Anda di halaman 1dari 35

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN YANG MENGALAMI

FRAKTUR LUMBAL DI RUANG SERUNI RSD dr. SOEBANDI JEMBER

Disusun Oleh :

Tri Sukma Endayani

NIM. 19037140059

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

UNIVERSITAS BONDOWOSO

2022
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR LUMBAL

A. DEFINISI

Fraktur lumbal adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang belakang bagian

bawah. Bentuk cidera ini mengenai ligament, fraktur vertebra, kerusakan pembuluh

darah, dan mengakibatkan iskemia pada medulla spinalis (Suriya & Zuriati, 2019).

Vertebra lumbalis terletak di region punggung bawah antara region torakal dan

sacrum. Vertebra pada region ini ditandai dengan corpus vertebra yang berukuran

besar, kuat, dan tiadanya costal facet. Vertebra lumbal ke 5 (VL5) merupakan

vertebra yang mempunyai gerakan terbesar dan menanggung beban tubuh bagian atas

(Purwanto, 2016).

Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan

lumbalis akibat trauma dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga

dan sebagainya yang menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang

vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologis (Nurarif & Kusuma, 2016).

B. ETIOLOGI

Menurut teori (Nurarif & Kusuma, 2016) penyebab dari fraktur adalah :

1. Trauma langsung merupakan utama yang sering menyebabkan fraktur. Fraktur

tersebut terjadi pada saat benturan dengan benda keras

2. Putaran dengan kekuatan yang berlebihan (hiperfleksi) pada tulang akan dapat

mengakibatkan dislokasi atau fraktur

3. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian,

kecelakaan lalu lintas dan sebagainya


4. Postur Tubuh (obesitas atau kegemukan) dan "Body Mekanik" yang salah seperti

mengangkat benda berat

5. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dan

sebagainya)

6. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra

7. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang

menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.

C. MANIFESTASI KLINIS

1. Manifestasi klinis fraktur antara lain :

a. Edema/pembengkakan

b. Nyeri: spasme otot akibat reflek involunter pada otot, trauma langsung pada

jaringan, peningkatan tekanan pada saraf sensori, pergerakan pada daerah

fraktur.

c. Spasme otot: respon perlindungan terhadap injuri dan fraktur.

d. Deformitas

e. Echimosis: ekstravasasi darah didalam jaringan subkutan kehilangan fungsi

f. Crepitasi: pada palpasi adanya udara pada jaringan akibat trauma terbuka

2. Manifestasi klinis fraktur vertebra berdasarkan lokasi fraktur adalah fraktur

vertebra pada cervical

C1-C3 : gangguan fungsi diafragma (untuk pernapasan)

C4 : gangguan fungsi biceps dan lengan atas

C5 : gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan

C6 : gangguan fungsi tangan secara komplit


C7 : gangguan fungsi jari serta otot trisep

C8 : gangguan fungsi jari gangguan motoriknya yaitu kerusakan setinggi servical

menyebabkan kelumpuhan tetrapareseb.

3. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada torakal

T1 : gangguang fungsi tangan

T1-T8 : gangguan fungsi pengendalian otot abdominal, gangguanstabilitas tubuh

T9-T12 : kehilangan parsial fungsi otot abdominal dan batang tubuh

4. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada lumbal gangguan motorik yaitu kerusakan

pada thorakal sampai dengan lumbal memberikan gejala paraparese

L1 : Abdominalis

L2 : Gangguan fungsi ejakulasi

L3 : Quadriceps

L4-L5 : Ganguan Hamstring dan knee, gangguan fleksi kaki dan lutut

5. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada sacral gangguang motorik kerusakan pada

daerah sacral menyebabkan gangguan miksi & defekasi tanpa para parese segmen

lumbar dan sacral . Cedera pada segmen lumbar dan sakral dapat mengganggu

pengendalian tungkai, sistem saluran kemih dan anus. Selain itu gangguan fungsi

sensoris dan motoris, cedera vertebra dapat berakibat lain seperti spastisitas atau

atrofi otot.

S1 : Gangguan pengendalian tungkai

S2-S4 : Penile Erection

S2-S3 : Gangguan system saluran kemih dan anus


D. PATOFISOLOGI

Semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu trauma yang hebat,

sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transportasi ke rumah sakit penderita

harus secara hati-hati. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak

pada tulang belakang, tulang belakang sendiri dan sumsum tulang belakang (medulla

spinalis). Mekanisme terjadinya trauma diataranya:

a. Fleksi

Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada

vertebra. Vertebra mengalami tekanan terbentuk remuk yang dapat menyebabkan

kerusakan atau tanpa kerusakan ligamen posterior. Apabila terdapat kerusakan

ligamen posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil dan dapat terjadi subluksasi.

b. Fleksi dan rotasi

Trauma jenis ini merupakan trauma fleksi yang bersama-sama dengan rotasi.

