Anda di halaman 1dari 29

Referat

TATALAKSANA CEDERA TULANG


BELAKANG

Disusun oleh:
GILANG WIDRATAMA PUTRA
1807101030011

Pembimbing:
Dr. dr. Zafrullah Khany Jasa, Sp.An,. KNA

BAGIAN/ SMF ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah
Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas presentasi kasus yang berjudul
“Tatalaksana Cedera Tulang Belakang”. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan
ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penyusunan presentasi kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Bedah RSUD dr.
Zainoel Abidin Fakultas Kedokteran Unsyiah Banda Aceh.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. dr.
Zafrullah Khany Jasa, Sp.An,. KNA yang telah bersedia meluangkan waktu
membimbing penulis dalam penulisan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada para teman sejawat dan rekan-rekan karena telah memberikan motivasi
dan dorongan untuk dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya bidang
kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan
ilmu kedokteran pada umumnya dan ilmu penyakit dalam pada khususnya.Semoga
Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.

Banda Aceh, November 2019

Penulis

i
BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu fraktur yang membahayakan adalah fraktur vertebra torakalumbal.


Fraktur torakalumbal melibatkan korpus vertebra, lamina dan prosesus artikularis,
serta prosesus spinosus dan prosesus tranversus. Fraktur pada area torakalumbal
biasanya disebabkan oleh cedera pada posisi fleksi seperti jatuh dari ketinggian dan
mendarat menggunakan bagian tubuh seperti kepala, bokong, dan bahu. Hal tersebut
merupakan cedera berbahaya karena akan mengenai saraf spinal dan dapat
menyebabkan kelumpuhan.(1,2)

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat
total maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan,
sudut, dan tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, serta jaringan lunak disekitar
tulang yang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
lengkap. Fraktur yang biasa terjadi di area tulang belakang adalah fraktur kompresi
dimana terjadi kompresi (penekanan) di area T-Y tulang belakang yang disebabkan
karena adanya tenaga yang kuat dari tulang yang berada di atasnya sehingga
menekan susunan tulang dibawah dan menimbulkan fraktur di area yang tertekan.(1)

Tindakan pembedahan yang dilakukakan pada pasien dengan fraktur kompresi


di area tulang spinal adalah tindakan dekomrpesi dan stabilisasi. Tindakan
dekompresi biasanya dilakukan pada fraktur yang mengenai segmen TL dan L.
Tujuan utama dari tindakan dekompresi adalah membebaskan kanal saraf spinal dari
tekanan yang menyebabkan penurunan fungsi neurologi. Tindakan dekompresi
meliputi pengambilan tulang yang mengalami fraktur kompresi. Patahan tulang
tersebut diangkat agar tidak menekan saraf spinal yang berada di area tulang yang
fraktur. Tindakan lainnya adalah stabilisasi yang memiliki tujuan untuk
mengembalikan stabilitas tulang dan mengoreksi deformitas yang terjadi akibat
fraktur. Stabilisasi dilakukan dengan menggunakan plate dan screw sebagai sarana
untuk menstabilkan tulang. Stabilisasi dapat dilakukan pada bagian anterior dan

1
posterior tulang belakang sesuai dengan area fraktur kompresi yang akan distabilisasi.
(2)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Vertebrae dan Medula Spinalis


a. Anatomi Vertebrae
Vertebrae atau tulang belakang adalah susunan terintegrasi dari jaringan tulang,
ligamen, otot, saraf dan pembuluh darah yang terbentang mulai dari dasar tengkorak
(basis cranii), leher, dada, pinggang bawah hingga panggul dan tulang ekor. Tulang-
tulang tersebut berjajar dari dasar tengkorak sampai ke tulang ekor dengan lubang di
tengah-tengah setiap ruas tulag (canalis vertebralis). Saraf dan pembuluh darah
berjalan melewati canalis vertebralis dan terlindungi oleh tulang belakang. (3,4)
Antara setiap ruas tulang belakang terdapat sebuah jaringan lunak bernama
diskus intervertebralis, yang berfungsi sebagai peredam kejut (shock absorption) dan
menjaga fleksibilitas gerakan tulang belakang. Di setiap ruas tulang belakang terdapat
2 lubang ditepi kanan dan kiri belakang tulang bernama foramen intervertebralis,
yaitu sebuah lubang tempat berjalannya akar saraf dari canalis vertebralis menuju
keseluruh tubuh.(3-5)

2
Gambar 1: Vertebrae
Tulang belakang terdiri dari 4 segmen, yaitu segmen servical (terdiri dari 7
ruas), segmen thorakal (terdiri dari 12 ruas), segmen lumbal (terdiri dari 5 ruas), serta
segmen sakrococygeus (terdiri dari 9 ruas). Diskus intervertebralis terletak mulai dari
ruas tulang servikal ke-2 (C2) hingga ruas tulang sakrum pertama (S1).(4)
1) Vertebra Servikal
Vertebra servikal terdiri dari tujuh tulang atau ruas tulang leher, ruas
tulang leher adalah yang paling kecil. Ruas tulang leher pada umumnya
mempunyai ciri badanya kecil dan persegi panjang, lebih panjang ke samping
daripada ke depan atau ke belakang. Lengkungnya besar, prosesus spinosus
atau taju duri ujungnya dua atau bivida. Prosesus transverses atau taju sayap
berlubang-lubang karena banyak foramina untuk lewatnya arteri vertebralis.(4)
2) Vertebra Torakalis
Vertebra torakalis terdiri dari dua belas tulang atau nama lainnya ruas
tulang punggung lebih besar dari pada yang servikal dan disebelah bawah
menjadi lebih besar. Ciri khasnya adalah badannya berbentuk lebar lonjong
dengan faset atau lekukan kecil disetiap sisi untuk menyambung iga,
lengkungnya agak kecil, taju duri panjang dan mengarah kebawah, sedangkan

3
taju sayap yang membantu mendukung iga adalah tebal dan kuat serta memuat
faset persendian untuk iga.(4)
3) Vertebra Lumbalis
Vetebra lumbalis terdiri dari lima ruas tulang atau nama lainnya adalah
ruas tulang pinggang, luas tulang pinggang adalah yang terbesar. Taju durinya
lebar dan berbentuk seperti kapak kecil. Taju sayapnya panjang dan langsing.
Ruas kelima membentuk sendi dan sakrum pada sendi lumbo sacral. (4)
4) Vertebra Sakralis
Vertebra sakralis terdiri dari lima ruas tulang atau nama lainnya adalah
tulang kelangkang. Tulang kelangkang berbentuk segi tiga dan terletak pada
bagian bawah kolumna vertebralis, terjepit diantara kedua tulang inominata.
Dasar dari sakrum terletak di atas dan bersendi dengan vertebra lumbalis
kelima membentuk sendi intervertebral yang khas. Tapi anterior dari basis
sakrum membentuk proontorium sakralis. Kanalis sakralis terletak dibawah
kanalis vertebra. Dinding kanalis sakralis berlubang-lubang untuk dilalui saraf
sakral. Taju duri dapat dilihat pada pandangan posterior dan sakrum. (4)
b. Anatomi Medula Spinalis
Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk silindris
memanjang dan menempati ⅔ atas canalis vertebra yaitu dari batas superior atlas (C1)
sampai batas atas vertebra lumbalis kedua (L2), kemudian medulla spinalis akan
berlanjut menjadi medulla oblongata. Pada waktu bayi lahir, panjang medulla spinalis
setinggi ± Lumbal ketiga (L3). Medulla spinalis dibungkus oleh duramater,
arachnoid, dan piamater. Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan
komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks.(4,5)

4
Gambar 2: Medula Spinalis
Medulla spinalis berawal dari ujung bawah medulla oblongata di foramen
magnum. Pada dewasa biasanya berakhir disekitar tulang L1 berakhir menjadi konus
medularis. Selanjutnya akan berlanjut menjadi kauda equina yang lebih tahan
terhadap cedera. Dari berbagai traktus di medulla spinalis, ada 3 traktus yang telah
dipelajari secara klinis, yaitu traktus kortikospinalis, traktus sphinotalamikus, dan
kolumna posterior. Setiap pasang traktus dapat cedera pada satu sisi atau kedua
sisinya.(4,5)
Traktus kortikospinalis, yang terletak dibagian posterolateral medulla spinalis,
mengatur kekuatan motorik tubuh ipsilateral dan diperiksa dengan melihat kontraksi
otot volunter atau melihat respon involunter dengan rangsangan nyeri. Traktus
spinotalamikus, yang terletak di anterolateral medula spinalis, membawa sensasi
nyeri dan suhu dari sisi kontralateral tubuh.
Diameter bilateral medulla spinalis bila selalu lebih panjang dibandingkan
diameter ventrodorsal. Hal ini terutama terdapat pada segmen medulla spinalis yang

5
melayani ekstremitas atas dan bawah. Pelebaran ke arah bilateral ini disebut
intumesens, yang terdapat pada segmen C4-T1 dan segmen L2-S3 (intumesens
lumbosakral). Pada permukaan medulla spinalis dapat dijumpai fisura mediana
ventalis, dan empat buah sulkus, yaitu sulkus medianus dorsalis, sulkus dorsolateralis,
sulkus intermediodorsalis dan sulkus ventrolateralis.(4,5)

3.2 Definisi Fraktur


Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur adalah terpisahnya kontinuitas tulang normal yang terjadi karena
tekanan pada tulang yang berlebihan. Fraktur lumbal adalah fraktur yang terjadi
pada daerah tulang belakang bagian bawah. Bentuk cidera ini mengenai ligament,
fraktur vertebra, kerusakan pembuluh darah, dan mengakibatkan iskemia pada
medulla spinalis. (1,6)

Cedera tulang belakang atau yang dikenal juga sebagai spinal cord injury (SCI)
adalah cedera pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang
menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis,
dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian. Kerusakan medula spinalis
dapat dibagi menjadi tingkat inkomplit dengan gejala-gejala yang tidak berefek pada
pasien sampai tingkat komplit dimana pasien mengalami kegagalan fungsi total. (7)

3.3 Epidemiologi Trauma Medula spinalis


Insiden cedera medula spinalis menunjukan terdapat 40-80 kasus baru per 1 juta
populasi setiap tahunnya. Ini berarti bahwa setiap tahun sekitar 250.000-500.000
orang mengalami cedera medula spinalis. Penelitian terakhir menunjukakn 90%
kejadian cedera medula spinalis disebabkan oleh adanya trauma seperti kecelakaan
lalu lintas (50%), jatuh (25%), olahraga (10%), atau kecelakaan kerja. Angka
mortalitas didapatkan sekitar 48% dalam 24 jam pertama. Sekitar 80% meninggal
ditempat kejadian oleh karena vertebra servikalis memiliki resiko trauma paling
besar, dengan level tersering C5 diikuti C4, C6, kemudian T12, L1, dan T10.
Kerusakan medula spinalis tersering disebabkan oleh penyebab traumatik,

6
disebabkan dislokasi, rotasi, axial loading, dan hiperfleksi atau hiperekstensi medula
spinalis atau kauda ekuina.
Diperkirakan sebanyak 183.000 – 230.000 kasus cedera medula spinalis
traumatika setiap tahunnya di Amerika Serikat, dan 80% nya terjadi pada laki-laki.
Sebanyak 55% cedera medula spinalis traumatika terjadi pada kisaran usia 16 – 30
tahun. Cedera medula spinalis masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas
utama pada kelompok masyarakat modern dengan makin berkembangnya sistem
moda transportasi dan perbaikan kualitas layanan kesehatan. Khusus di Daerah
Istimewa Yogyakarta, kejadian bencana alam berupa gempa bumi pada tahun 2006
menyebabkan peningkatan pasien dengan kasus ceder medula spinalis.(8,9)

3.4 Etiologi Fraktur dan Trauma Medula Spinalis


1) Etiologi Fraktur
 Menurut Arif muttaqin (2005, hal. 98) penyebab dari fraktur adalah :
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kecelakaan olahraga
3. Kecelakaan industri
4. Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan
5. Luka tusuk, luka tembak
6. Trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance)
7. Kejatuhan benda keras
 Factor patologis : fraktur yang terjadi pada lansia yang mengalami
osteoporosis, tumor tulang, infeksi, atau penyakit lain.
 Factor stress : fraktur jenis ini dapat terjadi pada tulang normal akibat
stress tingkat rendah yang berkepanjangan atau berulang. Fraktur
stress ini biasanya menyertai peningkatan yang cepat – tingkat latihan
atlet, atau permulaan aktivitas fisik yang baru. Karena kekuatan otot
meningkat lebih cepat daripada kekuatan tulang individu dapat merasa
mampu melakukan aktivitas melebihi sebelumnya, walaupun tulang
mungkin tidak mampu menunjang peningkatan tekanan. (6,10,11)

7
2) Etiologi Cedera Medula Spinalis
Cedera medulla spinalis di bedakan atas 2 jenis, yaitu:
a) Cedera medulla spinalis traumatik :
Terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula
spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik
sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik
dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American Board of Physical
Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord Injury
Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan
kontusio dari kolum vertebra.
b) Cedera medulla spinalis non-traumatik
Terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor
mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi
pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor
penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron,
myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit
neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan
kongenital dan perkembangan.

