Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

“CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)”

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis

Dosen Pembimbing : Sugiyarto, S.ST.,Ns.,M.Kes

Disusun oleh :

1. Sayekti Murti Utami (P27220018034)


2. Septi Anis Kurli (P27220018035)
3. Septi Widyaningrum (P27220018036)
4. Siska Ayu Fitria Novita S (P27220018037)

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan rahmat, karunia serta
taufik dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah keperawatan kritis
tentang Congestive Heart Failure dengan baik. Dan kami juga berterima kasih
kepada bapak Sugiyarto, S.ST.,Ns.,M.Kes selaku dosen mata kuliah Keperawatan
Kritis yang telah membimbing kami dalam menyusun makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan, pengetahuan serta cakrawala mengenai Congestive Heart Falire. Kami
sepenuhnya menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran serta usulan yang membangun demi perbaikan
makalah kami dimasa yang mendatang.

Surakarta, 1 September 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
BAB I 3
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan 4
D. Manfaat 4

BAB II 3
A. Definisi 5
B. Etiologi 5
C. Klasifikasi 7
D. Manifestasi 8
E. Patofisiologi 9
F. Pemeriksaan Penunjang 12
G. Penatalaksanaan 14
H. Komplikasi 16

Konsep Asuhan Keperawatan Kritis Congestive Heart Failure 17

Daftar Pustaka

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jantung merupakan organ vital yang berfungsi untuk memompa darah


ke tubuh. Jantung berdenyut lebih dari 40 juta kali setahun dan memompa
lebih dari 7500 liter darah perhari (Kumar, 2015). Namun saat ini penyakit
jantung menjadi salah satu masalah kesehatan utama yang mengancam
masyarakat baik di negara maju maupun negara berkembang. Gaya hidup
yang tidak sehat menjadi salah satu faktor penyebab berkembangnya penyakit
degeneratif, salah satunya Congestive Heart Failure (CHF) atau Gagal
Jantung Kongestif (GGK).

Congestive Heart Failure merupakan kumpulan gejala klinis akibat


kelainan struktural ataupum fungsional jantung yang menyebabkan gangguan
kemampuan pengisian ventrikel dan ejeksi darah ke seluruh tubuh (AHA,
2017). Sedangkan menurut Kumar (2015), Congestive Heart Failure adalah
akhir yang umum bagi semua bentuk penyakit jantung dan biasanya
merupakan kondisi progesif yang mengakibatkan prognosis buruk. Sebagian
besar kasus gagal jantung disebabkan oleh disfungsi sistolik, fungsi kontraktil
2 miokardium yang tidak adekuat, biasanya sebagai akibat dari penyakit
jantung atau hipertensi.

Menurut WHO (2016) 17,5 juta jiwa (31%) dari 58 juta angka
kematian di dunia disebabkan penyakit jantung, dari seluruh angka tersebut
benua Asia menempati peringkat tertinggi akibat penyakit jantung dengan
jumlah 712,1 ribu jiwa, sedangkan di Asia Tenggara khususnya Indonesia
menempati peringkat kedua dengan jumlah 371 ribu jiwa. Hampir 5 juta orang
di Amerika Serikat yang terkena CHF, mengakibatkan lebih dari 1 juta rawat

iii
inap di rumah sakit dan 300.000 kematian setiap tahunnya, dengan beban
finansial melebihi 18 milyar USD (Kumar, 2015).

Penyakit gagal jantung kongestif di Indonesia telah menjadi pembunuh


nomor satu. Prevalensi penyakit jantung di Indonesia dari tahun ke tahun
semakin meningkat. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2017,
prevalensi gagal jantung di Indonesia yang terdiagnosis dokter sebesar 0,13%
atau diperkirakan sekitar 229.696 orang, sedangkan berdasarkan diagnosis
dokter/gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068 orang.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Congestive Heart Failure?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien Congestive Heart Failure?
C. Tujuan
1. Mengetahui tentang Congestive Heart Failure.
2. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien Congestive Heart Failure.
D. Manfaat
1. Bagi masyarakat:
Makalah ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat
tentang penyakit Congestive Heart Failure.
2. Bagi Pengembangan Ilmu Keperawatan:
Makalah diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan khususnya di
bidang keperawatan dalam menangani pasien Congestive Heart Failure.
3. Bagi mahasiswa
Makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi mahasiswa untuk
memperkaya pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada pasien
Congestive Heart Failure.

iv
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk darah
yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi.
Istilah gagal jantung kongestif sering digunakan jika terjadi gagal jantung sisi
kiri dan kanan (Kasron, 2012).
Gagal jantung kongestif (Congestive Heart Failure) adalah gangguan
sirkulasi yang berhubungan dengan kegagalan jantung untuk berfungsi secara
normal yang menyebabkan kongesti pada dasar vascular paru dan jaringan
perifer sehingga menimbulkan gejala pernafasan dan edema perifer (Morton
dkk, 2012)
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung
mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan
selsel tubuh akan nutrisi dan oksigen secara adekuat. Hal ini mengakibatkan
peregangan ruang jantung (dilastasi) guna menampung darah lebih banyak
untuk dipompakan keseluruh tubuh atau mengkaibatkan otot jantung kaku
dan menebal. Jantung hanya mampu memompa darah dalam waktu yang
singkat dan dinding otot jantung yang melemah tidak mampu memompa
dengan kuat. Hal ini akan menyebabkan bendungan cairan dalam beberapa
organ tubuh seperti tangan, kaki, paru atau organ lainnya sehingga tubuh
klien menjadi bengkak (Udjianti, 2010).
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gagal
jantung (CHF) adalah ketidakmampuan jantung dalam memompa darah
secara adekuat sehingga jantung tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen
dan nutrisi pada jaringan.

B. Etiologi

v
Menurut Smeltzer & Bare dalam Kasron (2012) Congestive Heart
Failure (CHF) disebabkan oleh :
1. Kelainan otot jantung
Congestive Heart Failure (CHF) sering terjadi pada penderita kelainan
otot jantung, menyebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi
yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot jantung mencakup
aterosklerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit degeneratif atau
inflamasi.
2. Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah
ke otot jantung, terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam
laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului
terjadinya Congestive Heart Failure (CHF).
3. Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload)
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada akhirnya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung, efek tersebut (hipertrofi miokard) dapat
dianggap sebagai mekanisme kompensasi karena akan meningkatkan
kontraktilitas jantung. Tetapi untuk alasan yang tidak jelas, hipertrofi otot
jantung tadi tidak dapat berfungsi secara normal, dan akhirnya akan terjadi
Congestive Heart Failure (CHF).
4. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
5. Penyakit jantung lain
Congestive Heart Failure (CHF) dapat terjadi sebagai akibat penyakit
jantung yang sebenarnya tidak secara langsung mempengaruhi jantung.
Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk
jantung (misalnya stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung
untuk mengisi darah (misalnya tamponade, perikarditas konstriktif atau
stenosis katup AV), atau pengosongan jantung abnormal (misalnya
insufisiensi katup AV). Peningkatan mendadak afterload akibat

vi
meningkatnya tekanan darah sistemik (hipertensi “Maligna”) dapat
menyebabkan gagal jantung meskipun tidak ada hipertrofi miokardial.
6. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam perkembangan dan
beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misalnya
demam, tirotoksikosis), hipoksia dan anemia memerlukan peningkatan
curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia atau
anemia juga dapat menurunkan kontraktilitas jantung. Asidosis
(respiratorik atau metabolik) dan abnormalitas elektrolit dapat
menurunkan kontraktilitas jantung. Disritmia jantung yang dapat terjadi
dengan sendirinya atau secara sekunder akibat gagal jantung menurunkan
efisiensi keseluruhan fungsi jantung.

C. Klasifikasi
Menurut Udjianti (2010), ada empat kategori utama yang
diklasifikasikan sebagai gagal jantung yaitu:
1. Backward versus Forward Failure
a. Backward failure
Backward failure dikatakan sebagai akibat ventrikel tidak mampu
memompa volume darah keluar, menyebabkan darah terakumulasi dan
meningkatkan tekanan dalam ventrikel, atrium, dan sustem baik unruk
jantung sisi kanan maupun jantung sisi kiri.
b. Forward failure
Forward failure adalah akibat ketidakmampuan jantung
mempertahankan curah jantung, yang kemudian menurunkan perfusi
jaringan.
2. Low Output versus High Output Syndrome
a. Low output syndrome
Low output syndrome terjadi bilamana jantung gagal sebagai pompa,
yang mengakibatkan gangguan sirkulasi perifer dan vasokonstriksi
perifer.

vii
b. High output syndrome
High output syndrome terjadi bila curah jantung tetap normal atau di
atas normal namun kebutuhan metabolic tubuh tidak mencukupi.
Menurut New York Heart Association (NYHA) dalam Aspiani (2015),
klasifikasi gagal jantung yaitu:
1. NYHA kelas I
Para penderita jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik serta tidak
menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak
nafas atau berdebar-debar apabila melakukan kegiatan biasa.
2. NYHA kelas II
Penderita penyakit jantung dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan
fisik, tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik
ringan menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan,
jantung berdebar, sesak nafas atau nyeri dada.
3. NYHA kelas III
Penderita penyakit jantung dengan banyak pembatasan dalam kegiatan
fisik, tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi dengan
melakukan kegiatan fisik yang ringan saja sudah menimbulkan gejala
gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar, sesak nafas
atau nyeri dada.
4. NYHA kelas IV
Penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun, yang di lakukan
hanya istirahat, karena pada saat istirahat saja penderita bisa terkena gejala
gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar, sesak nafas
atau nyeri dada.

D. Manifestasi klinis
Menurut Nurarif dan Kusuma (2013) tanda dan gejala Congestive
Heart Failure (CHF) adalah :
1. Kriteria Mayor
a. Paroksimal nocturnal dispnea

viii
b. Distensi vena leher
c. Ronchi paru
d. Kardiomegali
e. Oedema paru akut
f. Gallop S3
g. Peningkatan vena jugularis
h. Refluks hepatojugularis
2. Kriteria Minor
a. Oedema ekstermitas
b. Batuk malam hari
c. Dispnea
d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Takikardia (>120/menit)
3. Major atau minor
a. Penurunan BB atau sama dengan 4,5 Kg dalam 5 hari pengobatan
b. Diagnose gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2
kriteria minor

