Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KASUS SPINAL CORD INJURY

NAMA : Ayu Apriliatna


Nim : 1960007

INSTITUT KESEHATAN MEDISTRA LUBUK PAKAM


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN FISIOTERAPI
PRODI PROFESI FISIOTERAPI T.A 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Cedera medula spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera yang mengenai
medula spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi utamanya (motorik, sensorik, otonom dan
reflek) secara lengkap atau sebagian. Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab
utama disabilitas neurologis akibat trauma. Pusat data nasional cedera medula spinalis (National
Spinal Cord Injury Statistical Center/ NSCISC 2004) memperkirakan setiap tahun di Amerika
serikat ada 11.000 kasus cedera medula spinalis. Umumnya terjadi pada remaja dan dewasa muda
(usia 16-30 tahun), dan biasanya lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita.
Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50,4%), jatuh (23,8%), dan cedera yang
berhubungan dengan olahraga (9%). Sisanya akibat kekerasan terutama luka tembak dan
kecelakaan kerja.
Dahulu, penatalaksanaan cedera medula spinalis akut hanya terapi konservatif. Menurut
National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-1, 2, dan 3), penemuan terapi farmakologi
dengan metilprednison menurunkan defisit neurologis. Baru-baru ini operasi dekompresi,
stabilisasi dan fiksasi tulang belakang secara potensial mampu memperbaiki kerusakan akibat
cedera medula spinalis. Hal tersebut menunjukkan kelak pendekatan secara farmakologi dan
operasi akan mampu menurunkan kerusakan akibat cedera tersebut.

B. Rumusan Masalah
Pada penulisan makalah ini, masalah yang ditimbulkan adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Spinal Cord Injury?
2. Bagaimana dengan anatomi dari Spinal Cord Injury ?
3. Bagaimana dengan tanda dan gejala dari Spinal Cord Injur?
4. Bagaimana dengan patofisiologi Spinal Cord Injury?
5. Bagaimana dengan pengobatan pada Spinal Cord Injury?

C. Tujuan Makalah
Tujuan dari menyuun makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian,
anatomi , patofisiologi, tanda dan gejala dan pengobatan pada kasus spinal cord
injury
D. Manfaat
Penyusun mengharapkan makalah ini bermanfaat bagi mahasiswa agar
nantinya dapat mengaplikasikan ilmu tersebut atau menerapkan pada pasien
spinal cord injury dengan baik dan benar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan sebagai lesi traumatik akut elemen saraf dari
kanal tulang belakang, termasuk sumsum tulang belakang dan cauda equina, yang
menghasilkan defisit sensorik, motorik, atau disfungsi kandung kemih sementara atau
permanen (Oteir et al, 2014). SCI adalah keadaan yang diakibatkan oleh trauma
ataupun nontraumatik yang menyebabkan adanya keterbatasan dalam perawatan diri,
bergerak dan beraktivitas sehari-hari (Sayılır, Erso¨z and Yalc¸ın, 2013).
B. Anatomi Medulla Spinalis & Dermatome
Medulla Spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat yang
terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1. Medula spinalis terletak
di kanalis vertebralis, dan dibungkus oleh tiga meninges yaitu duramater,
arakhnoid dan piamater. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligament,
meningen spinal dan juga cairan LCS (liquor cerebro spinal). LCS
mengelilingi medulla spinalis di dalam ruang subarachnoid. Bagian superior
dimulai dari bagian foramen magnum pada tengkorak, tempat bergabungnya
dengan medulla oblongata. Medula spinalis berakhir di inferior di region
lumbal. Dibawah medulla spinalis menipis menjadi konus medularis dari
ujungnya yang merupakan lanjutan piamater, yaitu fillum terminale yang
berjalan kebawah dan melekat dibagian belakang os coccygea. Akar saraf
lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap
pasangan syaraf keluar melalui foramen intervertebral. Syaraf Spinal
dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal dan
LCS (liquor cerebrospinal).
Disepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang saraf spinal melalui radiks
anterior atau radiks motorik dan radiks posterior atau radiks sensorik. Masing-
masing radiks melekat pada medulla spinalis melalui fila radikularia yang
membentang disepanjang segmen-segmen medulla spinalis yang sesuai.
Masing-masing radiks saraf memiliki sebuah ganglion radiks posterior, yaitu
sel-sel yang membentuk serabut saraf pusat dan tepi. 31 pasang saraf spinal
diantaranya yaitu :
a. 8 pasang saraf servikal
b. 12 pasang saraf torakal
c. 5 pasang saraf lumbal
d. 5 pasang saraf sakral
e. 1 pasang saraf koksigeal

Struktur medulla spinalis terdiri dari substansi abu abu (substansia grisea)
yang dikelilingi substansia putih (substansia alba). Pada potongan melintang,
substansia grisea terlihat seperti hurup H dengan kolumna atau kornu anterior atau
posterior substansia grisea yang dihubungkan dengan commisura grisea yang tipis.
Didalamnya terdapat canalis centralis yang kecil. Keluar dari medula spinalis
merupakan akar ventral dan dorsal dari saraf spinal. Substansi grisea mengandung
badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak bermyelin, saraf sensoris dan
motoris dan akson terminal dari neuron. Bagian posterior sebagai input atau afferent,
anterior sebagai Output atau efferent, comissura grisea untuk refleks silang dan
substansi alba merupakan kumpulan serat saraf bermyelin.

Fungsi medula spinalis:


a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu ventralis
b. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai, Refleks merupakan
respon bawah sadar terhadap adanya suatu stimulus internal ataupun eksternal
untuk mempertahankan keadaan seimbang dari tubuh. Refleks yang
melibatkan otot rangka disebut dengan refleks somatis dan refleks yang
melibatkan otot polos, otot jantung atau kelenjar disebut refleks otonom atau
visceral.
c. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum
d. Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh
dengan masukan sensorik, setiap daerah spesifik di tubuh yang dipersarafi oleh
saraf spinal tertentu yang disebut area dermatom. Saraf spinal juga membawa serat-
serat yang bercabang untuk mempersarafi organ-organ dalam, dan kadang-kadang
nyeri yang berasal dari salah satu organ tersebut dialihkan ke dermatom yang
dipersarafi oleh saraf spinal yang sama. Kelainan motorik yang timbul berupa
kelumpuhan atau gangguan gerak dan fungsi otot-otot, gangguan sensorik berupa
hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai dengan area yang dipersyarafi oleh level
vertebra yang terkena, serta gangguan sistem vegetatif berupa gangguan pada fungsi
bladder, bowel dan juga adanya gangguan fungsi seksual.
Menurut Kozier et al (2011), sistem perkemihan terdiri dari ginjal, ureter,
kandung kemih dan uretra. Eliminasi urin tergantung pada fungsi organ tersebut.
Ginjal adalah organ berbentuk kacang dengan ukuran sekepalan. Masing- masing
individu memiliki sepasang ginjal yang terletak pada sisi kolumna spinalis dibelakang
dari rongga peritoneum. Ginjal berfungsi sebagai pengatur keseimbangan asam basa
dalam tubuh. Setiap ginjal terdiri dari 1 juta nefron, dan setiap menit mengalir 21%
curah jantung melalui ginjal. Urin dibuat di nefron ginjal, hasil urin yang terbentuk
pada ginjal mengalir melalui duktus pengumpul menuju kaliks pelvik ginjal dan
kemudian menuju ureter. Panjang ureter orang dewasa 25-30 cm dengan diameter 1,25
cm yang menuju kandung kemih.
Kandung kemih merupakan sebuah reservoir yang terdiri dari muskulus dan
berbentuk seperti balon yang berfungsi menampung urin dan dikeluarkan melalui
uretra. Urin disimpan dalam kandung kemih sampai terasa penuh. Otot sphincter
menutup erat seperti karet gelang pada sekitar kandung kemih untuk membantu
menjaga urin dalam kandung kemih. Saat kandung kemih terisi dengan urin, sensasi
untuk membuang air kecil menjadi lebih kuat. Pada titik ketika kandung kemih
mencapai batas-batasnya, saraf dari kandung kemih mengirim pesan ke otak bahwa
kandung kemih sudah penuh. Otak mengirimkan sinyal pada otot sphincter untuk
santai dan membuang urin. Pada saat yang sama, otak mengirimkan sinyal pada otot-
otot kandung kemih untuk mengencangkan, meremas urin keluar dari kandung kemih.
Ketika semua sinyal bekerja normal, urin keluar dari kandung kemih melalui uretra.
Uretra merupakan saluran memanjang dari kandung kemih menuju meatus dengan
panjang 3,7 cm pada wanita dan 20 cm pada pria (Klevbine, Phil., 2008). Tugas dari
sistem perkemihan adalah untuk mengeluarkan limbah (urin) dan menjaga bahan kimia
dan air dalam tubuh seimbang.

