Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN DIABETES MELITUS

Disusun dalam rangka memenuhi tugas


stase Keperawatan Medikal Bedah II

OLEH :
IRMAWATI TOHAMBA
14420212131

CI INSTITUSI CI LAHAN

(……………………………………) (……………………………………)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2022
A. Konsep Medis
1. Definisi
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia
(Smeltzer 2016).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula
(glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif
(Wijaya et al. 2016).
Diabetes Melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai
berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang
menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan
pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan
dengan mikroskop elektron (Herdman and Kamitsuru 2015).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Diabetes
Melitus adalah peningkatan kadar glukosa dalam darah akibat
kekurangan insulin baik absolut maupun relatif yang dapat
menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf,
tindakan amputasi dan pembuluh darah.
2. Epidemiologi
a. Diabetes Melitus Tipe 1 (DM Tipe 1)
Kekerapan DM Tipe 1 di negara barat ±10% dari DM Tipe
2. Di negara tropik jauh lebih sedikit lagi. Gambaran kliniknya
biasanya timbul pada masa kanak-kanak dan puncaknya pada masa
akil balik. Tetapi ada juga yang timbul pada masa dewasa.
b. Diabates Melitus Tipe 2 (DM Tipe 2)
DM Tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan
(lebih dari 90%). Timbul makin sering setelah umur 30 dengan
catatan pada dekade ketujuh kekerapan diabetes mencapai 3
sampai 4 kali lebih tinggi daripada rata-rata orang dewasa.
c. Diabetes Melitus Tipe Lain
Ada beberapa tipe diabetes yang lain seperti defek genetik
fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin
pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab
imunologi yang jarang dan sindroma genetik lain yang berkaitan
dengan DM.
d. Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes Melitus Gestasional adalah diabetes yang timbul
selama kehamilan. Jenis ini sangat penting diketahui karena
dampaknya pada janin kurang baik bila tidak ditangani dengan
benar (Herdman and Kamitsuru 2015).
3. Etiologi
Etiologi dari Diabetes Mellitus sampai saat ini masih belum
diketahui dengan pasti dari studi-studi eksperimental dan klinis kita
mengetahui bahwa Diabetes Mellitus adalah merupakan suatu sindrom
yang menyebabkan kelainan yang berbeda-beda dengan lebih satu
penyebab yang mendasarinya. Menurut banyak ahli beberapa faktor
yang sering dianggap penyebab yaitu :
a. Dibetes melitus tipe I
Diabetes melitus tipe I ditandai oleh penghancuran sel-sel beta
pankreas yang merupakan kombinasi dari beberapa faktor :
1) Faktor genetic
Penderita tidak mewarisi diabetas tipe I sendiri tetapi
mewarisi suatu predisposisi kearah terjadinya diabetas tipe
I yaitu dengan ditmukannya tipe antigen HLA (Human
Leucolyte antigen) pada individu tertentu.
2) Faktor  imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat suatu respon autoimun
sehingga antibody terarah pada sel-sel pulau lengerhans
yang dianggapnya jaringan tersebut seolah-olah sebagai
jaringan abnormal.
3) Faktor lingkungan
Penyelidikan dilakukan terhadap kemungkinan faktor-
faktor ekternal yang dapat memicu  destruksi sel beta,
contoh hasil  penyelidikan yang menyatakan bahwa virus
atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang
menimbulkan destruksi sel beta.
b. Diabetes Melitus Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin
dan gangguan sekresi insulin pada diabetas melitus tipe II
masih belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang
peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin dan juga
terdapat beberapa faktor resiko tertentu yang berhubungan
dengan proses terjadinya diabetes tipe II yaitu:
1) Usia ( resistensi insulin cenderung meningkat usia diatas 65
tahun
2) Obesitas
3) Riwayat keluarga
4) Kelopok etnik tertentu
c. Faktor non genetic
1) Infeksi
Virus dianggap sebagai “trigger” pada mereka yang sudah
mempunyai predisposisi genetic terhadap Diabetes
Mellitus.
2) Nutrisi
a) Obesitas dianggap menyebabkan resistensi terhadap
insulin.
b) Malnutrisi protein
c) Alkohol, dianggap menambah resiko terjadinya
