Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

TRAUMA MEDULA SPINALIS

Disusun Oleh :

Jerika Olga 201711021

Maria Erlina 201711027

Riya Agustina 201711045

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SINT CAROLUS

JAKARTA

2020

1
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

 Latar Belakang…………………………………………. 3
 Tujuan Penulisan………………………………………. 5

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Medik
 Definisi………………………………………………… 6
 Anatomi Fisiologi……………………………………... 6
 Etiologi ………………….…………………………….. 10
 Patofisiologi…………………………………………… 10
 Klasifikasi……………………………………………… 12
 Tanda dan Gejala………………………………………. 16
 Test Diagnostik………………………………………… 17
 Komplikasi…………………………………………….. 18
 Penatalaksanaan………………………………………... 20
B. Konsep Keperawatan
 Pengkajian …………………………………………….. 26
 Diagnosa Keperawatan………………………………… 27
 Intervensi……………………………………………… 28
C. Patoflow

BAB III KESIMPULAN……………………………………………… 33

 Daftar Pustaka…………………………………………. 34

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cedera tulang belakang atau yang dikenal juga sebagai spinal cord injury (SCI)

adalah suatu keadaan yang mencederai spinal baik secara keseluruhan atau hanya

sebagian segmen spinal. Mekanisme cedera tulang belakang dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu cedera primer dan sekunder. Cedera primer atau langsung kebanyakan

disebabkan oleh keadaan mekanik yang secara tiba-tiba dan sangat keras yang lansung

menimpa segmen spinal, yaitu kondisi hiperekstensi, kompresi atau trauma penetrasi.

Sedangkan cedera sekunder terjadi beberapa saat setelah cedera primer.

Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung

maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga

menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau

kematian. Gejala-gejala dapat bervariasi mulai dari nyeri, paralisis, sampai terjadinya

inkontinensia bergantung pada letak kerusakan medula spinalis. Kerusakan medula

spinalis dapat dibagi menjadi tingkat inkomplit dengan gejala-gejala yang tidak berefek

pada pasien sampai tingkat komplit dimana pasien mengalami kegagalan fungsi total.

Pasien dengan cedera medula spinalis komplit hanya memiliki peluang 5% untuk kembali

normal. Lesi medula spinalis komplit yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam

pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis inkomplit

cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Bila fungsi sensorik di bawah lesi masih

ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan >50%.

3
Insiden cedera medula spinalis menunjukkan terdapat 40- 80 kasus baru per 1 juta

populasi setiap tahunnya. Ini berarti bahwa setiap tahun sekitar 250.000-500.000 orang

mengalami cedera medula spinalis. Penelitian terakhir menunjukkan 90% kejadian cedera

medula spinalis disebabkan oleh adalah trauma seperti kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh

(25%), olahraga (10%), atau kecelakaan kerja. Angka mortalitas didapatkan sekitar 48%

dalam 24 jam pertama. Sekitar 80% meninggal di tempat kejadian oleh karena vertebra

servikalis memiliki risiko trauma paling besar, dengan level tersering C5, diikuti C4, C6,

kemudian T12, L1, dan T10. Kerusakan medula spinalis tersering oleh penyebab

traumatik, disebabkan dislokasi, rotasi, axial loading, dan hiperfleksi atau hiperekstensi

medula spinalis atau kauda ekuina.

4
B. Tujuan Penulisan

 Tujuan Umum

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas keperawatan

gawat darurat dengan kasus trauma medulla spinalis dan untuk menambah

wawasan mahasiswa dan mahasiswi tentang trauma medulla spinalis dan asuhan

keperawatan kepada pasien dengan trauma medulla spinalis.

 Tujuan Khusus:

1. Memahami tentang trauma medula spinalis

2. Mengetahui anatomi fisiologi medula spinalis

3. Mengetahui etiologi dari trauma medula spinalis

4. Mengetahui patofisiologi trauma medula spinalis

5. Mengetahui tanda dan gejala trauma medula spinalis

6. Mengetahui test diagnostik untuk trauma medula spinalis

7. Mengetahui penatalaksanaan medik dan pembedahan trauma medula spinalis

8. Mengetahui komplikasi trauma medula spinalis

9. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien trauma medula spinalis

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Medik

1. Definisi

Cedera tulang belakang atau yang dikenal juga sebagai spinal cord injury (SCI)

adalah suatu keadaan yang mencederai spinal baik secara keseluruhan atau hanya

sebagian segmen spinal. Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang

baik langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis

sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap

atau kematian.

2. Anatomi dan fisiologi

Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk silindris

memanjang dan menempati ⅔ atas canalis vertebra yaitu dari batas superior atlas (C1)

sampai batas atas vertebra lumbalis kedua (L2), kemudian medulla spinalis akan

berlanjut menjadi medulla oblongata. Pada waktu bayi lahir, panjang medulla spinalis

setinggi ± Lumbal ketiga (L3). Medulla spinalis dibungkus oleh duramater,

arachnoid, dan piamater. Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan

komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks. Medulla

spinalis berawal dari ujung bawah medulla oblongata di foramen magnum. Pada

dewasa biasanya berakhir disekitar tulang L1 berakhir menjadi konus medularis.

Selanjutnya akan berlanjut menjadi kauda equina yang lebih tahan terhadap cedera.

Dari berbagai traktus di medulla spinalis, ada 3 traktus yang telah dipelajari secara

klinis, yaitu traktus kortikospinalis, traktus sphinotalamikus, dan kolumna posterior.

6
Setiap pasang traktus dapat cedera pada satu sisi atau kedua sisinya. Traktus

kortikospinalis, yang terletak dibagian posterolateral medulla spinalis, mengatur

kekuatan motorik tubuh ipsilateral dan diperiksa dengan melihat kontraksi otot

volunter atau melihat respon involunter dengan rangsangan nyeri. Traktus

spinotalamikus, yang terletak di anterolateral medula spinalis, membawa sensasi

nyeri dan suhu dari sisi kontralateral tubuh.

Diameter bilateral medulla spinalis bila selalu lebih panjang dibandingkan

diameter ventrodorsal. Hal ini terutama terdapat pada segmen medulla spinalis

yang melayani ekstremitas atas dan bawah. Pelebaran ke arah bilateral ini disebut

intumesens, yang terdapat pada segmen C4-T1 dan segmen L2-S3 (intumesens

lumbosakral). Pada permukaan medulla spinalis dapat dijumpai fisura mediana

ventalis, dan empat buah sulkus, yaitu sulkus medianus dorsalis, sulkus

dorsolateralis, sulkus intermediodorsalis dan sulkus ventrolateralis. Pada

penampang transversal medulla spinalis, dapat dijumpai bagian sentral yang

berwarna lebih gelap (abu-abu) yang dikenal dengan istilah gray matter. Gray
7
matter adalah suatu area yang berbentuk seperti kupu-kupu atau huruf H. Area ini

mengandung badan sel neuron beserta percabangan dendritnya. Di area ini

terdapat banyak serat-serat saraf yang tidak berselubung myelin serta banyak

mengandung kapiler-kapiler darah. Hal inilah yang mengakibatkan area ini

berwarna menjadi lebih gelap. Gray matter dapat dibagi kedalam 10 lamina atau 4

bagian, yaitu :

a) Kornu anterior/dorsalis, yang mengandung serat saraf motorik,

terdiri atas lamina VIII, IX, dan bagian dari lamina VII.

b) Kornu posterior/ventralis, yang membawa serat serat saraf

sensorik, terdiri atas lamina I-IV.

c) Kornu intermedium, yang membawa serat-serat asosiasi, terdiri

atas lamina VII.

d) Kornu lateral, merupakan bagian dari kornu intermedium yang

terdapat pada segmen torakal dan lumbal yangmembawa serat

saraf simpatis.

Setiap segmen medula spinalis memiliki empat radix, sebuah radix

ventralis dan sebuah radix posterior pada sisi kiri dan sepasang di sisi kanan.

Radix saraf ini keluar dari kolumna vertebralis melalui foramina intervetebralis.

Pada spina servikalis, radix keluar melewati bagian atas kolumna vertebralis,

sedangkan pada segmen bawah T1 radix keluar melewati bagian bawah korpus

vertebralis. Radix ventralis berfungsi sebagai traktus motoris yang keluar dari

medula spinalis, sedangkan radix posterior bersifat sensoris terhadap struktur

8
superfisial dan profunda tubuh. Perjalanan serabut saraf dalam medulla spinalis

terbagi menjadi dua jalur, jalur desenden dan asenden. Jalur desenden terdiri dari:

a. Traktus kortikospinalis lateralis

b. Traktus kortikospinalis anterior,

c. Traktus vestibulospinalis,

d. Traktus rubrospinalis,

e. Traktus retikulospinalis,

f. Traktus tektospinalis,

g. Fasikulus longitudinalis medianus

Jalur Asenden terdiri dari :

a. Sistem kolumna vertebralis

b. Traktus spinothalamikus

c. Traktus spinocerebellaris dorsalis

d. Traktus spinocerebellaris ventralis

e. Traktus spinoretikularis.

Jalur desenden sebagian besar berfungsi untuk mengatur gerakan motorik,

baik yang disadari maupun mengatur derajat refleks. Jalur asenden lebih

merupakan pembawa informasi pada otak seperti rasa nyeri, suhu, getaran, raba,

dan posisi tubuh.

9
3. Etiologi

Trauma medulla spinalis seringkali disebakan oleh kecelakaan lalu lintas,

meskipun penyebab lain juga bisa menyebabkan cedera pada medulla spinalis seperti

luka tusuk/luka tumpul dan tumor (massa).

4. Patofisiologi

Trauma pada permukaan medula spinalis dapat memperlihatkan gejala dan

tanda yang segera ataupun dapat timbul kemudian. Trauma mekanik yang terjadi

untuk pertama kalinya sama pentingnya dengan traksi dan kompresi yang terjadi

selanjutnya. Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf oleh

fragmen-fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat

dan perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan

sel membran neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit

di substansia grisea dan meluas beberapa jam kemudian sehingga perdarahan masif

dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian. Efek trauma terhadap tulang belakang

10
bisa bisa berupa fraktur-dislokasi, fraktur, dan dislokasi. Fraktur tidak mempunyai

tempat predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi pada bagian yang terfiksasi,

seperti vertebra C1-2, C5-6 dan T11-12. Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara

atau berat dan menetap.

Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan fraktur dan

dislokasi, tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis dikenal sebagai trauma

tak langsung. Tergolong dalam trauma tak langsung ini ialah whiplash (lecutan), jatuh

terduduk atau dengan badan berdiri, atau terlempar oleh gaya eksplosi bom.

Mekanisme rusaknya medulla spinalis

1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan hematom.

Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh

korpus vertebra yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi oleh korpus

vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.

2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan,

hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis terhadap

regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.

3. Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan

gangguan aliran darah kapiler dan vena.

4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau arteri spinalis anterior dan

posterior.

11
5. Klasifikasi

1. Cedera Fleksi-rotasi, dislokasi, dan Fraktur-Dislokasi

Cedera medulla spinalis yang paling banyak terjadi adalah fleksi.

Ketika kepala membentur roda kemudi atau kaca depan, tulang belakang

terdororng hingga mengalami hiperfleksia akut. Rupture ligament posterior

menyebabkan dislokai tulang belakang ke arah depan. Pembuluh darah yang

membawa nutrisi dapat rusak, hingga mengakibatkan terjadinya iskemia

tulang belakang. Tulang belakang servikal, biasanya di tingkat C5-C6 adalah

yang paling sering terkena cedera fleksi. Pada tulang belakang bagian lumbal

toraksik, jenis cedera ini paling sering terjadi pada level T12-L1.

2. Cedera Hiperekstensi

Cedera hiperekstensi terjadi akibat jatuh saat dagu membentur objek dan

kepala terpelanting kebelakang. Ligamentum arterior mengalami ruptur,

disertai fraktur elemen posterior badan vertebral. Hiperekstensi tulang

belakang terhadap ligamentum flavum dapat menyebabkan kontusi

kolomdorsal dan dislokasi vertebra posterior. Transaksi komplet pada tulang

belakang dapat terjadi setelah cedera hiperekstensi, meskipun jarang. Klien

yang mengalami lesi komplet pada tulang belakang tidak selalu mengalami

12
transeksi. Lesi komplet dalam tulang belakang menyebabkan hilangnya semua

gerakan volunteer dan sensasi di bawah lesi, serta hilangnya fungsi reflex

dalam segment tulang belakang yang terisolasi.

3. Cedera Kompresi

Cedera kompresi sering disebabkan oleh jatuh atau lompatan di mana

seseorang mendarat langsung terlebih dahulu, sacrum, atau kaki. Kekuatan

benturan menimbulkan fraktur pada tulang vertebra dan fragment

menimbulkan kompresi pada tulang belakang. Diskus dan fragment tulang

dapat didorong ke tulang belakang pada saat benturan. Lumbal dan toraksisk

bagian bawah adalah wilayah yang paling sering terkena cidera setelah

dampak kompresi ketika orang tersebut mendarat dengan kaki terlebih dahulu.

Jika orang tersebut mendarat dengan kepala terlebih dahulu (seperti ketika

menyelam ke air dangkal), cedera yang terjadi adalah pada tulang belakang

13
servikal. Sekitar 50% dari cedera ini mengakibatkan lesi non komplit. Lesi

non komplit ini terjadi jika beberapa fraktus spinal tetap utuh.

4. Berdasarkan level cedera

Level cedera didasarkan atas tingkatan tulang belakang, dimana terjadi

kerusakan yang parah pada tulang belakang dan jaringan ikat. Cedera tulang

belakang dapat terjadi pada bagian servikal, torakal, atau lumbal. Cedera pada

bagian lumbal dan servikal merupakan kejadian yang seringkali terjadi terkait

dengan aktifitas bergerak yang tinggi. Jika medula spinalis terlibat, akan

terjadi paralisis pada ke empat bagian ekstremitas yang menyebabkan

tetraplegia. Namun ketika kerusakan terjadi dibawah medula spinalis, jarang

sekali kedua lengan mengalami kelumpuhan. Jika kerusakan terjadi pada

bagian lumbal dan torakal, terjadinya paraplegia, (paralisis dan hilangnya

sensasi pada kedua kaki.

Menurut American Spinal Cord Injury Association terdapat 5 sindrom utama

cedera medula spinalis inkomplit, yaitu: (1) Central cord syndrome; (2) Anterior cord

syndrome; (3) Brown-Sequard syndrome; (4) Cauda equina syndrome; dan (5) Conus

medularis syndrome.

1. Central cord syndrome

14
Menimbulkan lebih banyak kelemahan pada ekstremitas atas daripada

ekstremitas bawah jenis cidera ini paling sering terjadi pada lansia yang

menderita stenosis tulang belakang sebelumnya. Cidera ini juga dapat terjadi

pada orang yang jatuh mendarat dengan kepala terlebih dahulu seperti ketika

menyelam ke air dangkal dan membentur bagian dasar. Kelemahan ini

disebabkan oleh edema dan perdarahan didaerah central tulang belakang yang

sebagian besar berisi saluran saraf ketangan dan lengan.

2. Anterior cord syndrome

Lesi pada tulang belakang anterior menyebabkan sindrom tulang belakang

anterior denga hilangnya fungsi motorik seutuhnya dan penurunan sensasi

nyeri. Tekanan yang dalam, rasa posisi dan sensai diskriminasi dua titik tetap

utuh.Arteri spinalis anterior sering kali terpengaruhi yang menyebabkan infark

jaringan tulang belakang.

3. Brown-Sequard syndrome

Disebabkan oleh hemiseksilateral dari tulang belakang yaitu ketika setengah

dari tulang belakang terpotong atau rusak, seperti pada luka tembak atau luka

pisau. Cidera ini mengakibatkan paralisis motorik ipsilateral (sisi yang sama),

hilangnya rasa getaran dan posisi, sertanya hilangnya nyeri kontra lateral (sisi

berlawanan) dan sensasi suhu.

4. Cauda equina syndrome

Cidera pada akar saraf lumbo sakral dibawah medularis konus menyebabkan

sindrom equina qauda. Klien mengalami arefleksia usus, kandung kemih dan

ekstremitas bawah.

15
5. Conus medularis syndrome

Terjadi setelah kerusakan pada akar saraf lumbal dan medularis konus tulang

belakang. Klien biasanya mengalami arefleksia usus dan kandung kemih serta

flaksid diekstremitas bawah. Penil bulbocavernosus (ereksi) dan reflek

berkemih dapat tetap utuh jika kerusakan hanya terbatas pada segmen sakral

bagian atas dari medula spinalis.

Klasifikasi Cedera Menurut ASIA

American Spinal Injury Association (ASIA)(Consortium, SCM

2006)  telah mengembangkan dan mempublikasikan standart internasional untuk

klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medula spinalis. Skala kerusakan

menurut ASIA adalah sebagai berikut: 

 Grade (A) Komplit. Tidak ada fungsi motorik maupun sensorik di

seluruh segmen dermatom dari titik lesi hingga S4-S5. 

 Grade (B) Inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi (termasuk segmen

S4-S5) terganggu, namun fungsi sensorik masih berjalan dengan baik.

 Grade (C) Inkomplit. Fungsi motorik di bawah lesi masih berfungsi

dan mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai <3. 

 Grade (D) Inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi masih berfungsi

dan mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai > 3. 

 Grade (E) Normal. Fungsi motorik dan sensorik normal

5. Tanda dan gejala

16
a) Nyeri akut pada belakang leher menyebar sepanjang saraf yang

terkena

b) Inkontinensia atau retensi urin

c) Paraplegia atau tetraplegia

d) Distensi kandung kemih

e) Penurunan keringat dan tonus vasomotor

f) Sesak nafas

g) Hipotensi

6. Test Diagnostik

a. X-ray spinal

Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulang (fraktur, dislokasi), untuk

kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi

b. CT-Scan

Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi gangguan struktural

c. MRI

Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi

d. Myelografi.

Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor

patologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang

subharakhnoid medulla spinalis

e. Foto rontgen thorak,

17
Memperlihatkan keadaan paru-paru (perubahan pada diafragma,

atelektasis)

f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal)

Mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan

trauma servikal bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan

pada saraf frenikus /otot interkostal).

g. AGD

Menunjukan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi

7. Komplikasi

a. Syok spinal

Syok spinal adalah hilangnya dengan segera semua reflex dari dua

segment di atas dan dibawah tempat cedera medula spinal. Reflex

yang hilang adalah reflek yang mengontrol postur, fungsi kandung

kemih dan usus, tekanan darah dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok

spinal tampak terjadi akibat hilangnya semua muatan tonik secara

mendadak yang secara normal dibawa dalam neuron yang menurun

dari otak, yang bekerja untuk mempertahankan fungsi reflek.

b. Gagal nafas

Apabila kerusakan dan pembengkakan di medulla spinalis terletak di

spina servikal (kebawah sampai sekitar C5), pernapasan dapat berhenti

18
karena kompresi saraf frenikus,yang terletak antara C3 dan C5 dan

mengontrol gerakan diafragma.

c. Defisit neuron motorik atas dan bawah

Neuron motorik adalah unit fungsional yang membawa impuls

motorik. Trauma pada medula spinal diklasifikasikan sebagai lesi

neuron motorik atas dan lesi motorik bawah. Neuron motorik atas

terletak pada korteks serebral, talamus, batang otak,dan traktur

kortikospinal dan kortikolbulbar. Berperan sebagai gerakan volunter.

Ketika jaras motorik ini terganggu, klien dengan ini akan mengalami

paralisis spastik dan hiperrefleksia dan tidak mampu melakukan

gerakan trampil. Neuron motorik bawah terletak pada kornu anterior

medula spinal nuklei motorik batang otak, dan akson yang mencapai

lempeng akhir motorik otot skeletal. Berperan sebagai inervasi dan

kontraksi otot skeletal. Ketika neuron motorik bawah mengalami

gangguan akan menyyebabkan flaksiditas dan atrofi otot yang besar,

yang disertai dengan kehilangan gerakan volunter dan non-volunter.

Jika neuron motorik sedikit yang menyuplai otot yang terkena

gangguan, maka klien akan mengalami paralisis sebagian, jika semua

neoron motorik ke otot yang terkena maka klien akan mengalami

paralisis lengkap dan hiporefleksia.

d. Disrefleksi autonomik (Hiperrefleksia autonomik)

Disrefleksi autonomik merupakan respons simpatis berlebihan yang

terjadi pada klien yang mengalami trauma medula spinalispada atau

19
diatas T6. Respon tersebut hanya terlihat setelah penyembuhan dari

syok spinal, yang terjadi sebagai akibat kuang kendali sistim saraf

otomom pada pusat yang lebih tinggi. Ketika ransangan tidak mampu

naik ke korda, akan terjadi stimulus refleks yang banyak pada saraf

simpatis dibwah tingkat korda yang cedera, memicu vasokonstriksi

masif. Sehingga saraf vagus menyebabkan bradikardia dan vasodilatasi

diatas tingkat cedera

e. Komplikasi lain

Cedera medulla spinalis dapat mempengaruhi semua system tubuh.

8. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan medik

Terapi farmakologi pada klien yang mengalami trauma medula spinalis

terutama simtomatik. Tujuan pemberian terapi ini aalah untuk mengurangi

edema akibat cedera, menangani hipotensi, dan bradikardia, meredakan

nyeri, menangani spatisitas, serta mempertahankan fungsi usus. Jenis

terapi yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Kortikosteroid pemberian steroid dosis tinggi secara cepat (dalam

satu jam pertama) : untuk menurunkan ataupun mengendalikan

inflamasi dan edema korda

2. Vasopresor digunakan pada fase perawatan akut segera: untuk

mengatasi bradikardia atau hipotensi pada syok neurologik dan

20
dobutamin (Dobutrex) untuk membantu fungsi jantung. Atropin

harus tersedia disamping tempat tidur untuk menangani

bradikardia.

3. Antispasmodik (baklofen (Lioresal), diazepam (Valium), dan

dantrolen (Dantrium) digunakan untuk menangani spastipitas pada

klien yang mengalami trauma medula spinalis.

4. Antiemesis digunakan untuk pencegahan muntah

5. Analgesik (anti implamasi nonsteroid) dan narkotik diberikan

untuk meredakan nyeri.

6. Inhibilaator pompa proton (Omeprazol, rebeprazole, pantoprazole)

diberikan untuk mencegah ulkus gstik akibt stres, komplikasi yang

umumnya sering terjadi.

7. Kecuali dikontraindikasikan, antikoagulan (heparin atau warfarin)

digunakan untuk menvcegah tromoflebitis.

8. Pelunak feses dapat diberikan sebagai program latihan usus.

9. Gardner-well tongs

10. Halo fixaton device with jacket

11. Methylprednisolone (solu-Medrol) diberikan 8 jam setelah injuri.

Dextran plasma diberikan untuk meningkatkan alian darah kapiler.

Atropine selfate diberikan untuk bradikardi. Dopamine

hydrochloride dan isoproterenol untuk hipotensi. Nalaxone dan

thryotropin-releasing hormon (TRH) digunakan melindungi spinal

21
cord. Obat lainnya, 4-AP, a potassium chanel bloker. Dantrolene

(dantrium) dan baclofen (lioresal) digunakan untuk mengontrol

spasme otot. Beberapa obat untuk mencegah atau pengobatan

komplikasi mobilitas yang dibutuhkan selama rehabilitasi

contohnya etidronate disodium (didrone).

2. Penatalaksanaan Bedah

Tujuan dari intervensi bedah adalah untuk menstabilkan tulang belakang.

Laminektomi dekompresif, yakni lamina vertebra dilepaskan untuk

mengurangi tekanan pada tulang belakang, dapat digunakan untuk cedera

spinalis komplet. Stabilisasi oleh fusi bedah dapat dilakukan dengan

insersi pelat logat dan sekrup atau penggunaan cangkok tulang sendiri atau

kombinasi. Fraktur pecah pada segmen tulang belakang toraks dan lumbal

dapat diobati dengan gips tubuh, batang Harrington, atau perangkat lain

untuk stabilisasi tulang belakang. Perangkat stabilisasi tulang belakang

biasanya dimasukan melalui insisi posterior.

3. Penatalaksanaan Non Bedah

a. Rehabilitasi Cedera Medula Spinalis

Klien dengan semua tingkat cedera dan dari segala usia dapat

memperoleh manfaat dari rehabilitasi. Dalam semua fase

rehabilitasi, penting bahwa klien yang termotivasi diberi

kesempatan untuk melakukan keterampilan apapun, sekali pun jika

perawat atau dokter dapat mencapainya dengan lebih cepat.

Member kesempatan kepada klien untuk mencoba keterampilan

22
yang kompleks menunjukan dukungan terhadap kemampuan

perawatan diri dari klien. Kunci dari rehabilitasi adalah tim

multidisiplin yaitu dokter, perawat dan penyedia layanan

kesehatan lain ( ahli fisioterafi, ahli terapi okupasi, ahli terapi

bicara, dan patologis bahasa) untuk mengurangi morbiditas,

memaksimalkan pemulihan fungsi, dan meningkatkan

kemandirian.

b. Meningkatkan mobilitas

Kursi roda memberikan mobilitas, sehingga memiliki kursi roda

yang tetap sangatlah penting. Desain kursi roda harus

memungkinkan klien untuk dapat mendorong sendiri kursinya

serta mencegah terjadinya deformitas tulang belakang dan

dekubitus. Ahli terapi bekerja dengan klien untuk mengajarkan

cara untuk berpindah dari tempat tidur ke kursi roda, dari kursi

roda ke dalam dan keluar dari mobil dan dari kursi roda ke toilet.

c. Mengurangi spastisitas

Spastisitas sering mengganggu perubahan posisi dan aktivitas

fungsional. Namun demikian, spastisitas juga mempertahankan

massa otot, memfasilitasi aliran balik vena, mencegah trombosit

vena dalam, dan dapat membantu dalam berpindah. Memberikan

latihan ROM. Pengobatan meliputi anti spasmodik oral seperti

baklofen, natrium, dantrolen melalui kateter ke dalam ruang

23
intratekal dan dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas dan

mengurangi dosis.

d. Immobilisasi

Tindakan immobiilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian

atau kecelakaan sampai ke UGD. Yang pertama adalah

immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal dengan

menggunakan cervical collar. Cervical collar mencegah agar leher

tidak berputar (rotasi)

e. Spinal Alignment

Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan cruthfield

tong atau gardnerwells tong degan beban 2,5 kg per diskus. Traksi

adalah alat terapi yang menggunakan kekuatan tarikan yang

digunakan pada satu bagian tubuh, sementara bagian tubuh lainnya

ditarik berlawanan bila terjadi dislokasi traksi diberikan dengan

beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai

terjadi reduksi

f. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal

24
Bila terjadi realignment artinya terjadi dekompresi. Bila

realignment dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan reduksi

terbuka dan stabilisasi dengan approach anterior atau posterior.

g. Terapi Analgesic

Obat-obat anti inflamatori drugs (NSAID) dapat membantu

mengurangi rasa sakit dan mengurangi peradangan disekitar saraf

h. Terapi Kortikoteroid

Kortikosteroid diinjeksikan pada daerah yang mengalami cedera

ini dapat mengurangi rasa sakit dan peradangan.

i. Fisioterapi

Merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan guna

memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh dengan

penanganan secara manusal maupun dengan menggunakan

peralatan. Seorang terapi fisik dapat mengajarkan latihan starching

atau exercise yang memperkuat dan meregangkan otot-otot

didaerah yang cedera untuk mengurangi tekanan pada saraf.

25
Kecelakaan lalu lintas Jatuh dari ketinggian Menyelam Luka tusuk/tembak Tumor

Dislokasi, fraktur, kompresi


pada vertebra

Trauma medulla spinalis

Serabut saraf Kerusakan Kerusakan Kerusakan Kerusakan jalur


membengkak/ antara C1-C5 antara C5-C6 antara S3-S5 simpatetik
hancur

Paralisis Paralisis pada Kelemahan Kehilangan kontrol Kehilangan kontrol


perdarahan Paraplegia pada otot
pada otot otot tangan bowel dan bladder tonus vasomotor
pernapasan dan kaki siku dan secara total persarafan simpatis ke
bahu jantung

Reaksi Supply Kontrol Tetraplegia


peradangan O2 defekasi MK:
Reflek spinal
dan BAK Inkontinensia
Urin
Atrofi otot
Sesak
edema
nafas MK: Aktivasi system
Inkontinensia saraf simpatis
Penekanan Urin Kurang
pada saraf MK: mobilitas
Hipoksia
dan pemb. Nyeri
Kontriksi
darah
MK: Gg. pemb darah
Gagal
Gg. Aliran Mobilitas
nafas
darah Fisik

26
Pemb darah
Infark pada
yg membawa
miokard
nutrisi rusak

Cardiac
output
Syok spinal

Gagal
jantung

Hipotensi

Cardiac
output
menurun

27
B. Konsep Keperawatan

a. Pengkajian primer ABC

1) Airway (A)

Penilaian kelancaran airway pada klien yang mengalami trauma medulla

spinalis , meliputi adanya peningkatan sekresi pernapasan serta adanya bunyi

nafas krekels, ronchi dan mengi

2) Breathing (B)

Penilaian kelancaran breathing pada klien meliputi terjadi distresss pernapasan

(pernapasan cuping hidung, takipneu, retraksi ) sulit bernafas (diaphoresis,

sianosis) serta menggunakan otot otot pernafasan.

3) Circulation (C)

Kontrol terjadinya penurunan curah jantung seperti gelisah, letargi, takikardia

dan kaji adanya sakit kepala serta gangguan tinkat kesadaran yang dialami

oleh klien antara lain asietas, gelisah, kacau mental, mengantuk. Periksa juga

apakah terjadi papilledema dan penurunan pengeluaran urin.

b. Pengkajian sekunder (DEFGHI)

4) Disability/ evaluasi neurologis

a) Menilai tingkat kesaradaran dengan memakai GCS (penurunan kesadaran

dapat disebabkan oleh penurunan O2 dan penurunan perfusi ke otak atau

disebabkan perlukaan pada otak)

b) Perubahan kesadaran menuntut dilakukannya pemeriksaan terhadap

keadaan ventilasi perfusi dan O2

28
5) Eksposure (E) / control lingkungan

a) Buka pakaian penderita: dilakukan di Rumah Sakit tetapi untuk

melakukan pemeriksaan fisik thorax.

b) Cegah hipotermia: setelah pakaian di buka penting agar klien tidak

kedinginan maka harus diberikan selimut hangat, ruangan yang cukup

hangat dan diberikan cairan intravena.

6) Full set of vital sign

Kaji dan catat setiap perubahan pada TTV pasien (suara napas,frekuensi

pernapasan,suhu, tingkat kesadaran, warna kulit, dll)

7) Give comfort measures

a) Perhatikan lingkungan pasien

b) Pastikan pemeriksaan yang dilakukan aman dan nyaman bagi pasien untuk

mencegah injury lebih.

c) Kaji PQRST bila terdapat nyeri

8) History and head to toe assesment

Head to toe assesemt dilakukan setelah tindakannya.

9) Inspect posterior Surface

Inspeksi permukaan posterior jika ada luka, amati perubahan warna, dll.

1. Diagnosa Keperawatan

 Nyeri akut b.d cedera dan kompresi akar syaraf.

 Ketidakefektifan pola nafas b.d cedera medulla spinalis.

 Hambatan mobilitas fisik b.d kelemahan dan kelumpuhan otot.

29
2. Rencana Tindakan

Diagnosa HYD Intervensi dan Rasional


Nyeri akut b.d cedera Setelah dilakukan 1. Observasi lokasi,

dan kompresi akar tindakan keperawatan intensitas dan durasi

syaraf diharapkan rasa nyeri nyeri

menurun dengan kriteria R: Memberikan

hasil : tindakan keperawatan

1. Keluhan nyeri yang tepat sesuai

menurun. dengan manajemen

2. Gelisah menurun nyeri

2. Memberikan

lingkungan yang

nyaman di sekitar

pasien

R: untuk mengontrol

rasa nyeri

3. Kolaborasi dengan tim

medis dalam pemberian

obat analgesic

R:untuk menghil

angkan nyeri dan

meningkatkan waktu

istirahat

30
4. Ajarkan Teknik

relaksasi

R: Memfokuskan

Kembali

perhatian,meningkatkan

rasa control.

Diagnosa HYD Intervensi dan Rasional


Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi pola nafas

pola nafas b.d keperawatan diharapkan R: Trauma pada C5-6

cedera medulla pola nafas dapat kembali menyebabkan hilangnya

spinalis. efektif dengan kriteria fungsi pernapasan secara

hasil : parsial, kerena otot

1. Dsipnea menurun pernapasan mengalami

2. Penggunaan otot kelumpuhan

bantu nafas 2. Auskultasi bunyi napas

menurun R: mendeteksi adanya ronchi,

3. Frekuensi nafas wheezing, atau stridor

membaik 3. Pertahankan kepatenan jalan

TTV: nafas dengan head-tilt dan

P:18-20x/menit chin-lift (jaw-thrust jika

SPO2: 98-100% curiga trauma servikal)

S R: pasien dengan cedera

P servikalis akan membutuhkan

31
O bantuan untuk mencegah

2 aspirasi dan mempertahankan

: jalan napas

9 4. Berikan oksigen

8 R: Memenuhi kebutuhan

- oksigen pasien

1 5. Kolaborasi dalam pemberian

0 medikasi

0 R: menstabilkan pola nafas

% pasien

Diagnosa HYD Intervensi dan rasional


Hambatan mobilitas Setelah dilakukan perawatan 1. Kaji kemampuan klien

fisik berhubungan gangguan mobilisasi dapat dalam mobilisasi

dengan kelemahan dan diminimalkan. Rasional : mengetahui

kelumpuhan otot Kriteria Hasil: sejauh mana klien dapat

1. Tidak ada kontraktur melakukan mobilisasi

2. Kekuatan otot sendiri

meningkat (ROM 2. Kaji secara teratur fungsi

meningkat) motoric

3. Mampu beraktifitas Rasional:mengevaluasi

kembali secara keadaan secara umum

bertahap 3. Bantu pasien Lakukan log

rolling.

32
4. Rasional: Membantu

ROM pasif

5. Pertahankan sendi 90

derajat pada papan kaki

Rasional: Mencegah

footdrop

6. Identifikasi atau

memonitor tekanan darah

sebelum dan setelah log

rolling

Rasional: Mengetahui

adanya hipotensi ortoststik

7. Inspeksi kulit setiap hari

Rasional: Gangguan

sirkulasi dan hilangnya

sensai resiko tinggi

kerusakan integritas kulit

8. Ajarkan pasien bagaimana

merubah posisi

Rasional : agar klien

mengetahui dan mengerti

cara merubah posisi yang

aman atau yang tidak

33
membahayakan kondisi

klien.

BAB III

KESIMPULAN

Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis

akibat trauma. Penyebab paling sering untuk terjadinya trauma medulla spinalis adalah karena

kecelakaan lalu lintas, dll. Trauma medulla spinalis sendiri diklasifikasikan menjadi trauma

34
medulla spinalis komplit dan trauma medulla spinalisinkomplit. Sedangkan gejala yang paling

sering pada trauma medulla spinalis adalah, nyeri akut pada belakang leher, paraplegia, paralisis

sensorik motorik total, kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi kandung

kemih)m penurunan keringat dan tonus vasomotor, penurunan fungsi pernapasan, gagal nafas

Terapi cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan

fungsi sensoris dan motoris. Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung memiliki prognosis

yang lebih baik daripada trauma medulla spinalis komplit.

Daftar Pustaka

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Elsevier

Huether, S. E., & McCance, K. L. (2017). Buku Ajar Patofisiologi. Singapore: Elsevier.

Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2014). Brunner and Suddhart's Textbook of Medical Surgical
Nursing.America: Wolters Kluwer Health.

Corwin, E. J. (2010). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

35
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI.

Maditias, G., & Berawi, K. (2017). Diagnosis dan Tatalaksana Trauma Medula Spinalis. J Medula Unila Vol
7 No.2.

Alizadeh, A., Dyck, S. M., & Abdolrezaee, S. K. (2019). Traumatic Spinal Cord Injury: An Overview of
Pathophysiology, Models and Acute Injury Mechanisms. Frontiers in Neurology.

36

Anda mungkin juga menyukai