Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH

KEPERAWATAN KRITIS II

“GUILLAIN BARRE SYNDROME”

DOSEN PENGAMPU: Nugroho Ari, S.Kep., Ns, M.Kep

KELOMPOK 7 :

RABIYATUL AWALIYAH (20151660085)

RIZKI AMALIYANTI A (20151660090)

DEWI MASLAHAH (20151660093)

ZUBAIDAH (20151660108)

PROGRAM STUDI REGULER S1 KEPERAWATAN 7B

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME


karena berkat rahmat dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas
makalah ini yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis
II sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Terima kasih kami sampaikan kepada dosen mata kuliah Keperawatan


Kritis II yang telah memberikan kesempatan bagi kami untuk mengerjakan tugas
makalah ini, sehingga kami menjadi lebih mengerti dan memahami tentang materi
“Guillain Barre Syndrome”. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar besarnya kepada seluruh pihak yang baik secara langsung maupun tidak
langsung telah membantu dalam upaya penyelesaian makalah ini baik yang
mendukung secara moril dan materil.

Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan, kekurangan dan


kekhilafan dalam makalah ini. Untuk itu saran dan kritik tetap kami harapkan
demi perbaikan makalah ini ke depan. Akhir kata kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami semua.

Terima kasih

Surabaya, 13 November 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................5
1.3 Tujuan ..............................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi ..............................................................................................................7
2.2 Etiologi ..............................................................................................................7
2.3 Epidemiologi ……….........................................................................................8
2.4 Patofisiologi ......................................................................................................8
2.5 Manifestasi Klinis .............................................................................................9
2.6 Klasifikasi ………….......................................................................................10
2.7 Pemeriksaan Diagnostik …….………………………….................................11
2.8 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................................12
2.9 Penatalaksanaan ……………..........................................................................14
2.10 Komplikasi ………………………................................................................18
2.11 WOC ….........................................................................................................20
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian ……............................................................................................. 21
3.2 Analisa Data .................................................................................................. 24
3.3 Diagnosa Keperawatan ................................................................................. 27
3.4 Intervensi ...................................................................................................... 27
BAB IV TELAAH 5 JURNAL…………………………………………….… 33
Literature Riview ……………………………………………………………….39
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 41

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain


Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan
seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan
apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi
yang menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh
kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit
menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon system otot terhadap
kerja sistem syaraf.

Angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,6-1,6 setiap 10.000-40.000


penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan berkembang tidak
nampak. Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan wanita. Data
RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan pada akhir tahun 2010-
2011 tercatat 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai varian jumlahnya
per bulan. Pada Tahun 2012 berbagai kasus di RSCM mengalami kenaikan sekitar
10% (Anonim, 2012 ; Mikail, 2012).

Keadaan tersebut di atas menunjukkan walaupun kasus penyakit GBS relatif


jarang ditemukan namun dalam beberapa tahun terakhir ternyata jumlah kasusnya
terus mengalami peningkatan. Meskipun bukan angka nasional negara Indonesia,
data RSCM tidak dapat dipisahkan dengan kasus yang terjadi di negara ini, karena
RSCM merupakan salah satu Rumah Sakit pusat rujukan nasional. Berdasarkan
fakta di atas perlu kita mengenal penyakit GBS secara lebih rinci.

Penyebab GBS awalnya tidak diketahui sehingga penyakit ini mempunyai


nama lain Acute idiophatic polineuritis atau polineuritis idiopatik akut. Idiopatik
berasal dari kata “idiot” atau “tidak tahu”. Bersama jalannya waktu diketahui
bahwa GBS dapat disebabkan oleh kerusakan sistem kekebalan. Kerusakan sistem
kekebalan tersebut menimbulkan pembengkakan syaraf peripheral, sehingga

1
mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat
diterima oleh otot yang terserang. Apabila banyak syaraf yang terserang, di mana
salah satunya adalah syaraf sistem kekebalan, sehingga system kekebalan tubuh
kita pun akan kacau, dengan tidak diperintah dia akan mengeluarkan cairan sistem
kekebalan tubuh di tempat-tempat yang tidak diinginkan. Pengobatan akan
menyebabkan system kekebalan tubuh akan berhenti menyerang syaraf dan
bekerja sebagaimana mestinya dan gejala hilang dan bisa pulih sehat seperti
semula.

Beberapa kasus menunjukkan orang mengalami gejala GBS setelah beberapa


hari atau minggu mengalami sakit dengan gejala diare atau gangguan pernapasan.
Infeksi bakteri Campylobacter jejeni bisa sebagai pemicu gejala GBS. Selain itu,
GBS bisa terjadi setelah orang tersebut mengalami flu atau infeksi virus lainnya
seperti Cytomegalovirus dan virus Epstein Barr. Walaupun sangat jarang terjadi,
penyakit GBS bisa dipicu vaksinasi atau pembedahan yang dilakukan beberapa
hari atau minggu sebelum serangan penyakit tersebut. Kasus penyakit GBS pada
tahun 1976 meningkat karena penggunaan vaksin flu babi. Baru pada tahun 2003
The Institute of Medicine (IOM) mengemukakan beberapa teori tentang
kemungkinan mengapa hai ini terjadi, tetapi belum dapat menjelaskan secara
pasti.

Setiap orang bisa terkena GBS tetapi pada umumya lebih banyak terjadi pada
orang tua. Orang berumur 50 tahun keatas merupakan golongan paling tinggi
risikonya untuk mengalami GBS (CDC, 2012). Namun, menurut ketua
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) dr. Darma Imran, Sp
S(K) mengatakan bahwa GBS dapat dialami semua usia mulai anak-anak sampai
orang tua, tapi puncaknya adalah pada pasien usia produktif ( Mikail, 2013).

Gejala awal antara lain adalah rasa seperti ditusuk-tusuk jarum di ujung jari
kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan
kaku mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa mengenggam
erat atau memutar sesuatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng dan lain-lain).
Gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu beberapa minggu, penderita
biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah menjelaskannya pada tim

2
dokter untuk meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang
pada saat diperiksa. Gejala tahap berikutnya pada saat mulai muncul kesulitan
berarti, misalnya : kaki sudah melangkah, lengan menjadi sakit lemah, dan
kemudian dokter menemukan syaraf refleks lengan telah hilang fungsinya
(Anonim, 2006).

Pasien penyakit GBS biasanya merasakan sakit yang akut, terutama pada
daerah tulang belakang dan lengan dan kaki. Namun ada juga pasien yang tidak
mengeluhkan rasa sakit yang berarti meskipun mereka mengalami kelumpuhan
parah. Rasa sakit muncul dari pembengkakan dari syaraf yang terserang, atau dari
otot yang sementara kehilangan suplai energi, atau dari posisi duduk atau tidur
pasien yang mengalami kesulitan untuk bergerak atau memutar tubuhnya ke posisi
nyaman. Untuk melawan rasa sakit dokter akan memberikan obat penghilang rasa
sakit dan perawat akan memberikan terapi-terapi untuk merelokasi bagian-bagian
tubuh yang terserang dengan terapi-terapi khusus. Rasa sakit dapat datang dan
pergi dan itu sangat menyiksa bagi penderita GBS.

Pasien biasanya akan melemah dalam waktu beberapa minggu, maka dari itu
perawatan intensif sangat diperlukan pada tahap-tahap saat GBS mulai terdeteksi.
Sesuai dengan tahap dan tingkat kelumpuhan pasien maka dokter akan
menentukan apa pasien memerlukan perawatan di ruang ICU atau tidak. Sekitar
25% pasien GBS akan mengalami berbagai kesulitan antara pada : sistem
pernafasan ditandai dengan sesak nafas bahkan henti nafas, penurunan
kemampuan menelan dan batuk. Pasien biasanya akan diberi bantuan alat
ventilator untuk membantu pernafasan dalam kondisi tersebut di atas.

Penyakit kritis yang membutuhkan manajemen di unit perawatan intensif


(ICU) adalah umum, dengan antara 221 dan 595 penerimaan per 100.000
penduduk di negara maju di Eropa, Amerika Utara dan Australia. Pasien sakit
kritis yang menjalani ventilasi mekanis berkepanjangan umumnya memperoleh
kelemahan sementara di ICU. Kelemahan yang didapat ini biasanya polineuropati
campuran dan miopati yang ditandai dengan kelemahan simetris dan
deconditioning dari otot-otot proksimal anggota badan dan otot-otot pernafasan.

3
Setelah beberapa waktu, kondisi mati rasa akan berangsur membaik. Pasien
harus tetap waspada karena hanya 80% pasien yang dapat sembuh total,
tergantung parahnya penyakit. Pasien bisa berjalan dalam waktu lagi setelah
perawatan dalam hitungan minggu atau tahun. Namun statistik membuktikan
bahwa rata-rata pasien akan membaik dalam waktu 3 sampai 6 bulan. Pasien
parah akan menjadi cacat pada bagian yang terserang paling parah, perlu terapi
yang cukup lama untuk mengembalikan fungsi-fungsi otot yang layuh akibat
GBS. Bisanya memakan waktu maksimal 4 tahun.

Pengobatan GBS adalah dengan pemberian imunoglobulin secara intravena


dan plasmapharesis atau pengambilan antibodi yang merusak sistem saraf tepi
dengan jalan mengganti plasma darah. Selain terapi pokok tersebut juga telah
dijelaskan di atas tentang pemberian fisioterapi dan perawatan dengan terapi
khusus serta pemberian obat untuk mengurangi rasa sakit. Salah satu contoh
fisioterapi yang dilakukan adalah pelatihan otot inspirasi memfasilitasi
penyapihan dari ventilasi mekanik. Seorang contributor, kunci untuk melemahnya
dan deconditioning otot pernafasan pasien sementara di ICU adalah penggantian
atau dukungan pernafasan spontan bernafas dengan ventilasi mekanis. Diafragma
misalnya, merespon ventilasi mekanis dengan atrofi yang cepat dan perubahan
panjang myofibre.

Kelemahan otot pernafasan dan deconditioning merupakan factor risiko untuk


kesulitan di penyapihan dari ventilasi mekanik. Selain memperpanjang lama tingal
di ICU, kesulitan berhubungan dengan peningkatan resiko melemahnya otot
pernafasan lanjut, infeksi nosocomial, trauma jalan nafas, dan kematian. Diantara
mereka yang di buang, disfungsi otot inspirasi adalah factor prognosis kunci untuk
diterima kembali ke ICU. Namun, mengurangi kekuatan otot inspirasi dan daya
tahan telah diamati pada pasien yang disapih, menunjukkan bahwa kekuatan otot
pernafasan dan daya tahan hanya mungkin perlu di tingkatkan untuk batas tertentu
untuk mengizinkan penyapihan.

Pelatihan otot inspirasi berlaku beban untuk otot-otot inspirasi aksesori


diafragma untuk meningkatkan kekuatan dan daya tahan mereka. Uji coba
pelatihan otot inspirasi di ICU telah diterapkan biasanya beban ini melalui

4
perangkat yang memaksakan resistif atau ambang beban, atau melalui
penyesuaian sensitivitas ventilator sehingga pasien hanya dapat melakukan aliran
inspirasi dengan menghasilkan tekanan intratoraks yang lebih negatif. Oleh karena
itu, penulis ulasan ini merekomendasikan uji coba lebih lanjut, dengan harapan
bahwa ulasan berikutnya dapat memberikan perkiraan yang lebih tepat dari efek
latihan otot inspirasi pada hasil klinis yang penting ini.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa definisi dari Guillain Barre Syndrome ?
1.2.2 Apa saja etiologi dari Guillain Barre Syndrome ?
1.2.3 Bagaimana epidemiologi dari Guillain Barre Syndrome ?
1.2.4 Bagaimana patofisiologi dari Guillain Barre Syndrome ?
1.2.5 Apa saja manifestasi klinis dari Guillain Barre Syndrome ?
1.2.6 Apa saja klasifikasi dari Guillain Barre Syndrome ?
1.2.7 Apa saja pemeriksaan diagnostik dari Guillain Barre Syndrome?
1.2.8 Bagaimana pemeriksaan fisik dari Guillain Barre Syndrome ?
1.2.9 Apa saja pemeriksaan penunjang dari Guillain Barre Syndrome ?
1.2.10 Bagaimana penatalaksanaan dari Guillain Barre Syndrome ?
1.2.11 Apa saja komplikasi dari Guillain Barre Syndrome ?
1.2.12 Bagaimana web of caution (woc) dari Guillain Barre Syndrome ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari Guillain Barre Syndrome
1.3.2 Untuk mengetahui apa saja etiologi dari Guillain Barre Syndrome
1.3.3 Untuk mengetahui bagaimana epidemiologi dari Guillain Barre Syndrome
1.3.4 Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari Guillain Barre Syndrome
1.3.5 Untuk mengetahui apa saja manifestasi klinis dari Guillain Barre
Syndrome
1.3.6 Untuk mengetahui apa saja klasifikasi dari Guillain Barre Syndrome
1.3.7 Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan diagnostik dari Guillain Barre
Syndrome
1.3.8 Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan fisik dari Guillain Barre
Syndrome

5
1.3.9 Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang dari Guillain Barre
Syndrome
1.3.10 Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan dari Guillain Barre
Syndrome
1.3.11 Untuk mengetahui apa saja komplikasi dari Guillain Barre Syndrome
1.3.12 Untuk mengetahui bagaimana web of caution (woc) dari Guillain Barre
Syndrome

6
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Guillain Barre Syndrome

Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah proses peradangan akut dengan


karateristik kelemahan motorik dan paralisis yang disebabkan karena demyelin
pada saraf perifer. Istilah lain dari GBS adalah Akut Idiopatik Polyneuritis,
Infeksius Polyneuritis, Landry Guillain Barre Stohl Syndrome, Landry’s Paralisis.
Sindrom penyakit ini berupa paralisis flasid asenden simetris yang berkembang
secara cepat, biasanya mengikuti infeksi virus. Pada kondisi ini peran perawat
adalah memberikan perawatan, proses rehabilitasi, mencegah komplikasi,
memenuhi kebutuhan sehari-hari dan support emosional. (Tarwoto, 2013)

Guillain Barre Syndrome merupakan sindrom klinis akut dengan


karateristik adanya neuropati asenden yang terjadi antara 1 sampai 4 minggu
setelah infeksi. Guillain Barre Syndrome adalah suatu sindroma klinis yang
ditandai adanya paralisis plasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranial,
klinis yang ditujukan oleh onset akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf
perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenerasi selaput
mielin dari saraf perifer dan kranial. (Price, 1995;Jarpadi,2002)

2.2 Etiologi Guillain Barre Syndrome

Etiologi Sindrom Guillain-Barre belum jelas, namun respons autoimun


diduga kuat sebagai penyebabnya. Kejadian yang sering kali mendahului atau
memicu sindrom ini adalah infeksi. Kadangkala, vaksinasi diketahui memicu
Sindrom Guillain-Barre.

Sekitar 50% orang yang menderita Sindrom Guillain-Barre mengalami


penyakit demam ringan 2 sampai 5 minggu sebelum awitan gejala. Infeksi demam
biasanya terjadi di pernapasan atau pencernaan. Minat yang signifikan muncul
terhadap infeksi tersebut dan pembentukan autoantibodi. Beberapa studi
menunjukkan hubungan antara temuan klinis dan infeksi sitomegalovirus. Pada
kelompok pertama, pasien cenderung mengalami Sindrom Guillain-Barre motorik

7
murni dengan keterlibatan motorik distal dominan dan kelemahan dengan awitan
cepat. Pada kelompok kedua, terdapat keterlibatan sistem sensorik yang lebih
besar. Saraf kranial lebih sering terkena, demikian juga otot proksimal.

Sekitar 25% pasien yang menderita panyakit ini mempunyai antibodi


terhadap sitomegalovirus atau virus Epstein-Barr. Perubahan respons imun
terhadap antigen saraf perifer dianggap berperan dalam timbulnya gangguan ini.

2.3 Epidemiologi

Syndrome Guillain-Barre terdapat diseluruh dunia pada setiap musim


sehingga bersifat mirip dengan penyakit endemic dan menyerang laki-laki
maupun perempuan dalam semua kelompok usia. Insidensinya sekitar 1 hingga 2
kasus per100.000 orang/tahun atau 0,001% hingga 0,002% dari populasi. Di
Amerika serika, insiden terjadinya Syndrome Guillai-Barre berkisar pada anggka
0,6 - 1,7 per100.000 dengan distribusi usia berkisar antara 15 tahun – 35 tahun
dan 50 tahun – 75 tahun, sedangkan di Cina distribusi usia antara 2 tahun – 12
tahun.

Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi Syndrome Guillai-


Barre belum banyak diteliti. Pada penelitian Chandra di sebutkan bahwa indikasi
terbanyak penderita Syndrome Guillai-Barre di Indonesi adalah kelompok usia
dibawah 35 tahun dengan jumlah penderita laki-laki dan perempuan hamper sama.
Insiden terjadinya Syndrome Guillai-Barre tertinggi di indonesi didapatkan pada
bulan april hingga mei dimana terjadi pergangtian dari musim hujan ke musim
kemarau (musim pancaroba).

Angka kematian rata-rata pada Syndrome Guillai-Barre adalah 2% - 6%


yang secara umum disebabkan akibat dari komplikasi ventilasi, henti jantung,
emboli paru, sepsis, bronco spasme, dan pneumothoraks. Lebih dari 75%
penderita mengalami perbaikan sempurna atau hamper sempurna tanpa defisit
neurologi atau hanya kelelahan dan kelemahan distal yang minimal, sedangkan
15% penderita lainnya berakhir dengan gejala sisa deficit neurologi yang dapat
berupa bantuan ventilasi akibat kelemahan distal yang berat.

2.4 Patofisiologi

8
Pada Sindrom Guillain-Barre, selubung mielin yang mengelilingi akson
hilang. Selubung mielin tersebut sangat rentan terhadap cedera karena banyak
agens dan kondisi, termasuk trauma fisik, hipoksemia, bahan kimia beracun,
insufisiensi vaskular, dan reaksi imunologis. Demielinasi adalah respons umum
dari jaringan saraf terhadap kondisi merugikan ini.

Akson yang bermielin mengantarkan impils saraf lebih cepat daripada


akson yang tidak bermielin. Di sepanjang rangkaian serabut bermielin terdapat
interupsi di selubung yang disebut nodus Ranvier, tempat terjadinya kontak
langsung antar membran sel akson dan cairan ekstraselular. Membran ini sangat
permeabel pada nodus ini, yang menimbulkan konduksi yang sangat baik.
Perpindahan ion ke dalam dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat hanya di
nodus Ranver , oleh karena itu, impuls saraf di sepanjang serabut bermielin dapat
melompat dari nodus yang lain (disebut konduksi saltatori) dengan cepat.
Hilangnya selubung mielin pada Sindrom Guillain-Barre menyebabkan konduksi
saltatori tidak dapat dilakukan dan transmisi impuls saraf dibatalkan.

Teori saat ini mengenai proses penyakit Sindrom Guillain-Barre


menyebutkan bahwa mekanisme sel-T limfosit primer adalah penyebab inflamasi.
Sel bermigrasi melalui dinding pembuluh menuju saraf perifer. Hasilnya adalah
edema dan inflamasi perivaskular. Makrofag kemudian menghancurkan mielin.

Teori lain tentang penyebab sindrom ini bahwa proses demielinasi dimulai
oleh serangan antibodi pada mielin di awal perjalanan penyakit. Demielinisasi
menyebabkan atrofi akson, yang menimbulkan perlambatan atau penghambatan
konduksi saraf.

2.5 Manifestasi Klinis

Sindrom dapat terjadi dengan cepat dalam hitungan jam atau hari, atau
dapat membutuhkan waktu hingga 3-4 minggu untuk berkembang. Sebagian besar
pasien memperlihatkan kelemahan terbesar pada beberapa minggu pertama
penyakit. Pasien berada dalam kondisi terlemah nya pada minggu ketiga sakit.

Pada awalnya, paralisis flaksid dan asenden terjadi dengan cepat. Pasien
paling sering terkena dalam pola simetris. Pasien pertama-tama menyadari

9
kelemahan di ekstremitas bawah yang dapat dengan cepat meluas hingga
mencakup kelemahan dan sensasi abnormal di lengan. Refles tendon profunda
biasanya hilang, bahkan pada tahap terawal sekalipun. Saraf trunkus dan kranial
dapat terkena. Otot pernapasan dapat terkena, yang menyebabkan gangguan
pernapasan.

Gangguan autonom seperti retensi urine dan hipotensi ortostatik juga dapat
terjadi. Reflek tendon superfisial dan profunda dapat hilang. Beberapa asien
mengalami nyeri tekan dan nyeri pada penekanan dalam atau pergerakan beberapa
otot.

Gejala sensorik parestesia, termasuk mati rasa dan kesemutan, dapat


terjadi. Banyak pasien mengeluh nyeri . sindrom ini memiliki sifat nyeri dan
sering kali dibandingkan dengan rasa otot yang bekerja terlalu berlebihan . jika
saraf/kranial terkena, saraf kranial VII, nervus fasialis, sering kali terkena.
Sindrom Guillain-Barre tidak memengaruhi tingkat kesadaran, fungsi pupil, atau
fungsi serebral.

Gejala dapat memperburuk selama beberapa minggu. Tingkat paralisis


dapat berhenti pada sewaktu-waktu. Fungsi motorik kembali dengan urutan
desenden. Demielinasi terjadi dengan cepat, namun laju remielinasi sekitar 1-2
mm per hari.

2.6 Klasifikasi

Beberapa varian Syndrome Guillai-Barre dapat diklasifikasikan menjadi 5 kriteria


yang berbeda, yaitu:

1. Acute Motor-Sensory, Axomal Neuropathy (AMSAN)


Sering muncul cepat dan mengalamiparalisis yang berat dengan perbaikan
yang lambat dan buruk. Sepertin type AMAN yang berhubungan dengan
infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi
akson dari serabut saraf sensori dan motoric yang berat dengan sedikit
demielinisasi.
2. Acute Motor-Axomal Neuropati (AMAN)

10
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jujuni dan titer antibody
gangliosid meningkat (seperti, GMI, GD1a, GD1b). penderita type ini
memiliki gejala klinis motoric dan secara klinis khas untuk type
demilinisasi dengan assending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan
dengan hasil study elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya
aksonopati motoric. Pada biopsy menunjukkan degenerasi “walleriar like)
tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami
penderita selama lebih kurang 1 tahun
3. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari Syndrome Guillai-Barre yang umumdan merupakan 5% dari
semua kasus Syndrome Guillai-Barre. Syndrome ini terdiri dari ataksia,
optalmoplegia dan arefleksia. Ateksia terlihat pada gaya jalan dan pada
batang tubuh dan jarang yang meliputu ekstremitas. Motoric biasanya
tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau
bulan.
4. Khronic Inflammatory Demyelinatife Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelinan motoric lebih
dominan dan kelemahan atot lebih berat pada bagian distal
5. Acute Pandysautonomia
Tanpa sensori dan motori merupakan type Syndrome Guillai-Barre yang
jarang terjadi. Disfungsi dari system simpatis dan parasimparis yang berat
mengakibatkan terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih, dan
saluran cerna anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan
abnormalitas dari pupil

2.7 Pemeriksaan Diagnostik

Diagnostik GBS sangat tergantung pada riwayat penyakit dan


perkembangan gejala-gejala klinik. Tidak ada 1 pemeriksaan pun yang dapat
memastikan SGB, pemeriksaan tersebut hanya menyingkirkan gangguan. Fungsi
lumbal dapat menunjukkan protein normal pada awalnya, dengan kenaikan pada
minggu ke-4 sampai ke-6. Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls
sepanjang serabut saraf, pada pasien SGB kecepatan konduksi akan menurun.

11
Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibodi baik terhadap
sitomegalovirus atau virus Epstein-Barr. Telah ditunjukkan bahwa suatu
perubahan respon imun pada antigen saraf perifer dapat menunjang perkembangan
gangguan.

Uji fungsi pulmonal dapat dilakukan jika SGB terduga, sehingga dapat
ditetapkan nilai dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan penyakit. Penurunan
kapasitas fungsi pulmonal dapat menunjukkan kebutuhan akan ventilasi mekanik.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantuk penegakkan


diagnosis dari Syndrome Guillai-Barre, beberapa pemeriksaan penunjang tersebut
terdiri dari:

1. Cairan serebrospinal (CSS) hasil pemeriksaan cairan serebrospinal yang


paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yaknno
meninggkatnya jumlah protein (100-1000mg/dL) tanpa disertai adanya
pleositosis CSS normal, setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik,
bahkan lebih lanjut disaat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS
tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya 4 – 6 minggu setlah
onsep. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dan
CSS. Hitung jenis umumnya dibawah 10 leokosit mononuclear/mm.
2. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elekromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari Syndrome Guillai-Barre
terjadi akibat gemyelinasi saraf, antar lain prolongasi masa laten motoric
distal (menandai blok konduksi distral) dan prolongasi atau absen nya
respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok
hantar saraf motoric, serat berkunganya KHS. Pada 90% kasus GBS yang
telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.
3. EMG
Pada pemeriksaan EMG dapat menunjukkan berkurangnya rekruitmen
motor unit, selain itu didapatkan pula degenerasi akson dengan potensial
fibrilisasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP
dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya akson ini telah terbukti

12
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka
panjang pada pasien Syndrome Guillai-Barre, akibat fase penyembuhan
yang lambat dan tidak sempurnna. Sekitar 10% penderita menunjukkan
kesembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang
lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denerfasi
EMG.
4. Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositisis polimorfonucler sedang dengan
penggeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cendeng rendah selam fase
awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositisis ;
eosinofilis jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau
normal, sementara anemia bukan lah salah satu gejala. Dapat dijumpai
respon hipersensitifitas antibody tipe lambat. Dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgA dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur
jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat kurang dari 10% kasus,
menunjukkan adanyanya hepatitis viral yang akut atau yang sedang
berlangsung : umumnya jarang kare virus hepatitis itu sendiri namun
akibat infeksi CMV ataupun EBV.
5. Elektokardigrafi (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiografi dapat menunjukkan adanya perubahan
gelombang E serta sinus tekikardia. Gelombang T akan mendatar atau
inverted pada leadlateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai
namun tidak sering.
6. Tes fungsi respirasi
Tes fungsi respirasi bertujuan untuk mengukur kapasitas vital paru akan
menunjukkan adanya insufisiensi respiratitik yang sednag berjalan
(inpending)
7. Pemerikasaaan patologi anatomi
Pada umumnya didaoati pola dan bentuk yang relative konsisten ; yakni
adanya infiltraf limfositik mononuclear perivaskuler serta dimyelinasi
multi vocal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan dimyelinasi uni
akan muncul bersama dengan dimyelinasi segmental dan degenerasi

13
wallerial dalam berbagai derajat searaf perifer dapate terkena pada semua
tinggkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motoric intramuskuler,
meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal
progsimal, dan saraf kranial. Infiltrate sel-sel radang (limfosit dan sel
mononuclear lainnya) juga didapati pada pembulu limfe, hati, limpa,
jantung, dan organ lainnya.

2.9 Penatalaksanaan

2.9.1 Penatalaksanaan Klinis

Karena memiliki risiko yang terkait dengan gagal napas, gejala bulbus,
dan disfungsi otonom, semua pasien, kecuali yang menderita Sindrom Guillain-
Barre ringan, harus di masukkan ke rumah sakit yang mempunyai ICU khusus.
Dengan demikian, pasien yang lansia, yang mengalami perburukan cepat atau
infeksi gastrointestinal sebelumnya, atau yang bergantung pada ventilator
cenderung mempunyai prognosis buruk dan perlu dipantau dengan ketat.

Strategi tertentu dapat mengurangi keparahan penyakit dan mempercepat


pemulihan. Tanda klinis yang berguna untuk menentukan gangguan pernapasan
adalah kekuatan otot fleksor leher. Ketika kepala tidak dapat diangkat melawan
gravitasi, nervus frenikus juga terkena, yang menyebabkan paralisis diafragma
dan penurunan kapasitas vital kuat (forced vital capacity, FVC), jumlah udara
yang dapat dikeluarkan secara paksa oleh pasien setelah inhalasi maksimal. Pda
keadaan ini, gangguan jalan napas tidak dapat berhasil diatasi tanpa intubasi.

Selain itu, tindakan pencegahan perlu dilakukan se hingga trombosis vena


profunda (deep venous thrombosis, DVT) dan embolisme paru yang
diakibatkannya tidak terjadi. Heparin 5000 unit per subkutan dapat diberikan
bersamaan dengan stoking embolisme dan alat kompresi berangkai. Fluktuasi
sistem saraf autonom perlu dipantau untuk mengetahui perubahan tekanan darah
dan aritmia jantung.

Terapi pertama yang terbukti bermanfaat untuk pasien yang menderita


Sindrom Guillain-Barre adalah plasmaferesis. Prosedur ini secara mekanis
menghilangkan faktor humoral. Anjuran yang digunakan saat ini adalah pasien

14
yang menderita bentuk motorik-dominan Sindrom Guillain-Barre mendapatka
plamsaferesis. Alat akses vaskular sentral berlumen ganda dan tim yang terlatih
khusus dibutuhkan untuk melakukan terapi plasmaferesis. Dokter dapat
memprogramkan plasmaferesis saat kondisi pasien memburuk sebagau upaya
untuk mengurangi beratnya penyakit pasien.

Imunoglobulin intravena (intravenous immunpglobulin, IVIG) juga


bermanfaat dalam menangani Sindrom Guillain-Barre. IVIG adalah produk adarah
yang berisi kumpulan plasma dari banyak orang. Komponen utamanya adalah
imunoglobulin G, dengan sejumlah kecil imunoglobulin A. Penelitian awal
menunjukkan menunjukkan bahwa imunoglobulin mempunyai efek khusus pada
su kelompok tertentu, seperti pasien yang menderita infeksi C.

Imunologi dapat diinfuskan dengan mudah, bahkan dilingkungan rumah,


tanpa peralatan yang mahal. Dosis optimal dan frekuensi pemberiannya
disesuaikan dengan kondisi individu. Imunoglobulin yang berikatan dengan
reseptor di sel T atau reseptor di saraf, hanya menginduksi perbaikan temporer
karena adanya pergantian sel T atau hilangnya antibodi dari reseptor. Pengobatan
harian dengan IVIG dapat membantu pada Sindrom Guillain-Barre akut saat
kondidi pasien memburuk dengan cepat.

Ahli saraf yang menggunakan IVIG untuk Sindrom Guillain-Barre


familier dengan efek sampingnya, yang mencakup demam derajat rendah,
menggigil, mialgia, diaforesis, kelebihan cairan, hipertensi, mual muntah, ruam,
sakit kepala, meningitis aseptik, dan neutropenia. Efek merugikan yang paling
serius adalah nekrosis tubukus akut (acute tubular becrosis, ATN), yang terjadi
jika pasien juga menderita penyakit penyerta yang mengganggu filtrasi
glomerulus ginjal.

Saat ini, tidak ada data keefektifan yang mendukung bahwa penanganan
Sindrom Guillain-Barre dengan IVIG lebih baik dari plasmaferesis. Keadaan
individu pasien, seperti ketersediaan sumber untuk melakukan plasmaferesis dapat
menentukan terpai yang digunakan, IVIG adalah terapi yang menarik karena dapat
diberikan dengan mudah dilingkungan perawatan kritis.

15
2.9.2 Penatalaksanaan Keperawatan

Tujuan utama dapat merawat pasien dengan SGB adalah untuk memberikan
pemeliharaan fungsi sistem tubuh, dengan cepat mengatasi krisis krisis yang
mengancam jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan
dukungan psikologis untuk pasien dan keluarga

Dukungan Pernapasan dan Kardiovaskular

Jika vaskulatur pernapasan terkena, maka mungkin dibutuhkan ventilasi


mekanik. Mungkin perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat dicapai
dari ventilator dalam beberapa Minggu. Gagal pernapasan harus diantisipasi
sampai kemajuan gangguan merata, karena tidak jelas sejauh apa paralysis akan
terjadi.

Jika sistem saraf otonom yang terkena, maka akan terjadi perubahan
drastis dalam tekanan darah (hipotensi dan hipertensi) serta frekuensi jantung
akan terjadi dan pasien harus dipantau dengan ketat. Pemantauan jantung akan
memungkinkan distrikmia teridentifikasi dan diobati dengan cepat. Ganguan
sistem saraf otonom dapat dipicu oleh Valsava manuver, batuk, suksioning, dan
perubahan posisi, sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan dengan sangat
hati-hati.

Plasmaferesis

Plasmaferesis dapat digunakan baik untuk SGB maupun miastenia gravis


untuk menyingkirkan anti-body yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien
dipisahkan secara selektif dari darah lengkap, dan bahan-bahan abnormal
dibersihkan atau plasma diganti dengan yang normal atau dengan pengganti
koloidal. Banyak pusat pelayanan kesehatan mulai melakukan penggantian
plasma ini jika didapati keadaan pasien memburuk dan akan Kemungkinan tidak
akan dapat pulang ke rumah dalam 2 minggu, mendekati waktu yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan proses penggantian plasma. Jika plasmaferesis dimulai 3
minggu atau lebih lama setelah awitan gejala, tampaknya tindakan ini tidak
efektif. Mungkin digunakan kortikosteroid, meskipun penggunaan ini masih
kontroversial.

16
Penatalaksanaan Nyeri

Penatalaksanaan nyeri dapat menjadi bagian dari perhatian pada pasien


dengan SGB. Nyeri otot hebat biasanya menghilang sejalan dengan pulihnya
kekuatan otot. Unit stimulasi listrik transkutan dapat berguna pada beberapa
orang. Setelah itu nyari merupakan hyperestetik. Beberapa obat dapat memberikan
penyembuhan sementara. Nyeri biasanya memburuk antara pukul 10.00 malam
dan pagi, mencegah tidur, dan narkotik dapat saja digunakan secara bebas pada
malam hari Jika pasien tidak mengkompensasi secara marginal karena narkotik
dapat meningkatkan gagal pernapasan. Dalam kasus ini, pasien biasanya di
intubasi dan kemudian diberikan narkotik.

Nutrisi

Nutrisi yang adekuat harus dipertahankan. Jika pasien tidak mampu untuk
makan per oral, dapat dipasang selang per oral. Selang makan, bagaimana pun
dapat menyebabkan diare dan menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit, jadi
dibutuhkan pemantauan dengan cermat oleh dokter dan perawat.

Gangguan Tidur

Gangguan tidur dapat menjadi masalah berat untuk pasien dengan


gangguan ini, terutama karena nyeri tampak meningkat pada malam hari.
Tindakan yang memberikan kenyamanan, analgesik dan kontrol lingkungan yang
cermat (mis, mematikan lampu, memberikan suasana ruangan yang tenang) dapat
membantu untuk meningkatkan tidur dan istirahat. Juga harus selalu diingat
bahwa pasien yang mengalami paralise dan mungkin pada ventilasi mekanik dapat
sangat ketakutan sendiri pada malam hari, karena ketakutan tidak mampu
mendapatkan bantuan Jika ia mendapat masalah. Harus disediakan cara atau
lampu pemanggil sehingga pasien mengetahui bahwa ia dapat meminta bantuan.
Membuat jadwal rutin pemeriksaan pasien juga dapat membantu mengatasi
ketakutan.

Lingkungan Emosional

Ketakutan, keputusasaan, dan ketidakberdayaan semua dapat terlihat pada


pasien dan keluarga sepanjang perjalanan terjadinya gangguan. Penjelasan yang

17
teratur tentang intervensi dan kemajuan dapat sangat berguna. Pasien harus
diperbolehkan untuk membuat keputusan sebanyak mungkin sepanjang perjalanan
pemulihan.

Kadang pasien seperti sangat sulit untuk dirawat karena mereka


membutuhkan banyak waktu perawat. Mereka dapat menggunakan bel pemanggil
secara berlebihan jika merasa tidak aman. Perawat harus mempertimbangkan
untuk membiarkan keluarga menghabiskan sebagian waktu lebih banyak bersama
pasien. Dengan menyediakan perawat primer dapat memberikan pasien dan
keluarga rasa aman, mengetahui bahwa ada seseorang yang dapat menjadi sumber
informasi dengan konsisten. Pertemuan tim dengan pasien dan keluarga harus
dilakukan secara rutin untuk membicarakan kemajuan dan rencana-rencana.

2.10 Komplikasi

Gagal Pernapasan

Komplikasi yang paling berat dari SGB dan miastenia gravis adalah gagal
napas. Melemahnya otot pernapasan membuat pasien dengan gangguan ini
beresiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang.
Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi. Mungkin terdapat komplikasi
yang sama tentang imobilitas seperti yang terdapat pada korban stroke.

Penyimpangan Kardiovaskuler

Mungkin terjadi gangguan sistem saraf otonom pada pasien SGB yang
dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang mengancam
kehidupan dalam tanda-tanda vital.

Koplikasi Plasmaferesis

Pasien dengan SGB atau myasthenia gravis yang menerima plasmaferesis


berisiko terhadap potensial komplikasi karena prosedur tersebut. Infeksi mungkin
terjadi pada tempat akses vaskuler. Hipovolemia dapat mengakibatkan hipotensi,
takikardi, dan diaforesis. Hipokalemia dan hipokalsemia dapat mengarah pada
disritmia jantung. Pasien dapat mengalami sirkumoral temporer dan paresis
ekstremitas distal, kedutan otot, dan mual serta muntah yang berhubungan dengan

18
pemberian plasma sitrat. Pengamatan dengan cermat dan pengkajian penting
untuk mencegah masalah masalah ini.

Komplikasi

Terdapat dua jenis krisis yang mungkin dialami pada pasien; krisis
miastenia dan krisis kolinergik. Krisis myasthenia adalah kondisi dimana gejala-
gejala miastenia memburu dan pasien membutuhkan obat-obatan
antikolinesterase. Krisis ini biasanya dicetuskan oleh stres, seperti infeksi, ledakan
emosi, kehamilan, penggunaan alkohol, atau demam, tetapi pada beberapa kasus
penyebabnya tidak dapat diidentifikasi segera. Krisis miastenia tidak dapat
dibedakan dari krisis kolinergik, di mana pasien telah menerima obat
antikolinergik terlalu banyak. Krisis kolinergik sering mencangkup mual, muntah,
pucat, diare, diaforesis, bradikardi dan salivasi.

Untuk menentukan jenis krisis, mungkin digunakan Tensilon. Dengan


pemberian tersebut, akan terjadi perbaikan yang jelas dari gejala-gejala krisis
miastenia. Mungkin terjadi pemburukan sementara dari gejala-gejala jika pasien
mengalami krisis kolinergik. Atropin, reactivator kolinergik, mungkin diberikan
pada pasien dengan krisis kolinergik. Neostignin dapat diberikan untuk krisis
miastenia gravis karena Tensilon dengan cepat habis. Karena sering terjadi
penyempitan kontrol terapiutik, pasien harus Memahami pentingnya untuk
penggunaan obat dalam jumlah yang tepat dan tidak pernah meloncat dosis atau
menggandakan dosis jika dosis sebelumnya lupa diminum.

Beberapa komplikasi yang dialami oleh pasien dengan SGB adalah serupa
dengan yang dialami oleh pasien dengan myasthenia gravis. Rujuk pada pasien
komplikasi dari Sindrom Guillain Barre untuk informasi yang lebih jelas.

19
2.12 WOC (Web Of Caution)
Faktor-faktor presdiposisi terjadi 2-3 minggu sebelum onset meliputi
adany ISPA, infeksi gastrointestinal , dan tindakan bedah saraf

Selaput mielin hilang akibat dari respons alergi, respons autoimun, hipoksia,
toksik kimia, dan insufisiensi vaskular

Proses dimielinasi

Konduksi saltatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi


impuls saraf

Gangguan fungsi saraf perifer dan


kranial

GUILLAIN BARRE SYNDROME

Gangguan saraf perifer dan Disfungsi


Perubahan
neuromuskular autoimun
fungsi serebral

Paraliese lengkap, otot Parastesia (kesemutan) Kurang bereaksinya


pernafasan terkena, kelemahan otot kaki yang Penurunan tingkat sistem saraf simpatis dan
mengakibatkan dapat berkembang ke kesadaran parasimpatis, perubahan
insufisiensi pernapasan esterimitas atas batang tubuh sensori
dan otot wajah

DX:
Gangguan frekuensi
KETIDAKEFEKTIFAN Dx: Resiko
Kelemahan fisik umum jantung dan ritme,
JALAN NAFAS cidera
paralisis otot wajah perubahan tekanan

Gagal fungsi pernafasan


Perunan curah
Penurunan tunus otot jantung
Koma seluruh tubuh, perubahan
estetika wajah

COP menurun
DX: ANSIETAS
KEMATIAN
DX: HAMBATAN
MOBILITAS FISIK
Dx: GANGGUAN
PERFUSI
JARINGAN

20
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GUILLAIN BARRE


SYNDROME

3.1 Pengkajian
3.1.1 RIWAYAT KESEHATAN
1) Riwayat kejadian/gejala
2) Riwayat penyakit ISPA, trauma, pembedahan, imunisasi
3) Riwayat hepatitis, influenza

3.1.2 PENGKAJIAN POLA GORDON

a. AKTIVITAS/ISTIRAHAT

Gejala:

1) Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya dimulai


ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat
ke arah atas
2) Hilangnya kontrol motorik halus tangan.

Tanda:

1) Kelemahan otot, paralisis flaksid (simetris)


- Cara berjalan tidak mantap
b. SIRKULASI

Tanda:

1) Perubahan tekanan darah (hipertensi/hipotensi)


2) Disritmia, takikardia/brakikardia
3) Wajah kemerahan, diaforesis
c. INTEGRITAS/EGO

Gejala:

1) Perasan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi

21
Tanda:
1) Tampak takut dn bingung
d. ELIMINASI

Gejala:

1) Adanya perubahan pola eliminasi

Tanda:

1) Kelemahan otot-otot abdomen


2) Hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks sfingter
e. MAKANAN DAN CAIRAN

Gejala:

1) Kesulitan menelan dan mengunyah

Tanda:

1) Gangguan pada refleks menelan


f. NEUROSENSORI

Gejala:

1) Kebas kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan
selanjutnya terus naik
2) Perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi
suhu.
3) Perubahan ketajaman penglihatan

Tanda:

1) Hilangnya/menurunnya refleks tendon dalam


2) Hilangnya tonus otot, adanya masalah keseimbangan
3) Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata
(keterlibatan saraf kranial)
4) Kehilangan kemampuan untuk berbicara
g. NYERI/KENYAMANAN

22
Gejala:
1) Nyeri tekan pada otot; seperti terbakar, sakit, nyeri (terutama pada
bahu, pelvis, pinggang, punggung dan bokong)
2) Hipersensitif terhadap sentuhan
h. PERNAPASAN
Gejala:
1) Kesulitan dalam bernapas, napas pendek

Tanda:

1) Pernapasan perut, menggunakan otot bantu napas, apnea


penurunan/hilangnya bunyi napas
2) Menurunnya kapasits vital paru
3) Pucat/sianosis
4) Gangguan refleks menelan/batuk
i. KEAMANAN
Gejala:
1) Infeksi virus nonspesifik (seperti; infeksi saluran pernapasan atas) kira-
kira dua minggu sebelum munculnya tanda seangan.
2) Adanya riwayat terkena herper zoster, sitomegalovirus

Tanda:

1) Suhu tubuh berfluktuasi (sangat tergantung pada suhu lingkungan).


2) Penurunan kekuatan/tonus otot, paralisis atau parasteseia
j. INTERAKSI SOSIAL
Tanda:
1) Kehilangan kemampuan untuk berbicara/berkomunikasi

3.1.3. PEMERIKSAAN FISIK

a) B1 (breathing)
Kesulitan bernafas atau sesak, pernapasan abdomen, upneu,
menurunnya kapasitas vital/paru, reflex batuk turun, resiko akumulasi
secret
b) B2 (bledding)

23
Hipotensi/hipertensi, takikardi/bradikardi, wajah kemerahan
c) B3 (brain)
Kesemutan, kemerahan-kelumpuhan, ekstermitas sensasi nyeri turun,
perubahan ketajaman penglihatan, gangguan keseimbangan tubuh,
afasis (kemampuan berbicara menurun), fluktuasi suhu badan.
d) B4 (bledder)
Menurunnya fungsi kandung kemih,retensi urin, hilangnya sensasi saat
berkemih
e) B5 (bowel)
Kesulitan menelan – mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic
usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal
f) B6 (bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang,
hemiplegi, paraplegi
3.2 Analisa Data

Analisa Data Etiologi Masalah Keperawatan

Ds : Gangguan saraf perifer Ketidakefektifan Pola


dan neuromuscular Nafas
- Pasien mengatakan
mengeluh sesak

Do : Menyebabkan paralisis
atau kelemahan otot
- Pola nafas abnormal:
pernafasan
adanya suara
wheezing
- Pernafasan cuping
Ketidakefektifan Pola
hidung
Nafas
- Perubahan ekskursi
dada
- Penggunaan otot
bantu nafas: adanya
tarikan dinding dada

24
Ds : Perubahan fungsi serebral Risiko Cedera

- Pasien mengatakan
kakinya terasa berat
Penurunan tingkat
dan kesemutan
kesadaran
- Pasien mengatakan
kakinya terasa sulit
digerakkan
Risiko Cedera
Do :

- Gangguan fungsi
psikomotor: adanya
kelemahan dan
kesulitan
menggerakkan
anggota tubuh
bagian kaki

Ds : Gangguan saraf perifer Hambatan Mobilitas


dan neuromuskular Fisik
- Pasien mengatakan
kakinya terasa berat
dan kesemutan
Parestesia dan kelemahan
- Pasien mengatakan
otot
kakinya terasa sulit
untuk digerakkan

Do : Penurunan tonus otot

- Gerakan lambat:
adanya kelemahan
- Keterbatasan rentang
gerak: kesulitan Hambatan Mobilitas Fisik
menggerakkan
anggota tubuh

25
bagian kaki
- ketidaknyamanan

Ds : Gagal fungsi pernafasan Ansietas Kematian

- Pasien mengatakan
kekhawatirannya
Koma
mengenai kematian
(ketakutan cepat
mati)
Ansietas Kematian
- Pasien mengatakan
sedih atas
penyakitnya
(kesedihan
mendalam)

Do :

- Pasien tampak cemas


(ketakutan tentang
proses kematian)
- Pasien hanya diam
saja tidak bisa
melakukan hal apa-
apa
(ketidakberdayaan)

Ds : Disfungsi autoimun Ketidakefektifan


perfusi jaringan
- pasien mengatakan
perifer
sangat dingin:
kurang bereaksinya
perubahan
sistem saraf simpatis dan
karakteristik kulit
parasimpatis, perubahan
- Pasien mengatakan
sensori
rasa nyeri seperti di

26
tusuk-tusuk dan
seperti terbakar saat gangguan frekuensi
berjalan pada bagian jantung dan urine,
tungkai: nyeri perubahan tekanan
ekstermitas

Do :
penurunan curah jantung
- pasien tampak pucat:
warna kulit pucat
saat elevasi COP menurun
- Pasien berjalan
pincang: perubahan
fungsi motorik

3.3 Diagnosa Keperawatan


a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
b. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan tonus
otot
d. Ansietas kematian berhubungan dengan merasa dekat dengan
kematian
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
kurang pengetahuan tentang factor pemberat
3.4 Intervensi

Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional


Keperawa tan

Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1. Observasi tanda- 1. Sebagai penunjang


pola nafas asuhan keperawatan tanda vital untuk intervensi
berhubungan selama 1 x 24 jam 2. Monitor kecepatan, selanjutnya

27
dengan diharapkan pasien irama, kedalaman dan 2. Memonitor
kelemahan otot dapat bernafas secara kesulitan bernafas kepatenan jalan
pernafasan efektif dengan kriteria 3. Monitor pola nafas nafas
hasil : 4. Pasang sensor 3. Memonitor
pemantauan oksigen kepatenan jalan
- Tidak ada
non-invasif nafas
penggunaan alat
(misalnya, pasang 4. Pemenuhan
bantu nafas
alat pada jari, hidung, kebutuhan oksigen
- Tidak ada
dan dahi) dengan 5. Meningkatkan
pernafasan cuping
mengatur alarm pada ventilasi dan
hidung
pasien beresiko tinggi asupan oksigen
- Frekuensi
(misalnya, pasien 6. Sebagai penunjang
pernafasan
yang obesitas, untuk intervensi
normal
melaporkan pernah selanjutnya
- Irama pernafasan
mengalami apnea saat 7. Meningkatkan
regular
tidur, mempunyai kepatenan jalan
riwayat penyakit nafas
dengan terapi oksigen
menetap, usia
ekstrim) sesuai
dengan prosedur tetap
yang ada
5. Monitor hasil
pemeriksaan ventilasi
mekanik, catat
peningkatan tekanan
inspirasi dan
penurunan volume
tidal.
6. Catat perubahan pada
saturasi O2, volume
tidal akhir CO2 dan

28
perubahan nilai
analisa gas darah
dengan tepat
7. Berikan bantuan
terapi nafas jika
diperlukan.
Resiko cedera Setelah dilakukan 1. Terapkan atau 1. Mencegah
berhubungan asuhan keperawatan sediakan alat bantu terjadinya resiko
dengan selama 1 x 24 jam (tongkat, walker, atau cedera
penurunan diharapkan adanya kursi roda) untuk 2. Menentukan
tingkat peningkatan pada ambulasi, jika pasien kebutuhan pasien
kesadaran tingkat kesadaran tidak stabil terhadap keamanan
pasien dengan kriteria 2. Gunakan sabuk untuk dan menentukan
hasil : berjalan (gait belt) intervensi yang
untuk membantu tepat
- Cara berjalan
perpindahan dan 3. Membantu pasien
normal
ambulasi, sesuai dalam penglihatan
- Gerakan otot
kebutuhan sehingga risiko
normal
3. Bantu pasien untuk cedera dapat
- Gerakan sendi
perpindahan, sesuai diminimalisir
normal
kebutuhan 4. Membantu pasien
- Bergerak dengan
4. Sediakan tempat tidur memudahkan
mudah
berketinggian rendah, menjangkau tempat
yang sesuai tidur
5. Monitor penggunaan 5. Mencegah resiko
kruk pasien atau alat cedera
bantu berjalan lainnya 6. Membantu petugas
6. Konsultasikan pada kesehatan untuk
ahli terapi fisik mengurangi risiko
mengenai rencana cedera
ambulasi, sesuai
kebutuhan

29
Hambatan Setelah dilakukan 1. Latihan skrining 1. Dapat membantu
mobilitas fisik asuhan keperawatan kesehatan sebelum dalam
berhubungan selama 1 x 24 jam memulai latihan mempertahankan /
dengan diharapkan mobilisasi untuk meningkatkan
penurunan pasien membaik mengidentifikasi kekuatan dan
kekuatan otot dengan kriteria hasil : resiko dengan kelenturan otot dan
menggunakan skala kekakuan sendi.
- Tonus otot
kesiapan latihan fisik
meningkat
standart atau
- Kekuatan otot
melengkapi
meninggkat
pemeriksaan riwayat 2. Agar pasien
- Pergerakan sendi
kesehatan fisik. terhindar dari
membaik
2. Batu klien untuk kerusakan kembali
menyampaikan atau ekstermitas yang
mempraktekan pola luka.
gerakan yang
dianjurkan tanpa
beban terlebih dahulu
sampai gerakan yang 3. Penanganan yang
benar sudah tepat dapat
dipelajari. mempercepat
3. Kolaborasi dengan waktu
keluarga dan tenaga penyembuhan.
kesehatan yang lain
(missal, terapis
aktivitas, teapis fisik)
dalam merencanakan
, mengajarkan,
memonitoring 4. Untuk
program latihan otot). mempertahankan
4. Bantu untuk keseimbangan
menentukan tingkat

30
kenaikan kerja otot yang tepat.
(misal, jumlah
resistensi, dan jumlah
mengulangan serta
latihan)
Ansietas setelah dilakukan 1. Gunakan pendekatan 1. Agar klien lebih
kematian asuhan keperawatan yang tenang dan mempercayai
berhubungan selama 1 x 24 jam menyakinkan. perawat untuk
dengan merasa diharapkan pasien menangani masalah
dekat dengan dapat mrngurangi yang dihadapi
2. Bantu klien
kematian perasaan tidak nyaman
mengidentifikasi
atau kegelisahan yang 2. Agar pasien
situasi yang memicu
samar yang mengetahui sejak
kecemasan.
ditimbulkan oleh awal yang memicu
presepsi ancaman kecemasannya dan
dengan kriteria hasil : 3. Komunikasi keinginan membantu unuk
untuk mendiskusikan mrngurangi
- Dapat
kematian. kecemasan tersebut.
mengurangi
penyebab
4. Bantu pasien dan 3. Agar pasien dapat
kecemasan
keluarga untuk mengetahui tentang
- Dapat
bersama-sama kematian.
mengidentifikasi
mengenali makna 4. Agar pasien dan
pola koping yang
kematian. keluarga memahami
efektif
dan mengenali
- Mengurangi
5. Dukung upaya makna kematian.
perasaan tidak
keluarga untuk tetap
mampu Agar pasien lebih
berada disamping
membangun merasa diperhatikan.
tempat tidur pasien.
hubungan
interpersonal
Ketidakefektifan setelah dilakukan 1. Monitor TTV (suhu, 1. Mengupayakan

31
perfusi jaringan asuhan keperawatan TD, nadi, RR) TTV pasien tetap
perifer selama 1 x 24 jam stabil.
berhubungan diharapkan tidak ada 2. Mengetahui
dengan kurang ketidakefektifan 2. Monitor status kestabilan
pengetahuan perfusi jaringan pernapasan : nilai pernafasan pasien
tentang factor perifer pada pasien ABC, tingkat
pemberat bisa diatasi dengan oksimetri, denyut
kriteria hasil : nadi, kedalaman,
pola, dan laju
- Akral hangat 3. Mengetahui ICP
pernapsan
- Perfusi baik dan CPP klien.
- Tidak sianosis 4. Mengetahui ada
3. Monitor ICP dan CPP
tidaknya tanda-
tanda dari dehidrasi
klien
4. Monitor status hidrasi
(misalnya,
kelembapan
membrane mukosa,
kecukupn denyut nadi
dan tekanan darah
ortoastik) dengan
cepat

32
BAB IV

TELAAH 5 JURNAL PENELITIAN

Judul dan Kelemahan


Populasi Kesimpulan
No Author Tujuan Metode Intervensi Hasil dari
dan Sampel
(penulis) Artikel
1. Pelatihan Penelitian Systema Ada 394 Sebagian besar 1. Kekuatan otot Tidak ada Tinjauan
Otot ini bertujuan tic peserta di penelitian inspirasi dan kelemahan sistematis ini
Inspirasi untuk review seluruh 10 melakukan daya tahan. 10 dari menunjukkan
Memfasilit melihat studi. Usia pasien dalam studi memberikan makalah bahwa
asi apakah rata-rata posisi data pada total ini penguatan otot
Penyapihan latihan otot peserta di terlentang 366 peserta. inspirasi yang
dari inspirasi seluruh dengan Pelatihan otot dicapai oleh
Ventilasi pada orang studi ketinggian 45 inspirasi secara pelatihan otot
Mekanik dewasa berkisar deg up, posisi signifikan inspirasi atau
Antara yang antara 50 ini diberikan meningkatkan penyesuaian
Pasien di menerima sampai 83 berujuan untuk tekanan inspirasi sensitivitas
Unit ventilasi tahun. mempermudah maksimal. ventilator dapat
Perawatan mekanis dan pernapasan. memiliki
Intensif: meningkatk 4 studi Pelatihan otot 2. Indeks nafas manfaat yang
Review an durasi disertakan inspirasi ini pendek yang signifikan bagi
Sistematis atau hanya diberikan dangkal. Dua pasien yang
keberhasilan peserta dalam waktu 5 studi melaporkan menyapih dari
penyapihan dengan – 30 menit data pada total ventilasi
tabung atau terdiri dari 105 peserta. mekanik di
endotrakeal, 3 – 6 set yang Pelatihan otot ICU. Manfaat-
2 studi terdiri dari 6 – inspirasi secara manfaat ini
disertakan 10 x nafas. signifikan termasuk pola
hanya Frekuensi sesi meningkatkan pernapasan
peserta pelatihan otot indeks pernapasan yang membaik,
dengan inspirasi ini dangkal yang penyapihan

33
trakeostomi bervariasi dari cepat, yang lebih
dan 4 studi 2x sehari menurunkannya berhasil,
tersisa tidak sampai 5 hari dengan perbedaan pengurangan
menentukan per minggu. rata-rata 15 napas durasi massa
jenis / menit. inap yang
intubasi. potensial, dan
3. Durasi pelepasan penggunaan
ventilasi yang lebih
mekanik. Enam singkat dari
studi melaporkan dukungan
durasi pelepasan ventilasi non-
ventilasi mekanik invasif setelah
212 peserta. Rata- ekstubasi.
rata, kelompok Manfaat-
latihan otot manfaat ini
inspirasi memiliki dicapai dengan
waktu yang lebih aman ketika
pendek untuk pelatihan
pelepasan diterapkan pada
ventilator pasien yang
mekanik 1 – 7 tepat di bawah
hari, tetapi ini pengawasan
tidak signifikan konstan dan
secara statistik. dengan
pengamanan
4. Pelepasan lainnya di
ventilator tempat.
mekanik sukses.
Lima studi
melaporkan hasil
penyapihan dari
256 peserta.

34
Pelatihan otot
inspirasi secara
signifikan
meningkatkan
kemungkinan
sukses,

5. Durasi ventilasi
mekanik. Tujuh
studi melaporkan
durasi total
ventilasi mekanik
(termasuk periode
pra-pelatihan)
untuk 305 peserta.
Perbedaan rata-
rata adalah 2 – 3
hari lebih pendek
pada kelompok
latihan otot
inspirasi, tetapi ini
tidak signifikan
secara statistik

6. Reintubasi. Dua
studi melaporkan
jumlah reintubasi
di antara 117
peserta. Pelatihan
otot inspirasi tidak
berpengaruh
signifikan pada

35
reintubasi
keseluruhan

7. Trakeostomi.
Dua studi
melaporkan
jumlah
trakeostomi di
antara 133
peserta. Risiko
relatif menerima
trakeostomi tidak
terpengaruh
secara signifikan
oleh pelatihan otot
inspirasi

8. Lama tinggal.
Satu studi32
melaporkan
lamanya tinggal
40 peserta.
Pelatihan otot
inspirasi secara
signifikan
mempersingkat
atau
memperpendek
masa tinggal di
ICU.

9. Ventilasi non

36
invasif. Satu
penelitian
melaporkan
prevalensi
penggunaan
ventilasi non-
invasif setelah
ekstubasi di antara
77 peserta.
Kemungkinan
membutuhkan
ventilasi non-
invasif lebih
rendah pada
kelompok latihan
otot inspirasi,
tetapi ini tidak
signifikan secara
statistik. Namun,
jumlah waktu
yang dihabiskan
untuk ventilasi
non-invasif secara
signifikan lebih
pendek. Dalam
satu studi dari 28
peserta, 28 waktu
yang dihabiskan
untuk ventilasi
non-invasif adalah
rata-rata 16 jam
lebih pendek

37
dalam kelompok
latihan otot
inspirasi

10. Bertahan hidup.


Empat studi
menyediakan data
pada 242 peserta.
Kemungkinan
bertahan hidup
sedikit lebih
tinggi pada
kelompok latihan
otot inspirasi,
tetapi ini tidak
signifikan secara
statistik.

11. Tolerabilitas dan


kejadian buruk
(efek samping).
Beberapa studi
menyatakan
bahwa tidak efek
samping utama
pada kedua
kelompok.

38
LITERATURE REVIEW

Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah proses peradangan akut dengan karateristik
kelemahan motorik dan paralisis yang disebabkan karena demyelin pada saraf perifer. Istilah
lain dari GBS adalah Akut Idiopatik Polyneuritis, Infeksius Polyneuritis, Landry Guillain
Barre Stohl Syndrome, Landry’s Paralisis. Sindrom penyakit ini berupa paralisis flasid
asenden simetris yang berkembang secara cepat, biasanya mengikuti infeksi virus.

Etiologi Sindrom Guillain-Barre belum jelas, namun respons autoimun diduga


kuat sebagai penyebabnya. Kejadian yang sering kali mendahului atau memicu
sindrom ini adalah infeksi. Kadangkala, vaksinasi diketahui memicu Sindrom Guillain-Barre.
Sekitar 50% orang yang menderita Sindrom Guillain-Barre mengalami penyakit demam
ringan 2 sampai 5 minggu sebelum awitan gejala. Infeksi demam biasanya terjadi di
pernapasan atau pencernaan.

Sindrom Guillain Barre dapat terjadi dengan cepat dalam hitungan jam atau hari, atau
dapat membutuhkan waktu hingga 3-4 minggu untuk berkembang. Sebagian besar pasien
memperlihatkan kelemahan terbesar pada beberapa minggu pertama penyakit. Pasien berada
dalam kondisi terlemahnya pada minggu ketiga sakit.

Pertama pasien menyadari kelemahan di ekstremitas bawah yang dapat dengan cepat
meluas hingga mencakup kelemahan dan sensasi abnormal di lengan. Refles tendon profunda
biasanya hilang, bahkan pada tahap terawal sekalipun. Saraf trunkus dan kranial dapat
terkena. Otot pernapasan dapat terkena, yang menyebabkan gangguan pernapasan. Maka dari
itu dukungan ventilasi mekanik sangat dibutuhkan. Tetapi pada pasien dengan diagnosa
Guillain Barre Sindrom akan membutuhkan dukungan ventilasi mekanik dalam jangka waktu
yang panjang. Sedangkan penggunaan ventilasi mekanik dalam jangka waktu 48-72 jam akan
beresiko VAP (Ventilatory Associated Pneumonia).

Dalam jurnal penelitian yang berjudul “Inspiratory Muscle Training Facilitates


Weaning From Mechanical Ventilation Among Patients In The Intensive Care Unit : A
Systematic Review” menjelaskan bahwa pelatihan otot inspirasi ini dapat dilakukan untuk
memfasilitasi proses pelepasan ventilasi mekanik, sehingga dapat menurunkan resiko
terjadinya VAP (Ventilatory Associated Pneumonia). Populasi dalam penelitian ini ada 394
peserta di seluruh 10 studi. Usia rata-rata peserta di seluruh studi berkisar antara 50-83 tahun.
4 studi disertakan hanya peserta dengan tabung endotrakeal, 2 studi disertakan hanya peserta
dengan trakeostomi dan 4 studi tersisa tidak menentukan jenis intubasi.
39
Sebagian besar penelitian melakukan pelatihan otot inspirasi dengan memposisikan
pasien dalam posisi terlentang dengan ketinggian 45 deg up, posisi ini diberikan bertujuan
untuk mempermudah pernafasan. Pelatihan otot inspirasi ini diberikan dalam waktu 5-30
menit atau terdiri dari 3-6 set yang terdiri dari 6-10x nafas. Frekuensi sesi pelatihan otot
inspirasi ini bervariasi dari 2x sehari sampai 5 hari per minggu. Kriteria hasil yang di
identifikasi meliputi kekuatan dan daya tahan otot inspirasi, indeks kecepatan pernafasan
dangkal, durasi pelepasan ventilasi mekanik, kesuksesan pelepasan ventilasi mekanik, durasi
ventilasi mekanik, reintubasi, trakeostomi, potensi lama tinggal di ICU, durasi ventilasi non
invasive, peningkatan kualitas hidup, tolerabilitas dan peristiwa merugikan.

Tinjauan sistematis ini menunjukkan bahwa pelatihan otot inspirasi yang dilakukan
dengan posisi terlentang dengan ketinggian 45 deg up ini dapat memiliki manfaat bagi pasien
untuk pelepasan ventilasi mekanik di ICU. Manfaat ini termasuk pola peningkatan
pernafasan, kesuksesan pelepasan ventilasi mekanik, pengurangan potensi lama tinggal di
ICU, dan penggunaan singkat dukungan ventilasi non invasive setelah ekstubasi. Manfaat ini
dicapai dengan aman saat pelatihan dan dapat diterapkan pada pasien yang tepat di bawah
pengawasan konstan dan dengan pengaman lainnya di tempat.

40
DAFTAR PUSTAKA

Waluyo Srikandi, dkk.2014.Penyakit-penyakit Autoimun.Jakarta

Patricia Gonce Morton, dkk.2011.Keperawatan Kritis Ed.8 Vol.2.Jakarta: EGC

Mark Elkins.2015.Inspiratory Muscle Training Facilitates Weaning From Mechanical


Ventilation Among Patients in the Intensive Care Unit.Journal of Physiotherapy

Herdman T. Heather.2015.Nanda International Inc. Diagnosis Keperawatan: Definisi


& Klasifikasi 2015-2017.Jakarta: EGC

Gloria Bulecheck.2016.Nursing Interventions Classification (NIC).Elsevier Singapore

Sue Moorhead.2016.Nursing Outcomes Classification (NOC).Elsevier Singapore

41

Anda mungkin juga menyukai