pankreatitis.
3) Stres
Stres berupa pembedahan, infark miokard, luka bakar dan
emosi biasanya menyebabkan hyperglikemia sementara.
4) Hormonal
Sindrom cushing karena konsentrasi hidrokortison dalam
darah tinggi, akromegali karena jumlah somatotropin
meninggi, feokromositoma karena konsentrasi glukagon
dalam darah tinggi, feokromositoma karena kadar
katekolamin meningkat.
5) Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke
anggota tubuh lainnya.
6) Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat
diperbaiki (Priscilla, Karen, and Gerene 2016).
4. Klasifikasi
a. IDDM (Insulin Dependent Diabetes Millitus) atau diabetes tipe 1
Sangat tergantung pada insulin. Disebabkan oleh kerusakan
sel beta pankreas sehingga tubuh tidak dapat memproduksi insulin
alami untuk mengontrol kadar glukosa darah.
b. NIDDM (Non-Insulin Dependent Diabetes Millitus) atau diabetes
tipe 2
Tidak tergantung insulin. Disebabkan oleh gangguan
metabolisme dan penurunan fungsi hormon insulin dalam
mengontrol kadar glukosa darah dan hal ini bisa terjadi karena
faktor genetik dan juga dipicu oleh pola hidup yang tidak sehat.
c. Gestational Diabetes
Disebabkan oleh gangguan hormonal pada wanita hamil.
Diabetes melitus (gestational diabetes  mellitus, GDM) juga
melibatkan suatu kombinasi dari kemampuan reaksi dan
pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup, sama dengan jenis-
jenis kencing manis lain. Hal ini dikembangkan selama kehamilan
dan dapat meningkatkan atau menghilang setelah persalinan.
Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan diabetes
gestational dapat mengganggu kesehatan dari janin atau ibu, dan
sekitar 20%–50% dari wanita-wanita dengan Diabetes Melitus
gestational  sewaktu-waktu dapat menjadi penderita (Herdman and
Kamitsuru 2015).
5. Manifestasi Klinik
Yang lazim terjadi, pada Diabetes Mellitus Pada tahap awal sering
ditemukan :
a. Poliuri (banyak BAK)
Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah
meningkat sampai melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa
sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana gula banyak menarik
cairan dan elektrolit sehingga penderita mengeluh banyak kencing.
b. Polidipsi (banyak minum)
Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan
kehilangan cairan banyak karena poliuri, sehingga untuk
mengimbangi penderita lebih banyak minum.
c. Polipagi (banyak makan)
Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel
mengalami starvasi (lapar).
d. Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang. Hal ini
disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa,
maka tubuh berusama mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh
yang lain yaitu lemak dan protein.
e. Mata kabur
Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa –
sarbitol fruktasi) yang disebabkan karena insufisiensi insulin.
Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa, sehingga
menyebabkan pembentukan katarak.
f. Kehilangan anggota gerak (ektremitas atas atau bawah)
g. Nyeri pada bagian yang diamputasi yang berasal dari neuroma
ujung saraf yang dekat dengan permukaan.
h. Bila kebersihan kulit diabaikan terjadi folikulitis dan furunkulitis
(Priscilla, Karen, and Gerene 2016).
6. Patofisiologi
Sebagian besar patologi Diabetes Mellitus dapat dikaitkan dengan
satu dari tiga efek utama kekurangan insulin sebagai berikut : (1)
Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, dengan akibat
peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200
mg/hari/100 ml. (2) Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah-daerah
penyimpanan lemak, menyebabkan kelainan metabolisme lemak
maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler yang mengakibatkan
aterosklerosis. (3) Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.
Akan tetapi selain itu terjadi beberapa masalah patofisiologi pada
Diabetes Mellitus yang tidak mudah tampak yaitu kehilangan ke dalam
urine penderita Diabetes Mellitus. Bila jumlah glukosa yang masuk
tubulus ginjal dan filtrasi glomerulus meningkat kira-kira diatas 225
mg/menit glukosa dalam jumlah bermakna mulai dibuang ke dalam
urine. Jika jumlah filtrasi glomerulus yang terbentuk tiap menit tetap,
maka luapan glukosa terjadi bila kadar glukosa meningkat melebihi
180 mg%.
