1 Konsep Penyakit
Osteoarthritis diderita oleh 151 juta jiwa diseluruh dunia dan mencapai 24
juta dikawasan Asia Tenggara. Prevalensi osteoarthritis terus meningkat
mengikuti pertambahan usia penderita. Berdasarkan temuan radiologis,
didapatkan 70% dari penderita yang berumur lebih dari 65 tahun penderita
osteoarthritis (suhendriyo, 2014). Sedangkan laporan hasil riset kesehatan dasar
(Riskesdas) di Indonesia pada tahun 2013 prevalensi penyakit osteoarthritis
adalah 24,7%. Di provinsi sumatera selatan pada tahun 2018, terdapat prevalensi
penyakit osteoarthritis sejumlah 23.688 orang. Namun di kabupaten ogan
komering ulu penyakit osteoarthritis terdapat 1.040 orang dengan proporsi 6,59%.
(Riskesdas sumatera selatan, 2018).
1.1.3 Patofisiologi
Osteoarthritis
Gangguan Ansietas
Kurangnya
Mobilitas Fisik
informasi
Defisit
pengetahuan
1.1.6 Penatalaksanaan
Gangguan mobilitas fisik adalah Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu
atau lebih ekstremitas secara mandiri (Tim pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Ada
juga yang menyebutkan bahwa gangguan mobilitas fisik merupakan suatu kondisi
yang relatif dimana individu tidak hanya mengalami penurunan aktivitas dari
kebiasaan normalnya kehilangan tetapi juga kemampuan geraknya secara total
(Ernawati, 2012).
1.2.3 Etiologi
Adapun tanda dan gejala dengan gangguan mobilitas fisik sesuai standar
diagnosa keperawatan Indonesia (SDKI) adalah sebagai berikut.
Adapun kondisi klinis terkait dengan gangguan mobilitas fisik sesuai standar
diagnosis keperawatan Indonesia (SDKI), yaitu sebagai berikut.
1.2.5.1 Stroke
1.2.5.2 Cedera medula spinalis
1.2.5.3 Trauma
1.2.5.4 Fraktur
1.2.5.5 Osteoarthritis
1.2.5.6 Osteomalasia
1.2.5.7 Keganasan
b. Jenis kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda dalam mengungkapkan
nyeri. Ini dapat dipengaruhi oleh faktor- faktor biokimia, dan merupakan hal
yang unik pada setiap individu, tanpa memperhatikan jenis kelamin.
Kebudayan yang sangat kental membedakan nyeri antara pria dan wanita,
dimana pria dianggap lebih kuat dalam menahan nyeri.
c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai – nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang
diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi
terhadap nyeri.
d. Makna nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Individu
akan menilai nyeri dari sudut pandang masing-masing. Cara memaknai nyeri
pada setiap orang berbeda-beda nyeri dibandingkan anak perempuan, hal ini
tentu saja hanya kebudayaan masyarakat yang terbiasa memandang laki-laki
lebih kuat daripada perempuan.
e. Perhatian
Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat.,
sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri
yang menurun. Perhatian juga dapat dikatakan mempengaruhi intensitas
nyeri. Dibutuhkan pengalihan perhatian nyeri dengan relaksasi untuk
menurunkan intensitas nyeri.
f. Keletihan
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas
seringx meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan
suatu perasaan ansietas. Ansietas memiliki hubungan dengan intensitas nyeri
yang dirrasakan pasien.
b. Dampak perilaku
Seseorang yang sedang mengalami nyeri cenderung menunjukkan
respon perilaku yang abnormal. Respon vokal individu yang mengalami
nyeri biasanya mengaduh, mendengkur, sesak napas hingga menangis.
Ekspresi wajah meringis, menggigit jari, membuka mata dan mulut dengan
lebar, menutup mata dan mulut, dan gigi yang bergemeletuk.
Gerakan tubuh menunjukkan perasaan gelisah, imobilisasi, ketegangan
otot, peningkatan gerakan jari dan tangan, gerakan menggosok dan gerakan
melindungi tubuh yang nyeri. Dalam melakukan interaksi sosial individu
dengan nyeri menunjukkan karakteristik menghindari percakapan,
menghindari kontak sosial, perhatian menurun, dan fokus hanya pada
aktifitas untuk menghilangkan nyeri.
b. Fase sensasi
Fase ini merupakan fase ketika nyeri sudah dirasakan pasien. Toleransi
setiap orang terhadap nyeri berbeda-beda sehingga respon terhadap nyeri
juga akan berbeda. Seseorang dengan toleransi nyeri tinggi maka tidak akan
merasa nyeri dengan stimulus kecil tetapi seseorang dengan toleransi nyeri
rendah akan mengeluh nyeri dari stimulus kecil. Pasien mengungkapkan
nyeri melalui ekspresi wajah, voxsasi dan gerakan tubuh.
c. Fase akibat
Fase ini berlangsung ketika nyeri berkurang atau sudah menghilang.
Pasien masih memerlukan kontrol perawat untuk meminimalkan rasa takut
yang berulang sebab nyeri bersifat krisis yang memungkinkan adanya gejala
sisa pasca nyeri. Advokasi dari perawat untuk mempertahankan kondisi
pasien kepada pasien dan keluarga.
Keterangan: 0: Tidak nyeri, 1-3: Nyeri ringan: secara obyektif klien dapat
berkomunikasi dengan baik, 4-6: Nyeri sedang: Secara obyektif klien
mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat
mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik, 7-9: Nyeri berat:
secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih
respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan
distraksi, 10: Nyeri sangat berat: Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
1.3.9 Nyeri pada osteoarthitis
Nyeri pada osteoarthritis terjadi karena ada tiga tempat yang dapat menjadi
sumber nyeri, diantaranya: sinovium, jaringan lunak sekitar sendi, dan tulang.
Nyeri sinovium terjadi akibat reaksi radang yang timbul akibat adanya debris dan
kristal dalam cairan sendi. Selain itu juga dapat terjadi akibat kontak dengan
rawan sendi pada waktu sendi bergerak. Kerusakan pada jaringan lunak dapat
menimbulkan nyeri, misalnya robekan ligamen dan kapsul sendi, peradangan
pada bursa atau kerusakan meniskus.
Nyeri yang berasal dari tulang akibat rangsangan pada periosteum karena
periosteum kaya akan serabut-serabut penerima nyeri. Selain itu nyeri pada
Osteoartritis dapat juga dipengaruhi oleh tiga penyebab mayor diantaranya nyeri
akibat gerakan dari faktor mekanis, nyeri saat istirahat akibat inflamasi synovial,
dan nyeri malam hari akibat hipertensi intraoseus (Yusuf & Indarwati, 2014).
1.4.1 Pengkajian
b) Terapeutik
c) Edukasi
d) Kolaborasi
B. Nyeri Kronis
a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tingkat nyeri
dapat menurun
b. Kriteria hasil :
a) Kemampuan menuntaskan aktivitas
b) Keluhan nyeri menurun
c) Meringis menurun
d) Gelisah menurun
c. Intervensi :
Manajemen nyeri (I. 08238)
Tindakan :
a) Observasi
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respons nyeri non verbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
b) Teraupetik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk menguangi rasa nyeri
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
c) Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
20
d) Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
C. Defisit pengetahuan
a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pengetahuan
klien tentang aktivitas/istirahat meningkat
b. Kriteria hasil :
a) Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang suatu topik
b) Perilaku sesuai dengan pengetahuan meningkat
c) Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat menurun
c. Intervensi :
Edukasi Aktivitas/Istirahat (I. 12362)
Tindakan :
a) Observasi
- Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
b) Teraupetik
- Sediakan materi dan media pengaturan aktivitas/istirahat
- Jadwalkan pemberian pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
- Berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk bertanya
c) Edukasi
- Jelaskan pentingnya melakukan aktivitas fisik/ olahraga secara
rutin
- Anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan istirahat
- Ajarkan cara mengidentifikasi target dan jenis aktivitas sesuai
kemampuan
21
Tabel 1
Diagnosa, Intervensi, Luaran dan Kriteria Hasil Keperawatan
a) Observasi
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
- Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
- Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
b) Terapeutik
c) Edukasi
d) Kolaborasi