Oleh :
LAILY NURHANITA
40220015
Yuan Guruh Pratama, S.Kep, Ns, M.Kes Ely Isnaeni, S. Kep, Ns. M.Kes
NIK. NIK.
A. Konsep Fraktur Lumbal
1. Definisi
Vertebra lumbalis terletak di region punggung bawah antara region torakal dan
sacrum. Vertebra pada region ini ditandai dengan corpus vertebra yang berukuran
besar, kuat, dan tiadanya costal facet. Vertebra lumbal ke 5 (VL5) merupakan
vertebra yang mempunyai gerakan terbesar dan menanggung beban tubuh bagian atas
(Yanuar 2012).
Trauma pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebra,
dan lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan olahraga, dan sebagainya. (Arif Muttaqin, 2010)
Fraktur lumbal adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang belakang bagian
bawah. Bentuk cidera ini mengenai ligament, fraktur vertebra, kerusakan pembuluh
darah, dan mengakibatkan iskemia pada medulla spinalis (Batticaca, 2008).
2. Etiologi
Menurut Arif muttaqin (2010) penyebab dari fraktur adalah :
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Kecelakaan olahraga
c. Kecelakaan industry
d. Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan
e. Luka tusuk, luka tembak
f. Trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance)
g. Kejatuhan benda keras
a) Faktor patologis : fraktur yang terjadi pada lansia yang mengalami
osteoporosis, tumor tulang, infeksi, atau penyakit lain.
b) Faktor stress : fraktur jenis ini dapat terjadi pada tulang normal akibat
stress tingkat rendah yang berkepanjangan atau berulang. Fraktur
stress ini biasanya menyertai peningkatan yang cepat – tingkat latihan
atlet, atau permulaan aktivitas fisik yang baru. Karena kekuatan otot
meningkat lebih cepat daripada kekuatan tulang individu dapat merasa
mampu melakukan aktivitas melebihi sebelumnya, walaupun tulang
mungkin tidak mampu menunjang peningkatan tekanan.
3. Manifestasi Klinis
1) Edema/pembengkakan
Nyeri: spasme otot akibat reflek involunter pada otot, trauma langsung pada
jaringan,
peningkatan tekanan pada saraf sensori, pergerakan padadaerah fraktur.
2) Spasme otot: respon perlindungan terhadap injuri dan fraktur
3) Deformitas
4) Echimosis: ekstravasasi darah didalam jaringan subkutan
5) Kehilangan fungsi
6) Crepitasi: pada palpasi adanya udara pada jaringan akibat trauma terbuka
Manifestasi klinis fraktur vertebra berdasarkan lokasi fraktur adalah:
1) Manifestasi klinis fraktur vertebra pada cervical
a. C1-C3 : gangguan fungsi diafragma (untuk pernapasan)
b. C4 : gangguan fungsi biceps dan lengan atas
c. C5 : gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan
d. C6 : gangguan fungsi tangan secara komplit
e. C7 : gangguan fungsi jari serta otot trisep
f. C8 : gangguan fungsi jari gangguan motoriknya yaitu kerusakan
setinggi servical menyebabkan kelumpuhan tetrapareseb.
2) Manifestasi klinis fraktur vertebra pada torakal
a. T1: gangguan fungsi tangan
b. T2-T8 : gangguan fungsi pengendalian otot abdominal, gangguan
stabilitas tubuh
c. T9-T12 : kehilangan parsial Fungsi otot abdominal dan batang tubuh
3) Manifestasi klinis fraktur vertebra pada lumbal
Gangguan motorik yaitu kerusakan pada thorakal sampai dengan lumbal
memberikan gejala paraparese:
a. L1 : Abdominalis
b. L2 : Gangguan fungsi ejakulasi
c. L3 : Quadriceps
d. L4-L5 : Ganguan Hamstring dan knee, gangguan fleksi kaki dan lutut
4) Manifestasi klinis fraktur vertebra pada sacral
Gangguan motorik kerusakan pada daerah sacral menyebabkan gangguan
miksi dan defekasi tanpa para parese.
5) Segmen lumbar dan sacral Cedera pada segmen lumbar dan sakral dapat
mengganggu pengendalian tungkai, sistem saluran kemih dan anus. Selain
itu gangguan fungsisensoris dan motoris, cedera vertebra dapat berakibat
lain sepertispastisitas atau atrofi otot.
a. S1 : Gangguan pengendalian tungkai
b. S2-S4 : Penile Erection
c. S2-S3 : Gangguan system saluran kemih dan anus
4. Patofisiologi
Perjalanan Penyakit Kolumna vertebralis tersusun atas seperangkat sendi
antarakorpus vertebra yang saling berdekatan. Diantaranya korpusvertebra mulai dari
vertebra sevikalis kedua sampai vertebrasakralis terdapat discus intervertebralis.
Discusdiscus ini membentuk sendi fibrokartilago yang lentur antara korpuspulposus
ditengah dan annulus fibrosus di sekelilingnya. Nucleuspulposus merupakan rongga
intervertebralis yang terdiri dari lapisan tulang rawan dalam sifatnya semigelatin,
mengandungberkas-berkas serabut kolagen, sel – sel jaringan penyambungdan sel-sel
tulang rawan.
Zat-zat ini berfungsi sebagai peredam benturan antara korpusvertebra yang
berdekatan, selain itu juga memainkan peranan penting dalam pertukaran cairan
antara
discus dan pembuluh-pembuluh kapiler. Apabila kontuinitas tulang terputus, hal
tersebut akan mempengaruhi berbagai bagian struktur yang ada disekelilingnya
seperti otot dan pembuluh darah.
Akibat yang terjadi sangat tergantung pada berat ringannya fraktur, tipe, dan
luas Fraktur. Pada umumnya terjadi edema pada jaringan lunak, terjadi
perdarahan pada otot dan persendian, ada dislokasi atau pergeseran tulang,
ruptur tendon, putus persyarafan, kerusakan pembuluh darah dan perubahan
bentuk tulang dan deformitas. Bila terjadi patah tulang, maka sel 4 sel tulang
mati. perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan kedalaman
jaringan lunak disekitar tulang tersebut dan biasanya juga mengalami
kerusakan. Reaksi peradangan hebat timbul setelah fraktur.
5. WOC
Penurunan
kemapuan
melakukan
perawatan diri
MK: Defisit
Perawatan Diri
6. Komplikasi
a. Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan
yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
b. Mal union
Pada keadaan ini terjadi penyambungan fraktur yang tidak normal sehingga
menimbulkan deformitas. Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek
menyebabkan mal union, selain itu infeksi dari jaringan lunak yang terjepit
diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan
membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union) juga dapat
menyebabkan mal union
c. Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan tulang.;on
union dapat di bagi menjadi beberapa tipe, yaitu:
a) Tipe 1: (Hypertrophic non union), tidak akan terjadi proses penyembuhan
fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibros yang masih
mempunyai potensi untuk union dengan melakukankoreksi fiksasi dan
bone grafting.
b) Tipe 2: Tipe 99 (atropic non union), disebut juga sendi palsu
(pseudoartrosis)terdapat jaringan synovial sebagai kapsul sendi beserta
ronga cairanyang berisi cairan, proses union tidak akan tercapai
walaupun dilakukan imobilisasi lama. Beberapa faktor yang menimbulkan
non union seperti disrupsi periosteumyang luas, hilangnya askularisasi
fragmen-fragmen fraktur, aktuimobilisasi yang tidak memadai, distraksi
interposisi, in"eksi dan penyakit tulang (fraktur patologis). Non union
adalah jika tulang tidak menyambungdalam waktu 20 minggu. Hal ini
diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
c) Delayed union, Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus
berlangsung dalam waktu lama atau lambat dari waktu proses penyembuhan
fraktur secara normal. Pada pemeriksaan radiografi tidak terlihat bayangan
sklerosispada ujungujung fraktur.
d) Tromboemboli, infeksi, koagulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi
terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat
pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti
plate, paku pada fraktur.
e) Emboli lemak. Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan
bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan
organ lain.
f) Sindrom Kompartemen. Terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada
tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan
neurovaskuler
sekitarnya. Fenomena ini disebut ischemi volkmann. Ini dapat terjadi pula
padapemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat mengganggu
alirandarah dan terjadi edema didalam otot. Apabila ischemi dalam 6 jam
pertama tidak mendapatkan tindakan dapat mengakibatkan kematian/nekrosis
otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibros yang secara
perlahan-lahan menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur
Volkmann. Gejala klinisnya adalah 5P : yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor
(pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis.
g) Cedera Vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia,dan
gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri ataukeadaan
penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan atau pemasangan traksi.
h) Dekubitus. Terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips, oleh
karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah7daerah yang
menonjol.
