FRAKTUR SERVIKAL
Disusun Oleh
P27220018006
DIII KEPERAWATAN
2019/2020
A. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditentukan oleh
jenis dan luasnya (Brunner and Suddarth, 2010)
Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang
servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi,
atau frakturvertebra servikalis dan ditandai dengan kompresi pada medula
spinalis daerah servikal. Dislokasi servikal adalah lepasnya salah satu
struktur dari tulang servikal. Subluksasi servikal merupakan kondisi sebagian
dari tulang servikal lepas. Fraktur servikal adalah terputusnya hubungan dari
badan tulang vertebra servikalis (Muttaqin, 2013)
Trauma Leher dan trauma tulang belakang adalah cedera yang
mengenai servikalis, vertebra, dan lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari
ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan sebagainya.
(Arif Muttaqin, 2013).
Kesimpulan Fraktur tulang leher merupakan suatu keadaan darurat
medis yang membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait
cedera saraf tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan,
sehingga sangat penting untuk menjaga leher.
B. ETIOLOGI
Menurut Arif muttaqin (2013) penyebab dari fraktur adalah :
Penuruna
Gangguan hipoventilasi
n perfusi
eliminasi Gangguan mobilitas
jaringan
fisik
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien fraktur
lumbal menurut Mahadewa dan Maliawan (2015) adalah :
a. Foto Polos
Pemeriksaan foto polos terpenting adalah AP Lateral dan
Oblique view. Posisi lateral dalam keadaan fleksi dan ekstensi
mungkin berguna untuk melihat instabilitas ligament. Penilaian
foto polos, dimulai dengan melihat kesegarisan pada AP dan
lateral, dengan identifikasi tepi korpus vertebrae, garis spinolamina,
artikulasi sendi facet, jarak interspinosus. Posisi oblique berguna
untuk menilai fraktur interartikularis, dan subluksasi facet
b. CT Scan
CT Scan baik untuk melihat fraktur yang kompleks, dan
terutama yang mengenai elemen posterior dari tulang belakang.
Fraktur dengan garis fraktur sesuai bidang horizontal, seperti
Chane fraktur, dan fraktur kompresif kurang baik dilihat dengan
CT scan aksial. Rekonstruksi tridimensi dapat digunakan untuk
melihat pendesakan kanal oleh fragmen tulang, dan melihat fraktur
elemen posterior
c. MRI
MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap kelainan
medula spinalis dan struktur ligamen. Identifikasi ligamen yang
robek seringkali lebih mudah dibandingkan yang utuh. Kelemahan
pemakaian MRI adalah terhadap penderita yang menggunakan
fiksasi metal, dimana akan memberikan artifact yang menggangu
penilaian.
Kombinasi antara foto polos, CT Scan dan MRI,
memungkinkan kita bisa melihat kelainan pada tulang dan struktur
jaringan lunak (ligamen, diskus dan medula spinalis). Informasi ini
sangat penting untuk menetukan klasifikasi cedera, identifikasi
keadaan instabilitas yang berguna untuk memilih instrumentasi
yang tepat untuk stabilisasi tulang
1. Elektromiografi dan Pemeriksaan Manifestasi klinis pada fraktur
antara lain :
a. Edema/pembengkakan
b. Nyeri: spasme otot akibat reflek involunter pada otot, trauma
langsungpada jaringan, peningkatan tekanan pada saraf sensori,
pergerakan padadaerah fraktur.
c. Spasme otot: respon perlindungan terhadap injuri dan fraktur
d. Deformitas
e. Echimosis: ekstravasasi darah didalam jaringan subkutan
f. Kehilangan fungsi
g. Crepitasi: pada palpasi adanya udara pada jaringan akibat trauma
terbuka
2. Manifestasi klinis pada fraktur daerah lumbal
Gangguan motorik yaitu kerusakan pada thorakal sampai dengan
lumbal memberikan gejala paraparese
L1 : Abdominalis
L2 : Gangguan fungsi ejakulasi
L3 : Quadriceps
L4-L5 : Ganguan Hamstring dan knee, gangguan fleksi kaki dan lutut
d. Hantaran Sara
Kedua prosedur ini biasanya dikerjakan bersama-sama 1-2
minggu setelahterjadinyacedera. Elektromiografi dapat
menunjukkan adanya denervasi pada ekstremitas bawah.
Pemeriksaan pada otot paraspinal dapat membedakan lesi pada
medula spinalis atau cauda equina, dengan lesi pada pleksus
lumbal atau sacral
e. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium klinik rutin dilakukan untuk menilai
komplikasi pada organ lain akibat cedera tulang belakang.
Sedangkan menurut Arif Mutaqin (2013) pemeriksaan
radiologi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan Rontgen.
Pada pemeriksaan Rontgen, rnanipulasi penderita hams
dilakukan secara hati-hati. Pada fraktur C-2, pemeriksaan
posisi AP dilakukan secara khusus dengan membuka mulut.
Pemeriksaan posisi AP secara lateral dan kadang-kadang oblik
dilakukan untuk menilai hal-hal sebagai berikut.
