Anda di halaman 1dari 20

1.

1 Konsep Penyakit

1.1.1 Definisi Osteoarthritis

Osteoarthritis ( OA ) adalah penyakit degeneratif yang menyebabkan


peradangan kronis akibat dari gesekan antar ujung tulang penyusun sendi ( isnaini,
2020 ). Osteoarthritis (OA) merupakan jenis penyakit sendi akibat proses
degeneratif sekaligus peradangan pada tulang rawan sendi. Penyakit sendi
degeneratif adalah kemunduran (perubahan menjadi sesuatu yang rusak) bertahap
kartilago artikular pada sendi, disertai dengan perubahan jaringan lunak disekitar
sendi. Pada penderita osteoarthritis, tulang rawan sendi telah mengalami
penipisan atau aus yang menyebabkan permukaan rawan sendi menjadi dan
bergelombang. Osteoarthritis dapat mempengaruhi semua sendi pada tubuh, tetapi
pada bagian bahu, siku, dan pergelangan kaki cenderung tidak terkena
osteoarthritis, kecuali pada kondisi traumatik. semua sendi, yang rentan adalah
sendi pada lutut. Osteoarthritis pada lutut lebih dikenal dengan encok lutut
(Prieharti dan dr. Yekti, 2017). Osteoarthritis dapat menyerang di wrist joint dan
spine, tetapi lebih banyak ditemukan pada area knee dan hip (Tracey, 2016).

Osteoarthritis yang juga dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif


merupakan kelainan sendi yang paling sering ditemukan dan kerap kali
menimbulkan ketidakmampuan (disabilitas). Penyakit ini sering diobati secara
berlebihan (overtreatment) atau kurang ditangani sebagaimana mestinya
(undertreatment). Osteoarthritis diklasifikasi sebagai primer (idiopatik) tanpa
kejadian atau penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan osteoarthritis, dan
tipe sekunder. Namun, perbedaan antara osteoarthritis primer dan sekunder tidak
selalu terlihat dengan jelas.
1.1.2 Etiologi Osteoarthritis

Penyebab Osteoarthritis ( AO ) utamanya belum diketahui secara pasti,


tetapi ada beberapa faktor yang mempermudah (predisposisi) terjadinya
Osteoarthritis, antara lain usia telah lebih dari 40 tahun, lebih sering terjadi pada
perempuan, obesitas, hipermobilitas, merokok, hereditas (keturunan), dan
hormonal. Faktor lain adalah trauma akibat penggunaan sendi yang berlebihan
dalam jangka waktu lama sewaktu melakukan aktivitas rutin sehari-hari.

Seiring bertambahnya usia, terjadi penurunan jumlah kolagen dan kadar


airyang terjadi karena perubahan fisik dan biokimia tubuh. Faktor kegemukan
juga menjadi salah satu penyebab osteoarthritis karena akan menambah beban
pada sendi penopang berat badan, sebaliknya nyeri atau cacat yang disebabkan
oleh osteoarthritis mengakibatkan seseorang menjadi tidak aktif dan dapat
menambah kegemukan. Faktor lain penyebab terjadinya osteoarthritis adalah
karena penyakit endokrin. Pada hipertiroidisme, terjadi produksi air dan garam-
garam proteglikan yang berlebihan pada seluruh jaringan penyokong sehingga
merusak sifat fisik rawan sendi, ligamen, tendon, sinovial dan kulit. (Purwanto,
2016)

Osteoarthritis diderita oleh 151 juta jiwa diseluruh dunia dan mencapai 24
juta dikawasan Asia Tenggara. Prevalensi osteoarthritis terus meningkat
mengikuti pertambahan usia penderita. Berdasarkan temuan radiologis,
didapatkan 70% dari penderita yang berumur lebih dari 65 tahun penderita
osteoarthritis (suhendriyo, 2014). Sedangkan laporan hasil riset kesehatan dasar
(Riskesdas) di Indonesia pada tahun 2013 prevalensi penyakit osteoarthritis
adalah 24,7%. Di provinsi sumatera selatan pada tahun 2018, terdapat prevalensi
penyakit osteoarthritis sejumlah 23.688 orang. Namun di kabupaten ogan
komering ulu penyakit osteoarthritis terdapat 1.040 orang dengan proporsi 6,59%.
(Riskesdas sumatera selatan, 2018).

1.1.3 Patofisiologi

Osteoarthritis dapat dianggap sebagai proses patologi yang menyatu


menjadi suatu predisposisi penyakit yang menyeluruh. Osteoarthritis mengenai
kartilago artikuler, tulang subkondrium (lempeng tulang yang menyangga
kartilago artikuler serta sinovium, dan memyebabkan keadaan campuran dari
degradasi, inflamasi serta perbaikan. Faktor – faktor mekanis seperti trauma sendi,
aktivitas olahraga dan pekerjaan juga ikut terlibat. Faktor ini mencakup kerusakan
ligamentum krusiatum dan robekan meniskus, aktivitas fisik yang berat dan
kebiasaan sering berlutut.

Tulang rawan sendi terletak di setiap ujung tulang yang melaksanakan 2


fungsi, yaitu mencegah gesekan didalam sendi saat pergerakan dengan adanya
cairan sinovial serta menerima beban atau benturan sehingga tulang dibawahnya
tidak mengalami kerusakan. Kedua fungsi ini dapat berjalan baik karena adanya
kolagen type II dan proteoglikanyang dikeluarkan oleh kondrosit memiliki daya
regang yang tinggi dan mampu memperbaiki tulang rawan sendisetelah tertekan
beban. Tulang rawan sendi yang “aus” diuraikan dan diganti oleh kondrosit yang
tidak hanya mensintesis matriks tulang rawan. Oleh karena itu, kesehatan
kondrosit dan kemampuan sel ini memelihara sifat esensial matriks tulang rawan
menentukan integritas sendi. Pada osteoarthritis, proses ini terganggu oleh
beragam sebab (Bararah, 2016). Pengeluaran enzim lisosom menyebabkan
dipecahnya polisakarida protein yang membentuk matiks disekeliling kondrosit
sehingga mengakibatkan kerusakan tulang rawan. Sendi yang paling sering
terkena adalah sendi yang harus menaggung berat badan, seperti panggul lutut dan
kolumnia vertebralis (Purwanto, 2016).

1.1.4 Manifestasi klinis

Manifestasi klinisnya meliputi osteoarthritis yang primer yaitu adalah rasa


nyeri, kaku dan gangguan fungsional. Nyeri pada osteoarthritis disebabkan oleh
inflamasi sinovia, peregangan kapsula atau ligamentum sendi, iritasi ujung-ujung
saraf dalam periosteum akibat pertumbuhan osteofit, mikrofraktur trabekulum,
hipertensi intraoseus, bursitis, tendinitis dan spasme otot.perasaan kaku yang
paling sering dialami pada pagi hari atau sesudah bangun tidur biasanya
berlangsung kurang dari 30 menit dan akan berkurang sesudah sendi-sendi itu
digerakkan. Gangguan fungsional disebabkan oleh rasa nyeri ketika sendi
digerakkan dan keterbatasan gerakan yang terjadi akibat perubahan struktural
dalam sendi. Meskipun osteoarthritis terjadi paling sering pada sendi penyokong
berat badan (panggul, lutut, servikal, dan tulang belakang), sendi tengah dan
ujung jari juga sering terkena. Mungkin ada nodus tulang yang khas pada inspeksi
dan palpasi ini biasanya tidak ada nyeri, kecuali ada inflamasi.
1.1.5 Pathway

Usia, jenis, kelamin, genetik, suku bangsa, kegemukan, cedera sendi,


pekerjaan dan olahraga, kelainan pertumbuhan, kepatan tulang

Kerusakan fotal tulang, pembentukan tulang


baru pada sendi yang progresif

Integritas matrik, perubahan komponen


sendi, kolagen, proteoglikan kartilago

Osteoarthritis

Tulang rawan Membrane synovial Kerusakan tulang rawan

Iregularitas dan Penebalan pada Kontraktur kapsul,


synovial pada kista instabilitas sendi
pelunakan pada
tulang rawan dan Pembengkakan sendi Deformitas sendi

Pergesaran sendi Perubahan bentuk tubuh


Fibrosit kapsul, pada tulang dan sendi
atau adanya cairan osteosit, iregularitas
permukaan sendi
Perubahan status kesehatan
Kekakuan pada
Nyeri akut/ kronis
sendi besar atau

Gangguan Ansietas
Kurangnya
Mobilitas Fisik
informasi

Defisit
pengetahuan

Sumber : WOC OA (Dyasmita, 2016)


9

1.1.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan terapeutik terdiri atas farmakoterapi, tindakan suportif


dan intervensi bedah kalau rasa nyerinya membandel dan fungsi sendi sudah
hilang. Program farmakologi dilaksanakan berdasarkan pemahaman yang baru
terhadap kerusakan akibat osteoarthritis yang disebabkan oleh proses remodeling
metabolik aktif. Bentuk terapi dimaksudkan untuk menyempurnakan perbaikan
kartilago serta menunda penghancuran sendi. Sejumlah penelitian telah
memperbesar kemungkinan bahwa salisilat dan sebagian preparat NSAID dapat
mempercepat progresivitas penghancuran sendi. Irigasi tidal (pembasuhan debris
dari rongga sendi), debridemen artroskopik, pemboran pada defek osteokondrium
atau atroplasti abrasi (untuk melicinkan permukaan sendi) dapat mengurangi nyeri
lutut yang menderita osteoarthritis, kendati beberapa penelitian memperlihatkan
persentase efek plasebo yang tinggi. Bagi pasien dengan penyakit yang sudah
mencapai stadium terminal, artroplasti (penggantian) sendi dapat meredakan rasa
nyeri dan meredakan fungsi yang hilang. Osteoarthritis pada sendi lutut
merupakan indikasi untuk sebagian besar pembedahan lutut yang mencakup
sebagian besar operasi penggantian total sendi lutut.

Pada penderita osteoarthritis meliputi tindakan preventif berupa


pencegahan cedera dan pendekatan ergonomik untuk memodifikasi stres akibat
kerja. Dapat dilakukan dengan cara terapi nonfarmakologis yaitu dapat dilakukan
diantaranya edukasi atau penjelasan kepada penderita agar dapat mengetahui serta
memahami tentang penyakit penderitanya, bagaimana agar penyakitnya tidak
bertambah semakin parah (Purwanto, 2016). Terapi fisik berguna untuk melatih
pasien agar persendiannya tetap dapat dipakai dan melatih pasien untuk
melindungi sendi. Terapi fisik membuat penderita dapat beraktivitas seperti
biasanya sekaligus mengurangi risiko fisik yang tidak berfungsi dengan baik.
Terapi fisik pada penderita osteoarthritis dapat berupa fisioterapi ataupun
olahraga ringan seperti berenang dan bersepeda. Terapi fisik ini berusaha untuk
tidak memberikan beban yang terlalu berat pada penderitanya (Nur, 2009).
1
0

1.2 Konsep Aktivitas dan istirahat

1.2.1 Definisi Aktivitas/Istirahat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aktivitas adalah kegiatan


atau keaktifan titik jadi, segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan
yang terjadi baik fisik maupun nonfisik merupakan suatu aktivitas. Sedangkan arti
kata istirahat adalah berhenti (mengaso) sebentar dari suatu kegiatan (untuk
melepaskan lelah) arti lainnya dari istirahat adalah rehat.

Aktivitas adalah kemampuan untuk bergerak bebas, mudah, berirama dan


terarah di lingkungan adalah bagian yang sangat penting dalam kehidupan.
Individu harus beraktivitas dan bergerak untuk melindungi diri dari trauma dan
untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Istirahat bermakna ketenangan,
relaksasi tanpa stres emosional dan bebas dari ansietas. Oleh karena itu, istirahat
tidak selalu bermakna tidak beraktivitas. Pada kenyataannya, beberapa orang
menemukan ketenangan dari beberapa aktivitas tertentu seperti jalan jalan di
udara segar. (Kozier, 2010)

1.2.2 Definisi Gangguan Mobilitas Fisik

Gangguan mobilitas fisik adalah Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu
atau lebih ekstremitas secara mandiri (Tim pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Ada
juga yang menyebutkan bahwa gangguan mobilitas fisik merupakan suatu kondisi
yang relatif dimana individu tidak hanya mengalami penurunan aktivitas dari
kebiasaan normalnya kehilangan tetapi juga kemampuan geraknya secara total
(Ernawati, 2012).

1.2.3 Etiologi

Faktor penyebab terjadinya gangguan mobilitas fisik sesuai dengan standar


diagnosis keperawatan Indonesia (SDKI) , antara lain

1.2.3.1 Kerusakan integritas struktur tulang


1.2.3.2 Perubahan metabolisme
1.2.3.3 Ketidakbugaran fisik
1.2.3.4 Penurunan kendali otot
11

1.2.3.5 Penurunan massa otot


1.2.3.6 Penurunan kekuatan otot
1.2.3.7 Keterlambatan perkembangan
1.2.3.8 Kekakuan sendi
1.2.3.9 Kontraktur
1.2.3.10 Malnutrisi
1.2.3.11 Gangguan muskuloskeletal
1.2.3.12 Gangguan neuromuskular
1.2.3.13 Indeks massa tubuh diatas persentil ke-75 usia
1.2.3.14 Efek agen farmakologi
1.2.3.15 Program pembatasan gerak
1.2.3.16 Nyeri
1.2.3.17 Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik
1.2.3.18 Kecemasan
1.2.3.19 Gangguan kognitif
1.2.3.20 Keengganan melakukan pergerakan
1.2.3.21 Gangguan sensoripersepsi

1.2.4 Gejala dan Tanda

Adapun tanda dan gejala dengan gangguan mobilitas fisik sesuai standar
diagnosa keperawatan Indonesia (SDKI) adalah sebagai berikut.

1.2.4.1 Gejala dan tanda mayor


Subjektif : 1. Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas
Objektif : 1. Kekuatan otot menurun
2. Rentang gerak (ROM) menurun

1.2.4.2 Gejala dan tanda


minor Subjektif : 1.
Nyeri saat bergerak
2. Enggan melakukan pergerakan
3. Merasa cemas saat bergerak
12

Objektif : 1. Sendi kaku


2. Gerakan tidak terkoordinasi
3. Gerakan terbatas
4. Fisik lemah

1.2.5 Kondisi klinis terkait

Adapun kondisi klinis terkait dengan gangguan mobilitas fisik sesuai standar
diagnosis keperawatan Indonesia (SDKI), yaitu sebagai berikut.

1.2.5.1 Stroke
1.2.5.2 Cedera medula spinalis
1.2.5.3 Trauma
1.2.5.4 Fraktur
1.2.5.5 Osteoarthritis
1.2.5.6 Osteomalasia
1.2.5.7 Keganasan

1.3 Konsep Dasar Nyeri pada Osteoarthitis


1.3.1 Pengertian nyeri
Menurut The International Association for The Study of Pain (IASP), nyeri
didefisinikan sebagai pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau potensial yang
akan menyebabkan kerusakan jaringan (Jone, 2010). Nyeri merupakan tanda
peringatan bahwa terjadi kerusakan jaringan, yang harus menjadi pertimbangan
utama perawat saat mengkaji nyeri (S.Andarmoyo, 2013).
Persepsi yang diakibatkan oleh rangsangan yang potensial dapat menyebabkan
kerusakan jaringan yang disebut nosiseptor, yang merupakan tahap awal proses
timbulnya nyeri. Reseptor yang dapat membedakan rangsang noksius dan non-
noksius disebut nosiseptor. Nosiseptor merupakan terminal yang Tidak
tediferensiasi serabut a-delta dan serabut c. Serabut a-delta merupakan serabut
saraf yang dilapisi oleh mielin yang tipis dan berperan menerima rangsang
mekanik dengan intensitas menyakitkan, dan disebut juga high-threshold
mechanoreceptors, sedangkan serabut c merupakan serabut yang tidak dilapisi
mielin (Setiadi, 2013).

1.3.2 Nyeri Kronis


Nyeri kronis merupakan pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual maupun fungsional dengan waktu yang
mendadak atau lambat dengan intensitas ringan hingga berat dan konstan yang
berlangsung selama lebih dari 3 bulan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).

1.3.3 Tanda dan Gejala nyeri kronis


Biasanya pasien mengeluh nyeri, merasa depresi, merasa takut mengalami
cedera berulang, tampak meringis, gelisah, tidak mampu menuntaskan aktivitas,
13
bersikap protektif, waspada, pola tidur berubah, anoreksia, serta berfokus pada
diri sendiri (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).

1.3.4 Faktor – faktor yang mempengaruhi nyeri


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri. Perawat sebagai tenaga
kesehatan harus mendalami faktor yang mempengaruhi nyeri agar dapat
memberikan pendekatan yang tepat dalam pengkajian dan perawatan terhadap
pasien yang mengalami nyeri.
Faktor-faktor tersebut antara lain (S.Andarmoyo, 2013) :
a. Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya pada lansia. Kebanyakan lansia hanya menganggap nyeri yang
dirasakan sebagai bagian dari proses menua. Perbedaan perkembangan yang
ditemukan diantara kelompok usia anak-anak dan lansia dapat mempengaruhi
bagaimana mereka bereaksi terhadap nyeri.

b. Jenis kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda dalam mengungkapkan
nyeri. Ini dapat dipengaruhi oleh faktor- faktor biokimia, dan merupakan hal
yang unik pada setiap individu, tanpa memperhatikan jenis kelamin.
Kebudayan yang sangat kental membedakan nyeri antara pria dan wanita,
dimana pria dianggap lebih kuat dalam menahan nyeri.

c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai – nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang
diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi
terhadap nyeri.

d. Makna nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Individu
akan menilai nyeri dari sudut pandang masing-masing. Cara memaknai nyeri
pada setiap orang berbeda-beda nyeri dibandingkan anak perempuan, hal ini
tentu saja hanya kebudayaan masyarakat yang terbiasa memandang laki-laki
lebih kuat daripada perempuan.

e. Perhatian
Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat.,
sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri
yang menurun. Perhatian juga dapat dikatakan mempengaruhi intensitas
nyeri. Dibutuhkan pengalihan perhatian nyeri dengan relaksasi untuk
menurunkan intensitas nyeri.

f. Keletihan
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas
seringx meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan
suatu perasaan ansietas. Ansietas memiliki hubungan dengan intensitas nyeri
yang dirrasakan pasien.

1.3.5 Penyebab nyeri kronis


Penyebab nyeri kronis adalah kondisi musculoskeletal kronis, kerusakan
system saraf, penekanan saraf, infiltrasi tumor, ketidakseimbangan
neurotansmiter, gangguan imunitas, gangguan fungsi metabolik, riwayat posisi
kerja statis, peningkatan indeks massa tubuh, kondisi pasca trauma, tekanan
emosional, riwayat penganiyaan, dan riwayat penyalahgunaan obat/zat (Tim
14
Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).

1.3.6 Dampak nyeri


Nyeri yang dirasakan pasien akan berdampak pada fisik, perilaku, dan
aktifitas sehari-hari (S.Andarmoyo, 2013) :
a. Dampak fisik
Nyeri yang tidak ditangani dengan adekuat akan mempengaruhi
system pulmonary, kardiovaskuler, edokrin, dan imunologik. Nyeri yang
tidak diatasi juga memicu stress yang akan berdampak secara fisiologis yaitu
timbulnya infark miokard, infeksi paru, dan ileus paralitik. Dampak ini
tentunya akan memperlambat kesembuhan pasien.

b. Dampak perilaku
Seseorang yang sedang mengalami nyeri cenderung menunjukkan
respon perilaku yang abnormal. Respon vokal individu yang mengalami
nyeri biasanya mengaduh, mendengkur, sesak napas hingga menangis.
Ekspresi wajah meringis, menggigit jari, membuka mata dan mulut dengan
lebar, menutup mata dan mulut, dan gigi yang bergemeletuk.
Gerakan tubuh menunjukkan perasaan gelisah, imobilisasi, ketegangan
otot, peningkatan gerakan jari dan tangan, gerakan menggosok dan gerakan
melindungi tubuh yang nyeri. Dalam melakukan interaksi sosial individu
dengan nyeri menunjukkan karakteristik menghindari percakapan,
menghindari kontak sosial, perhatian menurun, dan fokus hanya pada
aktifitas untuk menghilangkan nyeri.

c. Pengaruh terhadap aktifitas sehari-hari


Aktivitas sehari-hari akan terganggu apabila nyeri yang dirasakan
sangat hebat. Nyeri dapat mengganggu mobilitas pasien pada tingkat tertentu.
Nyeri yang dirasakan mengganggu akan mempengaruhi pergerakan pasien.

1.3.7 Pengalaman nyeri


Potter dan Perry menjabarkan 3 fase pengalaman nyeri diantaranya (Potter, P.
A., & Perry, 2005) :
a. Fase antisipasi
Fase antisipasi merupakan fase sebelum nyeri dimana fase ini
mempengaruhi 2 fase lainnya. Pada fase ini seseorang seseorang belajar
tentang nyeri, dan upaya untuk menghilangkan nyeri. Pada fase ini perawat
berperan dalam memberikan informasi yang adekuat.

b. Fase sensasi
Fase ini merupakan fase ketika nyeri sudah dirasakan pasien. Toleransi
setiap orang terhadap nyeri berbeda-beda sehingga respon terhadap nyeri
juga akan berbeda. Seseorang dengan toleransi nyeri tinggi maka tidak akan
merasa nyeri dengan stimulus kecil tetapi seseorang dengan toleransi nyeri
rendah akan mengeluh nyeri dari stimulus kecil. Pasien mengungkapkan
nyeri melalui ekspresi wajah, voxsasi dan gerakan tubuh.

c. Fase akibat
Fase ini berlangsung ketika nyeri berkurang atau sudah menghilang.
Pasien masih memerlukan kontrol perawat untuk meminimalkan rasa takut
yang berulang sebab nyeri bersifat krisis yang memungkinkan adanya gejala
sisa pasca nyeri. Advokasi dari perawat untuk mempertahankan kondisi
pasien kepada pasien dan keluarga.

1.3.8 Pengukuran nyeri


Pengukuran nyeri dapat merupakan pengukuran satu dimensional saja (one
15
dimensional) atau pengukuran berdimensi ganda (multi-dimensional). Pada
pengukuran satu dimensional umumnya hanya mengukur pada satu aspek nyeri
saja, misalnya seberapa berat rasa nyeri menggunakan pain rating scale yang
dapat berupa pengukuran kategorikal atau numerical misalnya visual analogue
scale (VAS), sedangkan pengukuran multi-dimensional dimaksudkan tidak
hanya terbatas pada aspek sensorik belaka, namun juga termasuk pengukuran
dari segi afektif atau bahkan proses evaluasi nyeri dimungkinkan oleh metoda ini
(Setiyohadi, B., Sumariyono, Kasjmir, Y. I., Isbagio, H., & Xm, 2006).
a. Skala Nyeri Menurut Bourbanis

Keterangan: 0: Tidak nyeri, 1-3: Nyeri ringan: secara obyektif klien dapat
berkomunikasi dengan baik, 4-6: Nyeri sedang: Secara obyektif klien
mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat
mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik, 7-9: Nyeri berat:
secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih
respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan
distraksi, 10: Nyeri sangat berat: Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
1.3.9 Nyeri pada osteoarthitis
Nyeri pada osteoarthritis terjadi karena ada tiga tempat yang dapat menjadi
sumber nyeri, diantaranya: sinovium, jaringan lunak sekitar sendi, dan tulang.
Nyeri sinovium terjadi akibat reaksi radang yang timbul akibat adanya debris dan
kristal dalam cairan sendi. Selain itu juga dapat terjadi akibat kontak dengan
rawan sendi pada waktu sendi bergerak. Kerusakan pada jaringan lunak dapat
menimbulkan nyeri, misalnya robekan ligamen dan kapsul sendi, peradangan
pada bursa atau kerusakan meniskus.
Nyeri yang berasal dari tulang akibat rangsangan pada periosteum karena
periosteum kaya akan serabut-serabut penerima nyeri. Selain itu nyeri pada
Osteoartritis dapat juga dipengaruhi oleh tiga penyebab mayor diantaranya nyeri
akibat gerakan dari faktor mekanis, nyeri saat istirahat akibat inflamasi synovial,
dan nyeri malam hari akibat hipertensi intraoseus (Yusuf & Indarwati, 2014).

1.4 Konsep Asuhan Keperawatan dengan Osteoarthitis

1.4.1 Pengkajian

Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang


bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenali msalah masalah, kebutuhan dan kesehatan pasien,
baik fisik, mental, sosial dan lingkungan (Dermawan, 2012).

Fokus sumber data pengkajian keperawatan yang dilakukan pada pasien


osteoarthritis yaitu sebagai berikut:

1. Identitas pasien dan keluarga


16
2. Riwayat keperawatan
Didalam riwayat keperawatan, perawat perlu mengidentifikasi adanya:
a. Rasa nyeri/sakit tulang punggung (bagian bawah), leher dan pinggang
b. Berat badan menurun
17

c. Biasanya diatas 45 tahun


d. Jenis kelamin sering pada wanita
e. Pola latihan dan aktivitas
f. Keadaan nutrisi ( misalnya, kurang vitamin D dan C, Serta kalsium)
g. Merokok, mengonsumsi alkohol dan kafein
3. Pemeriksaan fisik :
1) Lakukan penekanan pada tulang punggung, sendi lutut dan sendi kaki
terdapat nyeri tekan atau nyeri pergerakan
2) Periksa mobilitas pasien
3) Amati posisi pasien yang nampak membungkuk
4. Riwayat psikososial
Penyakit ini sering terjadi pada wanita. Biasanya sering timbul kecemasan,
takut melakukan aktivitas, dan perubahan konsep diri. Perawat perlu mengkaji
masalah-masalah psikologis yang timbul akibat proses ketuaan dan efek
penyakit yang menyertainya.

1.4.2 Diagnosis Keperawatan

Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai


respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya
baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan
untuk mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap
situasi yang berkaitan dengan kesehatan (Tim pokja SDKI DPP PPNI, 2017)

Berdasarkan data pengkajian, diagnosa osteoarthritis sesuai dengan standar


diagnosa keperawatan Indonesia (SDKI), yaitu:

1. Nyeri kronis (D.0078)


2. Gangguan mobilitas fisik (D.0054)
3. Defisit pengetahuan (D.0111)
18

1.4.3 Perencanaan Keperawatan

Intervensi keperawatan merupakan segala bentuk terapi yang dikerjakan


oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk
mencapai peningkatan, pencegahan dan pemulihan kesehatan klien individu,
keluarga dan komunitas (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)

A. Gangguan Mobilitas Fisik


a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan ekstremitas
klien meningkat
b. Kriteria hasil :
a) Pergerakan ekstremitas meningkat
b) Kekuatan otot meningkat
c) Rentang gerak (ROM) meningkat
d) Nyeri menurun
e) Kecemasan menurun
f) Kaku sendi menurun
c. Intervensi :
Dukungan Mobilisasi ( I.05173)
Tindakan:
a) Observasi
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
- Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
- Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi

b) Terapeutik

-Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu ( mis, pagar tempat


tidur)

- Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu

-Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan


pergerakan
19

c) Edukasi

- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi

- Ajarkan terapi aktivitas (mis, terapi pijat (akupresur) )

d) Kolaborasi

- Kolaborasi dengan terapis yang tersertifikasi

B. Nyeri Kronis
a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tingkat nyeri
dapat menurun
b. Kriteria hasil :
a) Kemampuan menuntaskan aktivitas
b) Keluhan nyeri menurun
c) Meringis menurun
d) Gelisah menurun
c. Intervensi :
Manajemen nyeri (I. 08238)
Tindakan :
a) Observasi
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respons nyeri non verbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
b) Teraupetik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk menguangi rasa nyeri
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
c) Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
20

- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri


- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri

d) Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

C. Defisit pengetahuan
a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pengetahuan
klien tentang aktivitas/istirahat meningkat
b. Kriteria hasil :
a) Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang suatu topik
b) Perilaku sesuai dengan pengetahuan meningkat
c) Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat menurun
c. Intervensi :
Edukasi Aktivitas/Istirahat (I. 12362)
Tindakan :
a) Observasi
- Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
b) Teraupetik
- Sediakan materi dan media pengaturan aktivitas/istirahat
- Jadwalkan pemberian pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
- Berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk bertanya
c) Edukasi
- Jelaskan pentingnya melakukan aktivitas fisik/ olahraga secara
rutin
- Anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan istirahat
- Ajarkan cara mengidentifikasi target dan jenis aktivitas sesuai
kemampuan
21

Tabel 1
Diagnosa, Intervensi, Luaran dan Kriteria Hasil Keperawatan

Diagnosa Tujuan Dan


Keperawa Kriteria Hasil Intervensi (SIKI)
tan (SLKI)
Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi ( I.05173)
mobilitas tindakan Tindakan:
fisik keperawatan a) Observasi
berhubung diharapkan - Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
an dengan ekstremitas klien lainnya
nyeri meningkat dengan - Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
(D.0054) kriteria hasil : - Monitor kondisi umum selama melakukan
a) Pergerakan mobilisasi
ekstremitas b) Terapeutik
meningkat (5) - Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (
b) Kekuatan otot mis, pagar tempat tidur)
meningkat (5) - Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
c) Rentang - libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
gerak (ROM) meningkatkan pergerakan
meningkat (5) c) Edukasi
d) Nyeri - jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
menurun (5) - ajarkan terapi aktivitas (mis, terapi pijat (akupresur)
e) Kecemasan )
menurun (5) d) Kolaborasi
f) Kaku sendi - Kolaborasi dengan terapis yang tersertifikasi
menurun (5)

Sumber : SDKI (2017), SIKI (2018), SLKI (2019)


22

1.4.4 Implementasi keperawatan


Implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana prawat
melaksanakan rencana atau intervensi yang sudah di laksanakan
sebelumnya.Berdasarkan terminologi SIKI, implementasi terdiri atas
melakukan dan mendokumentasikan yang merupakan tindakan khusus yang
digunakan untuk melaksanakan intervensi (Tim Pokja SDKI DPP PPNI,
2018).

1.4.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi keperawatan berdasarkan adalah fase kelima dan terakhir dalam
suatu proses keperawatan. Proses evaluasi dalam asuhan keperawatan
didokumentasikan dalam SOAP (subjektif, objektif, assesment, planing)
(Achjar, 2010). Menurut kozier, (2011) evaluasi adalah aktivitas yang
direncanakan, berkelanjutan, dan terarah ketika klien dan profesional
kesehatan menentukan :
a. Kemajuan klien dalam mencapai tujuan/hasil dan kefektifan rencana
asuhan keperawatan.
b. Keefektifan rencana asuhan keperawatan.
Evaluasi adalah aspek penting proses keperawatan karena kesimpulan
yang ditarik dari evaluasi menentukan apakah intervensi keperawatan
harus diakhiri, dilanjutkan atau diubah.

1.5 Implementasi Keperawatan Pada Gangguan Mobilitas Fisik

1.5.1 Dukungan Mobilisasi

Definisi : Sesuai standar intervensi keperawatan Indonesia (SIKI) dukungan


mobilitas yaitu memfasilitasi pasien untuk meningkatkan aktivitas pergerakan
fisik.

Tujuan : Untuk memberikan dukungan mobilisasi pada pasien osteoarthritis


23

1.5.2 Metode Dukungan Mobilisasi

a) Observasi
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
- Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
- Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi

b) Terapeutik

-Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu ( mis, pagar


tempat tidur)

- Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu

-libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan


pergerakan

c) Edukasi

- jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi

- Ajarkan terapi aktivitas (mis, terapi pijat (akupresur) )

d) Kolaborasi

- Kolaborasi dengan terapis yang tersertifikasi.

Anda mungkin juga menyukai