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Chaidir A. Mochtar dkk tahun 2015, pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada pasien fraktur yaitu:
a. Foto Polos
Pemeriksaan foto polos terpenting adalah AP Lateral dan Oblique view. Posisi
lateral dalam keadaan fleksi dan ekstensi mungkin berguna untuk melihat
instabilitas ligament. Penilaian foto polos, dimulai dengan melihat kesegarisan
pada AP dan lateral, dengan identifikasi tepi korpus vertebrae, garis spinolamina,
artikulasi sendi facet, jarak interspinosus. Posisi oblique berguna untuk menilai
fraktur interartikularis, dan subluksasi facet.
b. CT S c a n
CT scan baik untuk melihat fraktur yang kompleks, dan terutama yang mengenai
elemen posterior dari tulang belakang. Fraktur dengan garis fraktur
sesuai bidang horiContal, seperti Chane fraktur, dan fraktur kompresif kurang
baik dilihat dengan CT scan aksial. Rekonstruksi tridimensi dapat digunakan
untuk melihat pendesakan kanal oleh fragmen tulang, dan melihat "faktur
elemen posterior.
c. MRI
MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap kelainan medula spinalis
dan struktur ligamen. Identifikasi ligamen yang robek seringkali lebih mudah
dibandingkan yang utuh. Kelemahan pemakaian MRI adalah terhadap penderita
yang menggunakan fiksasi metal, dimana akan memberikan artifact yang
menggangu penilaian. Kombinasi antara foto polos, CT Scan dan MRI,
memungkinkan kita bisa melihat kelainan pada tulang dan struktur jaringan lunak
(ligamen, diskus dan medulla spinalis). Informasi ini sangat penting untuk
menetukan klasifikasi cedera, identifikasi keadaan instabilitas yang berguna untuk
memilih instrumentasi yang tepat untuk stabilisasi tulang.
d. Elektromiografi dan Pemeriksaan Hantaran Saraf
Kedua prosedur ini biasanya dikerjakan bersama-sama 1-2 minggu setelah
terjadinya cedera. Elektromiografi dapat menunjukkan adanya denervasi pada
ekstremitas bawah. Pemeriksaan pada otot paraspinal dapat membedakan lesi
pada
medula spinalis atau cauda equina, dengan lesi pada pleksus lumbal atau sacral.
e. Pemeriksaan laboratorium
f. Pemeriksaan laboratorium klinik rutin dilakukan untuk menilai komplikasi pada
organ lain akibat cedera tulang belakang.
Sedangkan menurut Arif Mutaqin (2010) pemeriksaan radiologi yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Pemeriksaan Rontgen. Pada pemeriksaan Rontgen, rnanipulasi penderita
hams dilakukan secara hati-hati. Pada fraktur C-2, pemeriksaan posisi AP
dilakukan secara khusus dengan membuka mulut. Pemeriksaan posisi AP
secara lateral dan kadang-kadang oblik dilakukan untuk menilai hal-hal
sebagai berikut.
b) Diameter anteroposterior kanal spinal
c) Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra
d) Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal
e) Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus. Ketinggian ruangan
diskus intervertebralis Pembengkakan jaringan lunak
f) Pemeriksaan CT-scan terutama untuk melihat fragmentasi tan dan
pergeseran
8. Penatalaksanaan
9. Pertolongan pertama dan penanganan darurat:
A. Survey primer
1) Pertahankan airway dan imobilisasi tulang belakang
2) Breathing
3) Sirkulasi dan perdarahan
4) Disabilitas: AVPU /GCS, pupil
5) Exposure : cegah hipertermi
B. Resusitasi
1) Pastikan paten/intubas
2) Ventilasi adaptif
3) Perdarahan berhenti nadi, CRT, urin output
4) Survey sekunder
C. GCS
1) Kaji TTv nadi, tekanan darah, suhu, RR
Terapi pada fraktur vertebra diawali denganmengatasi nyeri dan stabilisasi untuk
cegah
kerusakan yang lebih parah.
Tindakan Rehabilitasi, meliputi:
Penatalaksanaan pada fraktur vertebra lumbal diawali dengan mengatasi nyeri dan
stabilisasi untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi. Semuanya tergantung
dengan tipe fraktur. Beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan, antara lain
sebagai berikut:
1) Braces dan orchotics. Fraktur yang yang sifatnya stabil membutuhkan stabilisasi,
sebagai contoh: thoracolumbar-sacral (TLSD) untuk fraktur punggung bagian
bawah.
2) Reduksi fraktur (seting tulang) Berarti mengembalikan fragmen tulang
pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi atau reduksi
terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Biasanya dokter melakukan
reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.
a. Reduksi tertutip
Pada kebanyakan kasus, teduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragmen ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan
manipulasi dan traksi manual.
b. Reduksi terbuka
c. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna
dalam
membentuk pen, kawat, sekrup, plat, paku, atau batang logam.
3) Traksi. Adalah alat yang digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imobilisasi. Beratnya fraksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
4) Imobilisasi fraktur. Adalah reduksi fraktur, fragmen tulang harus diimobilisasikan
atau dipatahkan dalam posisi kesejajarannya yang benar sampai terjadi
penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, fraksi, pen, tekhnik gips atau fiksator
eksterna. Fiksasi interna dengan implan logam yang berperan sebagai bidai
interna
untuk mengimobilisasi fraktur.
5) Mempertahankan dan mengembalikan fungsi. Dilakukan dengan berbagai
pendekatan perubahan posisi, strategi, peredaran nyeri, pemberian analgetik,
latihan atau aktivitas sehari-hari yang diusakan untuk memperbaiki fungsi
B. Asuhan Keperawatan Teori
1. Pengkajian
a. Data biografi
Meliputi: Identitas pasien yaitu: nama, umur (biasanya meyerang usia > 50 thn),
jenis kelamin (menyerang laku-laki), agama, suku atau bangsa, status perkawinan,
pedidikan, pekerjaan, alamat, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian.
b. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan
adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine dan
inkontinensia alvi, nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma, dan
deformitas pada daerah trauma
2. Riwayat kesehatan sekarang
Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari pohon atau bangunan, luka
tusuk, luka tembak, trauma karena tali pengaman (fraktur chance), dan
kejatuhan benda keras. Pengkajian yang didapat meliputi hilangnya sensibilitas,
paralisis (dimulai dari paralisis layu disertai hilangnya sensibilitas secara total
dan melemah/menghilangnya reeks alat dalam) ileus paralitik, retensi urine, dan
hilangnya refleks-refleks.
3. Riwayat kesehatan dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit
degenerative pada tulang belakang, seperti osteoporosis dan osteoartritis yang
memungkinkan terjadinya kelainan pada tulang belakang. :enyakit lainnya,
seperti hipertensi, riwayat cedera tulang belakang sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung, anemia,penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin,
Vasodilator, dan obat-obat
adiktif perlu ditanyakan agar pengkajian lebih komprehensif.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Mungkin diantara keluarga pasien sebelumnya ada yang menderita penyakit
yang sama dengan penyakit pasien sekarang.
c. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien, pemeriksaan
fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian anamnesis. Pemeriksaan
fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan B3
(Brain) dan B6 (Bone) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan klien.
Umumnya, klien yang mengalami cedera tulang belakang tidak mengalami
penurunan kesadaran. Tanda-tanda vital mengalami perubahan, seperti bradikardia,
hipotensi, dan tandatanda syok neurogenik, terutama trauma pada servikal dan
toraks bagian atas.
2. Pernafasan
Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf parasimpatis
(klien mengalami kelumpuhan otot-otot pernapasan) dan perubahan karena adanya
kerusakan jalur simpatik desenden akibat trauma pada tulang belakang sehingga
jaringan saraf di medula spinalis terputus. Dalam beberapa keadaan trauma
sumsum tulang belakang pada daerah servikal dan toraks diperoleh hasil
pemeriksaan fisik sebagai berikut.
