Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PEDAHULUAN

FRAKTUR KOMPRESI

OLEH :
NURFITRIA
PO7120421047

PRECEPTOR RUANGAN PRECEPTOR ISTITUSI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALU


JURUSAN KEPERAWATAN PRODI NERS
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP DASAR MEDIS

1. Pengertian fraktur kompresi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang


biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot,
rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).

Fraktur kompresi (wedge fractures) merupakan kompresi pada


bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan membentuk patahan
irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang mempengaruhi
kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari
ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala,
osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra
kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya
mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi
akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran vertebra
sebenarnya. Trauma vertebra yang mengenai medula spinalis dapat
menyebabkan defisit neorologis berupa kelumpuhan (Young, 2000).

2. Etiologi
Penyebab terjadinya fraktur kompresi vertebra adalah sebagai berikut:
a. Trauma langsung ( direct )
Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan
tulang seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian dan
benturan benda keras oleh kekuatan langsung.
b. Trauma tidak langsung (indirect)
Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih
disebabkan oleh adanya beban yang berlebihan pada jaringan tulang
atau otot, contohnya seperti pada olahragawan yang menggunakan
hanya satu tangannya untuk menumpu beban badannya (Rasjad, 2007).
Selain penyebab fraktur kompresi tidak langsung diatas, fraktur
kompresi dapat disebabkan oleh proses penyakit seperti osteoporosis,
penderita tumor dan infeksi (Andrew, 2014).
3. Patofisiologi
Tulang belakang merupakan satu kesatuan yang kuat yang diikat oleh
ligamen di depan dan di belakang, serta dilengkapi diskus intervertebralis
yang mempunyai daya absorpsi terhadap tekanan atau trauma yang
memberikan sifat fleksibilitas dan elastis. Semua trauma tulang belakang
harus dianggap suatu trauma yang hebat, sehingga sejak awal pertolongan
pertama dan transportasi ke rumah sakit penderita harus secara hati-hati.
Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang
belakang, tulang belakang sendiri dan sumsum tulang belakang (medulla
spinalis) (Graham & Louis, 1995) . Mekanisme trauma diataranya:
a. Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada
vertebra. Vertebra mengalami tekanan terbentuk remuk yang dapat
menyebabkan kerusakan atau tanpa kerusakan ligamen posterior.
Apabila terdapat kerusakan ligamen posterior, maka fraktur bersifat
tidak stabil dan dapat terjadi subluksasi.
b. Fleksi dan rotasi
Trauma jenis ini merupakan trauma fleksi yang bersama-sama dengan
rotasi. Terdapat strain dari ligamen dan kapsul, juga ditemukan fraktur
faset. Pada keadaan ini terjadi pergerakan ke depan/ dislokasi vertebra
diatasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat tidak stabil.
c. Kompresi vertical (aksial)
Suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang
akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan
memecahakan permukaan serta badan vertebra secara vertikal.
Material diskus akan masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan
vertebra menjadi rekah (pecah). Pada trauma ini elemen posterior
masih intak sehingga fraktur yang terjadi bersifat stabil
d. Hiperekstensi atau retrofleksi
Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan
ekstensi. Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikal dan
jarang pada vertebra torakolumbal. Ligamen anterior dan diskus dapat
mengalami kerusakan atau terjadi fraktur pada arkus neuralis. Fraktur
ini biasanya bersifat stabil.
e. Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan
menyebabkan fraktur pada komponen lateral yaitu pedikel, foramen
vertebra dan sendi faset

Pembagian trauma vertebra menurut BEATSON (1963) membedakan atas


4 grade:
- Grade I = Simple Compression Fraktur
- Grade II = Unilateral Fraktur Dislocation
- Grade III = Bilateral Fraktur Dislocation
- Grade IV = Rotational Fraktur Dislocation

Dengan adanya penekanan/ kompresi yang berlangsung lama


menyebabkan jaringan terputus akibatnya daerah disekitar fraktur dapat
mengalami edema atau hematoma. Kompresi akibatnya sering
menyebabkan iskemia otot. Gejala dan tanda yang menyertai peningkatan
tekanan kompartemental mencakup nyeri, kehilangan sensasi dan paralisis.
Hilangnya tonjolan tulang yang normal, pemendekan atau pemanjangan
tulang dan kedudukan yang khas untuk dislokasi tertentu menyebabkan
terjadinya perubahan bentuk (deformitas).

Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara langsung


dan tidak langsung. Fraktur pada tulang belakang yang menyebabkan
instabilitas pada tulang belakang adalah penyebab cedera pada medulla
spinalis secara tidak langsung. Apabila trauma terjadi di bawah segmen
cervical dan medula spinalis tersebut mengalami kerusakan sehingga akan
berakibat terganggunya distribusi persarafan pada otot-otot yang disarafi
dengan manifestasi kelumpuhan otot-otot intercostal, kelumpuhan pada
otot-otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah serta
paralisis sfingter pada uretra dan rektum. Distribusi persarafan yang
terganggu mengakibatkan terjadinya gangguan sensoris pada regio yang
disarafi oleh segmen yang cedera tersebut.

Klasifikasi derajat kerusakan medulla spinalis:

a. Frankel A = Complete, fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali


di bawah level lesi.
b. Frankel B = Incomplete, fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris
masih tersisa di bawah level lesi.
c. Frankel C = Incomplete, fungsi motris dan sensoris masih terpelihara
tetapi tidak fungsional.
d. Frankel D = Incomplete, fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara
dan fungsional.
e. Frankel E = Normal, fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa
deficit neurologisnya.
4. Pathway
5. Manifestasi Klinis
Fraktur kompresi biasanya bersifat insidental, menunjukkan gejala
nyeri tulang belakang ringan sampai berat. Dapat mengakibatkan
perubahan postur tubuh karena terjadinya kiposis dan skoliosis.
Pasien juga menunjukkan gejala-gejala pada abdomen seperti rasa
perut tertekan, rasa cepat kenyang, anoreksia dan penurunan berat
badan. Gejala pada sistem pernafasan dapat terjadi akibat berkurangnya
kapasitas paru.
Hanya sepertiga kasus kompresi vertebra yang menunjukkan gejala.
Pada saat fraktur terasa nyeri, biasanya dirasakan seperti nyeri yang dalam
pada sisi fraktur. Jarang sekali menyebabkan kompresi pada medulla
spinalis, tampilan klinis menunjukkan gejala nyeri radikuler yang nyata.
Rasa nyeri pada fraktur disebabkan oleh banyak gerak,dan pasien
biasanya merasa lebih nyaman dengan beristirahat. Banyak pasien yang
mengalami fraktur kompresi vertebra akan menjadi tidak aktif, dengan
berbagai alasan antara lain rasa nyeri akan berkurang dengan terlentang,
takut jatuh sehingga terjadi patah tulang lagi. Sehingga kurang aktif atau
malas bergerak pada akhirnya akan mengakibatkan semakin buruknya
kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

Apabila kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2


mengakibatkan sindrom konus medullaris. Konus medullaris adalah ujung
berbentuk kerucut dari sumsum tulang belakang. Normalnya terletak
antara ujung vertebra torakalis (T-12) dan awal dari vertebra lumbalis (L-
1), meskipun kadang-kadang konus medullaris ditemukan antara L-1 dan
L-2. Saraf yang melewati konus medullaris mengontrol kaki, alat kelamin,
kandung kemih, dan usus. Gejala umum termasuk rasa sakit di punggung
bawah, anestesi di paha bagian dalam, pangkal paha; kesulitan berjalan,
kelemahan di kaki, kurangnya kontrol kandung kemih; inkontinensia alvi,
dan impotensi.
a. Gangguan motorik
Cedera medula spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan
terjadi kerusakan sel-sel saraf pada medulla spinalisnya menyebabkan
gangguan arcus reflek dan flacid paralisis dari otot-otot yang disarafi
sesuai dengan segmen-segmen medulla spinalis yang cedera. Pada
awal kejadian akan mengalami spinal shock yang berlangsung sesaat
setelah kejadian sampai beberapa hari bahkan sampai enam minggu.
Spinal shock ini ditandai dengan hilangnya reflek dan flacid. Lesi yang
terjadi di lumbal menyebabkan beberapa otot-otot anggota gerak
bawah mengalami flacid paralisis.
b. Gangguan sensorik
Pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya
paraplegic pain dimana nyeri tersebut merupakan gangguan saraf tepi
atau sistem saraf pusat yaitu sel-sel yang ada di saraf pusat mengalami
gangguan. Selain itu kulit dibawah level kerusakan akan mengalami
anaestesi, karena terputusnya serabut-serabut saraf sensoris.
c. Gangguan bladder dan bowel
Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitkan
kontraksi otot polos sigmoid dan rectum serta relaksasi otot spincter
internus. Kontraksi otot polos sigmoid dan rectum itu berjalan secara
reflektorik. Impuls afferentnya dicetuskan oleh ganglion yang berada
di dalam dinding sigmoid dan rectum akibat peregangan, karena
penuhnya sigmoid dan rectum dengan tinja. Defekasi adalah kegiatan
volunter untuk mengosongkan sigmoid dan rectum. Mekanisme
defekasi dapat dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja
didorong ke bawah sampai tiba di rectum kesadaran ingin buang air
besar secara volunter, karena penuhnya rectum kesadaran ingin buang
air besar timbul. Pada tahap kedua semua kegiatan berjalan secara
volunter. Spincter ani dilonggarkan dan sekaligus dinding perut
dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal yang meningkat
mempermudah dikeluarkannya tinja. Jika terjadi inkontinensia maka
defekasi tak terkontrol oleh keinginan.
d. Gangguan fungsi seksual
Pasien pria dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam atau
beberapa hari setelah cidera. Seluruh bagian dari fungsi seksual
mengalami gangguan pada fase spinal shock. Kembalinya fungsi
sexual tergantung pada level cidera dan komplit/tidaknya lesi. Untuk
dengan lesi komplet diatas pusat reflek pada konus, otomatisasi ereksi
terjadi akibat respon lokal, tetapi akan terjadi gangguan sensasi selama
aktivitas seksual. Pasien dengan level cidera rendah pusat reflek sakral
masih mempunyai reflex ereksi dan ereksi psikogenik jika jalur
simpatis tidak mengalami kerusakan, biasanya pasien mampu untuk
ejakulasi, cairan akan melalui uretra yang kemudian keluarnya cairan
diatur oleh kontraksi dari internal bladder sphincter. Kemampuan
fungsi seksual sangat bervariasi pada pasien dengan lesi tidak komplit,
tergantung seberapa berat kerusakan pada medula spinalisnya.
Gangguan sensasi pada penis sering terjadi dalam hal ini. Masalah
yang terjadi berhubungan dengan lokomotor dan aktivitas otot secara
volunter.
6. Diagnosis
a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan cara pasien berdiri,
sehingga tanda-tanda osteoporosis seperti kiposkoliosis akan lebih
tampak. Kemudian pemeriksaan dilakukan dengan menekan vertebra
dengan ibu jari mulai dari atas sampai kebawah yaitu pada prosesus
spinosus. Fraktur kompresi vertebra dapat terjadi mulai dari oksiput
sampai dengan sacrum, biasanya terjadi pada region pertengahan torak
(T7-T8) dan pada thorakolumbal junction. Ulangi lagi pemeriksaan
sampai benar-benar ditemukan lokasi nyeri yang tepat. Nyeri yang
berhubungan dengan pemeriksaan palpasi vertebra mungkin
disebabkan oleh adanya fraktur kompresi vertebra (Hanna & Letizia,
2007).
Adanya deformitas pada tulang belakang tidak
mengindikasikan adanya fraktur. Jika tidak ditemukan nyeri yang
tajam, kemungkinan hal tersebut merupakan suatu kelainan tulang
belakang yang berkaitan dengan umur. Pemeriksaan selanjutnya
dilakukan dengan membantu pasien melakukan gerakan fleksi dan
ekstensi pada tulang belakang, gerakan ini akan menyebabkan rasa
nyeri yang disebabkan oleh adanya fraktur kompresi vertebra. Spasme
otot atau kekakuan otot dapat terjadi sebagai akibat dari kekuatan otot
melawan gravitasi pada bagian anterior dari vertebra. Pemeriksaan
neurologis perlu dilakukan. Tidak jarang pada kasus osteomielitis
mempunyai gejala yang mirip dengan fraktur kompresi vertebra
(Hanna & Letizia, 2007).
b. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan menurut Aron (2006)
yaitu:
a. Rontgen
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tulang vertebra yang
fraktur atau yang mengalami pergeseran
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan ini memberi informasi detail mengenai jaringan lunak
di daerah vertebra. Gambaran yang akan dihasilkan adalah 3
dimensi. MRI sering digunakan untuk mengetahui kerusakn
jaringan lunak pada ligament dan diskus intervertebralis dan
menilai cedera medulla spinalis.
c. CT-Scan
CT scan sangat berguna dalam menggambarkan adanya fraktur dan
dapat memberikan informasi jika tentang adanya kelainan densitas
tulang. CT scan dan MRI juga sangat penting dalam menentukan
diferensial diagnosis karena adanya penyempitan kanalis spinal,
dan komposisi spesifik vertebra dapat digambarkan.
d. Single-Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
Dapat juga digunakan dalam menentukan adanya fraktur dan
tingkat adanya osteoporosis karena kemampuannya dalam
menggambarkan densitas tulang.

e. Scintigraphy
Merupakan suatu metode diagnostik yang menggunakan deteksi
radiasi sinar gamma untuk menggambarkan kondisi dari jaringan
atau organ, juga merupakancmetode yang penting untuk
memprediksikan hasil (outcome) dari beberapa teknik operasi.
7. Penatalaksanaan
a. Nyeri akut
Jika pada pasien tidak ditemukan kelainan neurologis, pengobatan
pada pasien dengan akut fraktur harus menekankan pada pengurangan
rasa nyeri, dengan pembatasan bedrest, penggunaan analgetik,
brancing dan latihan fisik (Aron, 2006).
- Menghindari bedrest terlalu lama
Bahaya dari bedrest yang terlalu lama pada orang tua adalah,
meningkatkan kehilangan densitas tulang, deconditioning,
thrombosis, pneumonia, ulkus dekubitus, disorientasi dan depresi.
- Analgetik
Analgetik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri, biasa diberikan
sebagai terapi awal untuk menghindari dari bedrest yang terlalu
lama.
- Calcitonin
Calcitonin diberikan secara subkutan, intranasal, atau perrektal
mempunyai efek analgetik pada fraktur kompresi yang disebabkan
oleh osteoporosis dan pasien dengan nyeri tulang akibat metastasis.
- Bracing
Bracing merupakan terapi yang biasa dilakukan pada manegemen
akut non operatif. Ortose membantu dalam mengontrol rasa nyeri
dan membantu penyembuhan dengan menstabilkan tulang
belakang. Dengan mengistirahatkan pada posisi fleksi, maka akan
mengurangi takanan pada kolumna anterior dan rangka tulang
belakang.Bracing dapat digunakan segera, tetapi hanya dapat
digunakan untuk dua sampai tiga bulan. Terdapat beberapa tipe
ortose yang tersedia untuk pengobatan.
- Vertebroplasty
Vertebroplasty dilakukan dengan menempatkan jarum biopsy
tulang belakang kedalam vertebra yang mengalami kompresi
dengan bimbingan fluoroscopy atau computed tomography.
Kemudian diinjeksikan Methylmethacrylate kedalam tulang yang
mengalami kompresi. Prosedur ini dapat menstabilkan fraktur dan
megurangi rasa nyeri dengan cepat yaitu pada 90% 100% pasien.
Tetapi prosedur ini tidak dapat memperbaiki deformitas yang
terjadi pada tulang belakang.
- Kypoplasty
Prosedur ini dilakukan dengan menyuntikkan jarum yang berisikan
tampon kedalam tulang yang mengalami fraktur. Insersi jarum
tersebut akan membentuk suatu kavitas pada tulang vertebra.
Kemudian kavitas tersebut diisi dengan campuran
methylmetacrylate dibawah tekanan rendah.
b. Nyeri kronis
Nyeri kronis umumnya biasa dialami oleh pasien dengan multipel
fraktur, penurun tinggi badan, dan kehilangan densitas tulang. Pada
pasien-pasien ini, sangat dianjurkan untuk tetap aktif melakukan
pelemasan otot dan program peregangan, seperti program yang
berdampak ringan seperti berjalan dan berenang. Sebagai tambahan
obat penghilang rasa sakit, pemeriksaan nonfarmakologis seperti
stimulasi saraf listrik transkutaneus, aplikasi panas dan dingin, atau
penggunaan bracing, dapat menghilangkan rasa sakit sementara. Aspek
psikologis dari rasa nyeri yang kronis dan kehilangan fungsi fisiologis
harus diterangkan dalam konseling, jika perlu, dapat diberikan
antidepresan (Aron, 2006).
c. Pencegahan fraktur tambahan
- Sebagian besar pasien dengan fraktur akibat osteoporosis akut
harus diberikan terapi osteoporosis secara agresif.
- Pemeriksaan bone densitometry sebaiknya dilakukan pada pasien
dengan fraktur kompresi dan sebelumnya diduga mengalami
kehilangan massa tulang.
- National Osteoporosis Foundation menganjurkan semua wanita
yang mengalami fraktur spiral dan densitas mineral tulang harus
diberikan terapi seperti osteoporosis.
- Diet suplemen vitamin D dan kalsium harus optimal.
Bisphosponates (alendronate, risendronate) mengurangi insidensi
terjadinya fraktur vertebra baru sampai lebih dari 50%.
- Raloxifene, merupakan modulator estrogen selektif, menunjukkan
dapat mengurangi terjadi fraktur vertebra 65% pada tahun
pertama dan sekitar 50% pada tahun ketiga.
- Kalsitonin menunjukkan penurunan resiko terjadinya fraktur
vertebra baru sekitar 1 dari 3 wanita yang mengalami fraktur
vetebra.
- Teriparatide (fortoe), merupakan preparat hormone
paratiroid rekombinan diberikan secara subkutan. Obat ini juga
menunjukkan rendahnya resiko terjadinya fraktur vertebra dan
meningkatkan densitas tulang pada wanita post menopause
dengan osteoporosis. Obat ini bekerja pada osteoblast untuk
menstimulasi pembentukan tulang baru.
8. Komplikasi
a. Biomekanik
Pada beberapa pasien yang mengalami pemendekan segmen
torakolumbal yang signifikan, costa bagian terbawah akan bersandar
pada pevis, menyebabkan terjadinya abdominal discomfort. Gejala-
gejala pada gangguan abdomen dapat berupa anoreksia yang dapat
mengakibatkan penurunan berat badan, terutama pada pasien yang
berusia lanjut. Konsekuensi pada paru akibat adanya fraktur kompresi
pada vertebra dan kyposis umumnya ditandai dengan penyakit paru
restriktif dengan penurunan kapasitas vital paru. Dalam persamaan,
setiap fraktur menurunkan kapasitas vital 9%. Meningkatkan resiko
terjadinya fraktur. Karena terjadinya kyposis, maka beban berlebih
akan ditopang oleh tulang disekitarnya, ditambah lagi dengan adanya
osteoporosis semakin meningkatkan resiko terjadinya fraktur. Adanya
satu atau lebih vertebra mengalami fraktur kompresi semakin
meningkatkan adanya fraktur tambahan lima kali lipat dalam satu
tahun.
b. Fungsional
Pasien yang mengalami fraktur kompresi memiliki level yang lebih
rendah dalam performa fungsional dibandingkan dengan kontrol, lebih
banyak membutuhkan pembantu, pengalaman lebih sering mengalami
sakit saat bekerja, dan mengalami kesulitan dalam menjalani aktivitas
sehari-hari. Penelitian terbaru pada pasien-pasien ini memiliki nilai
yang rendah pada indeks kulalitas hidup yang berhubungan dengan
kesehatan berdasarkan fungsi fisik, status emosi, gejala klinis dan
keseluruhan performa fungsional. Oleh karena itu, banyak pasien yang
mengalami fraktur kompresi vertebra akan menjadi tidak aktif, dengan
berbagai alasan antara lain rasa nyeri akan berkurang dengan
terlentang, takut jatuh sehingga terjadi patah tulang lagi. Sehingga
kurang aktif atau malas bergerak pada akhirnya akan mengakibatkan
semakin buruknya kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
c. Psikologis
Kejadian depresi meningkat sampai 40% pada pasien yang menderita
fraktur kompresi vertebra, akibat nyeri kronis, perubahan bentuk
tubuh, detorientasi dalam kemampuan untuk merawat diri sendiri, dan
akibat bedrest yang lama. Pasien yang mengalami depresi biasanya
yang mengalami lebih dari satu fraktur dan akan menjadi cepat tua dan
terisolasi secara social (Aron, 2006).
9. Prognosis
Nyeri dan fraktur yang dialami akan membaik dengan dukungan terapi
farmakologis dan farmakologis, namun dengan semakin bertambahnya
usia, fungsi dan struktur fisiologi tulang akan semakin menurun,
diperlukan upaya kewaspadaan agar tetap menjaga stabilitas tulang
belakang dan pencegahan trauma pada usia lanjut.

10. Pencegahan
a. Hindari aktifitas fisik berat
b. Olah raga seperti jogging dan berjalan cepat
c. Jaga asupan kalsium (sayuran hijau, susu tinggi kalsium dll)
d. Hindari defisiensi vitamin D
e. Nutrisi dengan diet tinggi protein
f. Berjemur pada pagi dan sore hari
g. Diperlukan pendamping untuk usia lanjut
h. Memperhatikan lingkungan dan berbagai penyebab untuk menghindari
berulangnya jatuh.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahapan awal dari proses keperawatan yang
dilaksanakan sehingga dapat diketahui kebutuhan pasien.

b. Pengumpulan data
i. Identitas pasien
Terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, pendidikanm,
pekerjaan, dan sebagainya.

ii. Keluhan utama


Pada umumnya klien mengeluh nyeri pada daerah tulang belakang
apabila digerakkan, adanya spasme otot dan kaki tidak bisa
digerakkan.

iii. Riwayat penyakit sekarang


Pada umumnya mengalami jatuh dari ketinggian atau kecelakaan
sehingga tulang belakang terasa nyeri bila digerakkan dan kaki tidak
bisa digerakkan.

iv. Riwayat Penyakit sekarang


Pada kasus penyakit ini klien tidak mempunyai riwayat penyakit
karena ini bisa t erjadi kapa saja.

v. Riwayat penyakit keluarga


Pada jenis penyakit ini bukanlah jenis penyakit/kelainan yang menurun
ataupun menular.

vi. Pola-pola fungsi kesehatan


1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pola ini mengalami gangguan karena klien mobilisasi fisik.

2. Pola nutrisi dan metabolisme


Klien mengalami malnutrisi dikarenakan tidak nafsu makan akibat
nyeri pada tulang belakang, ditandai dengan berat badan menurun,
klien tampak kurus, perubahan peristaltik usus.

3. Pola aktivitas dan latihan


Pada pola ini mengalami gangguan klien hanya dapat
tidur/berbaring ditempat tidur atau miring kanan-kiri, karena nyeri
yang dialaminya. Apabila sudah 2 minggu (apabila tanpa gangguan
neurologis) baru bisa duduk.

4. Pola eliminasi
Klien mengalami konstipasi dikarenakan tirah baring lama, selain
itu biasanya terjadi retensi urine karena fungsi buli-buli kurang
berfungsi dengan baik (tidak kontraksinya muskulus detrusor dan
tidak relaksasinya spinkter external).

5. Pola istirahat dan tidur


Pada pola ini mengalami gangguan, karena nyeri pada tulang
belakang yang dialaminya ditandai dengan sering menguap, mata
say, mata merah dan perubahan tanda-tanda vital.

6. Pola sensori dan kognitif


Pada pola sensori, skala nyeri biasa dialami klien adalah untuk
ditandai dengan wajah menyeringai, merintih, terjadi perubahan
tanda-tanda vital dan sebagainya. Sedangkan pada pola kognitif,
klien dan keluarga biasanya kurang mengerti perawatan post op.

7. Pola persepsi diri


Pada umumnya klien menganggap dirinya tak berdaya karena klien
hanya bisa berbaring saja.
8. Pola penanggulangan stress
Pada pola ini, apabila mekanisme koping individu baik, maka dalam
menanggulangi stress pun akan baik, begitu sebaliknya.

9. Pola tata nilai dan keyakinan


Pada pola ini tidak mengalami gangguan, klien bisa menjalankan
ibadahnya/sholat (bagi muslim) dengan berbaring, duduk atau
dengan tidur.

vii. Pemeriksaan fisik


1. Tanda-tanda vital
Suhu : bisa terjadi peningkatan (37,5o – 38oc) apabila ada infkesi
(misal: ulkus dekubitus), tensi meningkat, nadi meningkat.

RR meningkat karena hipoxia apabila cedera pada vertebra servical


(dibawah C4) dan infeksi saluran nafas dikarenakan retensi sputrum,
pernafasan cuping hidung, pernafasan dangkal.

2. Kesadaran : bisa menurun atau normal


3. Kepala : adanya keringat banyak, gelisah, cyanosis
4. Dada dan thorax : adanya retraksi supra sternal
5. Abdomen : terjadi perubahan peristaltik usus, diatasi lambung
hilangnya kontrol difekasi yang menyebabkan distensi atau
paralitik ileus dan kosntipasi.
6. Ekstremitas : terjadi atrofi otot. Biasanya kaki sulit digerakkan,
kontraktur sendi.
7. Integumen : terjadi penurunan turgor kulit akibat dekubitus.
viii. Laboratorium dan Radiologi
– X foto AP/Lateral.
– X foto AP dengan buka mulut dibuat untuk melihat adanya fraktur
atlas dan adontoid.
– Foto vertebra dengan gerakan vertebra freksi dan ekstensi.
– Mielografi.
– CT scan dengan atau tanpa kontras.
– MRI.
– 3 TD (Tri Dimentional Tomography).

c. Analisa data
1. Data subyektif :
Data obyektif : Tanda-tanda vital (TD, suhu, nadi, RR), cuping
hidung, adanya retraksi suprastenal, gelisah,
cyanosis, sputum tidak bisa keluar, reflek batuk
menurun.
Masalah keperawatan : Ketidak efektifan jalan nafas

Kemungkinan penyebab : Penumpukan sekret

2. Data subyektif :
Data obyektif : Meningkatkan tanda-tanda vital (tensi, nadi,

RR), wajah menyeringai, skala nyeri 4, gelisah.

Masalah keperawatan : Gangguan rasa nyaman (nyeri)

Kemungkinan penyebab : Cidera tulang belakang

3. Data subyektif :
Data obyektif : Berat badan klien menurun drastis, klien tampak
kurus perubahan peristaltik usus.
Masalah keperawatan : Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi.

Kemungkinan penyebab : Masukan nutrisi tidak adekuat.

4. Data subyektif :
Data obyektif : Konstipasi, retensi urin, distensi abdomen.

Masalah keperawatan : Gangguan pola eliminasi.

Kemungkinan penyebab : Tirah baring.


5. Data subyektif :
Data obyektif : Ada ulkus dekubitus, edema, kemerahan, turgor
kulit menurun.

Masalah keperawatan : Gangguan integritas kulit.

Kemungkinan penyebab : Tirah baring.

6. Data subyektif : Klien mengeluh panas pada seluruh tubuh.


Data obyektif : Suhu meningkat, sring febris, luka dekubitus, bau
busuk, ada pusnya.

11. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
b. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
c. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
d. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)

12. Intervensi Keperawatan


a. Intervensi : Manajemen nyeri
Tindakan
Observasi
- Identifikasi lokasi, karakterisitk, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respon nyeri nonverbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperringan nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengeruh nyeri pada kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik
- Berika teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(TENS, hipnosis, akupresusr, terapi musik, biofeedback,terapi
pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat
atau dingin, terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri

Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik
-
b. Intervensi : Dukungan mobilisasi (06171)
Definisi
Memfasilitasi pasien untuk meningkatkan pergerakan fisik.
Tindakan
Observasi
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
- Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
- Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi
- Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi

Terapeutik
- Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. Pagar tempat
tidur)
- Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
- Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan

Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
- Anjurkan melakukan mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. Duduk di
tempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke
kursi)
c. Intervensi : Pencegahan Infeksi (I.14539)
Tindakan
Observasi :
- Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sitemik
Terapeutik
- Batasi jumlah pengunjung
- Berikn perawatan kulit pada area edema
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien lingkungan
pasien
- Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
Edukasi
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
- Ajarkan etika batuk
- Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborsi
- Kolaborsi pemberian imunisasi, jika perlu

DAFTAR PUSTAKA

Https://id.scribd.com/document/436886475/LP-FRAKTUR-KOMPRESI-docx.
(Diakses pada tanggal 30 desember 2021)

Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar diagnosis keperawatan indonesia:
Definisi dan indikator diagnortik. Jakarta: DPP PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar intervensi keperawatan indonesia:
Definisi dan tindakan keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai