Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan adalah suatu keadaan bebas dari penyakit, baik penyakit fisik
maupun mental dan juga bebas dari kecacatan. Keadaan sehat bukanlah
merupakan keadaan statis, akan tetapi ,merupakan keadaan yang dinamis dan
dapat ditingkatkan sehingga manusia dapat melaksanakan aktivitas dalam
kehidupan secara optimal. Keadaan dinamis dari sehat tersebut dapat berubah
karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, psikis dan keadaan
lingkungan sosial individu. Tingkat kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja
yang cukup tinggi di ibukota dapat berdampak buruk bagi fisik maupun psikis
seseorang. Pada setiap jaringan tubuh yang mengalami suatu kecelakaan dapat
menimbulkan trauma. Gangguan trauma banyak penyebabnya, salah satu trauma
yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan bahkan kecacatan adalah “ spinal
cord injury”
”Spinal cord injury” adalah kerusakan medulla spinalis akibat trauma dan non
trauma yang menyebabkan terjadinya gangguan sensoris, motoris, vegetative
(bledder dan bowel), dan gangguan fungsi seksual. Kejadian Spinal cord injury
akibat oleh trauma biasanya lebih sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja yang akan menyebabkan fraktur pada vertebra sehingga
menyebabkan terjadinya kerusakan pada medulla spinalis. Pada non trauma
biasanya disebabkan karena adanya infeksi yang menyerang pada collumna
vertebralis sehingga merusak dapat merusak bagian dalam dari medulla spinalis.
Adapun peran fisioterapi dalam keadaan tersebut benar-benar harus intensif agar
dapat meminimalkan kecacatan dan mencegah terjadinya komplikasi. Untuk itu
fisioterapi selaku bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu
atau masyarakat yang berfungsi dalam hal memelihara, memulihkan dan
mengembalikan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan sangat berperan
dalam keadaan tersebut.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 1


Untuk megatasi masalah tersebut Fisioterapi berperan penting seperti yang
tercantum dalam KEPMENKES 1363 disebutkan bahwa fisioterapi adalah “suatu
bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok
untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh
sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual,
peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis), pelatihan
fungsi, komusikasi”
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam laporan kasus ini penulis mencoba
mengkaji mengenai “Penatalaksanaan fisioterapi pada gangguan gerak dan fungsi
sehubungan dengan adanya kelumpuhan kedua anggota gerak bawah akibat
fraktur kompresi pada Thoracal VI-VII dan adanya lesi pleksus brakhialis kanan
akibat trauma”

B. Identifikasi Masalah
Pada kondisi Spinal Cord Injury, problem yang ditimbulkan biasanya bila
pasien telah melewati masa akut adapun keluhan yang dirasakan oleh pasien
berupa:
1. Adanya kelemahan anggota gerak tubuh bagian bawah
2. Hilangnya fungsi sensoris
3. Hilangnya fungsi seksual
4. Hilangnya fungsi bledder dan bowel

C. Pembatasan Masalah
Pada kasus SCI terdapat banyak sekali gangguan yang terjadi, oleh karena
terbatasnya waktu, maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas dalam
laporan kasus ini adalah mengenai penatalaksanaan fisioterapi pada gangguan
gerak dan fungsi sehubungan dengan adanya kelumpuhan kedua anggota gerak
bawah akibat fraktur kompresi Thoracal VI-VII dan adanya lesi pleksus brakhialis
kanan akibat trauma.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 2


D. Perumusan Masalah
Dari pembahasan tersebut di atas, maka penulis merumuskan masalah yang
akan di teliti yaitu bagaimanakah penatalaksanaan fisioterapi pada gangguan
gerak dan fungsi sehubungan dengan adanya kelumpuhan kedua anggota gerak
bawah akibat fraktur kompresi Thoracal VI-VII dan adanya lesi pleksus brakhialis
kanan akibat trauma?

E. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengetahui proses penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi SCI terutama
pada penderita kelumpuhan kedua anggota gerak bawah akibat fraktur
kompresi Thoracal VI-VII dan adanya kelemahan pleksus brakhialis kanan
akibat trauma

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui cara assessment penderita SCI lavael Thoracal
VI-VII yang disertai lesi pleksus brakhialis kanan akibat trauma
b. Untuk mengetahui diagnosa fisioterapi dan problem pada penderita
SCI level Thoracal VI-VII yang disertai lesi pleksus brakhialis kanan
akibat trauma
c. Untuk menentukan target yang dapat diraih oleh penderita SCI
level Thoracal VI-VII yang disertai lesi pleksus brakhialis kanan
akibat trauma
d. Untuk mengetahui intervensi yang tepat yang dapat diberikan pada
penderita SCI level Thoracal VI-VII yang disertai lesi pleksus
brakhialis kanan akibat trauma.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 3


F. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis adanya penulisan laporan kasus ini akan menambah
pemahaman dalam mempelajari proses penatalaksanaan fisioterapi pada
kondisi SCI
2. Dapat digunakan sebagai bahan kajian dan diskusi pada laporan akhir
praktek yang akan datang
3. Bagi teman sejawat profesi untuk mendapatkan metode terapi yang
bermanfaat dan tepat

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 4


BAB II
KAJIAN TEORI

A. Anatomi Medulla Spinalis


Medulla spinalis bermula dari medulla oblongata, yang memanjang ke arah
caudal melalui foramen magnum dan berakhir diantara vertebra lumbalis pertama
dan kedua. Disini medulla spinalis meruncing sebagai conus medullaris dan
kemudian sebuah sambungan tipis piameter yang disebut filum terminale, yang
menembus kantung durameter, yang berjalan menuju ke tulang coccygeus.
Ukuran panjang medulla spinalis sekitar 45 cm, pada bagian depannya di belah
oleh sebuah fisura anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh
fisura yang sempit. Medulla spinalis memiliki 31 segmen antara lain :
1. 8 segmen cervical
2. 12 segmen thoracal
3. 5 segmen lumbal
4. 5 segmen sacral
5. 1 segmen coccygeus

Setiap segmen mengeluarkan sepasang saraf spinal yang terbentuk dari


radiks posterior dan anterior. Letak pada segmen medula spinalis tidak selevel
dengan segmen columna vertebra. Segmen cervical pertama medula spinalis

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 5


terletak posterior terhadap vertebra cervical pertama. Segmen thoracal pertama
medula spinalis terletak pada vertebra cervical 7. Segmen lumbal pertama medula
spinalis terletak pada vertebra thoracal 12. Pada level lumbal 1 medula spinalis
menyempit membentuk conus terminalis dan fillum terminale yang akhirnya
menjadi cauda equina.

Lateral View Posterior View

Oleh karena laju pertumbuhan medula spinalis dan tulang belakang berbeda,
maka segmen medula spinalis akan terdorong ke atas dari vertebra yang sesuai.
Perbedaan ini semakin besar karena vertebra bergeser ke bawah sepanjang medula
spinalis. Jadi makin rendah radix saraf, semakin besar jarak antara asalnya di
dalam segmen medula spinalis dan titik keluarnya dari canalis spinalis. Hubungan
antara segmen-segmen medula spinalis dengan corpus vertebra dan tulang
belakang penting artinya didalam klinik untuk menentukan lesi pada medula
spinalis.
Medula spinalis memanjang dari batas superior atlas ( vertebra cervical 1 )
sampai atas vertebra lumbalis 2. Pada ujung rostralnya, medula spinalis diteruskan
oleh medula oblongata.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 6


Medula spinalis dibungkus oleh tiga lapisan, antara lain:
1. Duramater (lapisan luar)
Adalah selubung fibrosa yang liat dan paling luar yang berbentuk tabung
dan memanjang ke bawah sampai setinggi vertebra sacralis 2 dimana
selubung ini berakhir sebagai sebuah kantong yang buntu. Lapisan ini
dipisahkan dari tulang columna vertebralis oleh suatu ruang yang disebut
ruang epidural, dimana di dalamnya terdapat ruang yang memisahkan
duramater dan arachnoid yang disebut ruang subdural.
2. Arachnoid (lapisan tengah /jaringan)
Adalah selubung tipis, transparan yang dipisahkan dari piamater di
bawahnya oleh ruang subarachnoid yang berisi kumpulan cairan
cerebrospinal.
3. Piamater (lapisan dalam)
Meliputi medula spinalis dengan rapr dan septum-septumnya masuk ke
dalam subtansi medula spinalis. Medula spinalis yang keluar dari foramen
magnum di dasar tengkorak, dilindungi oleh columna vertebralis sewaktu
turun melalui canalis vertebralis. Dari medula spinalis keluar saraf-saraf
spinalis atau yang tidak bermyelin, berfungsi untuk menghubungkan
berbagai segmen medula spinalis dan menghubungkan medula spinalis
dengan otak. Pada substansia alba terdapat tiga collumna utama yaitu :
collumna alba anterior, collumna alba lateral, dan collumna alba posterior.
Yang didalamnya terdapat jaras-jaras atau traktus-traktus saraf. Setiap
traktus berawal atau berakhir di dalam daerah tertentu di otak, dan masing-
masing memiliki kekhususan dalam mengenali informasi yang
disampaikannya.
Beberapa di antaranya :
a. Traktus ascenden (medula ke otak)
Yaitu yang menyalurkan sinyal dari masukan afferent ke otak. Contoh
jalur ascenden adalah traktus spinotalamikus lateral yaitu, yang
berasal dari medula spinalis dan berjalan secara lateral di sepanjang
medula sampai bersinaps di thalamus. Jaras ini membawa informasi

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 7


sensorik rasa nyeri dan suhu yang berasal dari berbagai bagian tubuh
melalui medula spinalis ke thalamus. Yang kemudian menyortir dan
menyalurkan informasi ke korteks somatosensorik.
b. Traktus descenden
Yaitu yang menyampaikan pesan-pesan dari otak ke neuron efferent.
Traktus sebelumnya diberi nama berdasarkan asal dari ujungnya.
Contoh jalur descendens adalah traktus cortico spinalis. Badan sel
traktus terutama dari daerah motorik korteks cerebrum dan akson-
aksonnya berjalan ke bawah untuk berakhir di medula spinalis atau
pada badan-badan sel neuron motorik efferent yang mempersarafi
otot-otot rangka.
Perlu diketahui bahwa di dalam medula spinalis berbagai jenis sinyal
dipisah-pisahkan. Dan dengan demikian kerusakan daerah tertentu di
medula dapat mengganggu sebagian fungsi, tetapi fungsi lain tetap
utuh. Substansi grisea yang terletak di bagian tengah secara fungsional
juga mengalami organisasi canalis centralis yang terletak di tengah
substansia grisea.
Lapisan dalam yang kaya dengan pembuluh-pembuluh darah dan
langsung membungkus permukaan sebelah luar medula spinalis. Pada
medula spinalis terdapat fisura mediana anterior dan sulkus medianus
posterior, yang dapat dianggap memisahkan medula spinalis menjadi
belahan kanan dan kiri yang simetris serta berhubungan dengan
bagian tengah.
Dari setiap segmen tempat keluarnya dari os vertebra, saraf spinalis
membentuk satu kesatuan yang disebut pleksus, antara lain:
1) Pleksus Brachialis
Dibentuk oleh 8 pasang saraf spinal yang keluar dari vertebra
cervicalis sampai thoracal 1. Berfungsi mempersarafi otot-otot
skelet anggota gerak atas melalui 3 percabangannya, yaitu N.
Radialis, N. Medianus, dan N. Musculocutaneus.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 8


2) Pleksus Thoracalis
Dibentuk oleh 12 pasang saraf spinal yang keluar dari vertebra
thoracalis. Menghasilkan N. Intercostalis yang berfungsi
mempersarafi otot pernafasan.
3) Pleksus Lumbalis
Dibentuk oleh 5 pasang saraf spinal yang keluar dari vertebra
lumbalis. Dari pleksus ini keluar saraf-saraf besar, yaitu N.
Femoralis yang mensarafi semua otot-otot skelet pada anggota
gerak bawah.
4) Pleksus Sacralis
Dibentuk oleh 5 pasang saraf spinal yang keluar dari vertebra
sacralis, yang mempercabangkan saraf-saraf yang mensarafi
otot-otot di sekitar rongga pelvis.

B. Hubungan Saraf ( nervus ) dengan neuron


Sebuah saraf adalah berkas axon neuron perifer, sebagian afferent dan
sebagian efferent, yang dibungkus oleh suatu selaput jaringan ikat dan mengikuti
jalur yang sama. Sebuah saraf tidak mengandung sel saraf utuh, hanya bagian-
bagian axon dari banyak neuron.
Tiap-tiap serat di dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki pengaruh
satu sama lain. Mereka berjalan bersama untuk kemudahan. Tiga puluh satu
pasang saraf spinalis, bersama dengan 12 pasang saraf cranialis yang berasal dari
otak, membentuk sistem saraf perifer. Setelah keluar saraf-saraf spinalis secara
progresif bercabang-cabang untuk membentuk suatu jaringan luas saraf-saraf
perifer yang mempersarafi suatu jaringan. Setiap segmen medula spinalis
membentuk sepasang saraf spinalis yang akhirnya mempersarafi suatu daerah
tertentu di tubuh dengan serat afferent dan efferent. Dengan demikian, lokasi dan
luas defisit sensoris dan motoris yang berkaitan dengan cedera medula spinalis
secara klinis penting untuk menentukan tingkat dan luas kerusakan medula
spinalis.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 9


C. Fungsi Medulla Spinalis
1. Mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh.
2. Mengatur kegiatan refleks spinal dan reflek lutut.
3. Sebagai pusat gerakan otot-otot tubuh besar yang ada di cornu anterior.
4. Mengantarkan rangsangan koordinasi dari otot dan sendi ke cerebellum.
Selama perkembangan, columna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih
panjang dari medula spinalis. Hal ini disebabkan oleh karena laju pertumbuhan
medula spinalis dan tulang belakang berbeda, maka segmen-segmen medula
spinalis akan terdorong ke atas dari vertebra yang sesuai. Perbedaan ini semakin
besar karena vertebra bergeser ke bawah di sepanjang medula spinalis. Jadi,
makin rendah radiks saraf makin besar jarak antara asalnya di dalam segmen
medula spinalis dan titik luarnya dari canalis spinalis. Medula spinalis itu sendiri
hanya berjalan setinggi lumbal pertama atau kedua (sekitar setinggi pinggang).
Sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar dari
collumna vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang
memanjang di dalam canalis vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai
cauda equina (ekor kuda) karena penampakannya.
Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan yang
melintang dari medula spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya. Pada
potongan melintang, medula spinalis tampak berisi suatu masa interna substansi
kelabu yang berbentuk H dan diliputi substansia alba. Seperti di otak substansia
grisea medula terutama terdiri dari badan-badan sel saraf serta dendritnya, antara
neuron pendek, sel-sel glia. Substansia alba tersusun menjadi tractus yaitu berkas
serat-serat saraf (axon-axon dari neuron-neuron panjang) dengan fungsi serupa.
Berkas-berkas itu dikelompokan menjadi columna yang berjalan di sepanjang
medula. Setiap traktus berawal atau berakhir di dalam area tertentu di otak. Dan
masing-masing memiliki kekhususan dalam mengenali informasi yang
disampaikan.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 10


D. Dermatome
Berkaitan dengan masukan sensorik, setiap daerah spesifik di tubuh yang
dipersarafi oleh saraf spinal tertentu yang disebut area dermatom. Saraf spinalis
juga membawa serat-serat yang bercabang untuk mempersarafi organ-organ
dalam, dan kadang-kadang nyeri yang berasal dari salah satu organ tersebut
dialihkan ke dermatom yang dipersarafi oleh saraf spinal yang sama.

Gambar area Dermatome

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 11


E. Refleks Spinal Dasar
Adalah refleks yang diintegrasikan oleh medula spinalis, semua komponen
yang penting untuk menghubungkan masukan afferent dengan respon efferent
terdapat di dalam medula spinalis. Reflex menarik ( reflex withdrawal ) dapat
dijadikan ilustrasi untuk refleks spinal dasar.

F. Otot-otot penggerak tulang belakang dan persarafannya.


No Gerakan Nama otot Persarafan
 Longus capitis C1-C3
 Longus colli Ramus ventralis C2 - C6
1. Fleksi leher  Rectus capitis anterior Ramus ventralis C1-C2
 Scalenus anterior Ramus ventralis C5-C6
 Sternocleidomastoideus Ramus ventralis C2-C3
Fleksi
2. anterolateral  Sternocleidomastoideus Ramus ventralis C2 – C3
leher
 Erector spine (bagian cervical) Rami dorsalis nervus spinalis
 Obliques capitis superior N. suboccipital (C1)
 Rectus capitis posterior mayor N. suboccipital (C1)
 Rectus capitis posterior minor N. suboccipital (C1)
 Semispinalis cervicalis Ramus dorsalis C5 – C7
Ekstensi Ramus dorsalis C1 – C6
3.  Semispinalis capitis
leher Ramus dorsalis cervical tengah
 Splenius capitis
Ramus dorsalis cervical bawah
 Splenius cervicis
Ramus ventralis C3 – C4
 Upper trapezius Rami dorsalis nervus spinalis
 Spinalis capitis Rami dorsalis nervus spinalis
 Spinalis cervicis
4. Fleksi trunk  Rectus abdominis N. Intercostalis 7 – 12
 Erector spine (bagian thoracal Ramus dorsalis nervus spinalis
dan lumbal) Ramus dorsalis nervus spinalis
Ekstensi  Multifidus Ramus dorsalis Th1 – Th6
5. Ramus dorsalis nervus spinalis
trunk  Semispinalis thoracis
 Spinalis thoracis Th12 – L3&4
 Quadratus lumborum
 Obliques eksternus abdominus N. Intercostalis 7 – 12
6. Rotasi trunk  Obliques internus abdominus N. Intercostalis 8 – 12

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 12


G. Spinal Cord Injury
Spinal Cord Injury adalah suatu disfungsi dari medula spinalis yang
mempengaruhi fungsi sensoris dan motoris, sehingga menyebabkan kerusakan
pada tractus sensori motor dan percabangan saraf-saraf perifer dari medula
spinalis ( Quick Refference to Physiotherapy 1999 ).
Spinal Cord Injury adalah kerusakan medula spinalis akibat trauma dan non
trauma/infeksi yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan sensoris, motoris,
vegetatif ( bladder dan bowel ), dan gangguan fungsi seksual.
1. Etiologi
Faktor penyebab terjadinya lesi pada medula spinalis, terbagi menjadi dua
yaitu :
a. Trauma : Kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, jatuh,
luka tembak, luka tusuk, kecelakaan olahraga.
Cedera yang terjadi karena trauma dapat mengenai seluruh anggota
tubuh dari kepala hingga kaki dan dapat mengenai organ dalam tubuh.
Salah satu jenis trauma yang dapat terjadi adalah fraktur. Fraktur yang
terjadi dapat mengenai anggota gerak tubuh maupun tulang belakang
sehingga mengenai medula spinalis yang menyebabkan kelumpuhan
atau kelemahan pada anggota gerak bawah.
b. Non trauma disebabkan karena faktor patologi ataupun kerusakan pada
medula spinalis seperti pada kondisi arterial, venous malfunction,
trombosis, emboli, Infeksi, tumor spinal, RA, kelainan bawaan ( Spina
Bifida ), multiple sclerosis, penyakit degeneratif sendi, dll.
2. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya injury, akan berpengaruh terhadap derajat dan type
SCI, yang terdiri atas :
a. Ruptur Discus Intervertebralis
1) Hiperekstension injury, umumnya terjadi pada cervical (whiplash
injury), karena tertabrak dari belakang.
2) Luka tembak atau luka tusuk yang mengakibatkan rusaknya
medula spinalis dan vascularisasinya.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 13


b. Burst Injury
Corpus remuk dan pecahannya akan menusuk medulla spinalis.
c. Compression Injury
Trauma vertical yang menyebabkan medula spinalis terjepit.
d. Flexion Injury
Terjadi hiperfleksi leher, sehingga medula spinalis menjadi terulur /
teregang.
e. Flexion Rotation Cord Injury
Terjadi akibat trauma deformasi, sehingga struktur penyangga spine
tidak mampu mengakomodasi.
f. Kerusakan Neural
Trauma pada spinal cord yang menyebabkan kerusakan primer pada
saraf, kerusakan dapat karena adanya contusio, spinal shock dapat
berupa hilangnya sensory, voluntary, motor dan autonom control di
bawah level lesi terjadi setelah trauma. Perubahan substansi pada
white matter dimulai dari Wallerian degeneration dalam kolom
posterior ascenden di atas level traktus corticospinal decenden.
g. Perubahan aliran darah
 Adanya patchie kemudian terjadi perdarahan setelah beberapa jam
SCI karena kerusakan endhotelium patologi koagulasi pembuluh
darah.
 Ischemia dan nekrosis pada grey matter.
 Pembengkakan akson dan peningkatan permeabilitas pembekuan
darah.
 Perubahan tekanan sistemik berpengaruh pada perubahan aliran
darah spinal yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan saraf.
h. Disfungsi Sinaptic
SCI menyebabkan ion kalsium menyumbat sel, transport mitokondria
terputus dan mengaktifkan pospolipase, iskemik pada area injury
mungkin akan menyebabkan serotin, prostaglandin yang semuanya
dapat menyebabkan vasokontriksi.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 14


3. Manifestasi Klinis
Apabila medula spinalis cedera secara complete tiba-tiba, maka 3 fungsi
yang terganggu antara lain : Seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh
refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks
hilang baik refleks tendon, refleks autonomic disebut spinal shock. Kondisi
ini dapat berlangsung dari beberapa jam, beberapa minggu, beberapa bulan.
Fase selanjutnya yang diikuti spinal shock adalah keadaan dimana aktifitas
refleks yang meningkat dan tidak terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan
cedera medula spinalis tidak komplit, spinal shock dapat juga terjadi dalam
keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak melalui shock sama sekali.
4. Syndroma SCI
a. Brown Sequard Syndrom
Ciri khas dari syndrom ini yaitu kerusakan pada satu sisi spinal cord.
Terdapat kelemahan pada sisi ipsilateral. Kerusakan columna lateris
menyebabkan adanya refleks yang abnormal. Seringkali terjadi
spastisitas pada otot sisi ipsilaterl di bawah level lesi. Akibat dari
kerusakan pada columna dorsalis, yaitu hilangnya propriosepsi,
kinesthesia, dan sensasi vibratorik.
b. Anterior Cord Syndrom
Sering terjadi akibat trauma fleksi dan sebagai akibat dari kekurangan
suplai darah dari arteri spinalis anterior. Kerusakan pada sisi anterior
dan anterolateral mengakibatkan gangguan motor function bilateral,
nyeri dan gangguan temperatur, yang berhubungan dengan adanya
hambatan pada traktus spinotalamik anterior dan lateral serta pada
traktus kortikospinal.
c. Central Cord Syndrom
Seringkali disebabkan oleh trauma hiperekstensi cervical. Cirinya
yaitu terdapat gangguan neurologi yang lebih berat pada upper
ekstremitas dari pada lower ekstremitas. Serabut saraf perifer tidak
terkena, sehingga fungsi dari organ yang dipersarafi oleh segmen
thoracal, lumbal dan sacral tetap normal.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 15


d. Posterior Cord Syndrom
Kasus ini jarang terjadi, gangguannya berupa gangguan motor
function, nyeri dan sensasi terhadap sinar. Hilangnya propriosepsi
pada level di bawah lesi menyebabkan pola jalan dengan base yang
lebar.
e. Cauda Equina Syndrom
Cidera pada akar saraf lumbosacral di dalam saluran saraf, yang
mengakibatkan hilangnya reflek BAK, BAB, dan reflek pada lower
ekstrimitas.

5. Stadium SCI
a. Fase akut / spinal shock ( 2-3 minggu ), cirinya :
1) Gangguan motorik
Bila terjadi pada daerah cervical maka kelumpuhan terjadi pada ke
empat extremitas yang disebut tetraplegi, sedangkan pada lesi di
bawah daerah cervical akan terjadi kelumpuhan pada anggota gerak
bawah yang disebut paraplegi.
2) Gangguan sensorik
Sensasi yang terganggu sesuai dengan deramtom di bawah lesi, hal
yang terganggu berupa sensasi raba, sensasi nyeri, sensasi
temperatur ataupun sensasi dalam.
3) Gangguan fungsi autonom ( bladder, bowel, dan seksual )
Di sini bisa terjadi gangguan pengosongan kandung kemih dan
saluran pencernaan, fungsi seksual, fungsi kelenjar keringat dan juga
tonus pembuluh darah di bawah lesi. Pada fase ini urine akan
terkumpul di dalam kandung kemih sampai penuh sekali dan baru
dapat keluar apabila sudah penuh.
4) Gangguan respirasi (tergantung letak lesi )
Dapat terjadi gangguan respirasi jika terletak lesi yang terkena level
C4 yaitu cabang dari C4 adalah keluarnya n.prenicus yang
mempersarafi tractus respiratorius, jika terkena maka diafragma

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 16


pasien tidak akan bekerja secara maksimal sehingga dapat terkena
gangguan pernafasan.
5) Hipotensi orthostatik
Tidak adanya tonus otot di daerah abdomen dan extremitas inferior
menyebabkan darah terkumpul di daerah tersebut, akibatnya terjadi
penurunan tekanan darah. Problem ini timbul pada saat pasien
bangkit dari posisi terlentang ke posisi tegak atau perubahan posisi
tubuh yang terlalu cepat.
b. Fase sub akut / recovery (3 minggu – 3 bulan), yang dibagi dalam
kriteria:
1) Kriteria 1
Komplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik,
motorik, vegetatif, flacciditas dan arefleksia.
2) Kriteria 2
Komplit lesi UMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik,
motorik, vegetatif, spastik, dan hiperrefleksia.
3) Kriteria 3
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi
sensorik/ motorik/ vegetatif, lalu ada hiporefleksia dan hipotonus.
4) Kriteria 4
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi
sensorik/motorik, vegetatif, lalu ada hiperrefleksia, dan spastis.
c. Fase kronik (di atas 3 bulan), cirinya apabila setelah fase recovery
kondisi pasien menjadi complete / incomplete maka akan timbul
gambaran klinis lain, yaitu :
a) Setelah fase recovery kondisi
pasien complete/ incomplete, maka timbul gerakan vital sign
menurun.
b) Autonomic dysrefleksia, yaitu
suatu kondisi yang berlebihan pada sistem autonom. Fenomena yang
tampak pada cedera medula spinalis di atas Th6. Hal ini disebabkan

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 17


aksi relatif dari sistem saraf otonom sebagai respon dari beberapa
stimulus, seperti kandung kemih, fesces yang mengeras (konstipasi),
iritasi kandung kemih, manipulasi rectal, stimulus suhu atau nyeri
dan distensi visceral. Tandanya yaitu hipertensi mendadak,
berkeringat, kedinginan, muka memerah, dingin dan pucat dibawah
level lesi, hidung buntu, sakit kepala, pandangan kabur, nadi cepat
lalu menjadi lambat.

6. Klasifikasi SCI menurut ASIA


Cedera medula spinalis dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat
kerusakannya. Kerusakan atau injury pada medula spinalis dapat terjadi
pada Upper Motor Neuron (UMN) ataupun Lower Motor Neuron (LMN).
Kerusakan pada UMN akan menyebabkan spastik atau hiper refleksia,
sedangkan untuk LMN akan menyebabkan beberapa gangguan berupa
flaksid, di samping masih ada gangguan lain seperti bladder and bowel,
gangguan fungsi pernapasan, gangguan fungsi seksual.
ASIA mengklasifikasikan menjadi dua berdasarkan dari fungsi yang masih
ada, yaitu SCI lesi complete dan SCI lesi incomplete. Lesi complete adalah
hilangnya fungsi sensorik motorik di bawah level lesi yang bisa disebabkan
transeksi, kompresi ataupun difusi vaskuler. Lesi incomplete adalah
hilangnya sebagian fungsi sensorik motorik di bawah level injury, biasanya
disebabkan oleh kontusio pada fragmen tulang, jaringan lunak atau oedem
pada spinal canal.

7. Level SCI
SCI diberi nama sesuai dengan level kerusakan neurology yang terkena
(Ragnarsson, 1993; Farcy dan Rawlins, 1993). Kerusakan pada sistem
motorik dan sensorik digunakan untuk mengidentifikasi level kerusakan.
The American Spinal Injury Association (ASIA) telah membuat suatu
standar untuk assessment dan klasifikasi yang biasa digunakan pada kondisi
SCI.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 18


Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan Sensoris
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan sensori level. Sensori
level adalah batas paling kaudal dari segment medula spinalis yang
fungsi sensorisnya normal. Tes ini terdiri dari 28 tes area dermatom
yang diperiksa dengan menggunakan tes tajam tumpul dan sentuhan
sinar, dengan kriteria penilaiannya sebagai berikut :
Nilai 0 : tidak ada dapat merasakan ( absent ).
Nilai 1 : merasakan sebagian ( impaired ).
Nilai 2 : dapat merasakan secara normal.
NT ( not testable ) : diberikan pada pasien yang tidak dapat
merasakan karena tidak sadarkan diri.
b. Pemeriksaan Motorik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan motorik levelnya.
Motorik level adalah batas paling kaudal dari segment medula spinalis
yang fungsi motoriknya normal. Identifikasi kerusakan motorik lebih
sulit, karena menyangkut innervasi dari beberapa otot. Tidak adanya
innervasi, berarti pada otot tersebut terjadi kelemahan atau
kelumpuhan. Pemeriksaan kekuatan otot tersebut bisa menggunakan
pemeriksaan dengan Manual Muscle Test (MMT), dengan skala
penilaian sebagai berikut :
Nilai Huruf Skala Definisi
Tidak ditemukan kontraksi dengan
0 Zero
palpasi.
Ada kontraksi tetapi tidak ada
1 ( Tr ) Trace
gerakan
Ada gerakan ½ ROM, tidak dapat
2- ( P-) Poor minus
melawan gravitasi
Gerakan dengan ROM penuh, tidak
2 ( P) Poor
dapat melawan gravitasi.
Gerakan dengan ROM penuh tanpa
2+ (P+) Poor plus melawan gravitasi dan ½ ROM
dengan melawan gravitasi.
3- (F-) Fair minus Idem dengan 2+
3 (F) Fair Gerakan penuh melawan gravitasi

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 19


Gerakan ROM penuh dan dapat
3+ (F+) Fair plus
melawan tahanan minimal.
Gerakan ROM penuh dan dapat
4 (G) Good
melawan tahanan.
Gerakan ROM penuh dan dapat
5 (N) Normal
melawan tahanan maksimal.

Pada pemeriksaan motorik dengan menggunakan manual muscle


testing ini biasanya dilakukan pada daerah myotom, antara lain :
C5 : Fleksi siku ( m. biceps, m. brachialis )
C6 : Ekstensi pergelangan tangan ( m. ekstensor carpi radialis
longus dan brevis )
C7 : Ekstensi siku ( m. triceps )
C8 : Fleksi digitorum profundus jari tengah (m. fleksor
digitorum profundus)
Th 1 : Abduksi digiti minimi (m. abduktor digiti minimi )
L2 : Fleksi hip ( m. iliopsoas )
L3 : Ekstensi knee ( m. Quadriceps )
L4 : Dorso fleksi ankle (m. tibialis anterior )
L5 : Ekstensi ibu jari kaki (m. ekstensor hallucis longus )
S1 : Plantar fleksi ankle (m. gastrocnemius, m. soleus )
c. Pemeriksaan neurology level
Pemeriksaan ini dilakukan unutuk mengetahui batas kaudal dari
segment medulla spinalis yang fungsi sensorik dan motoriknya
normal.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 20


Selain berdasarkan pemeriksaan kerusakan sensorik dan
motorik, ASIA juga membagi SCI berdasarkan derajat
kerusakan yang timbul :
American Spinal Injury Association Impairment Scale (AIS)
A : Komplit. Tidak ada respon fungsi sensorik dan motorik sampai dengan
level S4 - 5
B : Inkomplit. Respon sensorik ada, tapi fungsi motorik tidak ada sampai
dengan neurologi. Fungsi sensorik normal sampai level S4-5.
C : Inkomplit. Fungsi sensorik ada, motor function ada di bawah level
neurologis, dan lebih dari 50% otot-otot yang dipersarafi sesuai area
dermatomnya memiliki nilai MMT kurang dari 3.
D : Inkomplit. Fungsi sensorik ada, motor function di bawah level neurologis
tidak berubah dan mayoritas key muscle di bawah level neurologis
memiliki nilai MMT lebih atau sama dengan 3.
E : Normal : Fungsi sensorik dan motorik normal.
Selain itu gangguan yang timbul pada cidera medula spinalis sesuai
dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul gangguan
berupa spastisitas, hyperefleksia, dan disertai hypertonus, biasanya
lesi ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi
akan timbul gangguan berupa flaccid, hyporefleksia, yang disertai
hipotonus dan biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai L2 sampai
cauda equina, di samping itu juga masih ada gangguan lain seperti
gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi seksual, dan gangguan
fungsi pernapasan.
Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA resived 2000,
terbagi atas :
1) Paraplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau
dan sensorik karena kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral.
2) Quadriplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau
dan sensorik karena kerusakan pada segment cervikal.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 21


Spesifik Level
a) C1 – C2 : Quadriplegia, kemampuan bernafas (-).
b) C3 – C4 : Quadriplegia,
fungsi N. Phrenicus (-), kemampuan bernafas
hilang.
c) C5 – C6 : Quadriplegia, hanya ada gerak kasar lengan.
d) C6 – C7 : Quadriplegia, gerak biceps (+), gerak triceps (-).
e) C7 – C8 : Quadriplegia, gerak triceps (+), gerak intrinsic
lengan (-).
f) Th1 – L1-2 : Paraplegia, fungsi
lengan (+), gerak intercostalis tertentu (-), fungsi
tungkai (-), fungsi seksual (-).
g) Di bawah L2: Termasuk LMN,
fungsi sensorik (-), bladder & bowel (-), fungsi
seksual tergantung radiks yang rusak.
8. Komplikasi pada Cedera Medulla Spinalis
a. Ulcer decubitus
Merupakan komplikasi paling utama pada cedera medulla spinalis.
Terjadi karena tekanan yang pada umumnya terjadi pada daerah
pinggul (ischial tuberositas dan trochanter pada femur). Pada cedera
medulla spinalis tidak hanya terjadi perubahan dari tonus otot dan
sensasi saja, tapi juga peredaran darah ke kulit dan jaringan subkutan
berkurang.
b. Osteoporosis dan fraktur
Kebanyakkan pasien dengan cedera medulla spinalis akan mengalami
komplikasi osteoporosis. Pada orang normal, tulang akan tetap sehat
dan kokoh karena aktifitas tulang dan otot yang menumpu. Ketika
aktifitas otot berkurang atau hilang dan tungkai tidak melakukan
aktifitas menumpu berat badan, maka mulai terjadi penurunan
kalsium, phospor sehingga kepadatan tulang berkurang.
c. Pnemonia, atelektasis, aspirasi

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 22


Pasien dengan cedera medula spinalis di bawah Th 4, akan beresiko
tinggi untuk berkembangnya restriksi fungsi paru. Terjadi pada 10
tahun dalam cedera medulla spinalis dan dapat progresif sesuai
keadaan.
d. Heteritropic ossification (HO)
Merupakan suatu kondisi yang tidak terlalu dimengerti yaitu
mekanisme terjadinya dalam fase akut medula spinalis akan terjadi
pertumbuhan tulang yang abnormal di luar dari tulang rangka normal.
Biasanya pada sendi besar seperi panggul dan lutut. Masalah dari HO
adalah kekakuan sendi dan difusi dari sendi.
e. Autonomic dysreflexia
f.Deep Vein Trombosis (DVT)
Merupakan komplikasi terberat dalam cedera medula spinalis, yaitu
terdapat perubahan dari kontrol neurologi yang normal daripada
pembuluh darah.
g. Cardiovasculer disease
Komplikasi dari sistem kardiorespirasi merupakan resiko jangka
panjang pada cedera medulla spinalis.
h. Syringomyelia
Berpengaruh pada spasme, phantom sensation, perubahan refleks dan
autonom visceral.
i. Neuropatic pain
Merupakan masalah yang penting dalam cedera medulla spinalis.
Berbagai macam nyeri hadir dalam cedera medulla spinalis.
Kerusakan pada daerah tulang belakang dan jaringan lunak di
sekitarnya dapat berakibat rasa nyeri pada daerah cedera. Biasanya
pasien akan merasakan terdapat phantom limb pain atau nyeri yang
menjalar pada level lesi ke inervasinya.
Komplikasi SCI yang lain
a. Perubahan Tonus Otot

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 23


Akibat yang paling terlihat pada SCI adalah paralysis dari otot-otot yang
dipersarafi oleh segmen yang terkena. Kerusakan dapat mengenai traktus
descending motorik, AHC, dan saraf spinalis, atau kombinasi dari
semuanya. Saat mengenai traktus descending, akan terjadi flaccid dan
hilangnya refleks. Kemudian kondisi tersebut akan diikuti dengan gejala
autonom seperti berkeringat dan inkontinensia dari bladder dan bowel.
Dalam beberapa minggu akan terjadi peningkatan tonus otot saat istirahat,
dan timbulnya refleks.
b. Komplikasi Sistem respirasi
Bila lesi berada di atas level C4 akan menimbulkan paralysis otot inspirasi
sehingga biasanya penderita membutuhkan alat bantu pernafasan, hal
tersebut disebabkan gangguan pada n. intercostalis. Komplikasi pulmonal
yang terjadi pada lesi disegmen C5 – Th 12, timbul karena adanya gangguan
pada otot ekspirasi yang mendapat persarafan dari level tersebut, seperti m.
adbominalis dan m. intercostalis. Paralysis pada m. obliques eksternalis juga
menghambat kemampuan penderita untuk batuk dan mengeluarkan sekret.
c. Kontrol Bladder dan Bowel
Pusat urinaris pada spinal adalah pada conus medullaris. Kontrol refleks
yang utama berasal dari segmen secral. Selama fase spinal shock, bladder
urinary menjadi flaccid. Semua tonus otot dan refleks pada bledder hilang.
Lesi di atas conus medullaris akan menimbulkan refleks neurogenic bladder
berupa adanya spastisitas, kesulitan menahan BAK, hipertrophy otot
detrusor, dan refluks urethral. Lesi pada conus medullaris menyebabkan
tidak adanya refleks bladder, akbiat dari flaccid dan menurunnya tonus otot
perineal dan sphincter utethra. Gangguan pada bowel sama seperti pada
bladder ditambah dengan adanya lesi pada cauda equina.
d. Respon Seksual
Respon seksual berhubungan langsung dengan level dan complete atau
incompletenya trauma. Terdapat dua macam respon, reflekogenic atau
respon untuk stimulasi eksternal yang terlihat pada penderita dengan lesi
UMN, dan pshycogenic, dimana timbul melalui aktifitas kognisi seperti

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 24


fantasi, yang berhubungan dengan lesi pada LMN. Pria dengan level lesi
yang tinggi dapat mencapai reflexive erection, tapi bukan ejakulasi. Pada
lesi yang lebih ke bawah ia dapat lebih cepat untuk ejakulasi, tetapi
kemampuan ereksinya sulit. Lesi pada cauda equina tidak memungkinkan
terjadinya ejakulasi ataupun ereksi.
Menstruasi biasanya terhambat 3 bulan, fertilasi dan kehamilan tidak
terhambat, tapi kehamilan harus segera diakhiri, terutama pada trisemester
terakhir. Persalinan akan terjadi tanpa sepengetahuan ibu hamil akibat dari
hilangnya sensasi, dan persalinan diawali dengan dysrefleksia autonomik.

9. Tingkatan Cedera Medulla Spinalis


a. Tingkat Upper Motor Neuron
Akan terjadi kelumpuhan pada sebelah tubuh sehingga disebut
hemiparese, hemiplegi, hemiparalisis, karena lesinya menduduki
kawasan susunan pyramidal sesisi. Tanda-tanda kelumpuhan UMN :
1) Tonus otot yang meningkat / hipertonus / spastisitas
Terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks motorik
tambahan terhadap inti intrinsik medulla spinalis.
2) Hiperefleksia
Gerakan otot skeletal yang bangkit sebagai jawaban atas suatu
perangsangan disebut reflek. Gerak otot reflektorik yang timbul
atas jawaban stimulasi terhadap tendon dinamakan tendon.
3) Klonus
Hiperfleksi seringkali disertai dengan klonus. Tanda ini adalah
gerak reflekstorik yang terjadi secara berulang-ulang selama
perangsangan masih berlangsung.
4) Reflek patologis
Mekanismenya belum jelas misalnya reflek Babinsky
5) Tidak ada atrofi pada otot yang lumpuh
Dalam hal kerusakan pada serabut-serabut impuls motorik
UMN, motor neuron tidak dilibatkan, hanya di bebaskan dari

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 25


kelolah UMN sehingga otot yang lumpuh tidak mengalami
atrofi.

b. Tingkat lower motor neuron


Lesi LMN yaitu, lesi yang merusak motor neuron, akson, “ motor end
plate” atau otot skletal.
Tanda-tanda kelumpuhan LMN :
1. Seluruh gerakan baik yang volunteer maupun reflekstorik tidak
dapat dibangkitkan. Kelumpuhan disertai :
 Hilangnya reflek tendon, disebut arefleksia.
 Tidak ada refles patologik
2. Misalnya :
 Lesi di cornu anterior : poliomyelitis (merusak motor
neuron).
 Lesi pleksus brachialis.
 Lesi saraf perifer.

10. Prognosa Pada Cedera Medulla Spinalis


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosa pada cedera
medulla spinalis yaitu :
a. Derajat kerusakan sensoris dan motorik yang timbul sesuai
klasifikasi ASIA
b. Sosial-ekonomi
c. Injury Lain
d. Psikologi Pasien
e. Obesitas
f. Usia
g. Jenis Kelamin

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 26


H. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Spinal Cord Injury
Untuk menentukan problem pada penderita SCI terlebih dahulu kita harus
melakukan pemeriksaan yang tercantum dalam asuhan pelayanan fisioterapi yang
terdiri atas :
a. Assesment
1) Anamnesa
Anamnesa adalah metode pengumpulan data dengan wawancara baik
langsung pada pasien maupun pada keluarga. Anamnesa mencakup
identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit, serta tindakan medik
yang pernah dilakukan.
2) Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat keadaan umum pasien seperti
tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu.
3) Inspeksi
Inspeksi adalah pemeriksaan secara visual tentang kondisi serta
kemampuan gerak dan fungsinya. Apakah ada oedem pada anggota
gerak, pengecilan otot ( atropi ), warna, dan kondisi kulit sekitarnya,
kemampuan beraktifitas, alat bantu yang digunakan untuk beraktifitas,
posisi pasien, dll.
4) Palpasi
Palpasi adalah pemeriksaan terhadap anggota gerak dengan
menggunakan tangan dan membedakan antara kedua anggota gerak yang
kanan dan kiri. Palpasi dilakukan terutama pada kulit dan subcutaneus
untuk mengetahui temperatur, oedem, spasme, dan lain sebagainya.
5) Pemeriksaan Gerak Fungsi
Dalam hal ini meliputi fungsi gerak aktif, gerak pasif, dan gerak
isometrik. Pada pemeriksaan ini umumnya pada pasien ditemukan
adanya rasa nyeri, keterbatasan gerak, kelemahan otot, dan sebagainya.
6) Pemeriksaan Fungsional
Dalam pemeriksaan fungsional meliputi kemampuan pasien dalam
beraktifitas baik itu posisioning miring kanan – kiri ( setiap 2 jam ),

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 27


transfer dari tidur ke duduk, dari tempat tidur ke kursi roda, dan
sebaliknya.
7) Pemeriksaan Khusus
 Pemeriksaan Tonus Otot
 Pemeriksaan Sensibilitas
 Tes Refleks
8) Antopometri
Pengukuran ini dilakukan untuk membuat perbandingan antara sisi yang
sehat dengan sisi yang sakit untuk menentukan apakah ada oedem,
perbedaan panjang tungkai, pengecilan otot dan lain sebagainya.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan Mid line.
9) Kekuatan Otot
Pengukuran ini digunakan untuk melihat kekuatan otot dari keempat
anggota gerak tubuh. Dan dilakukan dengan menggunakan metode
manual muscle testing ( MMT ).
10) Pemeriksaan ROM
Pemeriksaan ROM dilakukan dengan menggunakan goniometer dan
dituliskan dengan menggunakan metode ISOM ( International Standar
Of Measurement ).
11) Pemeriksaan Nyeri
VAS merupakan salah satu metode pengukuran nyeri yang dapat
digunakan untuk menilai tingkat nyeri yang dirasakan oleh pasien. Pasien
diminta untuk menunjukan letak nyeri yang dirasakan pada garis yang
berukuran 10 cm, dimana pada ujung sebelah kiri (nilai 0) tidak ada
nyeri, dan pada ujung sebelah kanan ( nilai 10 ) nyeri sekali.

b. Problem fisioterapi
Asuhan pelayanan fisioterapi yang diberikan pada penderita SCI dilakukan
secara bertahap sesuai dengan problema yang ditemukan pada saat dilakukan
assessment. Untuk itu sebelum melakukan intervensi fisioterapi, hendaknya

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 28


kita mengetahui problema fisioterapi apa saja yang ada pada penderita dengan
SCI.
1) Keterbatasan ROM
ROM adalah sudut yang terjadi saat bergerak yang terjadi dalam sendi.
Jadi keterbatasan ROM adalah keterbatasan sudut yang terjadi saat
bergerak yang terjadi dalam suatu sendi yang mengakibatkan tidak
tercapainya gerak yang normal. Biasanya keterbatasan ROM ini diukur
dengan menggunakan goniometer.
2) Kelumpuhan.
Kelumpuhan atau paralysis dapat terjadi pada seluruh otot-otot tubuh
sesuai dengan level yang terkena. Nilai otot pada penderita SCI pada fase
spinal shock yaitu 0, namun setelah melewati fase tersebut kekuatan otot
akan berangsur membaik yang ditentukan pula oleh seberapa besar
tingkat kerusakan pada medulla spinalis.
3) Spastisitas / flacciditas.
Bila kerusakan mengenai upper motor neuron ( UMN ), maka dapat
terjadi spastisitas. Namun bila mengenai lower motor neuron ( LMN ),
maka yang akan nampak adalah flaccid pada otot-otot. Pada level SCI
yang tinggi, biasanya terjadi spastisitas. Untuk mengukur spastisitas
seringkali digunakan skala Aswort. Skala Aswort mengemukakan secara
manual pergerakan anggota gerak melalui lingkup geraknya untuk
merenggangkan (stretch) suatu group otot. Modifikasi skala Aswort
dalam menilai spastisitas :
Penjelasan
0 Tidak ada peningkatan tonus otot
Ada sedikit peningkatan tonus otot, diketahui oleh atau dengan
1
memberikan tahanan minimal pada akhir ROM
Ada sedikit peningkatan tonus otot, diketahui oleh diikuti
1+
dengan tahanan minimal selama kurang dari setengah ROM
2 Ditandai dengan peningkatan tonus otot pada full ROM
3 Peningkatan tonus otot sehingga sulit melakukan gerakan pasif
4 Menyebabkan rigid / kaku pada saat fleksi atau ekstensi

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 29


4) Gangguan mobilisasi dan transfer.
Akibat dari kelumpuhan otot-otot terutama pada SCI yang mengenai
segmen thoracolumbal, maka akan terjadi gangguan transfer dan
mobilitas dari penderita. Selain dari kelumpuhan otot gangguan tersebut
dapat lebih buruk apabila pasien telah tirah baring lama sehingga terdapat
komplikasi kekakuan sendi dan adanya spastisitas yang berat maka
gangguan mobilitas dan tranfer tersebut akan menjadi lebih berat, dan
dapat menimbulkan komplikasi lain.
5) Potensial terjadi kontraktur.
Kontraktur dapat timbul akibat dari kelemahan anggota gerak, dimana
akibat kelemahan tersebut ekstremitas menjadi tidak dapat digerakkan
dan berada pada posisi statis yang terus menerus, sehingga otot-otot
menjadi memendek.
6) Potensial terjadi kekakuan sendi.
Kekakuan pada sendi terutama pada sendi-sendi pada anggota gerak
akibat dari immobilisasi pasien yang lama dan tidak pernah dilakukan
gerak secara pasif, didukung oleh adanya spastisitas.
7) Potensial terjadi gangguan fungsi pernafasan.
Pada SCI diatas level C4 atau level C5 – Th 12, gangguan pernafasan
yang timbul disebabkan adanya kelemahan otot-otot pernafasan yang
diakibatkan langsung oleh lesi pada medulla spinalis pada level tersebut.
Namun pada SCI level lumbalis, gangguan pernafasan yang timbul
diakibatkan oleh tirah baring yang lama, sehingga menimbulkan kondisi
statis yang dapat menimbulkan gangguan seperti adanya
bronchopneumonia.
8) Potensial gangguan integritas kulit (decubitus).
Decubitus sering terjadi pada penderi SCI, terutama di daerah bokong.
Decubitus terjadi akibat penekanan yang terus menerus pada satu area,
sehingga area tersebut tidak cukup mendapat suply darah atau sirkulasi
pada area tersebut terganggu. Decubitus mudah dikenali, pada tahap awal

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 30


biasanya kulit mulai menjadi merah kehitaman, bila sudah terdapat tanda
tersebut kita harus mencurigai kemungkinan timbulanya decubitus
c. Diagnosa Fisioterapi
Diagnosa fisioterapi dibuat berdasarkan analisa dari hasil pemeriksaan
fisioterapi dan masalah yang ada. Diagnosa tersebut haruslah
menggambarkan anatomi jaringan spesifik, patologi, dan gangguan gerak dan
fungsi.
d. Program Perencanaan Fisioterapi
Dalam menentukan perencanaan, harus ditentukan terlebih dahulu tujuan
yang akan dicapai, yang mencakup tujuan jangka pendek dan tujuan jangka
panjang. Adapun penentuan tujuan dilakukan berdasarkan problematik
fisioterapi yang ditemukan dalam proses assessment.
e. Intervensi Fisioterapi
Berdasarkan problema, kita dapat menentukan intervensi fisioterapi yang
diperlukan dan sesuai dengan kebutuhan pasien atau keluhan pasien agar
tujuan akhir dari intervensi dapat tercapai. Intervensi fisioterapi terutama
ditujukan untuk mengurangi atau mencegah masalah-masalah yang belum ada
namun berpotensi untuk terjadi pada penderita tersebut. Selain itu intervensi
juga ditujukan untuk meningkatkan kemandirian penderita. Adapun berbagai
intervensi fisioterapi yang dapat dilakukan antara lain :
1) Fisioterapi pada fase akut / spinal shock
a) Posisioning
Bila pasien hanya mampu bergerak dengan bantuan orang lain,
fisioterapis adalah salah satu anggota tim yang berperan dalam
membantu gerakan pasien. Fisioterapis memegang peranan penting
dalam mengatur posisi anggota gerak untuk mencegah deformitas
dan untuk mengobservasi area yang terkena tekanan untuk melihat
adanya tanda – tanda timbulnya kelainan, seperti decubitus.
b) Latihan gerak pasif.
Latihan gerak pasif harus dilakukan pada semua sendi pada anggota
gerak bawah pada penderita paraplegi, dan juga mencakup latihan

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 31


pada sendi-sendi anggota gerak atas pada penderita tetraplegi. Pada
lesi di lumbal yang harus diperhatikan adalah saat menggerakkan hip
jangan sampai spine juga ikut bergerak. Perhatian yang sama juga
dilakukan saat menggerakkan upper ekstremity bila lesi terdapat
pada cervical.
c) Chest terapi
Pada paraplegi tidak memerlukan penanganan chest terapi kecuali
bila ada kondisi pengakit paru kronik, tetapi fisioterapis harus
memperhatikan adanya tanda-tanda gangguan respirasi. Pasien
dengan tetraplegi memerlukan chest terapi karena adanya peralysis
pada otot-otot intercostalis. Pasien kemungkinan memakai
trakheoostomi atau alat bantu nafas.
d) Exercise
 Paraplegi : Latihan penguatan untuk anggota gerak atas
dilakukan seawal mungkin
 Tetraplegi : Gerakan aktif pada anggota gerak atas dilakukan
pada posisi yang tidak mengganggu posisi cervical.
e) Interaksi pasien – fisioterapi
Salah satu aspek penting dalam melakukan treatment pada fase akut
adalah untuk membangun kepercayaan yang baik dengan pasien. Hal
ini dapat menjadi sulit, tergantung pada reaksi pasien terhadap
kondisi penyakitnya. Fisioterapis harus mengerti kondisi pasien dan
mengerahkan selurh kemampuannya untuk membangun kooperatif
dan motivasi pasien.
2) Fisioterapi pada fase pemulihan
Saat pertama kali diberikan weight bearing pada spine fisioterapis
secara intensif harus diberikan untuk membangun kemandirian yang
maximum.
a) Paraplegia
 Stimulasi Faradic

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 32


Adalah terapi dengan menggunakan arus frekuensi rendah untuk
stimulasi otot rangka.
Tujuan :
a) Memelihara fisiologi otot dan mencegah atrofi otot
b) Modulasi nyeri tingkat sensorik, spinal atau supraspinal.
c) Menambah jarak gerak sendi dan mengulur tendon.
d) Memperlancar peredaran darah dan memperlancar resorbsi
oedeme.
Indikasi :
a) Otot yang layuh ( Lower Motor Neuron Lesi ) dengan nilai
otot di bawah 3. Bila karena trauma pada urat saraf, maka
perlu pemeriksaan EMG, untuk mengetahui kerusakan
komplit atau partial.
b) Kelemahan otot karena adanya penyakit atau karena otot
lama tidak berfungsi ( disuse atrofi )dengan nilai otot
dibawah 3.
c) Otot yang tidak mampu berkontraksi karena nyeri yang
sangat, misal sehabis trauma.
d) Adanya pembengkakan lokal setempat.
e) Otot yang memendek atau lengket ( kontraktur ).
Kontraindikasi :
a) Kondisi setelah operasi saraf atau penyambungan yang
konduktivitasnya belum membaik berdasarkan EMG
b) Lower Motor Neuron Lesi setelah trauma baru dengan
keluhan nyeri yang sangat.
c) Lower Motor Neuron Lesi dengan complete Nerve Lesion
d) Penderita dalam keadaan panas tinggi.
 Exercise
a) Breathing Exercise
Tujuan :
- Rileksasi otot-otot pernafasan

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 33


- Meningkatkan kapasitas paru
- Mencegah static pulmonal dan mencegah
komplikasi pulmonal.
b) Latihan Berdiri
Tujuan :
Melatih kemampuan fungsional berdiri pasien.
c) Latihan Stimulasi Propriocepsi
Tujuan : Melatih propriocepsi pada kedua tungkai.
d) Latihan Positioning
Tujuan :
Untuk mencegah deformitas dan untuk mengobservasi
area yang terkena tekanan untuk melihat adanya tanda-
tanda timbulnya kelainan seperti decubitus.
e) Latihan Pasif
Tujuan :
Untuk memelihara ROM pada anggota gerak yang tidak
bisa bergerak, mobilisasi sendi dan untuk peregangan otot,
tendon, dan kapsul ligamen serta pumping action untuk
meningkatkan sirkulasi.
b) Tetraplegia
Walaupun beberapa tujuannya sama, pada kondisi tetraplegia akan
membutuhkan waktu yang lama dan akan lebih sulit untuk
mencapainya. Salah satu masalah yang timbul pada SCI yang lebih
tinggi adalah adanya hipotensi postural
Yang timbul akibat hilangnya kontrol vasomotor. Pasien dapat
diajarkan untuk beradaptasi dengan perubahan posisi, dan mereka
harus mengenali tanda-tanda bila ia akan pingsan.
Kursi roda yang akan digunakan memerlukan adaptasi, seperti
sandaran yang tinggi. Pada kondisi pasien dengan lesi pada cervical
bawah, pasien mampu untuk transfer, namun pada lesi cervical
atas, akan memerlukan bantuan untuk transfer.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 34


Pada pasien dengan tetraplegi, tidak mudah untuk melakukan
perawatan diri, tapi pasien harus mampu mengetahui apa yang ia
butuhkan dan tahu kapan ia harus memerlukan bantuan dari orang
lain.
Derajat kemandirian yang dapat dicapai oleh seorang dengan
tetraplegi tidak akan setinggi penderita paraplegia, sehingga ia
harus diperiksa dengan hati-hati.
f. Evaluasi
Evaluasi dapat dilakukan secara berkala atau setiap hari, dimana tujuan
dari evaluasi ini adalah untuk mengetahui apakah terapi yang kita berikan
bermanfaat atau berguna bagi penyembuhan pasien ataukah harus diubah
jika ada perubahan terhadap penyembuhan masalah yang dihadapi pasien.

g. Home Program
Pemberian home program kepada pasien berupa positioning agar
mencegah terjadinya pressure sore yang akan menimbulkan decubitus.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 35


BAB III
LAPORAN KASUS

KOMPETENSI : STASE NEUROMUSCULAR


NAMA MAHASISWA : PARMO
N.I.M : P 27226019222
TEMPAT PRAKTIK : RSUP FATMAWATI JAKARTA
PEMBIMBING : M. Jamaludin, SST.Ft, SKM, MM
Tanggal SK : Februari 2020

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Usia : 22 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Kurir
Alamat : Lebak Bulus
Agama : Islam
Diagnosa Medis : Fraktur Compresi Thorakal VI-VII dan Lesi
Pleksus Brachialis
B. Riwayar Penyakit
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh kedua kakinya tidak bisa digerakan serta nyeri pada
bahu sebelah kanan.
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pada tanggal 5 November 2019 os mengalami kecelakaan pada pagi
hari saat pergi kekantor, Os menghindari motor yang berada di
depannya lalu os meloncat melewati motor dan menabrak pohon
mengenai sisi kanan badanya. Pada saat yang bersamaan os dibawa
ke RS untuk di CT-Scan setelah mengetahui adanya patah pada
tulang belakang lalu os di operasi untuk dilakukan pemasangan
PSSW dan menjalani fisioterapi.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 36


3. Riwayat Penyakit terdahulu
Tidak ada.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada.

2. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Compos Metis
Tekanan darah : 90 / 70 mmHg
Pernafasan : 28 x / menit
Denyut Nadi : 96 x / menit
Psikososial :-
Suhu : Afebris
Status Gizi : Baik
b. Pemeriksaan Khusus
1. Inspeksi
a. Statis
1) Warna Muka : Pucat
2) Warna Bibir : Pucat
3) Pengembangan dada : Simetris
4) Pola nafas : abdominal
5) Postur posis duduk : Tegap
6) Ada luka bekas jahitan pada:
- Post PSSW sepanjang Thoracal VI-
- Gluteus sebelah kiri
b. Dinamis :
- Os mampu menggerakkan anggota gerak atas kiri tanpa
adanya limitasi ROM.tetapi kanan tidak bisa digerakan
- Os kesulitan menggerakkan kedua tungkainya

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 37


2. Palpasi
a. Suhu General Afebris
b. Pengembangan dada Normal
c. Ada oedema pada lengan
kanan
d. Tonus kedua anggota gerak
atas normal, anggota gerak bawah hipotonus
e. Tidak ada nyeri tekan pada
anggota gerak bawah
f. Ada nyeri tekan dan nyeri
gerak pada bahu sebelah kanan

3. Pemeriksaan Fungsi Gerak


Dasar Active
Anggota gerak atas
SENDI GERAK KANAN KIRI
Fleksi - Gerakan aktif Full ROM, nyeri (-)
Ekstensi - Gerakan aktif, Full ROM nyeri (-)
S h o u l d er

Internal Rotasi - Gerakan aktif, Full ROM nyeri (-)


Eksternal Rotasi - Gerakan aktif, Full ROM nyeri (-)
Abduksi - Gerakan aktif, Full ROM nyeri (-)
Adduksi - Gerakan aktif, Full ROM nyeri (-)
Fleksi - Gerakan aktif, Full ROM nyeri (-)
Ekstensi - Gerakan aktif, Full ROM nyeri (-)
Palmar Fleksi - Gerakan aktif, Full ROM nyeri (-)
Elbow

Dorsal Fleksi - Gerakan aktif, Full ROM nyeri (-)


Wrist

Keterangan :
Untuk kedua anggota gerak bawah tidak dapat dilakukan pemeriksaan
fungsi gerak dasar aktif karena tidak dapat bergerak secara aktif.

4. Pemeriksaan Fungsi Gerak Pasif


a) Anggota gerak atas kiri Full ROM nyeri (-)
b) Anggota gerak atas kanan gerak pasif Keterbatasan ROM
nyeri (+)

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 38


c) Kedua anggota gerak bawah gerak Pasif Full ROM nyeri (-)
5. Pemeriksaan Kemampuan
Fungsional (ADL )
a) Makan dan Minum : Mandiri
b) BAB & BAK : Dibantu terapis dan keluarga
c) Barpakaian : Dibantu terapis dan keluarga
d) Miring kanan dan kiri : Dibantu terapis dan keluarga
e) Transfer dari tidur ke duduk : Dibantu terapis dan keluarga
f) Duduk : Dibantu terapis dan keluarga
g) Transfer dari bed ke kursi roda : Dibantu terapis dan keluarga
h) Transfer dari kursi roda ke bed : Dibantu terapis dan keluarga

6. Pemeriksaan ROM
Anggota gerak atas Aktif
No Sendi Kanan Kiri Normal
S:- S : 60-0-180 S : 60-0-180
1 Sholder
F: - F : 180-0-45 F : 180-0-45
2 Elbow S:- S : 0-0-150 S : 0-0-150
3 Wrist S: - S : 70-0-80 S : 70-0-80
Keterangan : Adanya kelemahan pada lengan kanan.

Anggota gerak atas Pasif


No Sendi Kanan Kiri Normal
S : 0-0-80 S : 60-0-180 S : 60-0-180
1 Sholder
F: 60-0-45 F : 180-0-45 F : 180-0-45
2 Elbow S : 0-0-150 S : 0-0-150 S : 0-0-150
3 Wrist S: 70-0-80 S : 70-0-80 S : 70-0-80
Keterangan : adanya kleterbatasan gerak fleksi dan abduksi lengan
kanan karena adanya nyeri.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 39


Anggota gerak Bawah pasif
No Sendi Kanan Kiri Normal
S : 30-0-120 S : 30-0-120 S : 30-0-120
1 Hip
F : 45-0-30 F : 45-0-30 F : 45-0-30
2 Knee S :0-0-135 S : 0-0-135 S : 0-0-135
3 Ankle S: 20-0-50 S : 20-0-50 S : 20-0-50
Keterangan : adanya kleterbatasan gerak

7. Pemeriksaan MMT
Anggota gerak atas
Kanan Kiri
Gerakan
Sendi MMT MMT Sendi
Fleksi
Ekstensi
Abduksi
Sholder 0 5 Sholder
Adduksi
Internal Rotasi
Eksternal Rotasi
0 Fleksi
Elbow 5 Elbow
Ekstensi
0 Palmar fleksi
Dorsal Fleksi
Wrist 5 Wrist
Ulnar Deviasi
Radial Deviasi
Keterangan :
Untuk kedua anggota gerak bawah tidak dapat dilakukan
pemeriksaan MMT karena lumpuh

Anggota gerak bawah


Kanan Gerakan Kiri

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 40


Sendi MMT MMT Sendi
Fleksi
Ekstensi
Abduksi
Hip 0 0 Hip
Adduksi
Internal Rotasi
Eksternal Rotasi
Fleksi
Knee 0 0 Knee
Ekstensi
Plantar Fleksi
Dorsal Fleksi
Ankle 0 0 Ankle
Eversi
Inversi
Fleksi jari 1
Ekastensi jari I
Toes 0 0 Toes
Abduksi
Adduksi

8. VAS ( Visual Analog Scale )

8
Tidak Nyeri Sangat nyeri sekali

Keterangan :
Pemeriksaan Nyeri dilakukan pada tangan kanan pasien, yang
diprovokasi dengan gerakan dan tekanan pada keadaan Lesi pleksus
brakialis.
9. Pemeriksaan Antropometri
a. Lingkar Segmen Upper Extremity
Lingkar segmet Kanan Kiri Selisih
Lengan Atas 20 23 3
Elbow 23 24 1
Lengan bawah 17 21 4
Keterangan : adanya atropy pada lengan kanan.

b. Lingkar Segmen Lower Extremity


Lingkar segmet Kanan Kiri Selisih
Tungkai atas 36 36 0

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 41


Base of patella 36 36 0
Tungkai bawah 23 23 0
Keterangan : tidak adanya atropy

c. Panjang Tungkai
Panjang Tungkai Kanan Kiri Selisih
True length 93 93 0
Bone length
Os Femur 49 49 0
Os Tibia 37 37 0
Appereance lenght 99 99 0
Keterangan : tidak adanya beda panjang tungkai

B. PROBLEM FISIOTERAPI
1 Kelemahan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah
2 Gangguan sensasi pada area thorakal VI kebawah
3 Adanya Nyeri pada bahu sebelah kanan
4 Keterbatasan gerak pada bahu sebelah kanan

C. DIAGNOSA FISIOTERAPI
Adanya gangguan gerak dan fungsi sehubungan dengan adanya
kelumpuhan anggota gerak bawah akibat froktur compresi Thoracal VI-
VII yang disertai adanya kelemahan anggota gerak atas kanan yang
diakibatkan karena lesi pleksus brakialis

D. RENCANA INTERVENSI FISIOTERAPI


1. Jangka pendek
a. Memelihara fungsi pernapasan
b. Memelihara kekuatan otot-otot anggota gerak atas
c. Memelihara ROM anggota gerak atas dan bawah

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 42


d. Mencegah terjadinya decubitus.
2. Jangka Panjang
Pasien mampu mandiri dalam ADL dan mobilisasi dengan alat bantu
dengan long leg brace.

E. INTERVENSI FISIOTERAPI
Modalitas Fisioterapi
a. Modalitas Alternatif : - Faradic
- Galvanic
- Excercise
- Hydrotherapy
b. Modalitas Terpilih : - Faradic
- Excercise

1. Faradic
a. Prosedur : Pasien tidur terlentang atau duduk. Pada posisi tidur
terlentang elektrode pasif di tempatkan di L4 dan
elektrode aktif di otot tibialis anterior ( di dorsum
pedis ). Pada posisi duduk elektrode pasif di sebelah
lateral fibula dan yang aktif di tibialis anterior.
b. Dosis : F : Setiap Hari
I : 2-60 mA ( kontraksi optimal )
T : 30-90 kali rangsangan dengan waktu 1-3 menit.
T : Stimulasi Saraf
R : 5-10 kali seri
2. Exercise
a. Breathing Exercise
- Prosedur : Menggunakan metode deep breathing, posisi pasien
duduk di kursi roda lalu pasien menarik nafas panjang
melalui hidung semaksimal mungkin lalu

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 43


menghembuskan nafas melalui mulut seperti meniup
lilin. Dilakukan pada saat melakukan latihan berdiri.
- Dosis : F : Setiap hari
I : 3 kali inspirasi dan ekspirasi
T : 3 detik inspirasi 4 detik ekspirasi
T : Intermitten deep breathing
R : 8-10 kali pengulangan
b. Latihan Berdiri dan Endurance
- Prosedur : Posisi awal pasien duduk di kursi roda lalu pasien
berdiri di paralel bar dengan tumpuan pada kedua
lengannya dan ditahan beberapa saat pada posisi
tersebut.
- Dosis : F : Setiap hari
I : Toleransi ( 1 menit )
T : 10 menit
T : Berdiri aktif
R : 6 kali pengulangan ( toleransi )
c. Latihan Stimulasi Propriosepsi
- Prosedur : Posisi awal pasien duduk di kursi roda lalu pasien
berdiri di paralel bar dengan tumpuan pada kedua
lengannya lalu oleh fisioterapis di berikan gerakan ke
samping kanan kiri, depan belakang dengan fiksasi di
pelvisnya dan masing-masing gerakan tumpuan ditahan
selama beberapa detik.

- Dosis : F : Setiap Hari


I : Toleransi ( 1 menit )
T : 10 menit
T : Stimulasi Propriocepsi

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 44


R : 6 kali pengulangan ( toleransi )
d. Latihan positioning
- Prosedur : Pasien tidur terlentang dan diminta untuk melakukan
miring kanan dan miring kiri serta mencoba
mengangkat pantantnya.
- Dosis : F : S
I : -
T : 2 menit
T : Aktif
R : 1 kali pengulangan
e. Latihan pasif
- Prosedur : Posisi pasien tidur terlentang lalu fisioterapis
menggerakkan secara pasif di pergelangan kakinya ke
arah dorsal fleksi, plantar fleksi, inversi dan eversi
( terutama gerakan dorsi fleksi ) dengan cara relax
passive movement
- Dosis : F : Setiap hari
I : Gerakan Full ROM
T : 3 menit
T : Pasif
R : 8 kali pengulangan, 2 set

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 45


F. EVALUASI
1. Tidak terlihat adanya peningkatan kekuatan otot pada anggota gerak
bawah dari nilai 3 ke bawah pada hip dan knee dan nilai 0 pada ankle,
yang didapat pada pemeriksaan tanggal 21 Maret 2020, setelah dilakukan
terapi selama kurang lebih 2 minggu berdasarkan pemeriksaan tanggal 28
Maret 2020, nilai otot pada tungkai bawah masih sama/tetap.
2. ROM ekstremitas bawah juga tidak terdapat perubahan.
3. Lingkar segmen tungkai bawah terdapat perubahan, dimana menjadi
berkurang yang menunjukkan adanya atrofi pada otot-otot tungkai bawah.
4. Masih terdapat flacciditas pada tungkai bawahnya.
5. Sensibilitas : tidak ada perubahan.
6. Sensasi propriosepsi masih belum ada.
7. Pasien belum mampu melakukan transfer dan mobilisasi secara mandiri.

G. HOME PROGRAM
Pasien dianjurkan untuk melakukan positioning di ruang rawat inapnya
minimal 2 jam sekali melakukan miring kiri dan kanan.

H. PROGNOSA
 Quo et vitam : baik
 Quo et sanam : menuju baik
 Quo et Fungsionam : baik dengan alat bantu
 Quo et kosmeticam : buruk

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 46


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan, klasifikasi ASIA yang ditemui Tn. GP
adalah komplit tipe A. Adapun hasil yang didapatkan setelah pemberian
intervensi adalah :
1. Nilai ROM sebelum dan sesudah tidak ada perubahan. ( Lihat lampiran
Pengukuran ROM ).
2. Kekuatan otot anggota gerak bawah tidak ada peningkatan. ( Lihat
lampiran MMT ).
3. Sensasi pada anggota gerak bawah tidak ada perubahan.

B. Saran
1. Untuk Pasien
Pasien diharapkan agar tidak putus asa dan lebih meningkatkan keyakinan
dan semangat dalam melakukan latihan.
2. Untuk Keluarga
Keluarga diberikan informasi tentang keadaan pasien setelah mengalami
SCI dan lebih memotivasi pasien dalam membantu penyembuhan serta
memberikan pengetahuan tentang hal-hal yang harus dan tidak boleh
dilakukan.
3. Tim Medis
a. Pasien lebih terampil menggunakan kursi roda
sehingga dapat mobilisasi dalam berbagai tempat / medan, dan dapat
dikonsultasikan oleh tim Occupational Therapy.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 47


b. Untuk keadaan psikis agar pasien termotivasi untuk
latihan agar tidak terjadi penurunan, tidak putus asa dan rendah diri
terhadap keadaannya sehingga dapat bersosialisasi dengan lingkungan
sekitar, dapat dikonsultasikan ke bagian psikologi.

Program Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta | 48

Anda mungkin juga menyukai