Dokter Pembimbing:
dr. Murwani Yekti, Sp. S
Disusun Oleh:
Arief Bagas S
H3A022005
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RS ROEMANI SEMARANG
2023
1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
COMPLETE SPINA TRANSACTION
Disusun oleh:
Arief Bagas Saputra (H3A022005)
Pembimbing Klinik:
Ilmu Penyakit Saraf
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
Columna vertebralis terbentang dari cranium sampai ujung os
coccygis dan merupakan unsur utama kerangka aksial (ossa cranii, columna
vertebralis, costa dan sternum). Columna vertebralis terdiri dari 33 vertebra
yang teratur dalam 5 daerah, tetapi hanya 24 dari jumlah tersebut (7 vertebra
cervicalis, 12 vertebra thoracica, dan 5 vertebra lumbalis) dapat digerakkan
pada orang dewasa. Kelima vertebra sacralis pada orang dewasa melebur
membentuk os sacrum dan keempat vertebra coccygis melebur membentuk
os coccygis.
4
waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum
belakang terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul
berat badan, menyediakan permukaan untuk otot dan membentuk tapal batas
pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada
iga.
Setiap tulang belakang akan mengalirkan sejumlah serabut saraf yang
berfungsi secara neurologis yang mengatur dalam setiap fungsi sensorik dan
motorik sesuai dengan dermatom.2
5
Gambar 2.3 Segmen-Segmen Medulla Spinalis
Dari berbagai traktus di medulla spinalis, ada 3 traktus yang telah
dipelajari secara klinis, yaitu traktus kortikospinalis, traktus
sphinotalamikus, dan kolumna posterior. Setiap pasang traktus dapat cedera
pada satu sisi atau kedua sisinya.2
Dalam mempelajari jaras-jaras sepanjang batang otak dan medula
spinalis terungkaplah hukum-hukum pemetaan :
1. Jaras-jaras asendens dan desendens yang panjang selalu memilih jalan
dibagian-bagian tepi batang otak dan medula spinalis.
2. Lintasan motorik (ekspensif) menduduki bagian ventral dan lintasan
sensorik (reseptif) menduduki bagian dorsal batang otak.
Sesuai dengan adanya penjatahan tempat bagi lintasan asendens dan
desendens, maka batang otak telah dibagi dalam bagian ventral dan dorsal.
Bagian dorsal dijuluki tegmentum dan bagian ventralnya yang dinamakan
pes atau basis.
Tractus-tractus spinalis dibagi menjadi tractus ascendens, descendens,
dan intersegmentalis serta posisi relatifnya di dalam substantia alba. Saat
memasuki medulla spinalis, serabut-serabut saraf sensorik dengan berbagai
ukuran dan fungsi di pilih dan menjadi berkas-berkas atau tractus-tractus
saraf di substansia alba.4
6
Gambar 2.3 Ringkasan Tractus Medulla Spinalis5
Berkas-berkas serabut yang berjalan ke atas ini disebut tractus
ascendens. Tractus-tractus ascendens menghantarkan informasi aferen, baik
yang dapat maupun tidak dapat disadari. Informasi ini dapat dibagi menjadi
dua kelompok utama, yaitu informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar
tubuh, seperti nyeri, suhu, dan raba; serta informasi propioseptif, yang
berasal dari dalam tubuh, misalnya dari otot dan sendi.4
7
servikalis asendens, di thorakal berasal dari interkostalis; dan di abdomen
berasal dari lumbal, iliolumbar, dan arteri sakralis lateral. Arteri-arteri ini
menembus selubung dura dari radiks medula spinalis dan dibagi menjadi
dua cabang yaitu anterior dan posterior.6
Arteri spinalis posterior merupakan saluran plexiform yang berbeda
yang terletak dekat dengan sulkus posterolateral dan pintu masuk rootlets
dari nervus spinalis posterior. Arteri ini juga berasal dari arteri
vertebralis,dan bergabung dengan arteri medula posterior. Arteri sentralis,
cabang dariarteri spinalis anterior, mensuplai bagian anterior dan bagian
tengah medula spinalis. Cabang anterior dan posterior arteri medula
spinalismembentuk anastomosis perifer, yaitu arteri vasocorona, yang
mensuplai bagian tepi medula spinalis, termasuk funiculi lateral dan
ventral.6
2.2. Definisi
Complete Spinal Transection dapat didefinisikan sebagai hilangnya
kemampuan untuk mengirim impuls sensorik dan motorik secara lengkap
dan permanen atau temporer melalui tingkatan sumsum tulang belakang
yang terpengaruh dikarenakan adanya kerusakan secara traumatis maupun
non-traumatis.
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik
langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis
sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan
menetap atau kematian.
2.3. Epidemiologi
Insiden cedera medulla spinalis menunjukkan terdapat 40-80 kasus
baru per 1 juta populasi setiap tahunnya. Ini berarti bahwa setiap tahun
sekitar 250.000-500.000 orang mengalami cedera medula spinalis. Penelitian
terakhir menunjukkan 90% kejadian cedera medula spinalis disebabkan oleh
adalah trauma seperti kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), olahraga
(10%), atau kecelakaan kerja. Angka mortalitas didapatkan sekitar 48%
dalam 24 jam pertama. Sekitar 80% meninggal di tempat kejadian oleh
karena vertebra servikalis memiliki risiko trauma paling besar, dengan level
tersering C5, diikuti C4, C6, kemudian T12, L1, dan T10. Kerusakan medula
8
spinalis tersering oleh penyebab traumatik, disebabkan dislokasi, rotasi,
axial loading, dan hiperfleksi atau hiperekstensi medula spinalis atau kauda
ekuina.
2.4. Etiologi
Tabel 2.1 Trauma medulla spinalis traumatik dan non traumatik1,6
2.5. Klasifikasi
Trauma medulla spinalis dapat diklasifikasikan dengan menggunakan
standar American Spinal Injury Association (ASIA) Impairment, atau AIS
(awalnya disebut dengan skala Frankel). ASIA digunakan untuk
mendefinisikan dan memaparkan tingkat keparahan dan luas trauma medulla
spinalis dan membantu menentukan kebutuhan rehabilitasi dan kesembuhan.
Grade pada skala gangguan ASIA didasarkan pada seberapa banyaknya
sensasi yang dirasakan pada titik- titik tertentu pada tubuh, sama baiknya
dengan pemeriksaan fungsi motorik.
Tabel 2.2 Kemampuan Fungsional Medulla Spinalis Berdasarkan
Skala Frankel/ASIA Impairment Scale7
9
C Inkomplit fungsi motorik terganggu >50% dibawah level lesi sehingga
motorik membuat pasien tidak dapat berjalan, tapi otot-otot motorik
utama masih memiliki kekuatan <3 (fungsi motorik
dikurangi didefinisikan sebagai gerakan aktif dalam
berbagai gerakan hanya jika gravitasi dihilangkan)
D Inkomplit fungsi motorik terganggu <50% di bawah level lesi. Pasien
motorik(stadium masih dapat berdiri dan berjalan. Otot-otot motorik utama
II) memiliki kekuatan ≥3
E Normal fungsi motorik dan sensorik normal, hanya refleks yang
abnormal
11
disosiasi dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna
posterior (posisi, vibrasi, dan tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya
anterior cord syndrome disebabkan infark pada daerah medulla spinalis
yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior. Prognosis sindrom ini
paling buruk dibandingkan cedera inklomplit lainnya. Kehilangan
sensasi nyeri dan suhu pada level dibawah lesi tetapi sensoris terhadap
raba, tekanan, posisi, dan getaran.
d. Brown Sequard Syndrome
12
dengan keterlibatan otot-otot intercostal, pernapasan dapat sangat
terganggu. Muscle wasting: deltoid, biceps, brakhioradialis,
infraspinatus, supraspinatus, rhomboideus.7
Autonomic dysreflexia Ketidakmampuan untuk meregulasi
tekanan darah, pengeluaran keringat, dan suhu tubuh.
2. CST Thoraks
CST Thoraks bagian atas tidak mengganggu ekstremitas atas tapi
mengganggu pernapasan dan menimbulkan ileus paralitik melalui
keterlibatan N. splankhnikus. Cidera di atas T6 menimbulkan
autonomic dysreflexia (kehilangan regulasi kranial) hipertensi, retensi
urin/alvi, berkeringat, nyeri kepala. CST thoraks bagian bawah tidak
mengganggu otot abdomen dan pernapasan.
3. CST Lumbal
CST Lumbal sering menyebabkan gangguan yang berat karena
diikuti kerusakan arteri utama yang menyuplai medulla spinalis bagian
bawah, arteri radikularis mayor. Hasilnya adalah infark seluruh medulla
spinalis lumbalis dan sakralis. Efek cedera medula spinalis lumbal
menyebabkan disfungsi kandung kemih, usus, dan seksual.
2.6. Patofisiologi
Mekanisme dari bagaimana terjadinya SCI dapat terjadi bedasarkan
onsetnya menjadi 2 yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer
merupakan cedera awal yang bersifat akut dan tiba-tiba, disebabkan oleh
faktor mekanis seperti kasus traumatis yang memiliki gaya tekan dan
transformasi energi tinggi, sehingga akan menyebabkan kegagalan struktur
integritas biomekanis dari tulang belakang.
Cedera sekunder merupakan cedera lanjutan yang disebabkan oleh
eksaserbasi atau lanjutan dari cedera primer. Hasil dari cedera primer seperti
inflamasi dan edema lokal atau sistemik, hipotensi, hipoksemia, serta
perdarahan, memicu dari patofisiologi cascade yang akan menghasilkan
gangguan perfusi dan pengiriman oksigen serta aliran darah kedalam bagian
medula spinalis yang sedang mengalami kerusakan
Cedera primer dapat terjadi secara direk maupun indirek. Cedera direk
atau langsung disebabkan oleh karena gangguan kompresi medula spinalis
13
transien dan persisten, distraksi, laserasi akibat akselerasi-deselerasi dan
transeksi, yang akan mengakibatkan gangguan integritas struktur pendukung
seperti ligamen dan tulang. Sedangkan cedera indirek atau tidak langsung
dapat terjadi karena adanya transmisi kinetik lewat jaringan saraf, tanpa
adanya kerusakan struktur seperti fraktur. Contohnya ialah cedera
hiperekstensi pada cervical central cord syndrome yang terjadi pada pasien
lansia saat terjatuh.
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:2
1. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan
hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang
dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior
dan trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfl eksi.
Toleransi medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan
bertambahnya usia.
14
menyebabkan shock neurogenic yang ditandai dengan kehilangan fungsi dan
stimulasi saraf simpatis, dimana saraf simpatis berfungsi menjaga fungsi
tubuh, menguatkan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah, dan
membuka saluran nafas sehingga menyebabkan tekanan darah akan turun
drastis dan dapat mempengaruhi otak, jaringan, dan medula spinalis,
menyebabkan perfusi jaringan tidak adekuat. Adanya syok neurogenik
ditandai dengan bradikardi, hipotensi, dan hipotermia dengan penurunan
resistensi kapiler dan penurunan cardiac output.
Setelah fase shock terjadi, dapat diikuti fase spastik pada otot dan
kembalinya reflek spinal (hyperreflexia phase). Awalnya gerakan spastik
pada pasien diinterpretasikan sebagai gerakan sadar dan menyebabkan
kesalahan diagnosis. Aktifitas hiperefleks ini dapat ditandai dengan adanya
peningkatan ekstrim tekanan darah arteri selama adanya manipulasi pada
vesica urinaria dan saluran gastrointestinya yang diakibatkan oleh hilangnya
inhibisi dari aktifitas reflek di daerah di bawah level lesi.
2.7. Manifestasi Klinis
Transeksi Medula Spinalis menyebabkan terputusnya jaras sensoris
dari bawah level lesi dan jaras desendens dari atas lesi. Meskipun kelainan
sensoris mencakup seluruh modalitas terjadi di bawah level lesi, letak lesi
sebenarnya dapat diketahui dari adanya nyeri radikuler atau parestesia yang
segmental.
Apabila medula spinalis tiba-tiba mengalami cedera, dapat muncul
kelainan seperti :
a. Pergerakan volunter di bawah lesi hilang secara mendadak dan bersifat
permanen, reflex fisiologis dapat menghilang atau dapat meningkat.
b. Sensasi sensorik terhadap refleks fisiologis bisa menghilang atau
meningkat.
c. Terjadi kelainan fungsi otonom. Cedera medula spinalis dapat
memberikan tanda:
Gangguan sensasi (anastesia, hiperestesia, parastesia).
Gangguan motorik (kelemahan otot-otot dan reflek tendon miotom).
Gangguan fungsi vegetatif dan otonom (flaccid dan sapstic blader
dan bowel).
15
Gangguan fungsi kehidupan sehari-hari (makan, toileting,
berpakaian, kebersihan diri).
Gangguan mobilisasi.
Penurunan tanda vital.
Masalah pada kulit (ulkus dekubitus).
Nyeri akut yang menjalar dari lesi menuju ke bawah.
Paraplegia
Disfungsi autonom berupa penurunan keringat dan tonus vasomotor .
Infertilitas
Disfungsi sfingter rektal dan uretral yang menyebabkan inkontinensia,
disfungsi seksual dan tanda-tanda disfungsi otonom(anhidrosis, perubahan
tropis kulit, kegagalan mengontrol suhu tubuh, danketidakstabilan
vasomotor) dibawah level lesi juga muncul.8
16
minggu kemudian, kelumpuhan dapat berkembang menjadi spasme otot
yang involunter (tidak disadari) dan lama (paralysis spastik).7,8,9
17
2.8. Diagnosa
1. Anamnesa
a. Cara kejadian: trauma, riwayat infeksi
b. Usia muda: penyakit bawaan
c. Usia tua: keganasan
d. Durasi: akut (GBS, transverse myelitis, kompresi), kronis (MND,
polyneuropathy, muscle dystrophy)
e. Gangguan sfingter retensi urin/alvi
f. Nyeri radikuler
g. Keluhan unilateral/bilateral
h. Nyeri kepala
i. Nyeri punggung
2. Pemeriksaan fisik
18
Gambar 2.9. Bagan ASIA untuk Mendeteksi Kelumpuhan Neurologis
3. Pemeriksaan penunjang
a. Plain foto: Cervical, thoraks, abdomen/lumbal (AP/Lat) untuk
melihat adanya fraktur vertebrae. Dapat ditambah posisi Odontoid
(open mouth), Swimmer’s view (untuk melihat C7 dan T1).
Tanda degenerasi spina:
Ruang intervertebral menyempit
Foramina intervertebral menyempit
Bentukan osteofit
Pelebaran foramina
b. Laboratorium
19
Penilaian osteocalsin, merupakan protein tulang yang disekresi oleh
osteoblast.
B-cross lap digunakan sebagai parameter proses rosorpsi
(penyerapan tulang) untuk mengetahui fungsi dari osteoklas.
Pemeriksaan elektrolit.
Pemeriksaan Darah lengkap
Kimia darah: Gula darah 2 jam post prandial dan gula darah puasa
c. Pungsi Lumbal analisis CSF
d. MRI Vertebral: merupakan definitive imaging technique
e. Neurofisiologi: EMG (untuk memeriksa continuitas myelin dan akson)
f. Tes perspirasi menilai fungsi saraf otonom
2.9. Tatalaksana
Prinsip terapi Trauma spinal traumatika ditujukan untuk:
a. Meminimalkan kemungkinan terjadinya defisit neurologis
b. Mengembalikan integritas kolum spinalis semaksimal mungkin
c. Mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi
d. Optimalisasi rehabilitasi fungsional
1. Evaluasi
Fase evaluasi meliputi observasi dan penatalaksanaan dari:
a. A: Airway maintenance untuk patensi jalan napas
b. B: Breathing dan ventilasi
c. C: Circulation dengan kontrol perdarahan yang terjadi
d. D: Disabilitas dan pemeriksaan terhadap status neurologis
e. E: Exposure / environmental control
Klasifikasi cedera tulang belakang komplet maupun inkomplet dan
serta level cedera dapat ditentukan dengan pemeriksaan motorik dan
sensorik. Pemeriksaan motorik dilakukan secara cepat dengan
melakukan beberapa gerakan. Fungsi otonom dinilai dengan menguji
ada tidaknya retensi urin, atau tonus sfingter anal. Suhu kulit yang
hangat dan kemerahan menunjukkan hilangnya tonus simpatis di
bawah tingkat cedera.12
2. Terapi kerusakan primer
Cidera pada medula spinalis paling sering menimbulkan shock
20
neurogenik. Pada awalnya, akan terjadi peningkatan tekanan darah,
detak jantung serta nadi, dan kadar katekolamin yang tinggi, selanjutnya
diikuti kejadian hipotensi serta bradikardia. Apabila pasien dalam
kondisi hipotensi harus diobati terlebih dahulu untuk mencegah cedera
sekunder. Pengobatan lini pertama pada kondisi hipotensi adalah dengan
pemberian resusitasi cairan intravena. Cairan intravena berupa kristaloid
(0,9% natrium klorida atau ringer laktat) atau Cairan koloid (albumin).
Sedangkan untuk pengobatan lini kedua pada hipotensi dapat
diberikan vasopressor dan inotrop, seperti Fenilefrin, Norepinefrin, atau
Epinefrin. Menjaga tekanan arteri rerata MAP pada 85-90 mmHg selama
7 hari pertama. Selain itu, perlu dilakukan pengobatan terhadap
bardikardia yaitu dengan atropine, glikopirolat, vasoaktif dengan
kronotropik, vasokonstriktor, dan sifat inotropic antara lain
Isoproterenol, Methylxanthines (teofilin, aminofilin), atau Propantelin
3. Terapi kerusakan sekunder
Terapi ini ditujukan untuk mencegah terjadinya perburukan pada pasien
dengan cedera medulla spinalis.
1. Pemberian metilprednisolon
Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-2) dan
NASCIS-3 pasien cedera medula spinalis dapat diberikan
metilprednisolon. Metil prednisolone diberikan jika pasien datang
dalam 3 jam setelah cidera dan paling lama 8 jam setelah cidera.
Apabila pasien datang tidak melebihi dari 3 jam setelah cidera terjadi
dapat diberikan metilprednisolone dapat diberikan dengan dosis 30
mg/kgBB secara intravena dalam 8 jam, dosis 5,4 mg/kg BB tiap jam
hingga 24 jam. Apabila pasien datang tidak melebihi 8 jam setelah
cidera metil prednisolone dilanjutkan hingga 48 jam. Metil
prednisolon berfungsi mengurangi kerusakan membran sel yang,
mengurangi inflamasi dan menekan aktifitas destruksi oleh sel-sel
imun. Penelitian menunjukkan akan terjadi pemulihan motorik dan
sensorik dalam 6 minggu, 6 bulan dan 1 tahun pada pasien yang
menerima metilprednisolon.
2. Pemberian Diazepam
21
Diazepam diberikan bila terjadi kekakuan pada otot. Diazepam
diberikan dengan dosis 3 x 10 mg/hari.
3. Analgetika golongan NSAIDs
Pemberian analgetika golongan NSAIDs (anti inflamasi) bertujuan
untuk mengobati nyeri pada cedera medula spinalis.
4. Pemberian antidepresen trisiklik
Antidepresen trisiklik digunakan untuk mengobati nyeri kronik,
mengurangi insomnia, dan sakit kepala.
5. Pemberian Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH) dan Analog TRH
Thyrotropin-releasing hormone (TRH) Pemberian TRH berfungsi
untuk melawan faktor-faktor pengganggu, seperti opioid endogen,
platelet activating factor, peptidoleukotrien, dan asam amino
eksitatorik, sehingga akan menguatkan aliran darah yang menuju
medulla spinalis, memperbaiki keseimbangan elektrolit dan
mencegah terjadinya degradasi lipid. Pemberian TRH secara
intravena dengan dosis awal 0,2 mg/kgBB yang dilanjutkan dengan
0,2 mg/ kgBB/jam hingga 6 jam, dikatakan memberikan hasil baik,
terutama perbaikan motorik dan sensorik sampai 4 bulan setelah
injury.
Tindakan operasi12
Tatalaksana berupa tindakan operatif paling baik dilakukan dalam jangka waktu
24 jam sampai 3 minggu setelah terjadinya trauma. Indiksi tindakan operatif
adalah:
2.11. Prognosis
Prognosis lebih baik pada trauma medula spinalis yang tidak komplit,
90% penderita trauma medula spinalis dapat membaik dan hidupmandiri.
Kurang dari 5% pasien dengan trauma medula spinalis yang komplit dapat
sembuh. Jika paralisis komplit bertahan sampai 72 jam setelah trauma,
kemungkinan pulih adalah 0%. Perbaikan fungsi motorik, sensorik dan
otonom dapat kembali dalam 1 minggu samapi 6 bulan pascatrauma medula
spinalis. Kemungkinan pemulihan spontan menurun setelah 6 bulan.16
23
BAB III
KESIMPULAN
Complete Spinal Transection dapat didefinisikan sebagai hilangnya
kemampuan untuk mengirim impuls sensorik dan motorik secara lengkap dan
permanen atau temporer melalui tingkatan sumsum tulang belakang yang
terpengaruh dikarenakan adanya kerusakan secara traumatis maupun non-
traumatis. Penyebab traumatis terjadi ketika adanya dampak fisik eksternal seperti
kecelakaan lalu lintas, terjatuh, cedera saat berolahraga atau kekerasan yang
menyebabkan terjadinya kerusakan pada sumsung tulang belakang. Kerusakan
akibat non-traumatis dapat disebabkan karena adanya proses kronis seperti tumor,
infeksi, kelainan degenerative pada diskus yang menyebabkan adanya kerusakan.
Diagnosis ditegakkan dari anamnesa singkat mengenai cara kejadian
(trauma), progresifitas keluhan, dan riwayat penyakit dahulu, dilanjutkan
pemeriksaan fisik yang berfokus untuk mencari tinggi level cedera neurologis
dengan pemeriksaan sensoris (pinprick dan raba halus) dan motoris sesuai
miotom, dan pemeriksaan radiologis. Namun, untuk lebih memudahkan pemeriksa
untuk menentukan level trauma medula spinalis yang dialami oleh seseorang,
maka digunakan ASIA (American Spinal Injury Association) Score.
Tatalaksana medikamentosa untuk trauma medula spinalis didasarkan pada
rekomendasi National Acute Spinal Cord Injury Studies III (NASCIS III)
berdasarkan NASCIS II dan NASCIS III, pasien dengan trauma medula spinalis
akut diberikan terapi metilprednisolon dalam 8 jam pertama setelah terjadinya
trauma. Prognosis pada trauma medula spinalis bergantung pada cepat atau
tidaknya dilakukan tatalaksana awal.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Taylor, M. P., Wrenn, P. and O’Donnell, A. D. (2017) ‘Presentation of
neurogenic shock within the emergency department’, Emergency Medicine
Journal, 34(3), pp. 157–162. doi: 10.1136/emermed-2016-205780.
2. Gondowardaja, Yoanes, dan Eko Thomas. Trauma medula Spinalis:
Patobiologi dan Tata Laksana Medikamentosa.Bali: Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. 2014.
3. Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord.
In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. 2nd Edition. Elsevier,
Saunders. 2012.
4. Nulle, A. et al. (2017) ‘A profile of traumatic spinal cord injury and medical
complications in Latvia’, Spinal Cord Series and Cases, 3(1). doi: 10.1038/s41394-
017-0002-2
5. George, Wita, Budi, dan Yuda. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit
Saraf.Jakarta: EGC. 2009.
6. DeJong’s, Section E.The Neurologic Examination. In:The Motor System, The
Spinal Cord Section. 7th Edition.William W.Champbell,MD. Bathesda,
Maryland. 2013.
7. American College of Surgeon. 2012. Spine and Spinal Cord Trauma dalam:
Advanced Trauma Life Support (ATLS). Ed 9th Chicago, USA.
8. National Institute of Neurological Disorder ang stroke. Spinal Cord Injury,
Emerging Concepts. Juli 2001.
9. Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Dessease of the Spinal Cord. In:
Adams and Victor’s Principles of Neurology. 9 th Ed. New York: McGraw-
Hill; 2009. http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=3640625.
10. Sezer N, Akkus S, Ugurlu FG. Chronic Complication of Spinal Cord Injury.
World Journal of Orthopedics. 2015
11. Robbert BD, Joseph J, John CM, Scot LP. Trauma of the Nervous System,
Spinal Cord Trauma. In: Bradley’s Neurology in Clinical Practice.7th
Edition.Elsevier, Phila delphia. 2012.
12. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape 2013.
http://emedicine.medscape.com/article/79382-overview#showall
13. Sadowsky C, McDonald JW. Spinal Cord Injury. The Lancet. 2002
25
14. Soopramanien A, Grundy D. 2002. Spinal Cord Injury in the Developing
World dalam : Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. Ed 4th. BMJ
Publishing Group. London.
15. Yeon HB, Sethi RK, and Harris MB, Evaluation and Early Management of
Spinal Injury ina polytrauma patient. In Atlas of Spine Trauma Adult and
Pediatric. WB Saunders. 2008.
26