Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MILITUS ( DM )

Oleh :
ISMAHARTIN UMASANGAJI
14420212117

CI LAHAN CI INSITUSI

……………………. ……………………..

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kaki diabetik merupakan penyebab umum dilakukannya tindakan
amputasi pada klien dengan Diabetes Mellitus (DM). Diperkirakan 40%
hingga 70% amputasi ekstremitas bawah dialami oleh klien dengan DM
yang bermula dengan ulkus kaki. Kasus amputasi akibat komplikasi DM
masih banyak ditemukan di Indonesia. Pada tahun 2014 di ruang
perawatan penyakit dalam RSUP. Cipto Mangunkusumo Jakarta terdapat
111 klien diebetes yang dirawat dengan masalah kaki diabetik dan 35% di
antaranya harus dilakukan tindakan amputasi yang terdiri dari 30%
amputasi mayor dan 70% amputasi minor dengan jumlah angka kematian
akibat amputasi tersebut sekitar 15% (Agustin, Nurachmah, and Kariasa
2016).
Selanjutnya, data pada tahun 2015 hingga 2016 di rumah sakit
yang sama memperlihatkan peningkatan jumlah amputasi menjadi 54%
yang sebagian besar terdiri dari amputasi minor sebesar 64,7% dan
amputasi mayor sebesar 35,3% (Pusat Data dan Informasi Perhimpunan
Rumah Sakit Indonesia Amputasi ekstremitas bawah dapat menyebabkan
berbagai perubahan dalam kehidupan pada klien yang mengalaminya.
Klien yang mengalami amputasi ektremitas bawah akan merasakan
perubahan pada citra tubuh dan identitas diri, serta masalah ketika
berhubungan dengan orang lain. Amputasi mayor ekstremitas bawah tidak
hanya memberikan dampak pada aspek fisik, tetapi juga memberikan
dampak pada psikososial klien yang mengalaminya. Penelitian ini
bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai pengalaman klien DM
setelah mengalami amputasi mayor ekstre- mitas bawah dari aspek
psikososial, spiritual, adaptasi, dan makna hidup, serta pelayanan
kesehatan yang diterima pasca amputasi mayor ekstremitas bawah yang
dialami (Agustin, Nurachmah, and Kariasa 2016).
DM merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan
kadar glukosa darah melibihi batas normal. Apabila penyakit ini dibiarkan
tak terkendali maka akan menimbulkan komplikasi-komplikasi yang dapat
berakibat fatal, termasuk penyakit jantung, ginjal, kebutaan, dan mudah
terkena ateroskelosis (Wijaya et al. 2016).
Amputasi adalah hilangnya sebagian alat gerak yang menyebabkan
ketidakmampuan seseorang untuk melakukan aktivitas dalam derajat yang
bervariasi, tergantung dari bagian mana alat gerak yang hilang, usia, dan
penanganan operasi (untuk kasus kehilangan alat gerak yang disebabkan
amputasi) (Herdman and Kamitsuru 2015).

B. TUJUAN
Dengan adanya laporan pendahuluan ini pembaca diharapkan dapat
mengetahui tentang Diabetes Mellitus

C. RUMUSAN MASALAH
1. Konsep Medis
2. Konsep Keperawatan
BAB 2
KONSEP MEDIS
A. DEFINISI
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia
(Smeltzer 2016).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula
(glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif
(Wijaya et al. 2016).
Diabetes Melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai
berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang
menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan
pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan
dengan mikroskop elektron (Herdman and Kamitsuru 2015).
 Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Diabetes
Melitus adalah peningkatan kadar glukosa dalam darah akibat kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif yang dapat menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, tindakan amputasi dan
pembuluh darah.

B. EPIDEMIOLOGI
1. Diabetes Melitus Tipe 1 (DM Tipe 1)
Kekerapan DM Tipe 1 di negara barat ±10% dari DM Tipe 2. Di
negara tropik jauh lebih sedikit lagi. Gambaran kliniknya biasanya
timbul pada masa kanak-kanak dan puncaknya pada masa akil
balik. Tetapi ada juga yang timbul pada masa dewasa.
2. Diabates Melitus Tipe 2 (DM Tipe 2)
DM Tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan (lebih dari
90%). Timbul makin sering setelah umur 30 dengan catatan pada
dekade ketujuh kekerapan diabetes mencapai 3 sampai 4 kali lebih
tinggi daripada rata-rata orang dewasa.
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
Ada beberapa tipe diabetes yang lain seperti defek genetik fungsi
sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi
yang jarang dan sindroma genetik lain yang berkaitan dengan DM.
4. Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes Melitus Gestasional adalah diabetes yang timbul selama
kehamilan. Jenis ini sangat penting diketahui karena dampaknya pada
janin kurang baik bila tidak ditangani dengan benar (Herdman and
Kamitsuru 2015)

C. ETIOLOGI

Etiologi dari Diabetes Mellitus sampai saat ini masih belum


diketahui dengan pasti dari studi-studi eksperimental dan klinis kita
mengetahui bahwa Diabetes Mellitus adalah merupakan suatu sindrom
yang menyebabkan kelainan yang berbeda-beda dengan lebih satu
penyebab yang mendasarinya. Menurut banyak ahli beberapa faktor yang
sering dianggap penyebab yaitu:
1. Dibetes melitus tipe I
Diabetes melitus tipe I ditandai oleh penghancuran sel-sel beta
pankreas yang merupakan kombinasi dari beberapa faktor:
a. Faktor genetik
Penderita tidak mewarisi diabetas tipe I sendiri tetapi mewarisi
suatu predisposisi kearah terjadinya diabetas tipe I yaitu dengan
ditmukannya tipe antigen HLA (Human Leucolyte antoge)
teertentu pada individu tertentu.
b. Faktor  imunologi
Pada diabetae tipe I terdapat suatu respon autoimun sehingga
antibody terarah pada sel-sel pulau lengerhans yang dianggapnya
jaringan tersebut seolah-olah sebagai jeringan abnormal
c. Faktor lingkungan
Penyelidikan dilakukan terhadap kemungkinan faktor-faktor
ekternal yang dapat memicu  destruksi sel beta, contoh hasil 
penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu
dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel
beta
2. Diabetes Melitus Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin pada diabetas melitus tipe II masih belum
diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam
proses terjadinya resistensi insulin dan juga terspat beberap faktor
resiko teetentu yang berhubngan dengan proses terjadinya diabetea tipe
II yaitu:
a. Usia ( resistensi insulin cenderung meningkat usia diatas 65 tahun
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga
d. Kelopok etnik tertentu
3. Faktor non genetik
a. Infeksi
Virus dianggap sebagai “trigger” pada mereka yang sudah
mempunyai predisposisi genetic terhadap Diabetes Mellitus.
b. Nutrisi
1) Obesitas dianggap menyebabkan resistensi terhadap insulin.
2) Malnutrisi protein
3) Alkohol, dianggap menambah resiko terjadinya pankreatitis.
c. Stres
Stres berupa pembedahan, infark miokard, luka bakar dan
emosi biasanya menyebabkan hyperglikemia sementara.
d. Hormonal
Sindrom cushing karena konsentrasi hidrokortison dalam
darah tinggi, akromegali karena jumlah somatotropin meninggi,
feokromositoma karena konsentrasi glukagon dalam darah tinggi,
feokromositoma karena kadar katekolamin meningkat
e. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh
lainnya.
f. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki
(Priscilla, Karen, and Gerene 2016).

D. KLASIFIKASI
1. Insulin Dependent Diabetes Millitus ( IDDM ) atau diabetes tipe 1
Sangat tergantung pada insulin. Disebabkan oleh kerusakan sel
beta pankreas sehingga tubuh tidak dapat memproduksi insulin alami
untuk mengontrol kadar glukosa darah.
2. Non-Insulin Dependent Diabetes Millitus (NIDDM ) atau diabetes tipe
2
Tidak tergantung insulin. Disebabkan oleh gangguan metabolisme
dan penurunan fungsi hormon insulin dalam mengontrol kadar glukosa
darah dan hal ini bisa terjadi karena faktor genetik dan juga dipicu oleh
pola hidup yang tidak sehat.
3. Gestational Diabetes
Disebabkan oleh gangguan hormonal pada wanita hamil. Diabetes
melitus gestational diabetes  mellitus ( GDM ) juga melibatkan suatu
kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin
yang tidak cukup, sama dengan jenis-jenis kencing manis lain. Hal ini
dikembangkan selama kehamilan dan dapat meningkatkan atau
menghilang setelah persalinan. Walaupun demikian, tidak menutup
kemungkinan diabetes gestational dapat mengganggu kesehatan dari
janin atau ibu, dan sekitar 20%–50% dari wanita-wanita dengan
Diabetes Melitus gestational  sewaktu-waktu dapat menjadi penderita
(Herdman and Kamitsuru 2015)

E. MANIFESTASI KLINIK
Yang lazim terjadi, pada DM sebagai berikut :
Pada tahap awal sering ditemukan :
1. Poliuri (banyak BAK)
Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat
sampai melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi
osmotic diuresis yang mana gula banyak menarik cairan dan elektrolit
sehingga penderita mengeluh banyak kencing.
2. Polidipsi (banyak minum)
Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan
cairan banyak karena poliuri, sehingga untuk mengimbangi penderita
lebih banyak minum.
3. Polipagi (banyak makan)
Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel
mengalami starvasi (lapar).
4. Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang. Hal ini
disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka
tubuh berusama mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh yang lain
yaitu lemak dan protein.
5. Mata kabur
Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa – sarbitol
fruktasi) yang disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat
penimbunan sarbitol dari lensa, sehingga menyebabkan pembentukan
katarak
6. Kehilangan anggota gerak (ektremitas atas atau bawah)
7. Nyeri pada bagian yang diamputasi yang berasal dari neuroma ujung
saraf yang dekat dengan permukaan.
8. Bila kebersihan kulit diabaikan terjadi folikulitis dan furunkulitis
(Priscilla, Karen, and Gerene 2016).

F. JENIS – JENIS AMPUTASI


1. Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :
a. Amputasi selektif/terencana. Amputasi jenis ini dilakukan pada
penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penanganan yang baik
serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai
salah satu tindakan alternatif terakhir.
b. Amputasi akibat trauma. Merupakan amputasi yang terjadi sebagai
akibat trauma dan tidak direncanakan. Kegiatan tim kesehatan
adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki
kondisi umum klien.
c. Amputasi darurat. Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh
tim kesehatan. Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan
kerja yang cepat seperti pada trauma dengan patah tulang multiple
dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.
2. Jenis amputasi yang dikenal adalah :
a. Amputasi terbuka. Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi
infeksi yang berat dimana pemotongan pada tulang dan otot pada
tingkat yang sama. Amputasi terbuka dilakukan pada luka yang
kotor, seperti luka perang atau infeksi berat antara lain gangrene,
dibuat sayatan dikulit secara sirkuler sedangkan otot dipotong
sedikit proximal dari sayatan kulit dan digergaji sedikit proximal
dari otot.
b. Amputasi tertutup. Amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi
yang lebih memungkinkan dimana dibuat skaif kulit untuk menutup
luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5 sentimeter
dibawah potongan otot dan tulang. Setelah dilakukan tindakan
pemotongan, maka kegiatan selanjutnya meliputi perawatan luka
operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga kekuatan
otot/mencegah kontraktur, mempertahankan intaks jaringan, dan
persiapan untuk penggunaan protese ( mungkin ). Amputasi
tertutup dibuat flap kulit yang direncanakan luas dan bentuknya
secara teliti untuk memperoleh kulit penutup ujung putung yang
baik dengan lokasi bekas pembedahan (Wijaya et al. 2016).

G. TINGKATAN AMPUTASI
1. Estremitas atas. Amputasi pada ekstremitas atas dapat mengenai
tangan kanan atau kiri. Hal ini berkaitan dengan aktivitas sehari-hari
seperti makan, minum, mandi, berpakaian dan aktivitas yang lainnya
yang melibatkan tangan. Ekstremitas atas, terdiri dari : telapak,
pergelangan tangan, lengan bawah, siku dan lengan atas.
2. Ekstremitas bawah. Amputasi pada ekstremitas ini dapat mengenai
semua atau sebagian dari jari-jari kaki yang menimbulkan penurunan
seminimal mungkin kemampuannya. Ekstremitas bawah terdiri dari  :
jari kaki dan kaki, proksimal sendi pergelangan kaki, tungkai bawah,
tungkai atas, sendi panggul, lutut, hemipeivektomi. Adapun amputasi
yang sering terjadi pada ekstremitas ini dibagi menjadi dua
letak amputasi yaitu :
a. Amputasi dibawah lutut (below knee amputation).Ada 2 metode
pada amputasi jenis ini yaitu amputasi pada nonischemic limb dan
inschemic limb. 
b. Amputasi diatas lutut Amputasi ini memegang angka penyembuhan
tertinggi pada pasien dengan penyakit vaskuler perifer.
c. Nekrosis. Pada keadaan nekrosis biasanya dilakukan dulu terapi
konservatif, bila tidak berhasil dilakukan reamputasi dengan level
yang lebih tinggi.
d. Kontraktur. Kontraktur sendi dapat dicegah dengan mengatur letak
stump amputasi serta melakukan latihan sedini mungkin.
Terjadinya kontraktur sendi karena sendi terlalu lama diistirahatkan
atau tidak di gerakkan.
e. Neuroma. Terjadi pada ujung-ujung saraf yang dipotong terlalu
rendah sehinggamelengket dengan kulit ujung stump. Hal ini dapat
dicegah dengan memotong saraf lebih proximal dari stump
sehingga tertanam di dalam otot.
f. Phantom sensation. Hampir selalu terjadi dimana penderita
merasakan masih utuhnya ekstremitas tersebut disertai rasa nyeri.
Hal ini dapat diatasi dengan obat-obatan, stimulasi terhadap
saraf dan juga dengan cara kombinasi (Wijaya et al. 2016).

H. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar patologi Diabetes Mellitus dapat dikaitkan dengan
satu dari tiga efek utama kekurangan insulin sebagai berikut : (1)
Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, dengan akibat
peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200
mg/hari/100 ml. (2) Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah-daerah
penyimpanan lemak, menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun
pengendapan lipid pada dinding vaskuler yang mengakibatkan
aterosklerosis. (3) Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.
Akan tetapi selain itu terjadi beberapa masalah patofisiologi pada
Diabetes Mellitus yang tidak mudah tampak yaitu kehilangan ke dalam
urine penderita Diabetes Mellitus. Bila jumlah glukosa yang masuk
tubulus ginjal dan filtrasi glomerulus meningkat kira-kira diatas 225
mg.menit glukosa dalam jumlah bermakna mulai dibuang ke dalam urine.
Jika jumlah filtrasi glomerulus yang terbentuk tiap menit tetap, maka
luapan glukosa terjadi bila kadar glukosa meningkat melebihi 180 mg%.
Asidosis pada diabetes, pergeseran dari metabolisme karbohidrat
ke metabolisme telah dibicarakan. Bila tubuh menggantungkan hampir
semua energinya pada lemak, kadar asam aseto – asetat dan asam
Bihidroksibutirat dalam cairan tubuh dapat meningkat dari 1 Meq/Liter
sampai setinggi 10 Meq/Liter (Priscilla, Karen, and Gerene 2016)

I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Tes HbA1C
Tes hemoglobin terglikasi (HbA1C) adalah pengukuran gula darah
jangka panjang. Tes diagnosis diabetes melitus ini memungkinkan
dokter tahu berapa rata-rata nilai gula darah Anda dalam beberapa
bulan terakhir.
Tes HbA1C mengukur persentase gula darah yang terikat dengan
hemoglobin. Hemoglobin adalah oksigen pembawa protein dalam sel
darah merah. Semakin tinggi hemoglobin A1C, semakin tinggi pula
tingkat gula darah.
Kadar HbA1C 6.5 persen atau lebih pada tes yang sudah dilakukan
lebih dari satu kali menandakan Anda punya diabetes. Sementara hasil
antara 5.7 6.4 persen menunjukkan bahwa Anda masih di
tahap pradiabetes. Kadar gula darah normal biasanya berada di bawah
5.7 persen.
Tes HbA1C bisa juga digunakan untuk memantau gula darah
secara rutin setelah Anda didiagnosis penyakit diabetes melitus. Kadar
HbA1C sebaiknya dicek beberapa kali dalam setahun.
2. Tes gula darah puasa
Dokter juga mungkin melakukan tes gula darah puasa untuk
mendiagnosis risiko Anda. Sampel darah akan diambil setelah Anda
berpuasa semalaman (kurang lebih 8 jam).
Berikut kategori kadar gula darah menurut tes gula darah puasa.
a. Normal: kurang dari 100 mg/dL (5.6 mmol/L).
b. Pradiabetes: antara 100 sampai 125 mg/dL (5.6 sampai 6.9
mmol/L).
c. Diabetes: 126 mg/dL (7 mmol/L) atau lebih.
Sejauh ini, tes gula darah puasa dianggap sebagai metode diagnosis
diabetes melitus yang cukup efektif.
3. Tes gula darah sewaktu
Ada beberapa kondisi yang membuat hasil tes HbA1C tidak valid.
Contohnya apabila tes dilakukan pada wanita hamil atau pada orang-
orang dengan variasi hemoglobin. Nah pada kasus seperti itu, tes gula
darah sewaktu (tes GDS) bisa dilakukan sebagai gantinya.
Tes GDS bisa dilakukan kapan saja tanpa perlu
mempertimbangkan waktu makan terakhir Anda. Namun, biasanya tes
ini dilakukan apabila Anda sudah memiliki gejala diabetes seperti
sering buang air kecil atau kehausan esktrem.
Nilai gula darah akan ditampilkan dalam bentuk miligram per
desiliter (mg/dL) atau milimole per liter (mmol/L). Jika hasil tes GDS
menunjukkan 200 mg/dL (11.1 mmol/L) atau lebih, artinya gula darah
Anda tinggi dan Anda punya diabetes. Sementara jika angkanya di
bawah 200 mg/dL, artinya kadar gula darah masih di angka normal.
4. Foto rontgen
5. Tes toleransi gula darah oral
Ketimbang ketiga tes sebelumnya, metode diagnosis diabetes
melitus ini terbilang kurang umum kecuali jika Anda sedang hamil.
Tes toleransi glukosa oral membutuhkan puasa semalam
sebelumnya. Jadi, Anda harus puasa dulu seama kurang lebih 8 jam
dan setelahnya akan diminta untuk makan seperti biasa. Dokter juga
mungkin akan memberikan cairan gula. Selang 2 jam setelah makan,
kadar gula darah Anda akan diperiksa.
Pada orang yang sehat, kadar gula darah mereka biasanya akan
kembali normal setelah 2 jam makan. Sementara jika Anda punya
diabetes, kadar gula darah akan tetap tinggi setelah 2 jam makan.
Berikut kategori kadar gula darah dari pemeriksaan toleransi gula
darah oral.
a. Normal: kurang dari 140 mg/dL (7.8 mmol/L).
b. Prediabetes: 140-199 mg/dl
c. Diabetes: 200 mg/dl atau lebih (Smeltzer 2016).

J. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan klien dengan Diabetes Mellitus
adalah untuk mengatur glukosa darah dan mencegah timbulnya komplikasi
acut dan kronik. Jika klien berhasil mengatasi diabetes yang dideritanya, ia
akan terhindar dari hyperglikemia atau hypoglikemia. Penatalaksanaan
diabetes tergantung pada ketepatan interaksi dari tiga faktor aktifitas fisik,
diet dan intervensi farmakologi dengan preparat hyperglikemik oral dan
insulin. Penyuluhan kesehatan awal dan berkelanjutan penting dalam
membantu klien mengatasi kondisi ini. Penatalaksanaan Medik
diantaranya adalah :
1. Perencanaan makan
Standar yang dianjurkan adalah makan dengan komposisi
seimbangan dalam hal Karbohidrat (KH), Protein, lemak  yang sesuai
kecukupan gizi :
a. KH 60 –70 %
b. Protein 10 –15 %
c. Lemak 20 25 %
Beberapa cara menentukan jumalah kelori uantuk pasien DM
melalui perhitungan menurut Bocca:   Berat badan (BB) Ideal: (TB –
100) – 10% kg 
a. BB ideal x 30% untuk laki-laki
b. BB ideal x25% untuk Wanita
Kebutuan kalori dapat ditambah lagi dengan kegiatan sehari-
hari:
1) Ringan : 100 – 200 Kkal/jam
2) Sedang : 200 – 250 Kkal/jam
3) Berat    : 400 – 900 Kkal/jam
Kebutuhhan basal dihituung seperti 1), tetapi ditambah kalori
berdasarkan persentase kalori basal:
a. Kerja  ringan ditambah 10% dari kalori basal
b. Kerja  sedang  ditambah 20% dari kalori basal
c. Kerja  berat ditambah 40 – 100 % dari kalori basal
d. Pasien kurus, masih tumbuh kumbang, terdapat infeksi, sedang
hamil atau menyesui, ditambah 20 –30-% dari kalori basal
Suatu pegangan kasar dapat dibuat sebagai berikut:
a. Pasien kurus          : 2300 – 2500 Kkal
b. Pasien nermal        : 1700 – 2100 Kkal
c. Pasien gemuk        :  1300 – 1500 Kkal
2. Latihan jasmani
Dianjurkan latihian jasmani secara teratur (3 –4 x seminggu)
selama kurang lebih 30 menit yang disesuaikan dengan kemampuan
dan kondisi penyakit penyerta. Latihian yang dapat dijadikan pilihan
adalah jalan kaki, jogging, lari, renang, bersepeda dan mendayung.
Sespat muingkain zona sasaran yaitu 75 – 85 % denyut nadi
maksimal : DNM = 220-umur (dalam tahun).
3. Pengelolaan farmakologi
a. Obat hipoglikemik oral (OHO)
Golongan sulfonil ures bekerja dengan cara:
1) Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan
2) Menurunkan ambang sekresi insulin
3) Meningkatkna sekresi insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa
b. Biguanid
Menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai bawah
normal. Preparat yang ada dan aman adalah metformin. Obat ini
dianjurkan untuk  pasien gemuk.
c. Inhibitor alfa glukosidase
Secara kompettitf menghambat kerja enzim alfa glukosidase di
dalam saluran cerna sehingga menrunkan hiperglikemia pasca
pransial.
d. Insulin sensitizin gagent
Thoazolidinediones adalah golongan obat baru yang
mempunyai sfek farmakologi meningkatkan sensitivitas insulin
sehingga bisa mengatasi nasalah resistensi insulin dan berbagai
masalah akibat resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia
(Priscilla, Karen, and Gerene 2016).

K. KOMPLIKASI
Komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi dan kerusakan
kulit. Perdarahan dapat terjadi akibat pemotongan pembuluh darah besar
dan dapat menjadi masif. Infeksi dapat terjadi pada semua pembedahan
dengan peredaran darah yang buruk atau adanya kontaminasi serta dapat
terjadi kerusakan kulit akibat penyembuhan luka yang buruk dan iritasi
penggunaan protesis (Smeltzer 2016).
PATHWAY

Trauma/injury Infeksi DM

Fraktur, Multiple, Kerusakan pembuluh


Combustio darah kapiler

Kerusakan jaringan/ Penurunan suplai O2 dan


Ekstremitas yang tidak nutrisi ke jaringan
dapat diperbaiki atau
disembuhkan

Iskemik

Terbentuknya
gangren

Terbentuknya
gangren

Amputasi Nekrosis
atau bedah

Post operasi Tindakan Luka operasi Kehilangan angota


operasi/bedah tubuh

Proses Terputusnya
penyembuhan Resiko infeksi kontinuitas Kesulitan untuk
jaringan melakukan
aktivitas/mobilisasi
Tirah baring

Nyeri akut
Gangguan
mobilitas fisk
KONSEP KEPERAWATAN

A. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian pada klien dengan gangguan sistem endokrin Diabetes Mellitus
dilakukan mulai dari pengumpulan data yang meliputi : biodata, riwayat
kesehatan, keluhan utama, sifat keluhan, riwayat kesehatan masa lalu,
pemeriksaan fisik, pola kegiatan sehari-hari.
Hal yang perlu dikaji pada klien degan Diabetes Mellitus :
1. Aktivitas dan istirahat :
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan
tidur, tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan koma.
2. Sirkulasi
Riwayat hipertensi, penyakit jantung seperti IMA, nyeri, kesemutan pada
ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering, merah, dan
bola mata cekung.
3. Eliminasi
Poliuri,nocturi, nyeri, rasa terbakar, diare, perut kembung dan pucat.
4. Nutrisi
Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek, mual/muntah.
5. Neurosensori
Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan, lemah otot,
disorientasi, letargi, koma dan bingung.
6. Nyeri
Pembengkakan perut,  meringis.
7. Respirasi
Tachipnea, kussmaul, ronchi, wheezing dan sesak nafas.
8. Keamanan
Kulit rusak, lesi/ulkus, menurunnya kekuatan umum.
9. Seksualitas
Adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun dan
terjadi impoten pada pria (Smeltzer 2016)
B. DIAGNOSIS YANG SERING MUNCUL
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencendera fisik
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal
3. Resiko Infeksi berhubungan dengan penyakit kronis

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
Manajemen nyeri
Observasi
a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri.
b. Identifikasi skala nyeri
Terapeutik
a. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hipnosis, akupresure, terapi musik, biofeedback ,terapi
pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin.)
b. Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri (mis. suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan.)
c. Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Ajarkan eknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgetik , jika perlu.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal
Dukungan Ambulasi
Observasi
a. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
b. Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
c. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
ambulasi
Terapeutik
a. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis. tongkat, kruk)
b. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik
c. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
ambulasi
Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
b. Anjurkan melakukan ambulasi dini
c. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (mis. berjalan
dari tempat tidur ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar
mandi, berjalan seusai toleransi)
3. Resiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis.
Pencegahan Infeksi
Observasi
a. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
Terapeutik
a. Batasi jumlah pengunjung
b. Berikan perawatan kulit pada area edema
c. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
d. Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
Edukasi
a. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
b. Anjurkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, and Kamitsuru. 2015. Diagnosis Keperawatan : Definisi Keperawatan


& Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.

Priscilla, L, M B Karen, and B Gerene. 2016. Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C. 2016. Keperawatan Medikal Bedah ( Handbook For Brunner &
Suddarth’s Textbook Of Medical-Surgical Nursing ) Edisi 12. Jakarta: EGC.

Tim pokja SDKI PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta:
DPP PPNI.

Tim pokja SIKI PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta:
DPP PPNI.

Wijaya, Saferi Andra, Putri, and Yessie Marisa. 2016. Keperawatan Medikal
Bedah (Keperawatan Dewasa). Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai