FRAKTUR SERVIKAL
DI PUSKESMAS BANGSALSARI
Oleh :
IRA BADRIYA HIDAYATI
NIM. 20020043
1.1 Pengertian
Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang
servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi, atau
fraktur vertebra servikalis dan ditandai dengan kompresi pada medula spinalis
daerah servikal.Dislokasi servikal adalah lepasnya salah satu struktur dari
tulang servikal.Subluksasi servikal merupakan kondisi sebagian dari tulang
servikal lepas.Fraktur servikal adalah terputusnya hubungan dari badan tulang
vertebra servikalis (Muttaqin, 2011).
Anatomi Fisiologi
Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi
medula spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang
diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing
tulang dipisahkan oleh disitus intervertebralis. Vertebralis dikelompokkan
sebagai berikut:
1. Vertebrata servikalis
Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan
pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai
prosesus spinasus paling panjang. Berjumlah 7 buah.
1.2 Etiologi
1. Faktor Presipitasi dan Predisposisi Frakture Servical
a. Faktor Presipitasi
1) Kekerasan Langsung
Kekerasan secara langsung menyebabakan tulang patah pada titik
terjadinya kekerasan atau kekuatankekuatan yang tiba-tibadan
yang dapat berupa pukulan, penghancuran, penekukan, penarikan
berlebihan. Bila terkena kekuatan langsung tulang dapat patah
pada tempat yang terkena dan jaringan lunaknya pun juga rusak.
2) Kekerasan Tidak Langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabakan tulang patah di tempat
yang jauh dari tempat terjadinya kecelakaan atau kekerasan, dan
biasanya yang patah adalah bagian yang lemah jalur hantaman
vektor kekerasan.
3) Kekerasan Akibat Tarikan Otot
Patah tulang oleh karena tarikan otot yang jarang terjadinya.
b. Faktor Predisposisi
1) Faktor ekstrinsik adalah gaya dari luar yang bereaksi pada tulang
serta tergantung dari besarnya, waktu atau lamanya dan arah gaya
tersebut dapat menyebabkan patah tulang.
2) Faktor instrinsik adalah beberapa sifat penting dari tulang yang
menentukan daya tahan timbulnya fraktur, yaitu kapasitas absorbsi
dari sendi, daya elastisitas, daya terhadap kelelahan dan aktivitas
atau kepadatan, usia lanjut (Ivones, 2011).
Klasifikasi
a. Trauma hiperfleksi
1) Subluksasi anterior
Terjadi robekan pada sebagian ligament di posterior tulang leher;
ligament longitudinal anterior utuh. Termasuk lesi stabil. Tanda
penting pada subluksasi anterior adalah adanya angulasu ke
posterios (kifosis) local pada tempat kerusakan ligament. Tanda-
tanda lainnya: jarak yang melebar antara prosesus spinosus, dan
subluksasi sendi apofiseal.
2) Bilateral interfacetal dislocation
Terjadi robekan pada ligament longitudinal anterios dan kumpulan
ligament di posterior tulang leher. Lesi tidak stabil. Tampak
dislokasi anterior korpus vertebrae. Dislokasi total sendi apofiseal.
3) Flexion tear drop fracture dislocation
Tenaga fleksi murni ditambah komponen kkompresi menyebabkan
robekan pada ligament longitudinal anterior dan kumoulan
ligament posterior disertai fraktur avulse pada bagian antero-
inferior konspur vertebra. Lesi tidak stabil. Tampak tulang servikal
dalam fleksi: fragmen tulang berbentuk segitiga pada bagian
antero-inferior korpus vertebrae, pembengkakan jaringan lunak
pravertebral.
4) Wedge fracture
Vertebra terjept sehingga berbentuk baji. Ligament longitudinal
anterior dan kumoulan ligament posterior utuh sehingga lesi ini
bersifat stabil.
