Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH

SPINAL INJURY

OLEH:
M. Insanul Kamil Rery
Marco A. S. Tambunan
Khalishaturrahmi Nasution
Reyhana Gathari
Tririn Rinanti

110100303
110100279
110100269
110100103
110100244

Pembimbing:
Dr.dr.RR.Suzy Indharti, M.Kes, Sp.BS
DEPARTEMEN ILMU BEDAH SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Cedera Spinal.
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk melengkapi persyaratan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Bedah Umum RSUP H. Adam Malik Medan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter
pembimbing, Dr.dr.RR.Suzy Indharti, M.Kes, Sp.BS yang telah meluangkan
waktunya dan memberi banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini
sehingga penulis dapat menyelesaikannya tepat waktu
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga laporan kasus ini bermanfaat. Akhir kata,
penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, September 2016

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar......................................................................................

Daftar Isi ...............................................................................................

ii

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................

1.1 Latar Belakang ......................................................................

1.2 Tujuan Penulisan...................................................................

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................

2.1 Trauma Cervical....................................................................

2.1.1 Anatomi Cervical ...............................................................

2.1.2 Epidemiologi......................................................................

2.1.3 Pemeriksaan Radioimejing.................................................

2.1.4 Tatalaksana.........................................................................

14

2.1.5 Prognosis............................................................................

17

2.1.6 Komplikasi ........................................................................

17

2.2 Trauma Torakholumbal.........................................................

18

2.2.1 Anatomi Torakholumbal.....................................................

18

2.2.2 Epidemiologi......................................................................

19

2.2.3 Mekanisme Cedera.............................................................

20

2.2.4 Klasifikasi...........................................................................

21

2.2.5 Manifestasi Klinis...............................................................

24

2.2.6 Penegakan Diagnosa...........................................................

25

2.2.7 Penatalaksanaan..................................................................

31

2.2.8 Komplikasi.........................................................................

40

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................

41

BAB I
PENDAHULUAN
1

Latar Belakang
Cedera spinal adalah trauma yang dapat menyebabkan kerusakan pada
spinal cord sehingga menyebabkan menurunnya atau menghilangnya fungsi
motorik maupun sensoris. Di Amerika sekitar 8000 kasus spinal cord injury (SCI)
didiagnosis setiap tahunnya, dan lebih dari 80 % adalah laki laki berusia sekitar
16 sampai 30 tahun. Trauma ini disebabkan oleh kecelakaan lalulintas 36 %,
karena kekerasan 28,9 %, dan jatuh dari ketinggian 21,2 %, jumlah paraplegi lebih
banyak dari pada tetraplegi dan sekitar 450.000 penduduk di Amerika hidup
dengan SCI (The National Spinal Cord Injury, 2001).
Kemungkinan untuk bertahan dan sembuh pada kasus cedera spinal,
tergantung pada lokasi serta derajat kerusakan akibat trauma, dan juga kecepatan
mendapat perawatan medis setelah trauma. Trauma pada cervical dapat
mengakibatkan seseorang mengalami penurunan kemampuan bernafas dan
kelemahan pada lengan, tungkai dan trunk atau yang disebut tetraplegi. Trauma
pada bagian bawah dari vertebra dapat menyebabkan hilang atau berkurangnya
fungsi motorik serta sensoris pada tungkai dan bagian bawah dari tubuh disebut
paraplegi. Pada kasus trauma yang berat, kesembuhan tergantung pada luasnya
derajat kerusakan, prognosis akan semakin baik bila pasien mampu melakukan
gerakan yang disadari atau dapat merasakan sensasi dalam waktu yang singkat.

Tujuan Penulisan
a

Memahami definisi, etiologi, insidensi, patofisiologi, manifestasi klinis,


klasifikasi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dari Cedera Spinalis.

Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.

Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Profesi


Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Trauma Cervical
2.1.1. Anatomi cervical
Atlas C1

Axis C2

C7

LIGAMENTUM
a. Ligamentum longitudinal anterior
Ligamentum longitudinal anterior merupakan suatu serabut
yang membentuk pita lebar dan tebal serta kuat, yang melekat
pada bagian corpus vertebra, dimulai dari sebelah anterior
corpus vertebrae cervicalis II (yang meluas ke kepala pada os
occipitale pars basilaris dan tuberculum anterior atlantis) dan
memanjang ke bawah sampai bagian atas depan fascies pelvina
os sacrum. Ligamen longitudinal anterior ini lebih tebal pada

bagian

depan

corpus

karena

mengisi

kecekungan

corpus.

Ligamen longitudinal anterior ini berfungsi untuk membatasi


gerakan extensi columna vertebralis. Dimana daerah lumbal
akibat berat tubuh akan mengalami penambahan lengkungan
pada vertebra columna didaerah lumbal.

b. Ligamentum longitudinal posterior


Ligamentum longitudinal posterior berada pada permukaan posterior corpus
vertebrae sehingga dia berada di sebelah depan canalis vertebralis. Ligamentum
ini melekat pada corpus vertebra servikal II dan memanjang kebawah os sacrum.
Ligamentum ini diatas discus intervertebralis diantara kedua vertebra yang
berbatasan akan melebar, sedangkan dibelakang corpus vertebra akan menyempit
sehingga akan membentuk rigi. Ligamentum ini berfungsi seperti ligamentumligamentum lain pada bagian posterior vertebra colum, yaitu membatasi gerakan
ke arah fleksi dan membantu memfiksasi dan memegang dalam posisi yang betul
dari suatu posisis reduksi ke arah hyperextensi, terutama pada daerah thorakal. 1

c. Ligamentum intertransversarium
Ligamentum intertransversarium melekat antara processus
transversus dua vertebra yang berdekatan. Ligamentum ini
berfungsi mengunci persendian sehingga membentuk membuat
stabilnya persendiaan.1

d. Ligamentum flavum
Ligamentum flavum merupakan suatu jaringan elastis dan berwarna kuning,
berbentuk pita yang melekat mulai dari permukaan anterior tepi bawah suatu
lamina, kemudian memanjang ke bawah melekat pada bagian atas permukaan
posterior lamina yang berikutnya. Ligamentum flavum ini di daerah servikal tipis
akan tetapi di daerah thorakal ligamentum ini agak tebal. Ligamentum ini akan
menutup foramen intervertebral untuk lewatnya arteri, vena serta nervus
intervertebral. Adapun fungsi ligamentum ini adalah untuk memperkuat hubungan
antara vertebra yang berbatasan.1

e. Ligamentum interspinale
Ligamentum interspinale merupakan suatu membran yang tipis melekat pada tepi
bawah processus suatu vertebra menuju ke tepi atas processus vertebra yang
berikutnya. Ligamentum ini berhubunganm dengan ligamentum supra spinosus
dan ligamentum ini didaerah lumbal semakin sempit.1

PENILAIAN SERVIKAL PADA TRAUMA


Cedera akut vertebra dan medula spinalis merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan pada trauma. Oleh karena itu, penilaian dan
penatalaksanaan terhadap vertebra, medula spinalis, dan radiks membutuhkan
pendekatan sistematik terintegrasi pada manajemen pasien trauma. 2

Untuk menentukan level defisit neurologis ASIA, ada sepuluh langkah


yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Penilaian 10 otot indeks pada kedua sisi, lima pada lengan dan lima pada
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

kaki
Penilaian pinprick dan sentuhan ringan pada 28 dermato bilateral
Pemeriksaan colok dubur untuk penilaian sensorik dan motorik
Tentukan level sensorik sisi kanan dan kiri tubuh
Tentukan level motorik pada sisi kanan dan kiri tubuh
Tentukan level sensorik dan motorik final
Hitung skor motorik dan sensorik
Tentukan level neurologis (segmen paling kaudal yang memiliki fungsi

normal)
9. Kategorikan cedera medula spinalis sebagai cedera komplit atau inkomplit
berdasarkan The American Spinal Injury Association (ASIA) impairment
scale (inkomplit : masih terdapat fungsi motorik /sensorik pada level S4S5)

10. Tentukan zona dengan presevarsi parsial (ekstensi kaudal dari segmen
yang memiliki inervasi parsial)

Klasifikasi dari The American Spinal Injury Association (ASIA) untuk cedera medula
spinalis dan ASIA impairment scale merupakan cara yang sangat berharga untuk
pemetaan defisit motorik dan sensorik

2.1.2 Epidemiologi
Kecelakaan merupakan penyebab kematian terbanyak ke-4 di Amerika
Serikat, setelah penyakit jantung, kanker, dan stroke, dengan jumlah kematian 50
kasus per 100.000 populasi setiap tahunnya. Cedera medula spinalis, cenderung
terjadi pada populasi laki-laki usia muda. Dengan perbandingan 3-20 kali lebih
sering dibanding pada perempuan. 3
Walaupun fraktur servikal mencakup 20-30% dari seluruh keseluruhan
kasus fraktur spinal, cedera medula spinalis servikal terjadi lebih dari 50% pada
keseluruhan kasus. Sejak 1920 dilaporkan terdapat 4-8% sedera spinal servikal
yang bersamaan dengan cedera kepala. Tingkat keparahan cedera kepala
dilaporkan memiliki korelasi positif dengan cedera servikal. 2,4

Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tersering dari cedera medula


spinalis (35-45%), dan regio servikal merupakan segmen yang paling sering
terlibat. Pada kelompok usia yang lebih tua, 70% kasus cedera medula spinalis
diakibatkan oleh karena terjatuh. 2
Insiden cedera spinal pada usia anak dilaporkan 1,8 kasus per 100.000
populasi, dengan 80% kasus terjadi pada usia lebih dari 10 tahun. Cedera spinal
servikal terjadi pada level yang berbeda-beda sesuai kelompok usia. Walaupun
75% cedera terjadi dibawah level C4, namun pada kelompok usia dibawah 8
tahun, cedera servikal terjadi pada level C3 ke atas. Cedera pada servikal atas
bersifat fatal, dimana atlanto-occipital dislocation (AOD) dihubungkan dengan
mortalitas sebesar 70-100%. Perbedaan anatomi servikal anak dan dewasa
merupakan penyebab utama perbedaan pola cedera. Anak-anak memiliki rasio
relatif kepala yang lebih besar dibandingkan dengan tulang servikal dan struktur
pendukungnya, yang mengakibatkan pusat gravitasi yang lebih tinggi pada regio
kranioservikal.2
Anak berusia lebih dari 11 tahun memiliki pola cedera yang mirip dengan
pada dewasa dimana cedera lebih sering terjadi pada segmen C4 ke bawah.
Cedera occipital yang diakibatkan oleh pengembangan airbag merupakan cedera
spesifik pada pada anak kecil yang menumpang mobil.5
2.1.3. Pemeriksaan Radioimejing

Foto Polos

Foto polos merupakan imejing dasar pada pasien yang dicurigai menderita cedera
servikal. Indikasi dilakukannya foto polos servikal antara lain adalah nyeri lokal,
deformitas, krepitus, edema, perubahan status mental, disfungsi neurologis, cedera
kepala dan multipel trauma. Serial foto servikal lengkap terdiri dari foto lateral,
anteroposterior, open mouth view, dan oblique film. Pillar view, swimmers view,
dan studi dinamik merupakan foto tambahan yang perlu dipertimbangkan untuk
mendapatkan evaluasi yang penuh dari cedera.7

Gambar 2.1 Hubungan normal dari servikal lateral. 1. prosesus spinosus, 2. Spinolaminar line, 3.
Posterior vertebral body line, 4. Anterior vertebral body line (Dept. Bedah Saraf FK USU)

Gambar 2.2. Lateral view : 1. Anterior vertebral line, 2. Posterior vertebral line, 3. Spinolaminal
line, 4. Interspinosus line. (Dikutip : diagnostik imaging pathway. Cervical spine series. Available
at : Diagnostic Imaging Pathways. Cervical Spine Series. Available at
http://www.imagingpathways.health.wa.gov.au/Includes/DIPMenu/normal_musculoskeletal/image
.html

10

Gambar 2.3. Posterior cervical line (Swischuk line) membedakan pseudosubluksasi dengan
instabilitas patologis saat translasi C2 pada C3 tampak pada foto x-ray lateral fleksi. Swischuks
line ditarik antara korteks anterior dari arkus posterior C1 dan C3, dan stabilitasnya dinilai dari
hubungannya dengan arkus posterior dari C2 (Dept. Ilmu Bedah Saraf FK USU)

Gambar 2.4. Malalignment Swischuks line menunjukkan adanya subluksasi C2 pada C3. Dikutip
dari : The Line of Swischuks. Available at : http://www.accessem.com/loadbinary.aspx?
fileName=schw1_c044f003t.jpg

Foto lateral digunakan untuk menilai allignment tulang servikal, kelainan


tulang, kelainan diskus intervertebralis, dan jaringan lunak. Temuan seperti
swelling prevertebra dapat menjadi temuan satu-satunya pada pasien cedera akut.
Foto anteroposterior, walaupun berguna untuk evaluasi lima vertebra servikal
bagian bawah dan vertebra torakal atas; memiliki keterbatasan karena bayangan
yang bertumpang tindih dengan mandibula dan occiput. 2,7
Open mouth view memberikan proyeksi anteroposterior dari vertebra servikal atas.
Dengan membuka mulut, bayangan mandibula tidak lagi tampak diatas C1-2, dan
oleh karena itu dapat dinilai dengan baik. Dengan proyeksi ini, alignment coronal
dari atlas dan axis, posisi dens axis, fraktur Jefferson dapat dinilai. Keterbatasan
teknik ini adalah pada keadaan dijumpainya cedera fasial. Foto oblik berguna
untuk identifikasi prosesus uncinate dari corpus vertebra, lamina, pedikel,
foramen intervertebra, massa articular, dan sendi inter facet. Untuk evaluasi
lengkap, dibutuhkan foto oblik bilateral. Pillar view memungkinkan visualisasi
langsung pada lateral mass. Sebagai tambahan, dens dapat dinilai bila foto open
mouth tidak memungkinkan atau inadekuat. Foto swimmer projection merupakan
cara lain untuk mengevaluasi cervicothoracic junction bila bahu pasien menutupi
servikal bawah walaupun sudah dilakukan traksi tangan.2,7

11

Gambar 2.5 ADI (Atlanto-Dens Interval) dan SAC (Space Available for the Cord) digunakan
untuk evaluasi instabilitas atlanto axial. Wackenheim clivus canal laine digunakan untuk evaluasei
cedera atlantooccipital. Puncak odontoid normal berada di sebelah posterior dari garis ini. McRae
dan McGregor line digunakan untuk evaluasi impresi basilar. Powers ratio merupakan
perbandingan BC/OA. Nilai normalnya adalah 0,7-1. Nilai lebih besar mengindikasikan adanya
dislokasi atlanto occipital, dan nilai lebih kecil mengindikasikan subluksasi posterior. A. Atlas
B.Basion C.Arkus posterior dari atlas O.Opisthion. (Dept. Bedah Saraf FK USU)

Tabel Parameter Pengukuran pada Imejing Servikal Normal.


Parameter
Predental Space
C2-C3 Pseudosubluxation
Retropharyngeal space

Adults
3mm or less
3mm or less
Less than 6
mm at C2, less
than 22 mm at
C6
Angulation of spinal column at any single Less than 11
interspace level
degrees
Cord dimension
10 to 13 mm

Children
4 to 5 mm or less
4 to 5 mm or less
1/3 to 2/3 vertebral
body
distance
anteroposterioly
Less
than
11
degrees
Adult size by 6
years of age

*Dikutip dari : Graber MA, Kathol M. Cervical Spine Radiographs in the Trauma Patient

Foto fleksi-ekstensi sering dianjurkan untuk evaluasi integritas ligamen


pada pasien tanpa defisit neurologis setelah mengalami trauma. Foto ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan defisit neurologis, tanda pasti fraktur,
pasien tidak stabil, riwayat penurunan kesadaran, intoksikasi alkohol dan juga

12

setelah pemberian analgetik dosis tinggi. Seiring kemajuan teknologi MRI, foto
ini semakin ditinggalkan.2,7

CT SCAN
Pada saat ini CT scan merupakan metode pilihan untuk melakukan

evaluasi trauma spinal akut. Dengan CT scan, tulang vertebra dapat


divisualisasikan dengan sangat baik, pecahan tulang kecil yang masuk ke kanalis
spinalis dapat dinilai dengan baik. Hal ini sangat berguna pada evaluasi fraktur
C1-2 oleh karena subtipe fraktur sangat sulit dilakukan dengan menggunakan foto
polos saja. Program komputer untuk membentuk imejing CT scan 3 dimensi
sangat membantu dalam pemahaman fraktur yang kompleks. Sensitifitas CT scan
jauh lebih superior dibandingkan dengan foto polos (98% vs 52%), sehingga
beberapa penulis menganjurkan penggunaan CT scan sebagai pemeriksaan wajib
pada pasien yang dicurigai menderita cedera spinal servikal. Kelemahan teknik
imejing ini adalah karena membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
mendapatkan pencitraan.2

MYELOGRAFI
Prosedur ini dilakukan dengan memberikan kontras intratekal, diikuti

dengan foto polos atau CT scan, sehingga didapatkan gambaran medula spinalis,
rongga sub arachnoid, dan radiks. Myelografi dapat menunjukkan massa
intramedula atau ekstramedula, obstruksi dari cairan serebrospinal, avulsi radiks,
robekan dura, dan syringomyelia post traumatic. Namun demikian hanya sedikit
sekali informasi yang didapatkan mengenai patologi intrinsik dari medula spinalis
pada cedera akut. Myelografi juga merupakan prosedur invasif yang memiliki
komplikasi cedera medula spinalis, perdarahan intra spinal, reaksi alergi terhadap
kontras.6

MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI)


MRI memiliki sensitifitas yang kurang dalam mendeteksi tulang dibanding

CT scan, disamping itu prosedur MRI juga membutuhkan waktu yang lebih lama,

13

dan membutuhkan pasien berada dalam keadaan yang diam. MRI lebih superior
dalam mendeteksi jaringan lunak; hematom epidural spinal, perdarahan intra
medula, kontusio medula spinalis, encephalomalacia, edema medula spinalis,
struktur ligamen penunjang. 8

ANGIOGRAFI

Dengan perkembangan teknik CT angiography (CTA) dan MR angiography


(MRA), visualisasi sttuktur vaskular kini dapat dinilai dengan lebih baik dan
semakin non invasif dibandingkan dengan angiografi tradisional. MRA
direkomendasikan oleh beberapa penulis, tetapi teknik ini memiliki kelemahan
dalam mendeteksi spasme dan pecahan tulang kecil. Oleh karena kebanyakan
pasien telah menjalani pemeriksaan CT scan, penambahan sekuensi angiografi
relatif lebih mudah. CTA memiliki sensitifitas 97,7% dan spesifitas 100%.

Gambar 2.6. CT Angiografi dengan rekonstruksi 3D pada perempuan 28 tahun


menunjukkan diseksi arteri karotis interna yang disertai pseudoaneurysm. Dikutip dari:
Stuhlfaut JW et al: Impact of MDCT Angiography on the Use of Catheter Angiography for the
Assessment of Cervical Arterial Injury After Blunt or Penetrating Trauma.

ALGORITMA UNTUK MENENTUKAN TEKNIK IMEJING YANG


TEPAT UNTUK SITUASI TRAUMA AKUT

14

*Dikutip dari France JC. Radiographic Imaging of the Traumatically Injured Spine: Plain
Radiographs, CT, MRI, Angiography, Clearing the Cervical Spine in Trauma Spine.

2..1.4. Tatalaksana
Tujuan utama dari manajemen cedera servikal adalah pencegahan dari cedera
neurologis sekunder dan menciptakan situasi yang optimal untuk pemulihan dari setiap
cedera neurologis bersamaan dengan mengembalikan stabilitas struktur osteoligamen. 9

1. Prehospital Care

15

Ketika dicurigai adanya cedera servikal, minimalkan gerakan leher selama


transportasi ke fasilitas pengobatan. Idealnya, mengangkut pasien di papan dengan
semirigid collar, dengan leher distabilisasi pada sisi kepala dengan kantong pasir atau
blok busa direkatkan dari sisi ke sisi (papan), di dahi.

2. Rekomendasi Terapi
a. Reduksi Tertutup
Pasien yang mengalami defisit neurologis akut sering mengalami subluksasi yang
nyata pada imejing, sebagai akibatnya akan terjadi kompresi medula spinalis. Contoh
yang umum termasuk pasien dengan locked facet unilateral atau bilateral, fraktur
servikal tipe burst, fraktur odontod. Selama berpuluh tahun telah dilakukan reduksi
tertutup dini terhadap penanganan cedera ini. Tujuannya adalah untuk dekompresi medula
spinalis yang cepat, mengembalikan stabilitas struktrur servikal dan imobilisasi. Namun
praktik reduksi tertutup dini ini telah dipertanyakan oleh banyak penulis. Mereka
menyarankan untuk dilakukannya MRI dini diikuti dengan diskectomy anterior yang
diikuti dengan reduksi, bila dijumpai herniasi diskus. Frekuensi disrupsi atau herniasi
diskus adalah cukup tinggi, yaitu sebesar 42%. 11
b. Pemulihan Stabilitas Spinal
Pemulihan stabilitas spinal adalah penting untuk meminimalisasi risiko cedera
sekunder dan memungkinkan mobilisasi dini dari pasien dan oleh karena itu mengurangi
risiko yang berhubungan dengan tirah baring jangka panjang. 9,11
c. External Orthoses
Imobilisasi eksternal dari spinal servikal terdiri dari cervical collar yang terdiri
dari berbagai desain, poster type orthoses, cervicothoracic devices termasuk Minervatype braces, dan halo orthosis.Cervical collar terdiri dari soft collar Philadelphia, Miami
J, Aspen, Newport, dan berbagai jenis tipe rigid collar. Soft collar memberikan
perlindungan yang minimal dan restriksi pergerakan yang sangat sedikit sehingga
peranannya pada manajemen trauma sangatlah terbatas. Poster type orthoses terdiri dari
orthoses tipe Guilford dan Sternal-Occipital-Mandibular Immobilization (SOMI).
Perlengkapan ini memberikan immobilisasi yang yang lebih baik dari cervical collar
tetapi jarang dapat diaplikasikan pada setting trauma akut. 12

16

Gambar 2.7. Orthoses dan Cast. a,b Soft Collar; c,d Philadelphia collar; e,f Minerva
cast.

Gambar 2.8. CervicalOrthoses.A.SoftCervicalCollar;B.PhiladelphiaCollar;C.


MiamiJCollar;D.PMTCervmaxCollar;E.AspenCTOCollar;F.MinnervaCTO.

D. Stabilisasi Pembedahan

17

Waktu yang tepat untuk dilakukannya intervensi pembedahan pada konteks


fraktur dislokasi servikal masih merupakan isu kontroversial. Pasien yang menunjukkan
defisit neurologis complete setelah beberapa jam atau lebih setelah cedera nampaknya
kemungkinan untuk pulih kecil. Hampir semua ahli sependapat bahwa intervensi
pembedahan adalah pada pasien yang tidak stabil yang secara progresif menunjukkan
defisit neurologis. Pada pasien yang stabil, pemilihan waktu yang tepat untuk
dilakukannya dekompresi menjadi kurang jelas. Alasan perlunya dekompresi dini adalah
untuk meminimalisasi cedera sekunder dengan meningkatkan perfusi, mengurangi
distorsi anatomi, dan mengembalikan sirkulasi cairan serebrospinal yang optimal. Namun
beberapa ahli yang tidak setuju dengan dekompresi dini mengajukan argementasi bahwa
medula spinalis yang mengalami cedera lebih rentan terhadap manipulasi dan perubahan
hemodinamik yang dapat terjadi pada intervensi pembedahan dini, dan risiko
pembedahan merupakan penyebab morbiditas yang potensial. 9,10,11
Terdapat dua teknik pembedahan, yaitu: (a) anterior cervical decompression,
fusion, and instrumentation dan

(b) posterior cervical decompression, fusion, and

instrumentation.
2.1.5 Prognosis13
Pada penelitian yang dilakukan oleh Frielingsdorf dan Dunn (2007) terhadap 101
pasien dengan cedera servikal, didapatkan hasil intervensi dini yang agresif menghasilkan
keluaran 1-year survival rate yang lebih baik dari yang diperkirakan. Masalah yang
terkait, seperti pressure ulcer, tetap menjadi masalah besar baik bagi pasien dan dalam hal
biaya perawatan kesehatan.
2.1.6. Komplikasi
a. Komplikasi Akut14

Neurogenic shock
Disfungsi sistem kardiovaskular
Gangguan thermoregulasi
Gangguan sekresi keringat
Gangguan sistem pernafasan dan disfagia
Thromboembolism
Pressure ulcers
Heterotopic ossification

18

Gangguan pada kandung kemih


Gangguan sistem pencernaan (obstipasi, distensi abdomen, nyeri abdomen)
Gangguan sistem muskuloskeletal
Immunological mediated neuro-infammation
Gangguan seksualitas
Ansietas dan depresi

b. Komplikasi Kronis15

2.2.

Disfungsi sistem pernafasan


Gangguan kardiovaskular (orthostatic hypotension, autonomic dysreflexia,

gangguan refleks kardiovaskular, atrofi jantung, dan lain-lain)


Disfungsi kandung kemih
Neurogenic bowel
Kekakuan otot (spasticity)
Nyeri kronis
Pressure ulcers
Osteoporosis dan fraktur

Trauma Thorakolumbal

2.2.1. Anatomi Thorakolumbal


Menurut Snell, Richard S, tulang belakang (vertebra) terdiri atas 33 tulang,
yaitu sebagai berikut:16
1. 7 vertebra cervicalis
2. 12 vertebra thoracicus
3. 5 vertebra lumbalis
4. 5 vertebra sacralis
5. 4 vertebra coccygis
Dari 33 vertebra tersebut, hanya 24 vertebra yang dapat digerakkan pada
orang dewasa, yaitu 7 vertebra cervicalis, 12 vertebra torakalis, dan 5 vertebra
lumbalis. Pada orang dewasa kelima vertebra sacralis melebur untuk membentuk
tulang sacrum dan keempat vertebra coxae melebur untuk membentuk tulang
coxae.16

19

Gambar 2.9. Gambaran vertebra torakalis dan lumbalis.16


2.2.2. Epidemiologi
Fraktur torakolumbal lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada
perempuan dengan perbandingan 2:1. Puncak usia kejadian ini adalah usia 20-40
tahun.16
Antara 15-20% fraktur terjadi pada thoracolumbar junction (T11-L2),
sementara 9-16% kasus terjadi pada regio torakal (T1-T10). Sekitar 50-60%
fraktur torakolumbal mengenai transisi T11-L2, 25-40% mengenai vertebra
torakal dan 10-14% mengenai vertebra lumbal dan sacrum.16
Torakolumbal menjadi sangat rentan terhadap trauma dikarenakan adanya
pengaruh anatomis yaitu adanya transisi dari kifosis torakal yang rigid menjadi
lordosis lumbal yang menjadi mobil

pada T11-T12. Iga torakal terbawah

memiliki stabilitas yang kurang pada thoracolumbar junction dibandingakan


pada region torakal karena tidak berhubungan dengan sternum dan mengambang
bebas. Sendi facet dari region torakal memiliki orientasi coronal, sehingga
membatasi fleksi dan ekstensi dan memiliki resistensi terhadap translasi
anteroposterior yang substansial.16
2.2.3. Mekanisme cedera
Pada saat cedera, dapat terjadi beberapa gaya yang dapat terjadi bersamaan
sehingga mengakibatkan kerusakan structural pada struktur vertebra. Mekanisme

20

cedera yang paling sering terjadi adalah kompresi aksial, fleksi/distraksi,


hiperesktensi, rotasi, dan shear.16
1. Kompresi Aksial
Pada keadaan ini, didapati adanya gaya di sepanjang vertebra dengan daya
fleksi anterior yang mengakibatkan penekanan pada salah satu atau beberapa
fragmen pada corpus vertebra. Tergantung dari energi yang terlibat, kompresi
inidapat menyebabkan burst fracture yang complete ataupun incomplete.
Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari ketinggian dan
cedera yang berhubungan dengan olahraga. Pada populasi yang lebih tua, fraktur
kompresi pada tulang yang osteoporosis dengan trauma energi rendah merupakan
penyebab yang paling sering.16
2. Fleksi/Distraksi
Daya fleksi mengakibatkan kompresi eksentrik dari korpus vertebra dan
diskus. Daya ini memberikan tekanan pada elemen posterior dari vertebra. Pada
cedera ini, aksis dari fleksi bergeser kearah anterior, dan keseluruhan kolom
vertebra, struktur tulang dan ligament posterior akan mengalami daya regangan
yang besar. Distraksi akan mengakibatkan disruptur horizontal pada elemen
posterior dan atau anterior. Lesi ini melibatkan fraktur horizontal, yang dimulai
dari processus spinosus, lamina, processus transversus, dan pedikel, dan mencapai
korpus vertebra. Penyebab dari cidera tipe ini adalah korban kecelakaan lalu lintas
yang menggunakan sabuk pengaman.16
3. Hiperekstensi
Daya ekstensi terjadi pada saat bagian atas dari batang tubuh terhempas
kearah posterior. Hal ini mengakibatkan pola cidera yang signifikan yang
berlawanan dengan cidera posterior. Daya regangan akan terjadi pada sisi anterior,
sementara kompresi terjadi pada elemen posterior. Mekanisme ini berakibat ruptur
dari anterior ke posterior dan dapat megakibatkan fraktur prosesus spinosus,
lamina, dan facet.16
4. Cidera Rotasional

21

Cidera ini merupakan cidera yang mengakibatkan gerakan berputar pada


tulang belakang. Dengan meningkatnya daya rotasional, terjadi ruptur ligament
dan kapsul facet yang akan memicu terjadinya disrupsi elemen anterior dan
posterior.16
5. Shear Force
Shear force mengakibatkan disrupsi ligamen yang sangat berat dan dapat
mengakibatkan pergeseran vertebra anterior, posterior, atau lateral. Jenis yang
paling

sering

terjadi

adalah

spondylolisthesis

anterior

yang

biasanya

mengakibatkan cidera medulla spinalis complete.16


2.2.4. Klasifikasi
Cedera vertebra sangat beragam. Hal yang paling penting untuk
pemahaman dan penatalaksanaan dari cidera ini adalah evaluasi stabilitas dan
instabilitas. Walau demikian belum ada batasan yang tegas mengenai stabilitas
dari cidera spinal. Beberapa system klasifikasi dari cidera spinal telah
diperkenalkan berdasarkan morfologi fraktur semata dan berbagai konsep
stabilitas lainnya.17
Klasifikasi ASIF (Association for the Study of Internal Fixation) semakin
diterima

secara

luas

sebagai

gold

standard

dalamdokumentasi

dan

penatalaksanaan cidera dari vertebra. Klasifikasi ini adalah berdasarkan teori dua
kolom sebagai mana dijelaskan oleh Holdsworth dan Kelly dan Whitesides.17
Berdasarkan system klasifikasi ASIF yang umum, cidera dikelompokkan
sesuai tingkat keparahan kedalam tiga tipe, yaitu:17
-. Tipe A: cidera kompresi
-. Tipe B: cidera fleksi/distraksi
-. Tipe C: cidera rotasional.

22

Gambar 2.10. Klasifikasi fraktur spinal torakolumbal berdasarkan ASIF tipe A


(kompresi), tipe B (Fleksi/distraksi), tipe C (Rotasi).17

23

Klasifikasi tipe, grup, dan subgroup fraktur torakolumbar berdasarkan Magerl et


al.17
2.2.5. Manifestasi Klinis
Penilaian klinis dari pasien dengan dugaan trauma spinal memerlukan
identifikasi dari tiga faktor utama: cedera spinal, defisit neurologis, cedera non
spinal yang bersamaan.18
2.2.5.1. Cedera Spinal
Penatalaksanaan dan manajemen pasien dengan multipel trauma yang
mengancam nyawa dan pasien dengan cedera spinal murni adalah berbeda. Pada
kasus multipel trauma, sepertiga pasien mengalami cedera spinal. Keterlambatan
diagnosa pada fraktur torakolumbal terjadi pada 19-23% kasus, dimana diagnosa
cedera torakolumbal ditegakkan setelah pasien meninggalkan unit gawat darurat.2

24

Keterlambatan diagnosa pada fraktur torakolumbal sering dihubungkan


dengan kondisi pasien yang tidak stabil yang membutuhkan prosedur prioritas
yang lebih tinggi dari pada foto vertebra torakolumbal. Dengan perkembangan CT
scan multislice, angka misdiagnosa menjadi jauh berkurang. Multiple burst
fracture terjadi pada 10-34% kasus.20
2.2.5.2. Defisit Neurologis
Pemeriksaan neurologi yang terdokumentasi baik dan akurat merupakan
hal yang sangat penting. Dengan pemeriksaan yang tidak akurat dan tidak lengkap
pada berbagai jenis dan tingkatan defisit neurologis pada pasien, perkembangan
dan perburukan keadaan klinis pasien menjadi tidak jelas. Pada perkembangan
defisit neurologis yang progesif, penilaian urgensi tindakan pembedahan atau
dekompresi menjadi kabur. Salah satu pemeriksaan klinis yang penting adalah
penilaian sacral sparing dimana temuan klinis ini menunjukkan lesi yang
incomplete dan berhubungan dengan prognosa yang lebih baik.
2.2.5.3. Cedera Non Spinal Yang Bersamaan
Sekitar sepertiga dari seluruh cedera spinal memiliki cedera non spinal
yang bersamaan. Cedera non spinal lain yang paling sering terjadi adalah cedera
kepala (26%), cedera torak (24%), cedera tulang panjang (23%). Satu cedera non
spinal ditemukan pada 22% kasus, dua cedera non spinal yang bersamaan
dijumpai pada 15% kasus, dan 10% pasien mengalami tiga atau lebih cedera.
Kebanyakan fraktur vertebra melibatkan servikal bawah (29%) dan batas
torakolumbal (21%). Delapan puluh dua persen fraktur torakal dan 72% fraktur
lumbal memiliki cedera lain yang bersamaan dibandingkan dengan 28% pada
fraktur servikal bawah.18,21
Terdapat hubungan antara cedera fleksi pada spinal lumbal (tipe Chance)
dan cedera abdominal pada seat belt injury.22 Beberapa mekanisme cedera spesifik
dan pola fraktur merupakan pertanda cedera spinal yang bersamaan. Fraktur dari
calcaneus atau tibial plateau yang terjadi akibat melompat dari ketinggian
berhubungan dengan burst fracture. Cedera sternum yang terjadi akibat

25

kekerasan secara tidak langsung, hampir selalu berhubungan dengan cedera kolom
spinal yang berat.23
2.2.6. Penegakan Diagnosa
A. Anamnesa
Anamnesa dari pasien yang menderita cedera torakolumbal biasanya jelas.
Gejala utama adalah: nyeri, kelumpuhan, defisit sensorimotor, disfungsi miksi dan
defekasi. Anamnesa sebaiknya mencakup penilaian yang detail dari cedera,
misalnya jenis trauma (high / low energy), mekanisme cedera (kompresi, fleksi
distraksi, hiperekstensi, rotasi, shear injury). Fraktur dari vertebra torakolumbal
biasanya terjadi akibat trauma dengan energi kuat seperti kecelakaan lalu lintas
atau terjatuh dari ketinggian. Aktifitas rekreasional sering berhubungan dengan
cedera spinal, misalnya naik kuda, ski, snowboarding, paralayang. Setiap
penderita yang mengalami trauma dengan energi kuat harus dicurigai menderita
cedera spinal sampai terbukti sebaliknya. Sebaliknya fraktur kompresi sering
terjadi pada orang tua dengan tulang yang osteoporotik, cedera ini biasanya
melibatkan energi trauma yang rendah. Pada penilaian status neurologis,
anamnesa harus detail dan mencakup: waktu onset, dan perkembangan defisit
neurologis (tetap, progresif, membaik).18
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pemeriksaan fisik pasien dengan
multipel trauma yang tidak sadar, adalah sulit untuk diinterpretasikan dengan baik.
Oleh karena 30% pasien yang mengalami trauma multipel juga mengalami cedera
spinal, pemeriksaan seluruh sistem vertebra sebaiknya dilakukan.
B. Pemeriksaan Fisik
Seperti pada pemeriksaan fisik pada pasien dengan cedera servikal, fokus
penting dari pemeriksaan fisik adalah penilaian fungsi vital dan defisit neurologis.
Tujuannya adalah untuk mengamankan fungsi vital, yang dapat terganggu pada
pasien dengan trauma multipel dan pada pasien dengan cedera medulla spinalis.
Cedera sekunder pada medulla spinalis yang diakibatkan oleh hipotensi dan
oksigenasi jaringan yang inadekuat harus dicegah dengan manajemen yang sesuai.

26

Medulla spinalis biasanya berakhir pada level L1 pada dewasa dan


kadang-kadang L2 pada beberapa pasien. Oleh karena itu fraktur pada
thoracolumbar junction dapat bermanifestasi dengan tanda dan gejala yang
bermanifestasi. Cedera pada regio ini dapat mengenai:
Medula spinalis distal, yang mengakibatkan paraplegia complete /
incomplete
Conus medularis, yang mengakibatkan malfungsi sistem vegetatif
Kauda ekuina
Radiks torakolumbal
Penilaian antara paraplegia complete atau incomplete pada pasien yang
mengalami defisit neurologis, merupakan hal yang sangat penting dalam
menentukan prognosis, oleh karena 60% pasien yang memiliki lesi incomplete
berpotensi untuk mengalami perbaikan. Pada fraktur torakolumbal, gambaran
klinis dari shock neurogenik complete tidak akan terjadi karena hanya bagian
kaudal dari sistem simpatis saja yang dapat mengalami kerusakan.18
Penilaian spinal shock adalah penting karena spinal shock dapat
mengganggu keseluruhan fungsi neural, oleh karena itu berpengaruh terhadap
keputusan jenis tindakan dan waktu memulai terapi. Fraktur torakolumbal dapat
mengakibatkan kerusakan parasimpatis yang terletak pada conus medullaris.
Cedera ini akan mengakibatkan disfungsi miksi, defekasi, dan disfungsi seksual.
Pada cedera kauda equina, atau yang bersamaan dengan conus medullaris,
dijumpai distribusi yang lebih difus dari parestesia pada ekstremitas bawah,
kelemahan dan penurunan refleks. Radikulopati dapat diidentifikasi sebagai
perubahan sensorik dengan pola segmental, yang tidak selalu bersamaan dengan
kelemahan motorik. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dokumentasi dari
fungsi neurologis ini harus akurat dan lengkap. Protokol ASIA telah menjadi
penilaian standar dari pemeriksaan ini. Inspeksi dan palpasi dari vertebra
bertujuan untuk menilai dan identifikasi: laserasi, memar ecchymoses pada kulit;

27

luka terbuka; pembengkakan; hematoma; alignment vertebra, celah antara korpus


vertebra.18
C. Pemeriksaan Imaging
Pemeriksaan radiologis merupakan ekstensi dari pemeriksaan fisik untuk
mengkonfirmasi kecurigaan klinis dan untuk dokumentasi tingkat keparahan
cedera. Pada pasien yang sadar penuh, tidak mengalami cedera lain, tidak dalam
pengaruh obat, alkohol dan tidak mengalami defisit neurologis; maka kepentingan
studi imejing adalah berdasarkan gejala klinis. Tidak dijumpainya nyeri punggung
dan pembengkakan dapat mengeksklusikan cedera torakolumbal.24
Studi imejing modern seperti CT dan MRI secara substansial
meningkatkan kemampuan diagnosis cedera tulang, diskus dan ligamen. Walau
demikian foto polos masih membantu, karena memungkinkan penilaian cepat dari
deformitas tulang.24
Adalah penting untuk mengingat bahwa setiap studi imejing statis adalah
snapshot pada waktu tersebut, dimana gambar diambil setelah trauma mayor
telah mengenai struktur spinal. Sehingga derajat pergeseran spinal yang
sebenarnya yang terjadi semasa cedera mungkin tidak terungkapkan. Kebanyakan
imejing ini juga diambil pada posisi pasien berada dalam keadaan pronasi, dimana
posisi ini merupakan posisi yang sangat sedikit menerima beban fisiologis, dan
oleh karena itu dapat menimbulkan penilaian yang salah untuk keparahan dan
instabilitas dari cedera spinal.24

28

ASIA Impairment Scale, metoda penilaian neurologis standar pada


cedera torakolumbal

Imaging Standar
Pada kebanyakan institusi, radiografi anterior-posterior dan lateral dari

keseluruhan vertebra merupakan studi imejing standar setelah cedera spinal. Jika
dijumpai kecurigaan klinis dari cedera spinal, foto polos harus didapatkan.
Imejing yang didapatkan pada saat pasien dalam keadaan pronasi sangat mungkin
melewatkan deformitas kifosis. Foto yang diambil pada saat pasien dalam keadaan
berdiri dapat menunjukkan kemungkinan gangguan integritas dari struktur
posterior dibawah axial loading. Foto atau imejing yang diambil dalam keadaan
emergensi adalah tidak adekuat. Krueger25 dkk menyarankan untuk dilakukannya

29

CT scan pada pasien dengan fraktur pada prosesus transversus, karena CT scan
dapat mendeteksi cedera yang memiliki potensi serius.
Saat melakukan analisa foto polos, beberapa poin dibawah ini adalah tanda
yang perlu dipertimbangkan dan dicari pada foto anteroposterior:18
Berkurangnya ketinggian korpus vertebra (misalnya, deformitas
skoliosis)
Perubahan jarak interpedikular horizontal dan vertikal
Struktur posterior yang tidak simetris
Luksasi dari artikulasi costotranversus
Fraktur oblik atau tegak lurus dari elemen dorsal
Jarak interspinosus yang iregular
Pada foto lateral, hal yang perlu diinvestigasi adalah:18
Profil sagital
Derajat kompresi korpus vertebra
Interupsi atau pembengkakan garus posterior dari corpus vertebra
Dislokasi dari fragmen dorsoapical
Tinggi dari celah intervertebra

30

Gambar 2.11 Imejing fraktur torakolumbal; a.pelebaran jarak interpedikular


menunjukkan burst fracture dan berkurangnya tinggi korpus bilateral (skoliosis);b.
Asimetri dari allignment spinal; c. kifosis segmental d.disrupsi dinding posterior
korpus dan dislokasi dari fragmen dorsoapikal.

CT Scan
Ada

peningkatan

kecenderungan

manajemen

trauma,

khususnya

manajemen multipel trauma, untuk menyingkirkan kemungkinan cedera viseral


dengan penggunaan CT scan toraks, abdomen dan pelvis.26 Pada review sistematik
dari literatur multipel trauma, banyak penulis yang menyarankan pemeriksaan
penunjang dengan menggunakan CT scan setelah pasien berada dalam keadaan
stabil, dikarenakan sensitifitas CT scan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
foto polos. Perbandingan sensitifitas kedua alat imejing ini adalah 58% kontra
97%; dan spesifitas sebesar 93% kontra 99%.18

Gambar 2.12. Imejing fraktur torakolumbal. A.Penekanan kanalis spinalis oleh


fragment tulang yang retropulsi. B.Fraktur subluksasi C.Fraktur luksasi berat
D.Rekonstruksi CT 3D menunjukkan fraktur rotasi (lesi tipe C).

31

Magnetic Resonance Imaging


Pada pasien dengan defisit neurologis, MRI direkomendasikan sebagai

sarana imejing untuk investigasi lesi medulla spinalis atau kompresi medulla
spinalis yang mungkin terjadi oleh karena fragmen fraktur atau hematoma
epidural. Pada pasien tanpa defisit neurologis MRI dari torakolumbal biasanya
tidak dibutuhkan pada fase akut. MRI dapat membantu dalam menetukan
integritas dari struktur ligamen posterior dan oleh karena itu dapat membedakan
antara fraktur tipe A dan B. Untuk tujuan ini, sekuens T2 berguna untuk
menentukan adanya edema.

Gambar 2.13. Penilaian fraktur dengan MRI: a.MRI T2 weighted menunjukkan


subluksasi fraktur dengan penekanan diskus, intensitas sinyal MRI menunjukkan
penekanan medulla spinalis; b.pincer fracture (anak panah hitam), joint effusion
(anak panah putih).

2.2.7. Penatalaksanaan
2.2.7.1. Terapi Non Operatif
Penatalaksanaan pasien cedera spinal pre hospital dapat meningkatkan
outcome pada pasien dengan cedera spinal. Pada tahapan ini, pengetahuan dan
kewaspadaan tim penolong, penalataksanaan protokol ATLS, sistem transportasi
pasien memegang peranan yang penting. Sasaran utama dari penatalaksanaan
cedera torakolumbal adalah sama dengan cedera servikal, yaitu: mengembalikan

32

alignment spinal, preservasi atau perbaikan fungsi neurologis, pemulihan stabilitas


spinal, dan mencegah kerusakan sekunder.
Penatalaksanaan

ini

harus

memberikan

lingkungan

biologis

dan

biomekanik yang memungkinkan pemulihan jaringan lunak dan tulang yang


akurat dan pada akhirnya menciptakan kolom spinal yang stabil dan bebas nyeri.
Tujuan dari penatalaksanaan ini harus diikuti dengan risiko morbiditas yang
minimal. Oleh karena itu keuntungan utama dari terapi non operatif dari fraktur
torakolumbal adalah mencegah komplikasi yang berkaitan dengan operasi seperti
infeksi, cedera neurologis iatrogenik, komplikasi kegagalan instrumentasi,
komplikasi pembiusan. Hubungan antara deformitas kifosis post traumatik dan
nyeri punggung kronik tidak dijelaskan dengan baik pada literatur. Kebanyakan
klinis beranggapan bahwa deformitas kifosis pada daerah torakolumbal
berhubungan dengan outcome klinis yang jelek.18
Tabel 1. Indikasi untuk terapi non operatif: Dikutip dari: Boos N, Aebi M, eds.
Thoracolumbar Spinal Injuries in Spinal Disorder. New York: Springer 2006.p.883-924

Terapi Steroid pada Cedera Medulla Spinalis


Kontroversi penggunaan terapi steroid pada penatalaksanaan cedera

medulla spinalis torakolumbal sebagai mana telah dijelaskan sebelumnya, masih


kontroversial. Konsensus umum yang dianut untuk penggunaan terapi steroid
dosis tinggi dipandang sebagai suatu terapi opsional pada trauma spinal pada
pasien usia muda, tetapi bukan menjadi panduan baku.27

Modallitas Terapi Non Operatif


Terapi non operatif masih merupakan terapi yang efektif pada mayoritas

fraktur torakolumbal, dan harus dipertimbangkan sebagai pilihan terapi dalam

33

penatalaksanaan pasien. Indikasi penatalaksanaan konservatif pada fraktur


torakolumbal adalah: lesi tulang murni, tidak dijumpainya gangguan alignment,
tidak dijumpainya kerusakan tulang yang berat, hanya mengakibatkan nyeri
ringan pada saat mobilisasi, tidak dijumpainya osteopenia/ osteoporosis.27
Terdapat tiga metoda utama pada terapi non operatif, yaitu reposisi dan
stabilisasi dengan cast, terapi fungsional dan penggunaan korset tanpa reposisi,
terapi fungsional tanpa korset. Walau demikian terapi fungsional tanpa korset
tidak dapat dipalikasikan pada semua jenis fraktur, sementara secara dasar semua
fraktur dapat diterapi dengan reposisi dan formal casting (Bhler Bohler
technique).18

Functional Bracing
Magnus28 menyarankan terapi fungsional dini tanpa reposisi. Menurut

konsep pemikirian dari studinya, fraktur torakolumbal cenderung untuk kembali


mengalami deformitas semula. Oleh karena itu reposisi mungkin tidak
dibutuhkan. Konsep terapi fungsional dimulai dengan fase berbaring pada posisi
pronasi di tempat tidur, dan bila diperlukan, dengan lordotic support. Waktu
imobilisasi di tempat tidur tergantung pada tipe fraktur. Fase terapi berikutnya
terdiri dari fisioterapi untuk menambah kekuatan otot, mobilisasi pada kolam air,
mobilisasi dengan three point orthesis untuk mencegah fleksi dan memastikan
pasien berada dalam keadaan tegak. Pasien dapat pulang setelah terapi selama 3
minggu.
Pengobatan rawat jalan diteruskan selama 3-4 bulan lagi, terapi fisik untuk
memperkuat mobilitas tulang belakang dimulai setelah tampak bukti radiologis
dari konsolidasi fraktur, yaitu setelah 3-4 bulan.

34

Gambar 2.14. Berbagai contoh thoracolumbar brace, dan pemakaiannya.

2.2.7.2. Terapi Pembedahan


Fraktur torakolumbal yang tidak stabil merupakan indikasi untuk terapi
pembedahan, terapi pembedahan memungkinkan: mobilisasi dini dari pasien,
mengurangi nyeri, memfasilitasi perawatan pasien atau mobilisasi (terutama pada
pasien trauma multipel), cepat kembali bekerja, mencegah komplikasi neurologis
lanjut
Tabel 2. Indikasi untuk terapi pembedahan. Dikutip dari: Boos N, Aebi M, eds.
Thoracolumbar Spinal Injuries in Spinal Disorder. New York: Springer 2006.p.883-924

Walau demikian, studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal
pemulihan neurologis (Frankel Score) dan perbedaan substansial pada pemulihan
jangka panjang antara terapi operatif dan non operatif.28 Temuan ini valid pada
fraktur kompresi yang relatif stabil, misalnya fraktur A1 dan A2 sesuai klasifikasi

35

AO. Namun studi-studi yang dilakukan sering menggabungkan tipe fraktur secara
cohort tanpa diferensiasi secara lanjut, yang mengakibatkan hasil yang
inkonklusif. Pada burst fracture sering terdapat berbagai derajat penyempitan
kanalis spinalis yang mempengaruhi risiko cedera neurologis. Oleh karena itu
defisit neurologis yang progresif dengan gangguan pada kanalis spinalis yang
substansial merupakan indikasi untuk dekompresi dan stabilisasi. Status
neurologis, stabilitas spinal, derajat deformitas dari segmen yang cedera, dan
cedera yang berhubungan merupakan hal yang paling relevan yang perlu
dipertimbangkan dalam menentukan terapi operatif atau non operatif pada pasien
dengan fraktur vertebra torakolumbal.
Indikasi absolut terapi pembedahan adalah: paraparese incomplete, defisit
neurologis progresif, kompresi medulla spinalis, fraktur dislokasi, kifosis
segmental >300, cedera ligamen yang predominan. Sementara indikasi relatif
adalah: lesi tulang murni, keinginan pasien untuk cepat kembali ke aktifitas
sehari-hari, menghidari kifosis sekunder, cedera lain yang bersamaan (toraks,
cerebral), membantu perawatan pada pasien paraplegi.18
Dengan tidak adanya bukti ilmiah kelas I dan II untuk kebanyakan jenis
fraktur, panduan terapi pada fraktur torakolumbal masih tetap kontroversial,
namun pendekatan pragmatis yang digunakan pada setiap sentra trauma mungkin
membantu.
Waktu yang tepat untuk tindakn pembedahan masih kontroversial sampai
saat ini. Walaupun ada studi yang menunjukkan bahwa tindakan dekompresi dini
yang dilakukan <72 jam tidak memberikan efek perbaikan neurologis jangka
panjang, beberapa seri studi prospektif menunjukkan dekompresi dini (<12 jam)
dapat dilakukan dengan aman dan akan meningkatkan outcome neurologi.28
2.2.7.2.1. Teknik Pembedahan
Jika tindakan pembedahan telah diambil, pertimbangan berikutnya adalah
jenis pendekatan bedah yang sesuai untuk setiap kasus tersebut. Sama halnya
dengan keputusan apakah konservatif atau operasi, bukti ilmiah yang

36

menunjukkan superioritas salah satu teknik pembedahan juga belum ada.


Terutama untuk burst fracture superior yang sering terjadi, terdapat banyak variasi
teknik operasi untuk manajemen jenis fraktur tersebut. Dan pada akhirnya, adalah
keahlian, pengalaman dan pertimbangan ahli bedah tersebutlah yang dipilih.
A. Posterior Approach
Walaupun terdapat berbagai prinsip umum dalam penatalaksanaan cedera
torakolumbal, indikasi pembedahan posterior secara umum tergantung pola cedera
spesifik. Beberapa jenis cedera yang mungkin mendapatkan keuntungan dengan
posterior approach adalah fraktur kompresi, burst fracture, cedera fleksi distraksi,
dan fraktur dislokasi.30
`Secara umum teknik operasi stabilisasi dan fusi posterior dapat terdiri dari:30
Exposure
Pedicle screw insertion
Hook placement
Rod placement and reduction maneuvers
Distraction for indirect decompression
Fusion bed preparation
Bone graft harvest
Fusion and closure

37

Gambar 2.15. (A).POSTERIOR APPROACH untuk untuk elemen posterior. (B dan


C) TRANSPEDICULAR APPROACH; (B).Ilustrasi skematik bagian tulang
vertebra yang dapat diangkat pada approach transpedicular unillateral dan
(C).Bilateral approach.

Gambar 2.16. A. POSTEROLATERAL APPROACH : Costotransversectomy (B,C).


ANTERIOR APPROACH : B.Insisi untuk sternoclavicular approach C.Insisi untuk
transthoracic approach D. ANTEROLATERAL APPROACH : Insisi untuk
thoracoabdominal approach.

Gambar 2.17. Pada prosedur Costotranversectomy, iga dilepaskan dari permukaan


bawah prosesus tranversus.

38

Gambar 2.18. Starting point untuk insersi thoracic pedicle screw berada hampir di
dekat perpotongan antara garis yang ditarik sepanjang batas superior dari prosesus
tranversus dan aspek lateral dari prosesus artikularis superior.

Gambar 2.19. Titik insersi untuk lumbar pedicle screw berada pada perpotongan dari
garis yang ditarik sepanjang pertengahan prosesus tranversus dan garis yang ditarik
sepanjang aspek lateral dari titik tengah sendi facet.

B. Anterior Approach
Dari sudut pandang biomekanik, adalah jelas bahwa kerusakan spinal
harus ditangani sesuai dengan mekanisme cedera dan pada sisi tempat terjadinya
cedera. Pada cedera fleksi (misalnya Chance fracture) dengan fraktur pada
pedikel dan korpus vertebra, stabilisasi dapat dilakukan dengan pendekatan dorsal
dan fungsi tension band dapat tercapai sampai penyembuhan tulang. Sekitar 80%
axial load dari vertebra yang intak didukung oleh kolom anterior. Jika terjadi
cedera signifikan pada kolom anterior, kemampuan suportif anterior secara

39

dramatis berkurang 10%, mengakibatkan 90% beban ditanggung oleh implan dan
elemen posterior. Pertimbangan biomekanik umum mendukung penggunaan
suportif anterior (seperti graft tulang tricortical atau cage).18
Indikasi utama pendekatan anterior adalah: dekompresi spinal yang
insufien, restorasi kolom anterior yang insufien. Penekanan kanalis spinalis pada
pasien dengan defisit neurologis yang tidak dapat secara adekuat dapat
diselesaikan dengan pendekatan posterior saja, membutuhkan dekompresi
anterior. Indikasi tambahan untuk pendekatan anterior adalah fraktur korpus
vertebra dengan dislokasi dan fraktur kominutif yang substansial yang tidak dapat
diatasi dengan pendekatan posterior saja. Walau demikian fraktur tipe A dapat
diterapi dengan pendekatan anterior saja; beberapa fraktur tipe B dan C dapat
diatasi dengan pendekatan anterior saja dengan menggunakan fiksasi anterior jenis
rigid angle.18
C. Pendekatan Minimally Invasive
Pendekatan bedah konvensional untuk terapi fraktur torakolumbal
membutuhkan ekspos yang ekstensifdan sering mengakibatkan morbiditas dan
nyeri yang signifikan post operasi. Dalam mengurangi risiko tambahan yang
diakibatkan oleh akses pembedahan yang luas, metoda yang lebih minimal invasif
telah

dikembangkan.

Penggunakan

sistem

retraktor

seperti

SynFrame

memungkinkan pendekatan spine anterior dapat diakses dengan pembedahan


terbuka, tetapi dengan cara yang kurang invasif. Kossman dkk. Melaporkan
komplikasi yang minimal intra atau paska operasi yang berhubungan dengan
prosedur ini. Sebagai tambahan tidak dijumpai neuralgia intercosta, sindrom nyeri
paska torakotomi, infeksi luka operasi, dan deep venous thromboses.31
Pembedahan spinal torakoskopi merupakan teknik lain yang mengurangi
morbiditas dari pendekatan bedah terbuka yang luas; sementara tujuan utama
untuk

dekompresi,

rekonstruksi,

dan

stabilisasi

masih

tercapai.

Sejak

perkembangan instrumen dan implan yang didesain khusus untuk kepentingan


prosedur ini, teknik operasi torakoskopi semakin menjadi mudah dan nyata.

40

Melalui pendekatan trans diafragma, dimungkinkan untuk membuka batas


torakolumbal, termasuk segmen retroperitoneal dari vertebra dengan teknik
endoskopi ini. Hal penting yang juga dapat dilakukan dengan teknik endoskopi
adalah dekompresi kanalis spinalis anterior dengan hasil yang menjanjikan.31
D. Combined Anterior and Posterior Approach
Studi

mengenai

stabilisasi

posterior

dari

fraktur

torakolumbal

menunjukkan bahwa fraktur kominutif pada kolom anterior sering mengakibatkan


kegagalan. Oleh karena itu beberapa teknik telah dikembangkan untuk
menstabilkan kolom anterior. Pada beberapa institusi, dokter bedah lebih
menyukai prosedur dua tahap dengan reduksi fraktur via stabilisasi posterior pada
tahap pertama dan kemudian pembedahan dengan pendekatan anterior tergantung
pada kondisi pasien. Reduksi posterior yang diikuti stabilisasi efektif untuk
mengembalikan alignment sagital; metoda rekonstruksi anterior memungkinkan
dekompresi yang efektif pada kanalis spinalis dan memungkinkan stabilitas
mekanik yang lebih superior.1
2.2.8. Komplikasi
Komplikasi yang berhubungan dengan pembedahan sangat bervariasi pada
berbagai literatur, dan tergantung pada patologi dan jenis pembedahan. Salah satu
seri terbesar yang memperhitungkan komplikasi pada terapi pembedahan pada
fraktur spinal adalah studi multisenter dari Spine Study Group of the German
Trauma Association (DGU). 15% pasien mengalami paling sedikit satu
komplikasi intra atau post operatif. Enam persen pasien mengalami revisi, dan 9%
mengalami komplikasi tanpa revisi. Kesalahan tipikal dan komplikasi yang
mungkin terjadi pada pembedahan berbeda pada setiap tahapan operasi:
pengaturan posisi pasien dan reduksi tertutup dari fraktur, pendekatan
pembedahan, dekompresi kanalis spinalis, instrumentasi dan stabilisasi, fusi
intervertebra. Komplikasi dapat berupa infeksi, hematom, penempatan screw yang
salah, fistel, emboli arteri femoralis, fraktur iga iatrogenik, fraktur iga, lesi perifer
dari radiks, penurunan status neurologis, dan lain-lain.18,32

41

Daftar Pustaka
1. Wahyudi Latif. 2012. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Post Fraktur
Kompresi Vertebra Servikal V Frenkel A Di RSO. Prof. DR. R.Soeharso
Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
2. Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta. 2006
3. Vollmer DG, Eichler ME, Jenkins AL III. Assesment of the Servikal Spine
After Trauma. In : Winn HR, ed. Youmans Neurological Surgery Vol.3, 6th
edition. Philadelphia:Elsevier 2011.p.3166-3185
4. Marshall LF, Knowlton S, Garfin SR, et al. Deterioration following spinal
cord injury: A multicenter study. JNeurosurg. 1987;66:400-404
5. Tator C. Epidemiology and general characteristics of the spinal cord injured
patient. In: Benzel E, Tator C, eds. Contemporary Management of Spinal
Cord Injury. Park Ridge, IL: American Association of Neurological
Surgeons; 1995:9-20
6. Holly LT, Kelly DF, Counelis GJ, et al. Servikal spine trauma in children: a
review. Neurosurg Focus 2002;96:285-291
7. Pang D,Wilberger J. Spinal cord injury without radiographic abnormalities
in children. J Neurosurg 1982;57:114-129.
8. Benzel EC, Hart BL, Ball PA, et al. Magnetic resonance imaging for the
evaluation of patients with occult servical spine injury. J Neurosurg
1996;85:824-829
9. Vollmer DG, Eichler ME, Jenkins AL III. Assesment of the Servikal Spine After
Trauma. In : Winn HR, ed. Youmans Neurological Surgery Vol.3, 6th edition.
Philadelphia: Elsevier 2011.p.3166-3185

10. Kanwar R, Delasobera BE, Hudson K, Frohna W. Emergency department


evaluation and treatment of cervical spine injuries. Emerg Med Clin North Am.
2015 May. 33 (2):241-82

11. Brunette DD, Rockswold GL. Neurologic recovery following rapid spinal
realignment for complete servikal spinal cord injury. J Trauma.
1987;27:445-447

42

12. Johnson RM, Hart DL, Simmons EF, et al. Servikal orthoses: A study
comparing their effectiveness in restricting servikal motion in normal
subjects. J Bone Joint Surg Am 1977;59;332-339
13. Frielingsdorf K dan Dunn RN. Cervical spine injury outcome a review of 101
cases treated in a tertiary referral unit. S Afr Med J 2007; 97: 203-207
14. Hagen EM. Acute complications of spinal cord injuries. World J Orthop 2015;
6(1): 17-23
15. Sezer N, Akkus S, Ugurlu FG. Chronic complications of spinal cord injury. World
J Orthop 2015; 6(1): 24-33
16. Donny Luis, Abdul GS. Torakolumbar Trauma. Abdul GS (ed). Neurosurgery
Lecture Notes, 1 ed. Medan: USU Press; 2012. pp. 257-289.
17. Michael H, Guido AW. Thoracolumbal Spinal Injuries. Boos N, Aebi M (eds).
Spinal Disorder, Fundamentals of Diagnosis and Treatment. : Springer; 2008. pp.
883-924.

18. Boos N, Aebi M. Thoracolumbar Spinal Injuries in Spinal Disorder. New


York: Springer 2006.p.883-924.
19. Anderson S, Biros MH, Reardon RF. Delayed diagnosis of thoracolumbar
fractures in multiple-trauma patients. Acad Emerg Med 1996;3:832839.
20. Bensch FV, Kiuru MJ, KoivikkoMP, Koskinen SK. Spine fractures in
falling accidents: analysis of multidetector CT findings. Eur Radiol
2004;14:618624.
21. Saboe LA, Reid DC, Davis LA, Warren SA, Grace MG (1991) Spine
trauma and associated injuries. J Trauma 31:438.
22. Anderson PA,HenleyMB, Rivara FP,Maier RV. Flexion distraction and
chance injuries to the thoracolumbar spine. J Orthop Trauma 1991;5:153
160.
23. Gopalakrishnan KC, el Masri WS. Fractures of the sternum associated with
spinal injury. J Bone Joint Surg Br 1986;68:178181
24. Samuels LE, Kerstein MD. Routine radiologic evaluation of the
thoracolumbar spine in blunt trauma patients: a reappraisal. J Trauma
1993;34:8589.

43

25. Krueger MA, Green DA , Hoyt D, Garfin SR. Overlooked spine injuries
associated with lumbar transverse process fractures. Clin Orthop
1996;327:191195.
26. Bohlman HH, Anderson PA. Anterior decompression and arthrodesis of the
servikal spine: long-termmotor improvement. Part I Improvement in
incomplete traumatic quadriparesis. J Bone Joint Surg Am 71992;4:671
682.
27. Rechtine GR. Nonsurgical treatment of thoracic and lumbar fractures. Instr
Course Lect 1999;48:413416.
28. Magnus G. Die Begutachtung und Behandlung des Wirbelbruchs. Arch
Orthop Unfallchir 1930;29:277-283.
29. Vaccaro AR,Kim DH, Brodke DS, Harris M, Chapman JR, Schildhauer T,
Routt ML, Sasso RC. Diagnosis and management of thoracolumbar spine
fractures. Instr Course Lect 2004;53:35937.
30. Bono CM, Pryor JD. Operative Techniques: Posterior thoracolumbar
decompression, fusion and instrumentation. In: Kim DH, Ludwig SC,
Vaccaro AR, Chang JC, eds. Atlas of Spine Trauma. Philadelphia: Elsevier
Saunders 2008.p.328-342.
31. Kossmann T, Jacobi D, Trentz O. The use of a retractor system (SynFrame)
for open, minimal invasive reconstruction of the anterior column of the
thoracic and lumbar spine. Eur Spine J 2001;10:396402.
32. Been HD, Bouma GJ. Comparison of two types of surgery for thoracolumbar burst fractures: combined anterior and posterior stabilisation vs.
posterior instrumentation only. Acta Neurochir (Wien) 1999;141:349357.

Anda mungkin juga menyukai