Fraktur
Merangsang nosiseptor
Spasme otot (reseptor nyeri)
Pergeseran fragmen tulang
Nyeri Akut
Peningkatan tek kapiler
Deformitas
Edema
Laserasi kulit
RisikoPerfusiPerifer Tidak
Penekanan pembuluh darah Efektif
Perdarahan
Kehilangan volume cairan
Resiko Infeksi
Resiko syok
4. KLASIFIKASI
Fraktur dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
a. Fraktur komplit, adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
b. Fraktur tidak komplit (inkomplit), adalah patah yang hanya terjadi pada sebagian
dari garis tengah tulang.
c. Fraktur tertutup (closed), adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
atau bila jaringan kulit yang berada diatasnya / sekitar patah tulang masih utuh.
d. Fraktur terbuka (open/compound), adalah hilangnya atau terputusnya jaringan
tulang dimana fragmen-fragmen tulang pernah atau sedang berhubungan dengan
dunia luar. Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga derajat, yaitu :
1) Derajat I
a) Luka < 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
c) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau koinutif ringan
d) Kontaminasi minimal
2) Derajat II
a) Laserasi > 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
c) Fraktur kominutif sedang
d) Kontaminasi sedang
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan
neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas :
a) IIIA: Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
b) IIIB: Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat pelepasan
lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
c) IIIC: Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar bagian distal
dapat diperthankan, terjadi kerusakan jaringan lunak hebat.
5. GEJALA KLINIS
Menurut Brunner dan Suddarth (2002), manifestasi klinik dari faktur yaitu:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah
fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya, atau sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur.
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan
sekitarnya, atau akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
d. Pemendekan tulang
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering
saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan saraf, dan terkenanya saraf karena edema.
f. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme otot.
paralysis dapat terjadi karena kerusakan saraf.
g. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya
tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
h. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.
i. Deformitas / Perubahan bentuk
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur.
Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi
permukaan patahan saling terdesak satu sama lain).
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan Radiologi
X-ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera.
CT scan dilakukan untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks,
memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
Venogram / Arteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler dan menggambarkan arus vascularisasi.
b. Laboratorium
Lekosit turun/meningkat, eritrosit dan albumin turun, Hb dan hematokrit
cenderung rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat bila
kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan, Ca meningkat di
dalam darah, trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal sehingga
sering meningkat. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, transfusi multiple, atau cederah hati.
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian
fungsi dan kekuatan (Brunner dan Sudart 2002)
a. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa
dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri
sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas
integritas rangka.
b. Reduksi fraktur (setting tulang)
Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya dengan
manipulasi dan traksi manual. Reduksi terbuka dilakukan dengan pendekatan
bedah, fragmen tulang direduksi alat fiksasi interna (ORIF) dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam untuk mempertahankan fragmen
tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
c. Retensi (Imobilisasi fraktur)
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna (OREF) meliputi : pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu pin, dan tehnik gips atau fiksator ekterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna (ORIF) yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur yang dilakukan dengan pembedahan.
d. Rehabilitasi (Mempertahankan dan mengembalikan fungsi)
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.Latihan
isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan aliran darah.Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.
Menurut Long (1996), ada beberapa terapi yang digunakan untuk pada pasien
fraktur antara lain:
a. Debridemen luka untuk membuang kotoran, benda asing, jaringan yang rusak dan
tulang yang nekrose
b. Memberikan toksoid tetanus
c. Membiakkan jaringan
d. Pengobatan dengan antibiotic
e. Memantau gejala osteomyelitis, tetanus, gangrene gas
f. Menutup luka bila tidak ada gejala infeksi
g. Reduksi fraktur
h. Imobilisasi fraktur
i. Kompres dingin boleh dilaksanakan untuk mencegah perdarahan, edema, dan
nyeri
j. Obat penawar nyeri.
8. KOMPLIKASI
a. KOMPLIKASI AWAL
1) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
2) Kompartement Syndrom
Sindrom kompartemen berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika
tidak ditangani segera. Sindrom kompartemen merupakan masalah yang
terjadi saat perfusi jaringan dalam otor kurang dari yang dibutuhkan untuk
kehidupan jaringan. Biasanya pasien akan merasa nyeri pada saat bergerak.
Ada 5 tanda syndrome kompartemen, yaitu : pain (nyeri), pallor (pucat),
pulsesness (tidak ada nadi), parestesia (rasa kesemutan), dan paralysi
(kelemahan sekitar lokasi terjadinya syndrome kompartemen)
3) Fat Embolism Syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal
ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang
dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati
sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah
pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli
lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah,
marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.
4) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke
tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur
(yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan
menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang
terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan
gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada
pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya
melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat
menahan beban
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
7) Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks
tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau
hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk
melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi, luka tembak,
fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi
karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka
vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar
b. Komplikasi Dalam Waktu Lama
1) Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
2) Non Union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang –
kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor – faktor yang dapat
menyebabkan non union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan
lunak, pemisahan lebar dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang
bersifat patologis..
3) Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan
deformitas, angulasi atau pergeseran.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri akut
b. Risiko perfusi perifer tidak efektif
c. Gangguan mobilitas fisik
d. Gangguan integritas kulit/jaringan
e. Risiko infeksi
f. Risiko syok
(PPNI, 2017)
3. RENCANA KEPERAWATAN
□ Prosedur endovaskuler □ Warna kulit pucat menurun □ Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
□ Diabetes melitus Tekanan arteri rata-rata cukup tanda dan gejala awal syok
Perawatan sirkulasi
Observasi
□ Periksa sirkulasi perifer (mis, nadi perifer,
edema, pengisian kapiler, warna, suhu, ABI)
□ Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi
(mis, diabetes, perokok, orang tua, hipertensi
dan kadar kolesterol tinggi)
□ Monitor panas, kemerahan, nyeri atau bengkak
pada ekstremitas
Terapeutik
□ Hindari pemasangan infus atau pengambilan
darah di area keterbatasan perfusi
□ Hindari pengukuran tekanan darah pada
ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
□ Hindari penekanan dan pemasangan tourniquet
pada area yang cidera
□ Lakukan pencegahan infeksi
□ Lakukan perawatan kaki dan kuku
□ Lakukan hidrasi
Edukasi
□ Anjurkan berhenti merokok
□ Anjurkan berolahraga rutin
□ Anjurkan mengecek air mandi untuk
menghindari kulit terbakar
□ Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan
darah, antikoagulan, dan penurun kolesterol,
jika perlu
□ Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah
secara teratur
□ Anjurkan menghindari penggunaan obat
penyekat beta
□ Aanjurkan melakukan perawatan kulit yang
tepat (mis, melembabkan kulit yang kering pada
kaki)
□ Anjurkan program rehabilitasi vascular
□ Ajarkan program diet untuk memperbaiki
sirkulasi (mis, rendah lemak jenuh, minyak ikan
omega 3)
□ Informasikan tanda dan gejala darurat yang
harus dilaporkan (mis, rasa sakit yang tidak
hilang saat istirahat, luka tidak sembuh,
hilangnya rasa)
3 Gangguan Mobilitas Fisik Setelah diberikan asuhan keperawatan Dukungan Ambulasi
Penyebab selama … x … jam, diharapkan Observasi
□ Kerusakan integritas struktur masalah gangguan mobilitas fisik □ Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
tulang teratasi dengan kriteria hasil: lainnya
□ Perubahan metabolism Mobilitas Fisik □ Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
□ Ketidakbugaran fisik □ Pergerakan ekstremitas □ Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
□ Penurunan kendali otor meningkat sebelum memulai ambulasi
□ Penurunan massa otot □ Kekuatan otot meningkat □ Monitor kondisi umum selama melakukan
□ Kecemasan Observasi
□ Suhu lingkungan yang □ Kerusakan lapisan kulit □ Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama
ekstrem menurun selama periode diare
□ Faktor mekanis (mis. □ Nyeri menurun □ Gunakan produk berbahan petroleum atau
Penekanan pada tonjolan minyak pada kulit kering
□ Perdarahan menurun
tulang, gesekan) atau faktor Kemerahan menurun □ Gunakan produk berbahan ringan/alami den
elektris (elektrodiatermi, Hematoma menurun hipoalergik pada kulit sensitive
energi listrik bertegangan Pigmentasi abnormal □ Hindari produk berbahan dasar alcohol pada
tinggi) menurun Jaringan parut kulit kering
□ Efek samping terapi radiasi Edukasi
menurun Nekrosis menurun
□ Kelembaban □ Anjurkan menggunakan pelembab (mis, lotion,
Abrasi kornea menurun
□ Proses penuaan serum)
Suhu kulit membaik
□ Neuropati perifer □ Anjurkan minum air yang cukup
Sensasi emmbaik
□ Perubahan pigmentasi □ Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Tekstur membaik
□ Perubahan hormonal □ Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
Pertumbuhan rambut membaik
□ Kurang terpapar informasi □ Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem
□ Kekurangan volume cairan □ Output urine meningkat □ Monitor status cairan (masukan dan haluaran,
Pemantauan Cairan
Observasi
□ Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
□ Monitor frekuensi nafas
□ Monitor tekanan darah
□ Monitor berat badan
□ Monitor waktu pengisian kapiler
□ Monitor elastisitas atau turgor kulit
□ Monitor jumlah, warna dan berat jenis urine
□ Monitor kadar albumin dan protein total
□ Monitor hasil pemeriksaan serum (mis,
osmolaritas serum, hematocrit, natrium, kalium,
BUN)
□ Monitor intake dan output cairan
□ Identifikasi tanda-tanda hypovolemia (mis,
frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah,
tekanan darah menurun, tekanan nadi
menyempit, turgor kulit menurun, membrane
mukosa kering, volume urine menurun,
hematocrit meningkat, haus, lemah, konsentrasi
urine meningkat, berat badan menurun dalam
waktu singkat)
□ Identifikasi tanda-tanda hypervolemia (mis,
dyspnea, edema perifer, edema anasarca, JVP
meningkat, CVP meningkat, reflex
hepatojugular positif, berat bdaan menurun
dalam waktu singkat)
□ Monitor tanda-tanda infeksi dan perdarahan
pada sisi insersi
□ Monitor tanda-tanda komplikasi akibar
pemasangan selang (mis, pneumothoraks, selang
tertekuk, embolisme udara)
Terapeutik
□ Dampingi pasien saat pemasangan dan
pelepasan kateter jalur hemodinamik
□ Lakukan tes Allen untuk menilai kolateral
ulnaris sebelum kanulasi pada arteri radialis
□ Pastikan set selang terangkai dan terpasang
dengan tepat
□ Konfirmasi ketepatan posisi selang dengan
pemeriksaan x-ray, jika perlu
□ Posisikan transduser pada atrium kanan (aksis
flebostatik) setiap 4-12 jam untuk mengkalibrasi
dan mentitiknolkan perangkat
□ Pastika balon deflasi dan kembali ke posisi
normal setelah pengukuran tekanna baji arteri
paru (PAWP)
□ Ganti selang dan cairan infus setiap 24-72 jam,
sesuai protocol
□ Ganti balutan pada area insersi dengan teknik
steril
□ Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan
kondisi pasien
□ Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
□ Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
□ Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
□ Anjurkan membatasi gerak/aktivitas selama
kateter terpasang
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC
Bulechek, G.M. Butcher, H.K. Dochterman, J.M. Wagner, C.M. 2016. Nursing Interventions
Classification (NIC). Singapore: Elsevier Global Rights.
Carpenito. 2000. Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis Edisi 6. Jakarta: EGC.
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius.
Price, Sylvia A.; Wilson, Lorraine M.. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-proses
Penyakit Edisi 6. Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.