KEPERAWATAN KRITIS II
KELOMPOK 7 :
ZUBAIDAH (20151660108)
2018
KATA PENGANTAR
Terima kasih
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................5
1.3 Tujuan ..............................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi ..............................................................................................................7
2.2 Etiologi ..............................................................................................................7
2.3 Epidemiologi ……….........................................................................................8
2.4 Patofisiologi ......................................................................................................8
2.5 Manifestasi Klinis .............................................................................................9
2.6 Klasifikasi ………….......................................................................................10
2.7 Pemeriksaan Diagnostik …….………………………….................................11
2.8 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................................12
2.9 Penatalaksanaan ……………..........................................................................14
2.10 Komplikasi ………………………................................................................18
2.11 WOC ….........................................................................................................20
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian ……............................................................................................. 21
3.2 Analisa Data .................................................................................................. 24
3.3 Diagnosa Keperawatan ................................................................................. 27
3.4 Intervensi ...................................................................................................... 27
BAB IV TELAAH 5 JURNAL…………………………………………….… 33
Literature Riview ……………………………………………………………….39
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 41
i
BAB I
PENDAHULUAN
1
mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat
diterima oleh otot yang terserang. Apabila banyak syaraf yang terserang, di mana
salah satunya adalah syaraf sistem kekebalan, sehingga system kekebalan tubuh
kita pun akan kacau, dengan tidak diperintah dia akan mengeluarkan cairan sistem
kekebalan tubuh di tempat-tempat yang tidak diinginkan. Pengobatan akan
menyebabkan system kekebalan tubuh akan berhenti menyerang syaraf dan
bekerja sebagaimana mestinya dan gejala hilang dan bisa pulih sehat seperti
semula.
Setiap orang bisa terkena GBS tetapi pada umumya lebih banyak terjadi pada
orang tua. Orang berumur 50 tahun keatas merupakan golongan paling tinggi
risikonya untuk mengalami GBS (CDC, 2012). Namun, menurut ketua
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) dr. Darma Imran, Sp
S(K) mengatakan bahwa GBS dapat dialami semua usia mulai anak-anak sampai
orang tua, tapi puncaknya adalah pada pasien usia produktif ( Mikail, 2013).
Gejala awal antara lain adalah rasa seperti ditusuk-tusuk jarum di ujung jari
kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan
kaku mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa mengenggam
erat atau memutar sesuatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng dan lain-lain).
Gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu beberapa minggu, penderita
biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah menjelaskannya pada tim
2
dokter untuk meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang
pada saat diperiksa. Gejala tahap berikutnya pada saat mulai muncul kesulitan
berarti, misalnya : kaki sudah melangkah, lengan menjadi sakit lemah, dan
kemudian dokter menemukan syaraf refleks lengan telah hilang fungsinya
(Anonim, 2006).
Pasien penyakit GBS biasanya merasakan sakit yang akut, terutama pada
daerah tulang belakang dan lengan dan kaki. Namun ada juga pasien yang tidak
mengeluhkan rasa sakit yang berarti meskipun mereka mengalami kelumpuhan
parah. Rasa sakit muncul dari pembengkakan dari syaraf yang terserang, atau dari
otot yang sementara kehilangan suplai energi, atau dari posisi duduk atau tidur
pasien yang mengalami kesulitan untuk bergerak atau memutar tubuhnya ke posisi
nyaman. Untuk melawan rasa sakit dokter akan memberikan obat penghilang rasa
sakit dan perawat akan memberikan terapi-terapi untuk merelokasi bagian-bagian
tubuh yang terserang dengan terapi-terapi khusus. Rasa sakit dapat datang dan
pergi dan itu sangat menyiksa bagi penderita GBS.
Pasien biasanya akan melemah dalam waktu beberapa minggu, maka dari itu
perawatan intensif sangat diperlukan pada tahap-tahap saat GBS mulai terdeteksi.
Sesuai dengan tahap dan tingkat kelumpuhan pasien maka dokter akan
menentukan apa pasien memerlukan perawatan di ruang ICU atau tidak. Sekitar
25% pasien GBS akan mengalami berbagai kesulitan antara pada : sistem
pernafasan ditandai dengan sesak nafas bahkan henti nafas, penurunan
kemampuan menelan dan batuk. Pasien biasanya akan diberi bantuan alat
ventilator untuk membantu pernafasan dalam kondisi tersebut di atas.
3
Setelah beberapa waktu, kondisi mati rasa akan berangsur membaik. Pasien
harus tetap waspada karena hanya 80% pasien yang dapat sembuh total,
tergantung parahnya penyakit. Pasien bisa berjalan dalam waktu lagi setelah
perawatan dalam hitungan minggu atau tahun. Namun statistik membuktikan
bahwa rata-rata pasien akan membaik dalam waktu 3 sampai 6 bulan. Pasien
parah akan menjadi cacat pada bagian yang terserang paling parah, perlu terapi
yang cukup lama untuk mengembalikan fungsi-fungsi otot yang layuh akibat
GBS. Bisanya memakan waktu maksimal 4 tahun.
4
perangkat yang memaksakan resistif atau ambang beban, atau melalui
penyesuaian sensitivitas ventilator sehingga pasien hanya dapat melakukan aliran
inspirasi dengan menghasilkan tekanan intratoraks yang lebih negatif. Oleh karena
itu, penulis ulasan ini merekomendasikan uji coba lebih lanjut, dengan harapan
bahwa ulasan berikutnya dapat memberikan perkiraan yang lebih tepat dari efek
latihan otot inspirasi pada hasil klinis yang penting ini.
5
1.3.9 Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang dari Guillain Barre
Syndrome
1.3.10 Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan dari Guillain Barre
Syndrome
1.3.11 Untuk mengetahui apa saja komplikasi dari Guillain Barre Syndrome
1.3.12 Untuk mengetahui bagaimana web of caution (woc) dari Guillain Barre
Syndrome
6
BAB II
TINJAUAN TEORI
7
murni dengan keterlibatan motorik distal dominan dan kelemahan dengan awitan
cepat. Pada kelompok kedua, terdapat keterlibatan sistem sensorik yang lebih
besar. Saraf kranial lebih sering terkena, demikian juga otot proksimal.
2.3 Epidemiologi
2.4 Patofisiologi
8
Pada Sindrom Guillain-Barre, selubung mielin yang mengelilingi akson
hilang. Selubung mielin tersebut sangat rentan terhadap cedera karena banyak
agens dan kondisi, termasuk trauma fisik, hipoksemia, bahan kimia beracun,
insufisiensi vaskular, dan reaksi imunologis. Demielinasi adalah respons umum
dari jaringan saraf terhadap kondisi merugikan ini.
Teori lain tentang penyebab sindrom ini bahwa proses demielinasi dimulai
oleh serangan antibodi pada mielin di awal perjalanan penyakit. Demielinisasi
menyebabkan atrofi akson, yang menimbulkan perlambatan atau penghambatan
konduksi saraf.
Sindrom dapat terjadi dengan cepat dalam hitungan jam atau hari, atau
dapat membutuhkan waktu hingga 3-4 minggu untuk berkembang. Sebagian besar
pasien memperlihatkan kelemahan terbesar pada beberapa minggu pertama
penyakit. Pasien berada dalam kondisi terlemah nya pada minggu ketiga sakit.
Pada awalnya, paralisis flaksid dan asenden terjadi dengan cepat. Pasien
paling sering terkena dalam pola simetris. Pasien pertama-tama menyadari
9
kelemahan di ekstremitas bawah yang dapat dengan cepat meluas hingga
mencakup kelemahan dan sensasi abnormal di lengan. Refles tendon profunda
biasanya hilang, bahkan pada tahap terawal sekalipun. Saraf trunkus dan kranial
dapat terkena. Otot pernapasan dapat terkena, yang menyebabkan gangguan
pernapasan.
Gangguan autonom seperti retensi urine dan hipotensi ortostatik juga dapat
terjadi. Reflek tendon superfisial dan profunda dapat hilang. Beberapa asien
mengalami nyeri tekan dan nyeri pada penekanan dalam atau pergerakan beberapa
otot.
2.6 Klasifikasi
10
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jujuni dan titer antibody
gangliosid meningkat (seperti, GMI, GD1a, GD1b). penderita type ini
memiliki gejala klinis motoric dan secara klinis khas untuk type
demilinisasi dengan assending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan
dengan hasil study elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya
aksonopati motoric. Pada biopsy menunjukkan degenerasi “walleriar like)
tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami
penderita selama lebih kurang 1 tahun
3. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari Syndrome Guillai-Barre yang umumdan merupakan 5% dari
semua kasus Syndrome Guillai-Barre. Syndrome ini terdiri dari ataksia,
optalmoplegia dan arefleksia. Ateksia terlihat pada gaya jalan dan pada
batang tubuh dan jarang yang meliputu ekstremitas. Motoric biasanya
tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau
bulan.
4. Khronic Inflammatory Demyelinatife Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelinan motoric lebih
dominan dan kelemahan atot lebih berat pada bagian distal
5. Acute Pandysautonomia
Tanpa sensori dan motori merupakan type Syndrome Guillai-Barre yang
jarang terjadi. Disfungsi dari system simpatis dan parasimparis yang berat
mengakibatkan terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih, dan
saluran cerna anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan
abnormalitas dari pupil
11
Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibodi baik terhadap
sitomegalovirus atau virus Epstein-Barr. Telah ditunjukkan bahwa suatu
perubahan respon imun pada antigen saraf perifer dapat menunjang perkembangan
gangguan.
Uji fungsi pulmonal dapat dilakukan jika SGB terduga, sehingga dapat
ditetapkan nilai dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan penyakit. Penurunan
kapasitas fungsi pulmonal dapat menunjukkan kebutuhan akan ventilasi mekanik.
12
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka
panjang pada pasien Syndrome Guillai-Barre, akibat fase penyembuhan
yang lambat dan tidak sempurnna. Sekitar 10% penderita menunjukkan
kesembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang
lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denerfasi
EMG.
4. Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositisis polimorfonucler sedang dengan
penggeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cendeng rendah selam fase
awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositisis ;
eosinofilis jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau
normal, sementara anemia bukan lah salah satu gejala. Dapat dijumpai
respon hipersensitifitas antibody tipe lambat. Dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgA dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur
jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat kurang dari 10% kasus,
menunjukkan adanyanya hepatitis viral yang akut atau yang sedang
berlangsung : umumnya jarang kare virus hepatitis itu sendiri namun
akibat infeksi CMV ataupun EBV.
5. Elektokardigrafi (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiografi dapat menunjukkan adanya perubahan
gelombang E serta sinus tekikardia. Gelombang T akan mendatar atau
inverted pada leadlateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai
namun tidak sering.
6. Tes fungsi respirasi
Tes fungsi respirasi bertujuan untuk mengukur kapasitas vital paru akan
menunjukkan adanya insufisiensi respiratitik yang sednag berjalan
(inpending)
7. Pemerikasaaan patologi anatomi
Pada umumnya didaoati pola dan bentuk yang relative konsisten ; yakni
adanya infiltraf limfositik mononuclear perivaskuler serta dimyelinasi
multi vocal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan dimyelinasi uni
akan muncul bersama dengan dimyelinasi segmental dan degenerasi
13
wallerial dalam berbagai derajat searaf perifer dapate terkena pada semua
tinggkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motoric intramuskuler,
meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal
progsimal, dan saraf kranial. Infiltrate sel-sel radang (limfosit dan sel
mononuclear lainnya) juga didapati pada pembulu limfe, hati, limpa,
jantung, dan organ lainnya.
2.9 Penatalaksanaan
Karena memiliki risiko yang terkait dengan gagal napas, gejala bulbus,
dan disfungsi otonom, semua pasien, kecuali yang menderita Sindrom Guillain-
Barre ringan, harus di masukkan ke rumah sakit yang mempunyai ICU khusus.
Dengan demikian, pasien yang lansia, yang mengalami perburukan cepat atau
infeksi gastrointestinal sebelumnya, atau yang bergantung pada ventilator
cenderung mempunyai prognosis buruk dan perlu dipantau dengan ketat.
14
yang menderita bentuk motorik-dominan Sindrom Guillain-Barre mendapatka
plamsaferesis. Alat akses vaskular sentral berlumen ganda dan tim yang terlatih
khusus dibutuhkan untuk melakukan terapi plasmaferesis. Dokter dapat
memprogramkan plasmaferesis saat kondisi pasien memburuk sebagau upaya
untuk mengurangi beratnya penyakit pasien.
Saat ini, tidak ada data keefektifan yang mendukung bahwa penanganan
Sindrom Guillain-Barre dengan IVIG lebih baik dari plasmaferesis. Keadaan
individu pasien, seperti ketersediaan sumber untuk melakukan plasmaferesis dapat
menentukan terpai yang digunakan, IVIG adalah terapi yang menarik karena dapat
diberikan dengan mudah dilingkungan perawatan kritis.
15
2.9.2 Penatalaksanaan Keperawatan
Tujuan utama dapat merawat pasien dengan SGB adalah untuk memberikan
pemeliharaan fungsi sistem tubuh, dengan cepat mengatasi krisis krisis yang
mengancam jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan
dukungan psikologis untuk pasien dan keluarga
Jika sistem saraf otonom yang terkena, maka akan terjadi perubahan
drastis dalam tekanan darah (hipotensi dan hipertensi) serta frekuensi jantung
akan terjadi dan pasien harus dipantau dengan ketat. Pemantauan jantung akan
memungkinkan distrikmia teridentifikasi dan diobati dengan cepat. Ganguan
sistem saraf otonom dapat dipicu oleh Valsava manuver, batuk, suksioning, dan
perubahan posisi, sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan dengan sangat
hati-hati.
Plasmaferesis
16
Penatalaksanaan Nyeri
Nutrisi
Nutrisi yang adekuat harus dipertahankan. Jika pasien tidak mampu untuk
makan per oral, dapat dipasang selang per oral. Selang makan, bagaimana pun
dapat menyebabkan diare dan menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit, jadi
dibutuhkan pemantauan dengan cermat oleh dokter dan perawat.
Gangguan Tidur
Lingkungan Emosional
17
teratur tentang intervensi dan kemajuan dapat sangat berguna. Pasien harus
diperbolehkan untuk membuat keputusan sebanyak mungkin sepanjang perjalanan
pemulihan.
2.10 Komplikasi
Gagal Pernapasan
Komplikasi yang paling berat dari SGB dan miastenia gravis adalah gagal
napas. Melemahnya otot pernapasan membuat pasien dengan gangguan ini
beresiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang.
Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi. Mungkin terdapat komplikasi
yang sama tentang imobilitas seperti yang terdapat pada korban stroke.
Penyimpangan Kardiovaskuler
Mungkin terjadi gangguan sistem saraf otonom pada pasien SGB yang
dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang mengancam
kehidupan dalam tanda-tanda vital.
Koplikasi Plasmaferesis
18
pemberian plasma sitrat. Pengamatan dengan cermat dan pengkajian penting
untuk mencegah masalah masalah ini.
Komplikasi
Terdapat dua jenis krisis yang mungkin dialami pada pasien; krisis
miastenia dan krisis kolinergik. Krisis myasthenia adalah kondisi dimana gejala-
gejala miastenia memburu dan pasien membutuhkan obat-obatan
antikolinesterase. Krisis ini biasanya dicetuskan oleh stres, seperti infeksi, ledakan
emosi, kehamilan, penggunaan alkohol, atau demam, tetapi pada beberapa kasus
penyebabnya tidak dapat diidentifikasi segera. Krisis miastenia tidak dapat
dibedakan dari krisis kolinergik, di mana pasien telah menerima obat
antikolinergik terlalu banyak. Krisis kolinergik sering mencangkup mual, muntah,
pucat, diare, diaforesis, bradikardi dan salivasi.
Beberapa komplikasi yang dialami oleh pasien dengan SGB adalah serupa
dengan yang dialami oleh pasien dengan myasthenia gravis. Rujuk pada pasien
komplikasi dari Sindrom Guillain Barre untuk informasi yang lebih jelas.
19
2.12 WOC (Web Of Caution)
Faktor-faktor presdiposisi terjadi 2-3 minggu sebelum onset meliputi
adany ISPA, infeksi gastrointestinal , dan tindakan bedah saraf
Selaput mielin hilang akibat dari respons alergi, respons autoimun, hipoksia,
toksik kimia, dan insufisiensi vaskular
Proses dimielinasi
DX:
Gangguan frekuensi
KETIDAKEFEKTIFAN Dx: Resiko
Kelemahan fisik umum jantung dan ritme,
JALAN NAFAS cidera
paralisis otot wajah perubahan tekanan
COP menurun
DX: ANSIETAS
KEMATIAN
DX: HAMBATAN
MOBILITAS FISIK
Dx: GANGGUAN
PERFUSI
JARINGAN
20
BAB III
3.1 Pengkajian
3.1.1 RIWAYAT KESEHATAN
1) Riwayat kejadian/gejala
2) Riwayat penyakit ISPA, trauma, pembedahan, imunisasi
3) Riwayat hepatitis, influenza
a. AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Gejala:
Tanda:
Tanda:
Gejala:
21
Tanda:
1) Tampak takut dn bingung
d. ELIMINASI
Gejala:
Tanda:
Gejala:
Tanda:
Gejala:
1) Kebas kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan
selanjutnya terus naik
2) Perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi
suhu.
3) Perubahan ketajaman penglihatan
Tanda:
22
Gejala:
1) Nyeri tekan pada otot; seperti terbakar, sakit, nyeri (terutama pada
bahu, pelvis, pinggang, punggung dan bokong)
2) Hipersensitif terhadap sentuhan
h. PERNAPASAN
Gejala:
1) Kesulitan dalam bernapas, napas pendek
Tanda:
Tanda:
a) B1 (breathing)
Kesulitan bernafas atau sesak, pernapasan abdomen, upneu,
menurunnya kapasitas vital/paru, reflex batuk turun, resiko akumulasi
secret
b) B2 (bledding)
23
Hipotensi/hipertensi, takikardi/bradikardi, wajah kemerahan
c) B3 (brain)
Kesemutan, kemerahan-kelumpuhan, ekstermitas sensasi nyeri turun,
perubahan ketajaman penglihatan, gangguan keseimbangan tubuh,
afasis (kemampuan berbicara menurun), fluktuasi suhu badan.
d) B4 (bledder)
Menurunnya fungsi kandung kemih,retensi urin, hilangnya sensasi saat
berkemih
e) B5 (bowel)
Kesulitan menelan – mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic
usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal
f) B6 (bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang,
hemiplegi, paraplegi
3.2 Analisa Data
Do : Menyebabkan paralisis
atau kelemahan otot
- Pola nafas abnormal:
pernafasan
adanya suara
wheezing
- Pernafasan cuping
Ketidakefektifan Pola
hidung
Nafas
- Perubahan ekskursi
dada
- Penggunaan otot
bantu nafas: adanya
tarikan dinding dada
24
Ds : Perubahan fungsi serebral Risiko Cedera
- Pasien mengatakan
kakinya terasa berat
Penurunan tingkat
dan kesemutan
kesadaran
- Pasien mengatakan
kakinya terasa sulit
digerakkan
Risiko Cedera
Do :
- Gangguan fungsi
psikomotor: adanya
kelemahan dan
kesulitan
menggerakkan
anggota tubuh
bagian kaki
- Gerakan lambat:
adanya kelemahan
- Keterbatasan rentang
gerak: kesulitan Hambatan Mobilitas Fisik
menggerakkan
anggota tubuh
25
bagian kaki
- ketidaknyamanan
- Pasien mengatakan
kekhawatirannya
Koma
mengenai kematian
(ketakutan cepat
mati)
Ansietas Kematian
- Pasien mengatakan
sedih atas
penyakitnya
(kesedihan
mendalam)
Do :
26
tusuk-tusuk dan
seperti terbakar saat gangguan frekuensi
berjalan pada bagian jantung dan urine,
tungkai: nyeri perubahan tekanan
ekstermitas
Do :
penurunan curah jantung
- pasien tampak pucat:
warna kulit pucat
saat elevasi COP menurun
- Pasien berjalan
pincang: perubahan
fungsi motorik
27
dengan diharapkan pasien irama, kedalaman dan 2. Memonitor
kelemahan otot dapat bernafas secara kesulitan bernafas kepatenan jalan
pernafasan efektif dengan kriteria 3. Monitor pola nafas nafas
hasil : 4. Pasang sensor 3. Memonitor
pemantauan oksigen kepatenan jalan
- Tidak ada
non-invasif nafas
penggunaan alat
(misalnya, pasang 4. Pemenuhan
bantu nafas
alat pada jari, hidung, kebutuhan oksigen
- Tidak ada
dan dahi) dengan 5. Meningkatkan
pernafasan cuping
mengatur alarm pada ventilasi dan
hidung
pasien beresiko tinggi asupan oksigen
- Frekuensi
(misalnya, pasien 6. Sebagai penunjang
pernafasan
yang obesitas, untuk intervensi
normal
melaporkan pernah selanjutnya
- Irama pernafasan
mengalami apnea saat 7. Meningkatkan
regular
tidur, mempunyai kepatenan jalan
riwayat penyakit nafas
dengan terapi oksigen
menetap, usia
ekstrim) sesuai
dengan prosedur tetap
yang ada
5. Monitor hasil
pemeriksaan ventilasi
mekanik, catat
peningkatan tekanan
inspirasi dan
penurunan volume
tidal.
6. Catat perubahan pada
saturasi O2, volume
tidal akhir CO2 dan
28
perubahan nilai
analisa gas darah
dengan tepat
7. Berikan bantuan
terapi nafas jika
diperlukan.
Resiko cedera Setelah dilakukan 1. Terapkan atau 1. Mencegah
berhubungan asuhan keperawatan sediakan alat bantu terjadinya resiko
dengan selama 1 x 24 jam (tongkat, walker, atau cedera
penurunan diharapkan adanya kursi roda) untuk 2. Menentukan
tingkat peningkatan pada ambulasi, jika pasien kebutuhan pasien
kesadaran tingkat kesadaran tidak stabil terhadap keamanan
pasien dengan kriteria 2. Gunakan sabuk untuk dan menentukan
hasil : berjalan (gait belt) intervensi yang
untuk membantu tepat
- Cara berjalan
perpindahan dan 3. Membantu pasien
normal
ambulasi, sesuai dalam penglihatan
- Gerakan otot
kebutuhan sehingga risiko
normal
3. Bantu pasien untuk cedera dapat
- Gerakan sendi
perpindahan, sesuai diminimalisir
normal
kebutuhan 4. Membantu pasien
- Bergerak dengan
4. Sediakan tempat tidur memudahkan
mudah
berketinggian rendah, menjangkau tempat
yang sesuai tidur
5. Monitor penggunaan 5. Mencegah resiko
kruk pasien atau alat cedera
bantu berjalan lainnya 6. Membantu petugas
6. Konsultasikan pada kesehatan untuk
ahli terapi fisik mengurangi risiko
mengenai rencana cedera
ambulasi, sesuai
kebutuhan
29
Hambatan Setelah dilakukan 1. Latihan skrining 1. Dapat membantu
mobilitas fisik asuhan keperawatan kesehatan sebelum dalam
berhubungan selama 1 x 24 jam memulai latihan mempertahankan /
dengan diharapkan mobilisasi untuk meningkatkan
penurunan pasien membaik mengidentifikasi kekuatan dan
kekuatan otot dengan kriteria hasil : resiko dengan kelenturan otot dan
menggunakan skala kekakuan sendi.
- Tonus otot
kesiapan latihan fisik
meningkat
standart atau
- Kekuatan otot
melengkapi
meninggkat
pemeriksaan riwayat 2. Agar pasien
- Pergerakan sendi
kesehatan fisik. terhindar dari
membaik
2. Batu klien untuk kerusakan kembali
menyampaikan atau ekstermitas yang
mempraktekan pola luka.
gerakan yang
dianjurkan tanpa
beban terlebih dahulu
sampai gerakan yang 3. Penanganan yang
benar sudah tepat dapat
dipelajari. mempercepat
3. Kolaborasi dengan waktu
keluarga dan tenaga penyembuhan.
kesehatan yang lain
(missal, terapis
aktivitas, teapis fisik)
dalam merencanakan
, mengajarkan,
memonitoring 4. Untuk
program latihan otot). mempertahankan
4. Bantu untuk keseimbangan
menentukan tingkat
30
kenaikan kerja otot yang tepat.
(misal, jumlah
resistensi, dan jumlah
mengulangan serta
latihan)
Ansietas setelah dilakukan 1. Gunakan pendekatan 1. Agar klien lebih
kematian asuhan keperawatan yang tenang dan mempercayai
berhubungan selama 1 x 24 jam menyakinkan. perawat untuk
dengan merasa diharapkan pasien menangani masalah
dekat dengan dapat mrngurangi yang dihadapi
2. Bantu klien
kematian perasaan tidak nyaman
mengidentifikasi
atau kegelisahan yang 2. Agar pasien
situasi yang memicu
samar yang mengetahui sejak
kecemasan.
ditimbulkan oleh awal yang memicu
presepsi ancaman kecemasannya dan
dengan kriteria hasil : 3. Komunikasi keinginan membantu unuk
untuk mendiskusikan mrngurangi
- Dapat
kematian. kecemasan tersebut.
mengurangi
penyebab
4. Bantu pasien dan 3. Agar pasien dapat
kecemasan
keluarga untuk mengetahui tentang
- Dapat
bersama-sama kematian.
mengidentifikasi
mengenali makna 4. Agar pasien dan
pola koping yang
kematian. keluarga memahami
efektif
dan mengenali
- Mengurangi
5. Dukung upaya makna kematian.
perasaan tidak
keluarga untuk tetap
mampu Agar pasien lebih
berada disamping
membangun merasa diperhatikan.
tempat tidur pasien.
hubungan
interpersonal
Ketidakefektifan setelah dilakukan 1. Monitor TTV (suhu, 1. Mengupayakan
31
perfusi jaringan asuhan keperawatan TD, nadi, RR) TTV pasien tetap
perifer selama 1 x 24 jam stabil.
berhubungan diharapkan tidak ada 2. Mengetahui
dengan kurang ketidakefektifan 2. Monitor status kestabilan
pengetahuan perfusi jaringan pernapasan : nilai pernafasan pasien
tentang factor perifer pada pasien ABC, tingkat
pemberat bisa diatasi dengan oksimetri, denyut
kriteria hasil : nadi, kedalaman,
pola, dan laju
- Akral hangat 3. Mengetahui ICP
pernapsan
- Perfusi baik dan CPP klien.
- Tidak sianosis 4. Mengetahui ada
3. Monitor ICP dan CPP
tidaknya tanda-
tanda dari dehidrasi
klien
4. Monitor status hidrasi
(misalnya,
kelembapan
membrane mukosa,
kecukupn denyut nadi
dan tekanan darah
ortoastik) dengan
cepat
32
BAB IV
33
trakeostomi bervariasi dari cepat, yang lebih
dan 4 studi 2x sehari menurunkannya berhasil,
tersisa tidak sampai 5 hari dengan perbedaan pengurangan
menentukan per minggu. rata-rata 15 napas durasi massa
jenis / menit. inap yang
intubasi. potensial, dan
3. Durasi pelepasan penggunaan
ventilasi yang lebih
mekanik. Enam singkat dari
studi melaporkan dukungan
durasi pelepasan ventilasi non-
ventilasi mekanik invasif setelah
212 peserta. Rata- ekstubasi.
rata, kelompok Manfaat-
latihan otot manfaat ini
inspirasi memiliki dicapai dengan
waktu yang lebih aman ketika
pendek untuk pelatihan
pelepasan diterapkan pada
ventilator pasien yang
mekanik 1 – 7 tepat di bawah
hari, tetapi ini pengawasan
tidak signifikan konstan dan
secara statistik. dengan
pengamanan
4. Pelepasan lainnya di
ventilator tempat.
mekanik sukses.
Lima studi
melaporkan hasil
penyapihan dari
256 peserta.
34
Pelatihan otot
inspirasi secara
signifikan
meningkatkan
kemungkinan
sukses,
5. Durasi ventilasi
mekanik. Tujuh
studi melaporkan
durasi total
ventilasi mekanik
(termasuk periode
pra-pelatihan)
untuk 305 peserta.
Perbedaan rata-
rata adalah 2 – 3
hari lebih pendek
pada kelompok
latihan otot
inspirasi, tetapi ini
tidak signifikan
secara statistik
6. Reintubasi. Dua
studi melaporkan
jumlah reintubasi
di antara 117
peserta. Pelatihan
otot inspirasi tidak
berpengaruh
signifikan pada
35
reintubasi
keseluruhan
7. Trakeostomi.
Dua studi
melaporkan
jumlah
trakeostomi di
antara 133
peserta. Risiko
relatif menerima
trakeostomi tidak
terpengaruh
secara signifikan
oleh pelatihan otot
inspirasi
8. Lama tinggal.
Satu studi32
melaporkan
lamanya tinggal
40 peserta.
Pelatihan otot
inspirasi secara
signifikan
mempersingkat
atau
memperpendek
masa tinggal di
ICU.
9. Ventilasi non
36
invasif. Satu
penelitian
melaporkan
prevalensi
penggunaan
ventilasi non-
invasif setelah
ekstubasi di antara
77 peserta.
Kemungkinan
membutuhkan
ventilasi non-
invasif lebih
rendah pada
kelompok latihan
otot inspirasi,
tetapi ini tidak
signifikan secara
statistik. Namun,
jumlah waktu
yang dihabiskan
untuk ventilasi
non-invasif secara
signifikan lebih
pendek. Dalam
satu studi dari 28
peserta, 28 waktu
yang dihabiskan
untuk ventilasi
non-invasif adalah
rata-rata 16 jam
lebih pendek
37
dalam kelompok
latihan otot
inspirasi
38
LITERATURE REVIEW
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah proses peradangan akut dengan karateristik
kelemahan motorik dan paralisis yang disebabkan karena demyelin pada saraf perifer. Istilah
lain dari GBS adalah Akut Idiopatik Polyneuritis, Infeksius Polyneuritis, Landry Guillain
Barre Stohl Syndrome, Landry’s Paralisis. Sindrom penyakit ini berupa paralisis flasid
asenden simetris yang berkembang secara cepat, biasanya mengikuti infeksi virus.
Sindrom Guillain Barre dapat terjadi dengan cepat dalam hitungan jam atau hari, atau
dapat membutuhkan waktu hingga 3-4 minggu untuk berkembang. Sebagian besar pasien
memperlihatkan kelemahan terbesar pada beberapa minggu pertama penyakit. Pasien berada
dalam kondisi terlemahnya pada minggu ketiga sakit.
Pertama pasien menyadari kelemahan di ekstremitas bawah yang dapat dengan cepat
meluas hingga mencakup kelemahan dan sensasi abnormal di lengan. Refles tendon profunda
biasanya hilang, bahkan pada tahap terawal sekalipun. Saraf trunkus dan kranial dapat
terkena. Otot pernapasan dapat terkena, yang menyebabkan gangguan pernapasan. Maka dari
itu dukungan ventilasi mekanik sangat dibutuhkan. Tetapi pada pasien dengan diagnosa
Guillain Barre Sindrom akan membutuhkan dukungan ventilasi mekanik dalam jangka waktu
yang panjang. Sedangkan penggunaan ventilasi mekanik dalam jangka waktu 48-72 jam akan
beresiko VAP (Ventilatory Associated Pneumonia).
Tinjauan sistematis ini menunjukkan bahwa pelatihan otot inspirasi yang dilakukan
dengan posisi terlentang dengan ketinggian 45 deg up ini dapat memiliki manfaat bagi pasien
untuk pelepasan ventilasi mekanik di ICU. Manfaat ini termasuk pola peningkatan
pernafasan, kesuksesan pelepasan ventilasi mekanik, pengurangan potensi lama tinggal di
ICU, dan penggunaan singkat dukungan ventilasi non invasive setelah ekstubasi. Manfaat ini
dicapai dengan aman saat pelatihan dan dapat diterapkan pada pasien yang tepat di bawah
pengawasan konstan dan dengan pengaman lainnya di tempat.
40
DAFTAR PUSTAKA
41