Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR KOMPRESI

A. KONSEP DASAR MEDIS

1. Defenisi

Fraktur kompresi (wedge fractures) merupakan kompresi pada bagian depan

corpus vertebralis yang tertekan dan membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah

fraktur tersering yang mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan

oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat pukulan

di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra

kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah

mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih

pendek ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya. Trauma vertebra yang mengenai

medula spinalis dapat menyebabkan defisit neorologis berupa kelumpuhan (Young,

2000).

2. Etiologi

Penyebab terjadinya fraktur kompresi vertebra adalah sebagai berikut:


a. Trauma langsung ( direct )
Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan tulang seperti

pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian dan benturan benda keras oleh

kekuatan langsung.
b. Trauma tidak langsung (indirect)
Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih

disebabkan oleh adanya beban yang berlebihan pada jaringan tulang atau otot,

contohnya seperti pada olahragawan yang menggunakan hanya satu tangannya untuk

menumpu beban badannya (Rasjad, 2007). Selain penyebab fraktur kompresi tidak
langsung diatas, fraktur kompresi dapat disebabkan oleh proses penyakit seperti

osteoporosis, penderita tumor dan infeksi (Andrew, 2014).

3. Patofisiologi

Tulang belakang merupakan satu kesatuan yang kuat yang diikat oleh ligamen

di depan dan di belakang, serta dilengkapi diskus intervertebralis yang mempunyai daya

absorpsi terhadap tekanan atau trauma yang memberikan sifat fleksibilitas dan elastis.

Semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu trauma yang hebat, sehingga sejak

awal pertolongan pertama dan transportasi ke rumah sakit penderita harus secara hati-

hati. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang,

tulang belakang sendiri dan sumsum tulang belakang (medulla spinalis) (Graham &

Louis, 1995) . Mekanisme trauma diataranya:


a. Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada vertebra.

Vertebra mengalami tekanan terbentuk remuk yang dapat menyebabkan kerusakan

atau tanpa kerusakan ligamen posterior. Apabila terdapat kerusakan ligamen posterior,

maka fraktur bersifat tidak stabil dan dapat terjadi subluksasi.


b. Fleksi dan rotasi
Trauma jenis ini merupakan trauma fleksi yang bersama-sama dengan rotasi. Terdapat

strain dari ligamen dan kapsul, juga ditemukan fraktur faset. Pada keadaan ini terjadi

pergerakan ke depan/ dislokasi vertebra diatasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat

tidak stabil.
c. Kompresi vertical (aksial)
Suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang akan

menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memecahakan permukaan

serta badan vertebra secara vertikal. Material diskus akan masuk dalam badan

vertebra dan menyebabkan vertebra menjadi rekah (pecah). Pada trauma ini elemen
posterior masih intak sehingga fraktur yang terjadi bersifat stabil
d. Hiperekstensi atau retrofleksi
Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan ekstensi.

Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikal dan jarang pada vertebra

torakolumbal. Ligamen anterior dan diskus dapat mengalami kerusakan atau terjadi

fraktur pada arkus neuralis. Fraktur ini biasanya bersifat stabil.


e. Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan menyebabkan

fraktur pada komponen lateral yaitu pedikel, foramen vertebra dan sendi faset

Pembagian trauma vertebra menurut BEATSON (1963) membedakan atas 4 grade:

- Grade I = Simple Compression Fraktur


- Grade II = Unilateral Fraktur Dislocation
- Grade III = Bilateral Fraktur Dislocation

- Grade IV = Rotational Fraktur Dislocation

Dengan adanya penekanan/ kompresi yang berlangsung lama menyebabkan jaringan

terputus akibatnya daerah disekitar fraktur dapat mengalami edema atau hematoma.

Kompresi akibatnya sering menyebabkan iskemia otot. Gejala dan tanda yang menyertai

peningkatan tekanan kompartemental mencakup nyeri, kehilangan sensasi dan paralisis.

Hilangnya tonjolan tulang yang normal, pemendekan atau pemanjangan tulang dan

kedudukan yang khas untuk dislokasi tertentu menyebabkan terjadinya perubahan bentuk

(deformitas).

Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara langsung dan tidak

langsung. Fraktur pada tulang belakang yang menyebabkan instabilitas pada tulang

belakang adalah penyebab cedera pada medulla spinalis secara tidak langsung. Apabila

trauma terjadi di bawah segmen cervical dan medula spinalis tersebut mengalami

kerusakan sehingga akan berakibat terganggunya distribusi persarafan pada otot-otot


yang disarafi dengan manifestasi kelumpuhan otot-otot intercostal, kelumpuhan pada

otot-otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah serta paralisis sfingter

pada uretra dan rektum. Distribusi persarafan yang terganggu mengakibatkan terjadinya

gangguan sensoris pada regio yang disarafi oleh segmen yang cedera tersebut.

Klasifikasi derajat kerusakan medulla spinalis:

a. Frankel A = Complete, fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali di bawah level

lesi.

b. Frankel B = Incomplete, fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris masih tersisa di

bawah level lesi.

c. Frankel C = Incomplete, fungsi motris dan sensoris masih terpelihara tetapi tidak

fungsional.

d. Frankel D = Incomplete, fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara dan

fungsional.

e. Frankel E = Normal, fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa deficit

neurologisnya.

Pathway terlampir

4. Manifestasi Klinis

Fraktur kompresi biasanya bersifat insidental, menunjukkan gejala nyeri tulang

belakang ringan sampai berat. Dapat mengakibatkan perubahan postur tubuh karena

terjadinya kiposis dan skoliosis. Pasien juga menunjukkan gejala-gejala pada

abdomen seperti rasa perut tertekan, rasa cepat kenyang, anoreksia dan penurunan

berat badan. Gejala pada sistem pernafasan dapat terjadi akibat berkurangnya kapasitas

paru.
Hanya sepertiga kasus kompresi vertebra yang menunjukkan gejala. Pada saat

fraktur terasa nyeri, biasanya dirasakan seperti nyeri yang dalam pada sisi fraktur. Jarang

sekali menyebabkan kompresi pada medulla spinalis, tampilan klinis menunjukkan

gejala nyeri radikuler yang nyata. Rasa nyeri pada fraktur disebabkan oleh

banyak gerak,dan pasien biasanya merasa lebih nyaman dengan beristirahat. Banyak

pasien yang mengalami fraktur kompresi vertebra akan menjadi tidak aktif,

dengan berbagai alasan antara lain rasa nyeri akan berkurang dengan terlentang, takut

jatuh sehingga terjadi patah tulang lagi. Sehingga kurang aktif atau malas bergerak pada

akhirnya akan mengakibatkan semakin buruknya kemampuan dalam melakukan aktifitas

sehari-hari.

Apabila kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2 mengakibatkan sindrom

konus medullaris. Konus medullaris adalah ujung berbentuk kerucut dari sumsum tulang

belakang. Normalnya terletak antara ujung vertebra torakalis (T-12) dan awal dari

vertebra lumbalis (L-1), meskipun kadang-kadang konus medullaris ditemukan antara L-

1 dan L-2. Saraf yang melewati konus medullaris mengontrol kaki, alat kelamin, kandung

kemih, dan usus. Gejala umum termasuk rasa sakit di punggung bawah, anestesi di paha

bagian dalam, pangkal paha; kesulitan berjalan, kelemahan di kaki, kurangnya kontrol

kandung kemih; inkontinensia alvi, dan impotensi.


a. Gangguan motorik

Cedera medula spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan terjadi kerusakan

sel-sel saraf pada medulla spinalisnya menyebabkan gangguan arcus reflek dan flacid

paralisis dari otot-otot yang disarafi sesuai dengan segmen-segmen medulla spinalis

yang cedera. Pada awal kejadian akan mengalami spinal shock yang berlangsung

sesaat setelah kejadian sampai beberapa hari bahkan sampai enam minggu. Spinal
shock ini ditandai dengan hilangnya reflek dan flacid. Lesi yang terjadi di lumbal

menyebabkan beberapa otot-otot anggota gerak bawah mengalami flacid paralisis.

b. Gangguan sensorik

Pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya paraplegic pain

dimana nyeri tersebut merupakan gangguan saraf tepi atau sistem saraf pusat yaitu

sel-sel yang ada di saraf pusat mengalami gangguan. Selain itu kulit dibawah level

kerusakan akan mengalami anaestesi, karena terputusnya serabut-serabut saraf

sensoris.

c. Gangguan bladder dan bowel

Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitkan kontraksi otot polos

sigmoid dan rectum serta relaksasi otot spincter internus. Kontraksi otot polos

sigmoid dan rectum itu berjalan secara reflektorik. Impuls afferentnya dicetuskan oleh

ganglion yang berada di dalam dinding sigmoid dan rectum akibat peregangan,

karena penuhnya sigmoid dan rectum dengan tinja. Defekasi adalah kegiatan volunter

untuk mengosongkan sigmoid dan rectum. Mekanisme defekasi dapat dibagi dalam

dua tahap. Pada tahap pertama, tinja didorong ke bawah sampai tiba di rectum

kesadaran ingin buang air besar secara volunter, karena penuhnya rectum kesadaran

ingin buang air besar timbul. Pada tahap kedua semua kegiatan berjalan secara

volunter. Spincter ani dilonggarkan dan sekaligus dinding perut dikontraksikan,

sehingga tekanan intra abdominal yang meningkat mempermudah dikeluarkannya

tinja. Jika terjadi inkontinensia maka defekasi tak terkontrol oleh keinginan.

d. Gangguan fungsi seksual


Pasien pria dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam atau beberapa hari setelah

cidera. Seluruh bagian dari fungsi seksual mengalami gangguan pada fase spinal

shock. Kembalinya fungsi sexual tergantung pada level cidera dan komplit/tidaknya

lesi. Untuk dengan lesi komplet diatas pusat reflek pada konus, otomatisasi ereksi

terjadi akibat respon lokal, tetapi akan terjadi gangguan sensasi selama aktivitas

seksual. Pasien dengan level cidera rendah pusat reflek sakral masih mempunyai

reflex ereksi dan ereksi psikogenik jika jalur simpatis tidak mengalami kerusakan,

biasanya pasien mampu untuk ejakulasi, cairan akan melalui uretra yang kemudian

keluarnya cairan diatur oleh kontraksi dari internal bladder sphincter. Kemampuan

fungsi seksual sangat bervariasi pada pasien dengan lesi tidak komplit, tergantung

seberapa berat kerusakan pada medula spinalisnya. Gangguan sensasi pada penis

sering terjadi dalam hal ini. Masalah yang terjadi berhubungan dengan lokomotor dan

aktivitas otot secara volunter.

5. Diagnosis

a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan cara pasien berdiri, sehingga

tanda-tanda osteoporosis seperti kiposkoliosis akan lebih tampak. Kemudian

pemeriksaan dilakukan dengan menekan vertebra dengan ibu jari mulai dari atas

sampai kebawah yaitu pada prosesus spinosus. Fraktur kompresi vertebra dapat

terjadi mulai dari oksiput sampai dengan sacrum, biasanya terjadi pada region

pertengahan torak (T7-T8) dan pada thorakolumbal junction. Ulangi lagi pemeriksaan

sampai benar-benar ditemukan lokasi nyeri yang tepat. Nyeri yang berhubungan
dengan pemeriksaan palpasi vertebra mungkin disebabkan oleh adanya fraktur

kompresi vertebra (Hanna & Letizia, 2007).


Adanya deformitas pada tulang belakang tidak mengindikasikan adanya

fraktur. Jika tidak ditemukan nyeri yang tajam, kemungkinan hal tersebut merupakan

suatu kelainan tulang belakang yang berkaitan dengan umur. Pemeriksaan selanjutnya

dilakukan dengan membantu pasien melakukan gerakan fleksi dan ekstensi pada

tulang belakang, gerakan ini akan menyebabkan rasa nyeri yang disebabkan oleh

adanya fraktur kompresi vertebra. Spasme otot atau kekakuan otot dapat terjadi

sebagai akibat dari kekuatan otot melawan gravitasi pada bagian anterior dari

vertebra. Pemeriksaan neurologis perlu dilakukan. Tidak jarang pada kasus

osteomielitis mempunyai gejala yang mirip dengan fraktur kompresi vertebra (Hanna

& Letizia, 2007).

b. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan menurut Aron (2006) yaitu:
a. Rontgen
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tulang vertebra yang fraktur atau yang

mengalami pergeseran
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan ini memberi informasi detail mengenai jaringan lunak di daerah

vertebra. Gambaran yang akan dihasilkan adalah 3 dimensi. MRI sering

digunakan untuk mengetahui kerusakn jaringan lunak pada ligament dan diskus

intervertebralis dan menilai cedera medulla spinalis.


c. CT-Scan
CT scan sangat berguna dalam menggambarkan adanya fraktur dan dapat

memberikan informasi jika tentang adanya kelainan densitas tulang. CT scan dan

MRI juga sangat penting dalam menentukan diferensial diagnosis karena adanya

penyempitan kanalis spinal, dan komposisi spesifik vertebra dapat


digambarkan.
d. Single-Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
Dapat juga digunakan dalam menentukan adanya fraktur dan tingkat adanya

osteoporosis karena kemampuannya dalam menggambarkan densitas tulang.


e. Scintigraphy

Merupakan suatu metode diagnostik yang menggunakan deteksi radiasi sinar

gamma untuk menggambarkan kondisi dari jaringan atau organ, juga

merupakancmetode yang penting untuk memprediksikan hasil (outcome) dari

beberapa teknik operasi.

6. Penatalaksanaan

a. Nyeri akut
Jika pada pasien tidak ditemukan kelainan neurologis, pengobatan pada pasien

dengan akut fraktur harus menekankan pada pengurangan rasa nyeri, dengan

pembatasan bedrest, penggunaan analgetik, brancing dan latihan fisik (Aron, 2006).
- Menghindari bedrest terlalu lama
Bahaya dari bedrest yang terlalu lama pada orang tua adalah, meningkatkan

kehilangan densitas tulang, deconditioning, thrombosis, pneumonia, ulkus

dekubitus, disorientasi dan depresi.


- Analgetik
Analgetik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri, biasa diberikan sebagai terapi

awal untuk menghindari dari bedrest yang terlalu lama.


- Calcitonin
Calcitonin diberikan secara subkutan, intranasal, atau perrektal mempunyai efek

analgetik pada fraktur kompresi yang disebabkan oleh osteoporosis dan pasien

dengan nyeri tulang akibat metastasis.


- Bracing
Bracing merupakan terapi yang biasa dilakukan pada manegemen akut non

operatif. Ortose membantu dalam mengontrol rasa nyeri dan membantu

penyembuhan dengan menstabilkan tulang belakang. Dengan mengistirahatkan


pada posisi fleksi, maka akan mengurangi takanan pada kolumna anterior dan

rangka tulang belakang.Bracing dapat digunakan segera, tetapi hanya dapat

digunakan untuk dua sampai tiga bulan. Terdapat beberapa tipe ortose yang

tersedia untuk pengobatan.


- Vertebroplasty
Vertebroplasty dilakukan dengan menempatkan jarum biopsy tulang belakang

kedalam vertebra yang mengalami kompresi dengan bimbingan fluoroscopy atau

computed tomography. Kemudian diinjeksikan Methylmethacrylate kedalam

tulang yang mengalami kompresi. Prosedur ini dapat menstabilkan fraktur dan

megurangi rasa nyeri dengan cepat yaitu pada 90% 100% pasien. Tetapi prosedur

ini tidak dapat memperbaiki deformitas yang terjadi pada tulang belakang.
- Kypoplasty

Prosedur ini dilakukan dengan menyuntikkan jarum yang berisikan tampon

kedalam tulang yang mengalami fraktur. Insersi jarum tersebut akan membentuk

suatu kavitas pada tulang vertebra. Kemudian kavitas tersebut diisi dengan

campuran methylmetacrylate dibawah tekanan rendah.

b. Nyeri kronis

Nyeri kronis umumnya biasa dialami oleh pasien dengan multipel fraktur, penurun

tinggi badan, dan kehilangan densitas tulang. Pada pasien-pasien ini, sangat

dianjurkan untuk tetap aktif melakukan pelemasan otot dan program peregangan,

seperti program yang berdampak ringan seperti berjalan dan berenang. Sebagai

tambahan obat penghilang rasa sakit, pemeriksaan nonfarmakologis seperti stimulasi

saraf listrik transkutaneus, aplikasi panas dan dingin, atau penggunaan bracing, dapat

menghilangkan rasa sakit sementara. Aspek psikologis dari rasa nyeri yang kronis dan
kehilangan fungsi fisiologis harus diterangkan dalam konseling, jika perlu, dapat

diberikan antidepresan (Aron, 2006).

c. Pencegahan fraktur tambahan


- Sebagian besar pasien dengan fraktur akibat osteoporosis akut harus diberikan

terapi osteoporosis secara agresif.


- Pemeriksaan bone densitometry sebaiknya dilakukan pada pasien dengan fraktur

kompresi dan sebelumnya diduga mengalami kehilangan massa tulang.


- National Osteoporosis Foundation menganjurkan semua wanita yang mengalami

fraktur spiral dan densitas mineral tulang harus diberikan terapi seperti

osteoporosis.
- Diet suplemen vitamin D dan kalsium harus optimal. Bisphosponates

(alendronate, risendronate) mengurangi insidensi terjadinya fraktur vertebra baru

sampai lebih dari 50%.


- Raloxifene, merupakan modulator estrogen selektif, menunjukkan dapat

mengurangi terjadi fraktur vertebra 65% pada tahun pertama dan sekitar 50%

pada tahun ketiga.


- Kalsitonin menunjukkan penurunan resiko terjadinya fraktur vertebra baru sekitar

1 dari 3 wanita yang mengalami fraktur vetebra.

- Teriparatide (fortoe), merupakan preparat hormone paratiroid

rekombinan diberikan secara subkutan. Obat ini juga menunjukkan

rendahnya resiko terjadinya fraktur vertebra dan meningkatkan densitas tulang

pada wanita post menopause dengan osteoporosis. Obat ini bekerja

pada osteoblast untuk menstimulasi pembentukan tulang baru.


7. Komplikasi

a. Biomekanik

Pada beberapa pasien yang mengalami pemendekan segmen torakolumbal yang

signifikan, costa bagian terbawah akan bersandar pada pevis, menyebabkan terjadinya

abdominal discomfort. Gejala-gejala pada gangguan abdomen dapat berupa anoreksia

yang dapat mengakibatkan penurunan berat badan, terutama pada pasien yang berusia

lanjut. Konsekuensi pada paru akibat adanya fraktur kompresi pada vertebra dan

kyposis umumnya ditandai dengan penyakit paru restriktif dengan penurunan

kapasitas vital paru. Dalam persamaan, setiap fraktur menurunkan kapasitas vital 9%.

Meningkatkan resiko terjadinya fraktur. Karena terjadinya kyposis, maka beban

berlebih akan ditopang oleh tulang disekitarnya, ditambah lagi dengan adanya

osteoporosis semakin meningkatkan resiko terjadinya fraktur. Adanya satu atau lebih

vertebra mengalami fraktur kompresi semakin meningkatkan adanya fraktur

tambahan lima kali lipat dalam satu tahun.

b. Fungsional

Pasien yang mengalami fraktur kompresi memiliki level yang lebih rendah dalam

performa fungsional dibandingkan dengan kontrol, lebih banyak membutuhkan

pembantu, pengalaman lebih sering mengalami sakit saat bekerja, dan mengalami

kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Penelitian terbaru pada pasien-pasien

ini memiliki nilai yang rendah pada indeks kulalitas hidup yang berhubungan dengan

kesehatan berdasarkan fungsi fisik, status emosi, gejala klinis dan keseluruhan

performa fungsional. Oleh karena itu, banyak pasien yang mengalami fraktur
kompresi vertebra akan menjadi tidak aktif, dengan berbagai alasan antara lain rasa

nyeri akan berkurang dengan terlentang, takut jatuh sehingga terjadi patah tulang lagi.

Sehingga kurang aktif atau malas bergerak pada akhirnya akan mengakibatkan

semakin buruknya kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

c. Psikologis

Kejadian depresi meningkat sampai 40% pada pasien yang menderita fraktur

kompresi vertebra, akibat nyeri kronis, perubahan bentuk tubuh, detorientasi dalam

kemampuan untuk merawat diri sendiri, dan akibat bedrest yang lama. Pasien yang

mengalami depresi biasanya yang mengalami lebih dari satu fraktur dan akan menjadi

cepat tua dan terisolasi secara social (Aron, 2006).

8. Prognosis

Nyeri dan fraktur yang dialami akan membaik dengan dukungan terapi farmakologis

dan farmakologis, namun dengan semakin bertambahnya usia, fungsi dan struktur

fisiologi tulang akan semakin menurun, diperlukan upaya kewaspadaan agar tetap

menjaga stabilitas tulang belakang dan pencegahan trauma pada usia lanjut.

9. Pencegahan

a. Hindari aktifitas fisik berat


b. Olah raga seperti jogging dan berjalan cepat

c. Jaga asupan kalsium (sayuran hijau, susu tinggi kalsium dll)

d. Hindari defisiensi vitamin D


e. Nutrisi dengan diet tinggi protein

f. Berjemur pada pagi dan sore hari


g. Diperlukan pendamping untuk usia lanjut
h. Memperhatikan lingkungan dan berbagai penyebab untuk menghindari berulangnya
jatuh.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status

perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal

MRS, diagnosa medis.


b. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut

bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh

pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:


- Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi factor

presipitasi nyeri.
- Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.

Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.


- Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar

atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.


- Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa

berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit

mempengaruhi kemampuan fungsinya.


- Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada

malam hari atau siang hari.


c. Riwayat penyakit sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang

nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa

kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan

yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui

mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.


d. Riwayat penyakit terdahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk
berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti

kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering

sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat

proses penyembuhan tulang.


e. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu

faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi

pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara

genetik.
f. Riwayat psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien

dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan

sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.


g. Pola Fungsional Gordon
- Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya

dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan

tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti

penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,

pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah

klien melakukan olahraga atau tidak.


- Pola nutrisi dan metabolism
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya

seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses

penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu

menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi

dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal

terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan

mobilitas klien.
- Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi

walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces

pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,

kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada

kesulitan atau tidak.


- Pola tidur dan istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat

mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian

dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan

kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.


- Pola aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien

menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal

lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.

Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur

dibanding pekerjaan yang lain.


- Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien

harus menjalani rawat inap.


- Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan

akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas

secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body

image).
- Pola sensori dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,

sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya

tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
- Pola reproduksi seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual

karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang

dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah

anak, lama perkawinannya.

h. Pemeriksaan fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk

mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu

untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi

hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.


- Gambaran umum
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung

pada keadaan klien.


Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada

kasus fraktur biasanya akut.


Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun

bentuk.
- Head to toe
Sistem integument
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema,

nyeri tekan.
Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,

tidak ada nyeri kepala.


Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun

bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.


Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi

perdarahan).
Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri

tekan.
Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
Mulut dan faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak

pucat.
Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
Paru-paru
 Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada

riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.


 Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
 Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
 Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan

lainnya seperti stridor dan ronchi.


Jantung
 Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
 Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
 Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
Abdomen
 Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
 Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
 Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
 Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
Genitalia
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
2. Risiko infeksi
3. Nyeri akut
4. Hambatan mobilitas fisik
5. Ansietas
6. Defisit perawatan diri
7. Resiko jatuh

3. Rencana / Tindakan Intervensi

Rencana Keperawatan
Dignosa Keperawatan
NOC NIC
1. Resiko ketidakefektifan  Circulation status  Monitor TTV
perfusi jaringan cerebral  Neurologic status
 Tissue prefusion: cerebral  Monitor AGD, ukuran
Setelah dilakukan asuhan pupil, ketejaman,
DO :
selama……ketidakefektifan kesimetrisan dan reaksi
- Gangguan status mental
- Perubahan perilaku perfusi jaringan cerebral  Monitor adanya diplopia,
- Perubahan respon motorik teratasi dengan kriteria hasil: pandangan kabur, nyeri
- Perubahan reaksi pupil - Tekanan systole dan diastole
- Kesulitan menelan kepala
- Kelemahan atau paralisis dalam rentang yang
 Monitor level
ekstremitas diharapkan
- Abnormalitas bicara - Tidak ada kebingungan dan orientasi
Faktor Risiko :
ortostatikhipertensi  Monitor tekanan
 Agens farmaseutikal
 Aterosklerosisi aortik - Komunikasi jelas intracranial dan respon
 Diseksi arteri - Pupil seimbang dan reaktif
- Bebas dari aktivitas kejang neurologis
 Embolisme
 Endocarditis infektif - Tidak mengalami nyeri  Catat perubahan pasien
 Fibrilasi atrium kepala
 Hiperkolesterolemia dalam merespon stimulus
 Hipertensi  Monitor status cairan
 Kardiomiopati dilatasi
 Katub prostetik mekanis  Pertahankan parameter
 Koagulasi intravascular diseminata hemodinamik
 Miksoma atrium
 Neoplasma otak  Tinggikan kepala 0-45º
 penyalahgunaan zat
 Segmen ventrikel kiri akinetik tergantung pada kondisi
 Sindrom sick sinus
pasien
 Stenosis karotid
 Stenosis mitral
 Terapi trombolitik
 Koagulopati (mis, anemia sel sabit)
 Masa protrombin abnormal
Tumor otak (mis, gangguan
serebrovaskular, penyakit
neurologis, trauma, tumor

2. Risiko Infeksi NOC : NIC :


 Immune status
Faktor-faktor risiko:  Knowledge : infection  Pertahankan teknik
control aseptik
- Prosedur infasif  Batasi pengunjung bila
 Risk control
- Kerusakan jaringan dan perlu
Setelah dilakukan tindakan
peningkatan paparan  Cuci tangan setiap
keperawatan selama…….
lingkungan sebelum dan sesudah
- Malnutrisi Pasien tidak mengalami
tindakan keperawatan
- Peningkatan paparan infeksi dengan kriteria hasil:
 Tingkatkan intake
lingkungan patogen - Klien bebas dari tanda dan
nurisi
- Imunosupresi gejala infeksi  Berikan terapi
- Tidak adekuat pertahanan - Menunjukkan kemampuan antibiotik
sekunder (penurunan Hb, untuk mencegah timbulnya  Monitor tanda dan
leukopenia, penekanan respon infeksi gejala infeksi sistemik
inflamasi) - Jumlah leukosit dalam batas dan lokal
- Penyakit kronik normal  Inspeksi kulit dan
- Pertahanan primer tidak - Menunjukkan perilaku membran mukosa
adekuat (kerusakan kulit, hidup sehat terhadap kemerahan,
trauma jaringan, gangguan - Status imun, panas, drainase
peristaltik} gastrointestinal,  Edukasi pasien dan
- Kurang pengetahuan genitourinaria dalam batas keluarga tanda dan
- Gangguan integritas kulit normal gejala infeksi
- Merokok  Tingkatkan intake
- Leukopenia cairan
- Penurunan haemoglobin
- Supresi respons inflamasi
- Vaksinasi tidak adekuat
3. Nyeri Akut NOC : NIC :
 Pain level
DS:  Pain control - Lakukan pengkajian nyeri
 Comfort level komprehensif yang
- Laporan secara verbal
Setelah dilakukan tindakan
DO: meliputi lokasi,
keperawatan selama……..
- Posisi untuk menahan nyeri pasien tidak mengalami nyeri, karasteristik, dan durasi
- Gangguan tidur dengan kriteria hasil : nyeri
- Terfokus pada diri sendiri
 Mampu mengontrol nyeri, - Observasi TTV
- Respon autonom (seperti
(mampu menggunakan - Gali bersama pasien
diaphoresis, perubahan tekanan
darah, perubahan nafas, nadi teknik nonfarmakologi faktor yang dapat
dan dilatasi pupil) untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan) menurunkan atau
- Perubahan autonomic dalam
tonus otot (mungkin dalam  Melaporkan bahwa nyeri memperberat keadaannya
rentang dari lemah ke kaku) berkurang dengan - Ajarkan teknik non
- Tingkahlaku agresif (contoh : menggunakan manajemen
nyeri farmakologis (relaksasi
gelisah, merintih, menangis,
waspada, iritabel, napas  Mampu mengenali nyeri napas dalam).
panjang/berkeluh kesah) (skala nyeri, intensitas, - Kolaborasi dengan dokter
Perubahan frekuensi dan tanda nyeri)
anti analgetik
 Menyatakan rasa nyaman
Faktor yang berhubungan : setelah nyeri berkurang
 Agens cedera biologis (mis,  Tanda vital dalam rentang
infeksi, iskemia, neoplasma) normal
 Agens cereda fisik (mis, abses,  Tidak mengalami gangguan
amputasi, luka bakar, tidur
terpotong, mengangkat berat, Batasan Karakteristik :
prosedur bedah, trauma,
 Bukti nyeri dengan
olahraga berlebihan)
menggunakan standar daftar
 Agens cedera kimiawi (mis.,
periksa nyeri untuk pasien
luka bakar, kapsaisin, metilen
yang tidak dapat
klorida, agens mustard)
mengungkapkannya (mis.,
- nafsu makan dan minum
neonatal infant pain scale, pain
assessment checklist for senior
with limited ability to
communicate)
 Diaforesis
 Dilatasi pupil
 Ekspresi wajah nyeri (mis.,
mata kurang bercahaya,
tampak kacau, gerakan mata
berpencar atau tetap pada satu
fokus, meringis)
 Fokus menyempit (mis.,
persepsi waktu, proses
berpikir, interaksi dengan
orang lain dan lingkungan)
 Keluhan tentang intensitas
menggunakan standar skala
nyeri (mis., skala Wong-Baker
FACES, skala analog visual,
skala penilaian numerik)
 Laporan tentang perilaku
nyeri/ perubahan aktivitas
(mis., anggota keluarga,
pemberian asuhan)
 Mengekspresikan perilaku
(gelisa, merengek, menangis,
waspada)
 Perilaku distraksi
 Perubahan posisi untuk
menghindari nyeri
 Perubahan selera makan
 Putus asa
 Sikap melindungi area nyeri
 Sikap tubuh melindungi
Perubahan pada parameter
fisiologi (mis., tekanan darah,
frekuensi jantung, frekuensi
pernapasan, saturasi oksigen, dan
end-tidal karbondioksida [CO
4. Hambatan mobilitas fisik NOC : NIC :
 Joint movement active Exercise therapy :
 Mobility level
Faktor yang berhubungan : ambulation
 Self care : ADLs
 Agens farmaseutikal  Transfer performance
Setelah dilakukan tindakan - Kaji kemampuan klien
 Ansietas
 Disuse keperawatan selama……. dalam mobilisasi
 Fisik tidak bugar Gangguan mobilitas fisik - Ajarkan klien tentang
 Gangguan fungsi kognitif teratasi dengan kriteria hasil: teknik ambulasi
 Gangguan metabolisme - Konsultasikan dengan
 Gangguan muskuloskeletal  Klien meningkatkan
 Gangguan neuromuscular aktifitas fisik terapi fisik tentang
 Gangguan sensoriperseptual  Mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas rencana ambulasi sesuai
 Gaya hidup kurang gerak
 Indeks massa tubuh di atas dengan kebutuhan
Batasan Karakteristik :
persentil ke-75 sesuai usia - Monitoring vital sign
 Intoleransi aktivitas  Dyspnea setelah beraktivitas sebelum /sesudah latihan
 Kaku sendi  Gangguan sikap berjalan
 Keengganan memulai pergerakan  Gerakan lambat dan lihat respon pasien
 Gerakan spatik saat latihan
 Gerakan tidak terkoordinasi - Anjurkan klien untuk
 Instabilitas postur
 Kesulitan membolak-balik meningkatkan intake
posisi
 Keterbatasan rentang gerak
 Ketidaknyamanan
 Melakukan aktivitas lain
sebagai pengganti pergerakan
(mis. Meningkatkan perhatian
pada aktivitas orang lain,
mengendalikan perilaku, fokus
pada aktivitas sebelum sakit)
 Penurunan kemampuan
melakukan melakukan
keterampilan halus
 Penurunan kemampuan
melakukan keterampilan kasar
 Penurunan waktu reaksi
 Tremor akibat gerak
5. Ansietas NOC : NIC :
Faktor yang berhubungan :  Kontrol kecemasan Anxiety reduction
 Koping
 Ancaman kematian (penurunan kecemasan)
Setelah dilakukan asuhan
 Ancaman pada status terkini selama…….. kecemasan klien
 Hereditas - Kaji pennyebab ansietas
teratasi dengan kriteria hasil: - libatkan keluarga untuk
 Hubungan interpersonal
 Klien mampu
 Kebutuhan yang tidak dipenuhi mendampingi pasien
mengidentifikasi dan
 Konflik nilai - identifikasi tingkat
mengungkapkan gejala
 Konflik tentang tujuan hidup
cemas kecemasan
 Krisis maturasi
 Krisis situasi  Mengidentifikasi, - bantu pasien mengenal
 Pajanan pada toksin mengungkapkan dan
menunjukan teknik untuk situasi yang menimbulkan
 Penularan interpersonal
 Perubahan besar (mis.,status mengontrol cemas kecemasan
ekonomi, lingkungan, status  Vital sign dalam batas - dorong pasien untuk
kesehatan, fungsi peran, status normal
mengungkapkan
peran)  Postur tubuh, ekspresi
 Riwayat keluarga tentang ansietas wajah, bahasa tubuh dan perasaan, ketakutan,
 Stressor tingkat aktifitas
persepsi
menunjukkan berkurangnya
- kolaborasi pemberian
kecemasan
Batasan karakteristik: obat anti cemas
perilaku
 Agitasi
 Gelisah
 Gerakan ekstra
 Insomnia
 Kontak mata yang buruk
 Melihat sepintas
 Mengekspresikan kekhawatiran
karena perubahan dalam
peristiwa hidup
 Penurunan produktivitas
 Perilaku mengintai
 Tampak waspada
afektif
 Berfokus pada sendiri
 Distres
 Gelisah
 Gugup
 Kesedihan yang mendalam
 Ketakutan
 Menggemerutukkan gigi
 Perasaan tidak adekuat
 Putus asa
 Ragu
 Sangat khawatir
fisiologi
 Gemetar
 Peningkatan keringat
 Peningkatan ketegangan
 Suara bergetar
 Tremor
 Tremor tangan
 Wajah tegang
kognitif
 Bloking pikiran
 Cenderung menyalahkan orang
lain
 Gangguan konsentrasi
 Gangguan perhatian
 Konfusi
 Lupa, melamun
 Menyadari gejala fisiologi
 Penurunan kemampuan untuk
belajar
 Penurunan kemampuan untuk
memecahkan masalah
 Penurunan lapang persepsi
 Preokupasi
6.Defisit perawatan diri: mandi NOC : NIC :
DO :  Self care : activity of daily Self care assistane : ADLs
living (ADLs)
Ketidakmampuan untuk mandi Setelah dilakukan tindakan  Monitor kemampuan
keperawatan selama 3x24jam, klien untuk perawatan
Faktor yang berhungan : diri yang mandiri
defisit keperawatan diri
 Ansietas  Monitor kebutuhan klien
teratasi dengan kriteria
 Gangguan fungsi kognitif untuk alat-alat bantu
 Klien terbebas dari bau badan
 Gangguan muskuloskeleteal untuk kebersihan diri
 Menyatakan terhadap
 Gangguan neuromuscular  Dorong klien untuk
kemampuan untuk melakukan
 Kelemahan melakukan aktivitas
ADLs
 Kendala lingkungan sehari-hari yang normal
 Dapat melakukan ADLs
 Ketidakmampuan merasakan sesuai kemampuan yang
dengan bantuan
bagian tubuh di miliki
Batasan karakteristik :
 Ketidakmampuan merasakan  Dorong untuk melalukan
hubungan spasial  Ketidakmampuan membasuh secara mandiri, tapi beri
 Nyeri tubuh bantuan ketika klien tidak
 Penurunan motivasi  Ketidakmampuan mengakses mampu melakukannya
kamar mandi  Dorong klien/keluarga
 Ketidakmampuan mengambil untuk mendorong
perlengkapan kemandirian, untuk
Ketidakmampuan memberikan bantuan jika
mengeringkan tubuh pasien tidak mampu
 Ketidakmampuan untuk melakukannya
menjangkau sumber air  Berikan aktivitas rutin
 mandi sehari-hari sesuai
kemampuan

7. Resiko Jatuh NOC : NIC :


 keseimbangan  Pencegahan jatuh :
Faktor resiko  gerakan terkoordinasi
Menerapkan tindakan
dewasa  perilaku pencegahan jatuh
dengan kriteria hasil : kewaspadaan khusus
 Penggunaan alat bantu (mis., - jatuh ketika berjalan
bersama pasien yang
walker, tongkat, kursi roda) - jatuh ketika berdiri
 Prostesis ekstremitas bawah - jatuh ketika duduk memiliki resiko mengalami
 Riwayat jatuh - jatuh dari tempat tidur
cedera atau jatuh
 Tinggal sendiri
- Kaji resiko jatuh pada
 Usia ≥65 tahun
 Lingkungan yang tidak pasien
terorganisir - Identifikasi faktor yang
 Kurang pencahayaan
mempengaruhi
 Kurang material antislip dikamar
mandi kebutuhan keamanan
 Ruang yang tidak di kenal - Pantau cara berjalan,
 Pemajanan pada kondisi cuaca
tidak aman (mis., lantai basah) keseimbangan, dan
anak
tingkat keletihan pada
 jenis kelamin laki-laki berusia <1
tahun saat ambulasi
 kurang pengawasan - Rujuk ke ahli fisioterapi
 kurang pengekangan pada mobil
untuk latihan cara
 tidak ada pagar pada tangga
 tidak ada terali pada jendela berjalan dan latihan fisik
usia≤2 tahun

4. Rencana Asuhan Keperawatan


Terlampir
5. Evaluasi
Terlampir

DAFTAR PUSTAKA

Graham, A. and Louis, S. (2015). Ortopedi Fraktur System Apley; edisi ketujuh. Jakarta: Widya
medika.

Jong, W. D. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, Hal 870-874

Pearce, Evelyn C. (2016). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama. Hal 89

Rasjad, C. (2017). Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Jakarta : PT. Yarsif Watampone.

Ahmad Ramali, 2017; Kamus Kedokteran; Cetakan ke-13; PT Djambatan, Jakarta.

Kisner, Carolyn, 2017 ; Therapeutik Exercise Foundations and Techniques ; Third Edition, F. A.
Davis Company, Philadelphia.
Michlovitz, S.L, 2014; Thermal Agents in Rehabilitation; Edisi kedua; F.A Dars Company,
Philadelpia hal 173-190.

Anda mungkin juga menyukai