Asidosis pada diabetes, pergeseran dari metabolisme karbohidrat
ke metabolisme telah dibicarakan. Bila tubuh menggantungkan hampir
semua energinya pada lemak, kadar asam aseto – asetat dan asam
Bihidroksibutirat dalam cairan tubuh dapat meningkat dari 1 Meq/Liter
sampai setinggi 10 Meq/Liter (Priscilla, Karen, and Gerene 2016).
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes HbA1C
Tes hemoglobin terglikasi (HbA1C) adalah pengukuran
gula darah jangka panjang. Tes diagnosis diabetes melitus ini
memungkinkan dokter tahu berapa rata-rata nilai gula darah Anda
dalam beberapa bulan terakhir.
Tes HbA1C mengukur persentase gula darah yang terikat
dengan hemoglobin. Hemoglobin adalah oksigen pembawa protein
dalam sel darah merah. Semakin tinggi hemoglobin A1C, semakin
tinggi pula tingkat gula darah.
Kadar HbA1C 6.5 persen atau lebih pada tes yang sudah
dilakukan lebih dari satu kali menandakan Anda punya diabetes.
Sementara hasil antara 5.7 6.4 persen menunjukkan bahwa Anda
masih di tahap pradiabetes. Kadar gula darah normal biasanya
berada di bawah 5.7 persen.
Tes HbA1C bisa juga digunakan untuk memantau gula
darah secara rutin setelah Anda didiagnosis penyakit diabetes
melitus. Kadar HbA1C sebaiknya dicek beberapa kali dalam
setahun.
b. Tes gula darah puasa
Dokter juga mungkin melakukan tes gula darah puasa untuk
mendiagnosis risiko Anda. Sampel darah akan diambil setelah
Anda berpuasa semalaman (kurang lebih 8 jam).
Berikut kategori kadar gula darah menurut tes gula darah puasa.
1) Normal: kurang dari 100 mg/dL (5.6 mmol/L).
2) Pradiabetes: antara 100 sampai 125 mg/dL (5.6 sampai 6.9
mmol/L).
3) Diabetes: 126 mg/dL (7 mmol/L) atau lebih.
Sejauh ini, tes gula darah puasa dianggap sebagai metode diagnosis
diabetes melitus yang cukup efektif.
c. Tes gula darah sewaktu
Ada beberapa kondisi yang membuat hasil tes HbA1C tidak
valid. Contohnya apabila tes dilakukan pada wanita hamil atau
pada orang-orang dengan variasi hemoglobin. Nah pada kasus
seperti itu, tes gula darah sewaktu (tes GDS) bisa dilakukan
sebagai gantinya.
Tes GDS bisa dilakukan kapan saja tanpa perlu
mempertimbangkan waktu makan terakhir Anda. Namun, biasanya
tes ini dilakukan apabila Anda sudah memiliki gejala diabetes
seperti sering buang air kecil atau kehausan esktrem.
Nilai gula darah akan ditampilkan dalam bentuk miligram
per desiliter (mg/dL) atau milimole per liter (mmol/L). Jika hasil
tes GDS menunjukkan 200 mg/dL (11.1 mmol/L) atau lebih,
artinya gula darah Anda tinggi dan Anda punya diabetes.
Sementara jika angkanya di bawah 200 mg/dL, artinya kadar gula
darah masih di angka normal.
d. Foto rontgen
e. Tes toleransi gula darah oral
Ketimbang ketiga tes sebelumnya, metode diagnosis
diabetes melitus ini terbilang kurang umum kecuali jika Anda
sedang hamil.
Tes toleransi glukosa oral membutuhkan puasa semalam
sebelumnya. Jadi, Anda harus puasa dulu selama kurang lebih 8
jam dan setelahnya akan diminta untuk makan seperti biasa. Dokter
juga mungkin akan memberikan cairan gula. Selang 2 jam setelah
makan, kadar gula darah Anda akan diperiksa.
Pada orang yang sehat, kadar gula darah mereka biasanya
akan kembali normal setelah 2 jam makan. Sementara jika Anda
punya diabetes, kadar gula darah akan tetap tinggi setelah 2 jam
makan.
Berikut kategori kadar gula darah dari pemeriksaan toleransi
gula darah oral.
1) Normal: kurang dari 140 mg/dL (7.8 mmol/L).
2) Prediabetes: 140-199 mg/dl
3) Diabetes: 200 mg/dl atau lebih (Smeltzer 2016).
8. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan klien dengan Diabetes Mellitus
adalah untuk mengatur glukosa darah dan mencegah timbulnya
komplikasi akut dan kronik. Jika klien berhasil mengatasi diabetes
yang dideritanya, ia akan terhindar dari hyperglikemia atau
hypoglikemia. Penatalaksanaan diabetes tergantung pada ketepatan
interaksi dari tiga faktor aktifitas fisik, diet dan intervensi farmakologi
dengan preparat hyperglikemik oral dan insulin. Penyuluhan kesehatan
awal dan berkelanjutan penting dalam membantu klien mengatasi
kondisi ini. Penatalaksanaan Medik diantaranya adalah :
a. Perencanaan makan
Standar yang dianjurkan adalah makan dengan komposisi
seimbangan dalam hal Karbohidrat (KH), Protein, lemak  yang
sesuai kecukupan gizi :
1) KH 60 –70 %
2) Protein 10 –15 %
3) Lemak 20 25 %

Beberapa cara menentukan jumalah kalori uantuk pasien DM


melalui perhitungan menurut Bocca:   Berat badan (BB) Ideal:
(TB – 100) – 10% kg

1) BB ideal x 30% untuk laki-laki


2) BB ideal x 25% untuk Wanita
Kebutuhan kalori dapat ditambah lagi dengan kegiatan sehari-
hari:
1) Ringan : 100 – 200 Kkal/jam
2) Sedang : 200 – 250 Kkal/jam
3) Berat    : 400 – 900 Kkal/jam
Kebutuhan basal dihitung seperti (1), tetapi ditambah kalori
berdasarkan persentase kalori basal:
1) Kerja  ringan ditambah 10% dari kalori basal
2) Kerja  sedang  ditambah 20% dari kalori basal
3) Kerja  berat ditambah 40 – 100 % dari kalori basal
4) Pasien kurus, masih tumbuh kembang, terdapat infeksi,
sedang hamil atau menyesui, ditambah 20 –30-% dari kalori
basal
Suatu pegangan kasar dapat dibuat sebagai berikut:
1) Pasien kurus          : 2300 – 2500 Kkal
2) Pasien nermal        : 1700 – 2100 Kkal
3) Pasien gemuk        :  1300 – 1500 Kkal
b. Latihan jasmani
Dianjurkan latihian jasmani secara teratur (3–4 x seminggu)
selama kurang lebih 30 menit yang disesuaikan dengan
kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Latihan yang dapat
dijadikan pilihan adalah jalan kaki, jogging, lari, renang,
bersepeda dan mendayung. Sespat memungkinkan zona sasaran
yaitu 75 – 85 % denyut nadi maksimal : DNM = 220-umur
(dalam tahun).
c. Pengelolaan farmakologi
1) Obat hipoglikemik oral (OHO)
Golongan sulfonil ures bekerja dengan cara:
- Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan
- Menurunkan ambang sekresi insulin
- Meningkatkna sekresi insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa
d. Biguanid
Menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai bawah
normal. Preparat yang ada dan aman adalah metformin. Obat
ini dianjurkan untuk  pasien gemuk.
e. Inhibitor alfa glukosidase
Secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa
glukosidase di dalam saluran cerna sehingga menurunkan
hiperglikemia pasca pransial.
f. Insulin sensitizin gagent
Thoazolidinediones adalah golongan obat baru yang
mempunyai efek farmakologi meningkatkan sensitivitas insulin
sehingga bisa mengatasi masalah resistensi insulin dan
berbagai masalah akibat resistensi insulin tanpa menyebabkan
hipoglikemia (Priscilla, Karen, and Gerene 2016).
9. Komplikasi
Komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi dan kerusakan
kulit. Perdarahan dapat terjadi akibat pemotongan pembuluh darah
besar dan dapat menjadi masif. Infeksi dapat terjadi pada semua
pembedahan dengan peredaran darah yang buruk atau adanya
kontaminasi serta dapat terjadi kerusakan kulit akibat penyembuhan
luka yang buruk dan iritasi penggunaan protesis (Smeltzer 2016).
PATHWAY/PENYIMPANGAN KDM

Trauma/injury Infeksi DM

Fraktur, Multiple, Kerusakan


Combustio pembuluh darah

Kerusakan Penurunan suplai


jaringan/ekstremitas O2 dan nutrisi ke
yang tidak dapat jaringan
diperbaiki atau
disembuhkan
Iskemik

