Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

Fraktur Vertebrae (Servikal)


Disusun untuk Melengkapi Tugas Profesi Ners di Departemen Emergency

Disusun oleh :
Ni Wayan Asma Nira Yustika
140070300011146

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2015
KONSEP FRAKTUR VERTEBRAE (SERVIKAL)

A. DEFINISI
Fraktur adalah diskontinuitas jaringan tulang dan tulang rawan. Fraktur vertebra
adalah terputusnya discus invertebralis yang berdekatan dan berbagai tingkat
perpindahan fragmen tulang. Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang
belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula
spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan
menetap atau kematian (PERDOSSI, 2006).
Fraktur servikal paling sering disebabkan oleh benturan kuat, atau trauma pukulan di
kepala. Atlet yang terlibat dalam olahraga impact, atau berpartisipasi dalam olahraga
memiliki resiko jatuh akibat benturan di leher (ski, menyelam, sepak bola, bersepeda)
terkait dengan fraktur servikal. Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya
fraktur servikalis. Sebuah fraktur servikal merupakan suatu keadaan darurat medis yang
membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait cedera saraf tulang
belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat penting untuk
menjaga leher .

B. KLASIFIKASI
Yang dimaksud dengan gangguan multiples (neurologic injury) ialah trauma yang
mengenai multiple spinalis, cauda ultip dan radices (nerve roots). Keadaan ini mungkin
terjadi karena kompresi dari vertebra, fragmen tulang, atau diskus terhadap struktur
multiples. Dalam hal ini semua struktur atau organ yang dipersarafi oleh saraf yang
terkena/terganggu akan kehilangan fungsinya baik sebagaian taupun secara
keseluruhan. Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik dipergunakan Frankel
Score.
1. Frankel Score A : kehilangan fungsi motorik dan sensorik lengkap (complete loss)
2. Frankel Score B : Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh.
3. Frankel Score C : Fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak berguna (dapat
menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan).
4. Frankel Score D : Fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak dengan
normal gait).
5. Frankel Score E : Tidak terdapat gangguan multiples. (Hanafiah, 2007)

Klasifikasi trauma servikal berdasarkan mekanismenya


A. Klasifikasi berdasarkan mekanisme trauma
a. Trauma Hiperfleksi
1. Subluksasi anterior
terjadi robekan pada sebagian ligament di posterior tulang leher ; ligament
longitudinal anterior utuh. Termasuk lesi stabil. Tanda penting pada
subluksasi anterior adalah adanya angulasi ke posterior (kifosis) local pada
tempat kerusakan ligament. Tanda-tanda lainnya :
- Jarak yang melebar antara prosesus spinosus
- Subluksasi sendi apofiseal
2. Bilateral interfacetal dislocation
Terjadi robekan pada ligamen longitudinal anterior dan kumpulan ligament di
posterior tulang leher. Lesi tidak stabil. Tampak diskolasi anterior korpus
vertebrae. Dislokasi total sendi apofiseal.

3. Flexion tear drop fracture dislocation


Tenaga fleksi murni ditambah komponen kompresi menyebabkan robekan
Gambar
pada 1. Subluksasi
ligamen longitudinalanterior Gambar 2.ligamen
anterior dan kumpulan Bilateral interfacetal
posterior disertai
dislocation
fraktur avulse pada bagian antero-inferior korpus vertebra. Lesi tidak stabil.
Tampak tulang servikal dalam fleksi :
- Fragmen tulang berbentuk segitiga pada bagian antero-inferior korpus
vertebrae
- Pembengkakan jaringan lunak pravertebral
4. Wedge fracture
Vertebra terjepit sehingga berbentuk baji. Ligament longitudinal anterior dan
kumpulan ligament posterior utuh sehingga lesi ini bersifat stabil.

Gambar 3. Flexion tear drop Gambar 4. Wedge fracture


fracture dislocation
5. Clay shovelers fracture
Fleksi tulang leher dimana terdapat kontraksi ligament posterior tulang leher
mengakibatkan terjadinya fraktur oblik pada prosesus spinosus ; biasanya
pada CVI-CVII atau Th1.
Gambar 5. Clay Shovelers fracuter

b. Trauma Fleksi-rotasi
Terjadi dislokasi interfacetal pada satu sisi. Lesi stabil walaupun terjadi
kerusakan pada ligament posterior termasuk kapsul sendi apofiseal yang
bersangkutan.
Tampak dislokasi anterior korpus vertebra. Vertebra yang bersangkutan dan
vertebra proksimalnya dalam posisi oblik, sedangkan vertebra distalnya tetap
dalam posisi lateral.

Gambar 6. Trauma Fleksi-rotasi


a. Tampak Lateral b. Tampak AP c. Tampak oblik
c. Trauma Hiperekstensi
1. Fraktur dislokasi hiperekstensi
Dapat terjadi fraktur pedikel, prosesus artikularis, lamina dan prosessus
spinosus. Fraktur avulse korpus vertebra bagian postero-inferior. Lesi tidak
stabil karena terdapat kerusakan pada elemen posterior tulang leher dan
ligament yang bersangkutan.
2. Hangmans fracture
Terjadi fraktur arkus bilateral dan dislokasi anterior C2 terhadap C3.

Gambar 7. Hangmans Fracture


d. Ekstensi-rotasi
Terjadinya fraktur pada prosesus artikularis satu sisi
e. Kompresi vertical
Terjadinya fraktur ini akibat diteruskannya tenaga trauma melalui kepala, kondilus
oksipitalis, ke tulang leher.
1. Bursting fracture dari atlas (jeffersons fracture)
2. Bursting fracture vertebra servikal tengah dan bawah

Gambar 8. Jeffersons fracture & Bursting fracture vertebra


servical tengah & bawah
Jenis Fraktur cervical

Jenis fraktur daerah cervical, sebagai berikut:

1. Fraktur Atlas C 1

Fraktur ini terjadi pada kecelakaan jatuh dari ketinggian dan posisi kepala menopang
badan dan daerah cervical mendapat tekanan hebat. Condylus occipitalis pada basis
crani dapat menghancurkan cincin tulang atlas. Jika tidak ada cedera angulasi dan rotasi
maka pergeseran tidak berat dan medulla spinalis tidak ikut cedera. Pemeriksaan
radiologi yang dilakukan adalah posisi anteroposterior dengan mulut pasien dalam
keadaan terbuka

Terapi untuk fraktur tipe stabil seperti fraktur atlas ini adalah immobilisasi cervical
dengan collar plaster selama 3 bulan.

2. Pergeseran C 1 C2 ( Sendi Atlantoaxial)


Atlas dan axis dihubungkan dengan ligamentum tranversalis dari atlas yang
menyilang dibelakang prosesus odontoid pada axis. Dislokasi sendi atlantoaxial dapat
mengakibatkan arthritis rheumatoid karena adanya perlunakan kemudian akan ada
penekanan ligamentum transversalis.
Fraktur dislokasi termasuk fraktur basis prosesus odontoid. Umumnya ligamentum
tranversalis masih utuh dan prosesus odontoid pindah dengan atlas dan dapat menekan
medulla spinalis. Terapi untuk fraktur tidak bergeser yaitu imobilisasi vertebra
cervical. Terapi untuk fraktur geser atlantoaxial adalah reduksi dengan traksi continues.
3. Fraktur Kompresi Corpus Vertebral
Tipe kompresi lebih sering tanpa kerusakan ligamentum spinal namun dapat
mengakibatkan kompresi corpus vertebralis. Sifat fraktur ini adalah tipe tidak stabil.
Terapi untuk fraktur tipe ini adalah reduksi dengan plastic collar selama 3 minggu
( masa penyembuhan tulang)
4. Flexi Subluksasi Vertebral Cervical
Fraktur ini terjadi saat pergerakan kepala kearah depan yang tiba-tiba sehingga
terjadi deselerasi kepala karena tubrukan atau dorongan pada kepala bagian belakang,
terjadi vertebra yang miring ke depan diatas vertebra yang ada dibawahnya, ligament
posterior dapat rusak dan fraktur ini disebut subluksasi, medulla spinalis mengalami
kontusio dalam waktu singkat.
Tindakan yang diberikan untuk fraktur tipe ini adalah ekstensi cervical dilanjutkan
dengan imobilisasi leher terekstensi dengan collar selama 2 bulan.
5. Fleksi dislokasi dan fraktur dislokasi cervical
Cedera ini lebih berat dibanding fleksi subluksasi. Mekanisme terjadinya fraktur
hampir sama dengan fleksi subluksasi, posterior ligamen robek dan posterior facet pada
satu atau kedua sisi kehilangan kestabilannya dengan bangunan sekitar. Jika dislokasi
atau fraktur dislokasi pada C7 Th1 maka posisi ini sulit dilihat dari posisi foto lateral
maka posisi yang terbaik untuk radiografi adalah swimmer projection
Tindakan yang dilakukan adalah reduksi fleksi dislokasi ataupun fraktur dislokasi
dari fraktur cervical termasuk sulit namun traksi skull continu dapat dipakai sementara.
6. Ekstensi Sprain ( Kesleo) Cervical (Whiplash injury)
Mekanisme cedera pada cedera jaringan lunak yang terjadi bila leher tiba-tiba
tersentak ke dalam hiperekstensi. Biasanya cedera ini terjadi setelah tertabrak dari
belakang; badan terlempar ke depan dan kepala tersentak ke belakang. Terdapat
ketidaksesuaian mengenai patologi yang tepat tetapi kemungkinan ligamen
longitudinal anterior meregang atau robek dan diskus mungkin juga rusak.
Pasien mengeluh nyeri dan kekakuan pada leher, yang refrakter dan bertahan
selama setahun atau lebih lama. Keadaan ini sering disertai dengan gejala lain yang
lebih tidak jelas, misalnya nyeri kepala, pusing, depresi, penglihatan kabur dan rasa
baal atau paraestesia pada lengan. Biasanya tidak terdapat tanda-tanda fisik, dan
pemeriksaan dengan sinar-X hanya memperlihatkan perubahan kecil pada postur.
Tidak ada bentuk terapi yang telah terbukti bermanfaat, pasien diberikan analgetik dan
fisioterapi.
7. Fraktur Pada Cervical Ke -7 (Processus Spinosus)
Prosesus spinosus C7 lebih panjang dan prosesus ini melekat pada otot. Adanya
kontraksi otot akibat kekerasan yang sifatnya tiba-tiba akan menyebabkan avulsi
prosesus spinosus yang disebut clay shovelers fracture . Fraktur ini nyeri tetapi tak
berbahaya.

C. ANATOMI
1. Anatomi Vertebrae
Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah sebuah struktur
lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang
belakang ( Evelyn C. Pearce, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis ). Di bagian
dalam tulang terdapat rongga yang memanjang ke bawah yang berisi sumsum tulang
belakang yang merupakan jaringan saraf, bagian dari susunan saraf pusat. Saraf
tersebut mengatur gerakan otot dan organ lain, seperti usus, jantung dan lainnya.
(Huldani, 2012).
Susunan anatomi atau struktur tulang belakang terdiri dari :

a. Tujuh vertebra servikal atau ruas tulang bagian leher yang membentuk daerah
tengkuk.

b. Dua belas vertebra torakalis atau ruas tulang punggung yang membentuk bagian
belakang torax atau dada.
c. Lima vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang yang membentuk daerah
lumbal atau pinggang.
d. Lima vertebra sakralis atau ruas tulang kelangkang yang membentuk sakrum
atau tulang kelangkang.
e. Empat vertebra kosigeus atau ruas tulang tungging atau ekor yang membentuk
tulang ekor.
Lengkung ruas tulang bagian leher melengkung ke depan, lengkung ruas tulang
dada ke arah belakang, daerah pinggang melengkung ke depan dan pelvis atau
kelangkang lengkungannya kearah belakang. (Huldani, 2012)

Vertebra servikalis atau ruas tulang leher adalah yang paling kecil dibandingkan
dengan ruas tulang lainnya, ciri dari ruas tulang punggung adalah semakin ke bawah
semakin membesar dilihat dari segi ukurannya yang memuat persendian untuk
tulang iga. Ruas tulang pinggang adalah yang terbesar dibandingkan dengan badan
vertebra lainnya. Sakrum atau tulang kelangkang terletak di bagian bawah tulang
belakang dengan bentuk segitiga, dan ruas tulang ekor terdiri dari 4 atau 5 vertebra
yang bergabung menjadi satu dan letaknya berada di bagian paling bawah dari
tulang belakang atau spine. Ruas-ruas tulang belakang diikat oleh serabut yang
dinamakan dengan ligamen. (Huldani, 2012)
Tulang belakang dapat patah akibat dari pukulan keras atau rusak karena faktor
kecelakaan atau faktor usia, selain itu tulang belakang juga dapat mengalami
kelainan seperti lengkungan tulang dada yang berlebihan mengakibatkan bongkok
atau kifosis, lengkung lumbal atau pinggang yang belebihan mengakibatkan lordosis,
dan bengkoknya ruas tulang punggung dan pinggang yang mengarah ke arah
samping kiri atau kanan yang disebut dengan Scoliosis (Huldani, 2012).

D. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Fraktur vertebra, khususnya vertebra servikalis dapat disebabkan oleh trauma
hiperekstensi, hiperfleksi, ekstensi rotasi, fleksi rotasi, atau kompresi servikalis.Fraktur
vertebra thorakal bagian atas dan tengah jarang terjadi, kecuali bila trauma berat
atau ada osteoporosis.Karena kanalis spinal di daerah ini sempit, maka sering
disertai gejala neurologis.Mekanisme trauma biasanya bersifat kompresi atau trauma
langsung.Pada kompresi terjadi fraktur kompresi vertebra, tampak korpus vertebra
berbentuk baji pada foto lateral.Pada trauma langsung dapat timbul fraktur pada
elemen posterior vertebra, korpus vertebra dan iga di dekatnya. Fraktur dapat
disebabkan oleh berbagai hal, yaitu :
1. Kecelakaan
Kebanyakan fraktur terjadi karena kecelakaan lalu lintas
2. Cidera olah raga
Saat melakukan oleh raga yang berat tanpa pema nasan sehingga terjadi cidera
olah raga yang menyebabkan fraktur
3. Osteoporosis
Lebih sering terjadi pada wanita usia di atas 45 tahun karena terjadi
perubahan hormon menopause
4. Malnutrisi
Pada orang yang malnutrisi terjadi defsit kalsium pada tulang sehingga
tulang rapuh dan sangat beresiko sekali terjadi fraktur
5. Kecelekaan
Kecerobohan di tempat kerja biasa terjadi, yang dapat menyebabkan
fraktur. (Hanafiah, 2007)

E. PATOFISIOLOGI
Terlampir

F. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Smeltzer (2001), tanda dan gejala dari fraktur yaitu meliputi :
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi
2. Deformitas adalah pergeseran fragmen pada fraktur
3. Terjadi pemendekan tulang akibat kontraksi otot yang melekat diatas dan
dibawah tempat fraktur
4. Krepitus adalah derik tul ang yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna multiple pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perubahan yang mengikuti fraktur.
6. Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadu disekitar fraktur.
7. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
8. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme otot. paralysis
dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
9. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya
tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
Tiap lesi di multiple spinalis yang merusak daerah jaras kortikospinal lateral dapat
menimbulkan kelumpuhan upper motor neuron (UMN) pada otot-otot bagian tubuh yang
terletak dibawah tingkat lesi. Bila lesi bilateral atau transversal multiple spinalis di bawah
tingkat servical maka dapat muncul suatu paraplegi multiple, bila lesinya di tingkat
servical maka akan muncul suatu tetraplegi multiple (Mardjono, 2003). Paraplegi dan
tetraplegi multiple dapat terjadi secara tiba-tiba atau akut yang disebabkan oleh dislokasi
atau fraktur tulang belakang akibat trauma atau lesi vaskuler seperti: multiples arteri
spinalis, hematomielia, aneurisma aorta disektans. Paraplegia atau tetraplegi multiple
pada anak-anak pada umumnya merupakan gejala cerebral palsy atau manifestasi
penyakit herediter yang menyertai keterbelakangan mental. Paraplegia atau tetraplegi
multiple yang berkembang secara sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang
bertahun-tahun biasanya disebabkan oleh Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS),
biasanya disertai multiple sensorik pada permukaan tubuh yang terletak dibawah lesi,
bahkan sebagian besar dapat terjadi gangguan miksi dan defekasi (Sidharta, 2005).

G. PEMERIKSAAN
a. Foto Rontgen Spinal, yang memperlihatkan adanya perubahan pada tulang
belakang, atau tulang intervetebralis atau mengesampingkan kecurigaan patologis
lain seperti tumor, osteomielitis.
b. Elektromiografi, untuk melokalisasi lesi pada tingkat akar syaraf spinal utama
yang terkena.
c. Venogram Epidural, yang dapat dilakukan di mana keakuratan dan miogram
terbatas.
d. Fungsi Lumbal, yang dapat mengkesampingkan kondisi yang berhubungan,
infeksi adanya darah.
e. Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat kaki lurus ke atas) untuk mendukung
multiple awal dari herniasi discus intervertebralis ketika muncul nyeri pada kaki
posterior.
f. CT Scan yang dapat menunjukkan kanal spinal yang mengecil, adanya
protrusi discus intervetebralis.
g. MRl, termasuk pemeriksaan non multiple yang dapat menunjukkan adanya
perubahan tulang dan jaringan lunak dan dapat memperkuat adanya herniasi
discus.
h. Mielogram, hasilnya mungkin normal atau memperlihatkan penyempitan dari
ruang discus, menentukan lokasi dan ukuran herniasi secara spesifik.

H. PENATALAKSANAAN
PENATALAKSANAAN GAWAT DARURAT
1. KESIAPSIAGAAN :
Pada fase ini dibagi menjadi pra rumah sakit dan fase rumah sakit
a. Fase pra rumah sakit
Koordinatir antara ambulans 119 dengan rumah sakit dapat memperbaiki kualitas
penanggulangan pasien gawat darurat. Idealnya ambulans 119 dapat memberi
tahu R.S yang dituju mengenai triage dan biomekanik kecelakaan pasien
sebelum meninggalkan tempat kejadian atau waktu perjalanan. Tindakan awak
ambulans hanya imobilisasi dan transportasi pasien ke IGD yang sesuai dengan
triange pasien, yaitu IGD level 1, 2 dan level 3.
b. Fase rumah sakit
Desain ruangan dan penyediaan alat atau obat harus di persiapkan untuk
menanggulangi pasien gawat darurat terkait secara efesien.

2. TRIAGE
Triage adalah seleksi klien sesuai dengan kebutuhan terapi. Terapi yang dilakukan
sesuai dengan prioritas A, B, C (A airway dengan kontrol vertebra sevikal, B
breathing dan C circulation dengan kontrol pendarahan).
Triage dapat di lakukan dengan di rumah sakit maupun dilapangan supaya tidak
melakukan kesalahan adalah memilih rumah sakit yang dituju ,dua tipe trage yaitu;
a. Bila jumlah klien tidak melebihi kapasitas rumah sakit/fasilitas kesehatan. Dalam
keadaan ini pasien dengan keadaan paling gawat atau cedera
multiple didahulukan menanggulanginya (selection of problem)
b. Bila jumlah pasien melebihi kapasitas rumah sakit/fasilitas kesehatan dalam
keadaan ini klien yang mempunyai kemungkinan hidup didahulukan
penanggulangannya, disini dilakukan adalahselection of pasients

3. PRIMARY SURVEY
Disini dilakukan identifikasi keadaan yang membahayakan klien dan segera
ditanggulangi.
A = Airway
Menjamin kelancaran jalan nafas dan kontrol vertebrae servikalis. Jalan nafas
dipertahankan dengan melakukan chin lift atau jaw thrust dapat juga dengan
memasang guedel pada klien dengan multiple trauma dan trauma tumpul di atas
klavikula kita harus mengagap dan memperlakukan seakan ada fraktur dari vertebra
servikalis dengan memasang neck collar sampai dibuktikan negatif. Hasil
pemeriksaan neurologi yang negatif tidak menyingkirkan ada cedera servikal. Karena
itu sebaiknya dibuat X-ray crosstable lateral cervical spino atau swimmer view dan
menilai ketujuh vetebra servikal.
B = Breathing dan Ventilasi
Sebaiknya thoraks harus dapat dilihat semuanya untuk melihat ventilasi. Jalan nafas
yang bebas tidak menjamin ventilasi yang cukup, pertukaran udara yang cukup
diperlukan untuk oksigenisasi yang cukup. Bila ada gangguan instabilitas
kardiovaskuler, respirasi atau kelainan neurologis. Maka kita harus melakukan
ventilasi dengan alat bag valve yang disambungkan pada masker atau pipa
endrokeal. Oksigenisasi atau ventilasi yang cukup pada klien trauma termasuk
memberikan volume dan konsentrasi oksigen (12 liter per menit) yang
cukup. Pernafasaan yang melebihi 20 kali / menit menandakan gangguan respirasi.
C = Circulation
Salah satu penyebab kematian di rumah sakit adalah pendarahan yang segera tidak
diatasi, ditandai dengan hipotensi yaitu:
kesadaran menurun
warna kulit pucat,kelabu menandakan kehilangan darah lebih dari 30%
nadi cepat dan lemah,ireguler merupakan pertanda hipovolume
Pendarahan bagian luar diatasi dengan balit tekan, jangan peke torniket karena akan
mengakibatkan metabolisme anaerobe.sedangkan pada pendarahan tungkai atau
abdomend diatasi dengan memakai MAST.
D = Disability
Pada akhir primary survey dilakukan pemeriksaan neurologis untuk menentukan:
a) Kesadaran
Kesadaran ditentukan dengan metode AVPU:
A- Alert
V-bereaksi pada vokal stimuli
P-bereaksi pada pain stimuli
U-unresponsive
b) Pupil
c) Reaksi reflek
Glascow Coma Scale (GCS) dilakukan pada primary survey atau seconder
survey. Perubahan pada neurologis atau kesadaran klien menunjukkan kelainan
intrakranial, dengan demikian kita harus menilai ulang :
Oksigenisasi
Ventilasi
Perfusi
Kehilangan kesadaran dapat disebabkan oleh A-I-U-E-O
A-alkohol
I-injury atau infeksi
U-uremia
E- epilepsi
O- opium atau other drag
Dapat juga dont forget them
D diabetes
F fever
T trauma
E = Eksposure
Klien harus ditelanjangi untuk pemeriksaan lebih lengkap dan harus diselimuti untuk
menghindari hipotermi.
4. SECONDARY SURVEY
Secondary survey tidak dimulai bila primery survey belum selesai. Resusitasi sudah
dilakukan dari evaluasi ABC direvaluasi. Yang dilakukan dalam secondary survey
adalah anamnese yang lengkap termasuk biomekanik kecelakaan dan pemeriksaan
fisik dari kepala sampai ke ujung kaki.

Didalam penatalaksanaan trauma spinal ada dua hal yang sangat penting yaitu :
1. Instabilitas dari Kolumna Vertebralis (Spinal Instability)
Yang dimaksud dengan instabilitas kolumna vertebralis (spinal instability) ialah
hilangnya hubungan normal antara struktur-struktur anatomi dari kolumna vertebralis
sehingga terjadi perubahan dari fungsi alaminya. Kolumna vertebralis tidak lagi
mampu menahan beban normal. Deformitas yang permanen dari kolumna vertebralis
dapat menyebabkan rasa nyeri; keadaan ini juga merupakan ancaman untuk
terjadinya kerusakan jaringan saraf yang berat (catastrophic neurologic injury).
Instabilitas dapat terjadi karena fraktur dari korpus vertebralis, lamina dan atau
pedikel. Kerusakan dari jaringan lunak juga dapat menyebabkan dislokasi dari
komponen-komponen anatomi yang pada akhirnya menyebabkan instabilitas. Fraktur
dan dislokasi dapat terjadi secara bersamaan.
2. Kerusakan jaringan saraf baik yang terancam maupun yang sudah terjadi (actual
and potential neurologic injury). (Hanafiah, 2007)
Prinsip-Prinsip Utama Penatalaksanaan Trauma Spinal
a. Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan
sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher
dalam posisi normal; dengan menggunakan cervical collar. Hal ini bertujuan untuk
mencegah agar leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi
terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan
cara 4 men lift atau menggunakan Robinsons orthopaedic stretcher.
b. Stabilisasi Medis
Hal ini dilakukan terutama pada penderita tetraparesis/tetraplegia.
1. Periksa vital signs
2. Pasang nasogastric tube
3. Pasang kateter urin
4. Segera normalkan vital signs. Pertahankan tekanan darah yang normal dan
perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu
monitor AGDA (analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock.
Pemberian megadose Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun
waktu 6 jam setelah kecelakaan dapat memperbaiki kontusio multiple spinalis.
c. Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner- Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi
diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai
terjadi reduksi.
d. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
Bila terjadi realignment artinya terjadi dekompresi. Bila realignment dengan
cara tertutup ini gagal maka dilakukan open reduction dan stabilisasi dengan
approach anterior atau posterior.
e. Rehabilitasi
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini
adalah bladder training, bowel training, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal
fungsi-fungsi multiples dan program kursi roda bagi penderita
paraparesis/paraplegia. (Hanafiah, 2007)
Terdapat beberapa tujuan pengobatan pada lesi medulla spinalis diantaranya yaitu
untuk menjaga sel yang masih hidup agar terhindar dari kerusakan lanjut, untuk
mengliminasi kerusakan akibat proses multiple sekunder, mengganti sel saraf yang
rusak, menstimulasi perrumbuhan akson dan koneksitasnya, memaksimalkan
penyembuhan multiple neurologis, melakukan stabilisasi vertebrata, neurorestorasi dan
neurorehabilitasi untuk mengembalikan fungsi tubuh. Adapun prognosis pada penyakit
ini tergantung pada lokasi lesi (lesi servical atas prognosis lebih buruk), luas lesi (komplit
/ inkomplit), tindakan dini (prehospital dan hospital), trauma multiple, dan adanya
faktor penyulit (komorbiditas) (PERDOSSI, 2006).

I. KOMPLIKASI
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan
yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat
oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan,
tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkmans Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk
sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk
itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan
sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas :
Pengumpulan Data
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register,
tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan :
- Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
- Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
- Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
- Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
- Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
2. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi
hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a. Gambaran Umum
1. Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti :
- Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
- Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
- Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
2. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
- Sistem Integumen : Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
- Kepala : Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
- Leher : Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
- Muka : Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
- Mata : Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan)
- Telinga : Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal, Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
- Hidung : Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
- Mulut dan Faring : Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
- Thoraks : Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
- Paru
Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
- Jantung
Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
- Abdomen
Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
- Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b. Keadaan local
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain,
Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
1. Look (inspeksi) : Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain :
- Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi)
- Cape au lait spot (birth mark)
- Fistulae
- Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi
- Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal)
- Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
- Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan
yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang
perlu dicatat adalah:
- Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time : Normal 3 - 5
- Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian
- Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,
tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat
di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
3. Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
B. Prioritas diagnosa
1. Nyeri berhubungan dengan agens cidera biologis
2. Resiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan fraktur
3. Deficit perawatan diri : mandi, berpakaian, makan dan eliminasi
C. Rencana Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI


1 Nyeri berhubungan dengan Tujuan : NIC :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen nyeri :
agens cidera biologis
- Observasi reaksi non verbal dari
selama 8 jam, nyeri berkurang.
NOC : ketidaknyamanan
- Klien melaporkan adanya nyeri - Gunakan teknik komunikasi
- Eekspresi nyeri wajah klien rilekx
terapeutik untuk mengetahui
- TTV dalam batas normal
pengalaman nyeri pasien
- Kaji kultur yang mempengaruhi respon
nyeri
- Evaluasi pengalaman nyeri masa
lampau
- Evaluasi bersama pasien dan tim
kesehatan lain tentang
ketidakefektifan kontrol nyeri masa
lampau
- Bantu pasien dan keluarga untuk
mencari dan menemukan dukungan
- Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri
- Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
- Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
- Tingkatkan istirahat
- Kolaborasi pemberian analgetik
- Kolaborasikan dengan dokter jika
keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
2 Resiko disfungsi neurovaskuler Tujuan : NIC :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan - Observasi tanda-tanda vital secara
perifer berhubungan dengan
selama 1x24 jam, tidak terjadi perubahan rutin
fraktur
- Observasi adanya tanda-tanda
neurovaskuler perifer.
NOC : iskemik pada ekstremitas, seperti
- Teraba nadi pada area perife/distal
penurunan suhu kulit dan
dari trauma
peningkatan nyeri
- Klien mampu menggerakkan bagian
- Dorong klien untuk secara rutin
tubuhnya/ respon motorik baik
melakukan latihan menggerakkan
- Klien mengatakan tidak kesemutan
jari/sendi distal cedera.
- Hindarkan restriksi sirkulasi akibat
tekanan bebat/spalk yang terlalu
ketat.
- Kolaborasikan pemberian obat
antikoagulan (warfarin) bila
diperlukan.
- Pantau kualitas nadi perifer, aliran
kapiler, warna kulit dan kehangatan
kulit distal cedera, bandingkan
dengan sisi yang normal
3 Deficit perawatan diri : mandi, Tujuan : NIC :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Self-care assistance: adl (mandi,
berpakaian, makan dan
Makan, berpakaian, toileting
selama 8 jam, kebutuhan perawatan diri
eliminasi - Berikan bantuan sampai klien mampu
klien terpenuhi
secara utuh untuk melakukan self-
NOC :
- Kebutuhan makan klien terpenuhi care
- Kebutuhan berpakaian klien terpenuhi - Dorong klien untuk melakukan
- Kebutuhan eliminasi klien terpenuhi
aktivitas sehari-hari yang normal
- Kebutuhan personal hygiene klien
terpenuhi sesuai kemampuan yang dimiliki
- Dorong untuk melakukan secara
mandiri, tapi beri bantuan ketika klien
tidak mampu melakukanya
- Ajarkan klien/keluarga untuk
mendorong kemandirian, untuk
memberikan bantuan hanya jika
pasien tidak mampu untuk melakukan
- Berikan aktivitas rutin sehari-hari
sesuai dengan kemampuannya
- Pertimbangkan usia klien jika
mendorong pelaksanaan aktivitas
sehari-hari
DAFTAR PUSTAKA

Evans R. 1996. Neurology and trauma.. Philadelphia: W.B. Saunders Company. pp.276-77.

Hanafiah, hafas. 2007. Penatalaksanaan Trauma Spinal. Majalah Kedokteran Nusantara


Volume 40 No. 2. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Huldani. 2012. Nyeri punggung. Universitas Lambung Mangkurat Fakultas Kedokteran


Banjarmasin.

Mardjono M, Sidharta P. 2003. Neurologi klinis dasar. Jakarta: MediMedia. hlm.35-6.

Perhimpunan Dokter Spesialis saraf Indonesia (PERDOSSI). 2006. Konsensus nasional


penanganan trauma kapitis dan trauma spinal. Jakarta: PERDOSSI. hlm.19-22.

Sidharta P. 2005. Tatalaksana pemeriksaan klinis dalam neurologi. Jakarta: Dian Rakyat. hlm.
115-6

Sina., MS. 2013. Myelopati ec Fracture kompresi Vertebrae Lumbal 1. Medula. Vol 1 No 5.
Universitas Lampung
PATOFISIOLOGI

Anda mungkin juga menyukai