E. Patofisiologi dan Pathway


Menurut Brunner & Suddarth dalam Kasron (2012) fungsi jantung
sebagai sebuah pompa diindikasikan oleh kemampuannya untuk memenuhi
suplai darah yang adekuat keseluruh bagian tubuh, baik dalam keadaan
istirahat maupun saat mengalami stress fisiologis. Mekanisme fisiologis yang
menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan-keadaan :
1. Preload (beban awal)
Jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan
yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung.
2. Kontraktilitas
Perubahan kekuatan kontriksi berkaitan dengan panjangnya regangan

ix
serabut jantung.
3. Afterload (beban akhir)
Besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa
darah melawan tekanan yang diperlukan oleh tekanan arteri. Pada keadaan
gagal jantung, bila salah satu/lebih dari keadaan diatas terganggu,
menyebabkan curah jantung menurun, meliputi keadaan yang
menyebabkan preload meningkat contoh regurgitasi aorta, cacat septum
ventrikel. Menyebabkan afterload meningkat yaitu pada keadaan stenosis
aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas otot jantung dapat menurun
pada infark miokardium dan kelainan otot jantung.
Adapun mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi
menurunnya kemampuan kontraktilitas jantung, sehingga darah yang
dipompa pada setiap kontriksi menurun dan menyebabkan penurunan
darah keseluruh tubuh. Apabila suplai darah kurang keginjal akan
mempengaruhi mekanisme pelepasan rennin-angiotensin dan akhirnya
terbentuk angiotensin II mengakibatkan terangsangnya sekresi aldosteron
dan menyebabkan retensi natrium dan air, perubahan tersebut
meningkatkan cairan intra-ekstrvaskuler sehingga terjadi
ketidakseimbangan volume cairan dan tekanan selanjutnya terjadi oedema.
Oedema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstial.
Proses ini timbul masalah seperti nokturia dimana berkurangnya
vasokontriksi ginjal pada waktu istirahat dan juga redistribusi cairan dan
absorpsi pada waktu berbaring. Gagal jantung berlanjut dapat
menimbulkan gejala-gejala gastrointestinal seperti mual, muntah,
anoreksia.
Apabila suplai darah tidak lancar diparu-paru (darah tidak masuk
kejantung), menyebabkan penimbunan cairan diparu-paru yang dapat
menurunkan pertukaran O2 dan CO2 antara udara dan darah diparu-paru.
Sehingga oksigenasi arteri berkurang dan terjadi peningkatan CO2, yang
akan membentuk asam didalam tubuh. Situasi ini akan memberikan suatu
gejala sesak napas (dyspnea), ortopnea (dyspnea saat berbaring) terjadi

x
apabila aliran darah dari ektremitas meningkatkan aliran balik vena ke
jantung dan paru-paru.
Apabila terjadi pembesaran vena dihepar mengakibatkan
hematomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan. Suplai darah yang
kurang didaerah otot dan kulit, menyebabkan kulit menjadi pucat dan
dingin serta timbul gejala letih, lemah, lesu.

xi
Pathway Congestive Heart Failure

F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Sudoyo, dkk (2009), pemeriksaan penunjang untuk
Congestive Heart Failure (CHF) adalah :
1. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi yang sangat penting,
meliputi frekuensi debar jantung, sistem konduksi dan kadang etiologi dari

xii
gagal jantung itu sendiri. Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan
gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung
(90%), meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10% kasus.
Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas
ST-T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block, fibrilasi atrium,
gangguan konduksi, penyimpangan aksis dan aritmia.
2. Scan Jantung
Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan jantung.
3. Ekokardiografi (Echocardiography)
Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis
gagal jantung. Ekokardiografi memegang peranan yang sangat penting
untuk evaluasi kelainan struktural dan fungsional dari jantung berkaitan
dengan gagal jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik
dan diastolik), dan abnormalitas dinding jantung dapat dinilai, dan
penyakit katup jantung dapat disingkirkan. Pencitraan echo/dopler harus
diperiksakan untuk evaluasi dan memonitor fungsi sistolik ventrikel kiri
dan kanan secara regional dan global, fungsi diastolik, struktur dan fungsi
vaskuler, kelainan perikardium, komplikasi mekanis dari infark akut,
adanya disinkroni, juga dapat menilai semi kuantitatif non invasif, tekanan
pengisian dari ventrikel kanan dan kiri, stroke volume dan tekanan arteri
pulmonalis, yang dengan demikian bisa menentukan strategi pengobatan.
4. Kateterisasi jantung
Tekanan abnormal menunjukkan indikasi dan membantu membedakan
gagal jantung sisi kanan dan kiri, stenosis katup atau insufisiensi serta
mengkaji potensi arteri koroner. Pada gagal jantung kiri didapatkan VEDP
10 mmHg atau pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) lebih dari 12
mmHg dalam keadaan istirahat. Curah jantung lebih rendah dari 2,7
liter/menit/m2 luas permukaan tubuh.
5. Radiografi thoraks
Foto thoraks harus diperiksakan secepat mungkin untuk menilai derajat
kongesti paru, dan untuk mengetahui adanya kelainan paru dan untuk

xiii
mengetahui adanya kelainan paru dan jantung yang lain seperti efusi
pleura, infiltrat atau kardiomegali. Pada pasien gagal jantung, foto thoraks
seringkali menunjukkan kardiomegali. Ukuran jantung normal tidak
menyingkirkan diagnosis dan bisa didapatkan pada gagal jantung akut.
6. Elektrolit serum
Mengungkapkan kadar natrium yang rendah sehingga hasil hemodelusi
darah dari adanya kelebihan retensi air, K, CL, ureum, gula darah,
peningkatan BUN/kreatinin menunjukkan hipoperfusi/gagal ginjal.
7. Enzim jantung
Enzim jantung meningkat bila terjadi kerusaakan jaringan-jaringan
jantung, misal infark miokard (kreatinin fosfokinase/CPK, isoenzim CPK
dan Dehidrogenase Laktat/LDH, isoenzim LDH).
8. Pengukuran tekanan preload, afterload dan curah jantung.
Pengukuran dapat diperoleh melalui lubang-lubang yang terletak pada
berbagai interval sepanjang kateter. Pengukuran CVP (N 15-20 mmHg)
dapat menghasilkan pengukuran preload yang akurat. PAWP adalah
tekanan penyempitan arteri pulmonal dimana yang diukur adalah tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri. Curah jantung diukur dengan suatu lumen
termodelusi yang dihubungkan dengan komputer.
9. Analisa Gas Darah
Gagal ventrikel kiri ditandai alkalosis respiratorik ringan atau hipoksemia
dengan peningkatan tekanan karbondioksida.
G. Penatalaksanaan
Menurut Kasron (2012), penatalaksanaan Congestive Heart Failure
(CHF) meliputi:
1. Non Farmakologis :
a. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan
konsumsi oksigen melalui istirahat atau pembatasan aktivitas
b. Diet pembatasan natrium (< 4gr/hari) untuk menurunkan oedema

xiv
c. Menghentikan obat-obaatan yang memperparah seperti NSAIDs
karena efek prostaglandin pada ginjal menyebabkan retensi air dan
natrium
d. Pembatasan cairan (kurang lebih 1200-1500cc/hari)
e. Olahraga secara teratur
2. Farmakologis :
Tujuannya untuk mengurangi afterload dan preload
a. First line drug ; diuretik
Mengurangi afterload pada disfungsi sistolik dan mengurangi kongesti
pulmonal pada disfungsi diastolik. Obatnya adalah thiazide diuretic,
metolazon (kombimasi dari loop diuretic untuk meningkatkan
pengeluaran cairan), calium-sparing diuretic.
b. Second line drugs ; ACE inhibitor
Membantu meningkatkan cardiac output dan menurunkan kerja
jantung. Obatnya adalah :
1) Digoxin
Meningkatkan kontraktilitas. Obat ini tidak digunakan untuk
kegagalan diastolik yang mana dibutuhkan pengembangan
ventrikel untuk relaksasi.
2) Hidrazalin
Menurunkan afterload pada disfungsi sistolik.
3) Isosorbide Dinitrat (ISDN)
Mengurangi preload dan afterload untuk disfungsi sistolik, hindari
vasodilator pada disfungsi sistolik.
4) Calsium Channel Blocker
Untuk kegagalan diastolik, meningkatkan relaksasi dan pengisian
ventrikel.
5) Beta Blocker
Sering dikontraindikasikan karena menekan respon miokard.
Digunakan pada disfungsi diastolik untuk mengurangi Heart Rate,

xv
mencegah iskemik miokard, menurunkan tekanan darah dan
hipertrofi ventrikel kiri.

H. Komplikasi
Menurut Kasron (2012) komplikasi dari gagal jantung kongestif adalah
1. Syok kardiogenik
Terjadi bila ventrikel kiri mengalami kerusakan luas
2. Episode tromboemboli
Disebabkan kurangnya mobilitas pasien penderita jantung dan adanya
gangguan sirkulasi yang menyertai kelainan ini berperan dalam
pembentukan thrombus intrakardial dan intravaskuler.
3. Efusi dan temponade pericardium
Masuknya cairan kedalan kantung pericardium dan efusi ini menyebabkan
penurunan curah jantung serta aliran balik vena kejantung dan hasil akhir
proses ini adalah temponade jantung.
4. Toksisitas digitalis akibat pemakaian obat-obatan digitalis.

xvi
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS CHF

Asuhan keperawatan kritis adalah asuhan keperawatan yang difokuskan


pada pemberian pelayanan keperawatan pada pasien yang mengalami keadaan
kritis, tidak stabil dan masih mempunyai potensi untuk dapat diselamatkan akibat
berbagai penyakit. Pasien kritis adalah pasien yang tidak stabil dan mengalami
gangguan ABCD (airway, breathing, circulation, disability), yang membutuhkan
monitoring berkelanjutan untuk proses pemulihan (Huddak & Gallo, 2012). HCU
adalah unit pelayanan rumah sakit bagi pasien dengan kondisi respirasi,
hemodinamik dan kesadaran yang stabil namun masih memerlukan pengobatan,
perawatan, dan observasi secara ketat (Kementerian Kesehatan RI, 2010).
1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
Menurut Gilbert., D’Souza., & Pletz (2009) dan Muttaqin (2009)
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain :
1) Pengkajian Airway
Biasanya gejala yang muncul pada saat pengkajian airway pada
pasien CHF yaitu: Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau
dengan beberapa bantal, batuk dengan atau tanpa pembentukan
sputum, riwayat penyakit kronis, penggunaan bantuan pernapasan.
Serta di tandai dengan, pernapasan takipnea, napas dangkal,
penggunaan otot asesori pernapasan. Batuk kering, nyaring atau non
produktif atau mungkin batuk terus menerus dengan atau tanpa
pembentukan sputum. Sputum mungkin bersemu darah, merah muda
atau berbuih (edema pulmonal). Bunyi napas mungkin ronchi. Fungsi
mental mungkin menurun, kegelisahan, letargi. Warna kulit pucat dan
sianosis.
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara
lain :

a) Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Terdapat suara napas tambahan

xvii
ronchi. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien
CHF antara lain:
(1) Adanya snoring atau gurgling.
(2) Stridor atau suara napas tidak normal.
(3) Di temukan ronchi kanan kiri
(4) Agitasi (hipoksia).
(5) Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical
chest movements.
(6) Sianosis.

b) Look dan listen pada pasien CHF merupakan bukti adanya masalah
pada saluran napas bagian atas dan potensial penyebab obstruksi :
(1) Muntahan.
(2) Perdarahan.
(3) Gigi lepas atau hilang.