Terbentuknya
gangren

Nekrosis
Amputasi atau
bedah

Post operasi Tindakan Luka operasi Kehilangan


operasi/bedah anggota tubuh

Proses Terputusnya
penyembuhan Resiko Infeksi kontinuitas Kesulitan untuk
jaringan melakukan
aktivitas/mobilisasi
Tirah baring
Nyeri Akut
Gangguan
mobilitas fisik
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan gangguan sistem endokrin Diabetes
Mellitus dilakukan mulai dari pengumpulan data yang meliputi : biodata,
riwayat kesehatan, keluhan utama, sifat keluhan, riwayat kesehatan masa
lalu, pemeriksaan fisik, pola kegiatan sehari-hari.
Hal yang perlu dikaji pada klien degan Diabetes Mellitus :
a. Aktivitas dan istirahat :
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan
tidur, tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan koma.
b. Sirkulasi
Riwayat hipertensi, penyakit jantung seperti IMA, nyeri, kesemutan
pada ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering, merah,
dan bola mata cekung.
c. Eliminasi
Poliuri,nocturi, nyeri, rasa terbakar, diare, perut kembung dan pucat.
d. Nutrisi
Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek, mual/muntah.
e. Neurosensori
Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan, lemah otot,
disorientasi, letargi, koma dan bingung.
f. Nyeri : Pembengkakan perut,  meringis.
g. Respirasi : Tachipnea, kussmaul, ronchi, wheezing dan sesak nafas.
h. Keamanan : Kulit rusak, lesi/ulkus, menurunnya kekuatan umum.
i. Seksualitas
Adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun dan
terjadi impoten pada pria (Smeltzer 2016).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencendera fisik
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
musculoskeletal
c. Resiko Infeksi berhubungan dengan penyakit kronis
Intervensi Keperawatan

Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Rasional


Nyeri akut Setelah Manajemen nyeri 1. Dengan
diberikan mengidentifikasi
Observasi
asuhan dapat membantu
1. Identifikasi untuk berfokus
keperawatan di
terhadap
harapkan nyeri lokasi,
penyebab nyeri
dapat karakteristik, dan
berkurang atau manajemenya
durasi, frekuensi,
terkontrol 2. Dengan
dengan kriteria kualitas, mengetahui
hasil : skala nyeri
intensitas nyeri.
klien, dapat
1. Nyeri
2. Identifikasi skala mengetahui
pasien tingkat nyeri
dapat nyeri
klien
berkurang Terapeutik 3. Mengetahui
2. Skala kualitas nyeri
1. Berikan teknik
intensitas yang dirasakan
nyeri non farmakologis 4. Pemberian
Teknik
berkurang untuk mengurangi
nonfarmakologis
3. Pasien rasa nyeri (mis. dapat membantu
tampak klien dalam
TENS, hipnosis,
tenang mengurangi
4. TTV akupresure, terapi kecemasan nyeri
tampak 5. Untuk
musik,
normal mengurangi rasa
biofeedback ,terap nyeri yang
(dalam dirasakan
batas i pijat,
6. Dilakukan agar
normal) aromaterapi, dapat
mengetahui
teknik imajinasi
seberapa kuat
terbimbing, nyeri yang
dirasakan oleh
kompres
hangat/dingin) klien
7. Pemberian
2. Kontrol
analgetik dapat
lingkungan yang memblok nyeri
pada susunan
memperberat
saraf pusat
nyeri (mis. suhu
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat
dan tidur
Edukasi
1. Jelaskan
penyebab, periode
dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Ajarkan eknik
non farmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian
analgetik, jika
perlu.

Gangguan Setelah Dukungan 1. Untuk


mobilitas diberikan Ambulasi mengetahui
fisik asuhan Observasi apakah ada nyeri
keperawatan di 1. Identifikasi atau keluhan fisik
harapkan adanya nyeri yang dirasakan
mobilitas fisik atau keluhan klien
dapat 2. Mengetahui
meningkat fisik lainnya kemampuan dan
dengan kriteria 2. Identifikasi Batasan pasien
hasil : toleransi fisik terkait
1. Pergerakan melakukan latihan/gerak
ekstremitas ambulasi yang akan
meningkat 3. Monitor dilakukan
2. Kekuatan frekuensi berikutnya
otot jantung dan 3. Untuk
meningkat tekanan darah mengetahui
3. Rentang sebelum kondisi terkini
gerak memulai pasien dan
(ROM) ambulasi perubahan yang
meningkat Terapeutik dapat terjadi
4. Nyeri 1. Fasilitasi selama
menurun aktivitas melakukan
5. Kaku sendi ambulasi dengan mobilisasi
menurun alat bantu (mis. 4. Memberikan
6. Kelemahan tongkat, kruk) bantuan kepada
fisik 2. Fasilitasi pasien saat akan
menurun melakukan melakukan
mobilisasi fisik mebilisasi dan
3. Libatkan mengurangi
keluarga untuk resiko jatuh/sakit
membantu saat berpindah
pasien dalam 5. Meningkatkan
meningkatkan status mobilitas
ambulasi fisik pasien
Edukasi 6. Keluarga dapat
1. Jelaskan tujuan secara mandiri
dan prosedur membantu pasien
ambulasi melakukan latihan
2. Anjurkan pergerakan
melakukan 7. Untuk
ambulasi dini memberikan
3. Ajarkan pemahaman
ambulasi kepada pasien
sederhana yang terkait prosedur
harus dilakukan ambulasi yang
(mis. berjalan akan dilakukan
dari tempat tidur 8. Mengurangi
ke kursi roda, resiko kekakuan
berjalan dari dan kelemahan
tempat tidur ke otot yang
kamar mandi, berkepanjangan
berjalan seusai 9. Melatih kekuatan
toleransi) otot dan
pergerakan pasien
agar tidak terjadi
kekakuan otot
maupun sendi
Resiko Setelah Pencegahan 1. Mengetahui dan
infeksi diberikan Infeksi menilai tanda dan
asuhan gejala infeksi
keperawatan di Observasi 2. Mencegah
harapkan terjadinya infeksi
tingkat infeksi 1. Monitor tanda silang
dapat menurun dan gejala infeksi 3. Mencegah
dengan kriteria lokal dan terjadinya resiko
hasil : sistemik infeksi pada
1. Kebersihan pasien
tangan Terapeutik 4. Memberikan
meningkat pengetahuan
1. Cuci tangan
2. Kebersihan kepada pasien
sebelum dan
badan tanda dan gejala
sesudah kontak
meningkat infeksi
dengan pasien
3. Nafsu 5. Agar pasien dapat
dan lingkungan
makan secara mandiri
pasien
meningkat melakukan
2. Pertahankan
4. Kemerahan pencegahan
teknik aseptik
menurun infeksi
pada pasien
5. Gangguan 6. Agar tidak terjadi
beresiko tinggi
kognitif infeksi
menurun berkepanjangan
Edukasi
6. Kultur area
luka 1. Jelaskan tanda
membaik dan gejala
infeksi
2. Anjurkan cara
memeriksa
kondisi luka atau
luka operasi

Kolaborasi

1. Kolaborasi
pemberian
imunisasi, jika
perlu

3. Implementasi
Pencegahan, pengaturan posisi dan intervensi mandiri. Tindakan
keperawatan mencangkup tindakan mandiri dan kolaborasi Tindakan
mandiri : aktivitas perawat yang dilakukan atau yang didasarkan pada
kesimpulan sendiri dan bahan petunjuk dan perintah tenaga kesehatan lain.
Tindakan kolaborasi: tindakan yang dilaksanakan atas hasil keputusan
bersama dengan dokter dan petugas kesehatan lain.
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari suatu proses keperawatan
yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana ksehatan
pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
melibatkan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, and Kamitsuru. 2015. Diagnosis Keperawatan : Definisi Keperawatan


& Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.

Priscilla, L, M B Karen, and B Gerene. 2016. Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C. 2016. Keperawatan Medikal Bedah ( Handbook For Brunner &
Suddarth’s Textbook Of Medical-Surgical Nursing ) Edisi 12. Jakarta:
EGC.

Tim pokja SDKI PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta:
DPP PPNI.

Tim pokja SIKI PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta:
DPP PPNI.

Wijaya, Saferi Andra, Putri, and Yessie Marisa. 2016. Keperawatan Medikal
Bedah (Keperawatan Dewasa). Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai