Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN DENGAN DIABETES


MELITUS DI RUANG PERAWATAN INTERNA
RSUD DAYA KOTA MAKASSAR

Oleh:

JULIA MANGERA, S.Kep

CI Lahan CI Institusi

( ) ( )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH


TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
NANI HASANUDDIN MAKASSAR
2023
BAB I
KONSEP MEDIS DIABETES MELITUS
A. Definisi
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik dengan
peningkatan gula darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat kelainan produksi
insulin, aktivitas insulin atau keduanya. Peningkatan kadar gula darah yang
berlangsung lama pada diabetes berhubungan dengan komplikasi jangka
panjang, gangguan fungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh (mata, ginjal,
saraf, jantung dan pembuluh darah) (Setiawan, 2021).
DM merupakan suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis
dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah
dan disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein
sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. DM merupakan suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduaduanya. DM adalah suatu
penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah yang melebihi nilai
normal (hiperglikemia) secara menahun. Hiperglikemia adalah suatu keadaan
di mana kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl dan kadar glukosa darah
sewaktu ≥ 200 mg/dl (Sulastri, 2022)
Diabetes melitus (DM) yang biasa kita sebut penyakit kencing manis
adalah serangkaian gejala, baik absolut maupun relatif, yang disebabkan oleh
peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin. Salah satu
komplikasi penyakit diabetes melitus yang sering dijumpai adalah kaki
diabetik (diabetic foot), yang dapat bermanifestasikan sebagai ulkus, infeksi,
gangren dan artropati charcot. Diabetes melitus merupakan penyakit
degeneratif kronis yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun
(Haskas et al., 2023).
B. Etiologi dan Klasifikasi
Penyakit diabetes melitus secara umum diaki batkan oleh
konsumsi makanan yang tidak terkontrol atau sebagai efek samping dari
pemakaian obat-obat tertentu. Diabetes melitus juga disebabkan oleh
tidak cukupnya hormon insulin yang dihasilkan pankreas untu k
menetralkan glukosa darah di dalam tubuh. Fungsi dari hormon
insulin adalah untuk memproses zat gula atau glukosa yang berasal dari
minuman maupun makanan yang dikonsumsi seseorang. Pada penderita
diabetes melitus terjadi kerusakan pankreas sehingga hormon insulin yang
diproduksi tidak mampu mencukupi kebutuhan. Organisasi profesi yang
berhubungan dengan diabetes melitus seperti American Diabetes
Association (ADA) telah membagi jenis diabetes melitus berdasarkan
penyebabnya. PERKENI dan IDAI sebagai organisasi yang sama di
Indonesia menggunakan klasifikasi dengan dasar yang sama seperti
klasifikasi yang dibuat oleh organisasi yang lainnya (PERKENI, 2015)
dalam (Ulfa et al., 2020).
Klasifikasi DM berdasarkan etiologi adalah sebagai berikut :
1. Diabetes Melitus (DM) Tipe I
Diabetes melitus tipe I atau disebut insulin dependent atau
juvenile/childhood onset diabetes, ditandai dengan kurangnya
produksi insulin yang terjadi karena kerusakan atau destruksi sel beta
di pankreas. Kerusakan ini berakibat pada keadaan defisiensi insulin
yang terjadi secara absolut. Penyebab dari kerusakan sel beta antara
lain autoimun dan idiopatik.
Beberapa faktor penyebab diabetes melitus tipe I, yaitu
(Hasanuddin & Purnama, 2022) :
a. Faktor genetik
Faktor ini penderita itu sendiri tidak mewarisi tipe itu
sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan
genetik ke arah terjadinya diabetes tipe I , ini dapat ditemukan
pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (Human Leucoctye
Antigen) tertentu.
b. Faktor autoimun
Diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun
merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan
tersebut yang dianggapnya sebagai suatu jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Lingkungan yang dimaksud adalah terdapatnya suatu virus
atau toksin tertentu yang dapat memicu proses autoimun yang
menimbulkan destruksi sel sehingga dapat menyebabkan
gangguan pada proses pembentukan insulin.
2. Diabetes Melitus (DM) Tipe II
Diabetes melitus tipe II atau disebut non insulin dependent atau
adult onset diabetes disebabkan penggunaan insulin yang kurang
efektif oleh tubuh. Diabetes tipe II merupakan 90% dari seluruh
diabetes. Insulin dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja
secara optimal sehingga menyebabkan kadar gula darah tinggi di
dalam tubuh. Defisiensi insulin juga dapat terjadi secara relatif pada
penderita DM tipe II dan sangat mungkin untuk menjadi defisiensi
insulin absolut.

Beberapa faktor penyebab diabetes melitus tipe II, yaitu


(Hasanuddin & Purnama, 2022) :
a. Obesitas
Obesitas atau kegemukan yaitu keadaan dimana melebihi berat
badan ≥20% dari berat badan ideal, sehingga dari kegemukan tersebut
menyebabkan berkurangnya jumlah reseptor insulin yang dapat
berkerja di dalam sel pada otot skeletal dan jaringan lemak. Hal ini
disebut dengan resistensi insulin perifer. Kegemukan juga dapal
merusak kemampuan sel β untuk melepas insulin saat terjadi
peningkatan glukosa dalam darah.
Makan secara berlebihan serta melebihi dari kadar kalori yang
dibutuhkan tubuh dapat memicu timbulnya penyakit Diabetes
Melitus tipe II, obesitas merupakan salah satu faktor resiko yang
penting sehingga mengakibatkan terjadinya penyakit diabetes melitus.
Orang yang obesitas masukan makanannya berlebihan sehingga kerja
pankreas akan lebih keras untuk menormalkan kadar glukosa dalam
darah akibat asupan makanan yang berlebihan sehingga sel p pada
pankreas tidak akan mengalami kelelahan dan tidak mampu
menghasilkan insulin secara normal untuk mengimbangi kelebihan
kalori yang masuk, sehingga kadar glukosa dalam darah akan
meningkat.
b. Usia
Faktor usia yang dapat beresiko menderita Diabetes Melitus
tipe II adalah usia diatas 30 tahun, hal ini dikarenakan adanya
perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia pada tubuh.
Peningkatan usia sangat erat kaitannya dengan kejadian Diabetes
Melitus, lebih dari 50% penderita diabetes tipe II terjadi
dikelompok usia sekitar 40 tahun keatas. Faktor resiko usia untuk
diabetes tipe II terjadi pada usia diatas 30 tahun dapat dicegah
dengan memperhatikan faktor resikonya. Diabetes adalah penyakit
yang terjadi akibat penurunan fungsi pada organ tubuh
(degeneratif) terutama pada gangguan fungsi organ pankreas dalam
hal ini menghasilkan hormon insulin, sehingga kasus diabetes
semakin meningkat sejalan dengan pertambahan usia.
c. Tekanan Darah
Tekanan darah beresiko terhadap diabetes melitus lipe II
adalah pada orang yang mempunyai tekanan darah ≥140/90
mmHg. Individu yang mengalami hipertensi mempunyai resiko
1-5 kali lebih besar untuk mengalami diabetes dibandingakan
dengan individu yang tidak mengalami hipertensi. Hipertensi
pada diabetes melitus diakibatkan karena penebalan pada
pembuluh darah arteri sehingga menyebabkan diameter pembuluh
darah menjadi menyempit. Hal ini akan menyebabkan pada proses
pengangkutan glukosa dari dalam darah menjadi terhambat.
d. Aktivitas Fisik
Kurangnya aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang
ikut berperan menyebabkan resistensi insulin pada Diabetes
Melitus tipe II. lndividu yang aktif beraktivitas fisik memiliki
insulin dan glukosa yang lebih baik daripada individu yang tidak
aktif. Mekanisme aktivitas fisik dalam mencegah atau menghambat
perkembangan diabetes melitus tipe II yailu: 1) penurunan
resistensi insulin/peningkatan sensitifitas pada insulin; 2)
peningkatan toleransi insulin; 3) penurunan lemak adiposa tubuh
secara menyeluruh; 4) pengurangan lemak sentral; 5) perubahan
jaringan otot.
e. Stres
Stres muncul ketika ketidakcocokan antara tuntutan yang
dihadapi dengan kemampuan yang dimiliki. Pada penderita
diabetes yang mengalami stres dapat mengubah pola makan,
latihan, penggunaan obat yang biasanya dipatuhi dan akan
menyebabkan hiperglikemia.
Stres dapat memicu reaksi biokimia dalam tubuh melalui dua
jalur yaitu neural dan neuroendokrin. Reaksi pertama respon stres
yaitu sekresi pada sistem saraf untuk mengeluarkan norepinefrin
yang dapat menyebabkan peningkatan frekuensi jantung dan akan
menyebabkan peningkatan glukosa darah menjadi meningkat
sebagai sumber energi ke perfusi. Bila stres ini menetap akan
melibatkan hipotalamus pituitari. Hipotalamus akan mensekresi
corticotropin-releasing factor yang menstimulasi pituitari untuk
memproduksi Adrenocortocotropi c Hormone (ACTH) kcmudian
ACTH menstimulasi pituitari anterior atau memproduksi
glukokartikoid, terutama kartisol. Peningkatan kartisol dapat
mempengaruhi peningkatan glukosa dalam darah melalui
glukoneogenesis, katabolisme protein dan lemak.

3. Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes Melitus tipe ini merupakan DM yang berkembang

selama masa kehamilan dan menjadi salah satu faktor risiko

berkembangnya diabetes pada ibu setelah melahirkan. Bayi yang

dilahirkan cenderung akan mengalami obesitas serta berpeluang

mengalami penyakit DM pada usia dewasa.

4. Diabetes Melitus (DM ) Tipe lain

Penyebab diabetes melitus tipe lain sangat bervariasi. Diabetes

melitus tipe ini dapat disebabkan oleh defek genetik fungsi sel beta,

defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati

pankreas, obat, zat kimia, infeksi, kelainan imunologi dan sindrom

genetik lain yang berkaitan dengan diabetes melitus.

C. Manifestasi Klinis
Berikut beberapa manifestasi klinis diabetes melitus, yaitu
(Hasanuddin & Purnama, 2022) :
1. Poliuria
Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24
jam meningkat melebihi batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala
diabetes melitius karena kadar glukosa darah di dalam tubuh relatif
tinggi sehingga mengakibatkan tubuh tidak sanggup untuk mengurainya
dan berusaha untuk mengeluarkannya melalui urine. Gejala pengeluaran
urine lebih sering terjadi pada malam hari dan urine yang dikeluarkan
mengandung glukosa.
2. Polidipsia
Polidipsia merupakan suatu keadaan dimana individu merasakan
haus berlebihan yang timbul dikarenakan kadar glukosa terbawa oleh
urine sehingga tubuh merespon untuk meningkatkan asupan cairan.
3. Poliphagia
Keadaan dimana penderita diabetes melitus akan merasa cepat
lapar dan lemas, hal tersebut disebabkan karena glukosa dalam tubuh
semakin habis sedangkan kadar glukosa dalam tubuh cukup tinggi.
4. Penyusutan berat badan
Pada penderita diabetes melitus terjadi penyusutan berat badan hal
ini disebabkan karena tubuh terpaksa mengambil dan membakar lemak
sebagai cadangan energi.
5. Malaise
Penderita diabetes melitus terdapat glukosa tidak dapat masuk ke
dalam sel sehingga membuat proses metabolisme dalam tubuh dan asupan
makanan ke sel terganggu, hal ini dapat menyebabkan kelemahan pada
pasien diabetes melitus.
D. Patofisiologi
Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan insulin namun tidak mutlak.
Ini berarti bahwa tubuh tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan yang ditandai dengan kurangnya sel beta atau defisiensi
insulin resistensi insulin perifer (Lestari et al., 2021). reseptor insulin rusak
yang menyebabkan resistensi insulin perifer, sehingga insulin kurang efektif
dalam mentransmisikan pesan biokimia ke sel. Dalam kebanyakan kasus
diabetes tipe 2, ketika obat oral tidak dapat merangsang pelepasan insulin
yang memadai, suntikan dapat menjadi alternatif. (Sari & Wijaya, 2019).
Kurangnya insulin juga dapat mengganggu metabolisme protein dan
lemak, yang menyebabkan penurunan berat badan. Jika terjadi kekurangan
insulin, kelebihan protein dalam darah yang bersirkulasi tidak akan disimpan
di jaringan. Dengan tidak adanya insulin, semua aspek metabolisme lemak
akan meningkat pesat. Biasanya hal ini terjadi di antara waktu makan, saat
sekresi insulin minimal, namun saat sekresi insulin mendekati, metabolisme
lemak pada DM akan meningkat secara signifikan (Ardiani et al., 2021).
Mengatasi resistensi insulin dan mencegah pembentukan glukosa dalam
darah, maka perlu dilakukan peningkatan jumlah insulin yang disekresikan
oleh sel beta pankreas. Pada pasien dengan gangguan toleransi glukosa, hal
ini terjadi karena sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa tetap
normal atau sedikit meningkat. Namun, jika sel beta tidak dapat memenuhi
peningkatan permintaan insulin, kadar glukosa meningkat dan diabetes tipe II
berkembang. (Lestari et al., 2021).
E. Penyimpangan KDM

Glukotoksisitas, lipotoksisitas, penumpukan amiloid, Obesitas, kurang aktivitas, stres.


efek interektin, umur >40 tahun dan genetik (Life Style)

Penurunan fungsi sel β pankreas Kadar lemak tinggi

Produksi insulin turun Kerusakan pankreas menghasilkan banyak insulin

Resistensi insulin

DIABETES
MELITUS

Reseptor insulin tidak Insulin menurun Sel tubuh Kerusakan


berkaitan dengan insulin kekurangan glukosa pembuluh darah
kapiler di mata
Glukosa tidak dapat
Reseptor insulin tidak masuk ke sel
Peningkatan Tubuh
berkaitan dengan insulin pengggunaan produksi Perdarahan
Proses penyembuhan protein dan kortisol
luka terhambat glukagon oleh
Glukosa tidak dapat Trombus dan
jaringan
masuk ke sel Kortisol jaringan
tidak parut
Luka tidak mendapat
Penurunan BB diserap
Hiperglikemia suplai O2 dari darah
tubuh
Gangguan
Defisit suplai darah
Risiko Kerusakan dan
Nutrisi Berat badan ke mata
Ketidakstabilan kematian jaringan
menurun,
Kadar Glukosa
tubuh makin
Darah Retinopati
Gangguan kurus,
Integritas mudah lelah
Kulit/Jaringan Kebutaan
Glikosuria
Intoleransi
Pembedahan Aktivitas
Luka lama (debridement)
Diuresis osmotik sembuh
meningkat
Adanya perlukaan
Risiko Infeksi atau insisi pada
Poliuria
daerah luka
Risiko Ganggguan
Nyeri Cedera Persepsi
Kehilangan cairan Sensori
berlebihan Pengeluaran
histamin dan (Penglihatan)

Kerusakan prostaglandin
Dehidrasi saraf
(neuropati)
Ganggguan
Polidipsia Mobilitas
nekrosis luas Fisik

Hipovolemia
Amputasi

Risiko Syok
Gangguan Citra Tubuh
F. Pencegahan
Menurut WHO 2020 berikut langkah-langkah gaya hidup sederhana
yang telah terbukti efektif dalam mencegah atau menunda timbulnya diabetes
tipe II serta mencegah komplikasinya (Eva Decroli, 2019) :
1. Mempertahankan berat badan yang ideal dan sehat.
2. Melakukan aktivitas fisik setidaknya 30 menit aktivitas reguler dengan
intensitas sedang hampir setiap hari. Lebih sering melakukan aktivitas
fisik dinilai sangat efektif dalam mengontrol berat badan.
3. Makan makanan yang sehat, hindari gula dan lemak jenuh
4. Hindari merokok dikarenakan perilaku merokok dapat meningkatkan
risiko diabetes dan penyakit kardiovaskular.
G. Komplikasi
Diabetes melitus dapat mengakibatkan berbagai komplikasi yang dibagi
menjadi dua secara garis besar yaitu (Fandinata & Ernawati, 2020) :
1. Komplikasi Macrovaskular
Komplikasi makrovaskuler adalah komplikasi yang mengenai
pembuluh darah arteri yang lebih besar, sehingga menyebabkan
atherosklerosis. Akibat atherosklerosis anta ra lain timbul penyakit
jantung koroner, hipertensi, dan stroke. Komplikasi makrovaskular
yang umum berkembang pada penderita diabetes adalah penyakit
jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh
darah perifer. Komplikasi makrovaskular ini sering terjadi pada
penderita diabetes mellitus tipe II yang umumnya menderita hipertensi,
dislipidemia dan atau kegemukan.
2. Komplikasi Microvaskular
Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes
mellitus tipe I. Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein
yang terglikasi menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin
lemah dan rapuh sehingga terjadi penyumbatan pada pembuluh-
pembuluh darah kecil. Hal inilah yang mendorong timbulnya komplikasi-
komplikasi mikrovaskuler, antara lain retinopati, nefropati, dan neuropati.
H. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis DM ditegakkan berdasarkan pemeriksaan glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
darah enzim dengan bahan plasma darah intravena. Penggunaan darah vena
atau kapiler tetap dapat digunakan dengan mempertimbangkan banyaknya

kriteria diagnostik yang berbeda menurut kriteria WHO 2018 . Untuk tujuan
pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler. Kecurigaan adanya DMT2 perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik berupa; poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (Eva Decroli,
2019)
Berdasarkan PERKENI tahun 2019, diagnosis DM dapat dipastikan
jika terdapat salah satu hasil pemeriksaaan sebagai berikut :
1. Gejala klasik DM yaitu dengan kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL
gejala kalsik DM seperti sering kencing, mudah lapar, sering haus, berat
badan berkurang cepat tanpa penyebab yang jelas
2. Gejala klasik DM dengan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dL
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan hasil pemeriksaan glukosa
darah 2 jam > 200 mg/dL sesudah pemberian beban glukosa 75 gr
Glukosa Darah Normal, IFG, IGT, dan HbA1c
Kadar Glukosa Darah Mg/dl Mmol/l HbA1c

Normal ≤ 5,6%
1. Puasa < 100 < 5,6
2. 2 jam setelah makan < 140 < 7,8
Impaired Fasting Glucose 5,7-6,4%
(IFG)
1. Puasa ≥ 100 & < 126 ≥ 5,6 & < 7,0
2. 2 jam sesudah makan < 140 < 7,8
Impaired Glucose Tolerance 5,7-6,4%
(IGT)
1. Puasa ≥ 126 ≤ 7,0
2. jam setelah makan ≥ 140 & < 200 ≥ 7,8 & <11,1
Diabetes Mellitus ≥ 6,5%
1. Puasa ≥ 126 ≥ 7,0
2. 2 jam setelah makan ≥ 200 ≥ 11,1

Kriteria Diagnostik Diabetes berdasarkan panduan WHO 2018 dengan


satuan mg/dl
Test Tahap Diabetes Tahap

Prediksi

Gula darah puasa ≥ 126 mg/dL 100-125 mg/dL

OGTT ≥ 200 mg/dL 140-199 mg/dL

Gula darah acak > 200 mg/dL -

Keterangan :
1. Setelah puasa malam 8 jam, gula darah puasa diuji.
2. Setelah puasa semalam, pasien diberikan 75 gram glukosa untuk
dikonsumsi dalam Oral Glucose Tolerance Test (OGTT). Kemudian, dua
jam kemudian, gula darah diukur.
3. Kadar gula darah dapat diperiksa setiap saat.
4. Bila diperoleh hasil yang menyimpang, maka diperlukan pemeriksaan
ulang untuk mendapatkan konfirmasi diagnosis diabetes yang akurat.
Adanya gejala yang spesifik dapat digunakan untuk mendiagnosis diabetes
(tipikal).

Diagnosis Diabetes dan Pre Diabetes Menurut PERKENI 2019


Karakteristik HbA1c Glukosa Darah Glukosa Plasma
(%) Puasa (mg/dl) 2 jam setelah
TTGO (mg/dl)
Diabetes ≥ 6.5 ≥ 126 ≥ 200
Pre-Diabetes 5.7 s/d 6.4 100 – 125 140 – 199
Normal < 5.7 70 – 99 70 – 139

I. Penatalaksanaan
Mengendalikan diabetes merupakan salah satu faktor yang dapat
meningkatkan angka kesembuhan (Silalahi, 2019). Tujuan pengendalian DM
antara lain menghilangkan gejala; menciptakan dan memelihara kesehatan,
meningkatkan kualitas hidup, mencegah komplikasi akut dan kronis,
mengurangi tingkat perkembangan komplikasi yang ada, dan mengurangi
kematian (Haskas & Suryanto, 2019). Maka dari itu perubahan kebiasaan
gaya hidup, terutama yang berkaitan dengan makan, aktivitas fisik, dan
perawatan diri yang konstan, dapat memainkan peran utama dalam
mengendalikan penyakit ini (Haskas et al., 2019).
Tatalaksana non farmakologis terdiri atas edukasi, nutrisi medis, dan
latihan fisik. Edukasi dilakukan dengan tujuan untuk promosi kesehatan,
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan pengelolaan DM secara holistik.
Seperti halnya edukasi perawatan kaki yang merupakan intervensi
keperawatan yang tepat untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan praktik
perawatan diri (Abrar et al., 2020). Penderita DM juga perlu diberikan
edukasi mengenai betapa pentingnya keteraturan terhadap jenis makanan,
jadwal makan, dan jumlah kalori yang terkandung dalam makanannya (Rahul
et al., 2021). Ini sejalan dengan penelitian Haskas, (2018) bahwa perlunya
menjaga 3 J (jenis, jadwal dan jumlah) 3 pilar pilar tersebut salah satu solusi
yang dapat ditawarkan kepada pasien DM yang berfungsi untuk menjaga

kestabilan gula darah pada pasien DM.


Terapi farmakologis pada DM tipe 2 diberikan beriringan dengan
pengaturan pola makan, latihan fisik, dan gaya hidup sehat. Terapi
farmakologis terdiri atas obat yang diminum oral dan bentuk suntikan.
Berikut adalah obat antidiabetes non-insulin umum antara lain (PERKENI,
2021) :
1. Metformin
Metformin merupakan obat paling umum dan menjadi lini pertama
untuk penderita DM dan telah terbukti bermanfaat dalam mengurangi
angka kematian akibat DM tipe 2 karena dapat meningkatkan sensitivitas
insulin, menurunkan glukosa darah, menekan risiko hipoglikemia dan
kardiovaskuler serta merupakan satusatunya agen hipoglikemik untuk
meningkatkan hasil makrovaskular.
2. Sulfonilurea
Sulfonilurea merupakan obat yang banyak digunakan sebagai
terapi lini kedua dalam pengobatan pasien DM tipe 2 yang tidak
mengalami obesitas berat, yang bekerja langsung pada sel pulau untuk
menutup saluran K+ yang sensitif terhadap ATP dan merangsang sekresi
insulin.
3. Iazolidinediones atau TZDs
Iazolidinediones atau TZDs adalah kelas sensitizer insulin,
termasuk zona troglita, rosiglitazone, dan pioglitazone. Mereka
merupakan ligan peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR-γ)
yang mengontrol otot rangka normal dan sensitivitas insulin hati.
4. Glucosidase inhibitors (AGIs)
Glucosidase inhibitors (AGIs) termasuk acarbose, voglibose dan
miglitol, sangat efektif untuk hiperglikemia postprandial. Mereka dapat
menghambat enzim mukosa usus (α-glucosidase) yang mengubah
kompleks polisakarida menjadi monosakarida, sehingga dapat
mengurangi penyerapan karbohidrat.
Obat anti hiperglekemia suntik terdiri dari beberapa jenis yaitu
(PERKENI, 2021) :
a. Insulin
Insulin adalah jenis obat DM yang disuntikan, insulin
digunakan pada keadaan HbA1c saat diperiksa ≥ 7,5% dan sudah
menggunaka satu atau dua obat antidiabetes.
b. GLP-1 RA
Obat disuntikan secara subkutan untuk menurunkan kadar
glukosa darah, dengan cara meningkatkan jumlah GLP-1 dalam darah.
Berdasakan cara kerjanya golongan obat ini dibagi menjadi 2 yaitu
kerja pendek dan kerja panjang. GLP-1 kerja pendek memeliki waktu
yang pendek dari 24 jam yang diberikan sebanyak 2 kali sehari.
Sedangkan GLP-1 jangka panjang diberikan 1 kali dalam sehari.

Upaya pengendalian faktor risiko penyakit DM tipe 2 menurut


Kemenkes 2017 berdasarkan aksi CERDIK dalam kutipan (Silalahi, 2019):
1. Pemeriksaan kesehatan secara teratur untuk mengontrol berat badan,
pemeriksaan tekanan darah, gula darah dan kolesterol secara teratur,
2. Menghidari asap rokok dan tidak merokok
3. Aktivitas fisik secara teratur minimal 30 menit sehari
4. Pola makan seimbang dengan mengkonsumsi makanan sehat dan gizi
seimbang
5. Istirahat yang cukup
6. Kelola stres dengan baik dan benar
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
Berikut pengkajian keperawatan pada penderita diabetes melitus
(Octavia, 2020) :
1. Identitas
Nama, usia (DM Tipe 1 usia < 30 tahun. DM Tipe 2 usia > 30
tahun, cenderung meningkat pada usia > 65 tahun), kelompok etnik di
Amerika Serikat golongan Hispanik serta penduduk asli Amerika tertentu
memiliki kemungkinan yang lebih besar, jenis kelamin, status, agama,
alamat, tanggal : MRS, diagnosa masuk. Pendidikan dan pekerjaan, orang
dengan pendapatan tinggi cenderung mempunyai pola hidup dan pola
makan yang salah atau cenderung untuk mengkonsumsi makanan yang
banyak mengandung gula dan lemak yang berlebihan. Penyakit ini
biasanya banyak dialami oleh orang yang pekerjaannya dengan akvifitas
fisik yang sedikit.
2. Keluhan Utama
a. Kondisi Hiperglikemia
Penglihatan kabur, lemas, rasa haus dan banyak BAK,
dehidrasi, suhu tubuh meningkat, sakit kepala.
b. Kondisi Hipoglikemia
Tremor, perspirasi, takikardi, palpitasi, gelisah, rasa lapar, sakit
kepala, susah konsentrasi, vertigo, konfusi, penurunan daya ingat,
patirasa di daerah bibir, perubahan emosional, penurunan kesadaran.
c. Ulkus Diabetik
Adanya rasa kesemutan pada kaki/tungkai bawah, rasa raba
yang menurun, adanya luka yang tidak sembuh-sembuh dan berbau,
adanya nyeri pada luka.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Dominan muncul adalah sering kencing, sering lapar dan haus,
berat badan berlebih atau bahkan mengalami penurunan berat badan.
Biasanya penderita belum tahu kalau itu penyakit DM, baru tahu setelah
memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan. Pada ulkus diabetik, berisi
tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta upaya yang
telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit-penyakit lain yang ada
kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya
riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan
medis yang pernah didapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan
oleh penderita.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota
keluarga yang juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat
menyebabkan terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi, jantung.
6. Riwayat Psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang
dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan
keluarga terhadap penyakit penderita.
7. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Tanyakan kepada pasien pendapatnya mengenai kesehatan dan
penyakit. Apakah pasien langsung mencari pengobatan atau
menunggu sampai penyakit tersebut mengganggu aktivitas pasien.
b. Pola aktivitas dan latihan
Kaji keluhan saat beraktivitas. Biasanya terjadi perubahan
aktivitas sehubungan dengan gangguan fungsi tubuh. Kemudian pada
pasien ditemukan adanya masalah dalam bergerak, kram otot tonus
otot menurun, kelemahan dan keletihan.
c. Pola nutrisi dan metabolik
Tanyakan bagaimana pola dan porsi makan sehari-hari pasien
(pagi, siang dan malam). Kemudian tanyakan bagaimana nafsu makan
klien, apakah ada mual muntah, pantangan atau alergi.
d. Pola eliminasi
Tanyakan bagaimana pola BAK dan BAB, warna dan
karakteristiknya. Berapa kali miksi dalam sehari, karakteristik urin
dan defekasi. Serta tanyakan adakah masalah dalam proses miksi dan
defekasi, adakah penggunaan alat bantu untuk miksi dan defekasi.
e. Pola istirahat dan tidur
Tanyakan lama, kebiasaan dan kualitas tidur pasien. Dan
bagaimana perasaan pasien setelah bangun tidur, apakah merasa segar
atau tidak.
f. Pola kognitif persepsi
Kaji status mental pasien, kemampuan berkomunikasi dan
kemampuan pasien dalam memahami sesuatu, tingkat ansietas pasien
berdasarkan ekspresi wajah, nada bicara pasien, dan identifikasi
penyebab kecemasan pasien.
g. Pola sensori visual
Kaji penglihatan dan pendengaran klien. Biasanya penglihatan
pasien terganggu.
h. Pola toleransi dan koping terhadap stres
Tanyakan dan kaji perhatian utama selama dirawat di RS
(financial atau perawatan diri). Kemudian kaji keadaan emosi pasien
sehari – hari dan bagaimana pasien mengatasi kecemasannya
(mekanisme koping pasien). Tanyakan apakah ada penggunaan obat
untuk penghilang stress atau pasien sering berbagi masalahnya dengan
orang-orang terdekat, apakah pasien merasakan kecemasan yang
berlebihan dan tanyakan apakah sedang mengalami stres yang
berkepanjangan.
i. Persepsi diri/konsep diri
Tanyakan pada pasien bagaimana pasien menggambarkan
dirinya sendiri, apakah kejadian yang menimpa pasien mengubah
gambaran dirinya. Kemudian tanyakan apa yang menjadi pikiran bagi
pasien, apakah merasa cemas, depresi atau takut, apakah ada hal yang
menjadi beban pikirannya.
j. Pola seksual dan reproduksi
Tanyakan masalah seksual pasien yang berhubungan dengan
penyakitnya, kapan pasien mulai menopause dan masalah kesehatan
terkait dengan menopause, apakah pasien mengalami
kesulitan/perubahan dalam pemenuhan kebutuhan seks.
k. Pola nilai dan keyakinan
Tanyakan agama pasien dan apakah ada pantangan-pantangan
dalam beragama serta seberapa taat pasien menjalankan ajaran
agamanya.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respon
pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya
baik yang berlangsung aktual, risiko maupun potensial (PPNI, 2017).
Berdasarkan pada semua data pengkajian, diagnosa keperawatan yang
dapat muncul pada pasien diabetes melitus, antara lain :
1. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
(inflamasi).
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrien.
3. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
5. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan gangguan penglihatan.
6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, penurunan kekuatan
otot.
7. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur atau
bentuk tubuh.
8. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan neuropati perifer.
9. Risiko infeksi ditandai dengan penyakit kronis atau efek prosedur invasif.
10. Risiko syok ditandai dengan kekurangan volume cairan.
11. Risiko cedera ditandai dengan perubahan fungsi psikomotor.
12. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap kematian.
C. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang direncanakan
untuk dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan
penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (PPNI,
2018a).
Kriteria hasil merupakan karakteristik pasien yang dapat diamati atau
diukur oleh perawat dan dijadikan sebagai dasar untuk menilai pencapaian
hasil intervensi keperawatan. kriteria hasil juga dapat disebut sebagai
indikator karena menggambarkan perubahan-perubahan yang ingin dicapai
setelah pemberian intervensi keperawatan (PPNI, 2018b).
Berikut intervensi dan kriteria hasil keperawatan pada pasien dengan
diabetes melitus :
1. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
(inflamasi).
Tujuan : Tingkat nyeri menurun.
Kriteria Hasil :
a. Keluhan nyeri menurun
b. Meringis menurun
c. Sikap protektif menurun
d. Gelisah menurun
e. Kesulitan tidur menurun
Intervensi : Manajemen Nyeri
Observasi
a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan
intensitas nyeri
b. Identifikasi skala nyeri
c. Identifikasi respon nyeri non verbal
d. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
e. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
f. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
g. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
h. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
i. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
a. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
b. Kontrol lingkungan yang meperberat rasa nyeri
c. Fasilitasi istirahat dan tidur
d. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
e. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrien.
Tujuan : Status nutrisi membaik
Kriteria Hasil :
a. Porsi makanan yang dihabiskan meningkat.
b. Verbalisasi keinginan untuk meningkatkan nutrisi meningkat
c. Berat badan membaik
d. Indeks Massa Tubuh (IMT) membaik
Intervensi : Manajemen Nutrisi
Observasi
a. Identifikasi status nutrisi
b. Identifikasi alergi dan intoteransi makanan
c. Identifikasi makanan disukai
d. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrisi
e. Identifikasi perlunya menggunakan selang nasogastrik
f. Monitor asupan makanan
g. Monitor berat badan
h. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
a. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
b. Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida makanan)
c. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
d. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
e. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
f. Berikan suplemen makanan, jika perlu
g. Hentikan memberikan makanan melalui selang nasogatrik jika asupan
oral dapat ditoleransi
Edukasi
a. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
b. Ajarkan diet yang di programkan
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. Pereda nyeri,
antlemetik). Jika perlu
b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang di butuhkan, jika perlu
3. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif.
Tujuan : Status cairan membaik
Kriteria Hasil :
a. Kekuatan nadi meningkat
b. Turgor kulit meningkat
c. Output urine meningkat
d. Frekuensi nadi membaik
e. Tekanan darah membaik
f. Membran mukosa membaik
g. Kadar Hb membaik
h. Kadar Ht membaik
Intervensi :
Observasi
a. Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. Frekuensi nadi meningkat,
nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit,
turgor kulit menurun, membrane mukosa kering, volume urin
menurun, hematocrit meningkat, haus, lemah)
b. Monitor intake dan output cairan
Terapeutik
a. Hitung kebutuhan cairan
b. Berikan posisi medified trendelenburg
c. Berikan asupan cairan oral
Edukasi
a. Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
b. Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis. NaCI.RL)
b. Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis. Glukosa 2,5%, NaCI
0,4%)
c. Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis. Albumin, Plasmanate)
d. Kolaborasi pemberian produk darah
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
Tujuan : Toleransi aktivitas meningkat
Kriteria Hasil :
a. Keluhan lelah menurun
b. Kekuatan tubuh bagian atas meningkat
c. Kekuatan tubuh bagian bawah meningkat
Intervensi : Manajemen Energi
Observasi
a. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
b. Monitor kelelahan fisik dan emosional
c. Monitor pola dan jam tidur
d. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
Terapeutik
a. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. Cahaya,
suara, kunjungan)
b. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
c. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
d. Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak berpindah atau berjalan
Edukasi
a. Anjurka tirah baring
b. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
c. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejalah kelelahan tidak
berkurang
d. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan.
5. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan gangguan penglihatan.
Tujuan : Persepsi sensori membaik
Kriteria Hasil :
a. Verbalisasi melihat meningkat
b. Menarik diri menurun
c. Melamun menurun
d. Konsentrasi membaik
Intervensi : Teknik Menenangkan
Observasi
Identifikasi masalah yang dialami
Terapeutik
a. Buat kontrak dengan pasien
b. Ciptakan ruangan yang tenang dan nyaman
Edukasi
a. Anjurkan mendengarkan musik yang lembut atau musik yang disukai.
b. Anjurkan berdoa, berzikir, membaca kitab suci, ibadah sesuai agama
yang dianut.
c. Anjurkan melakukan teknik menenangkan hingga perasaan menjadi
tenang.
6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri
Tujuan : Mobilitas fisik meningkat
Kriteria Hasil :
a. Pergerakan ektremitas meningkat
b. Kekuatan otot meningkat
c. Rentang gerak (ROM) meningkat
Intervensi : Dukungan Mobilisasi
Observasi
a. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
b. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
c. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi
d. Monitor kondisi umum selama malakukan mobilisasi
Terapeutik
a. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. Pagar tempat
tidur)
b. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
c. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan
Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
b. Anjurkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. Duduk di
tempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke
kursi)
7. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur atau
bentuk tubuh.
Tujuan : Citra tubuh membaik
Kriteria Hasil :
a. Melihat bagian tubuh membaik
b. Verbalisasi kecacatan bagian tubuh membaik
c. Verbalisasi kehilangan bagian tubuh membaik
d. Respon nonverbal pada perubahan tubuh membaik
e. Hubungan sosial membaik
Intervensi : Promosi Citra Tubuh
Observasi
a. Identifikasi harapan citra tubuh berdasarkan tahap perkembangan
b. Identifikasi budaya, agama, jenis kelamin, dan umur terkait citra tubuh
c. Identifikasi perubahan citra tubuh yang mengakibatkan isolasi social
d. Monitor frekuensi pernyataan kritik terhadap diri sendiri
e. Monitor apakah pasien bisa melihat bagian tubuh yang berubah
Terapeutik
a. Diskusikan perubahan tubuh dan fungsinya
b. Diskusikan perbedaan penampilan fisik terhadap harga diri
c. Diskusikan perubahan akibat pubertas, kehamilan dan penuaan
d. Diskusikan kondisi stress yang mempengaruhi citra tubuh (mis. Luka,
penyakit, pembedahan)
e. Diskusikan cara mengembangkan harapan citra tubuh secara realistis
f. Edukasikan persepsi pasien dan keluarga tentang perubahan citra
tubuh
Edukasi
a. Jelaskan kepada keluarga tentang perawatan perubahan citra tubuh
b. Anjurkan mengungkapkan gambaran diri terhadap citra tubuh
c. Anjurkan menggunakan alat bantu (mis. Pakaian,wik, kosmetik)
d. Anjurkan mengikuti kelompok pendukung (mis. Kelompok sebaya)
e. Latih fungsi tubuh yang dimiliki
f. Latih peningkatan penampilan diri (mis. Berdandan)
g. Latih pengungkapan kemampuan diri kepada orang lain maupun
kelompok.
8. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan neuropati perifer.
Tujuan : Integritas kulit dan jaringan meningkat
Kriteria Hasil :
a. Elastisitas meningkat
b. Hidrasi meningkat
c. Perfusi jaringan meningkat
d. Kerusakan jaringan menurun
e. Kerusakan lapisan kulit menurun
Intervensi : Perawatan Luka
Observasi
a. Monitor karakteristik luka (mis. drainase, warna, ukuran, bau)
b. Monitor tanda-tanda infeksi
Terapeutik
a. Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
b. Cukur rambut di sekitar daerah luka, jika perlu
c. Bersihkan dengan cairan NaCI atau pembersih nontoksik, sesuai
kebutuhan
d. Bersihkan jaringan netrotik
e. Berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi, jika perlu
f. Pasang balutan sesui jenis luka
g. Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan luka
h. Ganti balutan sesuai jenis luka
i. Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi pasien
j. Berikan diet dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari dan protein 1,25-1,5
g/kgBB/hari
k. Berikan suplemen vitamin dan mineral (mis. Vitamin A, vitamin C,
Zinc, asam amino), sesuai indikasi
l. Berikan terapi TENS (stimulasi saraf transcutaneous), jika perlu
Edukasi
a. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
b. Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan protein
c. Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Kolaborasi
a. Kolaborasi prosedur debridement (mis. Enzimatik, biologis, mekanis,
autolitik), jika perlu
b. Kolaborasi pemberian antibiotic, jika perlu
9. Risiko infeksi ditandai dengan penyakit kronis atau efek prosedur invasif.
Tujuan : Tingkat infeksi menurun
Kriteria Hasil :
a. Kebersihan badan meningkat
b. Nafsu makan meningkat
c. Demam menurun
d. Kemerahan menurun
e. Nyeri menurun
f. Bengkak menurun
g. Cairan berbau busuk menurun
h. Kadar sel darah putih membaik
Intervensi : Pencegahan Infeksi
Observasi
Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
Terapeutik
a. Batasi jumlah pengunjung
b. Berikan perawatan kulit pada area edema
c. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
d. Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi
Edukasi
a. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
b. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
c. Ajarkan etika batuk
d. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
e. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
f. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian imuniasisi, jika perlu
10. Risiko syok ditandai dengan kekurangan volume cairan.
Tujuan : Tingkat syok menurun
Kriteria Hasil :
a. Kekuatan nadi meningkat
b. Output urine meningkat
c. Tingkat kesadaran meningkat
d. Akral dingin menurun
e. Pucat menurun
f. Frekuensi napas membaik
Intervensi : Pencegahan Syok
Observasi
a. Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan kekuatan nadi,
frekuensi napas, TD.MAP)
b. Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)
c. Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit, CRT)
d. Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
e. Periksa riwayat alergi
Terapeutik
a. Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >94%
b. Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu
c. Pasang jalur IV, jika perlu
d. Pasang kateter urine untuk menilai produksi urine, jika perlu
e. Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi
Edukasi
a. Jelaskan penyebab/factor risiko syok
b. Jelaskan tanda dan gejala awal syok
c. Anjurkan melapor jika menemukan/merasakan tanda dan gejala awal
syok
d. Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
e. Anjurkan menghindari alergi
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian IV, jika perlu
b. Kolaborasi pemberian transfuse darah, jika perlu
c. Kolaborasi pemberian antiinfalamasi, jika perlu
11. Risiko cedera ditandai dengan perubahan fungsi psikomotor.
Tujuan : Tingkat cedera menurun
Kriteria Hasil :
a. Toleransi aktivitas meningkat
b. kejadian cedera menurun
c. Luka/lecet menurun
Intervensi : Pencegahan Cedera
Observasi
a. Identifikasi area lingkungan yang berpotensi menyebabkan cedera
b. Identifikasi obat yang berpotensi menyebabkan cedera
c. Identifikasi kesesuaian alas kaki atau stoking elastis pada ekstremitas
bawah
Terapeutik
a. Sediakan pencahayaan yang memadai
b. Gunakan lampu tidur selama jam tidur
c. Sosialisaikan pasien dan keluarga dengan lingkungan ruang rawat
(mis. Penggunaan telepon, tempat tdur, penerangan ruangan dan
lokasi kamar mandi)
d. Gunakan alas lantai jika berisiko mengalami cidera serius
e. Sediakan alas kaki antislip
f. Sediakan pispot atau urinal untuk eliminasi di tempat tidur, jika perlu
g. Pastikan bel panggilan atau telepon mudah di jangkau
h. Pastikan barang-barang pribadi mudah di jangkau
i. Pertahankan posisi tempat tidur di posisi terendah saat di gunakan
j. Pastikan roda tempat tidur atau kursi roda dalam kondisi terkunci
k. Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan kebijakan fasilitas
pelayanan kesehatan
l. Pertimbangkan penggunaan alarm elektronik pribadi atau alarm sensor
pada tempat tidur atau kursi
m. Diskusikan mengenal latihan dan terapi fisik yang di perlukan
n. Diskusikan mengenai alat bantu mobilisasi yang sesuai (mis. Tongkat,
atau alat bantu jalan)
o. Diskusikan bersama anggota keluarga yang dapat mendampingi
pasien
p. Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan pasien, sesuai
kebutuhan
Edukasi
a. Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh ke pasien dan keluarga
b. Anjurkan berganti posisi secara perlahan dan duduk selama beberapa
menit sebelum berdiri
12. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap kematian.
Tujuan : Tingkat ansietas menurun.
Kriteria Hasil :
a. Verbalisasi kebingungan menurun.
b. Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi menurun.
c. Perilaku gelisah menurun.
d. Perilaku tegang menurun.
e. Konsentrasi membaik.
f. Pola tidur membaik.
Intervensi : Reduksi ansietas
Observasi
a. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (misalnya kondisi, waktu,
stresor).
b. Identifikasi kemampuan mengambil keputusan.
c. Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan nonverbal).
Terapeutik
a. Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan.
b. Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika memungkinkan.
c. Pahami situasi yang membuat ansietas, dengarkan dengan penuh
perhatian.
d. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
e. Tempatkan barang pribadi yang memberikan kenyamanan.
f. Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan.
g. Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan datang.
Edukasi
a. Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami.
b. Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan, dan
prognosis.
c. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu.
d. Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai
kebutuhan.
e. Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi.
f. Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan.
g. Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat.
h. Latih teknik relaksasi.
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian obat antlansietas, jika perlu.
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan
dimana melaksanakan intervensi/aktivitas yang telah ditentukan, pada tahap
ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah
dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi dapat tepat
waktu dan efektif, pertama-tama harus mengidentifikasi prioritas perawatan
pasien, kemudian bila perawatan telah dilaksanakan, memantau dan mencatat
respons pasien terhadap setiap intervensi dan mengomunikasikan informasi
ini kepada penyedia perawatan kesehatan lainnya. Kemudian, dengan
menggunakan data, dapat mengevaluasi dan merevisi rencana perawatan
dalam tahap proses keperawatan berikutnya (Wilkinson.M.J, 2012) dalam
(Hidayat, 2020).
Komponen tahap implementasi :
1. Tindakan keperawatan mandiri.
2. Tindakan keperawatan edukatif.
3. Tindakan keperawatan kolaboratif.
Dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan
keperawatan. Seperti tanggal dan waktu dilakukan implementasi
keperawatan, diagnosa keperawatan, tindakan keperawatan berdasarkan
intervensi keperawatan, dan tanda tangan perawat pelaksana.
E. Evaluasi Keperawatan
Menurut (Setiadi, 2012) dalam buku konsep dan penulisan asuhan
keperawatan, tahapan penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang
sistematis dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah
ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan
pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. Terdapa dua jenis evaluasi
(Hidayat, 2020) :
1. Evaluasi Formatif (Proses)
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan
hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah
perawat mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai
keefektifan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan
evaluasi formatif ini meliputi 4 komponen yang dikenal dengan istilah
SOAP :
a. S (Subjektif) : Data subjektif dari hasil keluhan pasien, kecuali
pada pasien yang afasia.
b. O (Objektif) : Data objektif dari hasi observasi yang dilakukan
oleh perawat.
c. A (Analisis) : Masalah dan diagnosis keperawatan pasien yang
dianalisis atau dikaji dari data subjektif dan data objektif.
d. P (Perencanaan) : Perencanaan kembali tentang pengembangan
tindakan keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang
dengan tujuan memperbaiki keadaan kesehatan pasien.
2. Evaluasi Sumatif (Hasil)
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua
aktivitas proses keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi sumatif ini
bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah
diberikan. Ada 3 kemungkinan evaluasi yang terkait dengan pencapaian
tujuan keperawatan, yaitu:
a. Tujuan tercapai atau masalah teratasi jika klien menunjukan
perubahan sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
b. Tujuan tercapai sebagian atau masalah teratasi sebagian atau klien
masih dalam proses pencapaian tujuan jika klien menunjukkan
perubahan pada sebagian kriteria yang telah ditetapkan.
c. Tujuan tidak tercapai atau masih belum teratasi jika klien hanya
menunjukkan sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar, E. A., Yusuf, S., Sjattar, E. L., & Rachmawaty, R. (2020). Development
and evaluation educational videos of diabetic foot care in traditional
languages to enhance knowledge of patients diagnosed with diabetes and risk
for diabetic foot ulcers. Primary Care Diabetes, 14(2), 104–110.
https://doi.org/10.1016/j.pcd.2019.06.005
Ardiani, H. E., Permatasari, T. A. E., & Sugiatmi, S. (2021). Obesitas, Pola Diet,
dan Aktifitas Fisik dalam Penanganan Diabetes Melitus pada Masa Pandemi
Covid-19. Muhammadiyah Journal of Nutrition and Food Science (MJNF),
2(1), 1. https://doi.org/10.24853/mjnf.2.1.1-12
Eva Decroli, S. (2019). buku diabetes melitus tipe 2 (D. Alexander, S. dr. Yanne
Pradwi Efendi, dr. G. P. Decroli, & dr. A. Rahmadi (eds.)).
Fandinata, S. S., & Ernawati, I. (2020). Management Terapi pada Penyakit
Degeneratif. Gresik : Graniti.
Hasanuddin, I., & Purnama, J. (2022). Efektifitas Olahraga Jalan Kaki Terhadap
Kadar Gula Darah pada Lansia dengan Diabetes Melitus Tipe 2. Klaten :
Lakeisha.
Haskas, Y. (2018). Pelatihan Pengelolaan Makan Dengan 3J Pada Penderita Dm
Beserta Keluarganya Di Kecamatan Simbang Kabupaten Maros. Jurnal
Dedikasi Masyarakat, 2(1), 11. https://doi.org/10.31850/jdm.v2i1.358
Haskas, Y., & Suryanto, S. (2019). Locus of Control: Pengendalian Diabetes
Melitus Pada Penderita Dm Tipe 2. Jurnal Riset Kesehatan, 8(1), 13.
https://doi.org/10.31983/jrk.v8i1.3892
Haskas, Y., Suryanto, Y., & Suarnianti, Y. (2019). Improvement in Diabetic
Control Belief in Relation to Locus of Control. The Open Nursing Journal,
13(1), 123–128. https://doi.org/10.2174/1874434601913010123
Haskas, Y., Nurbaya, S., & Sulastri, A. (2023). The effect of diabetic foot exercise
on the effectiveness of blood sugar levels in type 2 diabetes mellitus patients
at The Tamalanrea Jaya Health Center Makassar City. Journal Homepage,
10(6).
Hidayat, E. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Appendicitis Yang
Di Rawat Di Rumah Sakit. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 27.
http://repository.poltekkes-kaltim.ac.id/id/eprint/1066
Lestari, L., Zulkarnain, Z., & Sijid, S. A. (2021). Diabetes Melitus: Review
etiologi, patofisiologi, gejala, penyebab, cara pemeriksaan, cara pengobatan
dan cara pencegahan. Prosiding Seminar Nasional Biologi, 7(1), 237–241.
Octavia, R. D. (2020). Literature Review Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan Diabetes Melitus di Rumah Sakit. https://all3dp.com/2/fused-
deposition-modeling-fdm-3d-printing-simply-explained/
PERKENI. (2021a). Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe
2 Dewasa di Indonesia 2021. PB PERKENI. In PB PERKENI (Pertama).
PERKENI. (2021b). Pedoman Petunjuk Praktis Terapi Insulin Pada Pasien
Diabetes Mellitus 2021. In Pb Perkeni.
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018a). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018b). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Rahul, A., Chintha, S., Anish, T. S., Prajitha, K. C., & Indu, P. S. (2021).
Effectiveness of a Non-pharmacological Intervention to Control Diabetes
Mellitus in a Primary Care Setting in Kerala: A Cluster-Randomized
Controlled Trial. Frontiers in Public Health, 9(November), 1–13.
https://doi.org/10.3389/fpubh.2021.747065
Sari, Y. N., & Wijaya, D. S. (2019). Ekstrak Daun Putri Malu Terhadap Kadar
Gula Darah Diabetes Mellitus. Jurnal of Holistic and Tradisional Midice,
03(03), 316–320.
Setiawan, M. (2021). Sistem Endokrin dan Diabetes Mellitus. Malang :
Universitas Muhammadiyah Malang. https://books.google.co.id/books?
id=x2dsEAAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PR7&dq=Diabe
tes+melitus+adalah&hl=ban&source=newbks_fb&redir_esc=y#v=onepage&
q=Diabetes melitus adalah&f=false
Silalahi, L. (2019). Hubungan Pengetahuan dan Tindakan Pencegahan Diabetes
Mellitus Tipe 2. Jurnal PROMKES, 7(2), 223.
https://doi.org/10.20473/jpk.v7.i2.2019.223-232
Sulastri. (2022). Buku Pintar Perawatan Diabetes Melitus (M. K. Sulastri, SKp.
(ed.)). CV. Trans info media.
Ulfa, N. M., Lubada, E. I., & Darmawan, R. (2020). Medication Picture and Pill
Count pada Kepatuhan Minum Obat Penderita Diabetes Mellitus dan
Hipertensi. Gresik : Graniti. https://books.google.co.id/books?
id=xVEMEAAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PR5&dq=etio
logi+diabetes&hl=ban&source=newbks_fb&redir_esc=y#v=onepage&q=etio
logi diabetes&f=false

Anda mungkin juga menyukai