Anda di halaman 1dari 50

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Combustio (luka bakar) merupakan cedera yang cukup sering dihadapi. Luka bakar berat
menyebabkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi dibandingkan cedera oleh sebab
lain. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya pun tinggi. Di Amerika Serikat, kurang
lebih 250.000 orang mengalami luka bakar setiap tahunnya. Dari angka tersebut, 112.000
penderita luka bakar membutuhkan tindakan emergensi, dan sekitar 210 penderita luka bakar
meninggal dunia. Di indonesia belum ada angka pasti mengenai luka bakar, tetapi dengan
bertambahnya jumlah penduduk serta industri, angka luka bakar tersebut makin meningkat.

Luka bakar menyebabkan hilangnya integritas kulit dan juga menimbulkan efek
sistematik yang sangat kompleks. Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang
ditentukan oleh kedalaman luka bakar. Beratnya luka bergantung pada dalam, luas, dan letak
luka. Selain beratnya luka bakar, umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya
merupakan faktor yang sangat mempengaruhi prognosis.

1.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi dari Combustio (Luka Bakar)

2. Untuk mengetahui penyebab, gejala, dan diagnose Combustio (Luka Bakar)

3. Untuk mengetahui factor-faktor risiko Combustio (Luka Bakar)

1.3 Manfaat
1. Meningkatkan pemahaman mengenai definisi, etiologi, patofisiologi, komplikasi,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, dan diagnose keperawatan
yang mungkin muncul pada Combustio (Luka Bakar).
2. Memberikan pengetahuan tentang Combustio (Luka Bakar) dan gejala-gejala di sertai
tindakan yang harus diambil untuk pencegahannya sebagai langkah awal dalam
mengantisipasi Combustio (Luka Bakar).

1
BAB II
STUDI LITERATUR (KONSEP PENYAKIT)

2.1 Definisi
Combustio atau luka bakar adalah kerusakan pada kulit yang disebabkan oleh panas,
kimia/radioaktif. (Long, 1996). Combustio atau luka bakar disebabkan oleh perpindahan
energi dari sumber panas ke tubuh. Panas tersebut dapat dipindahkan melalui
konduksi/radiasi elektromagnetik. (Effendi. C, 1999).
Kecelakaan arus listrik dapat terjadi apabila arus/ledakan dengan tegangan tinggi.
Energi panas yang timbul menyebabkan luka bakar pada jaringan tubuh. Pada luka jenis ini
yang khas adalah adanya luka tempat masuk yang menimbulkan hiperemesis dan ditengahnya
ada daerah nekrosis yang dikelilingi daerah pucat (Junaidi. P, 1997).

2.2 Etiologi

Penyebab luka bakar yang tersering adalah terbakar api langsung yang dapat dipicu
atau diperarah dengan adanya cairan yang mudah terbakar seperti bensin, gas kompor rumah
tangga, cariran dari tabung pemantik api, yang akan menyebabkan luka bakar pada seluruh
atau sebagian tebal kulit. Pada anak, kurang lebih 60% luka bakar disebabkan oleh air panas
yang terjadi pada kecelakaan rumah tangga, dan umumnya merupakan luka bakar superfisial,
tetapi dapat juga mengenai seluruh ketebelan kulit (derajat tiga).

Penyebab luka bakar lainnya adalah sebagai berikut :

1. Arus listrik
Arus listrik menimbulkan kelainan karena rangsangan terhadap saraf dan otot. Energi
panas yang timbul akibat tahanan jaringan yang dilalui arus menyebabkan luka bakar
pada jaringan tersebut. Energi panas dari loncatan arus listrik tegangan tinggi yang
mengenai tubuh akan menimbulkan luka bakar yang dalam karena suhu bunga api
listrik dapat mencapai 2.500°C. Arus bolak-balik menimbulkan rangsangan otot yang
hebat berupa kejang-kejang. Bila arus tersebut melalui jantung, kekuatan sebesar 60
miliampere saja sudah cukup untuk menimbulkan fibrilasi ventrikel. Lebih-lebih
kalau arus langsung mengenai jantung, fibrilasi dapat terjadi oleh arus yang hanya
sebesar 1/10 miliampere.

2
Kejang tetanik yang kuat pada otot skelet dapat menimbulkan fraktur
kompresi vertebra. Bila kawat berarus listrik terpegang tangan, pegangan akan sulit
dilepaskan akibat kontraksi otot fleksor jari lebih kuat daripada otot ekstensor jari
sehingga korban terus teraliri arus. Pada otot dada (m.interkostal) keadaan ini
menyebabkan gerakan napas terhenti sehingga penderita dapat mengalami asfiksia.
Pada tegangan rendah, arus searah tidak berbahaya dibanding arus bolak-balik dengan
ampere yang sama. Sebaliknya, pada tegangan tinggi, arus searah lebih berbahaya.
Panas timbul karena tahanan yang dijumpai waktu arus mengalir, dan dampaknya
bergantung pada jenis jaringan dan keadaan kulit.
Urutan tahann jaringan dimulai dari yang paling rendah adalah saraf, pembulih
darah, otot, kulit, tendo, dan tulang. Jaringan yang tahanannya tinggi akan lebih
banyak dialiri arus listrik sehingga akan menerima panas lebih banyak. Karena
epidermisnya lebih tebal, telapak tangan dan kaki mempunyai tahanan listrik lebih
tinggi sehingga luka bakar yang terjadi akibat arus listrik di daerah ini juga lebih
berat.
Kelancaran arus masuk tubuh juga bergantung pada basah atau keringnya kulit
yang kontak dengan arus. Bila kulit basah atau lembab, arus akan mudah sekali
masuk. Di tempat masuk arus listrik, tampak luka bakar dengan kulit yang lebih
rendah dari sekelilingnya, dan terdapat juga luka bakar yang serupa di tempat
loncatan arus keluar.
Panas yang timbul pada pembuluh darah akan merusak tunika intima sehingga
terjadi trombosis yang timbul pelan-pelan. Hal ini menerangkan mengapa kematian
jaringan pada luka bakar listrik seakan-akan progresif dan banyak kerusak jaringan
baru terjadi kemudian. Ekstremitas yang semula tampak vital, mungkin setelah
beberapa menunjukkan nekrosis otot iskemik. Beberapa jam setelah kecelakaan listrik
dapat terjadi sindrom kompartemen karena udem dan trombosis.
Pada kecelakaan tersengat arus listrik di daerah kepala, penderita dapat
pingsan lama dan mengalami henti napas. Dapat juga terjadi udem otak. Akibat
samping yang setelah waktu lama adalah katarak. Destruksi jaringan paling berat
terjadi dekat luka masuk dan keluar karena disanalah arus listrik paling kuat.
2. Tersambar petir
Petir yang biasanya terjadi saat cuaca berawan, sebenarnya merupakan muatan listrik
bertegangan tinggi. Tegangan petir sekitar 20-100 juta volt dengan arus yang dapat

3
mencapai 20.000 ampere dan suhu inti sampai 30.000 kelvin, jauh lebih tinggi
daripada suhu permukaan matahari.
Kecelakaan tersambar petir dapat terjadi dengan empat cara. Pertama, korban
di tempat terbuka tersambar petir yang berasal dari awan dan hendak menuju bumi;
mekanisme ini disebut tersambar-langsung. Kedua, korban berada di sekitar batang
pohon yang tersambar petir dalam jarak dua meter; mekanisme ini disebut tersambar-
samping, akibat adanya loncatan arus listrik dari batang pohon tersebut. Ketiga,
korban tersambar petir ketika bersandar pada pohon yang tersambar petir; mekanisme
ini disebut tersambar kontak. Keempat, korban melangkah, berdiri, atau jongkok
dekat tanah yang tersambar petir dengan jarak tidak lebih dari 30 meter; mekanisme
ini disebut tersambar-langkah.
Biasanya pada kejadian tersambar-langsung atau tersambar-samping, arus
listrik masuk ke kepala melalui lubang kepala, yaitu telinga, mata, atau mulut, dan
mencapai bumi melalui leher, tubuh, dan kaki. Arus listrik dapat mengalir pada
sebagian otak, pusat pernapasan, dan jantung sehingga korban dapat pingsan,
mengalami henti napas, maupun henti jantung.
Pada tersambar-kontak, aliran listrik masuk tubuh pada tempat kontak yang
akan menentukan gambaran klinis, sedangkan pada tersambar-langkah, arus listrik
masuk melalui kaki yang terdekat dengan tempat petir di tanah dan keluar tubuh lagi
melalui kaki yang lain. Jadi umumnya tidak akan terjadi pingsan, henti napas, atau
henti jantung.
3. Luka akibat zat kimia
Luka akibat zat kimia biasanya merupakan luka bakar. Luka ini dapat terjadi akibat
kelengahan, pertengkaran, kecelakaan kerja, dan kecelakaan industri atau di
laboratorium, dan akibat penggunaan gas beracun dalam peperangan. Kerusakan
yangterjadi sebanding dengan kadar dan jumlah bahan yang mengenai tubuh, cara dan
lamanya kontak, serta sifat dan cara kerja zat kimia tersebut. Zat kimia akan tetap
merusak jaringan sampai bahan tersebut habis bereaksi dengan jaringan tubuh.
Zat kimia seperti kaporir, kalium permanganar, dan asam kromat dapat
bersifat oksidator. Bahan korosif, seperti fenol dan fosfor putih, serta larutan basa,
seperti kalium hidroksida dan natrium hidroksida menyebabkan dematurasi protein.
Dematurasi akibat penggaraman dapat disebabkan oleh asam formiat, asetat, tanat,
fluorat, dan klorida. Asam sulfat merusak sel karena bersifat cepat menarik air. Gas
yang dipakai dalam peperangan menimbulkan luka bakar dan menyebabkan anoksia

4
sel bila berkontak dengan kulit atau mukosa. Beberapa zat dapat menyebabkan
keracunan sistemik. Asam fluorida dan oksalat dapat menyebabkan hipokalemia.
Asam tanat, kromat, formiat, pikrat, dan fosfor dapat merusak hati dan ginjal kalau
diabsorbsi. Lisol menyebabkan methemoglobinemia.
4. Luka radiasi dan ionasi
Radiasi adalah pancaran dan pemindahan energi melalui ruang dari suatu sumber ke
tempat lain tanpa perantaraan massa atau kekuatan listrik. Energi ini dapat berupa
radiasi elektromagnetik, seperti cahaya, sinar roentgen, sinar gamma, dan radiasi
partikel yang merupakan sinar alfa, beta, proton, neutron, atau positron. Sinar
roentgen merupakan pancaran elektromagnetik dari metal yang ditembak elektron
pada tabung hampa. Sinar gamma adalah hasil pemecahan radioaktif yang daya
tembusnya tinggi. Sinar alfa adalah inti helium yang dipancarkan dari proses
pemecahan radioaktif atom berat, dan berdaya tembus dangkal. Sinar beta terdiri atas
elektron bermuatan negatif yang berdaya tembus sedang, yang selain oleh pemecahan
radioaktif, juga dihasilkan oleh pembangkit tenaga betatron. Sinar gamma, sinar
roentgen, dan neutron berdaya tembus tinggi sehingga sangat berbahaya untuk
manusia.
Radiasi yang bersifat ionisasi akan merusak kromosom sehingga dapat
menimbulkan mutasi yang menjadi dasar perkembangan keganasan. Risiko itu
berlaku seumur hidup. Daya merusak ini sebanding dengan dosis dan bersifat
komulatif,
 Sindrom radiasi akut
Sindrom ini merupakan gejala kerusakan organ yang sel-selnya cepat
bermitosis, misalnya sistem hemopoitetik dan mukosa usus. Tahap I ditandai
dengan malaise, muntah, diare, yang akut yang mungkin membaik sendiri.
Tahap II disertai anemia, leukopenia, dan trombositopenia yang mungkin
masih membaik setelah beberapa minggu. Pada tahap III timbul lagi diare dan
muntah berat sehingga tubuh kehilangan cairan dan elektrolit, juga terjadi
perdarahan usus.
Bila dosis radiasi lebih dari 50.000 Gy, muncul gejala susunan saraf
pusat, yaitu rasa terbakar, kesemutan, gelisah, koma, dan akhirnya kematian
dalam tiga hari akibat udem otak.
 Sindrom radiasi kronik

5
Sindrom ini terjadi akibat radiasi sedang dalam waktu lama atau setelah
akumulasi radiasi ringan. Tanda dan gejala berupa rasa kurang sehat kronik,
depresi sumsum tulang, anemia, radiodermatitis, ulkus yang susah sembuh.
Dapat terjadi kematian jaringan dan keganasan, terutama sistem darah,
payudara, tiroid, tulang, atau paru.
Akibat depresi sumsum tulang terjadi leukopenia dan penurunan hebat
sistem pertahanan seluler sehingga komplikasi yang berbahaya akibat radiasi
adalah terserang infeksi berat.
 Fase-fase pada luka bakar :
1. Fase akut
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan
mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), brething (mekanisme
bernafas), dan circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi
segera atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi
saluran pernafasan akibat cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera
inhalasi adalah penyebab kematian utama penderita pada fase akut. Pada fase akut
sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera termal
yang berdampak sistemik.
2. Fase sub akut
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan
atau kehilangan jaringan akibat kontak dengan sumber panas. Luka yang terjadi
menyebabkan:
a. Proses inflamasi dan infeksi.
b. Problem penutupan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak
berbaju epitelnluas dan pada struktur atau organ-organ fungsional.
c. Keadaan hipermetabolisme.
3. Fase lanjut
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan
pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini
adalah penyulit berupa parut yang hipertropik, keloid, gangguan pigmentasi,
deformitas dan kontraktur.

2.3 Klasifikasi

6
Cedera luka bakar digambarkan dengan kedalaman, agen penyebab, dan keparahan.
Kulit adalah organ tubuh yang paling luas, dan kulit melakukan beberapa fungsi yang
kompleks. Kulit adalah pertahanan baris pertama dari tubuh terhadap serangan
mikroorganisme dan radiasi lingkungan. Kulit mencegah kehilangan cairan tubuh,
mengendalikan suhu tubuh, berfungsi sebagai organ ekstretorik dan sensorik, menghasilkan
vitamin D, dan mempengaruhi citra tubuh.

 Luas luka bakar


Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Pada orang
dewasa digunakan “rumus 9”, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, perut,
pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha
kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%, sisanya
1% adalah daerah genetalia. Rumus ini membantu untuk menafsir luasnya permukaan
tubuh yang terbakar pada orang dewasa.
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan
kepala anak lebih besar. Karena perbandingkan luas permukaan bagian tubuh anak
kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi dan rumus 10-15-20 untuk anak.
Untuk anak, kepala dan leher 15%, badan depan dan belakang masing-masing
20%, ekstremitas atas kanan dan kiri masing-masing 10%, ekstremitas bawah kanan
dan kiri masing-masing 15%.
 Derajat luka bakar
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu dan lamanya pajanan suhu
tinggi. Selain api yang langsung menjilat tubuh, baju yang ikut terbakar juga
memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah yang terbuat dari bulu
domba (wol). Bahan sintetis, seperti nilon dan dakron, selain mudah terbakar juga
mudah lumer oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman
luka bakar.
Luka bakar derajat satu hanya mengenai epidermis dan biasanya sembuh
dalam 5-7 hari; misalnya tersengat matahari. Luka tampak sebagai eritema dengan
keluhan rasa nyeri atau hipersensitivitas setempat.
Luka bakar derajat dua mencapai kedalaman dermis, tetapi masih ada elemen
epitel sehat yang tersisa. Elemen epitel tersebut, misalnya sel epitel basal, kelenjar
sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya sisa sel epitel ini, luka
dapat sembuh sendiri dalam dua sampai tiga minggu. Gejala yang timbul adalah nyeri,

7
gelembung, atau bula berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluh karena
permeabilitas dindingnya meningkat.
Luka bakar derajat tiga meliputi seluruh kedalaman kulit dan mungkin
subkutis, atau organ yang lebih dalam. Tidak ada lagi elemen epitel hidup tersisa yang
memungkinkan penyembuhan dari dasar luka;biasanya diikuti dengan terbentuknya
eskar yang merupakan jaringan nekrosis akibat denaturasi kulit. Oleh karena itu,
untuk mendapatkan kesembuhan harus dilakukan skin grafting. Kulit tampak pucat
abu-abu gelap atau hitam, dengan permukaan lebih rendah dari jaringan sekeliling
yang masih sehat. Tidak ada bula dan tidak terasa nyeri.
 Beratya luka bakar
Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka
bakar. Walaupun demikian, beratnya luka bergantung pada dalam, luas, dan letak
luka. Umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya akan sangat memengaruhi
prognosis.
Selain dalam dan luasnya luka bakar, prognosis dan penanganan ditentukan
oleh letak luka, usia, dan keadaan kesehatan penderita. Perawatan daerah perineum,
ketiak, leher, dan tangan sulit, antara lain karena mudah mengalami kontraktur. Bayi
dan orang usia lanjut daya kompensasinya lebih rendah, maka bila terbakar
digolongkan ke dalaam golongan berat.

2.4 Patofisiologi

Kulit adalah organ terluar tubuh manusia dengan luas 0,025 m² pada anak baru lahir
sampai 1 m² pada orang dewasa. Apabila kulit terbakar atau terpajan suhu tinggi, pembuluh
kapiler di bawahnya, area sekitarnya dan area yang jauh sekalipun akan rusak dan
menyebabkan permeabilitasnya meningkat. Terjadilah kebocoran cairan intrakapilar ke
interstisial sehingga terjadi udem dan bula yang mengandung banyak elektrolit. Rusaknya
kulit akibat luka bakar akan mengakibatkan hilangnya fungsi kulit sebagai barier dan penahan
penguapan.

Kedua penyebab di atas dengan cepat menyebabkan berkurangnya cairan


intravaskular. Pada luka bakar yang luasnya kurang dari 20% mekanisme kompensasi tubuh
masih bisa mengatasinya. Bila kulit yang terbakar luas (lebih dari 20%), dapat terjadi syok
hipovolemik disertai gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil

8
dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi
perlahan, maksimal terjadi setelah delapan jam.

Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel
darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia.

Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi
kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang terhidup. Udem laring
yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas,
takipnea, stridor, suara parau, dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.

Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. Karbonmonoksida
sangat kuat terikat dengan hemoglobin sehingga hemoglobin tidak mampu lagi mengikat
oksigen. Tanda keracunan ringan yaitu lemas, bingung, mual dan muntah. Pada keracunan
yang berat terjadi koma. Bila lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat
meninggal.

Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta
penyerapan kembali cairan dari ruang interstisial ke pembuluh darah yang ditandai dengan
meningkatnya diuresis.

Luka bakar umumnya tidak steril. Kontaminasi pada pada kulit mati yang merupakan
medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit
diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis.
Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab
infeksi pada luka bakar, selain berasal dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi
kuman saluran napas atas dan kontaminasi kuman di limgkungan rumah sakit. Infeksi
nosokomial biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten
terhadap berbagai antibiotik.

Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang berasal dari
kulit sendiri atau dari saluran napas, kemudian dapat terjadi invasi kuman Gram negatif.
Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease dan toksin lain yang
berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas
dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim
penghancur keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk
nanah.

9
Infeksi ringan dan noninvasif (tidak dalam) ditandai dengan keropeng yang mudah
terlepas dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan keropeng yang
kering dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-mula sehat menjadi nekrotik:
akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat dua menjadi derajat tiga. Infeksi kuman
menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan
trombosis.

Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat dua dapat sembuh dengan
meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen peitel yang
masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal
rambut. Luka bakar derajat dua yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang
nyeri, gatal, kaku, dan secara estetik sangat jelek.

Luka bakar derajat tiga yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur.
Bila ini terjadi di persendian: fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.

Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristaltis usus
menurun atau berhenti karena syok. Juga peristaltis dapat menurun karena kekurangan ion
kalium.

Stress atau beban faali serta hipoperfusi daerah splangnikus pada penderita luka bakar
berat dapat menyebabkan terjadinya tukak dimukosa lambung atau duodenum dengan gejala
yang sama dengan tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling atau stress ulcer.
Aliran darah ke lambung berkurang, sehingga terjadi iskemia mukosa. Bila keadaan ini
berlanjut, dapat timbul ulkus akibat nekrosis mukosa lambung. Yang dikhawatirkan pada
tukak Curling ini adalah penyulit perdarahan yang tampil sebagai hematemesis atau melena.

Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan


protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi,
dan mudah terjadi infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga memerlukan
kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat dari
pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot
mengecil, dan berat badan menurun. Kecacatan akibat luka bakar bisa sangat hebat, terutama
bila mengenai wajah. Penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat akibat cacat
tersebut, sampai bisa menimbulkan gangguan jiwa yang disebut schizophrenia postburn.

10
2.5 Manifestasi Klinis Combustio

Cedera Inhalasi

Jika luka bakar disebabkan oleh nyala api, atau korban terbakar pada tempat yang
terkurung, atau keduanya, perhatikan terhadap tanda-tanda keracunan karbon monoksida,
penghirupan asap, dan tanda-tanda menyertai distress pernapasan dan cedera pulmonal.

Keracunan Karbon Monoksida

Sering kali, pasien luka bakar terperangkap di dalam gedung yang terbakar dalam dan
telah meghirup karbon monoksida dalam jumlah yang signifikan. Karakteristik dari tanda-
tanda fisikbiasanya tidak ada, dan warna kulit merah bertanda cheery hampir tidak pernah
terlihat pada pasien luka bakar. Manifestasi-manifestasi system saraf pusat karena keracunan
karbon monoksida dapat berkisar dari sakit kepala sampai koma hingga kematian.

Diagnosis dibuat dengan menentukan langsung kadar karboksihemoglobin dengan


spektrofotometri. Konsentrasi karboksihemoglobin harus diukur pada semua korban luka
bakar. Sebelum abnormalitas system saraf pusar dikaitkan dengan keracunan karbon
monoksida, penyakit-penyakit potensial fatal lainnya yang terkadang juga terjadi pada orang
yang mengalami cidera termal harus diteliti. Kondisi-kondisi yang secara klinis, mirip dengan
keracunan karbon monoksida pada pasien cendera termal termasuk takar lajak akut obat,
diabetes takterkontrol, intoksikasi alcohol akut, cedera kepala akut, reaksi psikotik akut, takar
lajak insulin, dan syok hipovolemik atau septic.

Distress Pernapasan

Penurunan oksigenasi arterial sering terjadi setelah cedera luka bakar. Meskipun
mekanisme yang tepat belum diketahui, pemulihan curah jantung dapat meningkatkan
oksigenasi. Karenanya, penurunan oksigenasi ini dapat berhubungan dengan rendahnya
perfusi jaringan dan syok ketimbang obstruksi jalan udara. Oleh karena itu, penurunan PO2
arterial dapat menunjukkan terjadinya obstruksi jalan udara atau penurunan curah jantung
kiri.

Penyebab seketika distress pernapasan sering kali adalah edema laring atau spasme
dan akumulasi lendir. Karena tanda-tanda actual obstruksi tidak akan terlihat selama beberapa
jam, adalah perlu untuk memantau psaien secara kontinu terhadap serak, ngiler, atau
ketidakmampuan menangani sekresi. Serak menunjukkan penurunan signifikan pada

11
diameter jalan napas. Edema dapat terus berkembang selama 72jam, dan mungkin ada
indikasi untuk intubasi endoktrakeal atau trakeostomi. Karena obstruksi jalan udara akibat
edema laring akan menghilang dalam 3 sampai 5 hari, intubasi endotrakeal atau nasotrakeal
adalah lebih baik dari trakeostomi.

Cedera Pulmonal

Cedera inhalasi biasanya timbul dalam 24 sampai 48 jam pertama pascaluka bakar
dan sekunder terhadap inhalasi produk-produk yang mudah terbakar; ini bukan meupakan
akibat dari cedera termal karena kebanyakan panas tersebar pada tingkat trakea distal. Yang
paling umum, terutama pada cedera ruang tertutup, inhalasi produk-produk yang terbakar
tidak sempurna mengakibatkan penumonitis kimiawi. Terjadi perubahan-perubahan inflamasi
selama 24jam pertama pascaluka bakar. Pohon pulmonal menjadi teriritasi dan edematosa,
namun, perubahan tidak akan timbul sampai 24jam kedua. Edema pulmonal adalah
kemungkinan bisa terjadi setiap saat dari beberapa jam pertama sampai 7hari setelah cedera.
Pasien mungkin irasional atau bahkan tidak sadar, tergantung pada tingkat hipoksia.

Serangkaian pemeriksaan gas-gas darah arterial akan memperlihatkan penurunan


PO2. Biasanya, foto dada saat masuk akan tampak normal karena tidak akan terlihat
perubahan 24 sampai 48jam setelah cedera. Harus didapatkan specimen sputum untuk
pemeriksaan kultur dan sensivitas. Laringoskopi dan bronkoskopi akan sangat berarti dalam
menentukan adanya materi karbonaseosa mukosa (tanda cedera inhalasi yang paling dapat
diandalkan) dan keadaan mukosa (melepuh, edema, eritema), yang dapat mempengaruhi
bronkopasme, atelektasis, hipoksemia, dan edema pulmonal.

Kepastian yang lebih spesifik dari cedera inhalasi dicapai dengan penggunaan
bronkoskopi serat optic, yang memungkinkan pemeriksaan langsung jalan napas proksimal,
dan scintigraphy xenon-133. Skaning ventilasi-perfusi xenon-133 sangat membantu dalam
menegakkan diagnose cedera pada jalan napas yang kecil dan parenkim paru.

Kerusakan pulmonal, terutama yang diakibatkan oleh inhalasi, bertanggung jawab terhadap
20% sampai 84% mortalitas luka bakar. Tiga tahapan dari cedera yang telah diuraikan adalh:

1) Insufisiensi pulmonal akut-dapat terjadi selama 36 jam pertama


2) Edema pulmonal-terjadi pada 5% sampai 30% pasien luka bakar antara 6 sampai 72
jam setelah luka bakar

12
3) Bronkopneumonia-terjadi pada 15% sampai 60% pasien luka bakar 3 sampai 10 hari
setelah luka bakar

Elektrolit

Konsentrasi elektrolit berubah tidak hanya karena cedera langsung pada sel-sel yang
terbakar. Perubahan-perubahan kimia berkaitan dengan pergeseran komposisi dari berbagai
cairan karena perpindahan dari satu kompartemen ke yang lainnya. Pemeriksaan elektrolit
pada awalnya menunjukkan peningkatan serum kalium karena pelepasan pelepasan kalium
intraseluler sekunder terhadap cedera pada sel. Kalium intraselular digantikan oleh natrium,
dan oleh karenanya terjadi kerusakan fungsi normal selular.

Setelah kira-kira 48jam, dinding kapiler telah sembuh dengan baik untuk
mengehentikan perpindahan cairan dari percabangan vascular. Cairan kemudian ditarik
kembali ke pembuluh darah, edema menghilang, volume plasma meluas, dan dieresis
dimulai. Pada waktu ini, sejumlah besar kalium hilang, dan mungkin dipeerlukan
penggantian. Pada luka bakar hebat, perubahan kadar kaliaum harus dipantau dengan cermat
untuk menghindari terjadinya gagal jantung.

Temuan-temuan

 ↓K
 ↑Na, klorida
 ↑BUN

Kadar natrium maupun klorida plasma pada awalnya normal atau agak meningkat
tetapi meningkat dengan cepat ketika diserap cairan interstisial yang berlebihan.kadar
glukosa darah dapat meningkat sementara sebagai akibat aksi epinefrin, yang dilepaskan pada
reaksi terhadap stress cedera luka bakar. Epinefrin beraksi pada asam amino untuk
menghasilkan glukosa (glukoneogenesis), dimana pasien harus memenuhi kebutuhan tubuh
selama stress.

Ginjal

Keluaran urine menurun karena hipotensi, penurunan aliran darah ginjal, dan sekresi
hormone andidiuretik serta aldosteron. Kecuali tindakan resusitasi cairan dilakukan dengan
cepat dan tepat, buruknya perfusi jaringan dapat mengakibatkan melemahnya ginjal. Karena
kerusakan eritrosit akibat cedera termal, maka eritrosit yang rusak tersebut melepaskan

13
hemoglobin bebas; jaringan otot yang rusak melepaskan mioglobin. Saat hemoglobin dan
mioglobin melewati ginjal, maka keduanya diekskresi ke dalam urine. Jika bahan-bahan ini
menyumbat nefron, maka dapat terjadi gagal ginjal.

Temuan-Temuan

 ↑Haluaran urine
 mioglobinuria

Protocol-protokol yang dikhususkan untuk mengobati miglobinuria telah


dikembangkan. Gambaran umum dari formula ini adalah mempertahankan haluaran urine
yang tinggi dan alkalinisasi urin untuk mencegah presipitasi mioglobin atau hemokromogen
dan selanjutnya gagal ginjal akut. Mioglobinuria pada pasien dengan cedera termal tidak
dapat ditangani dalam isolasi. Deficit volume keseluruhan harus diperbaiki dan perfusi ginjal
dioptimalkan sebelum di berikan diuretic osmotic atau loop.

Metabolik

Respons stress yang ditimbulkan oleh ceedera luka bakar (atau trauma apa saja)
meningkatkan sekumpulan respons fisiologis yang ditandai dengan peningkatan penggunaan
energy dan kenaikkan kebutuhan nutrisi. Hipermetabolisme, meningkatkan aliran glukosa,
dan pemborosan banyak protein dan lemak adalah ciri-ciri respons terhadap trauma dan
infeksi. Pada keadaan tidak terdapat penyakit lain responnya adalah sehebat seperti setelah
cedera termal. Kecepatan metabolic pada orang dengan luka bakar lebih dari 40% LPTT
sering dua kali lipat normal. Status hipermetabolik ini memuncak antara hari ke-7 dan ke-17
setelah luka bakar. Peningkatan konsumsi oksigen, kecepatan metabolic, eksresi urine,
pemecahan lemak, dan erosi massa tubuh terus menerus berhubungan langsung dengan
ukurann luka bakar dan akan kembali ke keadaan normal sejajar dengan sembuhnya atau
tertutupnya luka bakar.
Temuan-Temuan

 hipermetabolisme
 kehilangan berat badan

14
Pasien dengan luka bakar lebih besar dari 40% LPTT, yang mendapat perawatan
sungguh-sungguh dengan alimentasi per orsl, menunjukkan adanya penurunan berat badan
25% dari berat badan sebelum dirawat di rumah sakit sampai 3minggu setelah luka bakar.
Penurunan berat badan yang cepat ini saja berakibat fatal. Hanya saja akhir-akhir ini, dengan
penggunaan hiperalimentasi parenteral dan enteral, telah dimungkinkan untuk memberikan
energi eksogen yang mencukupi untuk mencegah penurunan berat pascaluka bakar.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik

1. Hitung darah lengkap


Peningkatan MHT awal menunjukkan hemokonsentrasi sehubung dengan
perpindahan atau kehilangan cairan. Selanjutnya menurunnya Hb dan Ht dapat terjadi
sehubungan dengan kerusakan oleh panas terhadap endothelium pembuluh darah.
2. Sel darah putih
Leukosit dapat terjadi sehubungan dengan kehilangan sel pada sisi luka dan respon
inflamasi terhadap cidera.
3. GDA
Dasar penting untuk kecurigaan cidera inhalasi.
4. CO Hbg
Peningkatan lebih dari 15% mengindikasikan keracunan CO cidera inhalasi.
5. Elektrolit serum
Kalium dapat meningkat pada awal sehubungan dengan cidera jaringan / kerusakan
SDM dan penurunan fungsi ginjal.
6. Natrium urine random
Lebih besar dari 20 MeqL mengindikasikan kelebihan resusitasi cairan. Kurang dari
10 Meq / L menduga ketidakadekuatan resusitasi cairan.
7. Glukosa serum
Rasio albumin / globulin mungkin terbalik sehubungan dengan kehilangan protein
pada edema cairan.

15
8. Albumin serum
Peningkatan glukosa serum menunjukkan respon stress.
9. BUN kreatinin
Peningkatan BUN menunjukkan penurunan fungsi ginjal.
10. Urine
Adanya albumin. Hb dan mioglobulin menunjukkan kerusakan jaringan dalam dan
kehilangan protein.
11. Foto roentgen dada
Dapat tampak normal pada pasca luka bakar dini meskipun dengan cidera inhalasi.
Namun cidera inhalasi yang sesungguhnya akan ada pada saat progresif tanpa foto
dada.
12. Bronkopi serat optik
Berguna dalam diagnosa luas cidera inhalasi. Hasil dapat meliputi edema. Perdarahan
dan / tukak pada saluran pernapasan atas.
13. Loop aliran volume
Memberikan pengkajian non invasive terhadap efek / luasnya cidera inhalasi.
14. Scan paru
Mungkin dilakukan untuk menentukan luasnya cidera inhalasi.
15. EKG
Tanda iskemia miokardiak distritmia dapat terjadi pada luka bakar listrik.
16. Fotografi luka bakar
Memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar selanjutnya.

2.7 Penatalaksanaan / Tindakan Medis

 Fase Resusitatif

Perawatan awal di tempat kejadian

Prioritas utama yang harus dilakukan pada tempat terjadinya cedera adalah
menghentikan proses kebakaran dan mencegah mencederai diri sendiri. Nyala api harus
dimatikan dengan air atau menutupinya dengan selimut, atau korban harus digulingkan
ditanah. Pakaian yang terbakar, pakaian yang meleleh, ikat pinggang, dan perhiasaan harus
dilepas sebelum mulai terjadi pembengkakan. Pakaian dan perhiasan dapat menahan panas
dan dapat menyebabkan luka bakar berlanjut sampai ke jaringan yang lebih dalam.

16
Perawatan di Unit Gawat Darurat

Jika pemasangan kanulasi intravena tidak dilakukan di tempat kejadian, maka kanula
dengan diameter besar harus dipasang pada vena perifer atau harus dimulai di aliran sentral.
Semua pasien dengan luka bakar LPTT diatas 20% sampai 30% harus dipasang kateter untuk
pengukuran haluran urine yang akurat. Selang nasogatrik harus dipasang pada semua pasien
dengan resiko ileus paralitik (luka bakar LPTT lebih besar dari 25%). Jika diduga adanya
cedera inhalasi atau keracunan karbon monoksida, maka harus di berikan oksigen yang
dilembabkan 100%.

Booster toksoid tetanus harus diberikan jika pasien sudah diimunisasi sebelumnya
namun belum menerima toksoid tetanus dalam 5 tahun terakhir. Jika riwayat imunisasi
tetanus tidak diketahui, pasien harus mendapat 250unit globulin human imun-tetanus manusia
dan pemberian pertama dari serangkaian imunisasi aktif dengan toksoid tetanus.

Pasien harus ditutupi dengan selimut yang tidak melekat, atau tidak berbulu. Selimut
tambahan dapat diberikan sesuai kebutuhan untuk memberikan kehangatan dan untuk
mencegah hipotermia. Pasien luka bakar akan mudah menggigil karena mereka telah
kehilangan perlindungan kulit terhadap perubahan-perubahan suhu. Selimut juga melindungi
luka dari kontaminasi dan mengurangi nyeri karena hembusan angin. Air atau normal salin
yang dingin, steril dapat diberikan pada luka untuk mengurangi nyeri; bagaimanapun adalah
penting untuk melindungi pasien terhadap hiportemia dan kerusakan jaringan. Batu es atau
air es tidak boleh diberikan karena dingin yang ekstrim dapat menyebabkan kerusakan
jaringan lebih lanjut. Tanggung jawab keperawatan termasuk pemantauan terhadap cedera
inhalasi, pemantauan resusitasi cairan, pengkajian luka bakar, pemantauan tanda-tanda vital,
pengumpulan riwayat kesehatan yang akurat, dan melakukan tindakan-tindakan kedaruratan.

Perawatan di Unit Perawatan Kritis

Perawat unit perawatan kritis memainkan peranan penting dalam merasat pasien luka
bakar dan keluarganya.

Resusitasi Cairan

Resusitasi cairan adalah intervensi primer pada fase ini. Tujuan dari fase perawatan
ini adalah untuk:

 Memperbaiki deficit cairan, elektrolit, dan protein

17
 Menggantikan kehilangan cairan berlanjut dan mempertahankan keseimbangan cairan
 Mencegah pembentukan edema yang berlebihan
 Mempertahankan haluran urine pada orang dewasa 30 sampai 70ml/jam

Formula untuk pemberian cairan.

Banyak formula telah dikembangkan untuk resusitasi cairan, masing-masing dengan


keuntungan dan kerugiannya. Formula tersebut berbeda terutama dalam cara pemberian
volume yang dianjurkan dan kandungan garamnya. Secara umum, harus dilakukan
penggantian kehilangankristaloid dan larutan koloid dengan teliti. Air bebas, diberikan
berupa dekstrosa/air (5DW) 5% dengan atau tanpa tambahan elektolit, diatur banyaknya
sehingga kehilangan cairan yang tidak terlihat dapat digantikan. Ringer Laktat digunakan
sebagai larutan kristaloid karena merupakan larutan garam yang seimbang yang hampir
mendekati komposisi dari cairan ekstraselular. Selain itu, Ringer Laktat mempunyai molekul-
molekul yang besar, yang dapat mengembangkan volemu plasma yang bersirkulasi.

Formula Parkland adalah regimen resusitasi yang paling umum digunakan Amerika
Serikat. Formula ini memerlukan 4ml Ringer Laktat per kilogram berat badan per persen
LPTT luka bakar. Jumlah ini diberikan pada 24jam pertama pascaluka bakar. Setengahnya
diberikan pada 8jam pertama pascaluka, dan sisanya diberikan 16jam kemudian pascaluka.
Formula-formula lain yang dianjurkan megandung berbagai jumlah koloid atau saline
hipertonik. Argumentasi tentang pemberian koloid pada 12jam pertama pascaluka bakar
adalah bahawa adanya difusi kebocoran kapiler pascaluka bakar yang memungkinkan koloid-
koloid untuk mengalir melalui fungsi endothelial, dengan demikian pemberian kristaloid
tidak menghasilkan manfaat onkotik. Resusitasi saline hipertonik menurunkan jumlah cairan
yang perlu diberikan pada pasien tertentu, namun dapat menyebabkan hipernatermia berat
dan harus digunakan dengan hati-hati.

Contoh berikut dapat membantu untuk mengilustrasikan kebutuhan cairan yang


sangat banyak. Formula Baxter atau Parkland untuk pasien dengan berat 75kg yang
mengalami luka bakar melebihi 50% dari tubuh akan dinyatakan sebagai berikut:

4ml x 75kg x 50% = 15.000ml

Dari jumlah ini, 7.500ml diberikan selama periode 8 jam pertama, dan 3.750ml
diberikan pada periode delapan jam kedua dan ketiga. Karena itu, pencegahan kelebihan
cairan dan edema pulmonal adalah sangat sulit dan perlu menginfuskan cairan dengan cepat.

18
Akibatnya, digoksin dapat diberikan pada pasien dengan luka bakar berat untuk menginduksi
fungsi yang maksimal ventrikel kiri dan untuk meminimalkan peluang peningkatan transien
pada tekanan atrium kiri. Infuse isoproterenol dapat juga digunakan untuk gejala-gejala
penurunan curah jantung.

Saat pascacedera dimana integritas kapiler sudah pulih bervariasi diantara individu,
tetapi biasanya antara 12-14 jam. Banyak dokter memberikan koloid pada saat ini untuk
memulihkan kadar albumin pada 2,0 sampai 3,0 mg/dl. Terdapat kontroversi tentang tipe
koloid yan harus diberikan, beberapa pusat kesehatan menggunakan garam dengan sedikit
albumin dan lainnya menggunakan plasma beku segar.

Kolagen nonprotein dapat digunakan pada resusitasi syok luka bakar. Dekstan dan
hetastarch adalah larutan dengan berat molekul yang tinggi yang membangkitkan tekanan
osmotic koloid bila diberikan secara intravascular. Respons alergik telah dilaporkan terjadi
dengan pemberian dekstran, tetapi risiko tersebut sebenarnya dapat dihilangkan pada
prapengobatan dengan Promit, dekstran dengan berat molekul yang sangat rendah.

Selama masa 24 jam pertama pascacedera, penggantian kehilangan air evaporative


masih adalah pertimbangan utama dalam penatalaksanaan cairan. Larutan utama dalam
penatalaksaan cairan. Larutan utama yang diberikan pada saat ini adalah D5W, dengan tujuan
untuk mempertahankan konsentrasi natrium pasien 140mEq/L.

Pemantauan Penggantian Cairan. Formula resusitasi berkenaan dengan perkiraan, dan


haluaran urine dan tekanan darah yang harus dipantau perjam untuk mengevaluasi respons
terhadap tindakan. Haluaran urine adalah indicator tunggal terbaik dari resusitasi cairan pada
pasien dengan fungsi ginjal sebelumnya normal. Aliran sentral dan kateter Swan-Ganz tidak
dipasang secara rutin karena bahaya sepsis; bagaimanapun pemasangan ini dilakukan dalam
keadaan tertentu.

Kecukupan penggantian cairan dinilai secara klinis untuk orang dewasa dengan
haluaran urine pada 30 sampai 70ml/jam, frekuensi nadi dibawah 120, tekanan darah normal
samapai batasan tinggi, nilai tekanan vena sentral 12cm H2O atau tekanan desak kapiler
pulmonal dibawah 18mmHg, sensorium jelas, dan bunyi paru jelas, dan tidak adanya gejala-
gejala intestinal seperti mual dan paratilik ileus. Pasien biasanya ditimbang setiap hari.
Penambahan berat badan15% dari berat pertama masuk rumah sakit dapat terjadi. Masukan
dan haluaran harus dipantau dengan cermat.

19
Awitan dieresis spontan adalah tanda yang menunjukkan akhir dari fase resusitatif.
Kecepatan infuse dapat diturunkan sampai 25% dalam 1jam jika haluaran urine memuaskan
dan dapat dipertahankan selama 2jam; peurunan dapat diulang kemudian. Adalah penting
bahwa haluaran urine dipertahankan pada batas normal (50-70ml/jam).

Pasien yang menderita cedera otot dalam (y.i., luka bakar derajat dua atau tiga)
berisiko terhadap insufiensi ginjal akut. Disfungsi ginjal ini mungkin diakibatkan oleh
inadekuat resusitasi cairan atau merupakan konsekuensi pembebasan hemoglobin dan
hemoglobin dari sel-sel yang rusak. Senyawa ini, terkadang diacu sebagai hemokromagen,
dapat mengendap dalam tubulus renal, mengakibatkan nekrosis tubular akut. Hemokromagen
menghasilkan warna coklat terang kemerahan pada urin. Bila hemokromagen terlihat dalam
urine, asidosis harus diperbaiki segera dan cairan intravena ditingkatkan untuk
mempertahankan haluaran urine yang lancar sampai urine kembali waran kuning terang
normal.

Cedera Inhalasi

Tujuan dalam mengatasi cara inhalasi adalah untuk:

 Memperbaiki oksigenasi

20
 Mengurangi edema interstisial dan oklusi jalan napas

Tindakan konvensional pada cedera inhalasin sebagian besar adalah tindakan suportif.
Diberikan oksigen yang dilembabkan untuk mencegah pengeringan dan penanggalan mukosa.
Edema jalan udara bagian atas memuncak pada 24 sampai 48jam setelah cedera. Jika
keparahan cedera ringan atau sedang, pemberian epinefrin rasemik aerosol dengan posisi
flowler’s tinggi akan cukup untuk membatasi pembentukan edema lebih lanjut. Obnstruksi
berat jalan napas akan memerlukan intubasi endotrakeal untuk meindungi jalan napas sampai
edema menghilang.

Pada pasien dengan cedera trakeobronkial ringan, atelektasis dapat dicegah dengan
pembersihan pulmonal secara sering, termasuk posisi flowler’s tinggi, batuk dan napas
dalam, pengaturan posisi, suksion trakeal, dan spirometri intensif. Cedera inhalasi yang lebih
berat memerlukan suksion yang lebih sering dan kemungkinan pengangkatan debris
bronkoskopik. Pasien dengan brokospasme harus ditangani dengan pemberian bronkodilator
aerosol. Parameter pernapasan harus dipantau dengan ketat dan perhatian harus ditujukan
pada bunyi napas dan tanda-tanda vital sehingga kelebihan cairan dapat terdeteksi sedini
mungkin.

Bronkopneumonia dapat memperberat masalah-masalah pernapasan lainnya setiap


saat, dan dapat berupa hetomagen, atau yang ditularkan melalui udara. Bronkopneumonia
airbone adalah sangat umum, dengan awitan terjadi segera setelah cedera. Ini sering berkaitan
dengan cedera jalan udara bagian bawah atau aspirasi. Pneumonia hematogen atau miliar,
dimulai sebagian abses bacterial sekunder terhadap sumber septic yang lain, biasanya luka
bakar. Waktu awitan biasanya dua minggu setelah cedera.

Antibiotic profilaktik dan steroid belum dicobakan untuk mencegah komplikasi-


komplikasi yang umum dari infeksi yang dijumpai pada pasien dengan cedera inhalasi.
Upaya penelitian baru, dirancang untuk menurunkan insiden pneumonia nosikomial pada
pasien kritis, termasuk dekontaminasi selektif traktus orordigesif dan penggunaan dari
sukralfate untuk profilaksis ulkus stress.

Perfusi jaringan

Hal lain yang harus diperhatikan selama fase resusitatif adalah perfusi jaringan.
Dengan cedera jaringan, pembuluh-pembuluh menjadi rusak dan terjadi thrombosis.
Pembuluh utuh yang berdekatan segera melebar, dan platelet serta leukosit melekat pada

21
endotel vascular, menyebabkan pembentukan keropeng. Jaringan yang mendasari
membengkak, tetapi daerah pinggiran luka bakar dengan ketebalan penuh adalah takelastik
dan tetap kontraktur. Bagian tersebut seolah-olah seperti turniket. Keropeng mempengaruhi
perlemahan status vascular dengan nekrosis iskemik, yang akhirnya akan memerlukan
amputasi. Ini sangat vital, oleh karena itu, perawat memantau perfusi jaringan setai jam
dengan memeriksa arus balik kapiler, perubahan-perubahan neurologi, suhu, dan warna kulit,
serta adanya nadi perifer. Sering digunakan flowmeter ultrasonic dalam mengkaji nadi
perifer. Oksimetri nadi dapat digunakan memantau status vascular ekstremitas untuk
mengidentifikasi keperluan dan eskarotomi. Ekstremitas harus ditinggikan dan jaga agar
dalam batasan gerak pasif sedikitnya 5 menit per jam untuk mencegah edema dan mobilisasi
yang memang berakumulasi.

Eskarotomi.

Meskipun peninggian ekstremitas dapat menurunkan edema, namun eskoratomi


sering diperlukan. Eskarotomi adalah insisi pada jaringan parut yang menebal sehingga
memungkinkan jaringan edematosa yang hidup dibawahnya dapat melebar, dengan demikian
memulihkan perfusi jaringan yang adekuat. Eskarotomi dibuat pada garis midlateral atau
midmedial ekstremitas yang terkait. Prosedur dilakukan ditempat tidur, dan tidak
memerlukan anestesi local. Tempat eskarotomi ditutupi dengan agen topical karena jaringan
hidup terpajan, dan dipasang balutan tipis.

Jarang sekali dilakukan fasiotomi untuk memulihkan perfusi perifer. Biasanya,


prosedur ini diperlukan hanya pada cedera yang terjadi lingkungan arus listrik bertegangan
tinggi atau cedera hancur. Fasiotomi dilakukan diruang operasi dalam anestesi umum.

Gejala-Gejala Gastrointestinal

Karena risiko paralitik ileus dan distensi lambung, pasien tidak diperbolehkan
menerima cairan dan makanan per oral. Jika selang nasogastrik belum terpasang, maka harus
dipasang bila terjadi distensi atau mual. Drainase lambung pada awalnya dapat mengandung
darah. Oleh karenanya, amati jumlah dan tipe drainase untuk memastikan bahwa banyaknya
darah berkurang.

22
Pembentukan ulkus gastroduodenal, juga dikenal dengan ulkus Curling’s, biasanya
merupakan kompliasi utama pada pasien luka bakar. Komplikasi ini sekarang sudah dapat
dicegah dengan pemberian profilatik antacid dan antagonis reseptor histamine H2. Antagonis
reseptor histamine (spt., simetidin) diberikan per oral atau secara intravena setiap 4 jam.
Antacid diberikan setiap 2jam untuk menitrasi pH lambung diatas 5.

Imobilitas

Karena korban luka bakar terutama rentan terhadap imobilitas, alignmen tubuh yang
tepat dan bebas terkanan adalah penting. Ulkus dekubitus dapat berkembang dengan cepat.
Oleh karenanya pasien dapat dibaringkan pada matras pembebas tekanan atau tempat tidur
khusus pembebas tekanan. Selang endotrakeal dan nasogastrik harus amankan pada garis
tengah hidung untuk mencegah erosi septum nasi atau alae. Latihan batasan gerak (ROM)
harus dilakukan selama lima menit setiam jam untuk mencegah kontraktur dan mengurangi
edema.

Perawatan Luka

Manakala kestabilan hemodinamik dan pulmonal telah tercapai, perhatian ditujukan


pada perawatan awal luka bakar. Luka harus dibersihkan dengan deterjen yang mengandung
desinfektan untuk bedah, debridasi lembut, rambut yang tumbuh pada luka dan sekitar tepian
luka dicukur. Luka kemudian harus dibalut dengan agen antimicrobial topical. Karena adanya
perlu bahan perubahan pada system imun, tindakan-tindakan isolasi protektif harus
dilakukan.

Nyeri

Cedera luka bakar adalah salah satu bentuk trauma yang paling dirasakan sakit yang
dialami oleh seseorang, dan penatalaksanaan nyeri merupakan tantangan utama bagi perawat
unit perawatan kritis. Tingkat nyeri yang dialami pasien baik pada fase perawatan resusitatif
dan akut dipengaruhi oleh kedalaman cidera, tingkat ansietas pasien, dan jumlah pemantauan
invasive serta prosedur-prosedur perawatan luka yang diperlukan.

Karena kerusakan lapisan pelindung epidermis, maka ujung saraf serabut nyeri yang
pertama kali akan terpajan pada atmosfir, dan kemudian pada eksudat cairan. Gerakan arus
udara langsung yang menerpa ujung saraf yang terpajan menyebabkan rasa tidak nyaman

23
yang ekstrim. Sehingga dengan menutupi luka dengan kain yang bersih selama pemindahan
akan megurangi nyeri.

Dengan terakumulasinya eksudat pada daerah luka, kalium, prostanoids, substansi P


dapat mengiritasi ujung-ujung saraf terpajan, menyebabkan nyeri makin hebat. Selama fase
resusitatif, pengendalian nyeri dapat dicapai dengan pemberian morfin sulfat intravena dalam
dosis yang kecil dan sering (3-5mg untuk orang dewasa) atau maperidin (30-50mg). dapat
juga digunakan infuse intravena kontinu, dengan dosis yang dititrasi terhadap respons pasien.
Penyuntikan intramuscular dan subkutan harus dihindari. Karena hipovolemia merusak
sirkulasi jaringan lunak, agen-agen ini akan terasing benar-benar tanpa efek terapeutik sampai
pasien menjadi stabil secara hemodinamik. Dengan pulihnya sirkulasi, pengobatan
intramuscular dan subkutan akan direabsorpsi, dengan dosis sirkulasi total tidak diketahui.
Bila pasien secara hemodinamik stabil (spt., fase akut), pengobatan dapat diberikan dengan
aman secara intravena, intramuscular, atau per oral.

Pengalaman nyeri adalah fenomena yang kompleks, yang melibatkan proses-prose


fisiologis, psikologis, dan kognitif. Nyeri fisiologis (spt., luka bakar) dapat dipengaruhi oleh
ansietas, ketakutan, latar belakang budaya, dan pola riwayat hidup.

Karena sangat banyak factor yang mempengaruhi persepsi nyeri, berbagai teknik,
selain narkotik, dapat berguna dalam menghilangkan nyeri. Metode-metode ini termasuk
terapi relaksasi, teknik-teknik imaginer terbimbing, umpan balik biologis, hypnosis, analgesia
pasien terkontrol, anxiolitik atau terapi obat anti depresan, anesthesia, dan stimulasi saraf
listrik transkutan. Karena pengalaman nyeri unik bagi masing-masing individu, perawat harus
menjadi sumber dan fleksibel dalam menentukan pendekatan control nyeri terbaik untuk
masing-masing individu pasien.

Pasien dan Dukungan Keluarga

Memberikan dukungan psikologi pada pasien luka bakar dan keluarganya yang baru
masuk rumah sakit, bukan akhir dari sekian banyak tugas yang dihadapi oleh perawat unit
perawatan kritis. Pasien paling sering sadar dan terjaga, meskipun gelisah dan sangat tidak
berdaya karena cedera berat dan mendadak. Pertimbangan yang dikesampingkan pada saat ini
adalah apakah pasien akan hidup atau mati. Hal ini harus ditangani dengan sabar, dengan
kebijaksanaan, dan sejujur mungkin. Ini sering kali merupakan dasar yang terpenting untuk
membina hubungan saling percaya selama berbulan-bulan proses rehabilitasi nanti.

24
Pasien luka bakar sangat menderita. Stress berkepanjangan, dan mereka hampir selalu
menunjukkan kepribadian yang berlainan. 4 kepribadian yang paling umum adalah:

 Depresi
 Regresi
 Paranoid
 Skizofrenia

Sering pasien luka bakar depresi dan menarik diri, minta dibiarkan sendiri dan ingin
diganggu. Perawat harus mengambil sikap dengan membuat harapan-harapan tertentu yang
diinginkan menjadi jelas- mengharapkan pasien untuk makan sendiri, pergi ke kamar mandi,
atau melakukan apa saja selama kondisi fisiknya memungkinkan, berkomunikasi dengan
pasien bahwa kondisinya bukan tanpa harapan, dan mengharapkan pemulihan.

Cara terbaik untuk mengatasi regresi pada pasien luka bakar adalah dengan mengenali
hal tersebut. Pertama perawat harus menerima kenyataan bahwa pasien mungkin tidak dapat
mengatasi pada tingkat orang dewasa, dan bahwa pasien mungkin tidak stabil secara
emosional juga secara fisik. Kedua, perawat harus menjadi alat untuk membantu pasien
mengatasi dengan tingkat yang sesuai. Intervensi yang biasanya menolong termasuk
mengikuti jadwal yang teratur sehingga pasien mengetahui apa yang diharapkan, menghargai
pasien untuk perilaku oreang dewasa, dan membolehkan pasien pilihan dan control sebanyak
yang mungkin.

Bukanlah hal yang tidak lazim bagi pasien dengan luka bakar yang hebat
menumpahkan ketakutan mereka kepada pemberi perawatan (dokter, perawat, terapis) dan
mengeluhkan bahwa mereka diperlakukan dengan tidak sesuai dan tidak ramah. Bekerja
dengan perawat psikiatri dapat menolong korban luka bakar untuk menyadari dan
menghadapi ketakutan mereka lebih efektif, dan juga membantu pemberi perawatan untuk
mendukung pasien dan member respons secara terapeutik.

Halusianasi, kekacauan mental, menyerang adalah umum pada pasien dengan luka
bakar berat untuk alasan fisik maupun mental. Keadaan lebih, sakit, dan pengobatan dapat
menyimpang dari kenyataan dan menimbulkan tingkah laku skizofrenik.

Keempat varian kepribadian tersebut hanya sementara. Skizofrenia dan paranoia


hampir selalu hilang pada waktu pasien pulang dari rumah sakit. Regresi dan depresi dapat
berlanjut sampai periode rehabilitasi.

25
Kebutuhan-kebutuhan keluarga. Fase resusitatif adalah juga masa traumatic bagi
keluarga. Dengan tingkat ansietas yang tinggi dan rendahnya pengetahuan tentang perawatan
luka bakar, keluarga mendekati unit luka bakar dengan ketakutan, keraguan, dan terkadang
hysteria. Penampilan fisik pasien dan atmosfir teknologi tinggi dari unit luka bakar adalah
memang menakutkan. Menyiaokan keluarga untuk kunjungan awal dengan menjelaskan apa
yang diharapkan dan menemani mereka sampai tempat tidur pasien adalah hal yang penting.
Pengunjung sering diliputi perasaan tidak karuan pada kunjungan pertama dan terpaku
dengan ansietas dan tidak berdaya. Ada baiknya perawat menyarankan kepada anggota
kelaurga untuk pulang dan kembali lagi jika mereka sudah lebih kuat.

Meskipun pasien bermaksud ingin berkonsentrasi pada keadaannya, pihak keluarga


melihat kedepan dan ingin mengetahui apa yang diharapkan. Informasi tentang kondisi pasien
dan tindakan-tindakan yang dilakukan harus diberitahu kepada mereka. Hubungan saling
percaya yang telah terbina dari awal memberikan dasar yang kuat untuk penyuluhan pasien
dan keluarga serta rehabilitasi pada bulan-bulan selanjutnya.

Sepsis

Komplikasi yang paling signifikan pada cedera fase akut adalah sepsis. Sepsis dapat
timbul dari luka bakar, pneumonia, tromboflebitis supuratif, infeksi saluran kemih atau
infeksi pada bagian tubu lain, prosedur-prosedur invasive, dan alat pemantauan invasive.
Luka bakar adalah merupakan sumber infeksi yang paling sering, yang dapat disebabkan oleh
berbagai organisme. Taklama setelah cedera, organime yang menyebabkan infeksi cenderung
gram positif, setelah minggu pertama, organisme penyebab cenderung gram negative.

Syok sepsis, terjadi paling sering pada pasien luka bakar luas dengan ketebalan penuh,
hal ini disebabkan oleh bakteri yang menyerang luka yang masuk ke dalam aliran darah.

Fungsi utama dari kulit yang hidup adalah untuk mencegah infeksi. Jadi, saat
intergritas kulit rusak, pasien rentan terhadap infeksi dari berbagai organisme. Kerompeng
luka bakar yang tidak hidup dan sering kali nekrotik dan permukaan bergranulasi menjadi
tempat yang potensial kontans terhadap kontaminasi. Permukaan luka bakar menyediakan
medium yang hangat, lembab, media pertumbuhan yang banyak mengandung protein untuk

26
mikroorganisme. Terdapat consensus umum bahwa adalah tidak realistis untuk
mempertahankan luka bakar dalam keadaan steril; bagaimanapun, control terhadap flora
microbial adalah realistis dan dapat dicapai. Antibiotic sistemik sangat kecil nilai nya dalam
mengendalikan populasi bakteri ini karena antibiotic tersebut tidak mencapai jaringan yang
cedera karena sirkulasinya sudah rusak. Metode terbaik untuk membatasi profilerasi bakteri
pada keropeng luka bakar adalah penggunaan agen-agenantimikrobial tropical.

Perawatan Luka

Penatalaksaan penyembuhan luka memerlukan:

 Hidroterapi setiap hari dan teknik-teknik debridement


 Mempertahankan nutrisi yang adekuat
 Mencegah hipotermia
 Mengendalikan nyeri
 Mempertahankan mobilitas sendi
 Patuh terhadap prosedur-prosedur pengendalian infeksi
 Pengkajian dan pemantauan yang tajam terhadap luka

Semua daerah yang terbakar harus dibersihkan sekali atau dua kali sehari dengan
deterjen cain anti microbial (spt, klorheksidin), dan debridement awal dimulai. Setelah
dilakukan hidroterapi harian, luka bakar ditutupi dengan agen antimicrobial topical.

Hidroterapi

27
Beberapa pusat kesehatan merendam pasien di dalam tangki Hubbard untuk
membuang eksudat, membersihkan dan mengkaji luka, dan memberikan latihan ROM.
Larutan untuk mandi bervariasi, dan dapat mengandung garam, larutan iodine-providon, dan
pemutih. Karena pada waktu mandi terasa sangat sakit, pasien harus mendapat analgesic 20
sampai 30menit sebelum mandi. Selain itu, pasien yang harus menerima penjelasan lengkap
tentang dan disertai dengan teknik-teknik pengendalian nyeri (seperti, imageri).

Perawatan harus dilakukan untuk menghindari terjadinya kontaminasi-silang luka


selama prosedur mandi. Untuk alasan ini, banyak pusat kesehatan tidak lagi merendam pasien
dalam tangki Hubbard. Luka bersih atau sembuh harus dibersihkan secara terpisah dengan
yang terkontaminasi.

Agen-Agen Antimikrobial Topikal

Agen-Agen Antimikrobial yang digunakan dari saat masuk sampai ke unit luka bakar
termasuk perak nitrat 0,5%, mafenide asetat (Sulfamylon), nitrofurazon, iodine-povidon,
perak sulfadiazine, gentamisin, dan nistatin. Penting untuk diingat bahwa tidak ada satu agen
pun yang benar-benar efektif terhadap semua infeksi luka bakar. Didalam melakukan
tindakan dipandu oleh dengan pengujian in vitro atau hasil in vivo. Biopsy keropeng dan
permukaan luka yang bergranulasi dapat dilakukan sebanyak tiga kali seminggu untuk
mengidentifikasi organisme yang mengkontaminasi dan untuk menentukan sensivitas
antibiotic.

Perak sulfadiazine merupakan agen topical pilihan utama yang diberikan saat masuk.
Reaksi yang merugikan yang paling umum terjadi adalah leucopenia; oleh karenanya
serangkaian pemeriksaan hitung darah lengkap harus dipantau. Jika jumlah darah putih turun
dibawah3000, dokter mungkin akan mengganti agen topical lain. Saat jumlah leukosit
kembali normal (4000-5000), perak sulfadiazine dapat diberikan kembali.

Jika jumlah koloni meningkat, maka agen topical yang dipilih biasanya adalah krim
mafenid asetat (Sulfamylon), agen bakteriostatik spectrum luas yang sangat efektif. Mafenid
asetat berdifusi menembus kerompeng derajat tiga sampai margin luka bakar dalam waktu 3
jam setelah diberikan. Agen ini menyebabkan asidosis metabolic pada saat agen memasuki
darah. Asidosis ini pada awalnya dikompensasi oleh hiperventilasi. Pemberian Bicitra per
oral atau natrium bikarbonat intravena biasanya dapat memperbaiki ketidakseimbangan
asam-basa.

28
Penggunaan agen-agen antimicrobial topical menghambat kecepatan epitelialisasi
luka dan dapat meningkatkan laju metabolic. Ketidakseimbangan elektrolit (spt, pelepasan
natrium oleh perak -nitrat) dan abnormalitas asam-basa dapat terjadi. Agen-agen topical yang
terbaik adalah yang dapat larut dalam air karena agen-agen tersebut tidak akan tahan terhadap
panas dan akan melunakkan luka.

Debridement Luka Bakar

Keropeng akan menutupi luka sampai dieksisi atau terlepas dengan sendirinya. Dalam
teori, penatalaksanaan luka bakar adalah sederhana. Disebutkan dalam prenatalaksanaan
tersebut adalah debridement keropeng dan penutupan dengan tandur kulit sebelum keropeng
terinfeksi. Komplikasi-komplikasi sistemik yang kadang –kadang serius dari cedera luka
bakar, seperti hipovolemia dan sepsis, bagaimanapun akan dapat menunda pelaksanaan
tindakan ini dengan signifikan.

Debridement mekanik. Debridement mekanik dapat dilakukan dengan menggunakan


cunam (forceps) dan gunting untuk mengangkat dengan hati-hati serta memotong dan
melepaskan jaringan nekrosis. Bentuk lain dari debridement mekanik adalah membalut luka
dengan perban yang kasar dengan bentuk balutan dari basah-ke-kering atau dari basah-ke-
basah.

Balutan dari basah-ke-kering terdiri atas lapisan perban kasar yang dilembabkan. Saat
lapisan dalam mongering, lapisan ini akan melekat pada luka, menangkap eksudat dan debris
luka. Balutan harus dilepaskan pada sudut 900, dan semua upaya harus dilakukan untuk
mencegah kerusakan jaringan yang baru bergranulasi yang mudah rusak.

Sejalan dengan luka membentuk jaringan granulasi lebih banyak, balutan dari basah-
ke-basah dapat digunakan untuk mencegah desikasi (pengeringan) dan trauma. Balutan ini
tetap lembab sampai penggantian balutan berikutnya. Balutan harus dilepaskan dengan
pertama-tama mengangkat secara perlahan-lahan dari tepi mengarah ke pusat luka, dan
kemudian melepaskannya dengan sudut 1800. Prosedur ini mencegah terlepasnya jaringan
epitel yang baru terbentuk.

Debridemen enzimatik.

Debridement enzimatik mencakup penggunaan substansi proteolitik pada luka bakar


untuk memperpendek waktu pemisahan keropeng. Travase dan elase adalah agen-agen yang

29
sudah umum digunakan. Luka pertama-tama dibersihkan dan mengangkat bahan-bahan
nekrotik yang terlepas, dan agen tersebut dioleskan langsung pada dasar luka dan
menutupnya dengan lapisan perban halus. Kemudian dioleskan agen antimicrobial topical,
dan seluruh daerah luka ditutupi dengan perban yang sudah dibasahi dengan saline. Balutan
diganti sebanyak dua sampai empat kali dalam sehari.

Keuntungan dari debridement enzimatik adalah dapat mengesampingkan kebutuhan


terdapat eksisi dengan pembedahan; bagaimanapun ada komplikasi-komplikasi yang harus
dipertimbangkan. Lebih jauh lagi, tindakan ini hanya dapat dilakukan untuk luka bakar
dengan LPTT tidak melebihi 20%. Dapat terjadi selusitis dan maserasi kulit normal disekitar
tepian luka, dan pasien sering mengeluhkan sensasi seperti terbakar yang berlangsung 30
sampai 60menit setelah penggunaan enzim.

Eksisi pembedahan.

Pada eksisi pembedahan, luka dieksisi sampai menimbulkan perdarahan sambil


meminimalkan kehilangan jaringan yang hidup. Pelaksanaan eksisi lebih dini telah membantu
secara signifikan terhadap keberhasilan hidup dari korban-korban luka bakar yang berat.
Luka bakar terbuka menyebabkan hipermetabolisme dan respons stress yang tidak akan dapat
diperbaiki sampai terjadi penutupan luka. Eksisi pembedahan harus dilakukan segera setelah
pasien stabil secara hemodinamik, biasanya dalam waktu 72jam.

Setelah eksisi diselesaikan, hemostatis harus dicapai. Hal ini dapat diselesaikan
dengan menyemprotkan thrombin topical diatas luka, atau penggunaan busa yang sudah
dibasahi dengan larutan epinefrin 1:10.000.

Setelah pengangkatan jaringan nekrotik, struktur dibawahnya yang terpajan harus


dibalut dengan penutup yang bersifat sementara atau menetap untuk memberikan
perlindungan dan pencegahan terhadap infeksi.

Penanduran

Penggantian yang ideal dari kulit yang hilang adalah autotandur dengan ketebalan,
warna, dan tekstur yang serupa dari tempat yang berdekatan di tubuh. Helaian epidermis
pasien dan lapisan parsial dermis diambil dari bagian tubuh yang tidak terbakar dengan
menggunakan dematom. Tandur ini mengacu sebagai ketebalan terpisah dan dapat dipasang
pada luka sebagai bentuk helaian atau meshed.

30
Tandur helai adalah tandur kulit dimana kulit yang diambil diletakkan pada resipien
dalam bentuk helaian. Tandur ini harus sering dipantau terhadap mengumpulkan cairan
dibawah tandur. Akumulasi cairan dapat dicegah dengan mengusap tandur dengan aplikator
yang berujung kapas. Tandur Mesh adalah tandur kulit dimana kulit yang diambil dibuat
celah yang panjang dan sempit untuk memungkinkan melebar dan kemudian meletakkan
pada bagian yang terkena luka bakar. Hal ini memungkinkan penutupan lebih luas dan
drainase yang lebih besar dan dapat dipasang dengan mudah pada permukaan-permukaan
yang tidak rata. Pada bagian-bagian yang terpajan, seperti wajah dan tangan, tandur helai
akan memberikan penampilan yang lebih alami dibandingkan dengan tandur mesh.

Tendur mesh sering kali harus dilebarkan untuk mendapatkan penutupan yang
maksimum dari masing-masing lembar autotandur. Tingkat ekspansi 1:3 atau 1:4 sering kali
adalah praktis. Terkadang rasio seperti 1:6 atau 1:7 digunakan untuk menutup luka bakar
yang luas. Dengan rasio yang lebih ini, autotandur yang diperlebar ini dapat dipenuhi dengan
allotandur kulit mayat atau kulit sinetik (Biobrane, Winthrop Pharmaceuticals). Selain untuk
menstabilkan mesh yang mudah rusak secara fisik, penutup mengurangi evaporasi,
kehilangan panas, dan kontaminasi bakteri.

Teknik baru yang mencakup pertumbuhan dan pemasangan tandur dari biakan
autograph epitel telah menjadi tambahan yang penting terhadap penutupan permanen luka
bakar yang luas. Biopsy diambil dari kulit yang tidak terluka bakar dan sel-sel dibiakan di
laboratorium. Helai dari sel-sel epitel yang dibiakan diletakkan pada kasa jeli petroleum dan
dipasang pada luka. Setelah 7 sampai 10 hari, kasa jadi petroleum dilepaskan dan dipasang
balutan yang tidak melekat untuk mencegah terjadinya trauma mekanis.

Balutan biologis. Balutan biologis digunakan pada penatalaksanaan luka bakar


termasuk kulit homotandur (allotandur) atau kulit heterotandur (xenotandur). Kulit
homotandur diperoleh dari donor manusia yang masih hidup atau yang sudah meninggal,
biasanya adalah hal yang terakhir. Dulu pernah digunakan membrane amnion, tetapi kini
tidak usum lagi. Adalah mungkin terjadi penularan penyakit melalui penggunaan kulit
hemotandur, dan jadinya adalah penting untuk menguji kulit donor dari human
immunodeficiency virus, hepatitis B, dan sifilis sebelum digunakan.

Karena permintaan akan kulit homotandur melebihi persediaan, maka heterotandur


telah digunakan untuk mencapai penutupan luka yang bersifat sementara. Kulit porkin adalah
bahan yang paling umum digunakan.

31
Balutan sintetis.

Baluran sintesis sedang dikembangkan dalam usaha untuk menanggulangi kesukaran


pada balutan biologis, yaitu trasnmisi penyakit, masalah-masalah penyimpanan, dan
persediaan yang terbatas.

Biobrane adalah bahan yang mengandung kolagen yang melekat pada permukaan luka
dalam 48jam setelah digunakan. Membran membentuk sawar pembendung untuk melindungi
infeksi bakteri serta kehilangan cairan sambil memungkinkan drainase eksudat serta penetrasi
agen antimicrobial topical. Membrannya agak transparan, memungkinkan visualisasi
langsung pada dasar luka. Bahan sinetik pengganti lainnya yang digunakan untuk penutupan
luka yang kecil, bersih, dan sementara adalah film-film poliuretan.

Hipotermia

Hipotermia adalah masalah potensial bagi pasien dengan luka bakar yang luas,
terutama selama hidroterapi dan segera setelah pembedahan. Panas hilang melalui luka bakar
yang terbuka dengan cara radiasi dan evaporasi. Suhu tubuh harus dipertahankan pada 990F
sampai 1010F dengan mempertahankan suhu lingkungan pada 820F sampai 910F dengan
lampu pemanas atau pelindung, selimut foil, tempat tidur udara suhu terkontrol, jika
digunakan, dan dengan membatasi permukaan tubuh yang terpajan setiap saat.

Nutrisi

Ketepatan kebutuhan energy yang diperlukan untuk mencapai berat badan dan
keseimbangan nitrogen serta equilibirium energy tergantung pada beberapa variabel seperti
ukuran bakar, usia pasien, dan kondisi-kondisi medis yang ada bersamaan. Kebutuhan ini
telah ditemukan mendekati 25kkal/og/ ditambah 40kkal/persen LPTT luka bakar/24jam. Pada
kebanyakan kasus, muatan kalori ini dapat melebihi 5000kkal/hari. Dibutuhkan sekitar 50g
nitrogen per hari selain lemak tak jenuh untuk mencegah defisiensi asam lemak esensial.
Kebutuhan protein yang tepat untuk masing-masing orang dimodifikasi berdasarkan pada
studi keseimbangan nitrogen dan nilai serum urea nitrogen. Juga dibutuhkan multivitamin
dan peningkatan vitamin C, dan kalium, zinkum, dan magnesium.

Selera makan pasien luka bakar jarang melebihi tingkat sebelum terluka bakar, dan
makan dengan sukarela jarang memenuhi kebutuhan protein, lemak, dan kalori pada pasien
dengan luka bakar luas. Tambahan kalori yang tinggi diantara waktu makan akan dapat

32
mencukupi pada pasien dengan luka bakar sedang, namun bagi mereka dengan luka bakar
luas memerlukan interval pemberian makanan yang konstan melalui selang tempat
memasukkan makanan. Dengan pemberian makanan berdasarkan perputaran jam, muatan
kalori sebanyak 5.000kkal/hari akan dapat dilakukan. Diare bisa terjadi dan diatasi dengan
kaolin-pektin, Metamucil (Procter and Gamble, Cincati, OH), atau bran.

Pada beberapa keadaan (y.i,. paralitik ileus berkepanjangan, malnutrisi sebelum


cedera, gagal menambah berat badan), munkin diperlukan hiperalimentasi parenteral. Jika
diperlukan hiperaalimentasi parenteral periper atau sentral, maka harus dilakukan teknik
aseptic mutlak saat pemasangan aliran dan penggantian letak intravena setiap 3hari adalh
penting untuk mencegah tromboflebitis septic. Suplemen insulin mungkin diperlukan;
penentuan serum dan glukosa urine harus sering dilakukan juga seraingkaian uji fungsi hepar
untuk pasien dengan hiperalimentasi parental.

Kegagalan untuk mencapai muatan kalori yang tinggi yang diperlukan untuk
mempertahankan berat badan, keseimbangan nitrogen, dan equilibrium energy
mengakibatkan penundaan dan abnormal pada penyembuhan.

Fase Rehabilitatif

Pasien yang telah menderita luka bakar yang luas tak pelak lagi akan memerlukan
waktu berbulan-bulan untuk penyembuhan dan rehabilitasi. Tindakan-tindakan rehabilitasi
fisik dan fisiologis dimulai pada unit perawatan kritis dan berlanjut sepanjang periode
penyembuhan.

Rehabilitasi Fisik

Dua tindakan fisim yang paling penting adalah pemberian nutrisi dan pencegahan
terbentuknya jaringan parut dan kontraktur.

Peningkatan Nutrisi

Diet protein harus tetap tinggi sampai semua luka telah sembuh. Dengan terjadinya
penyembuhan, diet berangsur-angsur harus dikurangi sampai memenuhi kebutuhan kalori
yang normal. Pasien dengan luka bakar akan menjadi terbiasa dengan sering makan dan

33
dalam jumlah yang banyak. Setelah penyembuhan sempurna, metabolisme kembali normal,
dan berat badan akan bertambah jika kebiasaan makan tidak terkontrol dengan benar.

Pencegahan Terbentuknya Jaringan Parut dan Kontraktur

Dulu menjadi hal yang tidak terelakan, namun kini pembentukan jaringan parut
hipertropik dan kontraktur sendi sangat dapat dicegah. Hal tersebut dapat dihindari secara
luas. Tindakan pencegahan dimulai ketika pasien masuk rumah sakit dan berlanjut sedikinya
selama 12bulan atau sampai jaringan parut telah benar-benar matur.

Tindakan-tindakan pencegahan ini, mengatur posisi tubuh dan membantu pasien


melakukan latihan ROM, bukanlah hal baru bagi perawat. Pengaturan posisi tubuh dengan
ekstremitas ekstensi adalah hal sangat penting. Meskipun posisi fleksi ketat lebih disukai
pasien untuk kenyamanan, namun posisi ini akan berakibat pada kontraktur hebat. Latihan
ROM harus dilakukan setiap kali pergantian balutan, atau lebih sering jika diindikasikan.
Belat khusus digunakan untuk mempertahankan lengan, kaki, dan tangan pada posisi esktensi
namun posisi fungsional. Nantinya jika luka telah cukup sembuh, pasien mengenakan kain
khusus yang menekan. Kain tersebut, dengan menggunakan tekanan yang kontinu dan
menyeluruh menutupi seluruh area yang terbakar, untuk mencegah terbentuknya jaringan
parut hipertropi dan harus dipakai selama 24jam sehari untuk selama kira-kira satu tahun.
Kain yang elastic dan halus membentuk pelindung yang memungkinkan seseorang untuk
memakai pakaian normal dan melaksanakan aktivitas normal lebih dini.

Rehabilitasi Psikologi

Perawatan psikologi pada pasien luka bakar adalah sangat sulit; dalam perjalanan
terapinya pasien akan, mengalami seluruh tingkatan respons perilaku. Pada awalnya,
kombinasi antara nyeri fisik dan gangguan emosional dapat mengarah pada perilaku
abnormal, seperti yang dibahas. Rasa bersalah mungkin menjadi bagian yang terutama berat
jika pasien merasa bahwa kecerobohannya merupakan penyebab cedera orang lain, terutama
sekali jika yang meninggal adalah akibat dari kecelakaan.

Jika luka bakar mengenai wajah, mata, atau tangan, maka akan diperlukan dukungan
emosional tambahan karena kerusakan pada struktur ini akan mempunyai efek jangka
panjang pada kehidupan pasien dan mata pencahariannya.

34
Pendekatan tim yang konsisten dan penuh kejujuran yang melibatkan pasien dan
keluarganya adalah perlu. Beberapa tindakan yang mendukung akan memberi waktu bagi
pasien untuk berasimilasi dengan apa yang telah terjadi dan untuk menumbuhkan
kemampuan untuk mengendalikan diri.

 Staf yang terlibat perawatan pasien sedapat mungkin harus tetap sehingga mereka
menjadi terbiasa dengan kebutuhan-kebutuhan pasien dan dengan demikian terbina
rasa saling mengenal antara pasien dengan perawat.
 Anggota keluarga akan sangat membantu jika diikutsertakan dalam rencana
keperawatan secara keseluruhan dan ditunjuk untuk melakukan prosedur-prosedur
tertentu.
 Terapi yang bersifat hiburan (y.i,. membaca, nonton televise, mendengarkan music)
harus dianjurkan sedini mungkin.
 Terapi okupasi harus dimulai segera setelah pasien sudah dapat berpartisipasi.

Selain dukungan emosional terhadap pasien, dukungan terhadap staf keperawatan juga
dianjurkan. Dihadapkan pada perawatan yang panjang dan sulit dari pasien-pasien ini, yang
perkembangannya lambat dan kemunduran adalah hal yang umum, staf dengan cepat menjadi
jenuh kecuali bila sebagian dari reaksi emosional mereka dapat disalurkan dan dipecahkan.

2.8 Prognosis

Prognosis pada luka bakar tergantung dari derajat luka bakar, luas permukaan badan
yang terkena luka bakar, adanya komplikasi seperti infeksi, dan kecepatan pengobatan
medikamentosa. Luka bakar minor dapat sembuh 5-10 hari tanpa adanya jaringan parut. Luka
bakar moderat dapat sembuh dalam 10-14 hari dan mungkin menimbulkan luka parut. Luka
bakar mayor membutuhkan lebih dari 14 hari untuk sembuh dan akan membentuk jaringan
parut. Jaringan parut akan membatasi gerakan dan fungsi. Dalam beberapa kasus,
pembedahan diperlukan untuk membuang jaringan parut.

35
2.9 Web Of Causation (WOC)

36
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN (SECARA TEORI)

3.1 Pengkajian

Mengkaji Cedera Luka Bakar

Luas dan kedalaman luka bakar juga waktu dan keadaan sekeliling cedera luka bakar
adalah data yang vital yang harus dikomunikasikan ke fasilitas luka bakar sebelum transfer
korban.

Untuk mengkaji keparahan luka bakar, beberapa factor harus diperhatikan:

 Persentase luas permukaan tubuh (LPT) yang terbakar


 Kedalaman luka bakar

37
 Letak anatomis luka bakar
 Cedera inhalasi
 Usia korban
 Riwayat medis
 Cedera yang bersaman

Ukuran Luas Luka Bakar

Beberapa aturan dapat digunakan untuk memperkirakan luasnya luka bakar dalam
persentase total luas permukaan tubuh. “The rule of nines (aturan Sembilan)” membagi
bagian tubuh ke dalam kelipatan dari 9%. Bagian kepala diperhitungkan sebagai 9% dari
LPTT, masing-masing lengan 9%, masing-masing kaki 18%, dan perineum 1%, dengan total
100%. Penting untuk diingat bahwa luka bakar dapat satu bagian tubuh menyeluruh atau
hanya satu bagian dari permukaan tubuh. Luka bakar menyeluruh dari satu lengan adalah 9%,
jika permukaan anterior lengan saja besarnya adalah 4.5%.

Meskipun aturan Sembilan adalah metode yang paling umum digunakan untuk
memperkirakan ukuran luas luka bakar, namun metode Berkow lebih akurat, terutama untuk
bayi dan anak-anak, karena metoda ini menghitung luas luka bakar sesuai dengan
pertumbuhan. Luasanya penyebaran luka bakar yang kecil dapat diperkirakan dengan
membandingkan ukuran tangan perawat dengan tangan pasien. Untuk memberikan
perbedaan, perbandingan akan menunjukkan bahwa permukaan telapak orang dewasa sama
dengan kira-kira 1% dari LPTT orang dewasa.

Kedalaman Luka

Klasifikasi luka bakar didasarkan pada jaringan yang terkena (seperti yang sudah
dibicarakan sebelumnya) atau diklasifikasikan sebagai luka bakar derajat satu, dua
(superficial atau dalam), dan derajat.

Letak Anatomik

Mengetahui letak luka bakar adalah penting untuk penyembuhan dan rehabilitasi
secara umum. Luka bakar pada wajah, kepala, leher, tangan, kaki, dan genitalia menciptakan
masalah-masalah khusus. Meskipun luka-luka ini terbatas pada area permukaan, luka bakar
ini biasanya mengharuskan korban dirawat di rumah sakit dan membutuhkan perawatan
khusus karena bagian tersebut merupakan area penting yang diharapkan untuk dapat sembuh
dengan cepat, tak terinfeksi dengan bekas luka minimal. Luka bakar pada wajah dapat

38
menyebabkan edema dan menimbulkan masalah-masalah prenatalaksanaan udara. Luka
bakar pada kepala yang mengenai telinga bagian luar dan luka bakar tangan yang mengenai
ujung-ujung jari terutama sulit untuk sembuh karena struktur-struktur ini terutama tersusun
atas kartilago yang kurang mempunyai suplai darah. Luka bakar perineal adalah sulit, kalau
tidak mustahil, untuk mencegah terinfeksi. Edema juga dapat menjadi masalah, dan pasien
perlu dikateterisasi secepat mungkin.

Jika luka bakar pada bagian-bagian khusus ini tidak sembuh dengan baik, maka dapat
terjadi msalah-masalah serius psikososial dan ekonomi yang berhubungan dengan
penampilan, konsep diri, keterampilan tangan, dan lokomosi.

Cedera Inhalasi

Letak luka bakar juga dapat menyadarkan staf pada kemungkinan cedera inhalasi.
Perawat harus menkaji temuan-temuan berikut ini:

 Bulu hidung hangus terbakar


 Luka bakar pada oral atau membrane mukosa faring
 Luka bakar pada area perioreal atau leher
 Batuk serak atau perubahan suara
 Riwayat pernah terbakar pada area yang terkurung

Usia Pasien

Meskipun luka bakar terjadi pada semua kelompok usia, insidennya lebih tinggi pada
kedua ujung kontinum usia. Orang yang usianya 60tahun mempunyai angka mortalitas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya dengan keparahan luka bakar yang
sama. Seorang anak yang berusia kurang dari 2tahun akan lebih mudah terkena infeksi karena
respons imun imatur. Orang yang lebih tua mempunyai proses degenerative yang
memperumit penyembuhan dan yang dapat diperberat oleh stress luka bakar. Sebagai aturan
umum, anak-anak dengan luka bakar 10% atau lebih dan semua orang dewasa yang cedera
luka bakar 12% sampai 15% LPTT akan memerlukan perawatan di rumah sakit.

Riwayat Medis

Adalah pentingnya untuk menentukan apakah pasien mempunyai penyakit yang dapat
melemahkan kemampuan untuk mengatasi perpindahan cairan dan melawan infeksi (mis,
diabetes mellitus, gagal jantung kongestif, sirosis) atau bila terdapat masalah-masalah ginjal,

39
pernapasan, atau gastrointestinal. Beberapa masalah, seperti diabetes, gagal renal, dapat
menjadi akut selama proses kebakaran. Jika terjadi cedera inhalasi pada keadaan penyakit
kardiopulmonal (mis, gagal jantung kongestif, emfisema), maka status pernapasan akan
sangat terganggu.

Cedera yang Bersamaan

Adalah penting untuk memperoleh riwayat yang singkat dari pasien dan memeriksa
cedera yang terjadi bersamaan. Pasien luka bakar biasanya sadar dan terjaga, sehingga setiap
perubahan pada status neurologi biasanya menunjukkan cedera lain, seperti anoksia, cedera
kepala, penggunaan obat dan intoksikasi, hipoglikemia, atau infark miokard. Luka bakar
tidak berdarah; oleh karenanya, setiap perdarahan eksternal, menunjukkan laserasi struktur
yang lebih dalam. Ekstremitas harus dikaji terhadap fraktur.

3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan keracunan karbon monoksida atau cedera
inhalasi

2. Defisit volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, peningkatan


tekanan hidrostatik kapiler, peningkatan kehilangan evaporatif.

3. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan hipovolemi, penurunan darah


arteri.

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukkan kurang dari
yang dibutuhkan tubuh (hipermetabolisme).

5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan luka bakar.

6. Risiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit, perubahan respons


kekebalan, prosedur-prosedur invasif.

40
3.3 Intervensi

1.

Tujuan :

Kriteria hasil :

Intervensi Rasional

2.

Tujuan :

Kriteria hasil :

Intervensi Rasional

3.

Tujuan :

Kriteria hasil :

Intervensi Rasional

41
4.

Tujuan :

Kriteria hasil :

Intervensi Rasional

3.4 Satuan Acara Penyuluhan (/SAP)

Satuan Acara Penyuluhan Combustio (Luka Bakar)


Topik : Combustio (Luka Bakar)
Hari/Tanggal :
Waktu : 1x30 Menit
Penyaji : Yaniatul Afda Muzayana
Amirah Rofifah Taqiyyah
Tempat : Ruang Kelas
A. TUJUAN

1. TUJUAN PENYULUHAN UMUM


Setelah selesai mengikuti penyuluhan tentang Combustio (Luka Bakar) selama 30
menit mahasiswa dan mahasiswi mampu memahami mengenai Combustio (Luka
Bakar).

2. TUJUAN PENYULUHAN KHUSUS


Setelah selesai mengikuti penyuluhan, Mahasiswa mampu:
1) Mengetahui pengertian Combustio (Luka Bakar).
2) Mengetahui penyebab Combustio (Luka Bakar).
3) Mengetahui tanda dan gejala Combustio (Luka Bakar).

42
B. SASARAN
Mahasiswa

C. GARIS-GARIS BESAR MATERI


a. Pendahuluan.
b. Pengertian Nefrolitiasis.
c. Penyebab Nefrolitiasis.
d. Tanda dan gejala Combustio (Luka Bakar).

3. PELAKSANAAN KEGIATAN

No Waktu Penyuluh Mahasiswa


.
1. 5 menit Pembukaan  Menjawab salam
a. Salam pembukaan  Memperhatikan
b. Perkenalan  Berpartisipasi aktif
c. Apersepsi  Memperhatiakan
d. Mengkomunikasikan
tujuan
2. 15 menit Kegiatan inti penyuluhan  Memperhatikan dan
a. Menjelaskan dan mencatat penjelasan
menguraikan materi penyuluh dengan
b. Memberikan cermat
kesempatan kepada  Menanyakan hal-hal
mahasiswa yang di yang belum jelas
suluh bertanya  Memperhatikan
c. Menjawab jawaban dari
pertanyaan penyuluh
mahasiswa yang di
suluh yang berkaitan
dengan materi yang

43
belum jelas
3. 10 menit Penutup  Memperhatikan
a. Menyimpulkan keterangan
materi yang telah di kesimpulan dari
sampaikan materi penyuluhan
b. Melakukan evaluasi yang telah di
penyuluhan dengan sampaikan
demonstrasi  Menjawab salam
kegiatan
c. Mengakhiri kegiatan
penyuluhan

4. METODE
a. Ceramah
b. Tanya Jawab
c. Demontrasi

5. MEDIA DAN ALAT


1. Leaflet
2. Power Point

6. EVALUASI
a. Menyebutkan tanda dan gejala nefrolitiasis
b. Menyebutkan pencegahan kekambuhan nefrolitiasis

7. LAMPIRAN MATERI
Combustio atau luka bakar adalah kerusakan pada kulit yang disebabkan oleh panas,
kimia/radioaktif. (Long, 1996). Combustio atau luka bakar disebabkan oleh perpindahan
energi dari sumber panas ke tubuh. Panas tersebut dapat dipindahkan melalui
konduksi/radiasi elektromagnetik. (Effendi. C, 1999).
Kecelakaan arus listrik dapat terjadi apabila arus/ledakan dengan tegangan tinggi.
Energi panas yang timbul menyebabkan luka bakar pada jaringan tubuh. Pada luka jenis ini

44
yang khas adalah adanya luka tempat masuk yang menimbulkan hiperemesis dan ditengahnya
ada daerah nekrosis yang dikelilingi daerah pucat (Junaidi. P, 1997).
Combustio (Luka Bakar) disebabkan oleh:
1. Arus listrik
2. Tersambar petir
3. Luka akibat zat kimia
4. Luka radiasi dan ionasi
Tanda dan gejala Combustio (Luka Bakar):
1. Cedera inhalasi
2. Keracunan karbon monoksida
3. Distress pernapasan
4. Cedera pulmonal
5. Elektrolit
6. Metabolik

BAB IV

ANALISA ARTIKEL JURNAL

COMBUSTIO (LUKA BAKAR)

 Latar belakang
Luka bakar pada awalnya adalah steril, namun kemudian dapat terjadi
kolonisasi bakteri yang berasal dari bakteri komensal kulit. Bila pencucian luka atau
debridement tidak dilakukan dengan adekuat, maka kolonisasi bakteri dapat bersifat invasif
berupa penetrasi lebih dalam ke jaringan dan masuk ke dalam sistemik sehingga
menyebabkan bakteremia [1]. Timbul infeksi luka pada penderita luka bakar merupakan salah
satu penyebab utama terjadinya Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS), sepsis,
syok septik, Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan Multiple Organ Failure
(MOF), terutama pada penderita dengan luka bakar yang luas dan dalam [2,3].
Sepsis, secara klinis merupakan SIRS dan infeksi merupakan komplikasi yang
sering terjadi di unit luka bakar. Keterlambatan dalam penegakan diagnosanya berpengaruh
terhadap peningkatan angka morbidittas, mortalitas, serta biaya kesehatan. Tanda-tanda klinis
peradangan sistemik dan laboratorium termasuk perubahan suhu tubuh, leukositosis dan
takikardia digunakan untuk diagnosis sepsis. Namun tidak mempunyai sensitivitas dan

45
spesifisitas yang baik untuk sepsis, dan justru bersifat menyesatkan karena pada kasus luka
bakar, pasien sering memiliki gejala SIRS tanpa adanya suatu infeksi.
Penanda sepsis lain yang banyak diteliti saat ini adalah biomarker. Biomarker
didefinisikan sebagai penanda yang dapat mengukur suatu kondisi atau proses biologis.
 Metodelogi
Proses pengumpulan sampel penelitian ini dilakukan sejak bulan Maret 2011
sampai dengan bulan Agustus 2011. Jumlah total pasien luka bakar yang diterima melalui
IRD RSUD Dr. Soetomo Surabaya sebanyak 161 pasien, di antaranya didapatkan pasien luka
bakar berat sebanyak 39 pasien, namun yang memenuhi kriteria inklusi dan menjadi sampel
penelitian ini sebanyak 27 pasien.
Sedangkan kriteria eksklusinya adalah pasien dengan imunitas rendah, pasien
dengan HIV positif, dan pasien dengan penyakit dasar lain yang menyebabkan sepsis
(urosepsis, infeksi gastrointestinal dan saluran nafas). Luka bakar berat (menurut kriteria
American Burn Association) [12]:
– luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang de- wasa
– luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak
– luka bakar derajat III 10% atau lebih – luka bakar mengenai tangan, wajah,
telinga, mata, kaki dan genitalia/perineum.
– luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain
Sepsis adalah kondisi pada pasien luka bakar yang menandakan adanya proses
inflamasi yang disertai dengan infeksi. Adanya suatu dugaan sepsis merupakan waktu
dimulainya pemberian antibiotika dan usaha untuk mencari sumber infeksi. Untuk
menegakkan diagnosa, telah disusun suatu kriteria untuk mengetahui ada tidaknya infeksi
berdasarkan intrepetasi klinis. Kriteria ini disesuaikan dengan usia penderita. Kondisi sepsis
ditegakkan dengan minimal 3 dari kriteria tersebut, yaitu:
1. suhu tubuh > 39° C atau < 36,5° C.
2. progresif takikardi A. dewasa > 110×/menit B. anak-anak > 2 SD dari nilai
normal sesuai usia (85% dari detak jantung maksimal sesuai usia).
3. progresif takipnea:
A. dewasa: > 25×/menit (tanpa diventilasi) i. dengan ventilasi: > 12 l/menit
ventilasi.
B. anak-anak: > 2 SD dari nilai normal sesuai usia (85% dari frekuensi nafas
maksimal sesuai usia) 4. trombositopenia (tidak akan berlaku sampai 3 hari
setelah resusitasi awal).

46
A. dewasa: < 100.000/mcl
B. anak-anak: < 2 SD dari nilai normal sesuai usia
5. hiperglikemia (tanpa ada riwayat diabetes mellitus):
A. kadar glukosa darah (tanpa koreksi) > 200 mg / dl atau yang setaranya
dalam satuan mM / L
B. resistensi insulin - contoh termasuk i. > 7 Unit insulin/jam drip intravena
(dewasa) ii. signifikan resistensi terhadap insulin (kebutuhan akan insulin
selama 24 jam meningkat > 25%)
6. keterbatasan nutrisi enteral selama > 24 jam:
A. distensi abdomen
B. intoleransi nutrisi enteral (residu > 150 ml/jam pada anak-anak; atau dua
kalinya pada orang dewasa)
C. diare yang tidak terkendali (> 2500 ml/hari pada orang dewasa; atau > 400
ml/hari pada anak- anak) Sebagai tambahan, dibutuhkan adanya bukti akan
sumber infeksi yang terdokumentasi, berupa:
a. kultur positif infeksi
b. sumber jaringan patologis teridentifikasi
Darah diambil pada saat pasien terdapat gejala yang mengarah pada sepsis.
Selanjutnya sampel darah diambil ± 10 cc untuk diperiksakan darah lengkap (untuk
mengetahui leukosit darah), kultur darah, CRP dan prokalsitonin. Hasil dari leukosit darah,
kultur darah, CRP dan prokalsitonin dianalisis untuk mengetahui tingkatan nilai
diagnostiknya untuk sepsis pada penderita luka bakar berat.ada respons klinis terhadap
pemberian antimikroba.
Darah diambil pada saat pasien terdapat gejala yang mengarah pada sepsis.
Selanjutnya sampel darah diambil ± 10 cc untuk diperiksakan darah lengkap (untuk
mengetahui leukosit darah), kultur darah, CRP dan prokalsitonin. Hasil dari leukosit darah,
kultur darah, CRP dan prokalsitonin dianalisis untuk mengetahui tingkatan nilai
diagnostiknya untuk sepsis pada penderita luka bakar berat.
 Hasil
Karakteristik sampel penelitian ini didapatkan jenis kelamin perempuan lebih
dominan dibandingkan laki- laki baik pada kelompok yang sepsis maupun non-sepsis, namun
insiden luka bakar berdasarkan jenis kelamin ini tidak mempengaruhi terjadinya sepsis pada
luka bakar. Sedangkan berdasarkan usia, menunjukkan bahwa rata-rata usia pasien yang
menjadi sampel penelitian pada kelompok sepsis 37,6 tahun dengan rentang usia 11–70

47
tahun. Umur kelompok sepsis tersebut lebih tinggi dibandingkan kelompok non-sepsis yaitu
usia rata-rata 19,7 tahun dengan rentang usia 0,67–60 tahun. Penyebab luka bakar terbanyak
pada penelitian ini adalah api sebanyak 23 pasien (85,2%). Kultur darah positif yang
dijumpai pada penelitian ini didapatkan bakteri gram negatif merupakan yang terbanyak
sebanyak 11 isolat (68,7%). Sedangkan bakteri gram positif sebanyak 4 isolat dan jamur
sebanyak 1 isolat. Pseudomonas aeruginosa merupakan hasil bakteri gram negatif terbanyak
sebanyak 3 isolat dan Staphylococcus xylosus merupakan hasil bakteri gram positif sebanyak
2 isolat. Outcome meninggal sebanyak 13 pasien (48,2%). Pasien yang meninggal
berdasarkan sepsis pada luka bakar berat sebanyak 11 pasien (40,8%) dan meninggal dengan
tidak mengalami sepsis sebanyak 2 pasien (7,5%). Analisa hasil penelitian yang didapat dari
leukosit darah, CRP dan prokalsitonin sebagai berikut (tabel 1) Tabel 2 menunjukkan bahwa
prokalsitonin mempunyai nilai diagnostik yang paling tinggi dibandingkan dengan CRP dan
leukosit darah. Sedangkan, CRP mempunyai nilai diagnostik yang lebih tinggi dibandingkan
leukosit darah.
 Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa prokalsitonin memberikan
tambahan nilai diagnostik dini yang tinggi pada kasus sepsis luka bakar berat dan mempunyai
nilai diagnostik yang lebih baik dibandingkan CRP dan leukosit darah, namun tidak bisa
menjadi indikator sepsis secara tunggal dan tetap membutuhkan konfirmasi kultur darah. Bila
pada seorang pasien didapatkan nilai prokalsitonin yang tinggi, pasien tersebut sudah dapat
diberikan penatalaksaan untuk sepsis, selagi menunggu hasil kultur darah. Penelitian lebih
lanjut diharapkan dapat menggunakan nilai prokalsitonin untuk menegakkan diagnosa dan
memandu terapi yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap angka kematian dan masa
perawatan. Ketersediaan pemeriksaan yang murah masih merupakan kendala utama untuk
penggunaan rutin pemeriksaan ini. Uji klinis yang terkontrol baik, terutama bila dilakukan
pada beberapa pusat perawatan akan membimbing pengetahuan masa depan berkaitan dengan
bagaimana pemeriksaan prokalsitonin memberikan kontribusi untuk identifikasi dini dan
pengobatan sepsis pada kasus luka bakar.

48
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

5.2 Saran

49
DAFTAR PUSTAKA

50

Anda mungkin juga menyukai