(4) Gigi palsu.


(5) Trauma wajah.
(6) Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas
pasien terbuka.
(7) Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada
pasien yang berisiko untuk mengalami cidera tulang belakang.
(8) Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas
pasien CHF yang sesuai indikasi:
(a) Chin lift/jaw thrust.
(b) Lakukan suction .
(c) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal
Mask Airway.
(d) Lakukan intubasi.

2) Pengkajian Breathing

xviii
Pengkajian breathing pada pasien CHF di dapatkan tanda kongesti
vaskular pulmonal yaitu dispnea orthopnea dispnea nokturnal
paroksimal, batuk dan edema pulmonal akut. Crackles atau ronchi
umunya terdengar pada posterior paru. Hal ini di kenali sebagai bukti
gagal jantung kiri.
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan
jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan
pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus
dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi
buatan. Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada
pasien CHF antara lain:

a) Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan


oksigenasi pasien. Penggunaan alat bantu pernapasan ET dan
NRM.
b) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Ada tanda-tanda
sebagai berikut : terjadi tanda sianosis, penetrating injury, flail
chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu
pernafasan.
c) Palpasi untuk adanya pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosa
haemothorax dan pneumotoraks.
d) Auskultasi untuk adanya: suara abnormal pada dada, suara nafas
ronchi.
e) Bacaan pulse ocsimetry di dapatkan takikardi hipertensi kadang
juga hipotensi.

3) Pengkajian Circulation
Pengkajian circulation pada pasien CHF di dapatkan gejala yang
mungkin muncul yaitu anemia, syok septic, bengkak pada kaki, asites.

xix
Di tandai dengan :

a) TD : mungkin rendah (gagal pemompaan).


b) Tekanan Nadi : mungkin sempit.
c) Irama Jantung : Disritmia.
d) Frekuensi jantung : Takikardia.
e) Nadi apical: PMI (point maksimum impuls) mungkin menyebar
dan merubah posisi secara inferior ke kiri.
f) Bunyi jantung : S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat terjadi, S1
dan S2 mungkin melemah.
g) Murmur sistolik dan diastolik.
h) Warna: kebiruan, pucat abu-abu, sianotik.
i) Punggung kuku pucat atau sianotik dengan pengisian kapiler
lambat.
j) Hepar : pembesaran atau dapat teraba.
k) Bunyi napas: krekels, ronchi.
l) Edema: mungkin dependen, umum atau pitting khususnya pada
ekstremitas.

4) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities


Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala
AVPU :

a) A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi


perintah yang diberikan.

b) V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang


tidak bisa dimengerti.
c) P - response to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk
merespon).
d) U - unresponsive, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri

xx
maupun stimulus verbal.
Orang terdekat biasanya dapat melaporkan perubahan
kepribadian, bingung, bicara lambat/tidak jelas, halusinasi,
penurunan mental status yang dapat di ukur dengan Glasgow Coma
Scale (GCS).

5) Pengkajian Expose, Examine dan Evaluate


Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cidera pada pasien.
Jika pasien diduga memiliki cidera leher atau tulang belakang,
imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika
melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah
semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan
selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan
pemeriksaan ulang. Pada pasien CHF di dapatkan edema, dan ascites.

b. Pengkajian Sekunder

Menurut Gilbert., D’Souza., & Pletz (2009) dan Mutaqqin (2009),


pengkajian sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap, dari depan
hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi
pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda
syok mulai membaik.

1) Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat
pasien yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien.
Riwayat pasien meliputi :

(a)Keluhan Utama
Keluhan utama yang paling sering menjadi alasan pasien masuk
rumah sakit yaitu dispnea, kelemahan fisik, batuk, dan edema.

xxi
(b)Riwayat Masalah Kesehatan Sekarang
Pengkajian riwayat penyakit sekarang yang mendukung keluhan
utama dengan melakukan serangkaian pertanyaan tentang
kronologis keluhan utama. Pengkajian yang di dapat dengan
adanya gejala-gejala kongesti vaskuler pulmonal adalah dispnea,
orthopnea, dispnea nokturnal paroksimal, batuk dan edema
pulmonal akut. Pada pengkajian dispnea (di karakteristiskan
oleh pernapasan cepat, dangkal dan sensai sulit mendapatkan
udara yang cukup dan menekan pasien), keluhan lain misal
insomnia gelisah kelemahan yang di sebabkan oleh dispnea.

(c)Riwayat Keluarga
Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbulnya pada
usia muda merupakan faktor risiko utama untuk penyakit
jantung iskemik pada keturunanya, tanyakan tentang penyakit
yang pernah di alami oleh keluarga, bila ada keluarga yang
meninggal tanya penyebab meninggalnya.

(d)Riwayat Penyakit Dahulu


Pengkajian riwayat penyakit dahulu yang mendukung dengan
mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah menderita nyeri
dada khas infark miokardium, hipertensi. Tanyakan obat-obat
yang sering di minum pasien pada masa lalu, misalnya obat
diuretik nitrat dan obat anti hipertensi. Catat adanya efek
samping yang terjadi di masa lalu.

Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh


langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia,
dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan
dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama
kali melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap
karena akan memberikan gambaran mengenai cidera yang mungkin

xxii
diderita. Anamnesis juga harus meliputi riwayat SAMPLE yang
bisa didapat dari pasien dan keluarga:
a) S (Sign and Symptomp)
Gejala yang timbul, seperti yang sudah di jelaskan pada tanda
dan gejala yang timbul di atas yaitu dispnea, orthopnea, batuk
PND kelelahan, anoreksia, peningkatan JVP dan edema.
b) A (Allergies)
Adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan anti hipertensi
dan alergi makanan yang memicu terjadinya hipertensi.
c) M (Medication)
Obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat.
d) P (Past medical history)
Riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah diderita
yaitu penyakit jantung (hipertensi, kardiomegali, gagal jantung),
pernah mengonsumsi obat anti hipertensi.
e) L (Last meal)
Obat yang baru saja di konsumsi seperti obat anti hipertensi, dan
pengkonsumsian makanan yang mengandung natrium berlebih.
f) E (Events prociding the incident)
Riwayat merokok, pekerja keras dan melakukan kegiatan yang
menimbulkan kelelahan.

c. Pengkajian persitem Menurut Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009 yaitu :


a) Sistem pernafasan
Dilihat bagaimana pasien melakukan pernafasan meliputi
frekwensinya, ada tidaknya alat bantu pernafasan yang digunakan,
adakah suara nafas tambahan, apakah pasien menggunakan alat bantu
pernafasan, bagaina pengembangan dadada pasien saat bernafas.

xxiii
b) Sistem kardiovaskuler
Dilihat sistem kardiovaskulernya meliputi tekanan darah nadi,
frekwensi nadi, sirkulasi oksigen dalam jaringan (CRT, ada tidaknya
tanda sianosis), ada tidaknya bunyi jantung tambahan, ada tidaknya
pembesaran jantung, bagaimana gambaran elektrokardiogram.

c) Sistem neurologi
Dilihat sistem neurologi pasien meliputi tingkat kesadaran pasien
dengan menggunakan Glows Comma Scale (GCS).

d) Sistem integuman dan muskuloskeletal


Dilihat sistem integument dan sistem musculoskeletal pasien
meliputi turgor kulit, penampakan mukosa pasien, keadaan ekstremitas
pasien (ada tidaknya oedem pada ekstremitas, apakah ekstremitas
mengalami gangguan pergerakan).

e) Sistem gastrointestinal

Dilihat sistem gastrointestinal pasien, meliputi apakah ada tanda


tanda asites, apakah tampak jejas, bisisn usus pasien, ada tidaknya
distensi abdomen, apakah teraba massa, apakah ada pembesaran hepar.

f) Sistem perkemihan
Dilihat sistem perkemihan pasien, meliputi apakah pasien bisa
melakukan eliminasi secara mandiri atau pasien menggunakan alat
bantu eliminasi, bagaimana warna dan jumlah urine yang dikeluarkan
pasien.

g) Sistem imunitas
Dilihat apakah pasien memiliki gangguan imunitas seperti adakah
alergi yang dimiliki pasienterhadap makanan dan obat-obatan.

d. Pengkajian Nyeri
1) Profokatif (Paliatif )

xxiv
Hal yang menyebabkan nyeri bertambah berat, nyeri di karenakan
pembesaran di vena pada hepar.

2) Kualitas (Kuantitas)
Bagaimana gejala dirasakan, nyeri yang di rasa bila di tekan.

3) Regional
Di daerah mana nyeri dirasakan, nyeri pada ulu hati.

4) Skala

Skala 5-10

5) Timing
Apakah nyeri dirasakan tiba-tiba atau bertahap, sudah berapa lama
dirasakan, setiap berapa menit/jam. Nyeri di rasa saat pasien
beraktivitas atau melakukan kegiatan bahkan bisa saat istirahat (hilang
timbul).

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan berdasarkan Standar Diagnosa Keperawatan
Indonesia (2017)yang diprioritaskan berdasarkan kriteria Airway,
Breathing, Circulation (ABC) adalah :

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi mukus


pada jalan nafas
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot-otot
pernapasan
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
kapiler-alveolus
d. Risiko perfusi miokard tidak efektif berhubungan dengan suplai oksigen
yang menurun
e. Risiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan menurunnya laju
filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung) atau meningkatnya
produksi ADH dan retensi natrium dan air.

xxv
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan menurut Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (2018) adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawatan
yang didasarkan pada pengetahuan dan penelitian klinis untuk mencapai
luaran (outcome) yang diharapkan. Tahap perencanaan keperawatan adalah
menentukan prioritas diagnosa keperawatan, penetapan kriteria evaluasi dan
merumuskan intervensi keperawatan.
Tujuan yang ditetapkan harus sesuai dengan SMART, yaitu specific
(khusus), meassureble (dapat diukur), acceptable (dapat diterima), reality
(nyata) dan time (terdapat kriteria waktu).
Intervensi keperawatan menurut Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(2018) yaitu:

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi mukus


pada jalan nafas
Tujuan : bersihan jalan nafas menjadi efektif
Kriteria Hasil :

1) TTV dalam batas normal


(TD 110/70 mmHg-140/80 mmHg, HR : 70-100X/menit, RR : 16-
24x/menit, S : 36,0 – 37,0)

2) Suara nafas ronchi tidak di temukan bahkan hilang


3) Produksi sputum berkurang
4) Sputum dapat keluar
5) Pasien dapat batuk efektif

Intervensi : manajemen jalan nafas

1) Observasi

a) Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)

b) Monitor bunyi nafas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing,

xxvi
ronkhi kering)

c) Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

2) Terapeutik

a) Pertahankan kepatenan jalan nafas

b) Posisikan semi-fowler atau fowler

c) Berikan minum hangat

d) Lakukan fisioterapi dada

e) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik

f) Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal

g) Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill

h) Berikan oksigen, jika perlu

3) Edukasi

a) Anjuekan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi

b) Ajarkan teknik batuk efektif

4) Kolaborasi

a) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika


perlu

b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot-otot


pernafasan
Tujuan : pola nafas menjadi efektif
Kriteria Hasil :

1) TTV dalam batas normal


(TD 110/70 mmHg-140/80 mmHg, HR : 70-100X/menit, RR : 16-
24x/menit, S : 36,0 – 37,0)

2) Tidak terdapat suara nafas tambahan

xxvii
3) Tidak terjadi sianosis
4) Mampu bernafas dengan mudah
5) Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan

Intervensi : manajemen jalan nafas

1) Observasi

a) Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)

b) Monitor bunyi nafas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing,


ronkhi kering)

c) Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

2) Terapeutik

a) Pertahankan kepatenan jalan nafas

b) Posisikan semi-fowler atau fowler

c) Berikan minum hangat

d) Lakukan fisioterapi dada

e) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik

f) Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal

g) Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill

h) Berikan oksigen, jika perlu

3) Edukasi

c) Anjuekan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi

d) Ajarkan teknik batuk efektif

4) Kolaborasi

b) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika


perlu

c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran

xxviii
alveolar kapiler
Tujuan : pertukaran gas menjadi efektif
Kriteria Hasil :

1) TTV dalam batas normal ( TD 110/70 mmHg-140/80 mmHg, HR :


70-100X/menit, RR : 16-24x/menit, S : 36,0 – 37,0)
2) Peningkatan oksigenasi dan ventilasi yang adekuat
3) Bebas dari tanda distress pernafasan
4) Tidak ada sianosis
5) Dapat batuk efektif
6) Tidak terjadi dispnea
Intervensi : terapi oksigen
1) Observasi
a) Monitor kecepatan aliran oksigen
b) Monitor posisi alat terapi oksigen
c) Monitor aliran oksigen secara periodik dan pastikan fraksi yang
diberikan cukup
d) Monitor efektivitas terapi oksigen (mis. Oksimeter, analisa gas
darah), jika perlu
e) Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat makan
f) Monitor tanda-tanda hipoventilasi
g) Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan atelektasis
h) Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen
i) Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen
2) Terapeutik
a) Bersihkan sekret pada mulut, hidung, dan trakea, jika perlu
b) Pertahankan kepatenan jalan nafas
c) Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen
d) Berikan oksigen tambahan, jika perlu
e) Tetap berikan oksigen saat pasien ditransportasi

xxix
f) Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan tingkat mobilitas
pasien
3) Edukasi
a) Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen di
rumah
4) Kolaborasi
a) Kolaborasi penentuan dosis oksigen
b) Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas dan/atau tidur

d. Risiko perfusi miokard tidak efektif berhubungan dengan suplai oksigen


yang menurun
Tujuan : perfusi jaringan adekuat.
Kriteria hasil :

1) Kulit hangat
2) Tidak terjadi sianosis
3) TTV dalam batas normal
(TD 110/70 mmHg-140/80 mmHg, HR : 70-100X/menit, RR : 16-
24x/menit, S : 36,0 – 37,0)

Intervensi :
1) Observasi
a) Identifikasi jenis aritmia
b) Monitor frekuensi dan durasi aritmia
c) Monitor saturasi oksigen
2). Terapeutik
a) Berikan lingkungan yang tenang
b) Pasang jalan napas buatan (mis.OPA,NPA,LMA,ETT,)jika
perlu
c) Pasang akses intravena
d) Pasang monitor jantung

xxx
e) Rekam EKG 12 sadapan
3). Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian aritmia, jika perlu.
b) Kolaborasi pemberian kardioversi, jika perlu.
c) Kolaborasi pemberian defibrilasi, jika perlu.

e. Risiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan peningkatan


reabsorbsi Natrium
Tujuan : volume cairan dapat seimbang
Kriteria Hasil :

1) TTV dalam batas normal


(TD 110/70 mmHg-140/80 mmHg, HR : 70-100X/menit, RR : 16-
24x/menit, S : 36,0 – 37,0)

2) Tidak terjadi udem


3) Tidak ada dispnea
4) Terbebas dari kecemasan
5) Terbebas dari distensi vena jugularis.
Intervensi :
2) Observasi
a) Pemantauan tanda vital
b) Skrining kesehatan
3) Terapeutik
a) Manajemen aritmia
b) Manajemen syok kardiogenik
c) Pencegahan emboli
d) Perawatan jantung
4) Edukasi
a) Edukasi aktivitas/istirahat
b) Edukasi diet
c) Edukasi berhenti merokok

xxxi
d) Edukasi kesehatan
e) Edukasi pengukuran nadi radialis
5) Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian terapi obat
b) Kolaborasi pemberian obat intravena

f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik


Tujuan : pasien dapat beraktivitas sesuai toleransi

Kriteri hasil :
1) TTV dalam batas normal ( TD 110/70 mmHg-140/80 mmHg, HR :
70- 100X/menit, RR : 16-24x/menit, S : 36,0 – 37,0)
2) Pasien dapat beraktivitas secara bertahap
3) Kebutuhan oksigen terpenuhi
4) Menunjukan peningkatan aktivitas
Intervensi :

1) Observasi
a) Pemantauan tanda vital
b) Monitor kelelahan fisik dan emosional
c) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
2) Terapeutik
a) Dukungan ambulasi
b) Dukungan kepatuhan program pengobatan
c) Dukungan metidasi

3) Edukasi

a) Edukasi latihan fisik

b) Edukasi latihan ambulasi

c) Edukasi pengukuran nadi radialis

d) Promosi latihan fisik


4) Kolaborasi

xxxii
a) Kolaborasi pemberian obat

4. Implementasi Keperawatan
Menurut Haryanto (2007) implementasi mencakup melakukan,
membantu, atau mengarahkan kinerja aktivitas sehari-hari. Dengan kata lain
implementasi adalah melakukan rencana tindakan yang telah ditentukan
untuk mengatasi masalah klien.

5. Evaluasi Keperawatan
Menurut Carpenito dan Moyet (2007) evaluasi merupakan keputusan
atau pendapat tentang data. Evaluasi data atau situasi ini bertujuan untuk
mengetahui apakah program pengobatan atau tindakan yang telah dilakukan
perawat untuk mengatasi masalah kesehatan pasien atau klien telah berhasil,
kurang berhasil atau belum berhasil agar ada tindak lanjut untuk yang
berikutnya. Evaluasi disusun menggunakan subyektif, obyektif, analisis,
planning (SOAP) yaitu sebagai berikut :

a. S – Subyektif :data subyektif yang diambil dari keluhan klien, kecuali


pada pasien yang afasia.

b. O – Obyektif : data obyektif yang diperoleh dari hasil observasi perawat,


misalnya tanda-tanda penyimpangan fuungsi fisik, tindakan keperawatan,
atau akibat pengobatan.
c. A – Analisis : masalah dan diagnosis keperawatan klien yang
dianalisis/dikaji dari data subyektif dan data obyektif. Karena stastus
pasien selalu berubah yang mengakibatkan informasi/data perlu
pembaharuan, proses analisis/ assessment bersifat dinamis. Oleh karena
itu sering memerlukan pengkajian ulang untuk menentukan perubahan
diagnosa, rencana, dan tindakan keperawatan.
d. P – Planning : perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan
keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang (hasil
modifikasi rencana keperawatan) dengan tujuan memperbaiki keadaan

xxxiii
kesehatan pasien. Proses ini berdasarkan kriteria tujuan yang spesifik dan
periode yang telah ditentukan.
Menurut Muttaqin (2009), hasil yang diharapkan pada proses
perawatan pasien dengan gagal jantung adalah :

a. Bebas dari nyeri.


b. Terpenuhinya aktivitas sehari-hari.
c. Menunjukkan peningkatan curah jantung.
1) Tanda-tanda vital kembali normal.
2) Terhindar dari risiko penurunan perfusi perifer.
3) Tidak terjadi kelebihan volume cairan.

4) Tidak sesak.
5) Edema ekstremitas tidak terjadi.
d. Menunjukkan penurunan kecemasan.
e. Memahami penyakit dan tujuan perawatannya.
1) Mematuhi semua aturan medis
2) Mengetahui kapan harus meminta bantuan medis bila nyeri
menetap atau sifatnya berubah.
3) Memahami cara mencegah komplikasi dan menunjukkan tanda-
tanda bebas dari komplikasi.
4) Menjelaskan proses terjadinya gagal jantung.
5) Menjelaskan alasan tindakan pencegahan komplikasi.
6) Mematuhi program perawatan diri.
7) Menunjukkan pemahaman mengenai terapi farmakologis.
8) Kebiasaan sehari-hari mencerminkan penyesuaian gaya hidup.

xxxiv
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Gagal jantung (CHF) adalah ketidakmampuan jantung dalam memompa
darah secara adekuat sehingga jantung tidak dapat mencukupi kebutuhan
oksigen dan nutrisi pada jaringan. Menurut Smeltzer & Bare dalam Kasron
(2012) Congestive Heart Failure (CHF) disebabkan oleh : Kelainan otot
jantung ,Aterosklerosis koroner, Hipertensi sistemik atau pulmonal
(peningkatan afterload), Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif ,
Penyakit jantung lain, Faktor sistemik. Menurut Kasron (2012),
penatalaksanaan Congestive Heart Failure (CHF) meliputi:
1. Non Farmakologis: Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen
dan menurunkan konsumsi oksigen melalui istirahat atau pembatasan
aktivitas, Diet pembatasan natrium (< 4gr/hari) untuk menurunkan
oedema, Menghentikan obat-obaatan yang memperparah seperti NSAIDs
karena efek prostaglandin pada ginjal menyebabkan retensi air dan
natrium, Pembatasan cairan (kurang lebih 1200-1500cc/hari), Olahraga
secara teratur
2. Farmakologis :

xxxv
a. First line drug ; diuretik, Second line drugs ; ACE inhibitor.
Obatnya adalah : Digoxin, Hidrazalin, Isosorbide Dinitrat (ISDN),
Calsium Channel Blocker, Beta Blocker
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah
“Congestive Heart Failure (CHF)” dengan sumber-sumber yang lebih banyak
yang tentunya dapat dipertanggungjawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

Aspiani, R. (2015). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Kardiovaskuler.


Jakarta: EGC.

Kasron. (2012). Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Yogyakarta: Nuha


Medika.

Morton, P.G., Dorrie, F., Carolyn M. H., Barbara M.G . (2012). Keperawatan
Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik. Jakarta: EGC.

Nurafif, A.H & Kusuma, H. (2012). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Medication
Publishing.

PPNI, P. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan


Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI, P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan


Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

xxxvi
Sudoyono, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, K.M., & Setiati, S .
(2009). Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publishing.

Udjianti, W. (2010). Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.

xxxvii

Anda mungkin juga menyukai