Inspeksi. Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekuensi pemapasan, re traksi
interkostal, dan pengembangan paru tidak simetris. Pada observasi ekspansi
dada dinilai penuh atau tidak penuh dan kesimetrisannya. Ketidaksimetrisan
mungkinmenunjukkan adanya atelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada
bronkus, fraktur tulang iga, dan pneumotoraks. Selain itu, juga dinilai retraksi
otot-otot interkostal, substernal, dan pernapasan abdomen
Respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). pola napas ini
dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu mcnggerakkan
dinding dada akibat adanya blok saraf parasimpatis.
Palpasi. Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi yang lain
akan didapatkan apabila trauma terjadi pada rongga toraks.
Perkusi. Didapatkan adanya suara redup sampai pekak apabila trauma
terjadi pada toraks/hematoraks.
Auskultasi. Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi, stridor,
ronki pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan
batuk menu run sering didapatkan pada klien cedera tulang belakang
yang mengalami penurunan tingkat kesadaran (koma).
Saat dilakukan pemeriksaan sistem pemapasan klien cedera tulang belakang
dengan fraktur dislokasi vertebra lumbalis dan protrusi diskus intervertebralis
L-5 dan S-1, klien tidak mengalami kelainan inspeksi pernapasan. Pada
palpasi toraks, didapatkan taktil fremitus seimbang kanan dan kin. Pada
auskultasi, tidak didapatkan suara napas tambahan.
3. Kardiovaskuler
Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien cedera tulang belakang didapatkan
renjatan (syok hipovolemik) dengan intensitas sedang dan berat. Hasil pemeriksaan
kardiovaskular klien cedera tulang belakang pada beberapa keadaan adalah tekanan
darah menurun, bradikardia, berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
dan ekstremitas dingin atau pucat. Bradikardia merupakan tanda perubahan perfusi
jaringan otak. Kulit yang tampak pucat menandakan adanya penurunan kadar
hemoglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan
dan tanda-tanda awal dari suatu renjatan.
4. Persyarafan
a. Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap Iingkungan adalah
indika tor paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem
digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
keterjagaan. Pada keadaan lanjut, kesadaran klien cedera tulang belakang
biasanya berkisar dari letargi, stupor, semikoma sampai koma.
b. Pemeriksaan fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan dengan mengobservasi
penampilan, tingkah laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
klien. Klien yang telah lama mengalami cedera tulang belakang biasanya
mengalami perubahan status mental
c. Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera tulang belakang
dan tidak ada kelainan fungsi penciuman.
Saraf II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan dalam kondisi
normal.
Saraf III, IV , dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak
mata dan pupil isokor.
Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami
paralisis pada otot Wajah dan refleks komea biasanya tidak ada kelainan
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan Wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Ada
usaha klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
d. Pemeriksaan reflex
Pemeriksaan refleks dalam. Refleks Achilles menghilang dan reflex
patelabiasanya melemah karena kelemahan pada otot hamstring.
Pemeriksaan refleks patologis. Pada fase akut refleks fisiologis akan
menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul
kembali yang didahului dengan refleks patologis.
Refleks Bullbo Cavemosus positif
e. Pemeriksaan sensorik. Apabila klien mengalami trauma pada kauda ekuina, is
mengalami hilangnya sensibilitas secara menetap pada kedua bokong, perineum,
dan anus. Pemeriksaan sensorik superfisial dapat memberikan petunjuk
mengenai
lokasi cedera akibat trauma di daerah tulang belakang.
f. Perkemihan. Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik
urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan
retensi
cairan dapat terjadi akibat menurun-nya perfusi pada ginjal.
g. Pencernaan. Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering didapatkan
adanya ileus paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya bising usus serta
kembung dan defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari syok spinal
yang akan berlangsung beberapa ha ri sampai beberapa minggu. Pemenuhan
nutrisi berkurang karena adaanya mual dan kurangnya asupan nutrisi.
Pemeriksaan rongga mulut dengan menilai ada tidaknya lesi pada mulut atau
perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya dehidrasi.
h. Muskuloskletal.
Paralisis motor A dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada ketinggian
terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental
dari saraf yang terkena.
2. Diagnosa
a. Nyeri akut berbubungan denganagen pecidera fisik
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan itegritas struktur tulang
3. Intervensi
Masalah
No Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1. Nyeri akut Setelah dilakukan Observasi
berbubungan intervensi selama 1. Identifikasi lokasi,
denganagen … jam maka nyeri karakteristik, durasi, frekuensi,
pecidera fisik menurun dengan kualitas, intensitas nyeri
kriteria hasil : 2. Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri 3. Identifikasi respon nyeri non
menurun verbal
2. Meringis 4. Identifikasi pengaruh nyeri
menurun pada kualitas hidup
3. Gelisah Terapeutik
menurun 1. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi ras nyeri
2. Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam pemilihan
stragtegi meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode
dan pemicu nyeri
2. Jelaskan stragtegi meredakan
nyeri
3. Ajarkan memonitor nyeri
secara mandiri
4. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2. Gangguan Setelah dilakukan Observasi
intervensi selama 1. Identifikasi adanya nyeri atau
mobilitas fisik
… x 24 diharapkan keluhan fisik lainnya
berhubungan mobilitas fisik 2. Identifikasi toleransi fisik
meningkat dengan melakukan pergerkan
dengan kerusakan
kriteria hasil : 3. Monitor frekuensi jantung
itegritas struktur 1. Pergerakan dan tekanan darah sebelum
ekstermitas melakukan mobilisasi
tulang
meningkat 4. Monitor kondisi umum
2. Kekuatan otot selama mobilisasi
meningkat Terapeutik
3. ROM 1. Fasilitasi aktivitas
meningkat mobilisasi (mis: pagar
4. Kelemahan fisik tempat tidur)
menurun 2. Fasilitasi melakukan
pergerakan, jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
2. Anjurkan melakukan
mobilisasi dini
3. Ajarkan mobilisasi
sederhana (mis: duduk
ditempat tidur, duduk
disisi tempat tidur, pindah
dari tempat tidur ke kursi)
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
1. IDENTITAS
Nama Pasien : Tn. Z Penanggung jawab Biaya :
Umur : 45 tahun Nama : Ny. K
Suku/ Bangsa : Jawa/Indonesia Alamat : Mojo
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Mojo
Kesadaran :
Compos Mentis Apatis
Somnolen Sopor Koma
b. Keadaan Umum : lemah
c. Sistem Pernafasan
Inspeksi
a. Keluhan Sesak Nyeri waktu nafas
Batuk : produktif kering darah
Sekret : - Bau : -
Warna : - Konsistensi : -
b.Irama nafas teratur tidak teratur
c. Pola Dispnoe Kusmaul Cheyne Stokes
d. Bentuk dada simetris asimetris
e. bentuk thorax Normal chest Pigeon chest
Funnel chest Barrel chest
f. retraksi Intercotas Ya Tidak
g. Retraksi Suprastenal Ya Tidak
h. Pernafasan cuping hidung Ya Tidak
i. alat bantu nafas Ya Tidak
Jenis : - Flow : -Lpm
Palpasi
Pemeriksaan taktil / vokal fremitus : Getaran antara kanan dan kiri teraba ( sama / tidak
Auskultasi
sama ), lebih bergetar pada sisi........................