2) Diameter anteroposterior kanal spinal
3) Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra
4) Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal
5) Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus Ketinggian
ruangan diskus intervertebralis Pembengkakanjaringan lunak
6) Pemeriksaan CT-scan terutama untuk melihat fragmentasi tan
dan pergeseran fraktur dalam kanal spinal
7) Pemeriksaan CT-scan dengan mielograf
8) Pemeriksaan MRI terutama untuk melihatjaringanlunak, yaitu
diskus intervertebralis dan ligamentum flavum serta lesi dalam
sumsum tulang belakan.
H. PENATALAKSANAAN
Pertolongan pertama dan penanganan darurat:
a. Survey primer
1. Pertahankan airway dan imobilisasi tulang belakang
2. Breathing
3. Sirkulasi dan perdarahan
4. Disabilitas: AVPU /GCS, pupil
5. Exposure : cegah hiperterm
b. Resusitasi
1. Pastikan paten/intubasi
2. Ventilasi adaptif
3. Perdarahan berhenti : nadi, CRT, urin output
c. survery sekunder
1. GCS
2. kaji TTV : nadi, tekanan darah, suhu, RR
Tindakan rehabilitasi
Penatalaksanaan pada fraktur vertebrata lumbai diawali dengan
mengatasi nyeri dan stabilisasi untuk mencegah kerusakan yang lebih
parah lagi. Semuanya tergantung dengan tipe fraktur. Beberapa
penatalaksanaan yang dapat dilakukan, antara lain sebagai berikut :
1. Braces dan orchotics
Fraktur yang sifat nya stabil membutuhkan stabilisasi,
sebagai contoh : thoracolumbar-sacral (TLSO) untuk fraktur
punggung bagian bawah
2. Reduksi fraktur (seting tulang)
Berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran
dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi atau reduksi terbuka
dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Biasanya dokter
melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan:
a. Reduksi tertutup
Pada kebanyakan kasus, teduksi tertutup dilakukan
dengan mengembalikan fragmen ke posisinya (ujung-
ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan
traksi manual.
b. Reduksi terbuka
Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi.
Alat fiksasi interna dalam membentuk pen, kawat, sekrup,
plat, paku, atau batang logam
3. Traksi
Adalah alat yang digunakan untuk mendapatkan efek reduksi
dan imobilisasi. Beratnya fraksi disesuaikan dengan spasme otot
yang terjadi
4. Immobilisasi fraktur
Adalah reduksi fraktur, fragmen tulang harus
diimobilisasikan atau dipatahkan dalam posisi kesejajarannya yang
benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi interna atau eksterna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, fraksi, pen, tekhnik gips atau
fiksator eksterna.
5. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Dilakukan dengan berbagai pendekatan perubahan posisi,
strategi, peredaran nyeri, pemberian analgetik, latihan atau
aktivitas sehari-hari yang diusakan untuk memperbaiki fungsi.
I. KOMPLIKASI
a. Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan
ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah
dalam jumlah besar akibat trauma.
b. Mal union
Pada keadaan ini terjadi penyambungan fraktur yang tidak normal
sehingga menimbulkan deformitas. Gerakan ujung patahan akibat
imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, selain itu infeksi dari
jaringan lunak yangterjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung
patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan
sedikit gerakan (non union) juga dapat menyebabkan mal union.
c. Non Union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan
tulang. non union dapat di bagi menjadi beberapa tipe, yaitu: - Tipe I
(Hypertrophic non union), tidak akan terjadi prosespenyembuhan
fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringanfibros yang masih
mempunyai potensi untuk union dengan melakukankoreksi fiksasi dan
bone grafting. - Tipe II (atropic non union), disebut juga sendi palsu
(pseudoartrosis)terdapat jaringan synovial sebagai kapsul sendi beserta
ronga cairanyang berisi cairan, proses union tidak akan tercapai
walaupundilakukan imobilisasi lama.
d. Delayed Union
Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus
berlangsung dalamwaktu lama atau lambat dari waktu proses
penyembuhan fraktur secaranormal.
e. Tromboemboli,
infeksi, koagulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi terjadi
karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka ataupada saat
pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasanganalat seperti
plate, paku pada fraktur.
f. Emboli lemak Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena
tekanan sumsumtulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak
akan bergabungdengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal,
dan organlain.
g. Sindrom Kompartemen
Terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas
maupuntungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler
sekitarnya.fenomena ini disebut ischemi volkmann.
h. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan
iskemia,dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri
ataukeadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan
ataupemasangan traksi.
i. Dekubitus
Terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips, oleh karena
itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang
menonjol. Muttaqin, Arif. 2013
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi)
(Nanda NIC – NOC jilid 1)
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang (SDKI)
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Melakukan asuhan keperawatann sesuai dengan intervensi
E. INTERVESI KEPERAWARTAN
Dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keefektifan asuhan keperawatan
yang dilakukan dengan mengacu pada kriteria hasil
DAFTAR PUSTAKA