Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN PENYAKIT JANTUNG KORONER

Disusun dalam rangka memenuhi tugas


stase Keperawatan Medikal Bedah I

OLEH :
IRMAWATI TOHAMBA
14420212131

CI INSTITUSI CI LAHAN

(……………………………………) (……………………………………)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2022
A. Konsep Medis
1. Definisi
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah suatu kondisi dimana
ketidakseimbangan antara suplai darah ke otot jantung berkurang sebagai akibat
tersumbatnya pembuluh darah arteri koronaria dengan penyebab tersering
adalah aterosklerosis (Wijaya dkk, 2013). Penyakit Jantung Koroner (PJK)
merupakan gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah dari
penyempitan pembuluh darah koroner. Pembuluh darah koroner merupakan
penyalur aliran darah (membawa 02 dan makanan yang dibutuhkan miokard agar
dapat berfungsi dengan baik). Secara klinis, ditandai dengan nyeri dada terasa
tidak nyaman di dada atau dada terasa tertekan berat ketika sedang mendaki juga
pada kerja berat ataupun berjalan terburu- buru pada saat berjalan datar atau
berjalan jauh (RISKESDAS, 2013).
Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh
penyempitan atau penghambatan pembuluh arteri yang mengalirkan darah
ke otot jantung dan merupakan kelainan mikroardium yang disebabkan oleh
insufisiensi aliran darah koroner. Penyebab paling utama PJK adalah
dislipidemia. Dislipidemia merupakan faktor resiko yang utama penyakit
jantung. Perubahan gaya hidup masyarakat erat hubungannya dengan
peningkatan kadar lipid (Irmalita, 2015).
Dapat disimpulkan, PJK merupakan suatu penyakit pada organ jantung
akibat penimbunan plak berupa lipid atau jaringan fibrosa yang menghambat
suplai oksigen dan nutrisi ke bagian otot jantung sehingga menimbulkan
kelelahan otot bahkan kerusakan yang biasanya diproyeksikan sebagai rasa tidak
enak oleh klien secara subyektif seperti rasa ditekan benda berat, ditindih, dan
ditusuk.
2. Etiologi
Penyakit Jantung Koroner disebabkan oleh penumpukan lemak pada dinding
dalam pembuluh darah jantung, hal ini dimana lama kelamaan di ikuti berbagai
proses seperti penimbunan jaringan ikat, perkapuran, pembekuan darah yang
semuanya akan mempersempit atau menyumbat pembuluh darah. Hal ini akan
mengakibatkan otot jantung di daerah tersebut mengalami kekurangan aliran
darah dan dapat menimbulkan berbagai akibat yang cukup serius dari Angina
Pectoris (nyeri dada) sampai Infark Jantung, yang dalam masyarakat di kenal
dengan serangan jantung yang dapat menyebabkan kematian mendadak.
Pembuluh arteri ini akan menyempit dan bila parah terjadi penghentian darah.
Setelah itu terjadi proses penggumpalan dari berbagai substansi dalam darah
sehingga menghalangi aliran darah dan terjadi atherosclerosis dan selain faktor
diatas ada banyak faktor lain seperti hipertensi, kadar lipid, rokok, dan kadar
gula darah yang abnormal (Naga, 2012).
3. Patofisiologi
Ateroklerosis pada arteri koroner jantung merupkan awal mula terjadinya
penyakit jantung koroner. Proses pembentukan aterosklerosis tersebut dimulai
dengan terjadinya endotel pembuluh darah yang disebabkan oleh hiprtensi,
zat nikotin pada pembuluh darah dan diabetes mellitus (LS, 2011).
Plak yang tebentuk pada arteri koroner membuat lumen pembuluh darah
menyempit sehingga asupan oksigen otot jantung untuk berkontraksi
menururn dan menimbulkan rasa tidak nyaman yang sering disebut sebagai
nyeri dada dan biasanya muncul saat beraktivitas dan stress emosional. Keadaan
tersebut sering disebut juga stable angina pectoris sebagai manifestasi dari
penyakit iskemik (LS, 2011).
Plak fibrosa yang bisa terbentuk adalah plak yang stabil dan yang rentan.
Plak fibrosa yang stabil mengandung lipid yang sedikit dan kapsul fibrosa yang
tebal, sedangkan plak yang rentan mengandung lipid yang banyak dan kapsul
fibrosa yang tipis sehingga lebih rentan pula untuk mengalami ruptur. Ruptur
plak yang aterom akan mengaktifkan agregasi platelet yang nantinya
aktivasi faktor pembekuan darah dan membentuk thrimbus di dalam lumen
pembuluh darah (LS, 2011).
Sumbatan thrimbus yang terdapat dalam pembuluh darah akan menyebabkan
ketidak seimbangan suplai oksigen dan kebutuhannya. Bentuk dari sindrom
koroner akut bergantung derajat obstruksi koroner. Sindrom koroner akut adalah
sekumpulan gejala klinis yang sesuai dengan iskemia miokard akut dan yang
termasuk ke dalam SKA adalah unstale angina non ST-segment elevation
myocardinal infarction dan ST-segment elevation myocardinal infarction. (LS,
2011).
4. Pathway

Aterosklerosis

Hipertensi, zat nikotin pada


Endotel pembuluh darah
pembuluh darah, DM

Plak pada arteri koroner


Modifikasi gaya
hidup
Penyempitan lumen
pembuluh darah
Kurang pengetahuan

Asupan oksigen otot


jantung menurun Defisit pengetahuan

Asam laktat

Menurunkan ph miokardium Perangsangan


kemoreseptor

Angina pectoris Aktivitas pernapasan


naik
Nyeri Akut

Pola napas tidak


efektif
5. Manifestasi Klinik
a. Biasanya kadar lemak yang tinggi tidak menimbulkan gejala. Kadang-
kadang, jika kadarnya sangat tinggi, endapan lemak akan membentuk suatu
penumpukan lemak yang disebut xantoma di dalam tendo (urat daging) dan
di dalam kulit.
b. Nyeri dada, Sakit dada kiri (angina) dan nyeri terasa berasal dari dalam.
Nyeri dada yang dirasakan pasien juga bermacam-macam seperti
ditusuk-tusuk, terbakar, tertimpa benda berat, disayat, panas. Nyeri dada
dirasakan di dada kiri disertai penjalaran ke lengan kiri, nyeri di ulu hati,
dada kanan, nyeri dada yang menembus hingga punggung, bahkan ke rahang
dan leher.
c. Beberapa hari atau minggu sebelumnya tubuh terasa tidak bertenaga,
dada tidak enak, waktu olahraga atau bergerak jantung berdenyut keras,
napas tersengal-sengal (sesak nafas), kadang-kadang disertai mual, muntah
dan tubuh mengeluarkan banyak keringat. (Irmalita, 2015).
6. Faktor Resiko
Faktor resiko untuk terjadinya sumbatan terbagi menjadi dua yaitu: faktor
resiko yang dapat di rubah, dan faktor yang tidak dapat dirubah.
a. Faktor resiko yang dapat dirubah, antara lain sebagai berikut :
1) Hipertensi
komplikasi yang terjadi pada hipertensi biasanya akibat perubahan
struktur arteri dan arterial sistemik, terutama terjadi pada hipertensi yang
tidak diobati akan menimbulkan penyempitan pembuluh darah. Tempat
yang paling berbahaya adalah bila mengenai srteri miokardium. Serta
tekanan darah yang tinggi menimbulkan trauma langsung terhadap
dinding pembuluh darah arteri koronia, sehingga memudahkan terjadinya
sterosklerosis coroner (faktor coroner).
2) Hiperkolosterolemia
Merupakan masalah yang cukup penting karena termasuk factor resiko
utama PJK. Kadar kolesterol darah dipengaruhi oleh susunan makanan
sehari-hari yang masuk dalam tubuh (diet), hiperkolesterol akan
menimbulkan pengendapan pada arteri yang pada akhirnya akan
mengakibatkan penyempitan arteri. Kolesterol, lemak dan substansi
lainnya dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah arteri,
sehingga lumen dari pembuluh darah tersebut menyempit dan proses ini
disebut aterosklerosis.
3) Merokok
Pada saat ini merokok telah dimasukkan sebagai salah satu factor resiko
utama PJK. Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek
langsung pada dinding arteri, karbon monoksida menyebabkan hipoksia
arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang menimbulkan
reaksitrombosit, glikoprotein tembakau dapat menimbulkan reaksi
hipersensitifitas dinding arteri. Orang yang merokok >20 batang perhari
dapat mempengaruhi atau memperkuat hipertensi. Penilitian Framingham
mendapatkan kematian mendadak akibat PJK pada laki-laki perokok 10x
lebih besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4.5x
lebih besar dari pada bukan perokok.
4) Obesitas adalah kelebihan jumlah lemak tubuh >19% pada laki-laki dan >
21% pada perempuan. Obesitas sering didapatkan Bersama-sama dengan
hipertensi, diabetes melitus, dan hipertrigliseridemi. Obesitas juga dapat
meningkatkan kadar kolesterol dan LDL kolesterol. Resiko PJK akan
jelas meningkat bila BB mulai melebihi 20% dari BB ideal.
5) Diabetes melitus, pasien diabetes melitus akan menyebabkan kerusakan
pada pembuluh darah yaitu atherioskelerosis baik total atau sebagian
sehingga aliran darah ke jantung mengalami penurunan.
6) Aktivitas fisik
Masyarakat yang tidak aktif sedikitnya 2 kali lebih besar ditemukan PJK
daripda masyarakat yang aktif. Sedikit aktivitas fisik dapat memperburuk
factor resiko PJK lainnya, seperti tinggi kolesterol dalam darah dan
trigliserid, hipertensi, diabetes dan prediabetes dan obesitas. Sangat
penting sekali untuk anak-anak dan dewasa untuk melakukan aktifitas
fisik sebagai rutinitas sehari-hari. Salah satu alas an mengapa orang
Amerika tidak cukup aktif dikarenakan mereka hanya menghabiskan
waktu didepan TV dan mengerjakan pekerjaannya di depan computer.
Beberapa spesialis menyarankan anak umur 2 tahun dan yang lebih tua
sebaiknya tidak menghabiskan waktu dengan menonton TV atau memakai
computer lebih dari 2 jam. Aktif secara fisik adalah salah satu hal
terpenting yang dapat menjaga kesehatan jantung.

