Anda di halaman 1dari 56

BAB 29

Richard T. Katz, M.D., Julius P.A. Dewald, P.T., Ph.D., dan Brian D. Schmit, Ph.D.
SPASTISITAS

Spastisitas lebih sukar untuk menggolongkannya daripada mengenalinya, dan lebih


sulit lagi untuk dinilai kuantitasnya. Terjadi pada kelainan sistem saraf pusat, dimana
hipertonia spastik mempunyai nilai diagnostik dan terapeutik yang berarti. Secara
diagnostik, ini merupakan ciri khusus dari kelainan upper motor neuron, secara
terapeutik menunjukkan salah satu impairment yang penting pada individu yang
merawat pasien dengan kelainan sistem saraf pusat. Dalam diskusi hipertonia spastik
berikut ini akan dibahas 3 bagian mengenai :
1. Patofisiologi
2. Metode dari pengukuran spastisitas
3. Penatalaksanaan terapi

PATOFISIOLOGI
Menurut definisi yang telah diterima secara luas, spastisitas adalah “kelainan motorik
yang ditandai oleh peningkatan reflek peregangan tonik yang terkait dengan
kecepatan peregangan dan peningkatan reflek tendon, yang berasal dari eksitabilitas
yang berlebihan dari reflek peregangan sebagai komponen dari sindrom upper motor
neuron “. Pada tonus otot bisa digambarkan sebagai “sensasi tahanan yang terasa pada
salah satu lingkup gerak sendi sebagai usaha untuk relaksasi” 32. Walaupun definisi ini
cukup adekuat untuk pemeriksaan klinis, analisis lebih kuat menunjukkan bahwa
sensasi tahanan mungkin hasil dari beberapa komponen-komponen lainnya.
1. Inersia fisik dari ekstremitas
2. Perubahan viskoelastik dari otot dan jaringan ikat
3. Aktivitas reflek otot yang berhubungan dengan reflek regang yang hiperaktif.
Karena inersia organ tidak berubah setelah lesi upper motor neuron, ini jelas bahwa
tingginya tahanan pada waktu pemeriksaan fisik menunjukkan adanya perubahan unit
muskulotendineus (misalnya kontraktur) dan atau perubahan-perubahan pada
lingkaran reflek segmental (hiperaktifitas reflek regang).

1
Perubahan dalam Sifat Pasif Otot
Kekakuan secara pasif dari otot merupakan hal yang berperan pada tonus otot.
Kekakuan otot secara pasif digambarkan sebagai kurva yang melandai yang
berhubungan dengan gerakan sendi dengan sudut yang dibentuk dalam pergerakan
sendi dengan tes subyek dalam keadaan relak dan tanpa reflek atau aktivitas volunter
pada otot-otot yang bersangkutan. Kekakuan ini dapat diperkirakan dengan
mempelajarinya dengan cara membangkitkan ketegangan ketika sebuah sendi
diperluas gerakannya melewati pada semestinya dengan kecepatan peregangan yang
perlahan-lahan. Perubahan-perubahan didalam kekakuan pasif dapat diperantarai oleh
perubahan struktur secara permanen di dalam sifat mekanikal jaringan ikat otot, atau
selayaknya memang dapat berubah-ubah. Pada kasus lain, perubahan-perubahan
didalam kekakuan pasif akan muncul sebagai tahanan yang meningkat pada ekstensi
ekstremitas bawah tanpa sebanding dengan peningkatan eksitasi otot yang diukur
dengan electromyogram.
Ini sudah diterangkan bahwa perubahan-perubahan di dalam sifat mekanik otot
(dibandingkan dengan peningkatan reflek peregangan) besar peranannya pada
hipertonia spastik. Pernyataan-pernyataan ini didasarkan atas elektromiografi dan
analisis tegangan dari otot tungkai orang dewasa yang hemiplegi dan anak yang
menderita cerebral palsy selama perjalanan pernyakitnya. Abnormalitas tegangan
yang tinggi timbul pada spastik tricep surae selama peregangan pasif tanpa
peningkatan yang sesuai dengan aktifitas elektromiografi. Dapat ditentang, bahwa
penemuan-penemuan hasil EMG, sepadan dengan observasi bahwa temperatur
mempengaruhi respon otot, menunjukkan sebuah perubahan di dalam respon mekanis
peregangan otot.
Walaupun pendapat ini sangat menarik dan provokatif, penyelidikan ini bisa
menjelaskan sama baiknya dengan beberapa perubahan proses degeneratif misalnya
atropi otot dengan infiltrasi kolagen dan elastin. Disana tidak menunjukkan arti
tertentu pada otot dalam peregangan pada perubahan tidak lazim dalam respon
fisiologis. Lebih lanjut, hipotesis otot “intrinsik” tidak dapat menjelaskan
pertanggungjawaban penemuan-penemuan yang tidak dipungkiri, misalnya reflek
regang yang hipereksitabilitas dan peningkatan gerakan-gerakan tendon – yang
menandakan eksitabilitas motoneuron yang juga mengalami peningkatan yang nyata.

2
GAMBAR 29-1 Dasar sirkuit saraf adalah lingkaran reflek segmental, yang terdiri dari reseptor otot,
dimana bagian sentralnya berhubungan dengan saraf medula spinalis, dan motoneuron output pada otot.
Aliran ini adalah penjumlahan dari perbedaan sinap host dan modulasi yang berpengaruh, termasuk (1)
excitatory post sinaptic potentials dari grup Ia dan II serabut otot aferen; (2) inhibitory post synaptic
potentials dari interneuronal yang berhubungan dari otot antagonis dan organ tendon Golgi; dan (3)
inhibisi presinap yang dimulai oleh descending fiber input.

Mekanisme Saraf pada Reflek Regang yang Hiperaktif


Dasar perjalanan saraf untuk menerangkan cara kerja dalam memahami
hipertonia spastik adalah lingkaran reflek segmental. Lingkaran ini terdiri dari
reseptor-reseptor otot, hubungan-hubungan sentral dengan neuron-neuron medula
spinalis, motoneuron output pada otot (gambar 29.1). Dengan lingkaran ini, α motor
neuron dapat dianggap seperti saluran listrik akhir dari outflow motorneuron. Outflow
ini merupakan hasil dari beberapa sinap dan modulasi yang mempengaruhinya,
termasuk (1) excitatory post synaptic potentials dari group Ia dan II serabut otot
aferen, (2) Inhibitory post synaptic potential dari interneuronal connections dari otot
antagonis dan organ-organ tendon Golgi, dan (3) inhibisi presinap melalui
penyesuaian interneuron oleh descending fiber input. Inhibisi presinap yang melalui
interneuron dimana berakhir pada primay afferent saraf terminal dan akan mengurangi
kemampuan sensory afferent untuk depolarisasi post synaptic membrane (oleh
perubahan konduksi kalsium dan/atau potasium). Informasi aferen ekteroseptif

3
(misalnya, kutaneus) dan interoseptif (misalnya, viseral) dapat juga menyediakan
input penting ke dalam lingkaran reflek spinal segmental.
Dengan rangka kerja ini, ada dua jalan yang secara terpisah dapat menjelaskan
eksitabilitas reflek regang yang meningkat. Pertama adalah oleh peningkatan
eksitabilitas selektif motorneuron, yang direfleksikan sebagai peningkatan respon
motoneuron terhadap tingkat peregangan tertentu – yang dibangkitkan oleh synaptic
input. Kedua adalah peningkatan banyaknya excitatory synaptic input yang
dibangkitkan oleh ekstensi otot. Berbagai mekanisme dapat diperhitungkan seperti
adanya perubahan-perubahan, sebagai ringkasannya dapat dilihat pada tabel 29-1.
Adanya kedua mekanisme ini berguna untuk menguji kemungkinan adanya saling
ketergantungan.
Eksitabilitas motorneuron yang meningkat. Hipereksitabilitas Alpha
motorneuron menunjukkan peningkatan pengambilan motorneuron dan/atau
peningkatan pembebasan yang ditimbulkan pada sebelah bawah dari tingkat normal
dari excitatory input. Dengan demikian, sebuah amplitudo regangan yang lebih kecil
atau lebih lambat daripada kecepatan regangan yang biasanya membangkitkan
motoneuron. Kesamaannya, synaptic input yang dibangkitkan oleh synchronus
electrical excitation dari serat aferen Ia (misalnya, H reflek) atau eksitasi mekanik
(reflek regang otot) akan menghasilkan penambahan timbulnya respon pada otot.
Bukti adanya penambahan eksitabilitas motoneuronal dalam spastisitas sangatlah
kuat.
Eksitabilitas yang meningkat dapat ditimbulkan bila motorneuron lebih
depolarisasi daripada semestinya, sehingga ditempatkan tepat dekat ambang batasnya.
Peningkatan depolarisasi dapat muncul (1) karena tonic excitatory input meningkat
(misalnya, dari aferen segmental, regional excitatory interneuron, atau monosynaptic
descending pathway, seperti traktus vestibulospinal lateral) atau (2) karena disana ada
pengurangan inhibitory synaptic input dari regional inhibitory interneuron (seperti
Renshaw cell recurrent inhibition, Ia inhibitory interneuron atau Ib afferent
interneuron). Ini merupakan bukti yang substantial pada sebuah peningkatan tonus
dari α motoneuron yang mempunyai peranan penting pada spastisitas.
Motor neuron dapat juga memperlihatkan peningkatan eksitabilitas karena
perubahan sifat intrinsik listrik dari saraf. Mekanisme yang memungkinkan termasuk
perubahan pada sifat pasif membran listrik (misalnya, resistence dan/atau
capacitance), atau perubahan pada mekanisme konduksi ionik normal. Kedua tipe

4
gangguan dapat mengakibatkan perubahan besar pada voltase normal dan peningkatan
aktivitas motoneuron, tanpa perubahan yang sepadan pada ambang batas reflek
regangnya. Sekarang, tidak ada bukti yang mendukung pendapat adanya perubahan
sifat intrinsik membran pada binatang dengan spastisitas kronik.

TABEL 29-1 Kemungkinan Mekanisme Neural pada Hipertonia Spastik

I. Peningkatan eksitabilitas motoneuronal


A. Excitatory synaptic input yang meningkat
1. Segmental aferen
2. Regional excitatory interneurons
3. Descending pathways, seperti traktus vestibulospinal lateral
B. Penurunan Inhibitory synaptic input
1. Renshaw cell recurrent inhibition
2. Ia Inhibitory interneurons
3. Ib serabut aferen
C. Perubahan pada sifat listrik intrinsik dari neuron
1. Perubahan pada sifat pasif membran listrik
2. Perubahan pada konduksi listrik sensitive membrane
II. Peningkatan regangan-bangkitan eksitasi sinap motorneuron
A. Hiperaktivitas Gamma aferen
B. Excitatory interneuron yang lebih sensitif terhadap otot aferen
1. Collateral sprouting
2. Denervasi yang hipersensitif
3. Penurunan pada inhibisi presinap

Peningkatan regangan-eksitasi sinap yang muncul dari motorneuron.


Peningkatan respon motor neuron terhadap peregangan bisa juga muncul oleh hasil
bertambahnya input sinap dari peregangan otot. Spastisitas dapat muncul jika otot
aferen mengeluarkan aliran excitatory synaptic yang meningkat secara umum kearah
motor neuron – yang secara langsung dari terminal otot aferen atau lewat campuran
interneuron. Peningkatan sinap secara umum dapat muncul (1) jika serabut otot aferen
memperlihatkan penambahan respon peregangan yang berhubungan dengan
perubahan sifat serabut (2) jika ada pengurangan dalam presinap atau Renshaw
(autogenic) inhibition, atau (3) jika ada perubahan dalam penghambatan feedback
lewat Ib aferen.

5
Sebelumnya, hipertonia spastik disebabkan oleh hiperaktif dari serabut gamma
eferen (gamma spasticity dalam nomenklatur lama), menyebabkan peningkatan
sensitivitas dari reseptor pada serabut otot dalam merubah panjang otot. Hipotesis ini
berdasarkan pengamatan spastisitas berkurang ketika saraf diberikan lokal anestesi
yang diencerkan pada konsentrasi yang sesuai untuk blocking input fusimotor.
Walaupun reflek regang dapat dikurangi oleh blokade eferen gamma, ini tidak
membuktikan bahwa spastisitas berhubungan dengan hiperaktivitas dengan bagian
aferen dari lingkaran reflek. Bila ini benar, blokade dari serat gamma akan
menghilangkan rangsangan tonus normal sebaik otot abnormal, sejak aktivitas alpha
motor neuron voluntary secara normal yang disertai dengan aktivitas gamma secara
berarti untuk menentukan apakah level aktivitas gamma abnormal pada otot yang
spastik akan memerlukan pengaruh blokade gamma dibandingkan dengan otot normal
dan spastik pada equivalent level dari motor output, merupakan protokol penghalang
yang sulit pada pelaksanaan eksperimennya.
Bukti eksperimen sekarang tidak mendukung konsep penambahan hiperaktif
gamma eferen. Rekaman microneurographic dari serabut aferen sudah digunakan
untuk evaluasi level aktivasi gamma microneurography, dimana tungsten steel.
Microelectrode digunakan untuk menusuk saraf perifer manusia, juga mengalami
kegagalan untuk melaporkan adanya hiperaktivitas fusimotor. Kesamaannya,
penelitian dari respon serabut pada kera setelah ablasi kortikal juga mengalami
kegagalan dalam banyak mengungkapkan aktivitas fusimotor setelah berkembangnya
hipertonia spastik.
Tiga mekanisme sudah diajukan dengan apa excitatory interneuron menjadi
lebih responsif terhadap input aferen otot (1) collateral sprouting, (2) denervasi yang
hipersensitif, dan (3) perubahan dalam inhibisi presinaps. Pertama dalam pelajaran
pemulihan post injury, otot aferen dapat mengalami sprouting dari cabang-cabang
terminalnya untuk memuat kekosongan sinap oleh kerusakan traktus supraspinal.
Collateral sprouting sudah diamati pada medula spinalis dan sistem saraf otonom,
sebaik beberapa daerah spesifik dari otak. Pada prinsipnya, sprouting dapat juga
menolong penjelasan perlambatan yang berarti sebelum hipertonia spastik muncul
setelah spinal cord injury (SCI). Bagaimanapun, hanya sedikit yang mendukung
adanya collateral sprouting merupakan proses penting pada reorganisasi medula
spinalis yang diikuti differensiasi parsial. Model sprouting yang khas pada sistem
saraf pusat mamalia yang menghendaki lebih adanya pemindahan radikal dari input

6
aferen pada saraf spinal dibandingkan dengan yang mungkin berasal pada kebanyakan
lesi supraspinal.
Kedua, sinap yang kehilangan presinap terminal bisa jadi lebih sensitif
terhadap pengaruh transmiter sekitarnya. Studi terhadap kemampuan kerusakan kimia
dari traktus spinal cord descending diperantarai oleh monoamines (serotonin dan
norepinephrine) mendukung pendapat denervation hypersensitivity sebagai sebuah
faktor yang berperan pada hipertonia spastik. Reflek ekstremitas belakang bagian
ekstensor yang berlebihan dapat diamati setelah pengambilan serotonergic agonist
pada binatang yang sistem serotonergiknya dirusak secara kimia, dan persamaan
penambahan reflek fleksor dicatat pada binatang dengan kerusakan noradrenergik.
Studi histochemical dari density reseptor serotonerfic dan noraderenergik
menunjukkan sebuah degenerasi lengkap pada reseptor yang hampir mendekati dua
minggu setelah axonotomy, diikuti oleh regenerasi dari density terminal pada 50%-
66% dari tingkat aslinya setelah tiga sampai enam bulan. Regenerasi dari terminal itu
menunjukkan bahwa yang bertahan bisa menghasilkan cabang baru oleh mekanisme
collateral sprouting, dan reinervasi pada sisi sinaps yang kosong.
Akhirnya, penambahan eksitasi sinap dapat juga muncul jika level baseline
presynaptic inhibition dikurangi, ini akan mengakibatkan pelepasan transmiter untuk
masing-masing impuls aferen yang datang lebih besar daripada normal. Kejadian ini
sebagian besar didasarkan kegagalan tonic vibration reflex (TVR) untuk menahan H
reflek pada pasien spastik. Dalam paradigma ini tonic vibratory stimulus diterapkan
pada ekstremitas, biasanya pada ekstremitas bawah. Vibrasi tonus menunjukkan
keistimewaan dan pengulangan pada serat aferen Ia. Dengan menggunakan
karakteristik inhibisinya dengan cara lain interneuron dibangkitkan oleh input aferen
Ia, dimana menunjukkan terminal serat arborizations Ia. Kemudian mengikuti serat
terminal Ia interneuron ini disesuaikan oleh traktus piramidal descending
(kortikospinal) dan traktus ektrapiramidal (vestibulospinal, retikulospinal). Karena itu,
TVR dapat menolong menjelaskan peran serat descending pada lingkaran reflek
segmental. Ketika rangsangan listrik diterapkan pada saraf tibial subjek normal,
pengaruh monosynaptic Hoffman (H) reflek dicatat kurang lebih 30 msec lambat pada
tricep surae. H reflek ini ditekankan secara partial pada subjek normal ketika TVR
diterapkan pada ektremitas. Kegagalan dari TVR untuk menghambat secara efektif H
reflek pada spastisitas sudah dikurangi keterlibatan pendapat yang kuat hambatan
presinap sebagai mekanisme yang menambah keadaan hipertonia spastik. Inhibisi

7
presinap bisa terjadi (1) oleh keterbatasan besarnya kalsium yang beredar ke primary
afferent terminal atau (2) oleh peningkatan aliran kalium dan dengan demikian terjadi
hiperpolarisasi akibat primary axon terminal. Hasil jaringan adalah sebuah
pengurangan pelepasan transmiter. Penyelidikan saat ini H reflek dalam ekstremitas
belakang yang spastik pada chronic spinal hemisection tikus menunjukkan
pengurangan ketergantungan pada frekuensi rangsangan H reflek, mendukung konsep
dari perubahan dalam inhibisi presinap.

Mekanisme Supraspinal
Peningkatan traktus menambah spastik otot hipertoni salah satunya melalui proyeksi
eksitasi monosinap ke lower motorneuron (misal, dari traktus kortikospinal) atau
secara langsung oleh inhibisi atau fasilitasi dari interneuron dengan spinal reflek
Pathways.
Perubahan pada eksitabilitas motoneuron. Perubahan-perubahan dalam
eksitabilitas motoneuron pada mulanya tergantung pada perubahan-perubahan pada
level “baseline” depolarisasi motoneuron, dibandingkan pada perubahan-perubahan
pada sifat-sifat intrinsik motoneuron. Peningkatan baseline depolarization tergantung
jalur tonic excitatory synaptic input yang bertemu dari saraf yang berasal descending
pathways atau segmental interneuronal input.
Lateral vestibulospinal pathway penting untuk berkembangnya peningkatan
eksitabilitas pada axial dan alpha motor neuron otot ekstensor yang ditandai kelainan
supraspinal dari hipertonia spastik. Kebanyakan excitatory berasal dari sistem
vestibulospinal yang mungkin ditentukan lewat local excitatory interneuron. Ini juga
serupa dengan dengan eksitasi atau inhibisi yang diperantarai oleh serat retikulospinal
descending yang berasal dari medula dan pons yang diperantarai secara luas oleh
interneuron segmental.
Perubahan-perubahan pada Fungsi Reflek Segmental. Kehilangan inhibisi
supraspinal pada regional interneuron, terutama dari traktus retikulospinal, juga
memungkinkan untuk menjadi hal yang penting pada kelainan-kelainan spinal pada
spastisitas. Kehilangan inhibisi bisa disebabkan oleh gangguan direct pathway (pada
cedera spinal atau batang otak), atau kehilangan fasilitas supraspinal pada brainstem
reticulospinal neuron (yang mana pelepasannya dapat dikurangi atau sedikit demi

8
sedikit). Pengurangan dalam input descending akan melepaskan reflek segmental
yang kuat yang dihambat pada keadaaan normal.
Reflek Babinski, yang mana tidak dapat dihilangkan pada keadaan yang
menyertai hipertonia spastik, menyatakan transisi dari reflek plantar normal ke arah
respon fleksi withdrawal yang lebih difus. Reflek plantar normal meningkatkan
stabilisasi postural dengan peningkatan cengkeraman jari-jari kaki pada tanah., tidak
berbeda dengan reflek bantalan plantar. Reflek Babinski lebih dari sekedar reflek
fleksi withdrawal yang difus pada jari kaki, pergelangan kaki dan pada sendi-sendi
yang lebih proksimal yang mengalami fleksi secara progresif.
Reflek pisau lipat adalah tambahan dan manifestasinya jarang terjadi. Ini
ditandai oleh pengurangan mendadak dari aktivitas EMG dan memaksa otot yang
spastik diregangkan sampai panjang tertentu. Istilah “pisau lipat” digunakan karena
tahanan awal yang tinggi pada regangan yang dihalangi oleh adanya inhibisi. Tahanan
menurun secara mendadak, sama dengan model lama pisau lipat. Kejadian saat ini
menunjukkan bahwa pisau lipat adalah refleksi dari aktivitas mekanoreseptor grup III
dan IV, yang menjadi pernyataan yang berhubungan dengan penurunan inhibisi
descending dari interneuron segmental. Contoh lainnya dari perubahan reflek yang
responsif adalah fasilitasi dari pasangan reflek fleksor dengan inhibisi dari antagonis
ekstensor, kemungkinan melalui inhibitatory timbal balik interneuron. Reflek pisau
lipat dimunculkan kembali, sebagai inhibisi dari tricep dan quadriceps yang ditandai
oleh eksitasi dari fleksor yang berlawanan.
Kesimpulan, spastisitas ditandai oleh kombinasi dari 2 gangguan mayor,
keduanya diperantarai oleh perubahan dalam keseimbangan aktivitas descending
pathway. Rangsangan pertama sebuah peningkatan dalam eksitabilitas dari
motoneuron yang berinervasi antigravitas otot (yang mana ekstensor kaki fisiologis,
dan fleksor lengan), dan perubahan kedua pola responsif reflek pada beberapa reflek
segmental, sering meningkatkan aktivitas otot fleksor dan pengurangan aktivitas
ekstensor.
Pathway Bertanggung Jawab pada Modifikasi Kontrol Descending dalam
Spastisitas. Kortek, Ganglia basalis, dan cerebellum semuanya memberikan
penyesuaian struktur batang otak dalam kontrol motorik normal. Kerusakan secara
selektif pada traktus kortikospinal tidak mengakibatkan hipertonia spastik, tetapi
hipotoni dan kehilangan gerakan yang baik dari tangan. Hambatan serat
ekstrapiramidal dibutuhkan sebelum terjadinya perkembangan hipertonia spastik. Lesi

9
pada bagian kortek premotor tertentu (Area Brodman 4 dan 6) mengakibatkan
hipotonia yang diikuti oleh hipertonik hemiparesis. Kerusakan premotor bilateral
menyebabkan spastisitas yang lebih berat.
Ini belum jelas dimana pathway merupakan perantara dalam peningkatan
eksitabilitas motor neuron. Bagaimanapun, ini tampaknya seperti perubahan pada
respon interneuron segmental yang menyertai kehilangan aktivitas sistem
retikulospinal dorsalis. Pathway tampaknya memerlukan fasilitasi substantial dari
proyeksi kortikospinal. Setelah keadaan lesi putih yang luas, excitatory inflow yang
berkurang pada batang otak, terjadi penurunan inhibisi descending pada interneuron
segmental.
Ini juga memungkinkan bahwa sistem monoaminergik descending dari locus
ceruleus pathway diperlukan dalam pengaturan eksitabilitas sirkuit segmental.
Pathway bisa secara langsung rusak karena cedera medula spinalis, atau kehilangan
pada cortical excitatory drive, menyebabkan terjadi pengurangan kontrol inhibisi pada
interneuron segmentalnya. Pengurangan inhibisi ini bisa (1) penglepasan interneuron
segmental dalam kutaneus atau hambatan muscle-based inhibitory pathway, dan/atau
(2) pelepasan excitatory interneuron yang menerima input dan serabut aferen
sekunder.

Sindrom Upper Motor Neuron


Pasien-pasien dengan lesi di kortikal, subkortikal dan struktur medula spinalis
memperlihatkan bermacam-macam reaksi abnormal yang luas melebihi yang
disebabkan oleh hipertoni. Kita menggunakan kriteria sindrom upper motor neuron
(UMN) untuk menggambarkan perubahan yang terjadi. Dalam penelitian pasien-
pasien dengan sindrom UMN memperlihatkan bahwa kesulitan-kesulitan motorik
yang dapat dibagi dalam reaksi-reaksi abnormal (gejala positif) dan adanya defisit
yang muncul (gejala negatif) (Tabel 29-2)
Gejala-gejala positif mudah dikenal di dalam gangguan-gangguan medula
spinalis. Gejala-gejalanya termasuk reflek fleksi yang berlebihan dan respon Babinski
yang positif. Pembebasan reflek dari hambatan kontrol descending menyebabkan
spasme fleksor atau adduktor. Spasme fleksor bisa lebih berat sehingga orang yang
menderita paraplegi membutuhkan bantuan dalam pengendalian/saat duduk di kursi
roda. “Scissoring” yang berhubungan dengan spastic hip adductor dapat membatasi

10
kemampuan seseorang untuk ambulasi secara efektif. Klonus, serangkaian kejadian
hiperaktivitas dari antagonis otot terhadap respon peregangan, bisa menjadi penyulit
yang menghalangi kelompok otot untuk berfungsi pada gerakan yang efektif.
Komponen lain yang sering terlihat lainnya dari sindrom UMN adalah adanya
kehilangan yang jelas pada kontrol otonom. Kehilangan dalam penyesuaian UMN
dalam mekanisme otonom spinal dapat mencetuskan disorganisasi fungsi otonom di
bawah tingkat cedera medula spinalis. Ketika lesi medula spinalis di atas mid thoracic
level, nampaknya input sensoris yang tidak rusak mengakibatkan “potential
hypertensive crisis”. Respon ini adalah komponen otonom disreflexia, “respon massa”
non selektif secara keseluruhan yang tidak wajar. Disorganisasi dari aktifitas simpatis
di bawah level SCI bisa menyebabkan disreflexia otonom, tetapi mekanisme yang
lainnya bisa mempengaruhi sama baiknya dengan outflow simpatik yang berlebihan.
Gejala-gejala negatif adalah adanya defisit dan lebih sering diamati pada
pasien-pasien dengan hemiparesis dibandingkan dari kelainan medula spinalis.
Gerakan-gerakan sering jadi lemah, mudah capek, kurangnya ketangkasan. Beberapa
faktor-faktor fisiologis bisa menyumbangkan keadaan defisit.

TABEL 29-2 Sindrom Upper Motor Neuron

Reaksi abnormal (gejala positif)


Reflex release phenomena
Reflek proprioseptif yang hiperaktif
Peningkatan tahanan pada peregangan
Relaxed cutaneous reflexes
Kehilangan kontrol otonomik
Keadaan defisit (gejala negatif)
Penurunan dexterity
Parese/kelemahan
Mudah capek

Hilangnya keadaaan semula dan laju modulasi mengakibatkan tidak cukupnya


aktifitas otot, awal kehilangan tenaga, menambah usaha subjek dan persepsi klinis
dari kelemahan. High-threshold motor unit dengan laju yang cepat sebagai adaptasi
diperlukan untuk menjaga kontraksi otot. Perubahan rata-rata unit motorik yang
berarti menghentikan laju paresis yang menghasilkan EMG abnormal – yang

11
berhubungan dengan kekuatannya, dimana permukaan aktivitas EMG dibangkitkan
dengan menambahkan tenaga per unit waktu kontraksi otot yang mengalami twitch
dari unit motorik yang juga ditunjukkan pada perubahan otot tangan yang hemiplegi.
Rekaman EMG dari spastisitas seseorang menggambarkan ketidak teraturan
dari pola-pola spatial pada otot ekstremitas bawah yang mengalami hemiparese. Hasil
EMG dari ekstremitas yang normal selama dibangkitkannya isometric torque pada
siku memperlihatkan pola sebelumnya dari keadaan semula dari perbedaan otot yang
mempengaruhi pergerakan pada sendi tersebut. Masing-masing otot diaktifkan
melebihi angular range, dalam pola simetris dan pola EMG meningkat dengan
meningkatnya usaha. Nilai puncak EMG terjadi pada sudut dari gerakan mekanis
yang maksimal. Sebaliknya, ekstremitas yang mengalami parese spastik menunjukkan
gangguan di pola aktivitas ototnya. Angular range dan orientasi spatial terganggu
secara radikal. Contohnya, otot fleksor siku yang normal diaktifkan secara maksimal
disaat fleksi. Pada hemiparesis fleksor menunjukkan perubahan besar pada sudut dari
puncak EMG dari sudut normal.15 Penting, otot yang abnormal dengan pola ko-
aktivasi (sinergis) tampak diantara fleksor siku dan aduktor bahu, ekstensor siku dan
aduktor bahu. Pola ko-aktivasi abnormal ini tampaknya mempunyai dampak yang
cukup merugikan pada fungsi lengan setelah stroke yang kemudian terjadi spastik.
Akhirnya, terjadi serangkaian perubahan pada aktivitas EMG pada otot agonis
dan antagonis. Pada ekstremitas normal, fleksi yang cepat pada sendi dihubungkan
dengan pola trifasik dari aktifitas EMG, dimana otot agonis diaktifkan dalam dua
serangkaian gerakan secara mendadak dan antagonis otot diaktifkan dalam selang
waktu berikutnya. Dalam sindrom UMN, irama yang tepat bisa hilang, sehingga
hanya porsi pola trifasik yang dapat diperlihatkan. Pada keadaan yang ekstrim,
terdapat adanya kurang waktu dan co-contraction simultan ineffective dari agonis dan
antagonis.
Bukti keterlibatan hipereksitabilitas reflek peregangan yang mengganggu
pergerakan volunter pada keadaan stroke terbatas dan tidak selaras. Beberapa studi
menganggap bahwa bagian dari gangguan motorik terhadap respon reflek regang
dalam otot antagonis berdasarkan kecepatan gerakan yang tergantung aktifitasnya.
Sebaliknya sudah ditunjukkan bahwa disfungsi gerak ekstremitas atas setelah stroke
bisa lebih berperan dalam perpanjangan aktivitas agonis atau adanya perintah dari
signal abnormal. Ini bisa membantu menjelaskan mengapa terapi antispastik dan
prosedur bedah bisa gagal dalam perbaikan aktivitas motorik.

12
Analisa kinesiologi pada perjalanan hemiplegi menunjukkan nilai pengertian
yang mendalam pada keadaan motorik abnormal. Reflek spastik yang dicoba pada
ekstremitas yang dilakukan secara pasif tidak disadari aktivitas pergerakannya oleh
pasien. Beberapa pasien dengan ambang yang rendah pada aktivitas reflek regangnya
dapat ditemukan pada pemeriksaan klinis pada otot yang tidak diaktifkan dengan
memberlakukan peregangan saat ambulasi. Dari hasil studi sudah digambarkan bahwa
ada variasi yang luas antar individu pada pola gait yang mempengaruhi antara pasien.
Bagaimanapun, semua pasien menunjukkan derajat yang bervariasi dari (1) ambang
refleks regang yang rendah (2) aktivitas otot yang inadekuat (3) stereotipe ko-aktivasi
dari pola lokomotor primitif otot.30
Sebagai kesimpulan, gambaran yang muncul dari komponen hipertoni spastik
dari sindrom UMN tidak begitu berarti penting untuk menambah performance. Pola
sinergisme, spasme fleksor, paresis, hilangnya ketangkasan dan agonis/antagonis ko-
kontraksi kemungkinan lebih tidak jelas daripada respon hipertonik terhadap
peregangan.

KUANTITAS HIPERTONIA SPASTIK


Kuantitas dari spastisitas adalah permasalahan yang besar, membuatnya lebih
sulit karena pengukurannya cenderung tergantung pengamatan yang cermat. 28 Tehnik
pengukuran yang kurang efektif sudah sedikit membatasinya, sejak kuantitas menjadi
hal penting untuk evaluasi jenis pengobatannya.24 Ukuran dari hari ke hari torque
sangatlah bervariasi pada sendi tertentu pada subjek dalam penilaian kuantitasnya
untuk efek terapi seperti pengobatan atau prosedur bedah.
Usaha-usaha yang termasuk dalam pengelolaan aktivitas fungsional, EMG dan
analisis biomekanik dari tahanan ekstremitas terhadap perubahan mekanik,
membenarkan permukaan respon EMG dalam pembuktian adanya gerakan
volunternya, gait analisis, dan studi reflek elektrofisiologis host. Bermacam-macam
alasan, masih belum adanya pengukuran manfaat klinis yang muncul. Kuantifikasi
sudah dihambat oleh adanya perubahan performance yang berhubungan dengan efek-
efek latihan , status emosi dan faktor sistemik yang bervariasi

13
TABEL 29-3 Skala Klinis untuk Hipertonia Spastik

0, tidak ada kenaikan dalam tonus otot


1, kenaikan ringan dalam tonus otot, muncul ketika di pegang dan di lepas atau
dengan tahanan minimal pada akhir dari ROM latihan bagian yang terkena
digerakan dalam gerak fleksi atau ekstensi
1+, kenaikan ringan dalam tonus otot, muncul ketika dipegang diikuti dengan tahanan
minimal pada sisa (kurang dari separuh) dari ROM
2, kenaikan yang lebih jelas dalam tonus otot pada sebagian besar ROM tetapi bagian
yang terkena dapat digerakan dengan mudah
3, kenaikan yang besar dalam tonus otot, dimana gerakan pasif sulit dilakukan
4, bagian yang terkena kaku dalam gerakan fleksi atau ekstensi

TABEL 20-4 Skala Fugl-Meyer untuk Kembalinya Fungsi setelah Hemiplegi


Gerakan bahu, siku, lengan atas dan ektremitas bawah
I Reflek peregangan otot dapat diperoleh
II Gerakan sesuai kemauan yang dapat dilakukan dengan fleksor secara dinamis/sinergis
ekstensor
III Gerakan sesuai kemauan yang dilakukan merupakan campuran fleksor secara dinamis dan
sinergis ekstensor
IV Gerakan sesuai kemauan yang dilakukan dengan sedikit atau tanpa ketergantungan sinergi
V Reflek peregangan otot normal

Fungsi pergelangan tangan – stabilitas, fleksi, ekstensi, sirkumduksi


Fungsi tangan
Mass flexion, mass extension, 5 different grasps
Koordinasi dan kecepatan – penilaian tremor, dismetria, kecepatan finger to nose test; hell – to – shin
test
Keseimbangan
Duduk tanpa penyangga
Reaksi parasut – sisi yang dipengaruhi, sisi yang tidak dipengaruhi
Berdiri – dengan bantuan, tanpa bantuan
Berdiri pada sisi tubuh yang tidak dipengaruhi, sisi yang dipengaruhi
Sensasi – sentuhan ringan, perasaan posisi
Gerakan sendi pasif, nyeri sendi

14
Skala Klinis
Skala klinis dari 0 (tonus otot normal) sampai 4 (spastisitas berat) adalah yang
dikemukakan pertama oleh Asworth.4 Ini memberikan kemudahan dalam pengukuran,
tetapi mempunyai kekurangan dalam waktu dan hasil antar pemeriksa. Asworth scale
diambil dari “clustering” dari kebanyakan pasien dalam tingkatan sedang. Pasien
biasanya dalam posisi terlentang, kemudian reflek regang serta tonus otot pasif dinilai
pada ekstremitas atas dan bawah. Sebuah modifikasi asworth scale yang
menambahkan tingkat menengah mempunyai keadaan rata-rata yang dapat dipercaya
tinggi ketika menguji bagian fleksor siku (Tabel 29-3).5 Skala klinis menunjukkan
hanya informasi kwalitatif, tetapi kebanyakan orang lebih suka menggunakan
Yardstick untuk spastisitas.
Fugl-Meyer Scale adalah metode yang objektif dan akurat untuk menilai
fungsinya (tetapi tidak penting pada hipertonia spastik) pada pasien-pasien hemiplegi
berdasar kembalinya progresifitas yang alami pada keadaan sebelumnya. Pasien-
pasien dengan hemiplegi sering reflek regang ototnya rekuren sebelum aksi
motoriknya dapat dikendalikan, mengikuti pola gerakan yang sinergis, kembalinya
fungsi selektif motorik secara volunter, dan akhirnya terjadi penurunan hiperreflek
dari reflek regang. Evaluasi ekstremitas atas dinilai dengan gerakan dan pola sinergis,
termasuk koordinasi dan kecepatan dari pergerakan. Pergerakan yang rumit dari
lengan dan pergelangan tangan yang dinilai secara berlainan, sebagai kemampuan
pasien untuk menjaga postur tubuh. Sentuhan ringan, perasaan posisi, pergerakan
sendi, dan gerakan yang bebas nyeri, menambah observasi sensoris sebagaimana yang
ditunjukkan fungsi motorik. Fugl-Meyer Scale sudah didemonstrasikan pada high
intra tester dan inter tester yang sesungguhnya, dan dapat dilengkapi 10 sampai 20
menit. Penurunan fungsi Fugl-Meyer Scale sudah menunjukkan hubungan yang dekat
dengan beratnya tonus spastik.27 Skala spastik dengan maksud yang sama yang telah
dilaporkan, tetapi tidak menunjukkan beberapa keuntungan yang jelas.

Analisis EMG dari Hipertonia Spastik


Beberapa studi sudah mengidentifikasikan bahwa penurunanan level EMG
pada otot yang spastik sebagai indikator dari penurunan spastisitas. Akan tetapi tidak
dapat dipisahkan dari perubahan-perubahan dan tingginya tingkat kebisingan
berhubungan dengan rekaman EMG dan lemahnya hubungan dengan intensitas

15
spastik membuat pendekatan yang suboptimal untuk kuantifikasi spastisitas. Lebih
jauh, ini adalah pengukuran kekakuan sendi yang indirect (spastisitas) dan tidak
menunjukkan kuantitatif yang dapat dipercaya serta menghalangi pengukuran
biomekanik pada hipertonia spastik.

Pengukuran Biomekanik Hipertonia Spastik


Kuantitas pengukuran biomekanik berubah pada aktifitas reflek regang pada
pasien dengan anggota tubuh yang spastik. Ini adalah penjabaran dari Asworth Scale,
dimana para klinikus melakukan sebuah peregangan pada ekstremitas dan merasakan
tahanan saat regangan. Pengukuran biomekanikal menggunakan kontrol perubahan
sewaktu mengukur respon mekanis pada pergerakan dengan torque dan posisi
transduser dan EMG. Motorik yang dirangsang oleh perubahan yang merupakan kritik
untuk menjaga penyimpangan sendi yang dapat di implementasikan dengan
mengontrol penggunaan torque sewaktu pengukuran hasil perubahan posisi, atau
dengan penggunaan perubahan posisi kontrol dan pengukuran hasil torque. Beberapa
tipe perbedaan dari kesalahan sudah digunakan, dan aplikasi dari perbedaan tipe
perubahan telah menuntun beberapa perubahan dalam menginterpretasi dan
membandingkan hasil-hasil dari studi yang berbeda.
Sewaktu menginterpretasi respon torque untuk mengontrol mekanisme
perubahan, sangat penting untuk membedakan antara apa yang berhubungan dengan
reflek regang dan apa yang berkaitan dengan “pasif” atau aspek non refleksi pada
ekstremitas. Para klinikus dihadapkan dilema yang sama dalam membedakan
kontraktur dari hipotonia spastik pada uji klinik. Masalah ini umumnnya ditunjukkan
bagi penggunaan perubahan mekanik pada ekstremitas yang tidak menimbulkan reflek
regang, dan dipercaya untuk mewakili sifat-sifat ekstremitas tersebut. Respon ini
kemudian dibandingkan pada sebuah peregangan yang menimbulkan respon reflek,
sebagai refleksi dari respon EMG.

16
GAMBAR 29-2. Kemungkinan abnormalitas reflek regang pada spastisitas. Ketika sendi diperluas,
torque dinaikkan oleh peregangan otot yang meningkat setelah certain threshold angle (Ө) dicapai.
Jumlah torque per unit angle, atau kekakuan otot, adalah kurva yang melandai. Ө2 menunjukkan
”normal” threshold angle; Ө1 menunjukkan penurunan ambang untuk motorneuron. Kurva a mewakili
keadaan dimana terjadi penurunan ambang dan peningkatan kekakuan. Kurva b dan c mewakili kasus
dimana terdapat penurunan ambang atau peningkatan kekakuan yang terjadi dengan sendirinya. Kurva
d mewakili keadaan normal dari ambang reflek dan kekakuannya.

Ambang reflek dan Reflex Gain. Sebuah konsep penting yang sudah
berkembang dari pengukuran biomekanikal adalah perbedaaan antara ambang reflek
dan reflex gain. Ambang reflek berarti adanya ambang yang pasti pada sebuah reflek
yang dimunculkannya. Reflex gain adalah hubungan antara ukuran input yang
dibandingkan dengan ukuran outputnya. Parameter itu mempunyai implikasi penting
sebagai gambaran dari gangguan neurofisiologis yang lebih awal (Gambar 29-2).
Penurunan ambang reflek dihasilkan dari motor neuron yang diukur pada jarak
terdekat depolarisasinya. Depolarisasi ini dapat dihasilkan dari sebuah peningkatan
tonus excitatory sinap melalui penurunan atau interneuronal input. Secara bergantian,
sebuah peningkatan peregangan reflex gain akan terjadi jika input aferen yang
dibangkitkan lebih besar perubahannya pada potensial membran. Ini akan dihasilkan
dari terminal sprouting (peningkatan jumlah terminal yang aktif), hipersensitifitas
reseptor post sinap (peningkatan dari dampak pelepasan transmiter), atau pengurangan
hambatan presinap (peningkatan jumlah pelepasan transmiter pada tiap potensial aksi
yang datang).

17
Ketika menginterpretasi hasil-hasil dari penelititan respon reflek regang pada
pasien yang spastik, ini sangat menolong untuk memahami bahwa kesensitifan reflek
regang terdapat pada 2 tipe, dari input kecepatan dari peregangannya dan sudut sendi
(yang mengubah panjang otot). Ambang reflek diperlihatkan sebagai (1) suatu
ambang kecepatan atau (2) angular threshold. Angular threshold secara klinis
ditunjukkan sebagai suatu titik tangkap hasil dari resistensi yang disebabkan regangan
manual yang meningkat secara mendadak. Reflex gain dapat dijabarkan sebagai
perubahan reflex torque akibat dari suatu fungsi kecepatan atau sudut sendi.
Hasil dari beberapa penelitian dengan menggunakan sinusoidal dan perubahan
menunjukkan bahwa reflex gain meningkat pada pasien yang spastik dibandingkan
dengan subyek kontrol. Kesimpulan ini berdasar pada suatu kemungkinan
peningkatan yang lebih besar pada velocity sensitive gain, karena reflex torques yang
diukur tidak memperhitungkan perubahan angular threshold. Sebaliknya, pemakaian
pedoman regangan yang kecepatannya meningkat secara konstan mengabaikan
ambang kecepatan atau velocity gain. Pada penelitian ini, reflex gain tidak berubah
pada ekstremitas, namun ambang reflek menurun. Penelitian perubahan menimbulkan
kebimbangan mengenai patofisiologi hipertonia spastik, dan mencetuskan pertanyaan
apakah perubahan ambang atau gain yang paling mewakili dari beratnya spastisitas.
Sayangnya, perbedaan ini tidak penting dalam aplikasi klinis pengukuran
biomekanis spastisitas. Perubahan reflex gain dan ambang reflek berperan
meningkatkan respon refleks regangan. Akhirnya, beberapa tipe perubahan mekanis
dapat berguna untuk kuantifikasi, menghasilkan perubahan yang masih sama antar
pasien dan antara sesi. Demikian pula, perubahan eksitabilitas refleks regang pada
akhirnya dicerminkan dalam suatu perubahan torque response, yang dianggap sebagai
suatu perubahan gain atau sebagai suatu perubahan ambang.
Walaupun ukuran biomekanikal berhubungan dengan ukuran klinis,
pengukuran biomekanikal belum menjadi standar dalam praktek klinis, meskipun
teliti, obyektif dan dapat diulangi. Keuntungan dari ukuran mekanis spastisitas adalah
ketelitian, obyektivitas dan kemampuan diulang ditingkatkan. Penggunaan alat ini
untuk kuantifikasi spastisitas mudah dikerjakan dan ukuran berguna untuk penelitian
klinis yang memeriksa efek intervensi farmakologis dan fisik.

18
Tes Pendulum
Tes pendulum menggunakan gravitasi untuk menilai spastisitas. Peningkatan tahanan
ekstremitas yang direlaksasikan terhadap gerakan yang dipaksakan mencerminkan
derajat hipertonia spastik pada otot quadriceps dan hamstring dan telah dinilai pada
pasien normal dan spastik dengan posisi telentang. Kekakuan ekstremitas inferior
dinilai dengan menempatkan pasien pada suatu posisi telentang dengan kedua tungkai
diekstensikan pada sudut sebuah meja yang hanya menyokong bagian distal tungkai
atas. Dengan cara ini sendi lutut dapat dengan mudah difleksikan dan diekstensikan.
Ketika segmen ekstremitas inferior jatuh karena suatu posisi yang diekstensikan
penuh, segmen ini berayun pada bidang vertikal seperti sebuah pendulum, dan
gerakannya diperlambat atau “direm” oleh elemen viskoelastis ekstremitas (Gb. 29-3).
Gerakan lutut dinilai dengan sebuah elektrogoniometer dan laju gerakan dinilai
dengan sebuah tachometer. Instrumen ini biasanya menunjukkan pola sinusoid dari
gerakan angular dimana sebuah model matematika telah dibuat untuk membedakan
sebuah ekstremitas yang spastik dengan yang normal.

GAMBAR 29-3. Tes Pendulum pada hipertonia spastik digunakan untuk menilai hipertonia
spastik dari kelompok otot quadriceps dan hamstring. Kekakuan pada ekstremitas dinilai dengan
penempatan pasien dalam keadaan posisi terlentang dengan kedua tungkai diekstensikan pada sudut
sebuah meja yang hanya menyokong bagian distal tungkai atas. Aο menunjukkan amplitudo dari garis
lengkung sinusoidal yang berkurang sebagai menurunnya dari posisi ekstensi pada final resting angle.
A1 menunjukkan amplitudo dari plotted waveform dari ekstensi penuh pertama dengan gerakan
minimum. Rancangan diatas menggambarkan subyek normal. Rancangan dibawahnya menggambarkan
subyek dengan spastik moderat. Catatan, bahwa initial swing dari ekstensi penuh (A1) tidak sampai
vertikal, sewaktu subyek mencapai 27˚ melebihi fleksi vertikal. Berkurangnya tanda dari perubahan
garis lengkung sinusoidal adalah kejadian pada subyek yang spastik.

19
Meskipun mudah digunakan, analisis matematika model biomekanis
pendulum memiliki asumsi yang meragukan bahwa sifat mekanis otot ekstensor dan
fleksor lutut adalah sama dan model tersebut dapat diperlakukan sebagai sistem “kerja
kedua” linier sederhana. (dimana elemen dapat diganti oleh variasi massa, pegas, dan
tahanan). Pada kenyataannya, kekakuan dan kecepatan otot berubah sesuai tingkat
eksitasi otot, dan panjang otot. Berbeda dengan gangguan biomekanikal, tes pendulum
tidak memasukkan variasi ambang dan kekakuan.

Pemeriksaan Elektrofisiologis
Banyak variasi penelitian-penelitian refleks elektrofisiologis telah dilakukan untuk
menilai spastisitas dan meneliti lintasan neuron medula spinalis. Karena mereka
dengan mudah dicatat, dianalisa, dan dikuantifikasikan, mereka dapat dibuktikan
bermanfaat secara klinis. Pembaca diarahkan pada sumber lain untuk penjelasan
lengkap mengenai pemeriksaan ini, yang dirangkum pada Tabel 29-5.

TABEL 29-5 Pemeriksaan Elektrofisiologis untuk Kuantifikasi Spastisitas


Studi reflek Deskripsi Tujuan penggunaan dan batasan
H reflek Stimulus submaximal disampaikan ke saraf Dibingungkan dengan kesulitan-kesulitan
tibial pada fossa poplitea sewaktu perekaman metodologi, penempatan elektroda, adanya
melewati soleus. Dapat juga direkam di bagian kumpulan otot yang dibangkitkan respon,
lain, khususnya pada pasien UMN. Analagous pengaruh dari relaksasi pasien atau posisi
pada lingkaran reflek regang otot bypass ekstremitas. Perubahan amplitude secara
serabut otot. Durasi stimulus 0.5-1.0 ms. dramatis dengan lamanya stimulus.

H (max)/M (max) Rasio dari maximal H reflek dan M response Penilaian eksitabilitas dari nukleus motorik
(komponen potensial aksi otot dari oleh % perbandingan dari aktivitas
supramaximal orthodromic response). motoneuron oleh H reflek dalam
perbandingan aktivasi langsung. Rasio
peningkatan setelah cedera UMN. Rasio yang
normal, setelah pengobatan dengan baclofen
intratekal. Hubungan yang rendah dengan
penilaian klinis.

T/M Ratio Rasio mekanisme-hasil reflek regang otot Sama dengan H (max)/M (max).
(melalui reflek hammer) dengan direct M
response.

Inhibisi H reflek oleh Kontraksi tibialis anterior selama H reflek. Penilaian pada inhibisi yang timbal balik.
kontraksi otot Pada kontraksi subyek normal menghambat
rekaman H reflek dari tricep surae.
Kehilangan inhibisi tampak pada subyek
dengan spastik.

20
Inhibisi H reflek oleh Stimulasi saraf peroneal selama H reflek. Stimulasi elektrikal dari saraf peroneal
stimulasi saraf peroneal bertugas sebagai pengganti kontraksi volunter.
Hilangnya inhibisi dari H reflek tampak pada
subyek yang spastik.

Kurva H reflek recovery Sepasang stimulus yang sesuai dari saraf tibial H reflek pertama meng-inhibisi atau fasilitasi
diterapkan dalam bermacam interval. amplitude kedua yang tergantung pada
interval. Mempunyai hasil yang lemah dan
ketidak jelasan yang signifikan. Perubahan
dalam inhibitory dan facilitatory periode
tercatat pada individual spastik.

Sepasang H reflek Dalam keadaan normal, stimulus Maksud pada penilaian aktivasi sel Renshaw
mempelajari kemampuan supramaximal dari sebuah gabungan saraf dan recurrent inhibisi. Pasien spastik
teknik tumbukan menyingkirkan H reflek berhubungan dengan menggambarkan sebuah peningkatan pada
rangkaian eferen. Pembatalan ini dapat second H reflex amplitude.
dihapuskan dengan memberikan keadaan
stimulus listrik yang cukup untuk
membangkitkan sebuah H reflek diatas
supramaximal M respon ( teknik tumbukan).
Serangkaian keadaan H reflek bertentangan
rangkaian antidromic dari M stimulus, yang
mana sesudah itu mengikuti serangkaian
aferen dari stimulus supramaximal untuk
membangkitkan H reflek.

Penggunaan IB inhibisi H Conditioning stimulus diterapkan pada saraf Penilaian short-latency autogenic inhibition
reflek dan keadaan stimulus medial gastrocnemius yang mana dihambat dari serabut IB. Inhibisi H reflek berikutnya
kemudian H reflek. dalam keadaan normal, memfasilitasi pada
keadaan plegi

F wave Stimulasi supramaximal dari gabungan saraf Penilaian eksitabilitas alpha motor neuron.
sewaktu merekam melewati otot distal. F/M ratio ditingkatkan pada pasien spastik.

Reflek tonik vibration Dijelaskan diatas. Vibrator diterapkan pada Penilaian inhibisi presinap. Kegagalan dari
tendon Achiles yang secara normal vibrasi tonik untuk menekan H reflek ditandai
menghambat soleus H reflek. pada individual spastik.

H (max) vib/H (Max) Rasio maksimal H reflek selama vibration dan Peningkatan pada pasien spastik. Nilai normal
tanpa vibration. yang luas, hubungan yang lemah dengan
intensitas dari spastisitas.

Withdrawal fleksor respon Automatic withdrawal dari ekstremitas bawah Reflek global aktivitas interneural. Respon
pada stimulasi elektrik telapak kaki. fase awal menghilang setelah lesi UMN.

Respon yang dibangkitkan Stimulasi submaximal dari saraf tibial Reflek inhibisi presinap dalam dorsal horn.
lumbosacal spinal menghasilkan respon bangkitan triphasic yang Perubahan puncak positif dan negatif pada
direkam melewati T12. pasien spastik.

21
Pemeriksaan elektrofisiologis merupakan suatu cara yang menarik untuk
memeriksa perubahan fungsi medula spinalis dan refleks segmental pada pasien
spastik. Alasan pemakaian teknik ini berdasar pada model binatang, yang dapat atau
tidak dapat diterapkan pada subyek manusia yang utuh. Sebagian besar penelitian ini
juga menilai rincian lintasan neural individu spastik saat istirahat, mengabaikan
gambaran biomekanis dan neurofisiologis gerakan. Karena kebanyakan klinisi akan
dengan mudah menentukan, kebanyakan disabilitas yang ada pada seorang pasien
spastik berhubungan dengan gerakan manusia. Akibatnya, penelitian elektrofisiologis
terhalang oleh penentuan mekanisme neural dengan latar belakang kompleks motorik
perilaku, menelitinya sebagai kejadian yang terpisah. Karena skala ini kurang
berhubungan dengan beratnya penyakit secara klinis, tidak jelas apakah signifikansi
perubahan pada gambaran parameter elektrofisiologis ini.

PENGELOLAAN TERAPI HIPERTONIA SPASTIK


Sebelum pengobatan spastisitas dimulai, klinisi harus mnyampaikan beberapa
pertanyaan penting:
- Apakah hipertonia memperberat suatu gangguan fungsional, atau
menimbulkan ancaman untuk menyebabkan ketidakmampuan jika dibiarkan
tanpa dikoreksi? Apakah hal ini menimbulkan ketidaknyamanan? Apakah hal
ini membuat perawatan orang tersebut oleh orang lain menjadi sulit?
- Apakah secara khusus ketidakmampuan tersebut merupakan suatu akibat
hipertonia spastik atau kelainan motorik lain, seperti rigiditas, “spasme” otot
atau kelemahan? Apakah beberapa kelainan berperan pada ketidakmampuan
tersebut?
- Apakah hipertonia spastik bemanfaat bagi pasien? Apakah peningkatan tonus
ekstremitas inferior dimanfaatkan untuk berdiri atau berjalan? Apakah
spastisitas atau kelainan motorik mengontrol kelainan primer cara berjalan?
Apakah tidak tepat untuk mengurangi atau mencegah respon refleks secara
berkala untuk meningkatkan gerakan fungsional pada rehabilitasi stroke?
- Apakah peran statis (yaitu kontraktur) dan dinamis (refleks) pada masalah
tersebut? Bagaimana mereka mempengaruhi area lain dari fungsi?

22
- Bagaimana kemampuan fungsional keseluruhan individual – motorik,
sensorik, kognitif, dan perilaku? Bagaimana hal ini akan dipengaruhi bila
tujuan terapi spastisitas tercapai?
- Apakah ada masalah medis lain yang mungkin berperan pada masalah
tersebut? Mungkinkah kondisi ini diperberat oleh terapi spastisitas?
- Berapa lama berlangsung sejak awal kondisi yang menyebabkan spastisitas?
Bagaimana prognosisnya?

Menyampaikan pertanyaan-pertanyaan ini memungkinkan suatu pendekatan rasional


untuk terapi spastisitas, seperti diuraikan pada Gambar 29-4.
Perawatan yang baik dapat mengurangi stimulus nosiseptif dan eksteroreseptif
yang dapat memperberat hipertonia pasien. Menghindari stimulus nosiseptif
merupakan suatu langkah penatalaksanaan awal yang penting. Hal ini termasuk
tindakan seperti terapi segera komplikasi traktus urinarius (infeksi, batu), pencegahan
luka akibat tekanan dan kontraktur, membebaskan dari celana panjang yang ketat dan
baju yang ketat, penatalaksanaan buang air besar dan buang air kecil untuk mencegah
impaksi fekal dan distensi kemih, dan profilaksis trombosis vena dalam. Tulang yang
heterotropik dianggap sebagai sesuatu yang diperberat spastisitas, namun pencegahan
komplikasi ini sulit.
Posisi tidur yang tepat segera setelah cedera medula spinalis dianggap sebagai
suatu langkah penting pada pengurangan jangka panjang hipertonia spastik, namun
pernyataan ini tidak diuji secara sistematis. Program peregangan harian merupakan
komponen penting dari berbagai program pengelolaan spastisitas. Hasil pengamatan
umum yaitu resistensi ekstremitas menurun secara bertahap jika ekstremitas dengan
segera digerakkan.

Modalitas Fisik
Peregangan mungkin suatu komponen dasar untuk menghilangkan kekakuan
otot pada pasien spastik, meskipun sedikit laporan kuantitatif yang menunjukkan
hilangnya spastisitas setelah peregangan otot. Pada kenyataannya, efektifitas jangka
panjang peregangan untuk mengurangi telah diuji.8,54 Mungkin, kurangnya penurunan
spastisitas pada penelitian-penelitian awal ini berhubungan dengan teknik kuantifikasi

23
yang tidak adekuat, atau mungkin hambatan dana, terapi harian yang diulang-ulang
diperlukan untuk melihat efek terapi yang berarti.
Mobilisasi dapat mengurangi beratnya tonus spastik selama beberapa jam.
Alasan “carry-over” belum jelas sepenuhnya, namun bisa jadi berhubungan dengan
perubahan mekanis pada unit muskulotendineus atau perubahan plastik dalam sistem
saraf pusat. Kejadian plastik ini mungkin berhubungan dengan modulasi singkat atau
jangka panjang dari pengaruh sinaptik sehubungan perubahan neurotransmiter pada
tingkat seluler. Pelatihan aktifitas refleks telah diteliti pada keong laut Aplysia
californica, yang yang memiliki suatu sistem saraf yang sederhana. Keong tersebut
memiliki suatu refleks untuk menarik organ respirasi dan sifonnya, yang sama dengan
refleks menarik fleksi tungkai pada manusia. Aktivasi yang berulang menimbulkan
suatu penurunan transmisi sinaps, sebagian karena suatu inaktivasi calcium channels
pada ujung presinaptik. Penurunan influks kalsium mengurangi pelepasan
neurotransmiter, mungkin akibat eksositosis vesikel neurotransmiter yang ditentukan
kalsium.11 Saat ini, kuantifikasi torque response terhadap gerakan yang diulang
menunjukkan bahwa suatu penyesuaian yang signifikan dari refleks regang muncul
setelah 30 gerakan siku pada pasien spastik, hemiparesis pada trauma otak.
Manfaat terapi dari gerakan berulang dan peregangan digabungkan dalam
Teknik Perkembangan Saraf Bobath, dan yang lebih baru dalam fasilitasi
neuromuskuler propioseptif.12 Teknik Bobath yang asli dibuat dengan menggunakan
“pola penghambatan refleks” – posisi sendi yang meregangkan sebagian besar otot
spastik – dengan tujuan mengurangi tonus dengan menghambat refleks berlebihan.
Fasilitasi neuromuskuler propioseptif juga menggunakan regangan dalam kombinasi
dengan kontraksi otot yang diregangkan atau otot yang berlawanan, dan sering
digunakan untuk meningkatkan lingkup gerak sendi. Meskipun terapi regangan
mengurangi spastisitas, penurunannya hanya bersifat sementara dan tidak bisa
mempengaruhi gerakan-gerakan volunter yang berarti. Pada efek jangka panjang dari
peregangan dan pengaruhnya pada gerakan volunter membutuhkan pengujian lebih
lanjut.

24
GAMBAR 29-4. Grafik pada penatalaksanaan hipertonia spastik

Cryotherapy. Pemberian rasa dingin secara topikal sudah dilaporkan untuk


mengurangi reflek regang otot yang eksitabilitas, mengurangi klonus, meningkatkan
lingkup gerak sendi, menambah kekuatan dalam grup otot antagonis. Pengaruh-
pengaruh itu dapat digunakan untuk sarana perbaikan fungsi motorik pada periode
waktu jangka pendek. Tonus bisa diturunkan sangat pendek setelah penggunaan es,
kemungkinan berhubungan dengan pengurangan sensitifitas pada reseptor kutaneus

25
dan melambatnya hantaran saraf. Perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat yang
eksitabilitas bisa terjadi lebih lama. Seorang terapis bisa menggunakan cold pack pada
20 menit atau lebih untuk memperoleh efek maksimum.Anestesi topikal bisa
mempunyai efek yang sama.
Casting dan splinting. Teknik casting atau splinting dapat memperbaiki
lingkup gerak sendi yang berhubungan dengan kontraktur yang hipertoni, dan
positioning ekstremitas pada regangan tonik sudah diamati untuk mengurangi tonus
reflek. Dalam suatu studi, jangka panjang tetapi bukan jangka pendek casting
menghasilkan penurunan yang signifikan dalam reflek sensitifitas dinamik dan statik.
Elongasi dari seri komponen elastik unit muskulotendineus dan sebuah peningkatan
pada nomor dari sarkomer dengan serat otot yang masing-masing sudah memberikan
penurunan tonus43.
Biofeedback. EMG biofeedback bisa bermanfaat untuk terapi dari spastisitas
dan yang berhubungan dengan sinergis. Secara umum, biofeedback awalnya sudah
digunakan untuk melatih subjek untuk merelakkan ekstremitas yang spastik. Dan
kemudian untuk memulihkan kembali kontrol aktivitas. Protokol-protokol
kemampuan biofeedback meliputi pelatihan ekstremitas atas yang mengalami
hemiplegi, beberapa dengan afasia. Biofeedback sudah dilaporkan berhasil
meningkatkan dorsofleksi pergelangan kaki pada penderita stroke, multiple sclerosis,
cerebral palsy, trauma otak, dan SCI. Meskipun antusiasme awal yang besar, namun
teknik biofeedback tidak diterima secara luas.
Stimulasi Elektris. Penggunaan stimulasi elektris untuk memperbaiki fungsi
pasien –stimulasi elektris fungsional (FES) – diterima medis dan ditulis secara luas. 13
Stimulasi elektris pada saraf tepi menawarkan suatu tambahan potensial dalam terapi
rehabilitasi tradisional untuk pasien paraplegi saat berdiri, berjalan, dan latihan gerak
badan. Penggunaan bersiklus dari stimulasi elektris menunjukkan menurunkan
kontraktur ekstremitas superior, memperbaiki aktivitas motorik pada otot yang
berlawanan, dan menurunkan tonus pada kelompok otot yang berlawanan dari pasien
hemiplegi dan quadriplegi.
Stimulasi saraf surealis, refleks fleksor aferen menghasilkan penurunan tonus
ekstensor dan meningkatkan kekuatan dorsofleksi pergelangan kaki. Efek terapi dapat
mencapai satu jam atau lebih setelah stimulasi dihentikan, mungkin disebabkan oleh
perubahan neurotransmiter pada refleks segmental. Stimulasi saraf peroneal dapat
menekan klonus pergelangan kaki pada pasien hemiplegi yang dapat berjalan melalui

26
hambatan timbal balik. Stimulasi elektris dibatasi namun aplikasi tepatnya sebagai
suatu bantuan dorsofleksor pergelangan kaki pada cara jalan hemiplegi., dan sebagai
sarana membuka tangan pada ekstremitas superior yang plegi. Penurunan yang
signifikan pada hipertonia spastik hingga tiga puluh menit telah diperlihatkan pada
penelitian yang akurat penggunaan stimulasi kutaneus pada sebuah populasi
hemiplegi.13 Stimulasi probe rectal, digunakan untuk menimbulkan ejakulasi pada
laki-laki dengan trauma medula spinalis, berhubungan dengan suatu penurunan
signifikan spastisitas yang berlangsung hingga dua puluh empat jam. 23 Penurunan ini
dapat dihasilkan karena perubahan efektifitas transmisi sinaptik akibat mekanisme
seperti fasilitasi jangka pendek, penurunan jangka pendek, potensiasi jangka panjang,
dan penurunan jangka panjang.

TABEL 29-6 Penggunaan Obat pada Hipertonia Spastik


Agen Dosis perhari (mg) Waktu paruh (jam) Mekanisme Kerja
Baclofen 10 – 80 + 3.5 Menghambat presinap
oleh aktivasi GABA “B”
reseptor
Diazepam 4 – 60 + 27 – 37* Fasilitasi pengaruh post
sinap oleh GABA,
menghasilkan
peningkatan inhibisi
presinap
Dantrolene 25 - 400 8.7 Pengurangan pelepasan
kalsium, mencampur
gabungan eksitasi-
kontraksi dalam otot
rangka
Clonidine 0.1 – 0.4 (po) Adrenergik alpha-2
0.1 – 0.3 (patch)** agonis
12 – 16 (oral)
Tizanidine 4 – 36 8.4 Adrenergik alpha-2
agonis
*Waktu paruh metabolisme aktif primer secara signifikan lebih lama
**Patch diganti tiap minggu

27
GAMBAR 29-5. Stimulasi unit subkutaneus dapat secara langsung memodulasi saraf pada medula
spinalis dengan menyusupkan sebuah rantai pendek dari elektroda yang menstimulasinya ke dalam
ruang epidural yang berhenti disamping kolumna dorsalis.

Stimulasi medula spinalis (Gb. 29-5), juga dikenal dengan stimulasi kolumna
dorsalis, pada awalnya diterima dengan antusias dalam terapi hipertonia spinal.
Sebuah rantai pendek elektroda stimulasi disisipkan pada ruang epidural, ditempatkan
di sekitar kolumna dorsalis. Perbaikan maksimal ditentukan oleh temuan kombinasi
ideal penempatan elektroda, kuatnya stimulasi, dan frekwensi stimulasi. Sebuah
analisis kritis efek yang menguntungkan dari stimulasi kolumna dorsalis
mempertanyakan efektifitasnya dalam memperbaiki fungsi motorik dan berkemih.
Pada sebuah penelitian yang dilakukan dengan hati-hati dimana pemeriksa tidak jelas
apakah stimulasi pada keadaan nyala atau mati, pengukuran perlakuan pada sendi dan
pemeriksaan neurologis terstandarisasi tidak lebih baik dari kemungkinan dalam
menentukan apakah stimulasi medula spinalis telah diterima.20

Intervensi Farmakologis
Pengobatan Oral. Tidak ada pengobatan (Tabel 29-6) yang terus-menerus
bermanfaat dalam terapi hipertonia spastik.26 Pertimbangan variasi masalah yang
berhubungan dengan spastisitas – spasme fleksor pada pasien spinal, postur distonia
pada hemiplegi, diplegia spastik pada anak dengan cerebral palsy – tidak mungkin
jika satu agen akan menguntungkan pada semua keadaan. Yang lebih penting, semua
obat memiliki efek samping serius yang potensial, dan sisi negatif ini harus dengan

28
hati-hati dipertimbangkan saat seorang pasien diberi obat. Penggunaan lanjut sebuah
obat harus ditentukan pada suatu efek menguntungkan yang nyata.
Baclofen. Baclofen (Lioresal®) merupakan sebuah analog gamma
aminobutyric acid (GABA), sebuah neurotransmiter yang terlibat dalam inhibisi
presinaptik. Baclofen tidak terikat pada reseptor “A” GABA klasik, namun pada
reseptor “B” yang baru-baru ini ditemukan dan karakternya kurang diketahui.
Agonisme pada tempat ini menghambat masuknya kalsium ke ujung presinaps dan
menekan pelepasan neurotransmiter eksitator. Baclofen menghambat reflek mono dan
polisinaps, dan juga menurunkan aktivitas eferen gamma. Meskipun efek terapi telah
ditunjukkan muncul saat kadar dalam plasma melebihi 400 ng/mL, respon optimal
didapat pada kadar dalam plasma dan cairan serebrospinal yang berbeda-beda.
Baclofen diabsorbsi sepenuhnya setelah pemberian oral, dan dieliminasi terutama
melalui ginjal. Waktu paruhnya kurang lebih 3,5 jam. Baclofen mampu melewati
sawar darah otak, berbeda dengan GABA.
Meskipun baclofen mungkin merupakan obat pilihan pada spastisitas setelah
cedera medula spinalis, peran baclofen dalam terapi spastisitas akibat trauma
supraspinal masih belum terbukti. Baclofen dapat mempengaruhi pemusatan perhatian
dan ingatan pada pasien lanjut usia dan trauma otak. Baclofen efektif terutama untuk
spasme fleksor dengan lesi medula spinalis. Baclofen dapat memperbaiki kontrol
berkemih dengan menurunkan kontraksi hiperreflektif spingter uretra eksternal.
Baclofen terbukti aman dan efektif pada penggunaan jangka panjang. Baclofen juga
memiliki efek anxiolitik, yang mungkin berperan pada kerja anti spastisitasnya.
Dosis dewasa awal kurang lebih 5 mg secara oral, dua kali sehari atau tiga kali
sehari, dan perlahan dinaikkan titrasinya hingga mencapai dosis maksimum yang
disarankan 80 mg/hari. Meskipun demikian, “dosis maksimum yang
direkomendasikan” ini bisa jadi bukanlah dosis yang paling efektif untuk pasien, dan
dosis yang lebih tinggi dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien dan menjadi terapi
tambahan. Terdapat kejadian efek samping yang sedikit, seperti halusinasi, bingung,
sedasi, hipotoni dan ataksia. Penghentian obat mendadak dapat menimbulkan
serangan dan halusinasi. L Baclofen stereospesifik terlihat lebih efektif dibandingkan
bentuk racemic yang biasa dipakai dalam pengobatan nyeri kepala. L baclofen perlu
pengujian untuk pengobatan hipertonia spastik.
Penggunaan yang aman dari baclofen belum secara adekuat diteliti pada anak,
dan Food and drug Administration (FDA) belum mengakui penggunaannya pada

29
kelompok umur ini. Meskipun demikian, dokter telah menggunakan baclofen pada
kelompok umur ini dengan dosis dimulai 2,5 hingga 5 mg/hari, dengan dosis
maksimum 30 mg (anak usia 2 hingga 7 tahun) hingga 60 mg (anak usia 8 tahun atau
lebih).
Diazepam. Diazepam (Valium) memfasilitasi efek postsinaptik GABA,
mengakibatkan suatu peningkatan hambatan presinaptik. Diazepam tidak memiliki
efek menyerupai GABA langsung, namun mendesak efek menyerupai tidak langsung
hanya jika transmisi GABA bersifat fungsional. Sebagai tambahan untuk efeknya
pada otak yang sudah diketahui, diazepam terbukti efektif pada orang yang
menunjukkan divisi medula spinalis.
Diazepam merupakan suatu terapi yang berhasil untuk spasme hipertonia pada
cedera medula spinalis, dan secara umum ditoleransi dengan baik kecuali untuk efek
sedatifnya. Diazepam secara umum tidak sesuai pada pasien trauma otak karena efek
gangguan perhatian dan ingatan. Efek samping yang lain termasuk gangguan
intelektual dan penurunan koordinasi motorik. Bukti penyalahgunaan dan kecanduan
jarang, namun kecanduan fisiologis yang sebenarnya dapat timbul. Gejala
penghentian dapat muncul jika diazepam diturunkankan terlalu cepat. Ada beberapa
depresi sinergis sistem saraf pusat bila diberikan bersama alkohol. Meskipun potensi
over dosis masih ada, benzodiazepin memiliki indeks keamanan yang sangat besar.
Dosis dimulai kurang lebih 2 mg secara oral dua kali sehari, dan dapat dinaikkan
titrasinya secara perlahan hingga 60 mg atau lebih perhari, dalam dosis terbagi.
Kisaran dosis pediatrik dari 0,12 hingga 0,8 mg/kg perhari dalam dosis terbagi.
Sodium dantrolen. Sodium dantrolen (Dantrium) mengurangi potensi kerja
otot yang dipengaruhi pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma, menurunkan
gaya yang dihasilkan oleh gabungan eksitasi-kontraksi. Dantrolen merupakan satu-
satunya obat yang bekerja pada hipertonia spastik pada tingkat “muskuler” daripada
reflek segmental. Dantrolen menurunkan aktivitas reflek regangan fasik daripada
tonik. Dantrolen lebih mempengaruhi serabut otot lurik dibanding otot polos, dengan
alasan yang tidak diketahui, agaknya memiliki efek yang kecil terhadap jaringan otot
polos dan jantung. Dimetabolisme paling banyak di hati, dan dibuang melalui urine
dan empedu. Waktu paruhnya kurang lebih 8 hingga 9 jam.
Dantrolen lebih sesuai untuk spastisitas lanjutan trauma supraspinal seperti
hemiplegia dan cerebral palsy, tetapi dapat menjadi suatu tambahan yang berguna
untuk pengobatan spastisitas setelah cedera medula spinalis. Kurang disukai karena

30
menyebabkan letargi atau gangguan kognitif dibandingkan baclofen atau diazepam.
Meskipun dantrolen dapat melemahkan otot, efek pada hipertonia spastik umumnya
tanpa gangguan kinerja motorik. Efek yang paling nyata yaitu kemungkinan
penurunan spasme otot dan klonus yang diakibatkan stimulus yang tidak berbahaya.
Dantrolen merupakan sedatif ringan hingga moderat, dan dapat menyebabkan
malaise, mual dan muntah, pusing, dan diare. Efek samping yang umumnya
dipertimbangkan adalah hepatotoksik, yang dapat muncul pada kurang lebih 1%
pasien. Uji fungsi hati harus dimonitor secara berkala, dan obat ini dapat diturunkan
atau dihentikan bila peningkatan enzim terlihat. Hepatitis yang cepat dan fatal
dilaporkan pada 0,1 hingga 0,2% pasien yang diterapi lebih dari enam puluh hari,
namun angka fatalitas ini muncul sebelum pengawasan enzim yang merupakan
praktek standar. Dosis dimulai dengan 25 mg/hari, dan dapat dinaikkan perlahan
hingga 400 mg/hari. Dosis lebih besar kadang efektif dan diusahakan dilakukan
pengawasan hepatotoksik dan efek samping lain yang terjamin. Hasil klinis tidak
berhubungan secara jelas dengan dosis, meskipun demikian, dapat stabil pada dosis
100 mg/hari. Dosis pediatrik dimulai dengan 0,5 mg/kg dua kali sehari, frekwensi dan
dosis dapat dinaikkan hingga efek maksimum dicapai. Dosis maksimum pada
umumnya 3 mg/kg empat kali sehari atau kurang dari 100 mg empat kali sehari.
Tizanidin. Tizanidin (Zanaflex) merupakan sebuah derivat imidazolin yang
memiliki kerja agonis pada lokasi reseptor alpha 2-adrenergik sentral. Berbeda dengan
klonidin, potensi tizanidin untuk menurunkan tekanan darah jauh lebih rendah. Dapat
memfasilitasi kerja glisin, suatu neurotransmiter penghambat, dan mencegah
dilepaskannya asam amino eksitator – yaitu L-glutamat dan L-aspartat – dari ujung
presinaps antar neuron spinal. Tizanidin menurunkan reflek regangan tonus dan
meningkatkan hambatan presinaptik pada binatang. Tizanidin meningkatkan
hambatan vibratorik yang ditimbulkan H reflek dan bersamaan menurunkan kontraksi
yang abnormal. Tizanidin terbukti equivalen dengan baclofen sebagai suatu agen
antispastik (namun dapat ditoleransi dengan lebih baik) pada pasien spastik setelah
trauma spinal dan supraspinal dengan dosis terbagi hingga 36 mg/hari.37 Telah terbukti
keduanya sama-sama efektif dan ditoleransi lebih baik daripada diazepam pada pasien
dengan hemiplegi kronik. Pasien multiple sclerosis memperlihatkan manfaat
signifikan pada sejumlah besar pada penelitian tersamar ganda.
Efek samping umum termasuk mulut kering, somnolen, debil, pusing, nyeri
kepala, dan insomnia. Abnormalitas fungsi hati hanya diperlihatkan secara sporadis;

31
namun, pabrikan pembuat menyarankan pemeriksaan fungsi hati secara berkala.
Somnolen pada siang hari dapat diakibatkan insomnia pada malam hari, yang mana
dilaporkan lebih sering pada pasien yang mendapat tizanidin dibanding mereka yang
mendapat baclofen. Tizanidin dan baclofen keduanya lebih efektif pada gangguan otot
ekstensor dibanding fleksor.
Dosis awal tizanidin umumnya mulai 4 mg, biasanya dimulai saat sore. Dosis
ini dapat dinaikkan titrasinya secara perlahan dengan kenaikan 2 mg. Pengobatan
secara umum ditentukan dengan jadwal tiga kali sehari. Dosis harian rata-rata sebesar
24 mg/hari, dan disarankan dosis maksimum sebesar 36 mg/hari. Dosis harus
diturunkan pada pasien dengan kelainan ginjal. Di Amerika Serikat, tersedia tablet 4
mg, sementara di Eropa formulasi yang dikeluarkan dibuat 6 dan 12 mg dapat
digunakan. Waktu paruh tizanidin hanya 2,5 jam, dan efek klinis obat mencapai
puncak 1 hingga 2 jam setelah pemberian tiap dosis, hilang dalam 6 jam. Oleh karena
itu, meskipun dengan membuat dosis tiga kali sehari tidak lagi efektif di sekitar jam
itu. Dapat digunakan bersama dengan baclofen dimana mempunyai efek kecanduan.
Gabapentin. Meskipun diakui FDA hanya sebagai suatu agen antileptik,
gabapentin (Neurontin) terbukti merupakan suatu terapi yang efektif dalam
pengobatan spastisitas dengan baik. Gabapentin, yang merupakan suatu derivat
cyclohexane acetic acid, yang disintesis sebagai suatu analog GABA. Gabapentin
tidak bekerja pada reseptor GABA yang diketahui, dan tidak mempengaruhi
pengambilan ulang dan degradasi GABA. Gabapentin dieksresi oleh ginjal, dan
memiliki waktu paruh yang relatif singkat yaitu 5 hingga 7 jam. Efek samping
umumnya meliputi somnolen, pusing, ataksia, kelelahan, dan nistagmus. Baru-baru ini
terbukti efektif dalam terapi hipertonia spastik yang diakibatkan cedera medula
spinalis22 dan multiple sclerosis.41 Gabapentin umumnya dibutuhkan untuk terapi
dengan dosis lebih dari 1200 mg/hari dalam tiga dosis terbagi. Dosis maksimum yang
direkomendasikan perhari 2400 mg, namun sebuah penelitian memperlihatkan
peningkatan efek dengan dosis hingga 3600 mg/hari.45 Dosis pediatrik belum
ditentukan.
Benzodiazepin dan Derivat. Ketazolam, suatu benzodiazepin terbukti sama-
sama efektif dan kurang sedatif dibandingkan diazepam pada bentuk spinal
spastisitas; mungkin memiliki suatu kerja farmakologi yang sama. Manfaat tambahan
yaitu bahwa ketazolam dapat diberikan dalam satu dosis tunggal 30 hingga 60
mg/hari. Saat ini belum diakui pemakaiannya di Amerika Serikat. Tetrazepam

32
(Myolastan), suatu derivat benzodiazepin, dilaporkan mengurangi komponen tonik
hipertonia spastik, dengan efek yang kecil pada hiperfleksi tendo dan tidak
mempengaruhi kekuatan otot. Clorazepat, suatu analog benzodiazepin yang diubah
menjadi desmethyldiazepam (metabolit utama diazepam), telah terbukti efektif pada
fase normalisasi namun tidak pada reflek regangan tonik.
Klorpromazin dan Fenitoin. Klorpromazin telah digunakan untuk terapi
hipertonia karena efek hambat alfa adrenergiknya. Penelitian klinis dan
elektrofisiologis pada manusia sebelum dan sesudah pemberian agen penghambat
alpha dan beta menunjukkan penurunan lintasan adrenergik dan noradrenergik
mungkin memiliki efek pengubah yang penting pada hipertonia spastik. Meskipun
demikian, penurunan fungsi motorik oleh fenotiazin dipikirkan akibat besarnya efek
terhadap formasi retikuler batang otak. Sebuah penelitian ganda sedikit dikaburkan
mengenai klorpromazin dan fenitoin yang menunjukkan bahwa kombinasi dari obat-
obat ini dapat menguntungkan dalam terapi hipertonia spastik. Tidak ada dari kedua
obat ini secara sendiri-sendiri seefektif kombinasi dari keduanya, meskipun
klorpromazin sendiri mendekati efektif. Kadar serum fenitoin tidak berhubungan
dengan efek terapi selama konsentrasinya di atas 7 μg/mL. Penambahan fenitoin
dibawah dosis terapi optimal yang dibutuhkan klorpromazin, menurunkan efek sedasi.
Meskipun demikian, karena bahaya tardive dyskinesia, klorpromazin tidak boleh
secara umum digunakan untuk mengobati spastisitas.
Klonidin. Klonidin, suatu agonis alpha 2 adrenergik, telah digunakan dengan
keberhasilan yang jelas pada pasien cedera medula spinalis. Clonidine, dalam
kombinasi dengan desipramin memperbaiki hambatan vibratorik H reflek setelah
cedera medula spinalis. Ko-aktivasi otot agonis menurun, memungkinkan perbaikan
fungsi lokomotor pada pasien paraparetik spastik dengan terapi klonidin. Sinkop,
hipotensi, serta mual dan muntah merupakan efek samping yang umum. Kebanyakan
pasien yang memperoleh manfaat dari obat tersebut memperoleh penyembuhan
dengan dosis 0,1 mg dua kali sehari atau kurang. 17 Klonidin sekarang tersedia berupa
potongan adesif (Catapres TTS) untuk pemberian transdermal sepanjang minggu,
Penelitian awal menunjukkan hasil yang disukai, dimulai dengan potongan 0,1 mg
dan dinaikkan hingga potongan 0,3 jika perlu. Angka efek yang merugikan sama
dengan yang dilaporkan pada pemberian klonidin oral.53
Vigabatrin. Vigabatrin merupakan obat epileptik dibuat secara khusus untuk
meningkatkan kadar GABA otak dengan menghambat katabolisme neurotransmiter

33
ini. Vigabatrin menggantikan GABA sebagai suatu substrat untuk GABA
transaminase, enzim yang bertanggung jawab pada langkah pertama penghancuran
GABA. Vigabatrin dikembangkan sebagai suatu agen antiepileptik dan telah terbukti
menjanjikan dalam terapi kasus epilepsi yang sukar disembuhkan. Dalam percobaan
dengan kontrol placebo vigabatrin dengan dosis 1 hingga 3 g/hari memperbaiki
spastisitas pada pasien dengan cedera medula spinalis dan multiple sclerosis. Reaksi
merugikan yang paling umum adalah mengantuk, kelelahan, dan peningkatan berat
badan, namun gangguan perilaku dilaporkan merupakan hal yang tidak biasa.21
Pengobatan Intratekal. Pemberian intratekal baclofen berhasil dicoba pada
terapi hipertonia yang berhubungan dengan disfungsi medula spinalis dan cerebral
palsy.9 Sebuah pompa dapat ditanam secara subkutaneus pada dinding abdomen,
dengan sebuah kateter yang ditempatkan dengan pembedahan pada ruang
subaraknoid. Dengan cara ini, dosis yang lebih tinggi dari pengobatan ini dapat
ditempatkan di sekitar medula spinalis – tempat yang diinginkan untuk kerja dari obat
tersebut – sebagai usaha pencegahan besarnya efek samping sistem saraf pusat
sehubungan dengan peningkatan asupan oral. Pompa dapat diisi ulang tiap sebulan
dengan injeksi transkutaneus. Komplikasi meliputi disfungsi tuba (tercabut, lepas,
kusut, dan terhalang), gagal memompa, infeksi, dan over dosis baclofen.
Pemakaian pertama infus baclofen intratekal adalah pada spastisitas setelah
cedera medula spinalis karena SCI atau multiple sclerosis dengan beberapa fungsi
yang masih dipertahankan di bawah tingkat lesi sehingga memungkinkan pasien
untuk berjalan.9 Baru-baru ini, telah dilaporkan keberhasilan baclofen intratekal pada
pasien dengan bentuk serebral spastisitas. Manfaat yang dimiliki termasuk suatu
penurunan spastisitas ekstremitas superior dan inferior, perbaikan gerakan hamstring,
fungsi ekstremitas superior dan aktivitas hidup harian.2 Terapi infus baclofen
intratekal menurunkan kebutuhan akan pembedahan kontraktur ekstremitas inferior
pada serebral palsy tipe spastik. Tentu saja, merupakan sesuatu yang bijaksana untuk
mempertimbangkan terapi ini sebelum prosedur ortopedi dilakukan. 19 Baclofen
intratekal ketika diberikan sebagai bolus, ada perbaikan yang signifikan pada tonus
spastik jika dibandingkan dengan plasebo.38 Penurunan tonus tersebut dipertahankan
jika infus baclofen yang terus-menerus dimulai.39
Dosis baclofen intratekal disesuaikan agar terbebas secara maksimal dari
spasme ketika kelemahan dikurangi. Pasien kemungkinan terbebas dari infeksi aktif
dan luka tekan. Kulit punggung harus intak dan dinding depan abdominal harus

34
menjadi tempat yang baik untuk menempatkan pompa. Prosedur abdominal yang
banyak seperti kolostomi, pipa ileal, atau pipa untuk memberikan makanan harus
terpisah dari tempat pompa. Pada pasien yang memiliki suatu hambatan potensial
aliran cairan serebrospinal, mielografi diperlukan untuk meyakinkan ada hubungan
antara penempatan infus dan sumber spastisitas Karena harga pompa mahal (kurang
lebih $ 7000 untuk pompa saja, $ 3000 pertahun yang lain untuk obat, ditambah biaya
pembedahan kurang lebih $ 8500), disarankan dilakukan suatu percobaan singkat
dengan baclofen intratekal melalui kateter lumbal perkutaneus (lebih baik dalam
kombinasi dengan suatu pompa infus kontinyu eksternal). Perawatan medis mencakup
penanaman pompa infus untuk spastisitas.
Tersedia dua tipe pompa. Infusaid Corporation (Infusaid Inc., 1400 Providence
Higway, Norwood, MA 02062) yang memproduksi alat tiup tenaga gas yang mekanis
murni dan tidak memiliki baterai. Sayangnya, pompa ini hanya dapat menginfuskan
obat dengan kecepatan konstan, dan oleh karenanya perubahan titrasi dosis primer
diusulkan pada saat isi ulang. Pompa elektronik (Gb. 29-6) dapat diprogram untuk
memberikan obat beberapa kali sehari melalui komputer di dalamnya. Hal ini
memungkinkan titrasi yang tepat dari obat. Komputer tersebut dapat diatur dengan
sebuah komputer laptop yang dilengkapi batang pemrograman. Baterai dapat menyala
hingga 4 sampai 5 tahun.

GAMBAR 29-6. Baclofen intratekal dapat diberikan melalui sebuah pompa yang ditanamkan secara
subkutan dalam dinding abdomen melalui penempatan kateter ke dalam ruang subarachnoid
(Medtronic SynchroMed Drug Infusion Pump. SynchroMed Drug Infusion Pump adalah sebuah produk
Medtronic Neurological, 800 53rd Ave. NE, POB 1250 Minneapolis, MN 55440-9087. Courtesy of
Medtronic Neurological)

35
Baclofen diinfuskan secara terus menerus diawali dengan dosis 25 μg/hari.
Efek samping yang paling umum adalah mengantuk, pusing, mual, hipotensi, nyeri
kepala, dan kelemahan. Dosis dinaikkan hingga rata-rata 400 hingga 500 μg/ hari atau
sampai penurunan yang memuaskan dari spastisitas didapatkan. Beberapa penulis
melaporkan pengalaman dengan dosis sebesar 1500 μg/hari.36 Meskipun dosis dapat
dinaikkan segera pada pemakaian baclofen intratekal, umumnya tingkat stabil dicapai
enam bulan setelah penanaman. Sebagai tambahan efek menguntungkan pada
spastisitas ekstremitas, baclofen intratekal juga memiliki suatu efek yang
menguntungkan pada penatalaksanaan berkemih. Perhatian berkenaan dengan
kemungkinan overdosis harus dilatih, seperti koma yang dapat dipulihkan akibat
toksisitas baclofen telah dilaporkan. Depresi pernafasan sekunder karena injeksi bolus
intratekal yang kebetulan dipulihkan dengan pemberian intravena 2 mg phyostigmin.
Waktu paruh baclofen intratekal kurang lebih 5 jam.
Pemberian 1 sampai 2 mg morfin intratekal memiliki kesamaan
mengakibatkan penurunaan dramatis pada pasien spastisitas dan nyeri medula
spinalis. Pasien tidak mengalami toleransi obat juga tidak kehilangan efek
menguntungkan dari morfin pada penyertaan jangka panjang. Terlepas dari
efektivitasnya, morfin intratekal jarang digunakan.
Blok Saraf. Blok saraf melibatkan pemakaian suatu agen kimia untuk suatu
saraf agar memperbaiki fungsi saraf tersebut., baik secara temporer maupun
permanen. Hambatan saraf dapat menghasilkan perbaikan lingkup gerak sendi,
mengurangi klonus, meningkatkan kecepatan dan ketangkasan gerakan (akibat
hambatan penghancuran antagonis yang tidak sesuai), memperbaiki
merangkak/duduk/berdiri pada anak, dan juga menghilangkan spastisitas pada
ekstremitas kontralateral. Agen yang digunakan umumnya termasuk anestesi lokal
(misal lidokain), fenol, alkohol dan toksin botulinum. Anestesi lokal secara temporer
menghambat konduksi dengan mengganggu peningkatan permeabilitas terhadap ion
sodium yang secara normal muncul saat membran didepolarisasi. Efeknya singkat
(beberapa jam) dan biasannya digunakan dalam penilaian efek potensial suatu
hambatan saraf yang kerjanya lebih lama atau prosedur pembedahan. Ethyl alkohol
juga merupakan suatu agen neurolitik potensial, namun tidak menyebabkan
keuntungan tertentu melebihi fenol, dan belum diuji secara luas.
Larutan fenol cair (2% hingga 7%) merupakan agen yang paling sering dipakai
untuk prosedur neurolisis kimiawi bila diaplikasikan pada saraf sensorimotorik

36
campuran, saraf motorik atau ujung serabut sarafnya (hambatan motor point). (“Motor
point” sebenarnya mengacu pada situs elektrosensitif sepanjang suatu cabang motorik,
namun bukanlah suatu istilah biasa digunakan. Dalam pembicaraan sehari-hari,
dipakai pada beberapa hal; jadi paling baik dihindari). Konsentrasi fenol yang lebih
besar dari 5% menyebabkan koagulasi protein dan nekrosis akson semua ukuran.
Hambatan saraf sangat efektif, dan bertahan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
jika dilakukan menggunakan pedoman elektrofisiologis dan jarum berlapis Teflon
(Gb. 29-7). Akson dihancurkan oleh regenerasi bertahap fenol, dengan beberapa
peningkatan jaringan fibrous pada lokasi injeksi. Hambatan sensorimotorik campuran
lebih cepat dan lebih mudah dilakukan di sejumlah lokasi dan dapat lebih efektif
daripada hambatan cabang motorik. Hambatan cabang motorik dapat seefektif atau
mendekati efektivitas hambatan campuran.

GAMBAR 29-7. Blok saraf dapat diperlihatkan dengan penggunaan jarum ukuran 22 yang dilapisi
Teflon pada posisi tegak lurus. Pada pusat jarum dihubungkan dengan stimulator dimana memberikan
sebuah getaran yang sama kira-kira 0.1 msec sekali atau dua kali per detik. Permukaan rangsangan
dapat diberikan kira-kira pada tempat persarafan, menimbulkan twitch yang terlihat sebagai kontraksi
otot. Setelah jarum dimasukkan, jarum secara perlahan-lahan dipindahkan sampai hanya terlihat sedikit
(kira-kira 1 mA) penting untuk mendapatkan maximal twitch dalam kontraksi otot. Pada titik ini,
phenol dinjeksikan. Blok titik motorik bisa menghendaki injeksi beberapa kali pada satu otot. Dalam
praktek biasanya, aspirasi dulu sebelum injeksi untuk menghindari masuknya obat dalam intravaskular.

37
Blok saraf muskulokutaneus atau cabangnya dapat menolong pasien hemiplegi
dengan kontraktur fleksi siku yang berat akibat hilangnya fungsi triceps, atau pada
quadriplegi C5, dengan kontraktur fleksor akibat hilangnya fungsi triceps. Fleksi siku
dipertahankan melalui kerja otot brachioradialis, dimana, tidak seperti fleksor siku
lainnya, disarafi oleh saraf radialis. Hambatan saraf medianus membantu
merelaksasikan pergelangan tangan dan jari hemiplegi yang terfleksi kuat. Hambatan
obturatorius menurunkan ekstremitas inferior yang scissoring selama gait, dan
memudahkan abduksi pinggul untuk mempermudah kebersihan pribadi. Spastisitas
fleksor pinggul dapat dihilangkan dengan hambatan paravertebra saraf spinal lumbal
atas. Karena dekatnya struktur viseral dan vaskuler penting, hambatan saraf
paravertebral lumbosakral membutuhkan perhatian khusus. Hambatan saraf tibialis
dapat mengurangi postur pergelangan kaki eguinovarus berat atau jari kaki dengan
posisi mencakar yang nyeri. Hambatan saraf peroneus dapat secara signifikan
mengurangi volume residual setelah buang air karena spingter uretra eksterna sangat
spastik.
Karena kedua serabut saraf, sensorik dan motorik, rusak, hambatan saraf
sensorimotorik campuran dengan fenol berhubungan dengan rasa terbakar dan tidak
nyaman. Disestesia, biasanya berlangsung satu hingga tiga minggu, telah dilaporkan
pada kurang lebih 10% subyek. Meskipun biasanya ringan, pasien harus diberitahu
mengenai hal ini sebelum hambatan dilakukan. Disestesia persisten yang berat dapat
diterapi dengan antidepresan trisiklik, karbamazepin, steroid oral, stimulasi saraf
transkutaneus, atau pengulangan hambatan fenol. Disestesia tidak muncul saat saraf
motorik atau cabang diinjeksi. Kelemahan yang tidak diinginkan mungkin komplikasi
akut hambatan fenol, namun sering pulih pada jam-jam atau hari-hari pertama setelah
hambatan saraf. Diperlukan perhatian dalam merencanakan hambatan fenol, karena
beberapa pasien memanfaatkan hipertonianya untuk penggunaan fungsional. Over
dosis fenol dapat menimbulkan konvulsi, depresi sistem saraf pusat, dan kolaps
kardiovaskuler. Meskipun demikian, dosis umum (misalnya, 20 mL fenol 5%) ada di
bawah kisaran letal fenol (> 8,5 g). Trombosis vena merupakan suatu komplikasi yang
jarang dari injeksi fenol untuk neurolisis kimiawi.
Injeksi Toksin Botulinum. Toksin botulinum telah digunakan untuk
menghilangkan spastisitas dan telah diuji pada percobaan klinis prospektif yang
melibatkan pasien dengan multiple sclerosis, cerebral palsy, cedera kepala, cedera
medula spinalis, dan stroke.49 Toksin botulinum pada awalnya dikembangkan untuk

38
pemakaian klinis oleh oftalmologis untuk mengobati kelainan-kelainan seperti
blefarospasme, dan strabismus. Pemakaian toksin botulinum meluas untuk terapi
kelainan gerakan seperti torticollis serta distonis fokal dan yang terbaru untuk pasien
dengan hipertonia spastik.6
Clostridium botulinum menghasilkan enam toksin yang berbeda secara
serologi ditandai A, B, C, D, E, F, dan G. Sediaan toksin botulinum A yang tersedia
secara komersial termasuk BOTOX (Allergan), yang dipasarkan di seluruh dunia, dan
Dysport (Speywood), yang dipasarkan di Eropa namun belum tersedia di Amerika
Serikat. Toksin botulinum bekerja pada neuromuscular junction dengan menghambat
pelepasan asetilkolin.6 BTX-A dimasukkan dalam ujung akson dengan endoksitosis
dan kemudian diaktifasi sepenuhnya oleh reduksi disulfid saat dalam sel. Toksin
mencapai protein kunci di permukaan membran dalam yang menghambat pelepasan
neurotransmiter, menyebabkan atrofi denervasi yang dapat pulih. Pertumbuhan baru
kolateral dari akson yang berdekatan membatasi efek klinis BTX-A menjadi 2 sampai
6 bulan. Luasnya denervasi terutama ditentukan oleh dosis dan volume BTX-A yang
digunakan, juga jarak dengan pita motor end-plate.
BTX-A tersedia dalam vial 100 (BOTOX) atau 500 (Dysport) unit (U) “tikus”,
dimana unit tersebut adalah jumlah obat yang akan mematikan 50% binatang pada
model tikus tertentu.6 Beberapa bukti menunjukkan bahwa BOTOX kurang lebih 3
sampai 5 kali lebih kuat per unit dibanding Dysport. Karena dosis parenteral letal
pada manusia tidak diketahui, diperkirakan sebesar 3000 U. Dosis yang disarankan
maksimum tiap sesi terapi 400 U. Antitoksin tersedia untuk mengobati overdosis yang
kebetulan.
Peningkatan bukti menunjukkan bahwa pasien tertentu, sebesar 3%
mengembangkan antibodi penetralisir yang signifikan pada terapi lama.
Imunoresistensi ini, dan teknik yang kurang optimal, merupakan dua alasan penting
mengapa beberapa pasien resisten terhadap terapi. Pemeriksaan antibodi yang ada
dapat menurunkan nilai kejadian sesugguhnya dari imunoresisten signifikan, namun
strategi tertentu dapat digunakan untuk mengurangi masalah ini. (1) Dosis efektif
minimal harus dimanfaatkan; (2) sesi terapi harus terpisah dengan periode 3 bulan;
dan (3) injeksi “booster” harus dihindari. Pasien yang mengalami resistensi dapat
memperoleh manfaat dari injeksi dengan serotipe toksin botulinum lain. Efek samping
yang dilaporkan meliputi kelemahan yang tidak diinginkan, juga keletihan sementara,
mual, dan nyeri kepala. Efek samping yang jarang termasuk serangan batu kemih,

39
pleksopati brachial yang dimediasi imunologis, dan inkontinensia uri. Pemberian
dikontraindikasikan pada wanita hamil atau menyusui, dan pasien dengan penyakit
neuromuskuler.
Seperti pada kasus injeksi fenol, stimulasi elektrik dan pemeriksaan
elektomiografi dapat membantu menentukan tempat injeksi yang optimal. Lokalisasi
end point motorik, meskipun sulit, namun secara teoritis diusahakan menempatkan
jarum di dekat pita motor end-plate. Kemungkinan terbesar mencapai end point
motorik dalam jumlah yang cukup untuk secara signifikan mengurangi kerja otot yang
muncul pada otot yang lebih kecil atau pada populasi pediatik.
Dosis efektif per otot bervariasi luas dan terus meningkat – suatu
pertimbangan yang serius berkenaan dengan mahalnya biaya obat ini. Percobaan pada
multiple sclerosis menunjukkan perbaikan signifikan saat 400 U BTX-A diinjeksikan
pada adduktor tungkai atas yang spastik. Pemakaian BTX-A pada ekstremitas superior
yang hemiplegi menunjukkan perbaikan signifikan skor Ashworth dengan injeksi 75
hingga 300 U pada fleksor siku dan pergelangan tangan. Peningkatan yang sama
diperlihatkan pada ekstremitas inferior dengan dosis 40 hingga 800 U, tergantung
ukuran otot yang diinjeksi. Injeksi BTX-A mengurangi inversi kaki pada kaki
equinovarus spastik saja,10 atau pada gabungan dengan pergelangan kaki yang
berbunyi.46 Injeksi 20 hingga 80 U BTX menurunkan tekanan uretra dan sisa setelah
berkemih pada pasien SCI.
Injeksi 1 hingga 4 U/kg BTX-A pada gastrocnemius medialis dan lateralis
pada anak dengan cerebral palsy menyebabkan perbaikan signifikan cara jalan. Injeksi
juga menghilangkan spastisitas pada adduktor yang mengalami scissoring adductors
dan fleksor lutut yang overaktif. Pasien cerebral palsy “ideal” mengalami hipertonia
yang (1) mempengaruhi fungsi, (2) diperkirakan berkembang menjadi kontraktur
terfiksir, dan (3) melibatkan hanya sejumlah kecil otot. Dosis bervariasi dari 1 hingga
2 U/kg per kunjungan hingga 3 sampai 6 U/kg per kunjungan, masing-masing untuk
otot kecil dan besar. Peran masing-masing BTX-A dibanding baclofen intratekal pada
perbaikan spastisitas pada anak cerebral palsy masih belum jelas.
Besarnya dosis yang direkomendasikan “Kelompok Penelitian Spastisitas”
tercantum pada Tabel 29-7. Untuk sebagian besar otot, konsentrasi 5 hingga 10 U/0,1
mL tepat untuk mencegah penyebaran sebelum area target. Konsentrasi yang lebih
tinggi sesuai untuk otot yang kecil. Efek terapi diperlihatkan setelah satu hingga tiga
hari, dan maksimal kurang lebih dua minngu.

40
Blok spinal. Neurolisis bahan kimia intratekal merupakan suatu metode lain
dari penurunan hipertonia spastik. Neurolisis radiks spinal dapat dilakukan dengan
pemberian spinal fenol 5% hingga 7% dalam air atau alkohol absolut, namun kontrol
pada serabut yang dipengaruhi lebih baik. Pasien harus dengan hati-hati
diimobilisasikan untuk memungkinkan penentuan lapisan yang tepat dari bahan
neurolitik, dengan demikian kerusakan dibatasi pada radiks spinal yang diinginkan.
Komplikasi prosedur ini meliputi inkontinesia urin dan alvi , paresis, parestesi, dan
juga kematian. Angka komplikasi bervariasi dari 1% hingga 10% pada variasi seri
pasien. Adanya komplikasi potensial yang ditimbulkan dan pilihan yang tersedia,
neurolisis intratekal sebaiknya jarang dilakukan.

Intervensi Pembedahan
Prosedur Ortopedik. Pembedahan ortopedik dapat menjadi suatu tambahan
yang berguna dalam penatalaksanaan pasien tertentu. Prosedur pembedahan umumnya
dilakukan pada pasien dewasa yang sukar disembuhkan dengan langkah yang lebih
konservatif termasuk dalam gerakan dan/ atau casting, namun juga ditemukan
pemakaian secara luas pada populasi cerebral palsy pediatrik (Tabel 29-8). Beberapa
pertimbangan harus disampaikan sebelum pembedahan adalah pertimbangan:
(1) Kapan terjadi gangguan sistem saraf pusat? Hal ini penting untuk
menjadwalkan intervensi pembedahan hanya jika perubahan plastik
pemulihan lebih atau agak stabil. Hal ini berlangsung enam bulan setelah
stroke, tetapi 12 sampai 24 bulan setelah kejadian cedera kepala.
(2) Apakah spastik telah memberikan perubahan dinamik atau statik secara
alami? Dinamik menunjukkan disfungsi yang tampak dalam pergerakan,
seperti scissoring dari ekstremitas bawah selama ambulasi pada individu
yang menderita cerebral palsy. Bentuk statik merupakan kontraktur yang
menetap, timbul saat istirahat maupun pergerakan, seperti gerakan fleksi
tangan pada hemiplegi ekstremitas atas. Perbedaan ini didasarkan atas
pemeriksaan pasien, dan sering ditambahkan dengan sebuah diagnostic
block dengan lidocaine atau obat anestesi yang lainnya. Seperti pada
contoh, melakukan blok nervus medianus pada siku sangat penting dalam
menunjukkan dinamik atau statik dari fleksi jari dan pergelangan tangan
pada pasien hemiplegi.

41
TABEL 29-7 Penggunaan Dosis Toxin A Botulinum pada Orang Dewasa
Dosis Awal Jumlah
Rata- BOTOX Dosis Daerah
Pola Klinis Potensial Otot yang Terlibat rata/Unit Unit/kunjungan yang di
Injeksi
Ekstremitas Atas
Adduksi/rotasi bahu ke dalam  Pectoralis complex 100 75 – 150 4
Latissimus dorsi 100 50 – 150 4
Teres major 50 25 – 75 1
Subscapularis 50 25 – 75 1
Fleksi siku  Brachioradialis 50 25 – 75 2
Biceps 100 50 – 200 4
Brachialis 50 25 – 75 2
Pronasi lengan bawah  Pronator quadratus 25 10 – 50 1

Pronator teres 40 25 – 75 1
Fleksi pergelangan tangan  Flexor carpi radialis 50 25 – 100 2

Flexor carpi ulnaris 40 10 – 50 2


Ibu jari tangan 15 5 – 25 1
 Flexor pollicis longus
10 5 – 25 1
Adductor pollicis
10 5 – 25 1
Opponens
Mengepalkan tinju 50 25 – 75 4
 flexor digitorum superficialis
15 25 – 100 2
flexor digitorum profundus
Intrinsic plus hand 15 10 – 50/tangan 3
 lumbricals dan interossei
Ekstremitas Bawah
Fleksi panggul  Iliacus 100 50 – 150 2
Psoas 100 50 – 200 2
Rectus femoris 100 75 – 200 3
Fleksi lutut  Medial hamstring 100 50 – 150 3
Gastrocnemius (sebagai fleksor 150 50 – 150 4
lutut)
Lateral hamstring 100 100 – 200 3
Aduksi paha  Adductor brevis/longus/magnus 200/tungkai 75 – 300 6/tungkai
Kekakuan (rentangan) lutut  Mekanisme quadriceps 100 50 – 200 4
Kaki equinovarus 100 50 – 200 4
 Gastrocnemius medial/lateral
75 50 – 100 2
Soleus
50 50 – 200 2
Tibialis posterior
75 50 – 150 3
Tibilais anterior
75 50 – 100 4
Flexor digitorum longus/brevis
50 25 – 75 2
Flexor hallucis longus
Striatal toe 50 20 - 100 2
 Extensor hallucis longus
Leher  Sternocleidomastoideus 40 15 – 75 2
Scalenus complex 30 15 – 50 3
Splenius capitis 60 50 – 150 3
Semispinalis capitis 60 50 – 150 3
Longissimus capitis 60 50 – 150 3
Trapezius 60 50 – 150 3
Levator scapulae 80 25 – 100 3

Dosis harus dikurangi 50% jika kedua otot SCM di injeksi.

42
Dosis total maksimum per kunjungan = 400 U
Dosis maksimum pada lokasi yang di injeksi = 50 U
Volume maksimum per lokasi = p.5 ml, kecuali pada keadaan tertentu
Reinjeksi > 3 bulan
(Dari Brin MF, Kelompok Studi Spastisitas: Dosis, pemberian dan algoritma pengobatan pada
penggunaan toxin botulinum A pada orang dewasa – dengan onset spastisitas. Saraf Otot 1997; 20
(suppl 6):S208-S220. Dicetak ulang atas ijin John Wiley & Sons, Inc.)

(3) Apa yang dicapai dari pembedahan ? Apakah ini untuk meningkatkan
fungsinya (seperti membuka dan menutup tangan atau gait ), atau
peningkatan lingkup gerak sendi untuk memfasilitasi perawatan diri atau
nursing care? Seperti pada contoh, hip adduction dapat dihilangkan
dengan mengurangi scissoring selama gait pada anak cerebral palsy, atau
untuk memfasilitasi kebersihan perineal pada pasien cedera kepala.
(4) Apakah yang diperiksa pada fungsi sensorik dan motorik ekstremitas yang
tersisa? Input sensorik penting pada fungsi yang bermanfaat pada
ekstremitas superior, dan dapat dinilai dengan berbagai cara termasuk
diskriminasi dua titik. Fungsi motorik yang tersisa pada ekstremitas
superior dapat dinilai dengan skala klinis, suatu komponen vital bagaimana
tingkat kestabilitas dari bahu dan tubuh yang tersisa. Tangan dan
pergelangan tangan yang berfungsi kurang berguna kecuali seseorang
dapat menempatkannya sesuai kebutuhan, memungkinkan interaksi dengan
dirinya sendiri dan lingkungan. Gait analisis dengan polielektromiografi
sering digunakan sebagai suatu tambahan dalam merencanakan prosedur
pada ekstremitas inferior. Ada kalanya ketika intervensi dapat secara
rasional dilakukan hanya setelah analisis muscle firing selama gait
berulang.(lihat, sebagai contoh, pembahasan gait pada lutut kaku di bawah
ini)

TABEL 29-8. Protokol Penanganan pada Cerebral Palsy Spastik

43
1. Pembedahan untuk meningkatkan gait pada anak CP harus menunggu maturasi
pada gaitnya (kira-kira usia 6-10 tahun). Untuk sementara dengan penggunaan
ortotik yang sesuai (misalnya, abduction splint, ankle foot orthosis), casting,
fisioterapi, positioning (misalnya lying prone), dan program perawatan di rumah.
2. Mempertimbangkan pilihan rhizotomy, injeksi toxin botulinum, dan baclofen
intratekal sebelum dimulai pembedahan
3. Melakukan analisis gait untuk membantu rencana prosedur bedah pada gait yang
matur. Pertimbangan relatif untuk pembedahan dan ortotik.
4. Berusaha untuk menghindari tahapan pada prosedur bedah. Jika perlu tahapan
prosedur kedua dihindari untuk mencegah lamanya periode penyembuhan.
5. Meminimalkan post-surgical casting dan mempercepat mobilisasi pasien.
6. Meneruskan fisioterapi selama melanjutkan gait demi perbaikannya (kurang lebih
12 bulan)
7. Meneruskan night splinting, mengatur tonus, dan program perawatan dirumah
untuk mencegah kontraktur.
Disadur dari Russman BS, Titon A, Gormley ME : Cerebral Palsy: A rational approach to a treatment
protocol, and the role of botulinum toxin in treatment. Muscle Nerve 1997; 20 (suppl 6): S 181 – S193.
Dicetak ulang menurut ijin John Wiley & Sons, Inc

(5) Tipe prosedur apa yang paling baik memperbaiki gaya abnormal yang
berkerja pada otot dan sendi? Gaya yang menyebabkan deformitas dapat
dikurangi dengan tenotomi atau neurotomi, dipindahkan dengan transfer
tendo, dihilangkan dengan prosedur perubahan panjang tendo, atau
distabilkan dengan suatu prosedur gabungan karena prosedur jaringan
lunak saja tidak adekuat (misalnya, triple artrodesis kaki)
(6) Adakah komplikasi sebelumnya yang mungkin mempengaruhi
pembedahan? X foto preoperatif, dan pemeriksaan tulang berguna dalam
menilai fraktur, dislokasi, artritis, dan osifikasi heterotropik dari pasien.
Perlu hati-hati dalam melakukan pemeriksaan fisik untuk menilai apakah
kelemahan dikarenakan trauma neuron motorik, dan bukan karena trauma
neuron motorik yang tidak ditemukan (misalnya, pleksopati brakial atau
trauma saraf perifer yang tidak ditemukan).

44
Pembedahan ortopedi ekstremitas superior (Tabel 29-9) bermanfaat pada
pasien spastik tertentu. Postur spastik dari bahu yang hemiplegi (adduksi dan rotasi
internal) dapat diterapi dengan pembebasan tendo pectoralis major dan subscapularis,
diikuti suatu program sling dan peregangan pasif. Subluksasi inferior merupakan
suatu masalah yang sering pada bahu paresis. Ketika sling mengurangi gejala/ fungsi
yang tidak adekuat, tendo biceps dapat berputar pada processus coracoideus bahu
dengan sling statis.

TABEL 29-9 Intervensi Orthopedic pada Ekstremitas Atas yang Spastik


Bahu
Adduksi/rotasi internal bahu : pectoralis mayor /pembebasan tendon subscapularis
Nyeri subluksasi bahu : biceps tendon sling

Siku
Spastisitas fleksor : step-cut lengthening dari brachioradialis, biceps dan brachialis
Spastisitas ekstensor : V-Y lengthening triceps

Pergelangan tangan dan tangan


Spastisitas fleksor:
 Fractional lengthening dari FDS / FDP
 Step-cut lengthening dari FPL
 Overlengthening dari FCR / FCU
 Flexor-pronator origin release
 Sublimis to profundus transfer

Defomitas ibu jari – palmar : pembebasan thenar dan adduktor


FDS, flexor digitorum superficialis; FDP, flexor digitorum profundus; FPL, flexor pollicis longus;
FCR, flexor carpi radialis; FCU, flexor carpi ulnaris.

Deformitas fleksi dinamis dari siku dapat diterapi dengan perpanjangan yang
bertahap dari bisep dan memperpanjang muskulotendineus fraksional brachialis.
Pasien yang jarang dengan spastisitas triceps mendapat keuntungan dari perubahan
panjang V-Y triceps (V-Y mengacu pada bentuk ujung proksimal dan distal tendo

45
setelah incisi berbentuk V). Kadang, karena perubahan panjang tidak adekuat,
pembebasan yang lebih luas diperlukan.
Karena spastisitas fleksor tidak terlalu berat, pasien dengan pembukaan tangan
yang tidak adekuat mendapat manfaat dari perpanjangan fraksional (Gb. 29-8) flexor
digitorum sublimis dan tendo profundus dikombinasikan dengan step-cut lengthening
flexor policis longus, dan pemanjangan berlebih flexor carpi radialis dan flexor
ulnaris. Pasien dilakukan splint pada posisi anatomis, dengan lingkup gerak sendi
dimulai pada hari ketiga post operasi. Perpanjangan berlebihan fleksor jari dapat
menyebabkan kehilangan kekuatan menggenggam. Suatu prosedur pilihan untuk
pasien dengan kontrol fleksor sadar namun kekuatannya berlebihan adalah dilakukan
pembebasan penyebab fleksor pronator. Untuk tangan spastik nonfungsional, transfer
tendo superfisial ke profundal dari fleksor jari tangan memberikan perubahan panjang
tendo fleksor yang cukup dengan mempertahankan perlekatan pasif untuk mencegah
deformitas hiperekstensi.

GAMBAR 29-8. Ketika spastisitas ekstremitas fleksor atas pada pergelangan tangan dan jari-jarinya
tidak terlalu berat, pasien yang tidak dapat membuka secara adekuat tangannya bisa mendapatkan
manfaat dari fractional lengthening pada flexor musculature. (Disadur sesuai ijin dari Keenan MA,
Kozin S, Berlet A: Manual of Orthopaedic Surgery for Spasticity. New York, Raven Press, 1993.)

Prosedur untuk deformitas tangan termasuk pembebasan otot adductor thenar


dan ibu jari untuk deformitas ibu jari tangan, pelepasan instrinsik tangan, dan
arthrodesis pergelangan tangan. Meskipun prosedur-prosedur ini memperbaiki secara

46
kosmetis, perbaikan fungsi setelah prosedur ini pada hemiplegi tidak nyata, karena
pasien sering melakukan kebanyakan aktifitas dengan ekstremitas superior yang tidak
terkena.
Ada lima skenario klinis dinamis pada ekstremitas inferior dimana
pembedahan dapat dipertimbangkan (Tabel 29-10): (1) ekstremitas yang scissoring (2)
crouched gait, (3) stiff-knee gait, (4) kaki equinovarus, dan (5) kaki valgus spastik.

(1) Ekstremitas yang scissoring sering diterapi dengan neurektomi obturator,


yang memperbaiki dasar pendukung saat berjalan. Jika komponen statis
mempersulit keadaan, pembebasan hip adductor mungkin juga diperlukan.
Tidak diperlukan imobilisasi atau abduksi splinting setelah pembedahan,
dan gait training lebih awal dengan weight bearing yang sesuai dengan
toleransi.
(2) Crouched gait, disebabkan hip flexor spastik dengan kompensasi fleksi
lutut dan hiperlordosis lumbal. Menimbulkan gait dengan energi yang
sangat tidak efisien. Tendo illiopsoas dipindahkan dari trochanter minor
dengan mempertahankan insersi kapsulernya. Hal ini memungkinkan
illiopsoas dimundurkan ke proksimal dan menghilangkan tarikannya.
Tidak dibutuhkan immobilisasi post operasi, dan lingkup gerak sendi dan
gait training (weight bearing sesuai toleransi) dimulai sesegera. Perubahan
panjang hamstring distal juga dapat memperbaiki crouched gait, meskipun
demikian, kehati-hatian diperlukan untuk mengektensikan deformitas lutut
yang terfleksikan yang dilakukan secara bertahap, karena kekhawatiran
akan peregangan berlebih. Post operasi, pasien diimobilisasi dengan
casting sepanjang tungkai, dan casting dapat diubah tiap minggu untuk
meningkatkan ekstensi lebih jauh. Transfer dan gait training dapat
dilakukan saat casting digunakan.
(3) Stiff-knee gait yang diakibatkan persiapan yang tidak sesuai dari otot
quadriceps, menghambat fleksi lutut yang adekuat selama siklus gait. Gait
analisis dengan EMG dimana variasi caput quadriceps penting sehingga
penyebab kelompok otot dapat secara selektif dibebaskan (yang sering
rectus femoris dan/ atau vastus intermedius). Penatalaksanaan post operatif
meliputi imobilisasi lutut dengan splint selama lima hari diikuti latihan

47
jalan dengan beban sesuai toleransi. Lingkup gerak sendi dan penguatan
dimulai kurang lebih lima hari post operasi.
(4) Kaki equinovarus merupakan deformitas yang paling sering muncul pada
ekstremitas inferior, dengan pergelangan kaki yang fleksi dan kaki yang
supinasi sering disertai jari kaki yang terlalu melengkung. Prosedur
SPLATT (Split Anterior Tibial Transfer) merupakan suatu prosedur untuk
membantu mengurangi supinasi berlebihan sendi subtalar akibat otot
tibialis anterior spastik (Gb. 29-9). Tendo tibialis anterior terpisah
mengikuti panjangnya, dan ujung distal bagian lateral tembus ke tulang
cuneiformis ketiga dan cuboid. Hal ini menciptakan gaya eversi yang
sedikit lebih besar dari tarikan varus pada bagian medial yang masih
tersisa. Secara umum dilakukan bersama dengan perubahan panjang tendo
Achilles (Gb. 29-10), sering menggunakan teknik hemiseksi tripel Hoke.
Kadang, tibialis posterior merupakan otot yang menyebabkan kaki
supinasi. Jari yang seperti mencakar atau melengkung sering diterapi
serentak dengan pembebasan fleksor jari kaki intrinsik dan ekstrinsik.
Penatalaksanaan postoperatif mencakup short leg walking cast selama
enam minggu diikuti molded ankle foot orthosis pada tambahan selama 4
½ bulan. SPLATT, perpanjangan tendo achilles, dan pembebasan fleksor
jari kaki merupakan beberapa prosedur yang paling berhasil dan
menguntungkan untuk pasien hemiplegi.
(5) Kaki valgus disebabkan kerja berlebihan otot peroneus longus. Muncul
bersama dengan deformitas equinovarus saat swing fase. Valgus spastik
dikoreksi dengan membebaskan peroneus longus pada dorsum kaki ke
tulang navicular. Penatalaksanaan postoperatif menyertakan short leg
walking cast pada posisi netral selama enam minggu, dengan ambulasi
sesegera mungkin dan weight bearing yang bisa ditoleransi. AFO sebagai
tambahan dipasang selama 4 ½ bulan.

48
TABEL 29-10 Intervensi Orthopedic pada Spastik Ekstremitas Bawah
Deformitas Fungsional
Ekstremitas scissoring : obductor neurectomy
Crouched gait : reseksi iliopsoas, pemanjangan hamstring
Stiff knee gait : pembebasan quadriceps selektif pada pasien tertentu
Equinovarus foot : pemanjangan tendo-Achilles, transfer tendon tibialis anterior
secara terpisah, pembebasan extrinsic/intrinsic toe flexors
Spastic valgus foot : pembebasan dan transfer dari peroneus longus

Deformitas statis
Kontraktur Hip adduction : pembebasan adductor longus, gracilis
Kontraktur Hip flexion : pembebasan sartorius, rectus femoralis tensor fascia lata,
iliopsoas, pectineus
Ekstensi hip : pembebasan proximal hamstring
Kontraktur knee fexion : pembebasan distal hamstring
Knee extension : V-Y plasty untuk pemanjangan quadriceps
Foot : untuk deformitas fungsional, pilihan lain termasuk pembebasan plantar fascia
dan triple arthrodesis

Kontraktur statis pada ekstremitas inferior diterapi dengan pembebasan dan


pemanjangan otot. Pada pasien dengan suatu kontraksi adduktor statis dilakukan
pembebasan hip adductor (adductor longus, gracillis) diikuti empat minggu abduksi
buatan dengan casting atau suatu splint bantal abduksi. Kontraktur hip flexion dapat
dikoreksi dengan pembebasan sartorius, rectus femoris, tensor fascia lata, iliopsoas,
dan pectineus. Perawatan luka penting khususnya pada luka di sekitar perineum.
Pasien diposisikan telungkup tiga kali sehari dengan waktu terbatas pada posisi
duduk. Kontraktur ekstensi pinggul (kadang muncul pada pasien dengan posisi
desebrasi yang berkepanjangan) dapat diterapi dengan membebaskan hamstring
proksimal, diikuti melakukan lingkup gerak sendi secara hati-hati pada panggul dan
sewaktu duduk.

49
GAMBAR 29-9. Prosedur SPLATT membantu mengurangi gerakan supinasi berlebihan pada sendi
subtalar yang berhubungan dengan spastik otot tibialis anterior. Tendon tibialis anterior terpisah sesuai
dengan panjangnya, dan bagian ujung distal separuh dari lateralnya masuk kedalam kuboid dan
terkadang dalam tulang ketiga dari cuneiforme. Ini menimbulkan tenaga eversi agak lebih besar
dibandingkan dengan tarikan varus pada bagian medialnya. (Disadur sesuai ijin dari Keenan MA,
Kozin S, Berlet A: Manual of Orthopaedic Surgery for Spasticity. New York, Raven Press, 1993.)

Kontraktur fleksi lutut diperbaiki dengan pembebasan hamstring distal.


Casting lutut postoperatif dan semakin diekstensikan dengan mengganti casting tiap
minggu. Kontraktur ekstensi lutut diterapi dengan V-Y plasty tendo quadriceps, diikuti
casting pada posisi fleksi selama tiga minggu. Terapi dimulai saat casting dilepas.
Postur equinovarus terfiksasi dari kaki dengan jari kaki yang seperti mencakar dapat
diterapi seperti di atas. Sebagai tambahan, mungkin perlu melakukan pembebasan
fascia plantar dan/ atau arthroidesis pada pergelangan kaki.

50
GAMBAR 29-10. Pemanjangan tendo Achilles sering dilakukan bersama-sama dengan dilakukannya
prosedur SPLATT dengan menggunakan the Hoke triple hemisection technique. (Disadur sesuai ijin
dari Keenan MA, Kozin S, Berlet A: Manual of Orthopaedic Surgery for Spasticity. New York, Raven
Press, 1993.)

Prosedur Bedah Saraf. Rhizotomi, pada gangguan radiks spinal, dapat


dilakukan untuk memperbaiki spastisitas pada kasus yang berat. Rhizotomi dapat
dikategorikan menjadi terbuka (memerlukan laminektomi) atau tertutup, komplit atau
selektif, dan anterior atau posterior. Rhizotomi anterior berhubungan dengan
denervasi berat tipe atropi dari semua otot yang diinervasi, dan dapat menempatkan
pasien pada peningkatan resiko kerusakan kulit. Pekerjaan baru dalam
penatalaksanaan bedah spastisitas terfokus terutama pada permasalahan rhizotomi
posterior.
Pemakaian rhizotomi frekwensi radio menggunakan gelombang frekwensi
radio untuk memanaskan sebuah jarum yang membakar radiks dorsalis tunggal yang
lokasinya ditentukan dengan fluoroskopi. Cara ini dapat menyebabkan hilangnya
kemampuan sensorik yang signifikan, jadi paling baik dilakukan pada pasien dengan
kehilangan sensorik komplit atau mereka yang begitu terganggu bahwa mereka
tergantung pada orang lain untuk kembali dan memonitor kulit mereka. Karena radiks
servikal berdekatan dengan arteri vertebralis, rhizotomi frekwensi radio tidak

51
dilakukan pada area servikal. Penurunan tonus otot biasanya berulang, namun dapat
bertahan bertahun-tahun.
Rhizotomi dorsal selektif (SDR), ablasi bedah saraf suatu bagian tertentu
radiks dorsalis, paling sering digunakan pada anak-anak dengan cerebral palsy.
Sementara rhizotomi selektif paling sering dilakukan pada radiks lumbosakral,
keberhasilan juga dilaporkan untuk terapi spastisitas dan nyeri pada ekstremitas
superior hemiplegi. Istilah “selektif” mengacu pada pembagian radiks segmental atau
berkas tertentu, umumnya dipilih karena karakter neurofisiologisnya abnormal. Obyek
yang sesuai untuk prosedur ini adalah anak-anak dengan cerebral palsy spastik (bukan
athetoid, ataksik, distonik, rigid) dengan kontrol motorik yang baik dan tingkat
tertentu kemampuan gerak yang fungsinya secara primer terbatas akibat hipertonia
spastik (Tabel 29-11). Meskipun demikian, bentuk lain dari spastisitas juga diterapi
dengan SDR.

TABEL 29-11 Kriteria Pilihan yang Umum pada Selective Dorsal Rhizotomy
Spastisitas murni (terbatas dystonia/athetosis)
Keterbatasan fungsi utama oleh adanya spastisitas
Tidak dipengaruhinya secara signifikan oleh reflek primitif/pola pergerakan
Kemungkinan ada kelemahan yang mendasarinya
Kontrol motorik yang selektif
Beberapa derajat locomotion spontan kearah depan
Keseimbangan trunkus adekuat/respon tidak benar
Diplegia spastik
Sejarah prematur
Usia 3-8 tahun
Kontraktur sendi yang minimal atau deformitas pada tulang belakang
Kemampuan kognitif adekuat terhadap respon pengobatan
Tidak ada motivasi yang kuat/masalah-masalah kebiasaan
Keluarga yang mendukung dan interaktif
Disadur dari MacDonald CM : Selective Dorsal Rhizotomy. In Katz RT (ed) : Spasticity. State of the
Art Reviews in Physical Medicine and Rehabilitation, vol 8, no 3. Philadelphia, Hanley & Belfus, 1994

52
Sisi dorsal sacus thecalis terkena laminektomi, meskipun pendekatan bedah
pada spina berbeda. Radiks dorsalis distimulasi dengan suatu stimulator bipolar
berisolasi, dan respon direkam dengan polielekromiogram (permukaan atau
intramuskuler) dari otot ipsilateral dan kontralateral miotomi. Penilaian
neurofisiologis digunakan untuk menyingkirkan radiks aferen yang menyebabkan
respon “spastik” pada otot yang tidak digunakan. Meskipun demikian kriteria
elektrofisiologis untuk menentukan radiks yang “abnormal” masih diperdebatkan.
Pemeriksa menstimulasi bagian radiks dengan frekwensi dari 1 hingga 50 Hz,
mengamati “penyebaran” respon yang dibangkitkan pada berbagai kelompok otot.
Berbagai parameter dari kurva pemulihan H refleks– H refleks dan perbandingan H
refleks awal dan lanjutan – juga digunakan. Masih belum jelas apakah pola
neurofisiologis dari bagian radiks membuat perbedaan yang signifikan pada keluaran
jika dibandingkan dengan pemilihan radiks yang lebih acak. Bagian dari masalah
tersebut mungkin berhubungan kurangnya standarisasi stimulasi dan teknik
pencatatan.42
Perbandingan radiks dorsal yang dipotong bervariasi dari 25% hingga 80%
pada laporan-laporan yang berbeda. Pemotongan komplit semua radiks kecil dorsal
pada tingkat dimana dilakukan umumnya dihindari untuk mempertahankan fungsi
sensorik. L5 dan S1 merupakan radiks yang paling sering abnormal. Sebagian besar
laporan hasil didasarkan pada Skala Ashworth. Meskipun sebagian besar seri
pembedahan memberikan hasil yang diinginkan, masih ada perdebatan mengenai
pertimbangan apakah SDR memberikan suatu kontribusi yang signifikan pada rentang
penurunan kinerja motorik fungsional yang muncul pada cerebral palsy. Perbaikan
subyektif telah diperlihatkan pada lingkup gerak sendi dan cara berjalan, meskipun
kesulitan kontrol motorik masih berlangsung. Terapi intensif agaknya diperlukan
untuk memaksimalkan hasil fungsional jangka panjang. Efek paska pembedahan yang
tak diinginkan yang paling umum termasuk hipotonia (biasanya tidak lama) dan
kelemahan. Perubahan sensorik, disfungsi berkemih, dan subluksasi/dislokasi panggul
juga telah dilaporkan. Juga dipertimbangkan apakah suatu laminektomi pada seorang
anak muda dapat mempengaruhi deformitas spinal di kemudian hari. Sebagian besar
setuju bahwa ada kebutuhan yang besar akan suatu percobaan klinis acak jangka
panjang evaluasi SDR.33 Follow up selama sepuluh tahun pada satu kelompok
menunjukkan bahwa perbaikan cara berjalan yang lama dapat diperoleh.

53
Rute bedah mikro dorsalis yang mengenai kerusakan zona selektif telah
dilakukan untuk terapi spastisitas dan nyeri pada ekstremitas inferior. Meskipun
demikian, tidak jelas apakah manfaat yang ditawarkan prosedur ini lebih besar dari
rhizotomi posterior selektif.
Mielotomi, pemotongan tractus pada medula spinalis, telah disarankan sebagai
suatu modalitas terapi pada sebagian besar kasus hipertonia spastik berat. Bischoff
mengajukan mielotomi untuk memotong arkus reflek pada medula yang dihantarkan
melalui funiculus lateralis pada sisi yang satu, dilanjutkan melalui pertengahan
medula melintas melalui grey matter pada sisi lain. Hanya dihasilkan analgesia
segmental dengan prosedur ini, dan semua tractus longitudinal kecuali traktus
piramidalis tetap intak. Sebuah modifikasi dari prosedur ini adalah mielotomi
longitudinal posterior, yang sama-sama memotong melalui grey matter pada tiap sisi
menggunakan mielotomi bentuk T lewat sulkus median. Perbaikan ini
mempertahankan traktus white matter funikulus lateralis bilateral. Hilangnya fungsi
buang air besar dan buang air kecil harus dipertimbangkan sebagai komplikasi yang
mungkin terjadi akibat mielotomi. Pemotongan atau eksisi bagian medula, kordotomy
dan kordektomi, menyebabkan kelemahan otot berat, sering kesulitan berkemih,
hilangnya fungsi ereksi, dan jarang dilakukan dalam praktek.

RINGKASAN DAN KESIMPULAN


Hipertonia spastik didefinisikan sebagai sebuah gangguan motorik yang
ditandai oleh karena terkait dengan kecepatan yang meningkat pada tonus reflek
regang (tonus otot) dengan gerakan-gerakan yang berlebihan pada tendon, hasil dari
hipereksitabilitas reflek regang, sebagai satu komponen dari sindrom upper motor
neuron. Tingginya tonus otot bisa dihasilkan dari perubahan intrinsik pada otot atau
adanya keadaan reflek yang terjadi secara bergantian. Peningkatan eksitabilitas
motorneuron dan/penambahan regangan – eksitasi sinap yang dibangkitkan dari motor
neuron yang merupakan mekanisme dimana reflek regang dapat ditingkatkan.
Dua parameter yang jelas bisa di rubah dalam reflek regang patologis di dalam
the “set point” atau angular threshold dari reflek regang, dan reflex gain, jumlah
tenaga yang dibutuhkan untuk memperluas gerakan ekstremitas pada proporsi untuk
meningkatkan sudut sendi. Pada studi sebelumnya dari hipertonia spastik bisa
dihalangi oleh kegagalan disosiasi penyampaian ambang reflek dan reflex gain. Hasil

54
penyelidikan baru-baru ini menunjukkan hipertonia spastik bisa diakibatkan oleh
penurunan ambang reflek regang tanpa peningkatan yang berarti reflex gain sebagai
hal yang dipercaya saat itu. Skala klinis yang bervariasi, paradigma biomekanik,
model pendulum, studi elektrofisiologis sudah digunakan untuk mengukur hipertonia
spastik. Metode biomekanikal rupanya berhubungan erat dengan keadaan klinis.
Hipertonia spastik adalah salah satu komponen sindrom upper motor neuron,
dimana ciri khas lainnya termasuk kehilangan kemampuan dexteritas, kelemahan,
mudah lelah, sebanding dengan fenomena reflek “release” yang bervariasi. Tampilan-
tampilan lain dari ciri khasnya sindrom upper motor neuron akan lebih tidak tampak
pada pasien daripada perubahan-perubahan yang terjadi pada tonus otot. Fungsi
impairment yang berhubungan dengan spastisitas harus dinilai dengan teliti sebelum
pertimbangan pengobatan diberikan. Terapi yang baik tergantung secara individual.
Pengobatan untuk perbaikan hipertonia spastik mempunyai 2 prinsip dasar :
(1) Menghindari stimulus yang dapat merangsang
(2) Memberikan latihan lingkup gerak sendi yang sering. Terapi latihan, dingin
atau topical anestesi bisa menurunkan aktifitas reflek pada waktu jangka
pendek untuk memfasilitasi fungsi motorik yang minimal. Teknik casting dan
splinting merupakan nilai penting dalam memperluas gerakan sendi yang
berkurang oleh hipertoni.

Baclofen, diazepam, dantrolene dan akhir-akhir ini, tiazinidine lebih banyak


digunakan sebagai agen farmakologi pada pengobatan hipertonia spastik. Baclofen
merupakan obat pilihan untuk tipe spastisitas medula spinalis, sedangkan sodium
dantrolene adalah agen yang secara langsung bekerja pada jaringan otot. Tiazinidine
memberikan tambahan yang signifikan untuk farmakologis pada bentuk spinal dan
supra spinal hipertonia spastik. Pemberian intratekal obat-obatan antispastik dengan
konsentrasi tinggi pada dekat tempat aksinya, untuk menghindari efek samping
sistemiknya. Bentuk pengobatan ini lebih berkembang belakangan ini pada
pengobatan hipertonia spastik.
Peripheral electrical stimulation sudah dibatasi penggunaannya dalam
mengurangi tonus dan memfasilitasi parese otot. Dorsal column stimulation lewat
elektroda didalam kolumna spinalis adalah sesuatu yang diberikan awalnya pada
pengobatan yang lebih maju, tetapi sudah ditunjukkan bahwa efektivitasnya minimal.
Fenol dan injeksi toxin botulinum memberikan nilai peralihan antara pengobatan

55
jangka pendek dan jangka panjang, dan menawarkan perbaikan pada hipertoni pada
grup otot yang dipilih.
Tenotomies dan transfer tendon menawarkan manfaat yang signifikan untuk
pertimbangan pasien. SPLATT prosedur – transfer bagian lateral dari tendon tibialis
anterior ke bagian lateral dari kaki – adalah satu yang banyak dalam bedah
rehabilitasi. Hamstring tenotomies, achiles tendon lenghthening, dan pelepasan long
toe flexor semua bisa dijadikan pilihan pada pasien hipertonia spastik.
Pembedahan neurectomies dapat membebaskan otot yang spastik pada grup
pasien tertentu. Obturator neurectomies dapat mencetuskan scissoring dari gait pada
pasien yang menderita cerebral palsy. Lesi pada radiks spinal dapat menurunkan
reflek hipertonik; selective rhizotomie lebih invasif, tetapi menawarkan banyak
keuntungan dalam mengontrol destruksi pada saraf. Sedangkan, selective dorsal
rhizotomies memberikan banyak antusias, terutama pada anak dengan cerebral palsy,
keberhasilannya memberikan gambaran yang jelas. Dapat juga menggunakan
rhizotomies dengan radiofrequency dengan bantuan fluoroscopic, tetapi hanya bisa
memberikan pengaruh yang bersifat sementara.

56

Anda mungkin juga menyukai