Suara nafas :
Perkusi
Area Bersih Halus Kasar
Area paru : sonor hipersonor dulness
Vesikuler
Area Brochial Bersih Halus Kasar
Area Bersih Halus Kasar
Bronkovesikuler
Suara tambahan Crakles Wheezing
Ronchi Pleural Friction rub
Lain-lain :
e. Sistem Persyarafan
a. GCS (Glasgow Coma Scale)
Eye (Buka mata) : 4
Verbal : 5
Motorik : 6
b. Refleks fisiologis Patella Triceps Biseps
c. Refleks patologis Babinsky Budzinsky Kernig
d. Keluhan pusing Ya Tidak
e. Pupil :
Diameter :
f. Sclera/Konjunctiva Isokor Anisokor
g. anemis Anemis Ikterus
h. Gangguan pandangan Ya Tidak
Jelaskan
i. Gangguan penciuman Ya Tidak
Jelaskan
j. Kaku kuduk Ya Tidak
k. Kejang Ya Tidak
l. Mual Ya Tidak
m. Muntah Ya Tidak
n. Nyeri kepala Ya Tidak
Masalah Keperawatan : -
f. Sistem perkemihan
a. Kebersihan Bersih Kotor
a. Keluhan Kencing Nokturi Inkontinensia
Gross hematuri Poliuria
Disuria Oliguria
Retensi Hesistensi
Anuria
b. Produksi urine : 1000 ml/hari
Warna : kuning pekat
Bau : khas amoniak
c. Kandung kemih : Membesar Ya Tidak
Nyeri tekan Ya Tidak
d. Intake cairan
Oral : 1100 cc/hari
Parental : - cc/hari
e. Alat bantu Ya Tidak
Jenis : -
Sejak tanggal : -
f. Lain-lain : -
Masalah Keperawatan :
g. Sistem pencernaan
a. Mulut Bersih Kotor Berbau
b. Mukosa Lembab Kering Stomatitis
c. Tenggorokan Sakit menelan Kesulitan menelan
Pembesaran tonsil Nyeri tekan
d. Abdomen Tegang Kembung Ascites
Nyeri tekan Ya Tidak
Luka operasi Ada Tidak
Jenis Operasi : Lokasi :
Tanggal operasi :
Ke Drain Ada Tidak
adaan :
Jumlah : Warna :
Kondisi area sekitar insersi :
e. Peristaltik : … x/menit
f. BAB : 1x/hari Terakhir tanggal :
Konsistensi Keras Lunak
Cair lendir/darah
g. Diet Padat Lunak Cair
h. Nafsu makan Baik Menurun
Frekuensi : 2-3 x/hari
i. Porsi makan Habis Tidak
Keterangan : -
Lain-lain : -
5 5
1 1
_ _
Lain-lain : -
i. Sistem Endokrin
Pembesaran kelenjat tyroid Ya Tidak
Pembesaran Kelenjar getah bening Ya Tidak
Hipoglikemia Ya Tidak
Hiperglikemia Ya Tidak
Luka gangren Ya Tidak
Lain-lain : -
Masalah Keperawatan : -
6. PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
a. Persepsi klien terhadap penyakitnya cobaan Tuhan hukuma lainnya
n
b. Ekspresi klien terhadap penyakitnya murung/diam tegang
gelisah marah/menangis
c. Reaksi saat interaksi kooperatif tidak kooperatif
curiga
d. Gangguan konsep diri Ya Tidak
Lain-lain : -
- -
3 Pantangan / Alergi
4 Kesulitan makan - -
dan minum
5 Usaha untuk - -
mengatasi masalah
b. Pola Eliminasi
No Pemenuhan Sebelum Sakit Setelah Sakit
Eliminasi
BAB / BAK
1 Jumlah / Waktu Pagi Pagi
BAK: 2x BAK: 1x
BAB: 1x BAB: 1x
Siang Siang
BAK: 2x BAK: 2x
BAB: - BAB: -
Malam
Malam
BAK: 1x
BAK: 1x
BAB: -
BAB: -
e. Merokok Ya Tidak
f. Alkohol Ya Tidak
8. PENGKAJIAN SPIRITUAL
Kebiasaan beribadah
a. Sebelum sakit Sering kadang- kadang tidak pernah
b. Selama sakit Sering kadang- kadang tidak pernah
9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM :
A. Darah Lengkap
Leukosit :......................... ( N : 3.500 - 10.000 mL )
Eritrosit :......................... ( N : 1,2 juta - 1,5 juta )
Trombosit :......................... ( N : 150.000 – 350.000 / mL )
Hemoglobin :..........................( N : 11,0 – 16,3 gr / dl )
Hematrokit :..........................( N : 35,0 – 50 gr / dl )
B. Kimia Darah
Ureum :..........................( N : 10 – 50 mg / dl )
Creatinin :..........................( N : 07 – 1,5 mg / dl )
SGOT :..........................( N : 2 – 17 )
SGPT :..........................( N : 3 – 19 )
BUN :..........................( N : 20 – 40 / 10 – 20 mg / dl )
Bilirubin :..........................( N : 1,0 mg / dl )
Total Protein :..........................( N : 6,7 – 8,7 mg / dl )
GD Puasa :..........................( N : 100 mg / dl )
GD 2 JPP :..........................( N : 140 – 180 mg / dl )
C. Analisa elektrolit
Natrium :..........................( N : 136 – 145 mmol / l )
Kalium :..........................( N : 3,5 – 5,0 mml / l )
Clorida :..........................( N : 98 – 106 mmol / l )
Calsium :..........................( N : 7,6 – 11,0 mg / dl )
Phospor :..........................( N : 2,5 – 7,07 mg / dl )
(LAILY NURHANITA)
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
ANALISA DATA
5 5
1 1
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
INTERVENSI
No Masalah Kriteria Hasil Intervensi
1. Nyeri akut Setelah dilakukan Managemen Nyeri
berhubungan dengan intervensi selama 2 x 24 Observasi
agen pencedera jam maka nyeri menurun 1. Identifikasi lokasi,
fisik(Fraktur) ditanda dengan kriteria hasil : karakteristik, durasi,
dengan Pasien 1. Keluhan nyeri menurun frekuensi, kualitas, intensitas
mengeluh nyeri di 2. Meringis menurun nyeri
punggung bagian 3. Gelisah menurun 2. Identifikasi skala nyeri
bawah skala 8, 3. Identifikasi respon nyeri non
Pasien tampak verbal
gelisah, Pasien
tampak meringis, Terapeutik
Pasien tampak 1. Berikan teknik
menangis, TD : nonfarmakologis untuk
100/80mmHg, S : mengurangi ras nyeri
360C, N : 2. Control lingkungan yang
100x/menit, RR : memperberat rasa nyeri
20x/menit 3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan stragtegi
meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode
dan pemicu nyeri
2. Jelaskan stragtegi meredakan
nyeri
3. Ajarkan memonitor nyeri
secara mandiri
4. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan Observasi
intervensi selama 1 x 24 5. Identifikasi adanya nyeri
fisik berhubungan
diharapkan mobilitas fisik atau keluhan fisik lainnya
dengan kerusakan meningkat dengan kriteria 6. Identifikasi toleransi fisik
hasil : melakukan pergerkan
integritas struktur
5. Pergerakan ekstermitas 7. Monitor frekuensi jantung
tulang ditandai meningkat dan tekanan darah sebelum
6. Kekuatan otot melakukan mobilisasi
dengan Pasien
meningkat 8. Monitor kondisi umum
mengeluh nyeri di 7. ROM meningkat selama mobilisasi
Kelemahan fisik Terapeutik
bagian punggung
4. Fasilitasi aktivitas
menurun
bawah, Pasien mobilisasi (mis: pagar
tempat tidur)
mengeluh tidak bisa
5. Fasilitasi melakukan
menggerakan pergerakan, jika perlu
6. Libatkan keluarga untuk
kakinya, Pasien tidak
membantu pasien dalam
boleh melakukan meningkatkan pergerakan
Edukasi
ROM, K/U : Lemah,
4. Jelaskan tujuan dan
Pergerakan terbatas, prosedur mobilisasi
5. Anjurkan melakukan
Kekuatan otot
mobilisasi dini
menurun 6. Ajarkan mobilisasi
sederhana (mis: duduk
ditempat tidur, duduk
disisi tempat tidur,
pindah dari tempat tidur
ke kursi)
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
P:
Lanjutkan intervensi
DAFTAR PUSTAKA
Baradero, M dan Dayrit, M. 2007. Seri Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Sistem
Reproduksi & Seksualitas. Jakarta: EGC
Elizabeth J. Corwin. (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media
Kowalak, Wels, Mayer, 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC Mochtar A. chaidir,. et al.
(2015). Panduan penatalaksanaan klinis pembesaran prostat jinak. Jakarta : Ikatan Ahli
Urologi Indonesia. http://www.iaui.or.id/info/guid.php. Diakses pada tanggal 17 oktober
2015.
Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.
Purnomo, B. (2011). Dasar Dasar Urologi. jakarta: CV Agung Seto.
Smeltzer, S dan Bare, B. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth,
Edisi 8, Volume 2, Alih bahasa oleh Kuncara..(dkk). Jakarta : EGC
Smetlzher, C. Suzanne. (2011). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 12. Jakarta:
EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta:
Dewan Pengurus PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Luaram Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
Pengurus PPNI
Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan Dewasa
Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika