien mengungkapkan nafas tidak terasa sesak, RR: 12-24
x/menit, pernafasan reguler, tidak berbau keton.
Intervensi:
(1) Tinggikan bagian kepala tempat tidur untuk memudahkan bernafas.
R/ Mengurangi penekanan saat pengembangan paru oleh diafragma.
(2) Anjurkan pasien banyak istirahat, hindarkan dari rangsangan psikologis
yang berlebihan.

15
R/Mengurangi tingkat penggunaan energi yang tidak banyak diperoleh dari
glukosa melainkan dari benda keton.
(3) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi oksigen.
R/ Meningkatkan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh.
(4) Observasi frekuensi dan kedalaman pernafasan.
R/Peningkatan kedalaman pernafasan sebagai salah satu indikasi
peningkatan benda keton dalam tubuh.

2) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan


makrovaskuler
Tujuan: perfusi jaringan perifer adekuat setelah dilakukan tindakan
keperawatan dengan kriteria hasil: kulit hangat dan kering, input dan output
cairan seimbang, tidak ada edema, tidak ada nyeri
Intervensi:
(1) Jelaskan tindakan keperawatan yang akan dilakukan
R/ pemahaman yang cukup akan meningkatkan pemahaman dan peran
serta klien dalam pelaksanaan tindakan
(2) Observasi perubahan secara tiba-tiba atau gangguan mental kontinu
(cemas, bingung, letargi, pingsan
R/ perfusi serebral secara langsung sehubungan dengan curah jantung dan
juga dipengaruhi oleh elektrolit/ variasi asam basa, hipoksia, emboli
sistemik.
(3) Observasi adanya pucat, cyanosis, kulit dingin/ lembab. Catat kekuatan
nadi perifer
R/ vasokonstriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung
mungkin dibuktikan oleh perfusi kulit dan penurunan nadi.
(4) Observasi fungsi gastrointestinal, catat anoreksia, penurunan/tak ada bising
usus, mual/muntah, distensi abdomen, konstipasi.
R/ penurunan aliran darah ke mesenterica dapat mengakibatan disfungsi
gastrointestinal (peristaltik negatif)

3) Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori penglihatan berhubungan


dengan gangguan mikrovaskuler.
Tujuan: setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi
perubahan persepsi sensori penglihatan.
Kriteria hasil: pasien tidak mengeluh penglihatannya kabur atau diplopia, visus
6/6, nilai laboratorium terkait eksitasi persarafan dalam batas: natrium: 135-147
meq/l, kalsium: 9-11 mg/dl, kalium: 3,5-5,5 meq/l, klorida: 100-106 meq/l.
Intervensi:
(1) Jelaskan pada pasien penyebab terjadinya perubahan penglihatan
R/ salah satu komplikasi dari DM adalah penurunan penglihatan.

16
(2) Pantau pemasukan elektrolit melalui makanan maupun minuman seperti
buah pisang dan makanan yang mengandung garam.
R/ meningkatkan eksitasi persarafan dan mencegah kelebihan elektrolit
seperti natrium berdampak pada peningkatan ikatan cairan.
(3) Kolaborasi dengan dokter dalam pemeriksaan elektrolit: Natrium, kalium,
Calsium, Clorid.
R/ Elektrolit yang seimbang dalm tubuh dierlukan dalam proses kerja
sistem persyarafan.
(4) Observasi status persepsi penglihatan seperti menggunakan test visus
dengan snellen card (apabila memungkinkan).
R/ untuk mengkaji status persepsi pasien.

4) Resiko cedera berhubungan dengan neuropati


Tujuan : pasien tidak mengalami cedera setelah dilakukan tindakan
keperawatan dengan kriteri hasil:
- Tidak ada luka, memar
- Pasien tidak jatuh
Intervensi:
1) Jelaskan kepada keluarga tentang cara menghindari cedera pada pasien
R/ pengetahuan tentang cara menghindarkan pasien dari cedera dapat
membantu menghindari aktivitas yang dapat beresiko cedera
2) Ciptakan lingkungan bebas bahaya
R/ lingkungan aman dapat mengurangi resiko terjadinya cedera
3) Bantu pasien melakukan aktivitas sehari-hari secara perlahan
R/ ambulasi yang tergesa-gesa dapat menyebabkan pasien mudah jatuh
4) Observasi tanda terjadinya cedera (memar, fraktur)
R/ mengetahui apakah telah terjadi cedera dan untuk menentukan tindakan
selanjutnya

5) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan kerusakan glomerulus


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan gangguan eliminasi tidak
terjadi dengan kriteria hasil: pasien dapat miksi dengan spontan, pasien dapat
mengontrol berkemih, tidak teraba distensi kandung kemih, produksi urin
minimal 1cc/kg/BB/jam.
Intervensi:
(1) Jelaskan tindakan yang akan dilakukan
R/ Pasien lebih kooperatif
(2) Kolaborasi dalam pemasangan kateter tetap
R/ mencegah terjadinya ngompol karena kondisi pasien sudah lanjut usia,
semua fungsi sudah menurun
(3) Motivasi pasien untuk berkemih jika ada keinginan untuk berkemih.
R / Mencegah terjadinya retensi urin
(4) Observasi pengeluaran urin, keadaan vesika urinaria, dan keadaan umum
pasien.
R/ untuk mengetahui keberhasilan tindakan keperawatan yang kita
lakukan.

17
6) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi setelah diberikan tindakan keperawatan,
dengan kriteria hasil:
 Pasien mampu menghabiskan makanan yang diberikan
 Konjungtiva tidak anemis
 Hb dalam batas normal 12-16 gram/dl
Intervensi:

(1)Jelaskan tentang pentinganya asupan nutrisi bagi tubuh


R/ nutrisi sangat berguna untuk pembentukan dan perkembangan sel
(2)Tentukan program diet dan pola makan pasien sesuai dengan kadar gula
R/ menyesuaikan antara kebutuhan kalori dan kemampuan sel untuk
mengambil glukosa
(3)Kolaborasi pengobatan insulin secara teratur dan intermiten
R/ insulin reguler memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula
dapat membantu memindahkan glucosa ke dalam sel
(4)Kolaborasi dengan ahli gizi untuk diet kalori
R/Kebutuhan diet penderita harus disesuaikan dengan jumlah kalori karena
kalau tidak terkontrol akan beresiko hiperglikemia / hypoglikemia
(5)Observasi kemampuan menghabiskan makanan yang diberikan, konjungtiva,
Hb
R/ konjungtiva tidak anemis, Hb normal menandakan keefektifan asupan
nutrisi.

7) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan masa otot.


Tujuan: Pasien dapat mencapai tingkat kemampuan aktivitas yang optimal.
Kriteria Hasil: Pergerakan pasien bertambah luas, pasien dapat melaksanakan
aktivitas sesuai dengan kemampuan (misalnya duduk), pasien tidak lemah,
pasien dapat melakukan aktivitas secara bertahap.
Intervensi:
(1) Jelaskan pada pasien tentang pentingnya melakukan aktivitas
R/ pasien mengerti pentingnya aktivitas sehingga dapat kooperatif dalam
tindakan keperawatan dan untuk menjaga kadar gula darah dalam keadaan
normal.
(2) Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan aktivitas untuk menjaga
kadar gula darah dalam keadaan normal.
R/ pasien mengerti pentingnya aktivitas sehingga dapat kooperatif dalam
tindakan keperawatan.
(3) Anjurkan pasien untuk menggerakkan/mengangkat ekstrimitas sesuai
kemampuan.
R/ untuk melatih otot – otot kaki sehingg berfungsi dengan baik.

18
(4) Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya.
R/ agar kebutuhan pasien tetap dapat terpenuhi.
(5) Observasi skala kekuatan otot
R/ untuk mengetahui derajat otot-otot ekstremitas kaki dan tangan

8) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi.


Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan integritas kulit
membaik dan tidak terjadi perluasan kerusakan.
Kriteria hasil: terjadi perbaikan status metabolik yang dibuktikan oleh gula
darah dalam batas normal, bebas dari drainase purulen, menunjukkan tanda-
tanda penyembuhan dengan tepi luka bersih, tidak terdapat pembengkakan pada
luka.
Intervensi:
(1) Dapatkan kultur dari drainase luka saat masuk.
R/ mengidentifikasi patogen penyebab disintegrasi kulit dan terapi pilihan.
(2) Rawat luka dan mengganti balutan setiap hari.
R/ mencegah terjadi infeksi dan memberikan kenyamanan bagi pasien.
(3) Balut luka dengan kasa steril
R/ meminimalkan kontaminasi mikroorganisme.
(4) Kolaborasi pemberian antibiotik.
R/ pengobatan infeksi dan pencegahan komplikasi.
(5) Observasi keadaan luka
R/ mengetahui keadaan luka

9) Ketidakefektifan program terapeutik berhubungan dengan ketidaktahuan


tentang pengobatan DM.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mengetahui mengenai
penyakit, kebutuhan pengobatan, perawatan dan diet DM
Kriteria hasil: pasien dapat menjelaskan kembali mengenai perawatan dan diet
DM, pasien mengungkapkan mau mengikuti perawatan dan diet DM.
Intervensi:
(1) Jelaskan mengenai penyakit DM dan perawatan diet DM (diet, olahraga,
obat, edukasi)
R/ memberikan informasi yang akurat dan bermakna bagi pasien dan bagi
perawat dapat mengetahui perkembangan pengetahuan pasien dengan pasti.
(2) Tinjau ulang program pengobatan.

19
R/ pemahaman tentang semua aspek penggunaan obat meningkatkan
penggunaan yang tepat.
(3) Observasi tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit, prognosa, dan
pengobatannya.
R/ peningkatan penetahuan yang telah diberikan dan pasien mampu
mengingat informasi yang kita berikan.

10) Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis


Tujuan: Kecemasan berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan
kriteria hasil:
- Pasien tidak tampak gelisah.
- TTV dalam batas normal (TD 110-140mmHG, nadi 60-100x/menit, RR 12-
20x/menit)
Intervensi:
(1) Jelaskan tentang penyakit yang dialami pasien dan pengobatan yang harus
dijalani pasien.
R/ Penjelasan yang cukup mengenai penyakit pasien akan meningkatkan
pengetahuan pasien sehingga kecemasan pasien bisa berkurang.
(2) Ciptakan hubungan saling percaya dan lakukan pendekatan secara empati.
R/ Membentuk rasa saling percaya tenaga kesehatan dengan pasien dan
keluarga
(3) Bantu klien menurunkan keluhan yang dirasakan saat ini
R/ Sebagai suatu upaya distraksi dalam mengurangi beban klien
(4) Bantu individu berhubungan dengan sumber koping yang ada.
R/ Untuk mendapatkan lebih banyak dukungan dalam upaya membentuk
koping yang adaptif.
(5) Observasi tingkat kecemasan yang dialami pasien
R/ Menilai tingkat kecemasan yang dialami pasien.

20
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito & Moyet (2006). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Doenges, dkk., (2003). Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.

Herdman, T. Heather. (2012). Nanda Diagnosis keperawatan: definisi dan


klasifikasi 2012. Jakarta: EGC

Lanywati, Endang (2007). Diabetes Melitus Penyakit Kencing Manis. Yokyakarta:


kanisius.

Mansjoer, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Price, A. Sylvia. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih


bahasa Adji Dharma . Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah. alih bahasa Monica


Ester. Jakarta : EGC

Supariasa, I Dewa Nyoman. (2001). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

Sujono & Sukarmin (2008). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan
Eksokrin & Endokrin pada Pankreas. Yogyakarta: Graha Ilmu.

21

Anda mungkin juga menyukai