Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN SISTEM PENGLIHATAN

PADA LANSIA DI WISMA VIII PANTI TRISNA WERDA GOWA

DisusunOleh:

Riska Amalia S.Kep


17.04.020

CI INSTITUSI CI LAHAN

( ) ( )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR
2017-2018
BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN SISTEM PENGLIHATAN

A. Latar Belakang
Mata adalah Organ penglihatan. Suatu struktur yang sangat khusus dan
kompleks, menerima dan mengirimkan data ke korteks serebral
Gangguan penglihatan adalah kondisi yang ditandai dengan penurunan
tajam penglihatan ataupun menurunnya luas lapangan pandang, yang dapat
mengakibatkan kebutaan
Cacat Netra adalah Seseorang yang terhambat mobilitas gerak yang
disebabkan oleh hilang/berkurangnya fungsi penglihatan sebagai akibat dari
kelahiran, kecelakaan maupun penyakit Menurut kamus besar bahasa
Indonesia pengertian tunanetra ialah tidak dapat melihat, buta. Sedangkan
menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa yang dimaksud dengan
tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan atau tidak
berfungsinya indera penglihatan. Karena adanya hambatan dalam penglihatan
serta tidak berfungsinya penglihatan (Heward & Orlansky, 1988 cit Akbar 2011).
Mata adalah organ sensorik yang mentransmisikan rangsang melalui
jaras pada otak ke lobus oksipital dimana rasa penglihatan ini diterima. Sesuai
dengan proses penuaan yang terjadi, tentunya banyak perubahan yang terjadi,
diantaranya alis berubah kelabu, dapat menjadi kasar pada pria, dan menjadi tipis
pada sisi temporalis baik pada pria maupun wanita. Konjungtiva menipis dan
berwarna kekuningan,produksi air mata oleh kelenjar lakrimalis yang berfungsi
untuk melembabkan dan melumasi konjungtiva akan menurun dan cenderung
cepat menguap, sehingga mengakibatkan konjungtiva lebih kering.
Pada mata bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah ukuran pupil
menurun dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap akomodasi.
Lensa menguning dan berangsur-angsur menjadi lebih buram mengakibatkan
katarak, sehingga memengaruhi kemampuan untuk menerima dan membedakan
warna-warna. Kadang warna gelap seperti coklat, hitam, dan marun tampak sama.
Pandangan dalam area yang suram dan adaptasi terhadap kegelapan berkurang (
sulit melihat dalam cahaya gelap) menempatkan lansia pada risiko sedera.
Sementara cahaya menyilaukan dapat menyebabkan nyeri dan membatasi
kemampuan untuk membedakan objek-objek dengan jelas, semua hal itu dapat
memengaruhi kemampuan fungsional para lansia.
ANATOMI FISIOLOGI MATA
mata adalah organ sensori yang menstranmisikan rangsang memalui saraf pada
otak ke lobus oksipital, dimana rasa penglihatan ini diterima.
a. mata eksternal
Kelopak mata adalah lipatan-lipatan kulit denga pelekatan otot yang
memungkinkannya untuk bergerak. Kelopak mata melindungi bola mata yang
berkedip secara reflektif dan menggerakan cairan yang melumasi diatas
permukaan mata.
Fisura palpebra adalah lubang diantara kelopak mata bagian atas dan
bagian bawah. Bulu mata pada tepi kelopak mencegah objek dari udara masuk
kemata. Intropion dimana kelopak mata terlipat kedalam sehingga bulu mata
menggesek mata menyebabkan abrasi kornea. Ektropion dimana kelopak mata
terbalik keluar, mencegah penutupan, dan menyebabkan kemerahan dan kongesti
bola mata.
 Alis mata
Terletak secara transpersal diatas kedua mata sepanjang puncak orbital superior
tulang tengkorak. Rambut pendek dan tebal ini mencegah keringat masuk kemata.
sesuai proses penuaan alis berubah kelabu.
 Konjugtiva
Suatu yang tipis, transparan dan mensekresi mucus, terbagi dalah dua bagian :
konjungtiva palpebra yang membatasi permukaan interior dari masing-masing
kelopak mata dan tampak merah muda berkilauan hingga merah dan konjungtiva
bulbaris yang membatasi permukaan anterior bola mata sampai tembus dan
tampak jelas. Sesuai dengan proses penuaan, konjungtivca menipis dan bewarna
kakuningan.
 Apratus Lakrimalis
Terdiri dari kelenjar lakrimalis, duktus dan pungta lakrmalis. Kelnjar lakrimalis
terletak pada bagian superolateral pada orbit dan dipersarafi oleh saraf kranialis
VII ( fasialis ). Kelenjar ini yang melembabkan konjungtiva dan kornea
b. Mata internal
Sklera
Sclera atau bagian putih mata tersusun atas jaringan-jaringa elastis dan kolagen
yang memberi bentuk dan melindungi struktur-struktur bagian dalam dari bola
mata. Beberapa lansia dapat terjadi bintik-bintik coklat pada sklera.
Lensa
Lensa memisahkan bola mata dalam dua rongga ; ruang anterior dan posterior.
Ruang anterior terlatak didepan iris dan dibelakang kornea. Ruang posterior
diantara iris dan lensa. Glokoma suatu penyakit mata yang sering kali
berhubungan dengan proses penuaan.
Iris
Iris adalah piringan bulat dan berpigmen dikelilingi oleh serat otot polos.
Kontraksi serat otot ini mengatur diameter pupil, lubang ditengah iris. Sesuai
dengan proses penuaan pulpil menurun dalam ukuran dan kemampuannya untuk
kontraksi pada respon dan cahaya akomodasi.
Retina
Retina adalah lapisan mata paling dalam dimana bayangan diproyeksikan.
Struktur retina tampak dengan optalmokopis meliputi piringan optic atau saraf
utama pada saraf optic. Saraf optic : pembuluh-pembuluh darah retina yang
timbulm dari piringan optic : macula, dimana penglihatan pusat dan persepsi
warna dikonsentrasikan dan latara belakang retina jingga kemerahan itu sendiri.
c. otot-otot ekstraokuler
gerakan-gerakan bola mata dikontrol oleh enam otot ektrinsik : otot rektusuporior,
inferior, radial, dan median dan otot-otot obliqsuperior dan inferior. Mata
bergerak dalam arah yang sama karena otot pada satu mata bekerja dengan otot
yang berhubungan dengan mata yang lainnya. Otot mata dipersarafi oleh tiga saraf
cranial, saraf inferior dan otot oblique superior dan inferior. Saraf troklear ( SK IV
) mempersarafi otot oblique superior dan otot abdusen ( SK VI ) mempersarafi
otot rektus lateral.
Gambar 2. Anatomi Mata

B. PERUBAHAN SISTEM PENGLIHATAN


Perubahan normal pada system sensoris (penglihatan) akibat penuaan :
Perubahan Normal yang b.d Penuaan Implikasi Klinis

Penurunan kemampuan akomodasi. Kesukaran dalam membaca huruf-huruf yang


kecil
Kontriksi pupil sinilis Penyempitan lapang pandang
Peningkatan kekeruhan lensa dengan Sensitivitas terhadap cahaya
perubahan warna menjadi menguning. Penurunan penglihatan pada malam hari
dengan persepsi kedalamam
Perubahan sistem indera Penglihatan pada penuaan :
Perubahan Morfologis Perubahan Fisiologis
Penurunan jaringan lemak sekitar mata Penurunan penglihatan jarak dekat
Penurunan elastisitas dan tonus jaringan Penurunan koordinasi gerak bola mata
Penurunan kekeuatan otot mata Distorsi bayangan
Penurunan ketajaman kornea Pandangaan biru-merah
Degenerasi pada sclera, pupil dan iris Compromised night vision
Peningkatan frekuensi proses terjadinya Penurunan ketajaman mengenali warna hijau,
penyakit biru dan ungu
Peningkatan densitas dan rigiditas lensa Kesulitan mengenali benda yang bergerak
Perlambatan proses informasi dari system
saraf pusat

4. KLASIFIKASI PENYANDANG CACAT PENGLIHATAN


Berdasarkan Klasifikasi International Classification of Functioning for
Disability and Health (ICF) dalam Marjuki (2009), Penyandang Cacat
Penglihatan diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
a. Low vision (Penglihatan Sisa) adalah seseorang yang mengalami kesulitan/
gangguan jika dalam jarak minimal 30 cm dengan penerangan yang cukup tidak
dapat melihat dengan jelas baik bentuk, ukuran, dan warna. Jika responden
memakai kacamata maka yang ditanyakan adalah kesulitan melihat ketika melihat
tanpa kacamata (sumber: modifikasi Susenas 2000 dan ICF) (tidak termasuk
orang yang menggunakan kacamata plus, minus ataupun silinder).
b. Light Perception (Persepsi Cahaya) yaitu seseorang hanya dapat membedakan
terang dan gelap namun tidak dapat melihat benda didepannya.
c. Totally blind (Buta Total) yaitu seseorang tidak memiliki kemampuan untuk
mengetahui/ membedakan adanya sinar kuat yang ada langsung di depan matanya.
Sedangkan menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, ada
beberapa klasifikasi tunanetra, seperti di bawah ini:
a. Berdasarkan Waktu Terjadinya Ketunanetraan:
1) Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak
memiliki pengalaman penglihatan.
2) Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan
serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
3) Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki
kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses
perkembangan pribadi.
4) Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala
kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
5) Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-
latihan penyesuaian diri.
b. Berdasarkan Kemampuan Daya Penglihatan
1) Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki
hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-
program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang
menggunakan fungsi penglihatan.
2) Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan
sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu
mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
3) Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat
melihat.

C. Faktor-faktor resiko
Ada berbagai faktor yang menyebabkan kelainan penglihatan
(ketunanetraan) seperti kelainan struktur mata atau penyakit yang menyerang
cornea, lensa, retina, saraf mata dan lain sebagainya. Di samping itu kelainan
penglihatan juga dapat diperoleh karena faktor keturunan misalnya perkawinan
antar saudara dekat dapat meningkatkan kemungkinan diturunkannya kondisi
kelainan penglihatan. Secara garis besar kelainan penglihatan dapat disebabkan
karena beberapa hal yaitu:
a. Kelainan Refraksi
Bagi seseorang yang mengalami kelainan refraksi (pembiasan cahaya) tanpa
disertai gangguan lain, biasanya dapat diperbaiki penglihatannya hingga menjadi
normal dengan menggunakan kaca mata atau lensa kontak. Bagi penyandang
kelainan refraksi yang telah dikoreksi dengan kaca mata biasanya tidak ada
masalah dengan penglihatannya kecuali jika kaca mata atau lensa kontak yang
diresepkan baginya tidak dipakai. Beberapa kelainan refraksi meliputi:
1) Myopia dan Hyperopia
Dalam penglihatan normal, berkas cahaya paralel yang datang dari jauh akan
terfokus pada retina. Jika bola mata terlalu panjang dari depan ke belakang, maka
berkas cahaya itu terfokus di depan retina dan hal ini mengakibatkan penglihatan
menjadi kabur atau buram.
Seseorang yang mengalami myopia sering dikatakan memiliki penglihatan dekat
(nearsightedness) karena ketajaman penglihatannya bagus pada jarak dekat tetapi
mengalami masalah pada jarak jauh. Pada penderita myopia image obyek yang
dilihat tidak jelas, masalah ini terjadi selain karena bola mata lebih besar dari pada
yang normal juga dapat terjadi pada bola mata yang normal tetapi elastisitas
lensanya kurang baik dan kekuatan refraksi lensa dan cornea menguat.
Dalam kebanyakan kasus myopia, pemanjangan bola mata itu hanya sedikit dan
tidak terus memanjang, dan koreksi dapat dilakukan dengan pemakaian kaca
mata. Akan tetapi, dalam sejumlah kecil kasus myopia, bola mata memanjang
terus. Kondisi ini dikenal dengan istilah progressive myopia atau high myopia,
dan ketajaman penglihatan yang normal tidak akan dapat dicapai dengan
pemakaian kaca mata ataupun lensa kontak. .
Sebaliknya jika bola mata lebih kecil dari yang normal atau lensa dalam keadaan
tidak dapat berakomodasi dengan baik sehingga bentuknya cenderung cekung,
akibatnya image obyek yang sedang dilihat difokuskan di belakang retina dan
pada kondisi seperti ini penderita merasakan penglihatannya menjadi kabur.
Kelainan seperti ini disebut hyperopia atau penglihatan jauh (farsightedness).
Penderita hyperopia mengalami penurunan ketajaman penglihatan dan mengalami
gangguan penglihatan pada jarak dekat tetapi normal pada jarak jauh.
Dalam kasus hyperopia yang parah penglihatan menjadi tidak efektif. Hyperopia
sederhana dapat dikoreksi hingga ke penglihatan normal dengan mengunakan
lensa cembung (lensa plus) sehingga berkas cahaya terfokus pada retina.
Permasalahan biasanya timbul hanya apabila kondisi ini disertai kondisi
penglihatan lain seperti katarak. Dalam kasus seperti ini, meskipun kaca mata
akan diresepkan, tetapi ketajaman penglihatan tetap akan berkurang dan kondisi
ini dapat disertai dengan keadaan juling.
2) Presbyopia
Dengan meningkatnya usia, seseorang pada umumnya mengalami penurunan
fungsi akomodasi sehubungan dengan lemahnya elastisitas lensa dan cairan lensa
yang mengeras. Oleh karena gangguan penglihatan ini umumnya berkaitan
dengan meningkatnya usia maka, keadaan ini disebut presbyopia. Presbyopia
biasanya terjadi pada usia 40-an dan penderita mengalami penurunan ketajaman
penglihatan dan mengalami gangguan untuk membaca. Seseorang yang
mengalami presbyopia dapat dibantu dengan sepasang kaca mata yang memiliki
dua lensa. Lensa semacam ini disebut lensa bifocals, satu lensa untuk membantu
menyebarkan (diverge) cahaya dan yang lain untuk memfokuskan (converge)
cahaya.

3) Astigmatism
Penyebab utama astigmatism adalah bervariasinya daya refraksi cornea atau lensa
akibat kelainan dalam bentuknya permukaannya. Hal ini mengakibatkan distorsi
pada image yang terbentuk pada macula. Bila kasusnya sederhana, kondisi ini
dapat dikoreksi dengan memakai kaca mata dengan lensa silindris, tetapi
permasalahan menjadi lebih berat bila kondisi ini disertai myopia dan
hypermetropia. Bila disertai dengan jenis gangguan penglihatan lain, koreksinya
akan menjadi sulit dan dapat mengakibatkan berkurangnya ketajaman penglihatan
bahkan kebutaan.
4) KATARAK
Katarak adalah kelainan mata yang terjadi pada lensa di mana cairan dalam lensa
menjadi keruh. Karena cairan dalam lensa keruh, lensa mata kelihatan putih dan
cahaya tidak dapat menmbusnya. Orang yang mengidap katarak melihat seperti
melalui kaca jendela yang kotor karena keruhnya lensa menghalangi masuknya
cahaya ke retina. Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan yang utama
baik pada anak-anak maupun orang tua.
a) Definisi Katarak
Katarak adalah perubahan lensa mata yang tadinya jernih dan tembus cahaya
menjadi keruh, menyebabkan gangguan pada penglihatan (Klinik mata nusantara,
2008)
Katarak adalah sejenis kerusakan mata yang menyebabkan lensa mataberselaput
dan rabun. Lensa mata menjadi keruh dan cahaya tidak dapat menembusinya,
bervariasi sesuai tingkatannya dari sedikit sampai keburaman total dan
menghalangi jalan cahaya (Wikipedia, 2012)
Katarak adalah keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau akibat kedua-
duanya.Biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif.(kapita selekta. jilid
satu.2001)

b) Etiologi
Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif atau bertambahnya usia
seseorang. Usia rata-rata terjadinya katarak adalah pada umur 60 tahun keatas.
Akan tetapi, katarak dapat pula terjadi pada bayi karena sang ibu terinfeksi virus
pada saat hamil muda.
Penyebab katarak lainnya meliputi :
Faktor keturunan.
Cacat bawaan sejak lahir.
Masalah kesehatan, misalnya diabetes.
Penggunaan obat tertentu, khususnya steroid.
gangguan metabolisme seperti DM (Diabetus Melitus)
gangguan pertumbuhan,
Mata tanpa pelindung terkena sinar matahari dalam waktu yang cukup lama.
Rokok dan Alkohol
Operasi mata sebelumnya.
Trauma (kecelakaan) pada mata.
Faktor-faktor lainya yang belum diketahui.

c) Klasifikasi
(1) Katarak primer
Katarak primer, menurut umur ada tiga golognan yaitu :
(a) Katarak juvenilis (umur <20 tahun ),
(b) Katarak presenilis (umur sampai 50tahun)
(c) katarak senilis (umur sampai 50tahun )
Katarak primer dibagi menjadi 4 stadium (Yasin, 2009):
(a) Stadium Insipien
Stadium paling dini
Kekeruhan lensa terdapat pada bagian perifer berbentuk bercak-bercak yang tidak
teratur
Pasien mengeluh gangguan penglihatan melihat ganda dengan satu mata
Tajam penglihatan belum terganggu
Proses degenerasi belum menyerap cairan mata yang kedalam lensa sehingga
terlihat bilik mata depan yang kedalaman normal.
(b) Stadium Imatur
Proses degenerasi mulai menyerap cairan mata kedalam lensa sehingga lensa
Menjadi cembung.
Terjadi pembengkakan lensa yang dapat menjadi katarak intumesen.
Terjadi miopisasi
Dapat terjadi glaucoma sekunder
Shadow test positif
(c) Stadium Matur
Terjadi kekeruhan seluruh lensa
Tekanan dalam seimbang dengan cairan dalam mata dengan ukuran lensa normal
Kembali.
Tajam penglihatan sangat menurun dan hanya tinggal proyeksi sinar positif
Di pupil tampak lensa seperti mutiara
(d) Stadium Hypermatur
Korteks lensa yang seperti bubur telah mencair sehingga nucleus lensa turun
karena daya beratnya.
Melalui pupil, nucleus terbayang sebagai setengah lingkaran di bagian bawah
dengan warna berbeda dari atasnya yaitu kecoklatan
Terjadi kerusakan kapsul lensa yang menjadi lebih permeabel dsehingga isi
korteks dapat keluar dan lensa menjadi kempis yang dibawahnya terdapat nucleus
lensa (Katarak Morgagni)
(2) Katarak Komplikata
Katarak jenis ini terjadi sekunder atau sebagai komplikasi dari penyakir lain.
Penyebab katarak jenis ini adalah :
Gangguan okuler, karena retinitis pigmentosa glaucoma, ablasio retinayang sudah
lama, uveitis, myopia maligna.
Penyakit sistemik, Diabetes Mellitus, hipoparatiroid, sindrom down, dermatitis
atopik.
Trauma, trauma tumpul, pukulan, benda asing di dalam mata, terpajan panas yang
berlebihan, sinar –X, radioaktif, terpajan sinar matahari, toksik kimia.
(3) Katarak Kongenital
Katarak kongenital adalah kekeruhan pada lensa yang timbul pada saat
pembentukan lensa. Kekeruhan sudah terdapat pada waktu bayi lahir. Katarak ini
sering ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang :
menderita rubella
diabetes mellitus
toksoplasmosis,
hipoparatiroidisme
galaktosemia
Ada pula yang menyertai kelainan bawaan pada mata itu sendiri seperti
mikroftalmus, aniridia, koloboma , ektopia lentis, keratokonus, megalokornea,
heterokornea iris. Kekeruhan dapat dijumpai dalam bentuk arteri hialoidea yang
persisten, katarak polaris anterior-posterior, katarak aksialis, katarak zonularis,
katarak stelata, katarak totalis dan katarak congenital membranasea.
d) Tanda Dan Gejala
Biasanya gejala berupa keluhan penurunan tajam pengelihatan secara progresif
(seperti rabun jauh memburuk secara progresif). Pengelihatan seakan-akan
melihat asap dan pupil mata seakan akan bertambah putih. Pada akhirnya apabila
katarak telah matang pupil akan tampak benar-benar putih ,sehingga refleks
cahaya pada mata menja di negatif (-). Bila Katarak dibiarkan maka akan
mengganggu penglihatan dan akan dapat menimbulkan komplikasi berupa
Glaukoma dan Uveitis.
Gejala umum gangguan katarak meliputi (Julianto, 2009) :
Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.
Peka terhadap sinar atau cahaya.
Dapat melihat dobel pada satu mata.
Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.
Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.

e) Patofisiologi
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan,
berbentuk seperti kancing baju, mempunyai kekuatan refraksi yang besar. Lensa
mengandung tiga komponen anatomis: Pada zona sentral terdapat nukleus, di
perifer ada korteks, dan yan mengelilingi keduanya adalah kapsula anterior dan
posterior. Dengan bertambahnya usia, nukleus mengalami perubahan warna
menjadi coklat kekuningan . Di sekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di
anterior dan poterior nukleus. Opasitaspada kapsul poterior merupakan bentuk
aktarak yang paling bermakna seperti kristal salju. Perubahan fisik dan kimia
dalam lensa mengakibatkan hilangnya traansparansi. Perubahan dalam serabut
halus multipel (zonula) yang memaenjang dari badan silier ke sekitar daerah di
luar lensa.
Perubahan kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan: koagulasi,
sehingga mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke retina.
Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal disertai influks air
ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan
mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim
mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan
menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang
menderita katarak.
Katarak bisa terjaadi bilateral, dapat disebabkan oleh kejadian trauma atau
sistemis (diabetes) tetapi paling sering karena adanya proses penuaan yang
normal. Faktor yang paling sering berperan dalam terjadinya katarak meliputi
radiasi sinar UV, obat-obatan, alkohol, merokok, dan asupan vitamin antioksidan
yang kurang dalam jangka waktu yang lama

f) Pemeriksaan Diagnostik
(1) Kartu mata snellen /mesin telebinokuler : mungkin terganggu dengan kerusakan
kornea, lensa, akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi, penyakit sistem saraf,
penglihatan ke retina.
(2) Lapang Penglihatan : penuruan mngkin karena massa tumor, karotis, glukoma.
(3) Pengukuran Tonografi : TIO (12 – 25 mmHg)
(4) Pengukuran Gonioskopi membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup
glukoma.
(5) Tes Provokatif : menentukan adanya/ tipe gllukoma
(6) Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng optik,
papiledema, perdarahan.
(7) Darah lengkap, LED : menunjukkan anemi sistemik / infeksi.
(8) EKG, kolesterol serum, lipid
(9) Tes toleransi glukosa : kotrol DM.
g) Komplikasi
Komplikasi preoperasi katarak antara lain glaukoma sekunder, uveitis, dan
dislokasi lensa.
Komplikasi postoperasi katarak
o Afakia (iris tremulans, +10 sampai +13 diopter dengan adisi 3 diopter untuk
penglihatan dekat).
 Pseudofakia (dengan pemasangan IOL).
h) Penatalaksanaan Medis
(1) Intervensi bedah
Indikasi operasi katarak
o Pada bayi (<1tahun) jika fundus tidak terlihat
o Pada usia lanjut
 Indikasi Klinis : jika timbul komplikasi glaucoma / uveitis
 Indikasi Visual : katarak matur dengan visus 1/300 atau 1/~dengan catatan LP
bik segala arah.
 Indikasi Sosial : pekerjaan
 Jenis pembedahan katarak :
o Extracapsular Cataract Extractive (ECCE)
Korteks dan nucleus diangkat kapsul posterior di tinggalkan untuk mencegah
prolapsvitreus untuk melindungi retina dari sinar ultravioler dan memberikan
sokongan untuk implantasi lensa mata intra okuler.
o Intracapsular Cataract Extractive (ICCE) Pada pembedahan jenis ini lensa
diangkat seluruhnya.
(2) Pengobatan Katarak
Salah satu cara pengobatan katarak adalah dengan cara pembedahan ,yaitu
lensa yang telah keruh diangkat dan sekaligus ditanam lensa intraokuler sehingga
pasca operasi tidak perlu lagi memakai kaca mata khusus (kaca mata aphakia).
Setelah operasi harus dijaga jangan sampai terjadi infeksi.
Pembedahan dilakukan bila tajam penglihatan sudah menurun sedemikian rupa
sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari atau bila telah menimbulkan penyulit
seperi glaukoma dan uveitis.
Tekhnik yang umum dilakukan adalah ekstraksi katarak ekstrakapsular, dimana
isi lensa dikeluarkan melalui pemecahan atau perobekan kapsul lensa anterior
sehingga korteks dan nukleus lensa dapat dikeluarkan melalui robekan tersebut.
Namun dengan tekhnik ini dapat timbul penyulit katarak sekunder. Dengan
tekhnik ekstraksi katarak intrakapsuler tidak terjadi katarak sekunder karena
seluruh lensa bersama kapsul dikeluarkan, dapat dilakukan pada yang matur dan
zonula zinn telah rapuh, namun tidak boleh dilakukan pada pasien berusia kurang
dari 40 tahun, katarak imatur, yang masih memiliki zonula zinn.
Dapat pula dilakukan tekhnik ekstrakapsuler dengan fakoemulsifikasi yaitu
fragmentasi nukleus lensa dengan gelombang ultrasonik, sehingga hanya
diperlukan insisi kecil, dimana komplikasi pasca operasi lebih sedikit dan
rehabilitasi penglihatan pasien meningkat.
Kacamata (aphakic spectacles)
Setelah ekstraksi katarak, mata klien tidak mempunyai lensa yang disebut
afakia.Keadaan ini harus dikoreksi dengan lensa sefris (+) 10D supaya dapat
melihat jauh. Koreksi ini harus diberikan 3bulan pasca operasi sebab sebelum 3
bulan keadaan refraksi masih berubah – ubah, karena keadaan luka belum tenang
dan astigmatismenya tidak tetap.
Lensa kontak
Keuntungan pilihan ini adalah ukuran bayangan hanya 7% lebih besar dari pada
ukuran normal, sehingga kedua mata berfungsi bersama. Lapang pandang tidak
berubah/ konstriksi. Kerugiannya dapat terjadi lakrimasi, risiko tinggi komplikasi,
kemungkinan penolakan lensa dan biaya mahal.
b. Kelainan Lantang Pandangan
Penerimaan cahaya oleh otak sangat tergantung pada kualitas impuls yang
ditimbulkan oleh retina. Terjadinya suatu hambatan atau kerusakan pada pusat
penglihatan di otak atau bagian saraf tertentu akan menimbulkan gangguan
penglihatan.
c. Kelainan Lain
1) Buta Warna
Seseorang yang tidak dapat membedakan warna disebabkan karena mengalami
kerusakan atau kelainan pada sel receptor di retina yang berbentuk kerucut yang
disebut cone. Seseorang yang buta warna biasanya ketajaman penglihatannya
(visus) normal. Buta warna lebih banyak terjadi pada laki-laki dari pada
perempuan.
2) Strabismus (juling)
Istilah strabismus digunakan untuk menunjukkan suatu kondisi dimana image
obyek yang dilihat tidak diterima secara baik oleh mata kanan dan mata kiri.
Dengan kata lain kedua mata tidak bekerja secara bersama-sama karena tidak ada
koordinasi yang baik antara otot-otot mata. Akibatnya dalam retina terdapat dua
image terhadap satu obyek yang sedang dilihat. Kondisi ini disebut diplopia.
Untuk menolong penderita strabismus dapat dilakukan operasi pada otot mata.
3) Nystagmus
Nystagmus adalah suatu kondisi dimana mata bergerak secara cepat dan tidak
teratur. Nystagmus dapat terjadi pada seseorang karena kelelahan atau stress dan
juga dapat terjadi karena adanya kerusakan pada otak atau gangguan medis lain
yang kronis. Penderita nystagmus tidak dapat melihat suatu obyek dengan baik
karena matanya sselalu bergerak dan tidak dapat memfokuskan obyek yang
sedang dilihat.
4) Glaucoma
Glaucoma mengakibatkan meningginya tekanan di dalam bola mata yang dapat
mempengaruhi suplai darah ke kepala syaraf optik. Terdapat beberapa jenis
glaucoma: dapat merupakan penyakit tersendiri, atau dapat juga terkait dengan
kondisi-kondisi lain, misalnya aniridia. Satu jenis glaucoma yang terjadi pada
anak-anak adalah buphthalmos ("mata sapi"), yang ditandai dengan membesarnya
satu mata atau kedua belah mata. Ini merupakan kondisi yang berbahaya, yang
jika tidak diberi perawatan dapat merusak lensa, retina atau syaraf optik. Jenis-
jenis glaucoma lainnya ditandai dengan berkurangnya bidang pandang dan
kesulitan melihat di tempat yang gelap atau redup.
6. JENIS GANGGUAN PADA LANSIA DENGAN GANGGUAN
PENGLIHATAN
a. Perubahan sistem lakrimalis
Pada usia lanjut seringkali dijumpai keluhan nrocos. Kegagalan fungsi
pompa pada system kanalis lakrimalis disebabkan oleh karena kelemahan
palpebra, eversi punctum atau malposisi palpebra sehingga akan menimbulkan
keluhan epifora. Namun sumbatan system kanalis lakrimalis yang sebenarnya atau
dacryostenosis sering dijumpai pada usia lanjut, diman dikatakan bahwa
dacryostenosis akuisita tersebut lebih banyak dijumpai pada wanita dibanding
pria. Adapun patogenesia yang pasti terjadinya sumbatan ductus nasolakrimalis
masih belum jelas, namun diduga oleh karena terjadi proses jaringan mukosa dan
berakibat terjadinya sumbatan.
Setelah usia 40 tahun khususnya wanita pasca menopause sekresi basal
kelenjar lakrimal secara progesif berkurang. Sehingga seringkali pasien dengan
sumbatan pada duktus nasolakrimalis tak menunjukkan gejala epifora oleh karena
volume air matanya sedikit. Akan tetapi bilamana sumbatan sistim lakrimalis tak
nyata akan memberi keluhan mata kering yaitu adanya rasa tidak enak seperti
terdapat benda asing atau seperti ada pasir, mata tersa leleh dan kering bahkan
kabur. Sedangkan gejala obyektif yang didapatkan diantaranya konjungtiva bulbi
kusam dan menebal kadang hiperaemi, pada kornea didapatkan erosi dan filamen.
Periksa yang perlu dilakukan adalah Schirmer, Rose Bengal, “Tear film break up
time”
b. Perubahan refraksi
Pada orang muda, hipermetrop dapat diatasi dengan kontraksi muskulus
silisris. Dengan bertambahnya usia hipermetrop laten menjadi lebih manifest
karena hilangnya cadangan akomodasi. Namun bila terjadi sclerosis nucleus pada
lensa, hipermetrop menjadi berkurang atau terjadi miopisasi karena proses
kekeruhan di lensa dan lensa cenderung lebih cenbung.
Perubahan astigmat mulai terlihat pada umur 10-20 tahun dengan
astigmat with the rule 75,5% dan astigmat against the rule 6,8%. Pada umur 70-
80 tahun didapatkan keadaan astigmat with the rule 37,2% dan against the
rule 35%. Factor-faktor yang mempengaruhi perubahan astigmat antara lain
kornea yang mengkerut oleh karena perubahan hidrasi pada kornea, proses
penuaan pada kornea.
Penurunan daya akomodasi dengan manifestasi presbiopia dimana
seseorang akan kesulitan untuk melihat dekat dipengaruhi oleh berkurangnya
elastisitas lensa dan perubahan pada muskulus silisris oleh karena proses penuaan.
c. Produksi humor aqueous
Pada mata sehat dengan pemeriksaan Fluorofotometer diperkirkan
produksi H.Aqueous 2.4 + 0,06 micro liter/menit. Beberapa factor berpengaruh
pada produksi H.Aqueous. dengan pemeriksaan fluorofotometer menunjukkan
bahwa dengan bertambahnya usia terjadi penurunan produksi H.Aqueous 2%
(0,06 mikro liter/menit) tiap decade. Penurunan ini tidak sebanyak yang
diperkirakan, oleh karena dengan bertambahnya usia sebenarnya produksi
H.Aqueous lebih stabil disbanding perubahan tekanan intra okuler atau volume
COA.
d. Perubahan struktur kelopak mata
Dengan bertambahnya usia akan menyebabkan kekendoran seluruh
jaringan kelopak mata. Perubahan ini yang juga disebut dengan perubahan
involusional terjadi pada :
1) M.orbicular
Perubahan pada m.orbicularis bisa menyebabkan perubahan kedudukan palpebra
yaitu terjadi entropion atau ektropion. Entropion/ektropion yang terjadi pada usia
lanjut disebut entropion/ekropion senilis/ involusional. Adapun proses terjadinya
mirip, namun yang membedakan adalah perubahan pada m.orbicularis preseptal
dimana enteropion muskulus tersebut relative stabil.
Pada ektropion, bila margo palpebra mulai eversi, konjungtiva tarsalis menjadi
terpapar (ekspose), ini menyebabkan inflamasi sekunder dan tartus akan menebal
sehingga secara mekanik akan memperberat ektropionnya.
2) Retractor palpebra inferior
Kekendoran retractor palpebra inferior mengakibatkan tepi bawah tarsus rotasi/
berputar kearah luar sehingga memperberat terjadinya entropion.
3) Tartus
Bilaman tartus kurang kaku oleh karena proses atropi akan menyebabkan tepi atas
lebih melengkung ke dalam sehingga entropion lebih nyata.
4) Tendo kantus medial/lateral
Perubahan involusional pada usia lanjut juga mengenai tendon kartus medial/
lateral sehingga secar horizontal kekencangan palpebra berkurang.
Perubahan-perubahan pada jaringan palpebra juga diperberat dengan keadaan
dimana bola mata pada usia lanjut lebih enoftalmus karena proses atropi lemak
orbita. Akibatnya kekencangan palpebra secara horizontal relative lebih nyata.
Jadi apakah proses involusional tersebut menyebabkan margo palpebra menjadi
inverse atau eversi tergantung perubahan-perubahan yang terjadi pada
m.orbikularis oculi, retractor palpebra inferior dan tarsus.
5) Aponeurosis muskulus levator palpebra
Dengan bertambahnya usia maka aponeurosis m.levator palpebra mengalami
disinsersi dan terjadi penipisan, akibatnya terjadi blefaroptosis akuisita. Meskipun
terjadi perubahan pada aponeurosis m.levator palpebra namun m.levatornya
sendiri relative stabil sepanjang usia. Bial blefaroptosis tersebut mengganggu
penglihatan atau secara kosmetik menjadi keluhan bias diatasi dengan tindakan
operasi.

6) Kulit
Pada usia lanjut kulit palpebra mengalami atropi dan kehilangan elastisitasnya
sehingga menimbulkan kerutan dan lipatan-lipatan kulit yang berlebihan. Keadaan
ini biasanya diperberat dengan terjadinya peregangan septum orbita dan migrasi
lemak preaponeurotik ke arterior. Keadaan ini bisa terjadi pada palpebra superior
maupun inferior dan disebut sebagai dermatokalis.

7. KOMPLIKASI/ DAMPAK KETUNANETRAAN


Penglihatan merupakan salah satu saluran informasi yang sangat penting
bagi manusia selain pendengaran, pengecap, pembau, dan perabaan. Pengalaman
manusia kira-kira 80 persen dibentuk berdasarkan informasi dari penglihatan. Di
bandingkan dengan indera yang lain indera penglihatan mempunyai jangkauan
yang lebih luas. Pada saat seseorang melihat sebuah mobil maka ada banyak
informasi yang sekaligus diperoleh seperti misalnya warna mobil, ukuran mobil,
bentuk mobel, dan lain-lain termasuk detail bagian-bagiannya. Informasi
semacam itu tidak mudah diperoleh dengan indera selain penglihatan.
Kehilangan indera penglihatan berarti kehilangan saluran informasi
visual. Sebagai akibatnya penyandang kelainan penglihatan akan kekuarangan
atau kehilangan informasi yang bersifat visual. Seseorang yang kehilangan atau
mengalami kelainan penglihatan, sebagai kompensasi, harus berupaya untuk
meningkatkan indera lain yang masih berfungsi.
Seberapa jauh dampak kehilangan atau kelainan penglihatan terhadap
kemampuan seseorang tergantung pada banyak faktor misalnya kapan (sebelum
atau sesudah lahir, masa balita atau sesudah lima tahun) terjadinya kelainan, berat
ringannya kelainan, jenis kelainan dan lain-lain. Seseorang yang kehilangan
penglihatan sebelum lahir sering sampai usia lima tahun pengalaman visualnya
sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan yang kehilangan
penglihatan setelah usia lima tahun atau lebih dewasa biasanya masih memiliki
pengalaman visual yang lebih baik tetapi memiliki dampak yang lebih buruk
terhadap penerimaan diri.
a. Dampak terhadap Kognisi
Kognisi adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyekobyek
yang diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap orang dan
obyek tergantung pada bagaimana orang dan obyek tersebut tampak dalam dunia
kognitifnya ,dan citra atau “peta” dunia setiap orang itu bersifat individual. Setiap
orang mempunyai citra dunianya masingmasing karena citra tersebut merupakan
produk yang ditentukan oleh factor-faktor berikut: (1) Lingkungan fisik dan
sosisalnya, (2) struktur fisiologisnya, (3) keinginan dan tujuannya, dan (4)
pengalaman-pengalaman masa lalunya.
Dari keempat faktor yang menentukan kognisi individu tunanetra
menyandang kelainan dalam struktur fisiologisnya, dan mereka harus
menggantikan fungsi indera penglihatan dengan indera-indera lainnya untuk
mempersepsi lingkungannya. Banyak di antara mereka tidak pernah mempunyai
pengalaman visual, sehingga konsepsi orang awas mereka tentang dunia ini sejauh
tertentu mungkin berbeda dari konsepsi orang awas pada umumnya.
b. Dampak terhadap Keterampilaan Sosial
Orang tua memainkan peranan yang penting dalam perkembangan sosial
anak. Perlakuan orang tua terhadap anaknya yang tunanetra sangat ditentukan oleh
sikapnya terhadap ketunanetraan itu, dan emosi merupakan satu komponen dari
sikap di samping dua komponen lainnya yaitu kognisi dan kecenderungan
tindakan. Ketunanetraan yang terjadi pada seorang anak selalu menimbulkan
masalah emosional pada orang tuanya. Ayah dan ibunya akan merasa kecewa,
sedih, malu dan berbagai bentuk emosi lainnya. Mereka mungkin akan merasa
bersalah atau saling menyalahkan, mungkin akan diliputi oleh rasa marah yang
dapat meledak dalam berbagai cara, dan dalam kasus yang ekstrem bahkan dapat
mengakibatkan perceraian. Persoalan seperti ini terjadi pada banyak keluarga
yang mempunyai anak cacat.
Pada umumnya orang tua akan mengalami masa duka akibat kehilangan
anaknya yang “normal” itu dalam tiga tahap; tahap penolakan, tahap penyesalan,
dan akhirnya tahap penerimaan, meskipun untuk orang tua tertentu penerimaan itu
mungkin akan tercapai setelah bertahun-tahun. Proses “dukacita” ini merupakan
proses yang umum terjadi pada orang tua anak penyandang semua jenis
kecacatan. Sikap orang tua tersebut akan berpengaruh terhadap hubungan di
antara mereka (ayah dan ibu) dan hubungan mereka dengan anak itu, dan
hubungan tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi perkembangan emosi dan
sosial anak.

c. Dampak terhadap Bahasa


Pada umumnya para ahli yakin bahwa kehilangan penglihatan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan memahami dan menggunakan
bahasa, dan secara umum mereka berkesimpulan bahwa tidak terdapat defisiensi
dalam bahasa anak tunanetra. Mereka mengacu pada banyak studi yang
menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra tidak berbeda dari siswa-siswa yang
awas dalam hasil tes intelegensi verbal. Mereka juga mengemukakan bahwa
berbagai studi yang membandingkan anak-anak tunanetra dan awas tidak
menemukan perbedaan dalam aspekaspek utama perkembangan bahasa. Karena
persepsi auditif lebih berperan daripada persepsi visual sebagai media belajar
bahasa, maka tidaklah mengherankan bila berbagai studi telah menemukan bahwa
anak tunanetra relatif tidak terhambat dalam fungsi bahasanya. Banyak anak
tunanetra bahkan lebih termotivasi daripada anak awas untuk menggunakan
bahasa karena bahasa merupakan saluran utama komunikasinya dengan orang
lain.
Secara konseptual sama bagi anak tunanetra maupun anak awas, karena
makna kakat-kata dipelajarinya melalui konteksnya dan penggunaannya di dalam
bahasa. Sebagaimana halnya dengan semua anak, anak tunanetra belajar kata-kata
yang didengarnya meskipun kata-kata itu tidak terkait dengan pengalaman nyata
dan tak ada makna baginya. Kalaupun anak tunanetra mengalami hambatan dalam
perkembangan bahasanya, hal itu bukan semata-mata akibat langsung dari
ketunanetraannya melainkan terkait dengan cara orang lain memperlakukannya.
Ketunanetraan tidak menghambat pemrosesan informasi ataupun pemahaman
kaidah-kaidah bahasa.
d. Dampak terhadap Orientasi dan Mobilitas
Mungkin kemampuan yang paling terpengaruh oleh ketunanetraan untuk
berhasil dalam penyesuaian social individu tunanetra adalah kemampuan
mobilitas yaitu ketrampilan untuk bergerak secara leluasa di dalam
lingkungannya. Ketrampilan mobilitas ini sangat terkait dengan kemampuan
orientasi, yaitu kemampuan untuk memahami hubungan lokasi antara satu obyek
dengan obyek lainnya di dalam lingkungan (Hill dan Ponder,1976).
Para pakar dalam bidang orientasi dan mobilitas telah merumuskan dua
cara yang dapat ditempuh oleh individu tunanetra untuk memmproses informasi
tentang lingkungannya, yaitu dengan metode urutan (sequncial mode) yang
menggambarkan titk-titik di dalam lingkungan sebagai rute yang berurutan, atau
dengan metode peta kognitif yang memberikan gambaran topografis tentang
hubungan secara umum antara berbagai titik di dalam lingkungan (Dodds et al
dalam Hallahan dan Kaufman,1991).
Metode peta kognitif lebih direkomendasikan karena cara tersebut
menawarkan fleksibilitas yang lebih baik dalam menavigasi lingkungan.
Bayangkan tiga titik yang berurutan – A, B, dan C. Memproses informasi tentang
orientasi lingkungan dengan metode urutan membatasi gerakan individu
sedemikian rupa sehingga dia dapat bergerak dari A ke C hanya melalui B. Tetapi
individu yang memiliki peta kognitif dapat pergi dari titik A langsung ke titik C
tanpa memlalui B. Akan tetapi, metode konseptualisasi ruang apapun , metode
urutan ataupun metode peta kognitif- individu tunanetra tetap berkekurangan
dalam bidang mobilitas dibandingkan dengan sebayanya yang awas. Mereka
kurang mapu atau tidak mampu sama sekali menggunakan “visual metaphor”
(Hallahan dan Kauffman, 1991:310) Di samping itu, para palancong tunanetra
harus lebih bergantung pada ingatan untuk memperoleh gambaran tentang
lingkungannya dibandingkan dengan individu yang awas (Holfield & Fouke
dalam Hallahan dan Kauffman,1991)
Untuk membentuk mobilitas itu, alat bantu yang umum dipergunakan
oleh orang tuna netra di Indonesia adalah tongkat, sedangkan di banyak negara
barat penggunaan anjing penuntun (guide dog) juga populer. Dan penggunaan alat
elektronik untuk membantu orientasi dan mobilitas individu tunanetra masih terus
dikembangkan. Agar anak tuna netra memiliki rasa percaya diri untuk bergerak
secara leluasa di dalam lingkungannya dala bersosialisasi, mereka harus
memperoleh latihan orientasi dan mobilitas. Program latihan orientasi dan
mobilitas tersebut harus mencakup sejumlah komponen, termasuk kebugaran
fisik, koordinasi motor, postur, keleluasaan gerak, dan latihan untuk
mengembangkan fungsi indera –indera yang masih berfungsi.
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
a.Aktivitas/Istrahat

Gejala: Perubahan aktivitas biasanya/hobi sehubungan dengan gangguan


penglihatan

b. Neurosensori

Gejala: Gangguan penglihatan (kabur/tak jelas), sinar terang menyebabkan silau


dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskasn kerja
dengan dekat atau merasa di ruang gelap. Perubahan pengobatan tidak
memperbaiki penglihatan.

Tanda: Tampak kecoklatan atau putih susu pada pupil. Peningkatan air mata.

c. Nyeri/Kenyamanan

Gejala: Ketidaknyamanan ringan atau mata berair

d. Pembelajaran/Pengajaran

Gejala: Riwayat keluarga diabetes, gangguan sistem vaskuler. Riwayat stres,


alergi, gangguan vasomotor (contoh: peningkatan tekanan vena),
ketidakseimbangan endokrin, diabetes. Terpajan pada radiasi, steroid/toksisitas
fenotiazin.

e. Pertimbangan rencana pemulangan

DRG menunjukkan rerata lamanya dirawat: 4,2 hari (biasanya dilakukan sebagai
prosedur pasien rawat jalan). Memerlukan bantuan dengan transportasi,
penyediaan makanan, perawatan/pemeliharaan rumah.

f. Prioritas Keperawatan
- Mencegah penyimpangan penglihatan lanjut

- Meningkatkan adaptasi terhadap perubahan atau penurunan ketajaman


penglihatan

- Mencegah komplikasi

- memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan


pengobatan

g. Tujuan Pemulangan

- Penglihatan dipertahankan pada tingkat sebaik mungkin

- Pasien mengatasi situasi dengan tindakan positif

- Komplikasi dicegah atau diminimalkan

- Proses penyakit atau prognosis dan program terapi dipahami

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


a. Gangguan persepsi sensori: penglihatan berhubungan dengan gangguan
penerimaan sensori dari organ penerima,
b. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik
c. Kurang Pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai
penyakit
d. Resiko jatuh berhubungan dengan keterbatasan lapang pandang yang ditandai
dengan
e. Resiko Cedera berhubungan dengan keterbatasan lapang pandang yang
ditandai dengan
RENCANA KEPERAWATAN

DIANGOSA
NO
KEPERAWATAN DAN TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
DX
KOLABORASI
1 Gangguan persepsi sensori: NOC : NIC
penglihatan berhubungan Vision compensation behavior Pencapaian Komunikasi: Defisit Penglihatan
dengan gangguanKriteria hasil: Kaji reaksi pasien terhadap penurunan penglihatan
penerimaan sensori dari Memakai kaca mata atau lensa dengan benar Ajak pasien ntuk menentukan tujuan dan belajar melihat dengan cara yang lain
organ penerima, Memakai huruf braile Deskripsikan lingkungan disekitar pasien
Memakai penyinaran/ cahaya yang sesuai Jangan memindahkan sesuatu di ruangan pasien tanpa memberi informasi pada pasien
Bacakan surat atau koran atau info lainnya
Sediakan huruf braile
Informasikan letak benda-benda yang sering diperlukan pasien

Manajemen Lingkungan
Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien
Pindahkan benda-benda berbahaya dari lingkungan pasien
Pasang side rail
Sediakan tempat tidur yang rendah
Tempatkan benda +benda pada tempat yang dapat dijangkau pasien
2 Defisit perawatan diri NOC : NIC :
berhubungan dengan Self care : Activity of Daily Living (ADLs) Self Care assistance : ADLs
kelemahan fisik Kriteria Hasil : Monitor kemempuan klien untuk perawatan diri yang mandiri.
Klien terbebas dari bau badan Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk kebersihan diri, berpakaian, berhias,
Menyatakan kenyamanan terhadap toileting dan makan.
kemampuan untuk melakukan ADLs Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan self-care.
Dapat melakukan ADLS dengan bantuan Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal sesuai kemampuan yang
dimiliki.
Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri bantuan ketika klien tidak mampu
melakukannya.
Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong kemandirian, untuk memberikan bantuan hanya jika
pasien tidak mampu untuk melakukannya.
Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai kemampuan.
Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan aktivitas sehari-hari.

3 Kurang Pengetahuan NOC : NIC :


berhubungan dengan Kowlwdge : disease process Teaching : disease Process
kurangnya informasi Kowledge : health Behavior Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik
mengenai penyakit Kriteria Hasil : Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan
Pasien dan keluarga menyatakan fisiologi, dengan cara yang tepat.
pemahaman tentang penyakit, kondisi, Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat
prognosis dan program pengobatan Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
Pasien dan keluarga mampu melaksanakan Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat
prosedur yang dijelaskan secara benar Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat
Pasien dan keluarga mampu menjelaskan Hindari harapan yang kosong
kembali apa yang dijelaskan perawat/tim Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat
kesehatan lainnya Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di
masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit
Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan
Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat
Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat
Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan
kesehatan, dengan cara yang tepat

4 Resiko jatuh berhubungan NOC NIC : Environment Management (Manajemen lingkungan)


dengan keterbatasan lapang Risk Kontrol Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
pandang yang ditandai Kriteria Hasil : Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif
dengan Klien terbebas dari cedera pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien
Klien mampu menjelaskan cara/metode Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan perabotan)
untukmencegah injury/cedera Memasang side rail tempat tidur
Klien mampu menjelaskan factor resiko dari Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
lingkungan/perilaku personal Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijangkau pasien.
Mampumemodifikasi gaya hidup Membatasi pengunjung
untukmencegah injury Memberikan penerangan yang cukup
Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.
Mampu mengenali perubahan status Mengontrol lingkungan dari kebisingan
kesehatan Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan
Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya perubahan status
kesehatan dan penyebab penyakit.

5 Resiko Cedera berhubungan NOC NIC : Environment Management (Manajemen lingkungan)


dengan keterbatasan lapang Risk Kontrol Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
pandang yang ditandai Kriteria Hasil : Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif
dengan Klien terbebas dari cedera pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien
Klien mampu menjelaskan cara/metode Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan perabotan)
untukmencegah injury/cedera Memasang side rail tempat tidur
Klien mampu menjelaskan factor resiko dari Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
lingkungan/perilaku personal Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijangkau pasien.
Mampumemodifikasi gaya hidup Membatasi pengunjung
untukmencegah injury Memberikan penerangan yang cukup
Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.
Mampu mengenali perubahan status Mengontrol lingkungan dari kebisingan
kesehatan Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan
Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya perubahan status
kesehatan dan penyebab penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Maryam RS,ekasari,MF,dkk .2008.mengenal usia lanjut dan perawatannya.Jakarta:salemba medika

Tamher,s,noorkasiani.2009.kesehatan usia lanjut dengan pendekatan asuhan keperawatan.Jakarta:salemba medika

Pranaka, Kris. 2010. Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Stockslager, Jaime L . 2008. Asuhan Keperawatan Geriatrik. Edisi 2. Jakarta :EGC

Stanley M, Patricia GB.2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC

Pudjiastuti SS, Budi Utomo. 2003. Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: EGC

Maryam RS, ekasari MF, dkk .2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba

Anda mungkin juga menyukai