Setelah cedera tulang belakang, 3 bagian sistem perkemihan masih berfungsi


secara normal. Ginjal terus memproduksi urin, mengalir melalui ureter dan
dikeluarkan melalui uretra. Organ- organ berfungsi tanpa adanya perintah untuk dari
otak untuk mengosongkan kandung kemih. Pesan tersebut biasanya dikirim melalui
saraf dekat akhir dari sumsum tulang belakang. Pasien dengan SCI, tidak terdapat
koordinasi melalui sumsum tulang belakang. Hal ini menunjukkan individu dengan
SCI mungkin tidak merasakan keinginan untuk buang air kecil ketika kandung kemih
penuh.
Kandung kemih biasanya dipengaruhi satu dari dua cara:
1. Spastic (reflex) bladder adalah ketika kandung kemih terisi dengan urin
dan secara otomatis terdapat reflex yang memicu untuk mengosongkan
kandung kemih. Salah satu masalah utama dengan spastik kandung
kemih adalah bahwa pasien tidak tahu kapan atau jika kandung kemih
akan kosong
2. Flaccid (Non-reflex) bladder adalah refleks ketika otot-otot dari
kandung kemih yang lamban atau tidak ada. Pasien tidak merasa ketika
kandung kemih penuh, hal ini dapat menyebabkan perut menjadi lebih
buncit atau regang. Cadangan urin yang tersisa dan penuh dapat
mengalir melalui ureter ke ginjal. Peregangan juga mempengaruhi otot
dari kandung kemih.
Otot-otot sphincter mungkin juga akan terpengaruh setelah cedera.
Dyssynergia terjadi ketika otot-otot sphincter tidak rilek dan urin tidak bisa
mengalir melalui uretra. Hal ini menyebabkan urin back up ke dalam ginjal dan
disebut refluk dan kandung kemih juga tidak kosong secara utuh. Faktor- faktor
yang mempengaruhi proses berkemih yakni faktor perkembangan, faktor
psikososial, asupan cairan dan makanan, obat-obatan, gaya hidup, tonus otot,
kondisi patologis/ penyakit, medikasi, prosedur bedah dan pemeriksaan diagnostik
(Klevbine, Phil., 2008; Mubarak, Indrawati & Susanto, 2015).
a) Klasifikasi Spinal Cord Injury

American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional


Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan dan mempublikasikan
standart internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medula
spinalis. Klasifikasi ini berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/
IMSOP dipakai di banyak negara karena sistem tersebut dipandang akurat dan
komperhensif Skala kerusakan menurut ASIA/ IMSOP adala sebagai berikut:
 Grade (A) Fraktur komplit. Tidak ada fungsi motorik maupun sensorik di seluruh
segmen dermatom dari titik lesi hingga S4-S5
 Grade (B) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi (termasuk segmen S4-
S5) terganggu, namun fungsi sensorik masih berjalan dengan baik.
 Grade (C) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik di bawah lesi masih berfungsi dan
mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai kurang dari 3
 Grade (D) Fraktur Inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi masih berfungsi dan
mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai lebih dari 3
 Grade (E) Normal. Fungsi motorik dan sensorik normal.

Skala kerusakan berdasarkan American Spinal Injury Association (ASIA) /


International Medical Society of Paraplegia (IMSOP).
Grade Tipe Gangguan spinalis
ASIA/IMSOP
A Komplit Tidak ada fungsi sensorik dan
motorik sampai S4-5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik
tapi fungsi motorik terganggu
sampai segmen sakral S4-5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu
dibawah level, tapi otot-otot
motorik utama masih punya
kekuatan < 3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu
dibawah level, otot-otot
motorik utamanya punya
kekuatan > 3
E Normal Fungsi sensorik dan motorik
normal

Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi atas:
 Paraplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena
kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral.
 Quadriplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik
karena kerusakan pada segment cervikal.
C. Tanda Dan Gejala Spinal Cord Injury
Pada trauma medula spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan kehilangan fungsi
saraf sadarnya. Terdapat fase awal dari syok spinalis yaitu, hilangnya reflek pada
segment dibawah lesi, termasuk bulbokavernosus, kremasterika, kontraksi perianal
(tonus spinchter ani) dan reflek tendon dalam. Fenomena ini terjadi sementara karena
perubahan aliran darah dan kadar ion pada lesi. Pada trauma medula spinalis inkomplit,
masih terdapat beberapa fungsi di bawah lesi, sehingga prognosisnya lebih baik. Fungsi
medula spinalis dapat kembali seperti semula segera setelah syok spinal teratasi, atau
fungsi kembali membaik secara bertahap dalam beberapa bulan atau tahun setelah
trauma. Cedera medula spinalis akibat luka tembus, penekanan maupun iskemik dapat
menyebabkan berbagai bentuk karakteristik cedera berdasarkan anatomi dari terjadinya
cedera. Defisit neurologis yang timbul (fungsi yang hilang atau tersisa) dapat
digambarkan dari pola kerusakan medula dan radiks dorsalis demikian juga sebaliknya,
antara lain:
1. Lesi Komplit yaitu terjadinya cedera medula yang luas akibat anatomi dan fungsi
transeksi medula disertai kehilangan fungsi motorik dan sensorik dibawah lesi.
Mekanisme khasnya adalah trauma vertebra subluksasi yang parah mereduksi
diameter kanalis spinalis dan menghancurkan medula. Konsekuensinya bisa terjadi
paraplegia atau quadriplegia (tergantung dari level lesinya), rusaknya fungsi otonomik
termasuk fungsi bowel, bladder dan sensorik.
2. Lesi Inkomplit
a. Sindroma medula anterior. Gangguan ini akibat kerusakan pada separuh bagian
ventral medula (traktus spinotalamikus dan traktus kortikospinal) dengan
kolumna dorsalis yang masih intak dan sensasi raba (propioseptif), tekan dan
posisi masih terjaga, meskipun terjadi paralisis motorik dan kehilangan
persepsi nyeri (nosiseptif dan termosepsi) bilateral. Hal tersebut disebabkan
mekanisme herniasi diskus akut atau iskemia dari oklusi arteri spinal.
b. Brown Squard's syndrome. Lesi terjadi pada medula spinalis secara ekstensif
pada salah satu sisi sehingga menyebabkan kelemahan (paralisis) dan
kehilangan kontrol motorik, perasaan propioseptif ipsilateral serta persepsi
nyeri (nosiseptif dan termosepsi) kontralateral di bawah lesi. Lesi ini biasanya
terjadi akibat luka tusuk atau tembak.
c. Sindrom medula sentral. Sindroma ini terjadi akibat dari cedera pada sentral
medula spinalis (substansia grisea) servikal seringkali disertai cedera yang
konkusif. Cedera tersebut mengakibatkan kelemahan pada ekstremitas atas
lebih buruk dibandingkan ekstremitas bawah disertai parestesi. Namun, sensasi
perianal serta motorik dan sensorik ekstrimitas inferior masih terjaga karena
distal kaki dan serabut saraf sensorik dan motorik sakral sebagian besar terletak
di perifer medula servikal. Lesi ini terjadi akibat mekanisme kompresi
sementara dari medula servikal akibat ligamentum flavum yang tertekuk
selama trauma hiperekstensi leher. Sindroma ini muncul pada pasien stenosis
servikal. Sindroma konus medularis. Cedera pada regio torakolumbar dapat
menyebabkan sel saraf pada ujung medula spinalis rusak, menjalar ke serabut
kortikospinal, dan radiks dorsaliss lumbosakral disertai disfungsi upper motor
neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN). Sindrom kauda ekuina.
Sindrom ini disebabkan akibat dislokasi tulang atau ekstrusi diskus pada regio
lumbal dan sakral, dengan radiks dorsalis kompresi lumbosakral dibawah
konus medularis. Pada umumnya terdapat disfungsi bowel dan bladder,
parestesi, dan paralisis.
Dapat dirumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla spinalis
yaitu:
 Gangguan sensasi menyangkut adanya anastesia, hiperestesia, parastesia
 Gangguan motorik menyangkut adanya kelemahan dari fungsi otot-otot dan reflek
tendon myotome.
 Gangguan fungsi vegetatif dan otonom menyangkut adanya flaccid dan sapstic
blader dan bowel.
 Gangguan fungsi ADL yaitu makan, toileting, berpakaian, kebersihan diri
 Gangguan mobilisasi yaitu Miring kanan dan kiri, Transfer dari tidur ke duduk,
Duduk, Transfer dari bed ke kursi roda, dan dari kursi roda ke bed.
 Penurunan Vital sign yaitu penurunan ekspansi thorax, kapasitas paru dan
hipotensi.
 Skin problem menyangkut adanya decubitus.
Cedera medulla spinalis juga mempengaruhi fungsi organ vital yaitu diantaranya
disfungsi respirasi terbesar yaitu cedera setinggi C1-C4. Cedera pada C1-C2 akan
mempengaruhi ventilasi spontan tidak efektif. Lesi setinggi C5-8 akan mempengaruhi
m. intercostalis, parasternalis, scalenus, otot-otot abdominal, otot-otot abdominal.
Selain itu mempengaruhi intaknya diafragma, trafezius dan sebagian m. pectoralis
mayor. Lesi setinggi thoracal mempengaruhi otot-otot intercostalis dan abdominal,
dampak umumnya yaitu efektifitas kinerja otot pernafasan menurun.
D. Patofisiologi Spinal Cord Injur
Patofisiologi yang mendasari cedera medula spinalis penting untuk dipahami,
sehingga dapat segera dilakukan intervensi farmakologi yang tepat dengan tujuan untuk
mengurangi atau mencegah efek dari cedera sekunder.Pada skema (Gambar),
menggambarkan kombinasi dari berbagai macam tipe cedera medula spinalis. Banyak
sel di medula spinalis mati seketika secara progresif setelah terjadinya cedera. Kista
biasanya terbentuk setelah cedera memar. Setelah mengalami luka tusuk, sel dari sistem
saraf perifer seringkali menyebabkan daerah yang terkena tusuk membentuk jaringan
parut yang bergabung bersama astrosit, sel progenitor, dan mikroglia. Akson asending
dan desending banyak yang terganggu dan gagal memperbaiki diri. Beberapa akson
membentuk sirkuit baru, akson dapat menembus kedalam trabekula dan dibentuk oleh
sel ependim. Segmen akson bermielin yang terputus difagosit oleh makrofag. Sebagian
remielinasi muncul spontan, yang terbanyak dari sel schwan.
Pada umumnya, cedera medula spinalis disertai kompresi dan angulasi vertebra
yang parah, misalnya terjadinya hipotensi yang parah akibat infark dari medula atau
distraksi aksial dari unsur kolumna vertebralis akan mengakibatkan tarikan (stretch)
pada medula. Biasanya cedera medula spinalis disertai subluksasi dengan atau tanpa
rotasi dari vertebra yang menekan medula diantara tulang yang dislokasi. Kompresi
aksial tulang belakang jarang menyebabkan kerusakan atau pendesakan pada vertebra,
dan tulang lain atau fragmen diskus intervertebralis dapat menekan ke dalam kanalis
spinalis dan menjepit medula dan arteri spinalis. Cedera seringkali terjadi pada orang
tua dengan artritis degeneratif dan stenosis vertebra servikalis, termasuk hiperekstensi
leher disertai ligantum flavum yang terletak di kanalis vertebra posterior dari medula.
Medula spinalis terjepit diantara spurs (osteofit) anterior dari tulang yang mengalami
artritis dan posterior dari ligamentum flavum, sehingga menyebabkan cedera yang
dikenal dengan sebutan sindroma medula sentral.
Patofisiologi terjadinya cedera medula spinalis meliputi mekanisme cedera primer
dan sekunder. Terdapat empat mekanisme cedera primer pada medula spinalis,
pertama adalah dampak cedera disertai kompresi persisten, pada umumnya terjadi
akibat fragmen tulang yang menyebabkan kompresi pada spinal, fraktur dislokasi, dan
ruptur diskus akut. Kedua, Dampak cedera disertai kompresi sementara, dapat terjadi
misalnya pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang cervikal yang mengalami
cedera hiperekstensi. Ketiga adalah distraksi, terjadi jika kolumna spinalis teregang
berlebihan pada bidang aksial akibat distraksi yang dihasilkan dari gerakan fleksi,
ekstensi, rotasi atau adanya dislokasi yang menyebabkan pergeseran atau peregangan
dari medula spinalis dan atau asupan darahnya. Biasanya mekanisme seperti ini tanpa
disertai kelainan radiologis dan pada umumnya terjadi pada anak-anak dimana
vertebranya masih terdiri dari tulang rawan, ototnya masih belum berkembang
sempurna, dan ligamennya masih lemah. Pada orang dewasa, cedera medula spinalis
tanpa disertai kelainan radiologis umumnya terjadi pada seseorang dengan penyakit
degeneratif tulang belakang. Keempat yaitu laserasi atau transeksi, dapat terjadi akibat
luka tembak, dislokasi fragmen tulang tajam, atau distraksi yang parah. Laserasi dapat
terjadi mulai dari cedera yang ringan sampai transeksi lengkap.
Cedera primer yang terjadi cenderung merusak pusat substansia grisea dan sebagian
mengenai substansia alba. Hal tersebut terjadi karena, konsistensi substansia grisea
lebih lunak dan banyak vaskularisasi. Pada cedera primer, tahap awal akan terjadi
perdarahan pada medula spinalis dilanjutkan dengan terganggunya aliran darah
medula spinalis menyebabkan hipoksi dan iskemia sehingga terjadi infark lokal. Hal
ini menyebabkan substansia grisea rusak. Kerusakan terutama pada gray matter
(substansia grisea) karena kebutuhan metaboliknya yang tinggi. Saraf yang mengalami
trauma secara fisik terganggu dan ketebalan myelinnya berkurang. Perdarahan mikro
(mikrohemorrages) atau edema di sekitar saraf yang mengalami cedera, dapat
menyebabkan saraf tersebut semakin terganggu. Hal tersebut yang mendasari
pemikiran bahwa substansia grisea mengalami kerusakan yang ireversibel selama satu
jam pertama, sedangkan substansia alba mengalami kerusakan selama 72 jam setelah
cedera. Segera setelah terjadi cedera medula spinalis, fungsi disertai perubahan
patologis akan hilang secara sementara. Pada permulaan terjadinya cedera memicu
timbulnya kaskade yang terdiri dari akumulasi produksi asam amino, neurotransmiter,
eikosanoid vasoaktif, radikal bebas oksigen, dan produk dari peroksidasi lipid.
Program jalur kematian sel juga teraktivasi. Terjadi kehilangan darah dari barier
medula akibat edema dan peningkatan tekanan jaringan. Selama berlangsungnya
perdarahan pada medula, maka suplai darah menjadi terbatas, sehingga menyebabkan
iskemia yang mengakibatkan kerusakan medula lebih lanjut sehingga timbul cedera
sekunder. Cedera sekunder meliputi syok neurogenik, gangguan vaskular seperti
perdarahan dan reperfusi-iskemia, eksitotoksisitas, cedera primer yang dimediasi
kalsium dan gangguan cairan elektrolit, trauma imunologik, apoptosis, gangguan
fungsi mitokondria, dan proses lainnya.
E. Penatalaksanaan Spinal Cord Injury
Cedera pada tulang dan saraf spinalis sering terjadi bersamaan sehingga terapi
keduanya juga harus bersamaan untuk memperoleh hasil yang terbaik. Transeksi
anatomikal dari medula spinalis hampir tidak pernah terjadi pada cedera medula
spinalis pada manusia. Oleh karena itu, penting sekali untuk melindungi jaringan spinal
yang masih bertahan. Pertama, didapatkan riwayat cedera. Kedua, dilakukan perawatan
untuk mencegah kerusakan lebih lanjut (cedera sekunder) dan mendeteksi fungsi
neurologik yang memburuk sehingga dapat dilakukan tindakan koreksi. Ketiga, pasien
dirawat hingga kondisi optimal supaya memungkinkan dilakukan perbaikan dan
penyembuhan sistem saraf. Keempat, evaluasi dan rehabilitasi pasien harus dilakukan
secara aktif untuk memaksimalkan fungsi yang masih bertahan meskipun jaringan saraf
tidak berfungsi. Prinsip tersebut harus disertai dengan meminimalisir biaya secara
ekonomi, sosial dan dan emosional dari cedera medula spinalis.
Alat ortotik eksternal yang rigid (kaku), dapat menstabilisasi spinal dengan cara
mengurangi range of motion (ROM) dan meminimalkan beban pada spinal. Pada
umumnya penggunaan cervical collars (colar brace) tidak adekuat untuk C1, C2 atau
servikotorak yang instabil. Cervicothoracic orthoses brace diatas torak dan leher,
meningkatkan stabilisasi daerah servikotorak. Minerva braces meningkatkan stabilisasi
servikal pada daerah diatas torak hingga dagu dan oksiput. Pemasangan alat yang
disebut halo-vest paling banyak memberikan stabilisasi servikal eksternal. Empat buah
pin di pasangkan pada skul (tengkorak kepala) untuk mengunci halo ring. Stabilisasi
lumbal juga dapat digunakan sebagai torakolumbal ortose.
DAFTAR PUSTAKA

1. Evans, Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2003.h. 35-
36.
2. Snell RS. Neuroanatomi klinik : pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi ke-5. Jakarta :
EGC; 2007.h.1-16.
3. Blumenfeld H. Neuroanatomy through Clinical Cases. Inc: Sanauer Assiciates; 2002.h.23-36,
277-283.
4. DeGroot J. Chusid JG. Corelative Neuroanatomy. Jakarta: EGC; 1997.h.30-42.
5. ASIA. Spinal cord injury. Diunduh dari : http://sci.rutgers.edu.
6. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana
penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2007.h.19-23.
7. National spinal cord injury statistical centre. Spinal cord injury: Facts and figures at a
glance. http://www.nscisc.uab.edu/PublicDocuments/fact_figures_docs/Facts%20213.pdf.
8. Consortium Member Organizations and Steering Committee Representatives. Early Acute
Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical Practice Guideline for Health-
Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord Medicine. Vol. 31. 2006.
9. Dumont, Randall J; Okonkwo, David O; Verma, Subodh ; Hurlbert, C John ; Boulos, Paul T;
Dumont, Aaron S;. (2001). Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic Mechanisms.
Clinical Neuropharmacology , 24 (5), 254-264.
10. Manley , Geoffrey T; Rosenthal, Guy; Papanastasio, Alexande M; Pitts, Larry H;. (2006).
Spinal Cord Injury. In G. M. Doherty, Current Surgical Diagnosis & Treatment (Vol. 37).
California: McGraw-Hill.

Anda mungkin juga menyukai