b. Faktor resiko yang tidak dapat di rubah, antara lain sebagai berikut :
1) Usia
Telah dibuktikan adanya hubungan antara umur dan kematian akibat PJK.
Sebagian besar kasus kematian terjadi pada laki-laki umur 35-44 tahun
dan meningkat dengan bertambahnya umur. Kadar kolesterol pada laki-
laki dan perempuan mulai meningkat pada umur 20 tahun. Pada laki-laki
kolesterol meningkat sampai umur 50 tahun. Pada perempuan sebelum
menopause (45 tahun) lebih rendah daripada laki-laki dengan umur yang
sama. Setelah menopause kadar kolesterol perempuan meningkat menjadi
lebih tinggi daripada laki-laki.
2) Jenis kelamin
Di Amerika Serikat gejala PJK sebelum umur 60 tahun didapatkan pada 1
dari 5 laki-laki dan 1 dari 17n perempuan. Ini berarti bahwa laki-laki
mempunyai resiko PJK 2-3x lebih besar dari perempuan. Wanita agaknya
relative kebal terhadap penyakit ini sampai menopause, kemudian
menjadi sama rentannya seperti pria. Diduga karena adanya efek
perlindungan esterogen (Kurniadi dan Nurrahmi, 2014).
3) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang posesif terhadap PJK (saudara atau orang tua yang
menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan timbulnya
aterosklerosis premature. Pentingnya pengaruh genetic dan lingkungan
masih belum diketahui. Tetapi, riwayat keluarga dapat juga
mencerminkan komponen lingkungan yang kuat, seperti misalnya gaya
hidup yang menimbulkan stress atau obesitas. Riwayat keluarga memiliki
riwayat serangan penyakit jantung akan menambah risiko terserang
penyakit yang sama (Kurniadi dan Nurrahmani, 2014).
7. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
1) Analgetik yang diberikan biasanya golongan narkotik (morfin) diberikan
secara intravena dengan pengenceran dan diberikan secara pelan-pelan.
Dosisnya awal 2,0 ± 2,5 mg dapat diulangi jika perlu.
2) Nitrat dengan efek vasodilatasi (terutama venodilatasi) akan
menurunkan venous return akan menurunkan preload yang berarti
menurunkan oksigen demam. Di samping itu nitrat juga mempunyai efek
dilatasi pada arteri koroner sehingga akan meningkatakan suplai oksigen.
Nitrat dapat diberikan dengan sediaan spray atau sublingual, kemudian
dilanjutkan dengan peroral atau intravena.
3) Aspirin sebagai antitrombotik sangat penting diberikan. Dianjurkan
diberikan sesegera mungkin (di ruang gawat darurat) karena terbukti
menurunkan angka kematian.
4) Rombolitik terapi, prinsip pengelolaan penderita infark miokard akut
adalah melakukan perbaikan aliran darah koroner secepat mungkin
(Revaskularisasi/Reperfusi). Hal ini didasari oleh proses patogenesanya,
dimana terjadi penyumbatan atau trombosis dari arteri koroner.
Revaskularisasi dapat dilakukan (pada umumnya) dengan obat-obat
trombolitik seperti streptokinase, r- TPA (recombinant tissue
plasminogen ativactor complex), Urokinase, ASPAC ( anisolated
plasminogen streptokinase activator), atau Scu-PA (single-chain
urokinase-type plasminogen activator). Pemberian trombolitik terapi
sangat bermanfaat jika diberikan pada jam pertama dari serangan
infark. Terapi ini masih bermanfaat jika diberikan 12 jam dari onset
serangan infark.
5) Betablocker diberikan untuk mengurangi kontraktilitas jantung sehingga
akan menurunkan kebutuhan oksigen miokard. Di samping itu
betaclocker juga mempunyai efek anti aritmia.
b. Non farmakologi
1) Merubah gaya hidup, memberhentikan kebiasaan merokok.
2) Olahraga dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol dan memperbaiki
kolateral koroner sehingga PJK dapat dikurangi, olahraga bermanfaat
karena :
- Memperbaiki fungsi paru dan pemberian O2 ke miokard
- Menurunkan berat badan sehingga lemak lemak tubuh yang
berlebih berkurang bersama-sama dengan menurunnya LDL
kolesterol
- Menurunkan tekanan darah
- Meningkatkan kesegaran jasmani
3) Diet merupakan langkah pertama dalam penanggulangan
hiperkolesterolemia. Tujuannya untuk menjaga pola makan gizi seimbang,
makan makanan yang dapat menurunkan kadar kolesterol dengan
menerapkan diet rendah lemak (Rahman, 2007).
4) Terapi diet pada PJK yang merupakan panduan dalam masalah
kesehatan kardiovaskuler yang telah diikuti secara luas adalah dari AHA
dan NCEP. Terapi diet ini secara khusus bertujuan untuk
memperbaiki profil lemak darah pada batas-batas normal. Terapi diet
dasar atau tingkat 1 total kalori berasal dari asam lemak tidak jenuh
majemuk (poly-unsaturated faty acid). bila kadar total kolesterol darah
turun 10% atau lebih dan memenuhi batas yang ditargetkan, diet telah
dianggap berhasil dan perlu dipertahankan. Namun, apabila penurunan <
10%, diet dilanjutkan ke tingkat 2 selama 8-10 minggu, dan pada akhir
dilakukan tes darah. Bila hasilnya belum juga mencapai sasaran,
mungkin sekali tubuh tidak cukup responsif terhadap diet dan individu
perlu berkonsultasi dengan dokter mengenai kemungkian pemakaian
obat (Sudoyo, et all 2011 ; Rahman, 2007).
8. Pemeriksaan Penunjang
a. EKG (Elektrokardiografi)
Pemeriksaan terhadap gambaran listrik yang ditimbulkan oleh jantung pada
waktu berkontraksi. EKG menunjukkan adanya S-T elevasi yang
merupakan tanda dari iskemi, gelombang T inversi atau hilang yang
merupakan tanda dari injuri dan gelombang Q yang mencerminkan adanya
nikrosis. Enzim dan isoenzim pada jantung: CPR-MB meningkat dalam 4-
12 jam dan mencapai puncak pada 24 jam. Peningkatan SGOT dalam 6-12
jam dan mencapai puncak pada 36 jam. Elektrolit: ketidakseimbangan yang
memungkinkan terjadinya konduksi jantung dan kontraktilitas jantung.
(Notoatmodjo, 2011).
b. Arterigrafi coroner (Kateterisasi)
Kateterisasi jantung merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk
memeriksa struktur serta fungsi jantung, termasuk ruang jantung, katup
jantung, otot jantung, serta pembuluh darah jantungtermasuk pembuluh darah
koroner, terutama untuk mendeteksi adanya pembuluh darah jantung yang
tersumbat (Kurniadi, 2013).
c. Ekokardiografi
Pemeriksaan yang tidak menimbulkan rasa sakit dan berdasarkan pemantulan
gelombang suara (ultrasound) dari berbagai bagian jantung. Pada tes ini
dapat dilihat gambaran fungsi pompa jantung dan kontraksi yang
terganggu bila suplai darah terganggu (Notoatmodjo, 2011).
d. Radioaktif isotope
Menggunakan zat kimia atau isotop yang disuntikkan pada penderita,
kemudian zat tersebut dideteksi melalui kamera khusus. Zat yang biasa
digunakan adalah thaliumdan technetium. Pada bagian otot jantung yang
infark, zat radioaktif lebih sedikit dibandingkan dengan bagian otot jantung
yang normal (Notoatmodjo, 2011).
e. Angiografi
Cara yang langsung dapat mendeteksi kelainan jantung dari pembuluh arteri
jantung, seperti gambaran radiologis, yaitu dengan menggunakan alat
angiogram. Namun pemeriksaan imi termasuk tindakan invasive yaitu
dengan memasukkan kateter ke dalam pembuluh arteri atau vena lalu
didorong sampai ke berbagai tempat di jantung. Gambaran arteri jantung
yang mengalirkan darah ke jantung akan terlihat dengan pemeriksaan ini
(Notoatmodjo, 2011).
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas klien: Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, suku
bangsa, pekerjaan, pendidikan, alamat, tanggal MRS dan diagnosa medis.
b) Keluhan utama: Pada klien dengan penyakit jantung koroner biasanya klien
mengeluh nyeri khas angina yaitu dada retrostenal kurang lebih 5-15 menit,
terasa berat, tertekan seperti di cengkram dan panas.
c) Riwayat kesehatan :
- Riwayat kesehatan lalu : Dalam hal ini yang perlu dikaji atau di
tanyakan pada klien antara lain apakah klien pernah menderita
hipertensi atau diabetes millitus, infark miokard atau penyakit jantung
koroner itu sendiri sebelumnya. Serta ditanyakan apakah pernah MRS
sebelumnya.
- Riwayat kesehatan keluarga: Mengkaji pada keluarga, apakah
didalam keluarga ada yang menderita penyakit yang diderita oleh
klien atau tidak, atau apakah didalam keluarga mempunyai
riwayat penyakit menular atau menurun.
- Riwayat kesehatan sekarang: Dalam mengkaji hal ini menggunakan
analisa systom PQRST. Untuk membantu klien dalam mengutamakan
masalah keluannya secara lengkap. Pada klien PJK umumnya
mengalami nyeri dada dan sesak nafas.
d) Pola-pola fungsi kesehatan
- Pola nutrisi dan metabolisme
Pada klien dengan penyakit jantung coroner biasanya kehilangan
nafsu makan, mual dan muntah sehingga mengalami penurunan berat
badan.
- Pola istirahat dan tidur
Biasanya pada klien PJK mengalami gangguan sulit tidur karena nyeri
dada yang timbul dengan tiba-tiba.
- Pola aktifitas dan latihan
Pada klien PJK biasanya mengalami gangguan dalam melakukan
aktivitas karena nyeri, dyspnea dan takikardi.
2. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Keadaan umum klien mulai pada saat pertama kali bertemu dengan klien
dilanjutkan mengukur tanda-tand vital. Kesadaran klien juga diamati apakah
kompos mentis, apatis, samnolen, delirium, semi koma atau koma. Keadaan
sakit juga diamati apakah sedang, berat, ringan atau tampak tidak sakit.
b) Kulit, rambut, kuku
Pada klien PJK mengeluh nyeri pada kulit, rambut tipis dan kuku tipis serta
rapuh.
c) Kepala dan leher
Pada klien PJK mengeluh nyeri pada kepala , muka kadang- kadang pucat
dan tidak adanya pembesaran pada kelenjar tiroid.
d) Mata: Pada klien PJK mata mengalami pandangan kabur.
e) Telinga, hidung, mulut dan Pada klien PJK tidak mengalami gangguan
sedangkan pada mulut ditemukan adanya mukosa pada mulut dan bibir.
f) Thoraks dan abdomen
Pada klien dengan PJK pada pemeriksaan abdomen dan thoraks ditemukan
nyeri pada dada. Pada abdomen ditemukan nyeri juga mual muntah sehingga
menurunkan nafsu makan pada klien.
g) Sistem respirasi
Pada klien PJK ditemukan dispnea dengan atau tanpa aktivitas , batuk
produktif, riwayat perokok dengan penyakit pernafasan kronis. Pada
pemeriksaan mungkin didapatkan peningkatan respirasi, pucat atau cianosis,
suara nafas wheezing cracekes atau juga vesikuler. Sputum jernih atau juga
merah muda/ pink tinged.
h) Sistem kardio vaskuler
Mempunyai riwayat IMA, Penyakit Jantung Koroner, CHF, tekanan darah
tinggi dan diabetes militus. Tekanan darah mungkin normal atau meningkat,
nadi mungkin normal atau terlambatnya capilary refill time, disritmia. Suara
jantung tambahan S3 atau S4 mungkin mencerminkan terjadinya kegagalan
jantung/ventrikel kehilangan kontraktilitasnya. Murmur jika ada merupakan
insufisiensi katup atau muskulus papilaris yang tidak berfungsi. Heart
rate mungkin meningkat atau mengalami penurunan.Irama jantung mungkin
ireguler atau juga normal, edema pada jubular vena distension, odema
anarsarka, crackles mungkin juga timbul dengan gagal jantung.
i) Sistem genito urinaria: Pada klien ini mengalami penurunan jumlah produksi
urine dan frekuensi urine.
j) Sistem gastrointestinal
Pada saluran pencernaan terjadi gangguan. Gejalanya nafsu makan menurun,
mual dan munta, nyeri perut, serta turgor kulit menurun, penurunan atau tidak
adanya bising usus.
k) Sistem muskulusskeletal
Pada klien PJK adanya kelemahan dan kelelahan otot sehinggah timbul
ketidak mampuan melakukan aktifitas yang diharapkan atau aktifitas yang
biasanya dilakukan.
l) Sistem endokrin: Biasanya terdapat peningkatan kadar gula darah.
m) Sistem persyarafan
Biasanya timbul gejala rasa berdenyut, vertigo disertai tanda-tanda dengan
perubahan orientasi atau respon terhadap rangsang, gelisa, respon
emosi meningkat dan apatis.
3. Pemeriksaan Diagnostik
a) ECG menunjukkan adanya S-T elevasi yang merupakan tanda dari iskemi,
gelombang T inversi atau hilang yang merupakan tanda dari injuri dan
gelombang Q yang mencerminkan adanya nikrosis. Enzim dan isoenzim
pada jantung: CPR- MB meningkat dalam 4-12 jam dan mencapai puncak
pada 24 jam. Peningkatan SGOT dalam 6-12 jam dan mencapai puncak pada
36 jam. Elektrolit: ketidak seimbangan yang memungkinkan terjadinya
konduksi jantung dan kontraktilitas jantung.
b) Kolesterol atau trigliserid
c) Analisa gas darah: menunjukkan adanya hipoksia atau proses penyakit paru
yang kronis atau akut.
d) Chest x ray: mungkin normal atau adanya kardeomegali, CHF,
aneorisma ventrikuler.
e) Echokardeogram Exercise stress test: menunjukkan adanya kemanpuan
jantung beradaptasi terhadap suatu stress atau aktivitas.
4. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
b) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan nyeri saat bernapas,
kelemahan otot pernapasan
c) Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi

Intervensi Keperawatan
Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Nyeri akut Setelah diberikan Manajemen Manajemen
asuhan Nyeri Nyeri
keperawatan
diharapkan nyeri Observasi: Observasi:
akut menurun 1. Identifikas 1. Untuk
dengan kriteria i lokasi, mengetahui
hasil: karakteristik, lokasi,
Tingkat Nyeri durasi, frekuensi, karakteristik,
kualitas, durasi, frekuensi,
1. Keluhan intensitas nyeri kualitas,
nyeri menurun 2. Identifikas intensitas nyeri
2. Meringis i skala nyeri 2. Untuk
menurun 3. Identifikas mengetahui skala
3. Gelisah i respon nyeri nilai 1-10 nyeri
menurun non verbal 3. Untuk
4. Frekuensi 4. Identifikas melihat
nadi membaik i faktor yang bagaimana
5. Pola memperberat dan respon nyeri
napas membaik memperingan klien
nyeri 4. Untuk
5. Monitor mengetahui hal
efek samping yang dapat
penggunaan meringankan
analgesic atau
Terapeutik memperberat
nyeri
1. Berikan 5. Untuk
teknik non mengetahui
farmakologis apakah ada efek
untuk samping dari
mengurangi
nyeri pemberian obat
2. Fasilitasi Terapeutik
istirahat dan tidur
3. Pertimban 1. Tindakan
gkan jenis dan ini
sumber nyeri memungkinkan
dalam pemilihan klien
strategi mendapatkan
meredakan nyeri rasa kontrol
Edukasi terhadap nyeri
2. Untuk
1. Jelaskan memenuhi
strategi kebutuhan
meredakan nyeri istirahat dan
2. Anjurkan tidur pasien
memonitor nyeri 3. Agar
secara mandiri masalah dapat
Kolaborasi: teratasi dengan
optimal
1. Kolaborasi Edukasi:
pemberian
analgetik 1. Untuk
memberikan
pemahaman
mengenai cara
meredakan nyeri
2. Pasien
dapat menilai
dan mengatasi
nyeri secara
mandiri
Kolaborasi

1.Untuk
mengurangi rasa
nyeri yang
dirasakan klien
Pola napas Setelah diberikan Manajemen Jalan Observasi :
tidak efektif asuhan Napas 1. Untuk
keperawatan Observasi : memantau
diharapkan pola 1. Monitor pola dan
napas tidak napas mengetahui
efektif teratasi (frekunesi, pola napas
dengan kriteria kedalaman, klien
hasil : usaha napas) 2. Untuk
Pola napas 2. Monitor bunyi mengetahui
napas apakah ada
1. Dispnea tambahan atau tidak
menurun 3. Monitor adanya bunyi
2. Frekuensi sputum napas
napas Terapeutik : tambahan
membaik 1. Pertahankan pada klien
kepatenan 3. Untuk
jalan napas mengetahui
2. Posisikan karakteristik
semifowler sputum klien
atau fowler Terpeutik :
3. Berikan 1. Agar tidak
minum hangat terjadi
4. Lakukan gangguan pada
fisioterapi jalan napas
dada, jika klien
perlu 2. Untuk
5. Berikan memberikan
oksigen, jika posisi nyaman
perlu pada klien
Edukasi : 3. Untuk
1. Anjurkan membantu
asupan cairan melancarkan
2000 ml/hari, pengeluaran
jika tidak dahak
kontraindikasi 4. Agar dahak
2. Ajarkan klien mudah
Teknik batuk dikeluarkan
efektif 5. Untuk
Kolaborasi : mencegah
1. Kolaborasi terjadinya
pemberian sesak napas
bronkodilator, pada klien
ekspektoran, Edukasi :
mukolitik, jika 1. Agar asupan
perlu cairan klien
terpenuhi
2. Agar
memudahkan
klien untuk
mengeluarkan
dahak
Kolaborasi :
1. Untuk
mengencerkan
dahak
Defisit Setelah diberikan Edukasi Observasi :
pengetahuan asuhan Kesehatan 1. Agar perawat
keperawatan Observasi : dapat
diharapkan defisit1. Identifikasi mengetahui
pengetahuan kesiapan dan kesiapan dan
meningkat kemampuan kemampuan
dengan kriteria menerima klien ketika
hasil : informasi diberikan
2. Identifikasi informasi
Tingkat faktor-faktor 2. Agar dapat
pengetahuan yang dapat mengetahui
1. Perilaku meningkatkan penyebab yang
sesuai anjuran dan dapat
meningkat menurunkan meningkatkan
2. Kemampuan motivasi dan menurukan
menjelaskan perilaku hidup motivasi
pengetahuan bersih dan perilaku hidup
tentang suatu sehat bersih dan
topik Terapeutik : sehat pada
meningkat 1. Sediakan klien
3. Pertanyaan materi dan Terapeutik :
tentang media 1. Agar klien
masalah yang Pendidikan dapat mengerti
dihadapi kesehatan dengan apa
menurun 2. Jadwalkan yang perawat
4. Perilaku Pendidikan sampaikan
membaik kesehatan 2. Agar kegiatan
sesuai tidak
kesepakatan mengganggu
3. Berikan aktivitas klien
kesempatan 3. Agar klien
untuk bertanya dapat bertanya
Edukasi : apa yang
1. Jelaskan kurang
faktor risiko dipahami dan
yang dapat mendapatkan
mempengaruhi jawaban yang
kesehatan sesuai
2. Ajarkan Edukasi :
perilaku hidup 1. Agar klien
bersih dan mengetahui
sehat faktor risiko
yang dapat
mempengaruhi
kesehatan
2. Agar klien
dapat
menerapkan di
kehidupan
sehari-harinya

5. Implementasi
Pencegahan, pengaturan posisi dan intervensi mandiri. Tindakan keperawatan
mencangkup tindakan mandiri dan kolaborasi Tindakan mandiri : aktivitas perawat
yang dilakukan atau yang didasarkan pada kesimpulan sendiri dan bahan petunjuk dan
perintah tenaga kesehatan lain. Tindakan kolaborasi: tindakan yang dilaksanakan atas
hasil keputusan bersama dengan dokter dan petugas kesehatan lain.
6. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari suatu proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan terencana ksehatan pasien dengan tujuan yang telah
ditetapkan, dilakukan dengan cara melibatkan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

KemenKes RI. 2018. Riset Profil Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik


Indonesia
LeMone Priscilla, Burke M Karen, Gerene Bauldoff. 2016. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah . Jakarta; Buku Kedokteran EGC
PPNI (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1 Cetakan III. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Kurniadi, Helmanu. 2013. Stop! Gejala Penyakit Jantung Koroner. Yogyakarta:
Familia
Buku Pintar Posbindu Ptm. 2016. Penyakit Tidak Menular Dan Faktor Risiko:
Kemenkes Ri
Silvia, Loraine. 2006. Penyakit Aterosklerotik Koroner.Patofisiologi Konsep Klinis
Proses ± Proses Penyakit, Volume I. Edisi VI. Penerbit Buku Kedokteran
EGC Jakarta, Hal 576 ±612
Naga, Sholeh S. 2012. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta:
Diva Press LS, L. P, 2011. Phatophysiologi of heart disease:
AtheroslerosisPhiladelpia: Lippincont. Soeharto, Iman. 2001. Pencegahan
dan Penyembuhan Penyakit Jantung Koroner. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Soeharto, Iman. 2004. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Kaplan, Norman M. (1991). Pencegahan Penyakit Jantung Koroner.
EGC Jakarta. WHO (2017). World Health Statistics , World
Health Organization; 2017

Anda mungkin juga menyukai