Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR SERVIKAL
DI PUSKESMAS BANGSALSARI

Oleh :
IRA BADRIYA HIDAYATI
NIM. 20020043

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER
YAYASAN JEMBER INTERNATIONAL SCHOOL
2020 / 2021
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR SERVIKAL

1.1 Pengertian
Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang
servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi, atau
fraktur vertebra servikalis dan ditandai dengan kompresi pada medula spinalis
daerah servikal.Dislokasi servikal adalah lepasnya salah satu struktur dari
tulang servikal.Subluksasi servikal merupakan kondisi sebagian dari tulang
servikal lepas.Fraktur servikal adalah terputusnya hubungan dari badan tulang
vertebra servikalis (Muttaqin, 2011).

Ada tujuh tulang servikal vertebrae (tulang belakang) yang mendukung


kepala dan menghubungkannya ke bahu dan tubuh.Sebuah fraktur (patah atau
retak) di salah satu tulang leher disebut fraktur servikal atau kadang-kadang
juga disebut patah tulang leher. Cedera tulang belakang adalah cedera
mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalisakibat trauma jatuh dari
ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb (Sjamsuhidayat,
2015).

Fraktur tulang leher merupakan suatu keadaan darurat medis yang


membutuhkan perawatan segera .Spine trauma mungkin terkait cedera saraf
tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat
penting untuk menjaga leher .Fraktur ini sering terjadi pada anak karena
kondisi tulang masih sangat rawan untuk tumbuh dan berkembang.
Fraktur tulang leher sangat berbahaya karena bisa mengganggu sistem
saraf yang terdapat pada vertebra. Hal ini bias mengakibatkan gangguan-
gangguan neurologis. Bahkan fraktur pada tulang leher bisa menyebabkan
seorang anak mengalami lumpuh.

Anatomi Fisiologi
Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi
medula spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang
diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing
tulang dipisahkan oleh disitus intervertebralis. Vertebralis dikelompokkan
sebagai berikut:
1. Vertebrata servikalis
Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan
pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai
prosesus spinasus paling panjang. Berjumlah 7 buah.

2. Vetebrata Thoracalis (atlas)


Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi
hanya berupa cincin tulang.
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk
jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.
3. Vertebrata Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal,
berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus
vertebra yang besar ukurannya sehingga pergerakannya lebih luas kearah
fleksi.
4. Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang
dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk
tulang bayi.
5. Os. Coccygis
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami
rudimenter. Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka
kolumna vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-
pesterior : lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan
daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan daerah
pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap
pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka
mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang
belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengna kepala membengkak ke
bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah
depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah
sekunder → lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak
mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki,
dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan
serta mempertahankan tegak.

1.2 Etiologi
1. Faktor Presipitasi dan Predisposisi Frakture Servical
a. Faktor Presipitasi
1) Kekerasan Langsung
Kekerasan secara langsung menyebabakan tulang patah pada titik
terjadinya kekerasan atau kekuatankekuatan yang tiba-tibadan
yang dapat berupa pukulan, penghancuran, penekukan, penarikan
berlebihan. Bila terkena kekuatan langsung tulang dapat patah
pada tempat yang terkena dan jaringan lunaknya pun juga rusak.
2) Kekerasan Tidak Langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabakan tulang patah di tempat
yang jauh dari tempat terjadinya kecelakaan atau kekerasan, dan
biasanya yang patah adalah bagian yang lemah jalur hantaman
vektor kekerasan.
3) Kekerasan Akibat Tarikan Otot
Patah tulang oleh karena tarikan otot yang jarang terjadinya.
b. Faktor Predisposisi
1) Faktor ekstrinsik adalah gaya dari luar yang bereaksi pada tulang
serta tergantung dari besarnya, waktu atau lamanya dan arah gaya
tersebut dapat menyebabkan patah tulang.
2) Faktor instrinsik adalah beberapa sifat penting dari tulang yang
menentukan daya tahan timbulnya fraktur, yaitu kapasitas absorbsi
dari sendi, daya elastisitas, daya terhadap kelelahan dan aktivitas
atau kepadatan, usia lanjut (Ivones, 2011).

Klasifikasi

1. Klasifikasi fraktur servikal berdasarkan mekanisme trauma

a. Trauma hiperfleksi

1) Subluksasi anterior
Terjadi robekan pada sebagian ligament di posterior tulang leher;
ligament longitudinal anterior utuh. Termasuk lesi stabil. Tanda
penting pada subluksasi anterior adalah adanya angulasu ke
posterios (kifosis) local pada tempat kerusakan ligament. Tanda-
tanda lainnya: jarak yang melebar antara prosesus spinosus, dan
subluksasi sendi apofiseal.
2) Bilateral interfacetal dislocation
Terjadi robekan pada ligament longitudinal anterios dan kumpulan
ligament di posterior tulang leher. Lesi tidak stabil. Tampak
dislokasi anterior korpus vertebrae. Dislokasi total sendi apofiseal.
3) Flexion tear drop fracture dislocation
Tenaga fleksi murni ditambah komponen kkompresi menyebabkan
robekan pada ligament longitudinal anterior dan kumoulan
ligament posterior disertai fraktur avulse pada bagian antero-
inferior konspur vertebra. Lesi tidak stabil. Tampak tulang servikal
dalam fleksi: fragmen tulang berbentuk segitiga pada bagian
antero-inferior korpus vertebrae, pembengkakan jaringan lunak
pravertebral.
4) Wedge fracture
Vertebra terjept sehingga berbentuk baji. Ligament longitudinal
anterior dan kumoulan ligament posterior utuh sehingga lesi ini
bersifat stabil.
5) Clay shovelers fracture
Fleksi tulang leher dimana terdapat kontraksi ligament posterior
tulang leher mengakibatkan terjadinya fraktur oblik pada prosesus
spinosus; biasanya pada C4-C7 atau Th1.

b. Trauma fleksi rotasi


Terjadi dislokasi interfacetal pada satu sisi. Lesi stabil walaupun
terjadinya kerusakan pada ligament posterior termasuk kapsul
sendi apofiseal yang bersangkutan dan vertebra proksimalnya
dalam posisi oblik, sedangkan distalnya tetap dalam posisi lateral.
c. Trauma hiperkstensi
1) Fraktur dislokasi hiperekstensi
Dapat terjadi fraktur pedikel, prosesus artikularis, lamina dan
prosesu spinosus. Fraktur avulse korpus vertebra bagian postero-
inferior. Lesi tidak stabil karena terdapat kerusakan pada elemen
posterior tulang leher dan ligament yang bersangkutan.
2) Hangmans fracture
Terjadi fraktur arkus bilateral dan silokasi anterior C2 terhadap C3.
d. Ekstensi rotasi
Terjadinya fraktur pada prosesus artikularis satu sisi.
e. Kompresi vertical
Terjadinya fraktur ini akibat diteruskannya tenaga trauma melalui
kepala, kondilus oksipitalis, ke tulang leher.
2. Klasifikasi berdasar derajat kestabilan

a. Stabil

b. Tidak stabil
Stabilitas dalam hal trauma tulang servikal dimaksudkan tetap
utuhnya kkomponen ligament-skeletal pada saat terjadinya
pergeseran satu segmen tulang leher terhadap lainnya.

Cedera dianggap stabil jika bagian yang terkena tekanan hanya


bagian medulla spinalis anterior, komponen vertebral tidak
bergeser dengan pergerakan normal, ligament posterior tidak rudak
sehingga medulla spinalis tidak terganggu, fraktur kompresi dan
burst fraktur adalah contoh cedera stabil. Cedera tidak stabil
artinya cedera yang dapat bergeser dengan gerakan normal karena
ligament posteriornya rusak atau robek, fraktur medulla spinalis
disebut fraktur tidak stabil jika kehilangan integritas dari ligament
posterior.
Menentukan stabil atau tidaknya fraktur membutuhkan
pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan radiografi minimal ada 4
posisi yaitu anteroposterior, lateral, oblik kanan dan akiri. Dalam
menilai stabilitas vertebra, ada tiga unsur yang harus
dipertimbangkan yaitu kompleks posterior (kolumna posterior),
kompleks media dan kompleks anterior (kolumna anterior).
1.3 Manifestasi Klinis
Lewis (2016) menyampaikan gejala klinis dari fraktur adalah sebagai
berikut:
1. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma.Hal ini dikarenakan
adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan
jaringan sekitarnya. Nyeri dirasakan terus menerus dan bertambah
beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.Spasme otot yang
menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir
pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
3. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah
di jaringan sekitarnya.
4. Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
5. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
6. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme
otot, paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
7. Mobilitas abnormal
Mobilitas abnormal adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian
yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan.Ini terjadi pada
fraktur tulang panjang.
8. Krepitasi
Krepitasi merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian
tulang digerakkan. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antara
fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan
kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
9. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau
trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi
abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
10. Syok hipovolemik
Syok terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.Ditandai
dengan nadi cepat, kerja jantung meningkat, vasokontriksi.
11. Pemendekan tulang
Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5
cm (1 sampai 2 inci)

1.4 Patofisiologi
Penyebab tersering terjadi cidera tulang belakang adalah kecelakaan
mobil, kecelakaan motor, jatuh, cedera olahraga, dan luka akibat tembakan
atau pisau. Menurut mekanisme terjadinya cidera,cidera cervikal dibagi atas
fleksi, fleksi rotasi, ekstensi, kompresi aksial. Cidera servical atas adalah
fraktura atau dislokasi yang mengenai basis Occiput-C2. Cidera tulang
belakang cervical bawah termasuk fraktura dan dislokasi ruas tulang
belakangC3-C7. Ruang tulang belakang C5 adalah yang tersering mengalami
fraktur.
C1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas areus anterior yang tebal
dan arcus posterior yang tipis serta masa lateralis pada masing-masing
sisinya.tulang ini berartikulasi dengan kondilus occipitalis membentuk
articulo atlanto-occipitalis, tempat berlangsungnya gerakan mengangguk.
dibawah, tulang ini berartikulasi dengan C2, membentuk articulasio atlanto-
axialis, tempat berlangsungnya gerakan memutar kepala. Ketika cidera terjadi
fraktur tunggal atau multiple pada cincin C1 dan dislokasi atlanto-occipitalis
sehingga menyebabkan ketidakmampuan menggerakkan kepala dan kerusakan
pada batang otak. Cidera pada C1 dan C2 menyebabkan ventilasi spontan
tidak efektif.
Pada C3-C5 dapat terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat terjadi
hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori dan otot interkostal yang dapat
menyebabkan komplience paru menurun. Pada C4-C7 dapat terjadi kerusakan
tulang sehingga terjadi penjepitan medula spinalis oleh ligamentum flavum di
posterior dan kompresi osteosif /material diskus dari anterior yang bisa
menyebabkan nekrosis dan menstimulasi pelepasan mediator kimia yang
menyebabkan kerusakan myelin dan akson, sehingga terjadi gangguan
sensorik motorik. Lesi pada C5-C7 dapat mempengaruhi intercostal,
parasternal, scalenus, otot-otot abdominal, intak pada diafragma, otot
trapezius, dan sebagian pectoralis mayor.
Cidera pada tulang cervikal dapt menimbulkan lesi atau cidera pada
medullaspinalis yang dapat terjadi beberapa menit setelah adanya benturan
keras mengenai medulla spinalis. Saat ini,secara histologis medulla spinalis
masih normal. Dalam waktu 24-48 jam kemudia terjadi nekrosis fokal dan
inflamasi. Pada waktu cedera terjadi disrupsi mekanik akson dan neuron. Ini
disebut cedera neural primer. Disamping itu juga terjadi perubahan fisiologis
dan patologis progresif akibat cedera neural sekunder.
Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan atau trauma pada servical maka
akan terjadi kerusakan secara struktural yang mengakibatkan gangguan pada
saraf spinal dan pembuluh darah disekitarnya yang akan menghambat suplai
O2 ke medulla spinalis atau akan terjadi iskemik pada jaringan tersebut.
karena terjadi iskemik pada jaringan tersebut, dalam beberapa menit atau jam
kemudian akan ada pelepasan vasoaktif agent dan cellular anzim yang
menyebabkan kontriksi kapiler pada pusat substansi abu-abu medulla spinalis.
Ini merupakan permulaan dari cedera neural sekunder pada cedera medula
spinalis . selanjutnya adalah peningkatan level Ca pada intraseluler yang
mengakibatkan kerusakan pada endotel pembuluh darah yang dalam beberapa
jam kemudian dapat menimbulkan aneurisma dan ruptur pada pembuluh darah
di medulla spinalis. Peningkatan potasium pada ekstraseluler yang
mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada sel (conduction block). Hipoksia
akan merangsang pelepasan katekolamin sehingga terjadi perdarahan dan
nekrosis pada sel.
Ditingkat seluler, adanya kerusakan mitokondria akibat defisit suplai O2
dapat merangsang pelepasan superoksid (radikal bebas), disertai terjadinya
ketidakseimbangan elektrolit, dan pelepasan mediator inflamasi dapat
mengakibatkan terjadinya kematian sel (apoptosis) dengan manifestasi sel
mengkerut dan kromatin nuclear yang padat.
1.5 Pathway
(Terlampir)
1.6 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Mansjoer (2013), ada pun pemeriksaan penunjang trauma
servikal yaitu:
1. Sinar X spinal
Menentukan loksi dan jenis cedera tulang (fraktur, disloksi) untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
2. CT scan
Menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural.
3. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.
4. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
patologisnya tidak jelas atau di curigai adanya oklusi pada ruang
subarakhnoid medulla spinalis.
5. Fotorontgentorak
Memperlihatkan keadaan paru (contohnya: perubahan pada
diagfragma, anterlektasis).
6. GDA
Menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi

1.7 Komplikasi
Komplikasi awal
a. Syok
b. Sindrom emboli lemak
c. Sindrom kompertemen
Komplikasi lambat
a) Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan
 Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak
seharusnya.
 Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
 Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
b) Nekrosis avaskuler tulang.
c) Reaksi terhadap alat fiksasi interna
1.8 Diagnosa Banding
1. Dislokasi panggul
2. Fraktur Pelvis
3. Fraktur Spinal
4. Fraktur Vertebra
1.9 Penatalaksanaan
1. Pertolongan Pertama untuk Fraktur Servikal
Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur
servikalis. Sebuah fraktur servikal merupakan suatu keadaan darurat medis
yang membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait
cedera saraf tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan,
sehingga sangat penting untuk menjaga leher .
Jika ada kemungkinan patah tulang leher, leher pasien tidak boleh
digerakkan sampai tindakan medis diberikan dan X-ray dapat diambil.Itu
jalan terbaik untuk mengasumsikan adanya cedera leher bagi siapa saja
yang terkena benturan, jatuh atau tabrakan.
Gejala fraktur servikal termasuk parah dengan rasa sakit pada kepala,
nyeri yang menjalar ke bahu atau lengan,memar dan bengkak di bagian
belakang leher.
2. Penanganan Operasi
Goal dari penanganan operasi adalah: Reduksi mal aligment,
decompresi elemen neural dan restorasi spinal stability. Operasi anterior
dan posterior
Anterior approach, indikasi:

1) Ventral kompresi
2) Kerusakan anteriorcollum
3) Kemahiran neurosurgeon
Posterior approach, indikasi:
1) Dorsal kompresi pada strukturneural
2) Kerusakan posterior collum Keuntungan:
3) Dikenal banyakneurosurgeon
4) Lebih mudah
5) Medan operasi lebih luas dapat membuka beberapasegmen
6) Minimal morbility
3. Pembatasan aktivitas
Studi spesifik yang membandingkan keluaran dengan atau tanpa
pembatasan aktivitas belum ada.Jadi toleransi terhadap respon pengobatan
yang bersifat individual sebaiknya menjadi panduan bagi praktisi.Pada
tahap akut sebaiknya hindari pekerjaan yang mengharuskan gerak leher
berlebihan.Pemberian edukasi mengenai posisi leher yang benar sangatlah
membantu untuk menghindari iritasi radiks saraf lebih jauh. Seperti
contohnya : penggunaan telepon dengan posisi leher menekuk dapat
dikurangi dengan menggunakan headset, menghindari penggunaan
kacamata bifokal dengan ekstensi leher yang berlebihan, posisi tidur
yang salah. Saat menonton pertandingan pada lapangan terbuka,
maupun layar lebar sebaiknya menghindari tempat duduk yang
menyebabkan kepala menoleh/berotasi ke sisi lesi.

4. Penggunaan collarbrace
Ada banyak jenis kolar yang telah dipelajari untuk membatasi gerak
leher. Kolar kaku/ keras memberikan pembatasan gerak yang lebih banyak
dibandingkan kolar lunak (soft collars ), kecuali pada gerak fleksi dan
ekstensi. Kelebihan kolar lunak : memberikan kenyamanan yang lebih
pada pasien. Pada salah satu studi menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan
pasien untuk menggunakan kolar berkisar 68-72%.Penggunaan kolar
sebaiknya selama mungkin sepanjang hari. Setelah gejala membaik, kolar
dapat digunakan hanya pada keadaan khusus , seperti saat menyetir
kendaraan dan dapat tidak digunakan lagi bila gejala sudah menghilang.
Sangatlah sulit untuk menyatakan waktu yang tepat kolar tidak perlu
digunakan lagi, namun dengan berpatokan : hilangnya rasa nyeri,
hilangnya tanda spurling dan perbaikan defisit motorik dapat dijadikan
sebagai petunjuk.
5. Modalitas terapi lain
Termoterapi dapat digunakan untuk membantu menghilangkan nyeri.
Modalitas terapi ini dapat digunakan sebelum atau pada saat traksi servikal
untuk relaksasi otot. Kompres dingin dapat diberikan selama 15-30 menit,
1 sampai 4 kali sehari, atau kompres panas /pemanasan selama 30 menit, 2
sampai 3 kali sehari jika dengan kompres dingin/pendinginan tidak
efektif. Pilihan antara modalitas panas atau dingin sangatlah pragmatik
tergantung pada persepsi pasien terhadap pengurangannyeri.
Traksi leher merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan
meskipun efektifitasnya belum dibuktikan dan dapat menimbulkan
komplikasi sendi temporomandibular.Ada beberapa jenis traksi, namun
yang dapat dilakukan di rumah adalah door traction. Traksi dapat
dilakukan 3 kali sehari selama 15 menit , dan dapat dilakukan dengan
frekuensi yang lebih sedikit selama 4 sampai 6 minggu. Setelah keluhan
nyeri hilang pun traksi masih dapat dianjurkan.Traksi dikontraindikasikan
pada pasien dengan spondilosis berat dengan mielopati dan adanya
arthritis dengan subluksasi atlanto-aksial.Latihan yang menggerakan leher
maupun merangsang nyeri sebaiknya dihindari pada fase akut.Saat nyeri
hilang latihan penguatan otot leher isometrik lebih dianjurkan.
Penggunaan terapi farmakologik dapat membantu mengurangi rasa
nyeri dan mungkin mengurangi inflamasi di sekitar radiks saraf (meskipun
inflamasi sebenarnya tidak pernah dapat dibuktikan di radiks saraf maupun
diskus).Jika gejala membaik dengan berbagai modalitas terapi di atas,
aktivitas dapat secara progresif ditingkatkan dan terapi dihentikan atau
kualitas diturunkan.Jika tidak ada perbaikan atau justru mengalami
perburukan sebaiknya dilakukan eksplorasi yang lebih jauh termasuk
pemeriksaan MRI dan dipertimbangkan dilakukan intervensi seperti
pemberian steroid epidural maupun terapi operatif.Tidak ada patokan
sampai berapa lama terapi non-operatif dilanjutkan sebelum tindakan
operatif.Defisit neurologis pada herniasi diskus daerah lumbal yang cukup
besar dilaporkan bisa terjadi perbaikan tanpa operasi.Mungkin hal ini juga
bisa terjadi pada herniasi diskus diservikal.
1.10 Proses Keperawatan

1.10.1 Pengkajian

1. Pola Pemeliharaan dan Persepsi Terhadap Kesehatan


Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup pasien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah pasien
melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, 1995).
2. Pola Nutrisi dan Metabolik
Pada pasien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi pasien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia.Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas pasien.
3. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feces pada pola eliminasi alvi.Sedangkan pada pola eliminasi
uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.Pada kedua
pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak (Doenges, 1999).
4. Pola Tidur dan Istirahat
Semua pasien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur pasien.Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur (Doenges, 1999).
5. Pola Aktivitas dan latihan
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan pasien menjadi berkurang dan kebutuhan pasien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas pasien terutama pekerjaan pasien. Karena ada beberapa
bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain (Ignatavicius, 1995).
6. Pola Hubungan dan Peran
Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena pasien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, 1995).
7. Pola Persepsi Diri
Dampak yang timbul pada pasien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, 1995).
8. Pola Perseptual
Pada pasien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, 1995).
9. Pola Seksual & Reproduksi
Dampak pada pasien fraktur yaitu, pasien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan
gerak serta rasa nyeri yang dialami pasien.Selain itu juga, perlu dikaji
status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
(Ignatavicius, 1995).
10. Pola Manajemen Koping Stress
Pada pasien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya.Mekanisme koping yang ditempuh pasien bisa tidak efektif
(Ignatavicius, 1995).
11. Pola Nilai dan Keyakinan
Untuk pasien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak pasien (Ignatavicius,
1995)

1.1.2 Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan


tulang punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem
muskuloskeletal.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk membersihkan sekret yang menumpuk.
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (desakan fragmen
cedera pada jaringan lunak) ditandai dengan pasien tampak meringis,
laporan secara verbal terasa nyeri, perubahan posisi untuk
menghindari nyeri.
4. Hipertermi berhubungan dengan respon inflamasi sistemik ditandai
dengan peningkatan suhu tubuh > 37,5° C, akral teraba hangat.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot
ditandai dengan pasien tidak mampu menggerakkan daerah yang
mengalami fraktur, pasien mengeluh nyeri saat menggeser bagian
yang fraktur.
6. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan
vaskularisasi ditandai dengan oedema ekstremitas, sianosis,
perubahan temperatur kulit.
7. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif aibat tindakan
pemasangan intubasi/trakeostomi
1.1.3 INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan hiprsekresi jalan nafas


yang ditandai oleh pasien tidak mampu batuk, sputum berlebih dan
terdapat suara tambahan ronchi .
STANDART LUARAN STANDART INTERVENSI
KEPERAWATAN INDONESIA KEPERAWATAN INDONESIA
(SLKI) (SIKI)
Setelah diberikan asuhan Manajemen ventilasi mekanik:
keperawatan selama ….x24 jam, a. Periksa indikasi ventilasi
masalah keperawatn teratasi, mekanik
dengn kriteria hasil: b. Monitor gejala peningkatan
Respon ventilasi mekanik pernafasan
(L.01005) c. Monitor kondisi yang
No. NOC SA ST meningkatkan konsumsi oksigen
1. Tingkat
1 4 d. Atur posisi kepala 45-60 derajat
kesadaran untuk mencegah aspirasi
2. Saturasi
3 5 e. Lakukan penghisapan lendir
oksigen
3 Suara nafas sesuai kebutuhan
2 5
tambahan f. Kolaborasi pemilihan mode
ventilator (misal kontrol volume
kontrol tekanan atau gabungan)
dan kolaborasi pemberian
analgesik sedafit sesuai
kebutuhan.
Daftar Pustaka
Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016).
Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi Bahasa Indonesia Edisi
Keenam. Singapore: Elsevier.

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). NANDA International INc. Diagnosis


Keperawatan : Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.

Hudak and Gallo. 2014. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.

Ignatavicius, Donna D. 2015. Medical Surgical Nursing : A Nursing Process


Approach, W.B. Saunder Company.

Long, Barbara C. 2016. Perawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.

Mansjoer, Arif. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Aesculapius.

Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing
Outcomes Classification (NOC) Pengukuran Outcomes Kesehatan Edisi
Bahasa Indonesia Edisi Keenam. Singapore: Elsevier.

Muttaqin, A. 2008.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Sistem


Muskuloskletal.Jakarta : EGC

Oswari, E. 2013. Bedah dan Perawatannya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka


Utama.

Price Sylvia, A. 2014.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta: EGC.

Reksoprodjo, Soelarto. 2015. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa


Aksara

Smeltzer & Bare. 2012. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner&Suddart. Jakarta:
EGC

Anda mungkin juga menyukai