Anda di halaman 1dari 11

SOSIALITAS

KELOMPOK III KEWARGANEGARAAN

Disusun oleh:

1. Anju Picesya Nababan (201611009)

2. Grynarita Cheren (201611025)

3. Inez Herdini (201611027)

4. Ira Melany Sitanga (201611029)

5. Maria Jessica Cahya Nirmala Ardi (201611043)

6. Sharon Nafthalia (201611056)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SINT CAROLUS

JAKARTA

2019
1. Hakikat Sosialitas Manusia
Manusia sebagai makhluk sosial karena selama masa hidunya manusia dapat
berkembang berkat kehadiran pribadi – pribadi lain. Karena itu, sosialitas merupakan
dimensi eksistensial bagi manusia secara koeksistensi. Eksistensi manusia sebagai
koeksistensi artinya manusia hidup berdampingan dengan individu lain. Eksistensi
manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk membuka diri, melibatkan diri dan
mengadakan komunikasi dengan sesamanya.
Gagasan bahwa sosialitas sebagai eksistensi manusia sudah dikemukakan oleh
pemikir klasik seperti Aristoteles dan pemikir eksistensial modern seperti Martin
Heidegger, Gabriel Marcel, dan Martin Buber. Aristoteles sejak awal menempatkan
sosialitas sebagai kodrat manusia. Aristoteles memberikan sebutan zoon politikan bagi
manusia karena, politik dipandang sebagai perwujudan sosialitas, realisasi kepedulian
kepada sesama, dan politik sebagai sarana untuk melayani masyarakat atau koinonia
tekne.
Martin Heidegger mengemukakan Alles Dasein ist Mit-sein in der Welt yang
artinya ada bersama di dunia, artinya kehidupan manusia pada dasarnya merupakan
perpaduan antara manusia dengan manusia yang lain atau being with other persons.
Dalam ungkapan ini Heidegger secara tegas mengungkapkan eksistensi manusia sebagai
makhluk sosial. Dalam kebersamaan, setiap individu pasti ikut berpartisipasi dalam hidup
orang lain begitu seterusnya.
Martin Heidegger mengelompokan hubungan manusia dengan benda disebut
dengan Zuhandenes, sedangkan hubungan manusia dengan sesamanya disebut
Vorhandenes. Zuhandenes bersifat fungsional dan aksidental karena hubungan manusia
dengan benda diperlukan sesuai dengan kebutuhan manusia dan pada saat tertentu saja
seperti contoh manusia menggunakan telepon genggam ketika ingin berkomunikasi saja
dengan orang lain. Kebersamaan manusia dengan benda – benda bersifat tertutup dan
tidak ada interkomunikasi berbeda dengan interaksi antar individu lainnya yang justru
terjadi dalam interkomunikasi yang ditandai dengan keterbukaan dan penyerahan diri
yang disebut dengan autentitas.

Hubungan Zubandened Hubungan Vorbandenes


1. Fungsional 1. Keterbukaan
2. Aksidental 2. Penyerahan diri
3. Tanpa dialog 3. Memberi dan menerima

Filsuf – filsuf eksistensi lain seperti Gabriel Marcel dan Martin Buber
mempertegas apa yang dikemukakan oleh Aristoteles dan Martin Heidegger. Bagi Marcel
sosialitas sebagai dasar seorang individu menjadi subjek. Gabriel Marcel menganggap
manusia sebagai subjek bersama yang artinya manusia menjadi subjek karena ada subjek
lain. Gagasan yang dikemukakan oleh Martin Buber hamper mirip dengan yang dibuat
oleh Martin Heidegger, ia menunjukan bahwa ada 2 bentuk relasi dasar yang mengiringi
hidup manusia. Kedua bentuk relasi ini adalah relasi manusia dengan benda – benda dan
relasi manusia dengan sesama manusia.
Buber menunjukan hubungan dua bentuk relasi tersebut adalah bahwa manusia
selalu berhubungan dengan manusia yang lain. Manusia sebaga makhluk sosial tidak saja
dibentuk oleh orang lain melalui kebersamaan tetapi manusia juga turut membentuk
orang lain. Manusia mempunyai tugas untuk membuat orang lain menjadi pribadi atau
persona dan begitu seterusnya. Konsep seperti ini mengartikan bahwa sosialitas menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi manusia. Maka dari itu, setiap individu
berfungsi untuk mengembangkan diri sendiri sebagai fungsi persona dan turut
mengembangkan orang lain sebagai fungsi sosial. Hal ini menunjukan bahwa manusia
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan orang lain.
2. Faktisitas Sosial Manusia

Sosialtas sebagai bagian dimensi amnesia merupakan fakta. Dimensi ini


merupakan kenyataan yang dijalani oleh manusia setiap harinya. Kesadaran bahwa ada
orang lain merupakan hasil dari pergaulan hidup sehari-hari. Terdapat makhluk lain yang
mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya didiperoleh dari pergaulan seseorang.
Pendapat mengenai manusia adalah makhluk sosial dapat dilihat dari pengalaman nyata
sehari-hari. inilah yang disebut dengan faktisitas.

Sosialitas sebagai faktisitas dapat dipetakkan dalam empat hal. Pertama, manusia
lahir dalam keluarga. keluarga merupakan elemen terkecil dari masyarakat dan
merupakan wujud konkret dari sosialitas manusia. Seseorang lahir dan dibesarkan serta
berkembang dalam lingkup keluarga. Manusia terbentuk atas kerja sama antara dua
manusia, yaitu laki-laki dan perempuan yang saling memiliki tali kasih. Keluarga
merupakan lingkungan sosial yang paling berpengaruh pada setiap pribadi. Di dalam
keluarga terjalin kedekatan dan kebersamaan yang sangat intensif serta menjalanin proses
sosialisasi berbagai nilai dasar kemanusiaan, hal ini merupakan fakta hidup manusia.

Kedua, seksualitas. Seksualitas tidak hanya menyangkut aspek fisik, melainkan


juga aspek afektif-psikis yang sangat mendalam, dan berlainan sekali dari segi genital
semata. Seksualitas merupakan suatu cara manusia untuk mengalami dan menghayati diri
dalam relasinya dengan sesama. Artinya, masalah seksualitas tidak hanya masalah fisik,
tetapi juga meliputi kondisi psikis. Dengan demikian kebutuhan seksualitas tidak hanya
kebutuhan biologis saja, melainkan juga kebutuhan afeksi dan psikis, seperti cinta,
penghargaan, dan pengakuan. Perkawinan merupakan aktualitas dari perasaan dicintai
dan diakui, bukan semata-mata untuk pemuasan naluri seksual. Keberadaan dicintai dan
mencintai merupakan tugas umum, yang merupakan tanggung jawab seluruh umat
manusia terhadap yang lain dengan melibatkan roh dan pikirannya. Dalam sebuah
hubungan, harus saling menerima segala keunikan yang dimiliki oleh masing-masing
individu. Dalam memenuhi kebutuhan afektif dan psikis manusia memerlukan orang lain
untuk memenuhi kebutuhan tersebut, ini juga merupakan faktisitas.

Ketiga, gejala bahasa. Bahasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
hidup manusia. Dalam mengembangkan dirinya, bahasa sebagai sarana yang penting.
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia. Agar terjadi komunikasi harus ada minimal
dua orang. Bahasa bersifat kolektif, dan bukan individual. Misalnya, sebutan Bahasa
Jawa, Bahasa Batak, Bahasa Inggris, dengan demikian bahasa berhubngan dengan
komunitas, bukan individual. Secara individu manusia tidak membentuk bahasa sendiri.
Ia berhadapan dengan bahasa yang sudah ada didalam masyarakat. Bahasa merupakan
identitas komunitas, bahasa bersifat pasif dan aktif. Bahasa bersifat pasif karena individu
dibentuk oleh bahasa dan mewarisinya, serta mengembangkan dan menyempurnakan
bahasa secara terus menerus. Bahasa bersifat aktif yang meruakan alat komunikasi
penting bagi manusia. Dengan begitu bahasa adalah sebuah kenyataan yang menyertai
sosialitas manusia. Disinilah bahasa menjadi faktisitas.

Keempat strukturisasi dunia. Ini juga merupakan realitas sosial yang tidak dapat
dihindari oleh setiap individu. Manusia lahir di dunia dalam kondisi yang sudah
tertatasedemikian rupa dengan perangkat serta struktur sosial yang ada. Misalnya, dalam
keluarga terdapat anak, ayah, dan ibu. Dalam sekolah terdapat murid dan guru, dalam
pekerjaan ada atasan dan bawahan. Fakta ini menunjukkan bahwa manusia selalu lahir
dalam alam kedua. Setiap inividu akan ikut dalam proses strukturisasi ini sepanjang
hidupnya. Strukturisasi dunia terungkap dalam dua bentuk, yakni hokum dan kekuasaan.
Hokum dimaksut dalam arti luas, yakni setiap daya ikat yang dari luar yang menekankan
perlakuan orang dan mendorongnya kea rah tertentu. Dapat disebutkan disini undang-
undang resmi, adat istiadat, peraturan atau tata tertib sosial, perintah dan larangan.
Sementara kekuasaan yang berasal dari orang yang mempunyai wewewnang untuk
berbuat seperti yang dikehendaki. Kedua hal tersebut, tidak bias aja jika tidak ada
masyarakat. Keduanya diperlukan untuk merumuskan secara konkret harapan supaya
kehidupan bersama sungguh-sungguh menyatakan sosialitas dan menunjang
perkembangan pribadi dan masyarakat secara maksimal.

3. Otonomi vs Sosialitas

a. Individualisme vs Determinisme Sosial

Manusia menjadi diri sendiri karena berkat adanya relasi dengan orang lain.
Dalam relasinya dengan orang lain, maka seseorang berhadapan dengan faktisitas.
Namun manusia sebagai pribadi tetap berdiri sendiri. Otonomi tetap memiliki peran
penting bagi pribadi seseorang. Pernyataan ini menimbulkan masalah tentang kaitan
antara individu dengan sosialitas. Persoalan ini dapat dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan “apakah sosialitas berlawanan dengan otonomi manusia?”. Dengan
pertanyaan lain “apakah kehadiran orang lain sebagai ungkapan sosialitasmengahmbat
otonomi individu?”. Untuk menjawab semua pertanyaan ini kita bisa memulai dari dua
pandangan, yakni pandangan yang menempatkan individu di atas masyarakat, dan
pandangan yang mengunggulkan masyarakat di atas individu sebagai titik analisis,
kemudian mengkritisi kedua pandangan ini untuk memperlihatkan bahwa otonomi bukan
sesuatu yang bertentangan dengan sosialitas.

Kelompok yang pertama disebut sebagai individualisme. Menurut pandangan


kelompok ini, individu menempati posisi pertama. Artinya yang menentukan adalajh
subjek, bukan orang lain. Karena itu, kelompok ini melihat sosialitas bermakna negatif,
karena menghambat otonomi individu. Pandangan ini ditemukan dalam filsafat Rene
Descartes (1592-1650) dan J.J. Rousseau (1712-1778). Rene Descartes mengatakan
bahwa untuk memperoleh suatu kepastian kita tidak boleh berpegang pada segala apa
yang diperoleh melalui Pendidikan, tradisi, atau melalui sesama. Kita hanya
memperolehnya melalui pikiran logis dan rasional. Segala hal yang diperoleh melalui
tradisidan Pendidikan haruslah diragukan. Hanya cahaya akal budilah yang memberikan
kebenaran.

Pengakuan yang sama juga muncul dalam gagasan J.J. Rousseau,seorang


pengarang Prancis. Rosseau melihat masyarakat sebenarnya hanyalah “kontrak social”
yang diadakan pihak-pihak otonom. Ia menyangkal adanya kaitan social batiniah dari
dalam diri manusia untuk mempersatukan mereka menjadi masyarakat. Dengan kata lain,
tidak ada sosialitas berdasar relasi-relasi batiniah yang menjadikan individu sebagai
makhluk sosial. Ia sama seperti air dan udara yang tidak lebih dari kombinasi atom-atom
tertentu. Jadi manusia adalah lingkarantertutup yang takberhubungan dengan alam
sekitarnya dan sesama manusia, tata surya, dan segala hal yang mengitarinya. Manusia
bagaikan butir-butir kacang yang kebetulan berkumpul pada satu tempat. Dalam bingkai
berpikir seperti ini sosialitas ditempatkan sebagai belenggu bagi manusia dan sosialitas
mengahmbat otonomi individu.

Kelompok kedua melihat sebaliknya, dimana kelompok ini disebut determinisme


sosial. Dalam pandangann ini lingkungan sosial menentukan kegiatan manusia sebagai
individu. Kebebasan merupakan sebuah hasil belaka. Artinya pilihan-pilihan individu
bukanlah pilihan bebas, melainkan merupakan hasil pengkondisian lingkungan sosial.
Orang menjadi baikbukan merupakan hasil kesadaran pribadi sendiri, melainkan karena
penentuan factor eksternal lingkungam.

b. Tanggapan Terhadap Dua Pandangan

Dua kelompok di atas sama-sama tidak melihat bahwa dimensi individu dan
sosial dan merupakan satu-kesatuan. Keduanya justru memisahkan otonomi dan
sosialitas. Dan ini tidak sesuai dengan hakikat manusia yang sebenarnya. Individualitas
dan sosialitas merupakan satu-kesatuan. Secara negatif dapat dikatakan masyarakat dan
individu bukan dua realitas yang berdiri terpisah dam bertentangan, melainkan dua sisi
atau segi dari realitas yang satu dan sama. Seperti yang dikatakan oleh CharlesCooley
(1864-1920), otonomi individu dan sosialitas merupakan “realitas tunggal” manusia.
Hidup manusia dapat dipandang dari segi individualitasnya atau dari segi sosialitasnya.
Dari segi keunikannyasejauh pada tiap-tiap orang ada hal yang tidak ada pada orang lain,
atau dari segi kesamaannya dengan orang lain yang menguatkan setiap individuuntuk
menjadi dirinya yang unik juga.

Manusia memang persona, tetapi ia harus dipersonalisasikan. Usaha personalisasi


tersebut membutuhkan orang lain. Manusia memang terikat dengan orang lain, tetapi ia
juga mengatasi ikatan dalam hubungan, meskipun ia tetap berada dalam ikatan dan
hubungan tersebut. Semakin manusia menuju keunikannya sebagai pribadi, semakin
berkembang juga kualitas sosialitasnya. Manusia dibentuk oleh orang lain dan dunianya.
Tetapi seperti yang sudah ditegaskan oleh para filsuf eksistensialis, bahwa manusia secara
individu juga turut membentuk orang lain dan dunianya. Perkembangan kesosialan ini
sejalan dengan proses pendewasaan manusoa sebagai pribadi, begitu juga sebaliknya.

Dengan ini jelaslah bahwa otonomi dan sosialitas membuat manusia menjadi aktif pada
satu sisi, namun pasif di lain sisi. Dalam posisi aktif, manusia menciptakan sesuatu untuk
mengembangkan diri dan orang lain. Dalam posisi pasif, manusia dibentuk oleh pengaruh
dari luar seperti budaya dan kehadiran orang lain. jadi manusia adalah pencipta sekaligus
ciptaan. Individualitasnya tidak bermakna jika ia tidak Bersama dengan orang lain,
demikian sosialitas tidak aka nada artinya jika tidak ada individu. Tidak ada manusia di
dunia ini yang memiliki kebebasan absolut. Kebebasannya selalu berada dalam situasi.
Demikian halnya individu tidak akan berkembang dalam kungkungan aturan yang kaku
dan mematikan kebebasan eksistensial. Keseimbangan keduanya adalah ruang gerak bagi
perkembangan manusia sebagai pribadi dan sebagai makhluk sosial.

4. Nilai – nilai Sosialitas


a. Keterbukaan
Keterbukaan merupakan suatu sikap yang sangat penting. Manusia akan menjadi
dirinya sendiri sepanjang dia membuka dan menyatukan diri dengan sesama. Manusia
tanpa bersama – sama dengan manusia lainnya tidak dapat berkembang bahkan tanpa
syarat ini, ia sebenarnya tidak dapat menjadi manusia.
Diakui oleh Martin Buber keterbukaan merupakan syarat dasar untuk
mewujudkan hubungan interpersonal dan dialog yang baik. Melalui keterbukaan
pengakuan akan keunikan setiap individu dapat terwujud. Keterbukaan memiliki dua sisi
yaitu terbuka kepada yang lain dan terbuka bagi yang lain. Terbuka kepada yang lain
miliki sifat aktif, artinya individu lebih banyak bertindak memperkenalkan diri dan
keberadaannya pada orang lain. Kesediaan dituntut dari setiap pribadi untuk
mengungkapkan reaksi – reaksi dan pengalaman hidupnya kepada orang lain dalam relasi
social.
Pada sisi terbuka bagi yang lain memiliki sifat lebih pasif, karena di sini pribadi
menyediakan diri untuk orang lain. Individu lebih memperlihatkan kesediaan untuk
mendengarkan orang lain dan membiarkan orang lain untuk mengungkapkan diri. Sikap
menerima dan mengakui serta mendengarkan merupakan inti dari sisi terbuka bagi yang
lain. Semacam ini akan membuat relasi antarmanusia semakin bermakna.
b. Tanggung Jawab
Dalam hidup bersama setiap orang memiliki tugas, yaitu bertanggung jawab
terhadap orang lain. Itu berarti memperhatikan orang lain menjadi bagian dari nilai
sosialitas. Seseorang tidak bisa hidup hanya dengan “menerima”, melainkan juga dengan
“memberi”. Dengan “memberi” manusia berkembang secara baik. Sebaliknya, manusia
tidak akan bisa hidup hanya “memberi” saja, melainkan juga “menerima”, sebab ia juga
tergantung kepada orang lain. Keduanya harus saling mengisi dan seimbang. Dan inilah
dinamika sosialitas manusia.
Namun dari kedua kegiatan tersebut nilai dari “memberi” lebih tinggi
dibandingkan dengan “menerima”, karena dari aktivitas “memberi” manusia
menunjukkan kepekaan dan empati terhadap sesama. Dengan aktivitas ini pula dunia
semakin manusiawi. Kegiatan “memberi” ini dinazarkan sebagai kegiatan hidup, dan
mewujudkan dunia secara rapi dan baik seperti ditegaskan oleh Deepak Chopra. Namun
sebaliknya apabila manusia hanya berupaya untuk “menerima” dari orang lain, maka
keruntuhan hidup mendekat. “Memberi” merupakan suatu ungkapan tanggung jawab
social terhadap orang lain dan merupakan tugas luhur manusia.
Sebab itu setiap perjumpaan dengan setiap orang mengisyarakan tanggung jawab
sebagaimana dinyatakan oleh Emmanuel Levinas. Wajah orang lain merupakan imbauan
bagi setiap orang untuk tanggap pada yang lain dan melalui itu ia bisa menjadi dirinya.
Sebab tanggung jawab ini, bagi Levinas hubungan antarmanusia merupakan hubungan
etis. Tanggung jawab terhadap orang lain adalah prinsip moral dasar. Tanggung jawab
bermuat dalam kesadaran akan merasa wajib untuk mengakui kebebasan setiap pribadi
untuk hidup dan bertumbuh menurut keunikannya dan budaya yang dimilikinya dan
dalam tindakan yang mengangkat nilai – nilai kehidupan orang lain. Dengan kata lain,
setiap individu mengakui dan menjamin semua nilai – nilai kehidupan semua orang yang
dijumpainya.

c. Solidaritas
Solidaritas merupakan cara melihat realitas dan menerima orang lain, bahkan
terlibat dalam dunia. Prinsip dari solidaritas merupakan suatu prinsip hidup yang paling
dekat dengan pengalaman hidup bersama. Di dalam komunitas dapat dilihat sebagai
prinsip yang mempersatukan setiap orang menurut tingkat partisipasinya. Menurut
Scheler hubungan solidaritas dibagi menjadi tiga yaitu yang pertama adalah solidaritas
organis, terjadi dalam unit social seperti keluarga, suku, dan banyak bentuk komunitas
yang didasarkan pada kekerabatan. Anggota – anggotanya diikat oleh sebuah tradisi,
kebiasaan, adat kebiasaan yang sudah turun temurun.
Solidaritas mekanistik merupakan hubungan solidaritas kedua, terjadi dalam
ranah di mana hubungan didasarkan pada kepentingan individu atau kelompok semata.
Solidaritas personalistis merupakan hubungan solidaritas ketiga, merupakan solidaritas
yang mengatasi kepentingan keseluruhan dan kepentingan individu. Berdasarkan
penghargaan terhadap pribadi manusia sebagai nilai tertinggi. Solidaritas ini hanya
menjadi nyata dalam komunitas yang mengakui eksistensi persona. Bentuk dari
solidaritas yang ideal ini juga menganjurkan suatu gagasan tentang komunitas pribadi –
pribadi di mana individualitas dari anggota – anggotanya benar – benar dihargai. Dalam
hal ini pengakuan terhadap keunikan pribadi – pribadi sangat penting.
d. Kepercayaan
Kepercayaan adalah perekat hubungan manusia dengan sesama. Nilai ini menjadi
suatu tuntutan mendasar dalam relasi social, bahkan menentukan mutu hubungan antar
masyarakat. Kepercayaan di sini tidak dimaksudkan dengan arti religious, suatu
keyakinan yang bersifat vertical, namun dalam arti humanis yang memiliki sifat
horizontal. Kepercayaan yang di bicarakan di sini menyangkut dengan hubungan antar
manusia. Mempercayai memuat tiga hal yaitu yang pertama percaya pada perkataan
orang lain. Menyimak dan mendengarkan perkataan orang lain serta menerimanya
sebagai benar merupakan inti dalam hal ini.
Yang artinya di depan orang yang sedang berbicara kita harus lebih
mengembangkan sikap yang positif. Namun tidak serta merta kita menerima begitu saja
apa yang orang lain katakan. Dalam ini kita tetap menyertakan ketelitian dan kehati –
hatian. Hal kedua, kepercayaan terkait dengan kesediaan mengakui orang lain.
Pengakuan ini bersangkutan dengan potensi yang dimiliki oleh orang lain sekaligus
kesedian kita melihat dan mengakui kemampuan orang lain. Hal ketiga, kepercayaan
terkait dengan sikap keterbukaan.
Dasar kepercayaan terhadap orang lain adalah sikap terbuka. Yang memiliki arti
supaya orang percaya pada orang lain ia harus pertama – tama membuka diri terhadap
yang lain. Empat nilai yang perlu diberikan perhatian, yakni sikap jujur dalam relasi
social, kemampuan untuk menjaga rahasia, serta tanggung jawab besar, dan watak yang
baik. Kejujuran merupakan sumber utama dari kepercayaan. Jika seorang tidak jujur
makan ia akan kehilangan kepercayaan. Semakin kita mmapu memperlihatkan kejujuran
kepada orang lain, maka disitulah kepercayaan akan semakin besar.
Kejujuran yang pertama – tama adalah kejujuran terhadap diri sendiri. Ketika kita
berhasil menanamkan ketulusan di dalam diri kita, kita akan memancarkan nilai yang
sama pada orang lain. Pancaran ini merupakan dasar kepercayaan orang lain.
Kepercayaan juga terungkap pada kemampuan seseorang dalam menjaga kerahasiaan,
terkait dengan pekerjaan. Seperti yang diungkapkan oleh K. Bertens merupakan menjaga
rahasia, yang disebut sebagai kewajiban konfidensialitas. Kewajiban ini adalah kewajiban
untuk menyimpan informasi yang memiliki sifat rahasia yang telah diperoleh dengan
menjalankan suatu profesi.
Kepercayaan juga berasal dari rasa tanggung jawab. Orang memiliki tanggung
jawab akan mudah untuk dipercayai oleh orang lain. Ciri dari orang yang bertanggung
jawab terwujud dalam dua hal, yakni mampu menjalankan pekerjaannya secara maksimal
dan bersifat otonom, serta berani menanggung risiko dari akibat perbuatannya. Hal yang
penting juga untuk menimbulkan kepercayaan adalah watak pribadi individu yang baik.
Watak yang baik, berpikir positif, kreatif, dan konstruktif, serta berorientasi pada nilai –
nilai kehidupan. Seseorang yang memiliki watak seperti ini akan menimbulkan
kepercayaan dari pihak lain secara mudah.
e. Keadilan
Dalam kehidupan social keadilan adalah nilai lain tidak bisa dilupakan. Makna
keadilan selalu terkait dengan orang lain. Pengertian sederhana yang diberikan K.
Bertens, keadilan berarti memberikan apa yang menjadi hak orang. Sikap adil berarti
memberikan apa saja yang merupakan hak orang lain. Mengakui milik orang lain
merupakan hal yang bertentangan dengan pengertian keadilan. Sikap adil juga
menyangkut pengakuan atas nilai – nilai mendasar yang melekat di dalam diri seseorang
seperti keunikan, pikiran, aspirasi serta segala kemampuan dan kelebihan yang
dimilikinya. Seseorang yang adil tidak akan bertindak sewenang – wenang. Disamping
itu ada pengakuan kesederajatan setiap individu. Di dalam kehidupan social tuntutan ini
adalah nilai penting untuk membangun kehidupan bersama yang lebih bermutu.
5. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan materi diatas, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah
mahkluk sosial. Manusia mempunyai dan mandapatkan kepribadian dari cara ia bergaul,
bercengkrama, belajar dari orang lain. Seorang anak terbentuk kepribadiannya dari cara
didik orangtua dan keluarganya. Bahkan seorang bayi lahir dan terbentuk atas pertemuan
orang satu dengan orang lainnya. Kepribadian tidak saja terbentuk karena orang lain
(pasif), tetapi ia pun aktif membentuk orang lain. Manusia sebagai mahkluk sosial adalah
manusia yang pasif sekaligus aktif, tidak dapat dipungkiri. Dengan demikian
individualitas dan sosialitas merupakan satu kesatuan, bukan dua dimensi manusia yang
terpisah. Otonomi dan sosialitas merupakan satu realitas tunggal, yakni realitas manusia.

Sosialitas merupakan realitas keseharian dari manusia. Inilah yang disebut


faktisitas. Faktisitas ada dalam beberapa bentuk seperti lahir dalam sebuah keluarga,
dicintai serta dihargai, berbahasa baku yang diwariskan dalam masyarakat, dan
berhadapan dengan seluruh struktur kehidupannya. Semuanya ini merupakan realitas
yang dijalankan manusia dalam kehidupan sosial sebagai seorang pribadi.

Untuk mewujudkan dimensi sosial, manusia dituntut untuk menghayati nilai


didalam setiap relasinya. Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai keterbukaan, tanggung
jawab, solidaritas, dan kepercayaan, serta keadilan. Nilai-nilai tersebut menjadi landasan
utama membangun kehidupan sosial yang bermutu karena memberikan arahan yang tepat
bagu pertumbuhan personal manusia, serta landasan yang kuat dalam hidup
bermasyarakat.

Anda mungkin juga menyukai