Terdapat strain dari ligamen dan kapsul, juga ditemukan fraktur faset. Pada keadaan

ini terjadi pergerakan ke depan/ dislokasi vertebra diatasnya. Semua fraktur dislokasi

bersifat tidak stabil.

c. Kompresi vertical (aksial)

Suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang akan

menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memecahakan permukaan

serta badan vertebra secara vertikal. Material diskus akan masuk dalam badan

vertebra dan menyebabkan vertebra menjadi rekah (pecah). Pada trauma ini elemen

posterior masih intak sehingga fraktur yang terjadi bersifat stabil


d. Hiperekstensi atau retrofleksi

Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan

ekstensi. Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikal dan jarang pada

vertebra torakolumbal. Ligamen anterior dan diskus dapat mengalami kerusakan atau

terjadi fraktur pada arkus neuralis. Fraktur ini biasanya bersifat stabil.

e. Fleksi lateral

Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan

menyebabkan fraktur pada komponen lateral yaitu pedikel, foramen vertebra dan

sendi faset. Dengan adanya penekanan/kompresi yang berlangsung lama

menyebabkan jaringan terputus akibatnya daerah disekitar fraktur dapat mengalami

edema atau hematoma. Kompresi akibatnya sering menyebabkan iskemia otot. Gejala

dan tanda yang menyertai peningkatan tekanan kompartemental mencakup nyeri,

kehilangan sensasi dan paralisis. Hilangnya tonjolan tulang yang normal,

pemendekan atau pemanjangan tulang dan kedudukan yang khas untuk dislokasi

tertentu menyebabkan terjadinya perubahan bentuk (deformitas).


E. PATHWAY FRAKTUR LUMBAL

Terjatuh dari Kecelakaan lalu Kecelakaan olahraga Luka tembak/ jejas Gangguan spinal
ketinggian lintas (penunggang kuda, pemain di daerah vertebra bawaan
sepak bola, penyelam, dsb)

Trauma mengenai tulang belakang

Cedera columna vertebralis dan


cedera medulla spinalis

Kerusakan jalur Perdarahan Blok saraf


simpatik desemden Penekanan jaringan mikroskopik parasimpatis
setempat

Terputus jaringan saraf Reaksi Kelumpuhan otot


di medulla spinalis peradangan pernafasan
MK : Risiko
Gangguan Integrtas
Kulit/Jaringan Syok spinal Hipoventilasi
Kelemahan fisik umum

Penurunan
Respon nyeri Gagal nafas
Paralisis dan paraplegia kemampuan
hebat dan akut
melakukan
perawatan diri
MK : Pola Nafas
MK : Gangguan MK : Nyeri Akut Tidak Efektif
Mobilitas Fisik MK : Defisit
Perawatan Diri
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien fraktur lumbal

menurut (Suriya & Zuriati,2019) adalah :

1. Foto Polos Pemeriksaan

foto polos terpenting adalah AP Lateral dan Oblique view. Posisi lateral dalam

keadaan fleksi dan ekstensi mungkin berguna untuk melihat instabilitas ligament.

2. CT Scan

CT scan baik untuk melihat fraktur yang kompleks, dan terutama yang mengenai

elemen posterior dari tulang belakang. Fraktur dengan garis fraktur sesuai bidang

horizontal, seperti Chane fraktur, dan fraktur kompresif kurang baik dilihat dengan

CT scan aksial.

3. MRI

MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap kelainan medula spinalis

dan struktur ligamen. Identifikasi ligamen yang robek seringkali lebih mudah

dibandingkan yang utuh. Kelemahan pemakaian MRI adalah terhadap penderita yang

menggunakan fiksasi metal, dimana akan memberikan artifact yang menggangu

penilaian.

3. Elektromiografi dan Pemeriksaan Hantaran Saraf

Kedua prosedur ini biasanya dikerjakan bersama-sama 1-2 minggu setelah

terjadinya cedera. Elektromiografi dapat menunjukkan adanya denervasi pada

ekstremitas bawah. Pemeriksaan pada otot paraspinal dapat membedakan lesi pada

medula spinalis atau cauda equina, dengan lesi pada pleksus lumbal atau sacral.
4. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium klinik rutin dilakukan untuk menilai komplikasi pada

organ lain akibat cedera tulang belakang.

G. PENATALAKSANAAN

1. Pertolongan pertama dan penanganan darurat:

a. Survey primer

Pertahankan airway dan imobilisasi tulang belakang: Breathing, Sirkulasi dan

perdarahan, Disabilitas: AVPU /GCS, pupil, Exposure : cegah hipertermi

b. Resusitasi

Pastikan paten/intubasi, Ventilasi adaptif, Perdarahan berhenti nadi, CRT, urin

output.

c. Survey sekunder

GCS 2. Kaji TTV nadi, tekanan darah, suhu, RR

2. Terapi pada fraktur vertebra diawali denganmengatasi nyeri dan stabilisasi untuk

cegah kerusakan yang lebih parahTindakan rehabilitasi Penatalaksanaan pada

fraktur vertebra lumbal diawali dengan mengatasi nyeri dan stabilisasi untuk

mencegah kerusakan yang lebih parah lagi. Semuanya tergantung dengan tipe

fraktur. Beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan, antara lain sebagai

berikut :

a. Braces dan orchotics. Fraktur yang yang sifatnya stabil membutuhkan

stabilisasi, sebagai contoh : thoracolumbar-sacral (TLSO) untuk fraktur

punggung bagian bawah.


b. Reduksi fraktur (seting tulang) Berarti mengembalikan fragmen tulang pada

kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi atau reduksi

terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Traksi Adalah alat yang

digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya fraksi

disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.

c. Imobilisasi fraktur Adalah reduksi fraktur, fragmen tulang harus

diimobilisasikan atau dipatahkan dalam posisi kesejajarannya yang benar

sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna

atau eksterna. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi dilakukan dengan

berbagai pendekatan perubahan posisi, strategi, peredaran nyeri, pemberian

analgetik, latihan atau aktivitas sehari-hari yang diusakan untuk memperbaiki

fungsi.

A. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. identitas klien, meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda), jenis

kela min (kebanyakan laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor

tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,

tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), nomor register, dan diagnosis medis.

b. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan

adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine dan

inkontinensia alvi, nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma, dan

deformitas pada daerah trauma.


c. Riwayat penyakit sekarang. Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat

kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari pohon

atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma karena tali pengaman (fraktur

chance), dan kejatuhan benda keras. Pengkajian yang didapat meliputi hilangnya

sensibilitas paralisis (dimulai dari paralisis layu disertai hilangnya sensibilitas

secara total dan melemah/menghilangnya reeks alat dalam) ileus paralitik, retensi

urine, dan hilangnya refleks-refleks.

d. Masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan alkohol. Perawat perlu menanyakan

masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan alkohol kepada klien

atau keluarga yang mengantar klien (bila klien tidak sadar) karena sering terjadi

beberapa klien yang suka kebu t-kebu tan meneeunakan obat-oba tan adiktif atau

alkohol.

e. Riwayat penyakit dahulu. Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya

riwayat penyakit degeneratif pada tulang belakang, seperti osteoporosis dan

osteoartritis yang memungkinkan terjadinya kelainan pada tulang belakang.

Penyakit lainnya, seperti hipertensi, riwayatcedera tulang belakang sebelumnya,

diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat antikoagulan,

aspirin, vasodilator, dan obat-obat adiktif perlu ditanyakan agar pengkajian lebih

komprehensif.

f. Pengkajian psiko sosio spiritual. Pengkajian mengenai mekanisme koping yang

digunakan klien diperlukan untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit

yang dideritanya, perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat, serta
respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga

maupun dalam masyarakat.

g. Pemeriksaan fisik. Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan

klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian

anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan

fokus pemeriksaan B3 (Brain) dan B6 (Bone) yang terarah dan dihubungkan

dengan keluhan klien. Umumnya, klien yang mengalami cedera tulang belakang

tidak mengalami penurunan kesadaran. Tanda-tanda vital mengalami perubahan,

seperti bradikardia, hipotensi, dan tandatanda syok neurogenik, terutama trauma

pada servikal dan toraks bagian atas.

1) Pernapasan perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf

parasimpatis (klien mengalami kelumpuhan otototot pernapasan) dan perubahan

karena adanya kerusakan jalur simpatik desenden akibat trauma pada tulang

belakang sehingga jaringan saraf di medula spinalis terputus. Dalam beberapa

keadaan trauma sumsum tulang belakang pada daerah servikal dan toraks

diperoleh hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut.

a) Inspeksi. Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,

penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekuensi pemapasan, re traksi

interkostal, dan pengembangan paru tidak simetris. Pada observasi ekspansi

dada dinilai penuh a tau tidak penuh dan kesimetrisannya. Ketidaksimetrisan

mungkin menunjukkan adanya atelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada

bronkus, fraktur tulang iga, dan pneumotoraks. Selain itu, juga dinilai retraksi

otot-otot interkostal, substernal, dan pernapasan abdomen.


b) Respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat

terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu mcnggerakkan dinding dada

akibat adanya blok saraf parasimpatis.

c) Palpasi. Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan

didapatkan apabila trauma terjadi pada rongga toraks.

d) Perkusi. Didapatkan adanya suara redup sampai pekak apabila trauma terjadi

pada toraks/hematoraks.

e) Auskultasi. Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi, stridor, ronki pada

klien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk menu run

sering didapatkan pada klien cedera tulang belakang yang mengalami

penurunan tingkat kesadaran (koma). Saat dilakukan pemeriksaan sistem

pemapasan klien cedera tulang belakang dengan fraktur dislokasivertebra

lumbalis dan protrusi diskus intervertebralis L-5 dan S-1, klien tidak

mengalami kelainan inspeksi pemapasan. Pada palpasi toraks, didapatkan

taktil fremitus seimbang kanan dan kin. Pada auskultasi, tidak didapatkan

suara napas tambahan.

2) Kardiovaskular Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien cedera tulang

belakang didapatkan renjatan (syok hipovolemik) dengan intensitas sedang dan

berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera tulang belakang pada

beberapa keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia, berdebar-debar,

pusing saat melakukan perubahan posisi, dan ekstremitas dingin atau pucat.

Bradikardia merupakan tanda perubahan perfusi jaringan otak. Kulit yang tampak

pucat menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi


menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu

renjatan.

3) Persyarafan

a) Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap Iingkungan

adalah indika tor paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa

sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan

keterjagaan. Pada keadaan lanjut, kesadaran klien cedera tulang belakang

biasanya berkisar dari letargi, stupor, semikoma sampai koma.

b) Pemeriksaan fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan dengan mengobservasi

penampilan, tingkah laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik

klien. Klien yang telah lama mengalami cedera tulang belakang biasanya

mengalami perubahan status mental.

c) Pemeriksaan Saraf kranial:

Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera tulang belakang dan

tidak ada Kelaina fungsi penciuman.

Saraf II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan dalam kondisi normal.

Saraf III, 1V, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata

dan pupil isokor.

Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami paralisis

pada otot wajah dan refleks komea biasanya tidak ada kelainan

Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.

Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Ada usaha

klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk

Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada

fasikulasi. Indra pengecapan normal.

d) Pemeriksaan refleks: (1) Pemeriksaan refleks dalam. Refleks Achilles

menghilang dan refleks pa tela biasanya melemah karena kelemahan pada otot

hamstring. (2) Pemeriksaan refleks patologis. Pada fase akut refleks fisiologis

akan menghilang. Se telah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali

yang didahului dengan refleks patologis. (3) Refleks Bullbo Cavemosus positif

e) Pemeriksaan sensorik. Apabila klien mengalami trauma pada kauda ekuina, is

mengalami hilangnya sensibilitas secara me-netap pada kedua bokong,

perineum, dan anus. Pemeriksaan sensorik superfisial dapat memberikan

petunjuk mengenai lokasi cedera akibat trauma di daerah tulang belakang

f) Perkemihan Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik

urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan

retensi cairan dapat terjadi akibat menurun-nya perfusi pada ginjal.

g) Pencernaan. Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan

adanya ileus paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya bising usus serta

kembung dan defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari syok

spinal yang akan berlangsung beberapa ha ri sampai beberapa minggu.

Pemenuhan nutrisi berkurang karena ada¬nya mual dan kurangnya asupan

nutrisi. Pemeriksaan rongga mulut dengan menilai ada tidaknya lesi pada mulut

atau perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya dehidrasi.


h) Muskuloskletal. Paralisis motor& dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada

ketinggian terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi

segmental dari saraf yang terkena

1) Gambaran umum

Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:

Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada

keadaan klien.

a) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada

kasus fraktur biasanya akut.

b) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun

bentuk.

2) Head to toe

a) Sistem integument

Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema,

nyeri tekan.

b) Kepala

Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,

tidak ada nyeri kepala.

c) Leher

Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.

d) Muka

Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun

bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.


e) Mata

Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi

perdarahan).

f) Telinga

Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri

tekan.

g) Hidung

Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.

h) Mulut dan faring

Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak

pucat.

i) Thoraks

Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.

j) Paru-paru

Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada

riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.

Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.

Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.

Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan

lainnya seperti stridor dan ronchi.

k) Jantung

Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.

Perkusi : Pekak
Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.

Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

l) Abdomen

Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.

Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.

Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.

Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.

m) Genitalia

Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

2. Diagnosis Keperawatan

1. Gangguan mobilitas fisik (D.0054)

Kategori: Fisiologis

Subkategori: Aktivitas/Istirahat

Definisi

Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri.

Penyebab

1. Kerusakan integritas struktur tulang

2. Perubahan metabolisme

3. Ketidakbugaran fisik

4. Penurunan kendali otot

5. Penurunan massa otot

6. Penurunan kekuatan otot

7. Keterlambatan perkembangan
8. Kekakuan sendi

9. Kontraktur

10. Malnutrisi

11. Gangguan muskuloskeletal

12. Gangguan neuromuskular

13. Indeks masa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia

14. Efek agen farmakologis

15. Program pembatasan gerak

16. Nyeri

17. Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik

18. Kecemasan

19. Gangguan kognitif

20. Keengganan melakukan pergerakan

21. Gangguan sensori persepsi

Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif

1. Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas

Objektif

1. Kekuatan otot menurun

2. Rentang gerak (ROM) menurun

Gejala dan Tanda Minor

Subjektif

1. Nyeri saat bergerak


2. Enggan melakukan pergerakan

3. Merasa cemas saat bergerak

Objektif

1. Sendi kaku

2. Gerakan tidak terkoordinasi

3. Gerakan terbatas

4. Fisik lemah

Kondisi Klinis Terkait

1. Stroke

2. Cedera medula spinalis

3. Trauma

4. Fraktur

5. Osteoarthritis

6. Ostemalasia

7. Keganasan

Tujuan dan Kriteria Hasil

Mobilitas fisik (L.05042)

1. Pergerakan ekstremitas (5) Meningkat

2. Rentang gerak (ROM) (5) Meningkat

3. Nyeri (5) menrun

4. Kecemasan (5) menrun

5. Gerakan terbatas (5) menrun

6. Kelemahan fisik (5) menrun


Intervensi Keperawatan

Intervensi Rasional
Dukungan Mobilisasi (I.05173)
Observasi
Identifikasi adanya nyeri alau keluhan fisik Untuk mengetahui penyebab dari nyeri
lainnya yang di alami pasien dan keluhan yang
dirasakan pasien
Identifikasi toleransi fisik melakukan Menentukan batas gerakan yang akan
pergerakan dilakukan
Monitor frekuensi jantung dan tekanan Mengetahui perkembangan klien
darah sebelum memulai mobilisasi
Monitor kondisi umum selama melakukan Mengetahui adanya perubahan pada kondisi
mobilisasi fisik selama melakukan mobilisasi
Terapeutik
Fasilitas aktivitas mobilisasi dengan alat Untuk meminilisir terjadinya jatuh pada
bantu (mis. pagar tempat tidur) pasien
Fasilitasi melakukan pergerakan, jika pertu Untuk membantu melakukan pergerakan
agar mudah
Libatkan keluarga untuk membantu pasien Agar klien beserta keluarga dapat
dalam meningkatkan pergerakan memahami dan mengetahui dalam
melakukan peningkatan pergerakan
Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi Agar klien dan keluarga mengetahui tujuan
dan prosedur dari melakukan mobilisasi
Anjurkan melakukan mobilisasi dini Untuk mempercepat klien secepat mungkin
turun dari tempat tidur dan berjalan
Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus Untuk mempercepat proses penyembuhan
dilakukan (mis duduk di tempat tidur,
duduk di sisi tempat tidur. pindah dari
tempat tidur ke kursi)
2. Risiko gangguan integritas kulit/jaringan (D.0015)

Kategori: Fisiologis

Subkategori: Sirkulasi

Definisi

Berisiko mengalami penurunan sirkulasi darah pada level kapiler yang dapat

mengganggu metabolisme tubuh.

Faktor Risiko

1. Hiperglikemial

2. Gaya hidup kurang gerak

3. Hipertensi

4. Merokok

5. Prosedur endovaskuler

6. Trauma

7. Kurang terpapar informasi tentang faktor pemberat (mis. merokok, gaya hidup

kurang gerak, obesitas, imobilitas)

Kondisi Klinis Terkait

1. Arterosklerosis

2. Raynaud's disease

3. Trombosis arteri

4. Atritis reumatoid

5. Leriche's syndrome

6. Aneurisma

7. Buerger's disease
8. Varises

9. Diabetes melitus

10. Hipotensi

11. Kanker

Tujuan dan Kriteria Hasil

Integritas Kulit dan Jaringan (L.14125)

1. Kerusakan jaringan (5) Menurun

2. Kerusakan lapisan kulit (5) Menurun

3. Nyeri (5) Menurun

4. Kemerahan (5) Menurun

5. Suhu kulit (5) Membaik

Intervensi Keperawatan

Intervensi Rasional
Perawatan Integritas Kulit (I.11353)
Observasi
Identifikasi penyebab gangguan integritas Untuk mengetahui penyebab gangguan
kulit (mis. perubahan sirkulasi, perubahan integritas kulit dan jaringan yang dialami
status nutrisi, penurunan kelembaban, suhu pasien
lingkungan ekstrem, penurunan mobilitas)
Terapeutik
Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring Mencegah terjadinya dekubitus
Lakukan pemijatan pada area penonjolan Untuk mempercepat penyembuhan
tulang, jika perlu
Bersihkan perineal dengan air hangat, Agar perianal tetap bersih
terutama selama periode diare
Gunakan produk berbahan petrolium atau Untuk melembabkan kulit yang kering
minyak pada kulit kering
Gunakan produk berbahan ringan alami dan Gunakan produk berbahan ringan untuk
hipoalergik pada kulit sensitif mencegah adanya alergi
Hindari produk berbahan dasar alkohol Untuk mencegah terjadinya iritasi
pada kulit kering
Edukasi
Edukasi Untuk membantu melembabkan kulit
Anjurkan menggunakan pelembab (mis. pasien
lotion, serum)
Anjurkan minum air yang cukup Untuk meningkatkan kekebalan tubuh pada
pasien
Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi Untuk meningkatkan metabolisme pasien

Anjurkan meningkatkan asupan buah dan Untuk pemenuhan asupan yang bergizi
sayur
Anjurkan menghindari terpapar suhu Untuk menghindari terjadinya iritasi pada
ekstrem kulit karna terpapar suhu yang ekstrem
Anjurkan menggunakan tabir surya SPF Untuk melindungi kulit dari paparan sinar
minimal 30 saat berada di luar rumah matahari secara langsung
Anjurkan mandi dan menggunakan sabun Agar tetap menjaga kebersihan diri
secukupnya

3. Defisit perawatan diri (D.0109)

Kategori: Perilaku

Subkategori: Kebersihan Diri

Definisi

Tidak mampu melakukan atau menyelesaikan aktivitas perawatan diri.

Penyebab

1. Gangguan muskuloskeletal

2. Gangguan neuromuskuler
3. Kelemahan

4. Gangguan psikologis dan/atau psikotik

5. Penurunan motivasi/minat

Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif

1. Menolak melakukan perawatan diri

Objektif

1.Tidak mampu mandi/mengenakan pakaian/makan/ke toilet/berhias secara

mandiri

2. Minat melakukan perawatan diri kurang

Gejala dan Tanda Minor

Subjektif

(tidak tersedia)

Objektif

(tidak tersedia)

Kondisi Klinis Terkait

1. Stroke

2. Cedera medula spinalis

3. Depresi

4. Arthritis reumatoid

5. Retardasi mental

6. Delirium

7. Demensia
8. Gangguan amnestik

9. Skizofrenia dan gangguan psikotik lain

10. Fungsi penilaian terganggu

Tujuan dan Kriteria Hasil

Perawatan Diri (L.11103)

1. Kemampuan mandi (5) Meningkat

2. Kemampuan mengenakan pakaian (5) Meningkat

3. Kemampuan makan Kemampuan ke toilet (BAB/BAK) (5) Meningkat

4. Verbalisasi keinginan melakukan perawatan diri (5) Meningkat

5. Minat melakukan perawatan diri (5) Meningkat

6. Mempertahankan kebersihan diri (5) Meningkat

7. Mempertahankan kebersihan mulut (5) Meningkat

Intervensi Keperawatan

Intervensi Rasional
Dukungan Perawatan Diri (I.11348)
Observasi
Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan Untuk memberikan rasa nyaman pada
diri sesuai usia pasien untuk melakukan perawatan diri
Monitor tingkat kemandirian Kaji tingkat kemandirian untuk memenuhi
kebutuhan perawatan diri
Identifikasi kebutuhan alat bantu Untuk mengetahui kebutuhan apa yang
kebersihan diri, berpakaian, berhias, dan pasien butuhkan
makan
Terapeutik
Sediakan lingkungan yang terapeutik (mis. Agar pasien nyaman
suasana hangat, rileks, privasi)
Siapkan keperluan pribadi (mis. parfum, Mempersiapkan keperluan pribadi untuk
sikat gigi, dan sabun mandi) kebersihan diri
Dampingi dalam melakukan perawatan diri Untuk memantau perkembangan pasien
sampai mandiri sampai melakukan perawatan secara
mandiri
Fasilitasi untuk menerima keadaan Menyiapkan untuk menerima keadaan
ketergantungan ketergantungan
Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak Pantau kemandirian pasien
mampu melakukan perawatan diri
Jadwalkan rutinitas perawatan diri Membuat jadwal rutin untuk perawatan diri
Edukasi
Anjurkan melakukan perawatan diri secara Agar pasien terbiasa melakukan perawatan
konsisten sesuai kemampuan diri sesuai kemampuan

4. Nyeri Akut (D.0077)

Kategori: Psikologis

Subkategori: Nyeri dan Kenyamanan

Definisi

Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan

aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas

ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.

Penyebab

1. Agen pencedera fisiologis (mis, inflamasi, iskemia, neoplasma)

2. Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan)

3. Agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar, terpotong. mengangkat

berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)


Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif

1. Mengeluh nyeri

Objektif

1. Tampak meringis

2. Bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri)

3. Gelisah

4. Frekuensi nadi meningkat

5. Sulit tidur

Gejala dan Tanda Minor

Subjektif

(tidak tersedia)

Objektif

1. Tekanan darah meningkat

2. Pola napas berubah

3. Nafsu makan berubah

4. Proses berpikir terganggu

5. Menarik diri

6. Berfokus pada diri sendiri

7. Diaforesis

Kondisi Klinis Terkait

1. Kondisi pembedahan

2. Cedera traumatis
3. Infeksi

4. Sindrom koroner akut

5. Glaukoma

Tujuan dan Kriteria Hasil

Tingkat Nyeri (L.08066)

1. Keluhan nyeri (5) Menurun

2. Meringis (5) Menurun

3. Sikap protektif (5) Menurun

4. Gelisah (5) Menurun

5. Kesulitan tidur (5) Menurun

Intervensi Keperawatan

Intervensi Rasional
Manajemen Nyeri (I.08238)
Observasi
identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, Untuk mengetahui PQRST nyeri pada
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri pasien
Identifikasi skala nyeri Identifikasi respons Untuk mengetahui skala nyeri 1-10 yang
nyeri non verbal dirasakan pasien
Identifikasi faktor yang memperberat dan Untuk mengetahui faktor memperberat
memperingan nyeri dan memperingan nyeri
Identifikasi pengetahuan dan keyakinan Untuk mengetahui pengetahuan dan
tentang nyeri keyakinan tentang nyeri
Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon Untuk mengetahui pengaruh budaya
nyeri terhadap respon nyeri
Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas Untuk mengetahui pengaruh nyeri pada
hidup kualitas hidup
Monitor keberhasilan terapi komplementer Untuk mengetahui keberhasilan terapi
yang sudah diberikan komplementer yang sudah diberikan pada
pasien
Monitor efek samping penggunaan analgetik Kaji adanya efek samping penggunaan
analgesik
Terapeutik
Berikan teknik nonfarmakologis untuk Agar mengurangi rasa nyeri dengan
mengurangi rasa nyeri (mis, akupresur, terapi melakukan teknik nonfarmakologis
musik, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat
dingin, terapi bermain)
Kontrol lingkungan yang memperberat rasa Untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien
nyeri (mis. suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam Pertimbangan dalam melakukan tindakan
pemilihan strategi meredakan nyeri untuk pereda nyeri
Fasilitasi istirahat dan tidur Agar mengurangi rasa sakit yang di
rasakan klien
Edukasi
Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu Agar klien mengetahui penyebab, periode,
nyeri dan pemicu nyeri
Jelaskan strategi meredakan nyeri Agar klien mengetahui tentang strategi
meredakan nyeri
Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri Untuk mengetahui nyeri yang dirasakan
Anjurkan menggunakan analgetik secara Untuk mengurangi rasa nyeri yang
tepat dirasakan
Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk Selain dengan analgetik, klien dapat
mengurangi rasa nyeri melakukan teknik nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu Kolaborasi untuk mengirangi rasa nyeri
dengan pemberian analgetik
5. Pola Nafas Tidak Efektif (D.0005)

Kategori: Fisiologis

Subkategori: Respirasi

Definisi

Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat.

Penyebab

1. Depresi pusat pernapasan

2. Hambatan upaya napas (mis. nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan)

3. Deformitas dinding dada

4. Deformitas tulang dada

5. Gangguan neuromuskular

6. Gangguan neurologis (mis. elektroensefalogram (EEG) positif, cedera kepala,

ganguan kejang)

7. Imaturitas neurologis

8. Penurunan energi

9. Obesitas

10. Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru

11. Sindrom hipoventilasi

12. Kerusakan inervasi diafragma (kerusakan saraf C5 ke atas)

13. Cedera pada medula spinalis

14. Efek agen farmakologis

15. Kecemasan
Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif

1. Dispnea

Objektif

1. Penggunaan otot bantu pernapasan

2. Fase ekspirasi memanjang

3. Pola napas abnormal (mis. takipnea, bradipnea, hiperventilasi, kussmaul,

cheyne-stokes)

Gejala dan Tanda Minor

Subjektif

1. Ortopnea

Objektif

1. Pernapasan pursed-lip

2. Pernapasan cuping hidung

3. Diameter thoraks anterior-posterior meningkat

4. Ventilasi semenit menurun

5. Kapasitas vital menurun

6. Tekanan ekspirasi menurun

7. Tekanan inspirasi menurun

8. Ekskursi dada berubah

Kondisi Klinis Terkait

1. Depresi sistem saraf pusat

2. Cedera kepala
3. Trauma thoraks

4. Gullian barre syndrome

5. Mutiple sclerosis

6. Myasthenia gravis

7. Stroke

8. Kuadriplegia

9. Intoksikasi alkohol

Tujuan dan Kriteria Hasil

Pola Napas (L.01004)

1. Dispnea (5) Menurun

2. Pemanjangan fase ekspirasi (5) Menurun

3. pengunaan otot bantu napas (5) menurun

4.Frekuensi napas (5) Membaik

5. Kedalaman dada (5) membaik

Intervensi Keperawatan

Intervensi Rasional
Manajemen Jalan Napas (I.01011)
Observasi
Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, Untuk mengetahui kondisi pola napas klien
usaha napas) dengan cara periksa frekuensi, kedalaman
dan usaha napas
Monitor bunyi napas tambahan (mis, Untuk mengetahui bunyi napas tambahan
gurgling, mengi, wheezing, ronkhi kening) seperti gurgling, mengi, wheezing, ronkhi
kening
Monitor sputum (jumlah, warna, aroma) Untuk mengetahui sputum seperti jumlah,
warna, aroma
Terapeutik
Pertahankan kepatenan jalan napas dengan Lakukan pemeriksaan head-tiil dan chin-till
head-tiil dan chin-till (Jaw-thrust ja curiga (Jaw-thrust ja curiga trauma servikal)
trauma servikal)
Posisikan semi-Fowler atau Fowler Untuk mengurangi rasa sesak pada pasien
Berikan minum hangat Untuk mengangatkan tenggorokan pada
pasien, jika perlu
Lakukan fisioterapi dada, jika perlu Melakukan tindakan fisioterapi untuk
pemeriksaan lebih lanut, jika perlu
Berikan oksigen, jika perlu Untuk membantu memberikan oksigen
pada pasien
Edukasi
Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika Untuk mencegah terjadinya kelebihan
tidak kontraindikasi cairan
Ajarkan teknik batuk efektif Teknik untuk mengurangi sesak napas
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator, Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu ekspektoran, mukolitik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif A. H. dan Kusuma H (2016). Asuhan Keperawatan Praktis, Edisi Revisi Jilid
2. Yogyakarta: Mediaction.

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Purwanto, H. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta : Pusdik SDM


Kesehatan.

Suriya, M & Zuriati (2019). Asuhan Keperawatan medikal Bedah gangguan pada
Sistem Muskuloskeletal Aplikasi Nanda, NIC & NOC. Padang: Pustaka Galeri
mandiri.

Anda mungkin juga menyukai