5) Clay shovelers fracture
Fleksi tulang leher dimana terdapat kontraksi ligament posterior
tulang leher mengakibatkan terjadinya fraktur oblik pada prosesus
spinosus; biasanya pada C4-C7 atau Th1.
a. Stabil
b. Tidak stabil
Stabilitas dalam hal trauma tulang servikal dimaksudkan tetap
utuhnya kkomponen ligament-skeletal pada saat terjadinya
pergeseran satu segmen tulang leher terhadap lainnya.
1.4 Patofisiologi
Penyebab tersering terjadi cidera tulang belakang adalah kecelakaan
mobil, kecelakaan motor, jatuh, cedera olahraga, dan luka akibat tembakan
atau pisau. Menurut mekanisme terjadinya cidera,cidera cervikal dibagi atas
fleksi, fleksi rotasi, ekstensi, kompresi aksial. Cidera servical atas adalah
fraktura atau dislokasi yang mengenai basis Occiput-C2. Cidera tulang
belakang cervical bawah termasuk fraktura dan dislokasi ruas tulang
belakangC3-C7. Ruang tulang belakang C5 adalah yang tersering mengalami
fraktur.
C1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas areus anterior yang tebal
dan arcus posterior yang tipis serta masa lateralis pada masing-masing
sisinya.tulang ini berartikulasi dengan kondilus occipitalis membentuk
articulo atlanto-occipitalis, tempat berlangsungnya gerakan mengangguk.
dibawah, tulang ini berartikulasi dengan C2, membentuk articulasio atlanto-
axialis, tempat berlangsungnya gerakan memutar kepala. Ketika cidera terjadi
fraktur tunggal atau multiple pada cincin C1 dan dislokasi atlanto-occipitalis
sehingga menyebabkan ketidakmampuan menggerakkan kepala dan kerusakan
pada batang otak. Cidera pada C1 dan C2 menyebabkan ventilasi spontan
tidak efektif.
Pada C3-C5 dapat terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat terjadi
hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori dan otot interkostal yang dapat
menyebabkan komplience paru menurun. Pada C4-C7 dapat terjadi kerusakan
tulang sehingga terjadi penjepitan medula spinalis oleh ligamentum flavum di
posterior dan kompresi osteosif /material diskus dari anterior yang bisa
menyebabkan nekrosis dan menstimulasi pelepasan mediator kimia yang
menyebabkan kerusakan myelin dan akson, sehingga terjadi gangguan
sensorik motorik. Lesi pada C5-C7 dapat mempengaruhi intercostal,
parasternal, scalenus, otot-otot abdominal, intak pada diafragma, otot
trapezius, dan sebagian pectoralis mayor.
Cidera pada tulang cervikal dapt menimbulkan lesi atau cidera pada
medullaspinalis yang dapat terjadi beberapa menit setelah adanya benturan
keras mengenai medulla spinalis. Saat ini,secara histologis medulla spinalis
masih normal. Dalam waktu 24-48 jam kemudia terjadi nekrosis fokal dan
inflamasi. Pada waktu cedera terjadi disrupsi mekanik akson dan neuron. Ini
disebut cedera neural primer. Disamping itu juga terjadi perubahan fisiologis
dan patologis progresif akibat cedera neural sekunder.
Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan atau trauma pada servical maka
akan terjadi kerusakan secara struktural yang mengakibatkan gangguan pada
saraf spinal dan pembuluh darah disekitarnya yang akan menghambat suplai
O2 ke medulla spinalis atau akan terjadi iskemik pada jaringan tersebut.
karena terjadi iskemik pada jaringan tersebut, dalam beberapa menit atau jam
kemudian akan ada pelepasan vasoaktif agent dan cellular anzim yang
menyebabkan kontriksi kapiler pada pusat substansi abu-abu medulla spinalis.
Ini merupakan permulaan dari cedera neural sekunder pada cedera medula
spinalis . selanjutnya adalah peningkatan level Ca pada intraseluler yang
mengakibatkan kerusakan pada endotel pembuluh darah yang dalam beberapa
jam kemudian dapat menimbulkan aneurisma dan ruptur pada pembuluh darah
di medulla spinalis. Peningkatan potasium pada ekstraseluler yang
mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada sel (conduction block). Hipoksia
akan merangsang pelepasan katekolamin sehingga terjadi perdarahan dan
nekrosis pada sel.
Ditingkat seluler, adanya kerusakan mitokondria akibat defisit suplai O2
dapat merangsang pelepasan superoksid (radikal bebas), disertai terjadinya
ketidakseimbangan elektrolit, dan pelepasan mediator inflamasi dapat
mengakibatkan terjadinya kematian sel (apoptosis) dengan manifestasi sel
mengkerut dan kromatin nuclear yang padat.
1.5 Pathway
(Terlampir)
1.6 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Mansjoer (2013), ada pun pemeriksaan penunjang trauma
servikal yaitu:
1. Sinar X spinal
Menentukan loksi dan jenis cedera tulang (fraktur, disloksi) untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
2. CT scan
Menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural.
3. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.
4. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
patologisnya tidak jelas atau di curigai adanya oklusi pada ruang
subarakhnoid medulla spinalis.
5. Fotorontgentorak
Memperlihatkan keadaan paru (contohnya: perubahan pada
diagfragma, anterlektasis).
6. GDA
Menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi
1.7 Komplikasi
Komplikasi awal
a. Syok
b. Sindrom emboli lemak
c. Sindrom kompertemen
Komplikasi lambat
a) Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan
Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak
seharusnya.
Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
b) Nekrosis avaskuler tulang.
c) Reaksi terhadap alat fiksasi interna
1.8 Diagnosa Banding
1. Dislokasi panggul
2. Fraktur Pelvis
3. Fraktur Spinal
4. Fraktur Vertebra
1.9 Penatalaksanaan
1. Pertolongan Pertama untuk Fraktur Servikal
Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur
servikalis. Sebuah fraktur servikal merupakan suatu keadaan darurat medis
yang membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait
cedera saraf tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan,
sehingga sangat penting untuk menjaga leher .
Jika ada kemungkinan patah tulang leher, leher pasien tidak boleh
digerakkan sampai tindakan medis diberikan dan X-ray dapat diambil.Itu
jalan terbaik untuk mengasumsikan adanya cedera leher bagi siapa saja
yang terkena benturan, jatuh atau tabrakan.
Gejala fraktur servikal termasuk parah dengan rasa sakit pada kepala,
nyeri yang menjalar ke bahu atau lengan,memar dan bengkak di bagian
belakang leher.
2. Penanganan Operasi
Goal dari penanganan operasi adalah: Reduksi mal aligment,
decompresi elemen neural dan restorasi spinal stability. Operasi anterior
dan posterior
Anterior approach, indikasi:
1) Ventral kompresi
2) Kerusakan anteriorcollum
3) Kemahiran neurosurgeon
Posterior approach, indikasi:
1) Dorsal kompresi pada strukturneural
2) Kerusakan posterior collum Keuntungan:
3) Dikenal banyakneurosurgeon
4) Lebih mudah
5) Medan operasi lebih luas dapat membuka beberapasegmen
6) Minimal morbility
3. Pembatasan aktivitas
Studi spesifik yang membandingkan keluaran dengan atau tanpa
pembatasan aktivitas belum ada.Jadi toleransi terhadap respon pengobatan
yang bersifat individual sebaiknya menjadi panduan bagi praktisi.Pada
tahap akut sebaiknya hindari pekerjaan yang mengharuskan gerak leher
berlebihan.Pemberian edukasi mengenai posisi leher yang benar sangatlah
membantu untuk menghindari iritasi radiks saraf lebih jauh. Seperti
contohnya : penggunaan telepon dengan posisi leher menekuk dapat
dikurangi dengan menggunakan headset, menghindari penggunaan
kacamata bifokal dengan ekstensi leher yang berlebihan, posisi tidur
yang salah. Saat menonton pertandingan pada lapangan terbuka,
maupun layar lebar sebaiknya menghindari tempat duduk yang
menyebabkan kepala menoleh/berotasi ke sisi lesi.
4. Penggunaan collarbrace
Ada banyak jenis kolar yang telah dipelajari untuk membatasi gerak
leher. Kolar kaku/ keras memberikan pembatasan gerak yang lebih banyak
dibandingkan kolar lunak (soft collars ), kecuali pada gerak fleksi dan
ekstensi. Kelebihan kolar lunak : memberikan kenyamanan yang lebih
pada pasien. Pada salah satu studi menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan
pasien untuk menggunakan kolar berkisar 68-72%.Penggunaan kolar
sebaiknya selama mungkin sepanjang hari. Setelah gejala membaik, kolar
dapat digunakan hanya pada keadaan khusus , seperti saat menyetir
kendaraan dan dapat tidak digunakan lagi bila gejala sudah menghilang.
Sangatlah sulit untuk menyatakan waktu yang tepat kolar tidak perlu
digunakan lagi, namun dengan berpatokan : hilangnya rasa nyeri,
hilangnya tanda spurling dan perbaikan defisit motorik dapat dijadikan
sebagai petunjuk.
5. Modalitas terapi lain
Termoterapi dapat digunakan untuk membantu menghilangkan nyeri.
Modalitas terapi ini dapat digunakan sebelum atau pada saat traksi servikal
untuk relaksasi otot. Kompres dingin dapat diberikan selama 15-30 menit,
1 sampai 4 kali sehari, atau kompres panas /pemanasan selama 30 menit, 2
sampai 3 kali sehari jika dengan kompres dingin/pendinginan tidak
efektif. Pilihan antara modalitas panas atau dingin sangatlah pragmatik
tergantung pada persepsi pasien terhadap pengurangannyeri.
Traksi leher merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan
meskipun efektifitasnya belum dibuktikan dan dapat menimbulkan
komplikasi sendi temporomandibular.Ada beberapa jenis traksi, namun
yang dapat dilakukan di rumah adalah door traction. Traksi dapat
dilakukan 3 kali sehari selama 15 menit , dan dapat dilakukan dengan
frekuensi yang lebih sedikit selama 4 sampai 6 minggu. Setelah keluhan
nyeri hilang pun traksi masih dapat dianjurkan.Traksi dikontraindikasikan
pada pasien dengan spondilosis berat dengan mielopati dan adanya
arthritis dengan subluksasi atlanto-aksial.Latihan yang menggerakan leher
maupun merangsang nyeri sebaiknya dihindari pada fase akut.Saat nyeri
hilang latihan penguatan otot leher isometrik lebih dianjurkan.
Penggunaan terapi farmakologik dapat membantu mengurangi rasa
nyeri dan mungkin mengurangi inflamasi di sekitar radiks saraf (meskipun
inflamasi sebenarnya tidak pernah dapat dibuktikan di radiks saraf maupun
diskus).Jika gejala membaik dengan berbagai modalitas terapi di atas,
aktivitas dapat secara progresif ditingkatkan dan terapi dihentikan atau
kualitas diturunkan.Jika tidak ada perbaikan atau justru mengalami
perburukan sebaiknya dilakukan eksplorasi yang lebih jauh termasuk
pemeriksaan MRI dan dipertimbangkan dilakukan intervensi seperti
pemberian steroid epidural maupun terapi operatif.Tidak ada patokan
sampai berapa lama terapi non-operatif dilanjutkan sebelum tindakan
operatif.Defisit neurologis pada herniasi diskus daerah lumbal yang cukup
besar dilaporkan bisa terjadi perbaikan tanpa operasi.Mungkin hal ini juga
bisa terjadi pada herniasi diskus diservikal.
1.10 Proses Keperawatan
1.10.1 Pengkajian
Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing
Outcomes Classification (NOC) Pengukuran Outcomes Kesehatan Edisi
Bahasa Indonesia Edisi Keenam. Singapore: Elsevier.
Smeltzer & Bare. 2012. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner&Suddart. Jakarta:
EGC