Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

COMPLETE SPINAL TRANSACTION

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Sebagai Syarat Dalam


Menempuh Program Pendidikan Kepaniteraan Klinik
Stase Ilmu Kesehatan Saraf di RS Roemani Muhammadiyah Semarang

Dokter Pembimbing:
dr. Murwani Yekti, Sp. S

Disusun Oleh:
Arief Bagas S
H3A022005

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RS ROEMANI SEMARANG
2023

1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
COMPLETE SPINA TRANSACTION

Diajukan untuk memenuhi tugas sebagai syarat dalam menempuh Program


Pendidikan Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Saraf
di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah

Disusun oleh:
Arief Bagas Saputra (H3A022005)

Telah disetujui oleh pembimbing:


Tanggal : Maret 2023

Pembimbing Klinik:
Ilmu Penyakit Saraf

dr. Murwani Yekti, Sp. S

2
BAB I
PENDAHULUAN

Complete Spinal Transection (Transeksi Medula Spinalis) merupakan


kerusakan total medula spinalis akibat lesi transversal yang menyebabkan
hilangnya seluruh fungsi neurologis medula spinalis di bawah area yang terkena.
Fungsi neurologis yang dimaksud adalah sensoris, motoris, dan otonom.
Manifestasi yang paling terasa oleh penderita adalah kelumpuhan (disfungsi
motorik).
Medula spinalis merupakan organ yang berisi kumpulan saraf yang
menjadi penghubung susunan saraf pusat dan berjalan sepanjang kanalis spinalis
pada tulang vertebra. Trauma medula spinalis meliputi kerusakan medula spinalis
disebabkan oleh trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan
gangguan fungsi neurologis, seperti fungsi motorik, sensorik, otonom, dan refleks,
baik komplet ataupun inkomplet.
Prognosis keseluruhan tergantung pada tingkat cedera tulang belakang
dengan menggunakan penilaian ASIA dan respons terhadap pengobatan. Cedera
tulang belakang dengan defisit neurologis cenderung memiliki hasil yang buruk.
Pasien dengan cedera tulang belakang komplet memiliki kesempatan kurang dari
5% untuk pemulihan. Pasien dengan cedera tulang belakang komplet berlanjut
pada 72 jam setelah cedera maka tingkat kesembuhan nol.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
Columna vertebralis terbentang dari cranium sampai ujung os
coccygis dan merupakan unsur utama kerangka aksial (ossa cranii, columna
vertebralis, costa dan sternum). Columna vertebralis terdiri dari 33 vertebra
yang teratur dalam 5 daerah, tetapi hanya 24 dari jumlah tersebut (7 vertebra
cervicalis, 12 vertebra thoracica, dan 5 vertebra lumbalis) dapat digerakkan
pada orang dewasa. Kelima vertebra sacralis pada orang dewasa melebur
membentuk os sacrum dan keempat vertebra coccygis melebur membentuk
os coccygis.

Gambar 2.1. Anatomi Medula Spinalis


Fungsi dari columna vertebralis sebagai pendukung badan yang kokoh
dan sekaligus bekerja sebagai penyangga dengan perantaraan tulang rawan
cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan
memungkinkan membongkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk
menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti

4
waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum
belakang terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul
berat badan, menyediakan permukaan untuk otot dan membentuk tapal batas
pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada
iga.
Setiap tulang belakang akan mengalirkan sejumlah serabut saraf yang
berfungsi secara neurologis yang mengatur dalam setiap fungsi sensorik dan
motorik sesuai dengan dermatom.2

Gambar 2.2 Dermatom pada manusia


Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk
silindris memanjang dan menempati ⅔ atas canalis vertebra yaitu dari batas
superior atlas (C1) sampai batas atas vertebra lumbalis kedua (L2),
kemudian medulla spinalis akan berlanjut menjadi medulla oblongata.
Medulla spinalis dibungkus oleh duramater, arachnoid, dan piamater.
Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan komunikasi antara otak
dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks.1,2

5
Gambar 2.3 Segmen-Segmen Medulla Spinalis
Dari berbagai traktus di medulla spinalis, ada 3 traktus yang telah
dipelajari secara klinis, yaitu traktus kortikospinalis, traktus
sphinotalamikus, dan kolumna posterior. Setiap pasang traktus dapat cedera
pada satu sisi atau kedua sisinya.2
Dalam mempelajari jaras-jaras sepanjang batang otak dan medula
spinalis terungkaplah hukum-hukum pemetaan :
1. Jaras-jaras asendens dan desendens yang panjang selalu memilih jalan
dibagian-bagian tepi batang otak dan medula spinalis.
2. Lintasan motorik (ekspensif) menduduki bagian ventral dan lintasan
sensorik (reseptif) menduduki bagian dorsal batang otak.
Sesuai dengan adanya penjatahan tempat bagi lintasan asendens dan
desendens, maka batang otak telah dibagi dalam bagian ventral dan dorsal.
Bagian dorsal dijuluki tegmentum dan bagian ventralnya yang dinamakan
pes atau basis.
Tractus-tractus spinalis dibagi menjadi tractus ascendens, descendens,
dan intersegmentalis serta posisi relatifnya di dalam substantia alba. Saat
memasuki medulla spinalis, serabut-serabut saraf sensorik dengan berbagai
ukuran dan fungsi di pilih dan menjadi berkas-berkas atau tractus-tractus
saraf di substansia alba.4

6
Gambar 2.3 Ringkasan Tractus Medulla Spinalis5
Berkas-berkas serabut yang berjalan ke atas ini disebut tractus
ascendens. Tractus-tractus ascendens menghantarkan informasi aferen, baik
yang dapat maupun tidak dapat disadari. Informasi ini dapat dibagi menjadi
dua kelompok utama, yaitu informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar
tubuh, seperti nyeri, suhu, dan raba; serta informasi propioseptif, yang
berasal dari dalam tubuh, misalnya dari otot dan sendi.4

Gambar 2.4 Suplai arteri medula spinalis


Arteri spinalis anterior dibentuk oleh pertemuan cabang arteri yang
melewatinya secara caudal dari setiap arteri vertebralis dan bersatu di garis
tengah dekat foramen magnum. Arteri ini akan turun sepanjang sumsum
tulang belakang dan terletak di atau dekat fisura median anterior. Di bawah
segmen servikal keempat atau kelima terdapat arteri spinalis anterior yang
mengaliri atau dialiri oleh ateri medula anterior yang tidak berpasangan
yang muncul dari arteri medula spinalis lateral.6
Pembuluh darah ini memasuki kanalis vertebralis melalui foramen
intervertebralis, dan di daerah servikal merupakan percabangan dari arteri

7
servikalis asendens, di thorakal berasal dari interkostalis; dan di abdomen
berasal dari lumbal, iliolumbar, dan arteri sakralis lateral. Arteri-arteri ini
menembus selubung dura dari radiks medula spinalis dan dibagi menjadi
dua cabang yaitu anterior dan posterior.6
Arteri spinalis posterior merupakan saluran plexiform yang berbeda
yang terletak dekat dengan sulkus posterolateral dan pintu masuk rootlets
dari nervus spinalis posterior. Arteri ini juga berasal dari arteri
vertebralis,dan bergabung dengan arteri medula posterior. Arteri sentralis,
cabang dariarteri spinalis anterior, mensuplai bagian anterior dan bagian
tengah medula spinalis. Cabang anterior dan posterior arteri medula
spinalismembentuk anastomosis perifer, yaitu arteri vasocorona, yang
mensuplai bagian tepi medula spinalis, termasuk funiculi lateral dan
ventral.6
2.2. Definisi
Complete Spinal Transection dapat didefinisikan sebagai hilangnya
kemampuan untuk mengirim impuls sensorik dan motorik secara lengkap
dan permanen atau temporer melalui tingkatan sumsum tulang belakang
yang terpengaruh dikarenakan adanya kerusakan secara traumatis maupun
non-traumatis.
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik
langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis
sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan
menetap atau kematian.
2.3. Epidemiologi
Insiden cedera medulla spinalis menunjukkan terdapat 40-80 kasus
baru per 1 juta populasi setiap tahunnya. Ini berarti bahwa setiap tahun
sekitar 250.000-500.000 orang mengalami cedera medula spinalis. Penelitian
terakhir menunjukkan 90% kejadian cedera medula spinalis disebabkan oleh
adalah trauma seperti kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), olahraga
(10%), atau kecelakaan kerja. Angka mortalitas didapatkan sekitar 48%
dalam 24 jam pertama. Sekitar 80% meninggal di tempat kejadian oleh
karena vertebra servikalis memiliki risiko trauma paling besar, dengan level
tersering C5, diikuti C4, C6, kemudian T12, L1, dan T10. Kerusakan medula

8
spinalis tersering oleh penyebab traumatik, disebabkan dislokasi, rotasi,
axial loading, dan hiperfleksi atau hiperekstensi medula spinalis atau kauda
ekuina.
2.4. Etiologi
Tabel 2.1 Trauma medulla spinalis traumatik dan non traumatik1,6

Trauma medulla spinalis traumatik Trauma medulla spinalis non traumatik


Kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh Penyakit, infeksi atau tumor, kerusakan
atau kekerasan yang terjadi pada medulla spinalis yang
American Board of Physical Medicine bukan disebabkan oleh gaya fisik
and Rehabilitation Examination eksternal, penyakit motor neuron,
Outline for Spinal Cord Injury myelopati spondilotik, penyakitneoplastik,
Medicine : fraktur, dislokasi, dan penyakit vaskuler, kondisi toksik dan
kontusio dari kolumna vertebrae metabolik dan gangguan kongenital dan
perkembangan
Complete Spinal Transection dapat disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor, kekerasan (tembakan peluru /luka tusuk), olahraga,
kecelakaan saat menyelam, trauma akibat kecelakaan kerja, dan trauma
persalinan. Kerusakan akibat non-traumatis dapat disebabkan karena adanya
proses kronis seperti tumor, infeksi, kelainan degenerative pada diskus yang
menyebabkan adanya kerusakan.

2.5. Klasifikasi
Trauma medulla spinalis dapat diklasifikasikan dengan menggunakan
standar American Spinal Injury Association (ASIA) Impairment, atau AIS
(awalnya disebut dengan skala Frankel). ASIA digunakan untuk
mendefinisikan dan memaparkan tingkat keparahan dan luas trauma medulla
spinalis dan membantu menentukan kebutuhan rehabilitasi dan kesembuhan.
Grade pada skala gangguan ASIA didasarkan pada seberapa banyaknya
sensasi yang dirasakan pada titik- titik tertentu pada tubuh, sama baiknya
dengan pemeriksaan fungsi motorik.
Tabel 2.2 Kemampuan Fungsional Medulla Spinalis Berdasarkan
Skala Frankel/ASIA Impairment Scale7

Grade Tipe Gangguan medulla spinalis

A Komplit tidak ada fungsi sensorik atau motorik di bawah level


lesi termasuk di segmen sacral
B Inkomplit fungsi motorik masih bagus tetapi fungsi sensorik rusak di
sensorik bawah zona trauma

9
C Inkomplit fungsi motorik terganggu >50% dibawah level lesi sehingga
motorik membuat pasien tidak dapat berjalan, tapi otot-otot motorik
utama masih memiliki kekuatan <3 (fungsi motorik
dikurangi didefinisikan sebagai gerakan aktif dalam
berbagai gerakan hanya jika gravitasi dihilangkan)
D Inkomplit fungsi motorik terganggu <50% di bawah level lesi. Pasien
motorik(stadium masih dapat berdiri dan berjalan. Otot-otot motorik utama
II) memiliki kekuatan ≥3
E Normal fungsi motorik dan sensorik normal, hanya refleks yang
abnormal

Lesi pada medulla spinalis menurut ASIA terbagi atas:7


a. Paraplegi : suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segmen thorakolumbosakral.
b. Quadriplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segment cervical.
Berdasarkan sindrom medulla spinalis:
a. Complete transection
Cedera komplit adalah cedera dengan keadaan gangguan kegagalan
fungsi neurologis secara absolut dimana pasien tidak dapat merasakan
sensasi dan maupun menggerakan fungsi motorik dibawah tingkat
cedera pada tulang belakang. Secara klinis menyebabkan kehilangan
kemampuan motorik berupa tetraplegia pada transeksi cervical dan
paraplegia jika terjadi pada level thorakal. Terjadi flaksid otot,
hilangnya refleks dan fungsi sensoris dibawah level transeksi.
Kehilangan tonus vasomotor area tubuh dibawah lesi menyebabkan
tekanan darah rendah dan tidak stabil. Kehilangan kemampuan
perspirasi menyebabkan kulit kering dan pucat, juga terjadi gangguan
pernapasan.

Gambar 2.5 Complete transaction


10
b. Incomplete transaction: Central cord syndrome
Cedera inkomplit adalah cedera dengan penurunan fungsi
neurologis baik sensorik dan motorik dibawah bagian dari cedera tulang
belakang sehingga tidak dapat melakukan fungsi maksimal, biasanya
masih dapat berfungsi utuh hingga sedikit namun tidak sampai gagal
fungsi.

Gambar 2.6 Incomplete Transaction – Central Cord Syndrome


Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang
lebih prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah.
Pemulihan fungsi ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara
pada ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai
disabilitas neurologic permanen. Hal ini terutama disebabkan karena
pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan
paling hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN.
c. Incomplete transection: Anterior Cord Syndrome

Gambar 2.7 Aanterior Cord Syndrome


Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik

11
disosiasi dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna
posterior (posisi, vibrasi, dan tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya
anterior cord syndrome disebabkan infark pada daerah medulla spinalis
yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior. Prognosis sindrom ini
paling buruk dibandingkan cedera inklomplit lainnya. Kehilangan
sensasi nyeri dan suhu pada level dibawah lesi tetapi sensoris terhadap
raba, tekanan, posisi, dan getaran.
d. Brown Sequard Syndrome

Sindrome ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya


akibat luka tembus. Pada kasus murni, sindrom ini terdiri dari
kehilangan sistem motorik ipsilateral (traktus kortikospinalis) dan
hilangnya sensasi tekanan, getaran, dan posisi (kolumna posterior),
disertai dengan hilangnya sensasi suhu serta nyeri kontralateral mulai
satu atau dua level di bawah level trauma (traktus spinothalamikus).
Walaupun sindrom ini disebabkan trauma tembus langsung ke medulla
spinalis, biasanya masih mungkin untuk terjadi perbaikan.

Gambar 2.8 Brown Sequard Syndrome


Level spesifik pada transeksi medulla spinalis:7
1. CST Cervical
CST cervical, di atas Ver. C.III fatal karena dapat menghilangkan
fungsi N. frenikus dan N. interkostales secara total sehingga dapat
menghentikan pernapasan. Pasien hanya akan dapat bertahan apabila
diberikan ventilasi buatan dalam beberapa menit setelah trauma
penyebabnya. Keadaan ini sangat jarang dijumpai. Gejala lain: nyeri
hebat di occiput dan leher, bisa diikuti oleh gejala N. V. Transeksi pada
tingkat cervical di bawahnya (C5-C6) dapat menyebabkan quadriparesis

12
dengan keterlibatan otot-otot intercostal, pernapasan dapat sangat
terganggu. Muscle wasting: deltoid, biceps, brakhioradialis,
infraspinatus, supraspinatus, rhomboideus.7
Autonomic dysreflexia  Ketidakmampuan untuk meregulasi
tekanan darah, pengeluaran keringat, dan suhu tubuh.

2. CST Thoraks
CST Thoraks bagian atas tidak mengganggu ekstremitas atas tapi
mengganggu pernapasan dan menimbulkan ileus paralitik melalui
keterlibatan N. splankhnikus. Cidera di atas T6 menimbulkan
autonomic dysreflexia (kehilangan regulasi kranial) hipertensi, retensi
urin/alvi, berkeringat, nyeri kepala. CST thoraks bagian bawah tidak
mengganggu otot abdomen dan pernapasan.
3. CST Lumbal
CST Lumbal sering menyebabkan gangguan yang berat karena
diikuti kerusakan arteri utama yang menyuplai medulla spinalis bagian
bawah, arteri radikularis mayor. Hasilnya adalah infark seluruh medulla
spinalis lumbalis dan sakralis. Efek cedera medula spinalis lumbal
menyebabkan disfungsi kandung kemih, usus, dan seksual.
2.6. Patofisiologi
Mekanisme dari bagaimana terjadinya SCI dapat terjadi bedasarkan
onsetnya menjadi 2 yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer
merupakan cedera awal yang bersifat akut dan tiba-tiba, disebabkan oleh
faktor mekanis seperti kasus traumatis yang memiliki gaya tekan dan
transformasi energi tinggi, sehingga akan menyebabkan kegagalan struktur
integritas biomekanis dari tulang belakang.
Cedera sekunder merupakan cedera lanjutan yang disebabkan oleh
eksaserbasi atau lanjutan dari cedera primer. Hasil dari cedera primer seperti
inflamasi dan edema lokal atau sistemik, hipotensi, hipoksemia, serta
perdarahan, memicu dari patofisiologi cascade yang akan menghasilkan
gangguan perfusi dan pengiriman oksigen serta aliran darah kedalam bagian
medula spinalis yang sedang mengalami kerusakan

Cedera primer dapat terjadi secara direk maupun indirek. Cedera direk
atau langsung disebabkan oleh karena gangguan kompresi medula spinalis

13
transien dan persisten, distraksi, laserasi akibat akselerasi-deselerasi dan
transeksi, yang akan mengakibatkan gangguan integritas struktur pendukung
seperti ligamen dan tulang. Sedangkan cedera indirek atau tidak langsung
dapat terjadi karena adanya transmisi kinetik lewat jaringan saraf, tanpa
adanya kerusakan struktur seperti fraktur. Contohnya ialah cedera
hiperekstensi pada cervical central cord syndrome yang terjadi pada pasien
lansia saat terjatuh.
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:2
1. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan
hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang
dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior
dan trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfl eksi.
Toleransi medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan
bertambahnya usia.

3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu


aliran darah kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior
akibat kompresi tulang.
Respon awal pada tubuh setelah terjadi trauma adalah stimulasi saraf
simpatis hebat dan dilanjutkan dengan aktivitas reflek parasimpatis dapat
bertahan bertahan 3 – 4 menit dengan mediasi reseptor alfa-adrenergik, hal
ini dapat menyebabkan efek hemodinamik seperti severe hypertension,
reflek bradikardi atau takiaritmia.
Setelah respon awal tersebut muncul, defisit fungsi neurologi yang
disebut spinal shock yang ditandai flaccid paralysis bersamaan dengan
menghilangnya seluruh reflek di bawah tempat trauma termasuk juga reflek
bulbocavernosus. Paralisis flaksid gastrointestinal tract dan kandung kemih.
Hilangnya inervasi pada persarafan otonom menyebabkan vasodilatasi pada
area yang terkena. Lesi yang terjadi di atas T5 dapat mengakibatkan
terjadinya bradikardi dan hipotensi akibat terputusnya inervasi simpatis pada
jantung. Fase spinal shock ini berlangsung beberapa minggu dan bisa sampai
berbulan-bulan.
Selain menyebabkan shock spinal, trauma medulla spinalis juga dapat

14
menyebabkan shock neurogenic yang ditandai dengan kehilangan fungsi dan
stimulasi saraf simpatis, dimana saraf simpatis berfungsi menjaga fungsi
tubuh, menguatkan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah, dan
membuka saluran nafas sehingga menyebabkan tekanan darah akan turun
drastis dan dapat mempengaruhi otak, jaringan, dan medula spinalis,
menyebabkan perfusi jaringan tidak adekuat. Adanya syok neurogenik
ditandai dengan bradikardi, hipotensi, dan hipotermia dengan penurunan
resistensi kapiler dan penurunan cardiac output.
Setelah fase shock terjadi, dapat diikuti fase spastik pada otot dan
kembalinya reflek spinal (hyperreflexia phase). Awalnya gerakan spastik
pada pasien diinterpretasikan sebagai gerakan sadar dan menyebabkan
kesalahan diagnosis. Aktifitas hiperefleks ini dapat ditandai dengan adanya
peningkatan ekstrim tekanan darah arteri selama adanya manipulasi pada
vesica urinaria dan saluran gastrointestinya yang diakibatkan oleh hilangnya
inhibisi dari aktifitas reflek di daerah di bawah level lesi.
2.7. Manifestasi Klinis
Transeksi Medula Spinalis menyebabkan terputusnya jaras sensoris
dari bawah level lesi dan jaras desendens dari atas lesi. Meskipun kelainan
sensoris mencakup seluruh modalitas terjadi di bawah level lesi, letak lesi
sebenarnya dapat diketahui dari adanya nyeri radikuler atau parestesia yang
segmental.
Apabila medula spinalis tiba-tiba mengalami cedera, dapat muncul
kelainan seperti :
a. Pergerakan volunter di bawah lesi hilang secara mendadak dan bersifat
permanen, reflex fisiologis dapat menghilang atau dapat meningkat.
b. Sensasi sensorik terhadap refleks fisiologis bisa menghilang atau
meningkat.
c. Terjadi kelainan fungsi otonom. Cedera medula spinalis dapat
memberikan tanda:
 Gangguan sensasi (anastesia, hiperestesia, parastesia).
 Gangguan motorik (kelemahan otot-otot dan reflek tendon miotom).
 Gangguan fungsi vegetatif dan otonom (flaccid dan sapstic blader
dan bowel).

15
 Gangguan fungsi kehidupan sehari-hari (makan, toileting,
berpakaian, kebersihan diri).
 Gangguan mobilisasi.
 Penurunan tanda vital.
 Masalah pada kulit (ulkus dekubitus).
 Nyeri akut yang menjalar dari lesi menuju ke bawah.
 Paraplegia
 Disfungsi autonom berupa penurunan keringat dan tonus vasomotor .
 Infertilitas
Disfungsi sfingter rektal dan uretral yang menyebabkan inkontinensia,
disfungsi seksual dan tanda-tanda disfungsi otonom(anhidrosis, perubahan
tropis kulit, kegagalan mengontrol suhu tubuh, danketidakstabilan
vasomotor) dibawah level lesi juga muncul.8

Gambar 2.5 Letak lesi dan kelumpuhan yang terjadi


Medulla spinalis yang mengalami trauma akan mengalami gangguan
fungsi yang menyebabkan hilangnya kontrol otot dan juga hilangnya sensasi
pada saraf-saraf yang berada di daerah yang mengalami cedera dan di
bawahnya. Hilangnya kontrol otot atau sensasi dapat bersifat sementara atau
menetap, sebagian atau menyeluruh, tergantung dari beratnya cedera yang
terjadi. Ketika otot mengalami kelumpuhan, maka otot tersebut seringkali
kehilangan tonus ototnya sehingga menjadi lemas (flaccid). Beberapa

16
minggu kemudian, kelumpuhan dapat berkembang menjadi spasme otot
yang involunter (tidak disadari) dan lama (paralysis spastik).7,8,9

Cedera medulla spinalis juga mempengaruhi fungsi organ vital, yaitu


diantaranya disfungsi respirasi terbesar yaitu cedera setinggi C1-C4. Cedera
pada C1-C2 akan mempengaruhi ventilasi spontan tidak efektif. Lesi setinggi
C5-8 akan mempengaruhi m. intercostalis, parasternalis, scalenus, otot-otot
abdominal, otot-otot abdominal. Selain itu mempengaruhi intaknya
diafragma, trafezius, dan sebagian m. Pectoralis mayor. Lesi setinggi thoracal
mempengaruhi otot-otot intercostalis dan abdominal. Dampak umumnya,
yaitu efektivitas kinerja otot pernafasan menurun.7,8,9

Batas Fungsi yang Hilang


Cedera
C1 –C 4 Hilangnya fungsi motorik dan sensorik leher ke bawah. Paralisis pernafasan,
tidak terkontrolnya bowel dan blader.
C5 Hilangnya fungsi motorik dari atas bahu ke bawah. Hilangnya sensasidi bawah
klavikula. Tidak terkontrolnya bowel dan blader.
C6 Hilangnya fungsi motorik di bawah batas bahu dan lengan. Sensasilebih banyak
pada lengan dan jempol.
C7 Fungsi motorik yang kurang sempurna pada bahu, siku, pergelangan dan
bagian dari lengan. Sensasi lebih banyak pada lengan dan tangan
dibandingkan pada C6. Yang lain mengalami fungsi yang sama denganC5.

C8 Mampu mengontrol lengan tetapi beberapa hari lengan mengalami


kelemahan.
Hilangnya sensai di bawah dada.
T1-T6 Hilangnya kemampuan motorik dan sensorik di bawah dada tengah.
Kemungkinan beberapa otot interkosta mengalami kerusakan.
Hilangnya kontrol bowel dan blader.
T6 – Hilangnya kemampuan motorik dan sensasi di bawah pinggang.
T12 Fungsi pernafasan sempurna tetapi hilangnya fngsi bowel dan blader.
L1 – L3 Hilannya fungsi motorik dari plevis dan tungkai. Hilangnya sensasi dari
abdomen bagian bawah dan tungkai. Tidak terkontrolnya boweldan blader.
L4 – S1 Hilangnya bebrapa fungsi motorik pada pangkal paha, lutut dan kaki.
Tidak terkontrolnya bowel dan blader.
S2 – S4 Hilangnya fungsi motorik ankle plantar fleksor. Hilangnya sensai padatungkai
dan perineum. Pada keadaan awal terjadi gangguan bowel danblader.

17
2.8. Diagnosa
1. Anamnesa
a. Cara kejadian: trauma, riwayat infeksi
b. Usia muda: penyakit bawaan
c. Usia tua: keganasan
d. Durasi: akut (GBS, transverse myelitis, kompresi), kronis (MND,
polyneuropathy, muscle dystrophy)
e. Gangguan sfingter  retensi urin/alvi
f. Nyeri radikuler
g. Keluhan unilateral/bilateral
h. Nyeri kepala
i. Nyeri punggung
2. Pemeriksaan fisik

 Inspeksi: deformitas pada tulang belakang (akibat trauma, proses


destruktif neoplasma atau infeksi)
 Palpasi: nyeri radikuler, krepitasi, tenderness di tulang belakang
(akibat trauma, proses destruktif neoplasma atau infeksi)
 Pemeriksaan khusus sensoris: menggunakan pinprick dan sentuhan
ringan pada tubuh (Gambar 6)
 Pemeriksaan khusus motoris: pasien diminta menggerakan
kelompok otot sesuai dengan miotom masing-masing radiks
medulla spinalis.

Gambar 2.8. Titik-titik Lokasi Pemeriksaan Pinprick dan Sentuhan Ringan

18
Gambar 2.9. Bagan ASIA untuk Mendeteksi Kelumpuhan Neurologis

3. Pemeriksaan penunjang
a. Plain foto: Cervical, thoraks, abdomen/lumbal (AP/Lat) untuk
melihat adanya fraktur vertebrae. Dapat ditambah posisi Odontoid
(open mouth), Swimmer’s view (untuk melihat C7 dan T1).
Tanda degenerasi spina:
 Ruang intervertebral menyempit
 Foramina intervertebral menyempit
 Bentukan osteofit
 Pelebaran foramina
b. Laboratorium

19
 Penilaian osteocalsin, merupakan protein tulang yang disekresi oleh
osteoblast.
 B-cross lap digunakan sebagai parameter proses rosorpsi
(penyerapan tulang) untuk mengetahui fungsi dari osteoklas.
 Pemeriksaan elektrolit.
 Pemeriksaan Darah lengkap
 Kimia darah: Gula darah 2 jam post prandial dan gula darah puasa
c. Pungsi Lumbal  analisis CSF
d. MRI Vertebral: merupakan definitive imaging technique
e. Neurofisiologi: EMG (untuk memeriksa continuitas myelin dan akson)
f. Tes perspirasi  menilai fungsi saraf otonom
2.9. Tatalaksana
Prinsip terapi Trauma spinal traumatika ditujukan untuk:
a. Meminimalkan kemungkinan terjadinya defisit neurologis
b. Mengembalikan integritas kolum spinalis semaksimal mungkin
c. Mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi
d. Optimalisasi rehabilitasi fungsional
1. Evaluasi
Fase evaluasi meliputi observasi dan penatalaksanaan dari:
a. A: Airway maintenance untuk patensi jalan napas
b. B: Breathing dan ventilasi
c. C: Circulation dengan kontrol perdarahan yang terjadi
d. D: Disabilitas dan pemeriksaan terhadap status neurologis
e. E: Exposure / environmental control
Klasifikasi cedera tulang belakang komplet maupun inkomplet dan
serta level cedera dapat ditentukan dengan pemeriksaan motorik dan
sensorik. Pemeriksaan motorik dilakukan secara cepat dengan
melakukan beberapa gerakan. Fungsi otonom dinilai dengan menguji
ada tidaknya retensi urin, atau tonus sfingter anal. Suhu kulit yang
hangat dan kemerahan menunjukkan hilangnya tonus simpatis di
bawah tingkat cedera.12
2. Terapi kerusakan primer
Cidera pada medula spinalis paling sering menimbulkan shock

20
neurogenik. Pada awalnya, akan terjadi peningkatan tekanan darah,
detak jantung serta nadi, dan kadar katekolamin yang tinggi, selanjutnya
diikuti kejadian hipotensi serta bradikardia. Apabila pasien dalam
kondisi hipotensi harus diobati terlebih dahulu untuk mencegah cedera
sekunder. Pengobatan lini pertama pada kondisi hipotensi adalah dengan
pemberian resusitasi cairan intravena. Cairan intravena berupa kristaloid
(0,9% natrium klorida atau ringer laktat) atau Cairan koloid (albumin).
Sedangkan untuk pengobatan lini kedua pada hipotensi dapat
diberikan vasopressor dan inotrop, seperti Fenilefrin, Norepinefrin, atau
Epinefrin. Menjaga tekanan arteri rerata MAP pada 85-90 mmHg selama
7 hari pertama. Selain itu, perlu dilakukan pengobatan terhadap
bardikardia yaitu dengan atropine, glikopirolat, vasoaktif dengan
kronotropik, vasokonstriktor, dan sifat inotropic antara lain
Isoproterenol, Methylxanthines (teofilin, aminofilin), atau Propantelin
3. Terapi kerusakan sekunder
Terapi ini ditujukan untuk mencegah terjadinya perburukan pada pasien
dengan cedera medulla spinalis.
1. Pemberian metilprednisolon
Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-2) dan
NASCIS-3 pasien cedera medula spinalis dapat diberikan
metilprednisolon. Metil prednisolone diberikan jika pasien datang
dalam 3 jam setelah cidera dan paling lama 8 jam setelah cidera.
Apabila pasien datang tidak melebihi dari 3 jam setelah cidera terjadi
dapat diberikan metilprednisolone dapat diberikan dengan dosis 30
mg/kgBB secara intravena dalam 8 jam, dosis 5,4 mg/kg BB tiap jam
hingga 24 jam. Apabila pasien datang tidak melebihi 8 jam setelah
cidera metil prednisolone dilanjutkan hingga 48 jam. Metil
prednisolon berfungsi mengurangi kerusakan membran sel yang,
mengurangi inflamasi dan menekan aktifitas destruksi oleh sel-sel
imun. Penelitian menunjukkan akan terjadi pemulihan motorik dan
sensorik dalam 6 minggu, 6 bulan dan 1 tahun pada pasien yang
menerima metilprednisolon.
2. Pemberian Diazepam

21
Diazepam diberikan bila terjadi kekakuan pada otot. Diazepam
diberikan dengan dosis 3 x 10 mg/hari.
3. Analgetika golongan NSAIDs
Pemberian analgetika golongan NSAIDs (anti inflamasi) bertujuan
untuk mengobati nyeri pada cedera medula spinalis.
4. Pemberian antidepresen trisiklik
Antidepresen trisiklik digunakan untuk mengobati nyeri kronik,
mengurangi insomnia, dan sakit kepala.
5. Pemberian Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH) dan Analog TRH
Thyrotropin-releasing hormone (TRH) Pemberian TRH berfungsi
untuk melawan faktor-faktor pengganggu, seperti opioid endogen,
platelet activating factor, peptidoleukotrien, dan asam amino
eksitatorik, sehingga akan menguatkan aliran darah yang menuju
medulla spinalis, memperbaiki keseimbangan elektrolit dan
mencegah terjadinya degradasi lipid. Pemberian TRH secara
intravena dengan dosis awal 0,2 mg/kgBB yang dilanjutkan dengan
0,2 mg/ kgBB/jam hingga 6 jam, dikatakan memberikan hasil baik,
terutama perbaikan motorik dan sensorik sampai 4 bulan setelah
injury.
Tindakan operasi12
Tatalaksana berupa tindakan operatif paling baik dilakukan dalam jangka waktu
24 jam sampai 3 minggu setelah terjadinya trauma. Indiksi tindakan operatif
adalah:

1. Terdapat fraktur dan pecahan tulang yang menekan medula spinalis


2. Gambaran defisit neurologis yang progresif memburuk.
3. Fraktur atau dislokasi yang tidak stabil.
4. Terjadinya herniasi diskus intervertebralis yang menekan medula
spinalis.
2.10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pasca trauma medula spinalis antara
lain, yaitu 1. Ulkus decubitus 2. Osteoporosis dan fraktur 3. Pneumonia,
atelectasis, dan aspirasi 4. Deep vein thrombosis (DVT) 5. Cardiovasculer
disease 6. Neuropatic pain 7. Kontrol bladder dan bowel terganggu 8.
Respon seksual terganggu 9. Menstruasi terhambat.7,14
22
Pencegahan komplikasi sangat berperan penting. Tindakan rehabilitasi
medik merupakan kunci utama dalam penanganan pasien Trauma medula
spinalis. fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training harus dilakukan
sedini mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan
ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan
memperkuat fungsi otot-otot. Terapi okupasional terutama ditujukan untuk
memperkuat dan memperbaiki fungsi ekstremitas atas, serta
mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari. Pembentukan
kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin.15

2.11. Prognosis
Prognosis lebih baik pada trauma medula spinalis yang tidak komplit,
90% penderita trauma medula spinalis dapat membaik dan hidupmandiri.
Kurang dari 5% pasien dengan trauma medula spinalis yang komplit dapat
sembuh. Jika paralisis komplit bertahan sampai 72 jam setelah trauma,
kemungkinan pulih adalah 0%. Perbaikan fungsi motorik, sensorik dan
otonom dapat kembali dalam 1 minggu samapi 6 bulan pascatrauma medula
spinalis. Kemungkinan pemulihan spontan menurun setelah 6 bulan.16

23
BAB III
KESIMPULAN
Complete Spinal Transection dapat didefinisikan sebagai hilangnya
kemampuan untuk mengirim impuls sensorik dan motorik secara lengkap dan
permanen atau temporer melalui tingkatan sumsum tulang belakang yang
terpengaruh dikarenakan adanya kerusakan secara traumatis maupun non-
traumatis. Penyebab traumatis terjadi ketika adanya dampak fisik eksternal seperti
kecelakaan lalu lintas, terjatuh, cedera saat berolahraga atau kekerasan yang
menyebabkan terjadinya kerusakan pada sumsung tulang belakang. Kerusakan
akibat non-traumatis dapat disebabkan karena adanya proses kronis seperti tumor,
infeksi, kelainan degenerative pada diskus yang menyebabkan adanya kerusakan.
Diagnosis ditegakkan dari anamnesa singkat mengenai cara kejadian
(trauma), progresifitas keluhan, dan riwayat penyakit dahulu, dilanjutkan
pemeriksaan fisik yang berfokus untuk mencari tinggi level cedera neurologis
dengan pemeriksaan sensoris (pinprick dan raba halus) dan motoris sesuai
miotom, dan pemeriksaan radiologis. Namun, untuk lebih memudahkan pemeriksa
untuk menentukan level trauma medula spinalis yang dialami oleh seseorang,
maka digunakan ASIA (American Spinal Injury Association) Score.
Tatalaksana medikamentosa untuk trauma medula spinalis didasarkan pada
rekomendasi National Acute Spinal Cord Injury Studies III (NASCIS III)
berdasarkan NASCIS II dan NASCIS III, pasien dengan trauma medula spinalis
akut diberikan terapi metilprednisolon dalam 8 jam pertama setelah terjadinya
trauma. Prognosis pada trauma medula spinalis bergantung pada cepat atau
tidaknya dilakukan tatalaksana awal.

24
DAFTAR PUSTAKA
1. Taylor, M. P., Wrenn, P. and O’Donnell, A. D. (2017) ‘Presentation of
neurogenic shock within the emergency department’, Emergency Medicine
Journal, 34(3), pp. 157–162. doi: 10.1136/emermed-2016-205780.
2. Gondowardaja, Yoanes, dan Eko Thomas. Trauma medula Spinalis:
Patobiologi dan Tata Laksana Medikamentosa.Bali: Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. 2014.
3. Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord.
In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. 2nd Edition. Elsevier,
Saunders. 2012.
4. Nulle, A. et al. (2017) ‘A profile of traumatic spinal cord injury and medical
complications in Latvia’, Spinal Cord Series and Cases, 3(1). doi: 10.1038/s41394-
017-0002-2
5. George, Wita, Budi, dan Yuda. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit
Saraf.Jakarta: EGC. 2009.
6. DeJong’s, Section E.The Neurologic Examination. In:The Motor System, The
Spinal Cord Section. 7th Edition.William W.Champbell,MD. Bathesda,
Maryland. 2013.
7. American College of Surgeon. 2012. Spine and Spinal Cord Trauma dalam:
Advanced Trauma Life Support (ATLS). Ed 9th Chicago, USA.
8. National Institute of Neurological Disorder ang stroke. Spinal Cord Injury,
Emerging Concepts. Juli 2001.
9. Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Dessease of the Spinal Cord. In:
Adams and Victor’s Principles of Neurology. 9 th Ed. New York: McGraw-
Hill; 2009. http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=3640625.
10. Sezer N, Akkus S, Ugurlu FG. Chronic Complication of Spinal Cord Injury.
World Journal of Orthopedics. 2015
11. Robbert BD, Joseph J, John CM, Scot LP. Trauma of the Nervous System,
Spinal Cord Trauma. In: Bradley’s Neurology in Clinical Practice.7th
Edition.Elsevier, Phila delphia. 2012.
12. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape 2013.
http://emedicine.medscape.com/article/79382-overview#showall
13. Sadowsky C, McDonald JW. Spinal Cord Injury. The Lancet. 2002

25
14. Soopramanien A, Grundy D. 2002. Spinal Cord Injury in the Developing
World dalam : Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. Ed 4th. BMJ
Publishing Group. London.

15. Yeon HB, Sethi RK, and Harris MB, Evaluation and Early Management of
Spinal Injury ina polytrauma patient. In Atlas of Spine Trauma Adult and
Pediatric. WB Saunders. 2008.

26

Anda mungkin juga menyukai