3.5 Klasifikasi Cedera Medula Spinalis


1) Berdasarkan Level
Level neurologis adalah segmen paling kaudal yang masih memiliki fungsi
sensorik dan motorik normal di kedua sisi tubuh. Bila istilah level sensorik yang
digunakan berarti dipakai untuk menyebutkan bagian paling kaudal dari medulla
spinalis dengan fungsi sensorik normal. Level motorik juga didefenisikan hampir
sama, sebagai fungsi motorikpada otot penanda yang paling rendah dengan
kekuatan paling tidak 3/5. Pada cedera komplit, bila ditemukan kelemahan fungsi
sensorik dan/ atau motorik dibawah segmen normal terendah hal ini disebut

8
dengan zone preservasi parsial. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penentuan
level trauma pada kedua sisi sangat penting.
Perbedaan yang jelas terjadi antara lesi diatas dan dibawah T1. Cedera pada
segmen 8 medulla spinalis servikal akan menyebabkan tetraplegi, dan lesi dibawah
T1 menyebabkan paraplegi. Level trauma pada tulang adalah pada tulang vertebra
yang mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kerusakan pada medulla
spinalis. Level neurologis trauma dapat ditentukan pertama kali dengan
pemeriksaan fisik. Seringkali ditemukan perbedaan antara level tulang dan
neurologis karena nervus spinalis memasuki kanalis spinalis melalui foramen dan
naik atau turun didalam kanalis spinalis sebelum benar-benar masuk ke medulla
spinalis.(12)
Secara lebih detail, National Spinal Cord Injury Association dan The
Christopher & Dana Reeve Foundation mengkategorikan trauma medulla spinalis ,
menjadi :
a) High Cervical Nerves ( C1-C4)
Trauma medulla spinalis pada level ini menyebabkan tetraplegia. Pasien
mungkin tidak mampu untuk bernapas dan batuk dengan kemampuan sendiri
juga kehilangan kemampuan mengontrol defekasi, berkemih. Terkadang
kemampuan untuk berbicara juga terganggua atau menurun.
b) Low Cervical Nerves (C5 – C8)
 Trauma C5
Pasien mampu menggerakkan tangan meraih siku, tetapi terjadi
paraplegia. Mampu berbicara menggunakan diafragma, tetapi kemampuan
bernapas melemah.
 Trauma C6
Saraf ini berfungsi untuk pergerakan ekstensi siku, jadi trauma pada level
ini menyebabkan gangguan pada kemampuan ekstensi siku, dan terjadi
paraplegia. Mampu berbicara menggunakan diafragma, tetapi kemampuan
bernapas melemah.
 Trauma C7

9
Sebagian besar pasien mampu menggerakkan bahu, dengan gangguan
ekstensi siku dan ekstensi jari – jari tangan. Tidak terdapat gangguan
kontrol atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau
defekasi tetapi pasien dapat mengatur fungsi tersebut sesuai dengan
keinginan dengan bantuan alat.
 Trauma C8
Pasien masih mampu menggenggam dan melepaskan objek yang
digenggam. Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol
terhadap fungsi berkemih atau defekasi tetapi pasien dapat mengatur
fungsi tersebut sesuai dengan keinginan dengan bantuan alat.
c) Thoracic Nerves
 Thoracic Nerves (T1-T5)
Saraf pada level ini mempengaruhi otot dada atas, otot abdominal, dan
otot punggung atas. Trauma medulla spinalis level ini jarang
menyebabkan gangguan ekstremitas atas.
 Thoracic Nerves (T6 – T12)
Saraf pada level ini, mempengaruhi otot perut dan punggung tergantung
dari level trauma medulla spinalis. Biasanya trauma menyebabkan
keluhana paraplegia dengan kekuatan ekstremitas atas dalam kondisi
normal. Pasien masih mampu mengendalikan kemampuan dan
keseimbangan tubuh untuk duduk dan mampu batuk produktif selama otot
abdominal masih intak. Biasanya tidak terdapat gangguan berkemih
ataupun defekasi.
d) Lumbar Nerves (L1-L5)
Secara umum trauma ini menyebabkan gangguan fungsi panggul dan kaki.
Tidak terdapat kontrol atau tedapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih
atau defekasi tetapi pasien dapat mengatur fungsi tersebut sesuai dengan
keinginan dengan bantuan alat. Tergantung kekuatan kaki, pasien mungkin
memerlukan alat bantu untuk berjalan.
e) Sacral Nerves ( S1-S5)

10
Trauma menyebabkan kehilangan beberapa fungsi dari panggul dan kaki.
Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi
berkemih atau defekasi tetapi pasien dapat mengatur fungsi tersebut sesuai
dengan keinginan dengan bantuan alat. Pasien mampu berjalan cukup baik.
(12,13)

2) Klasifikasi Cedera Medula Spinalis Berdasarkan Kriteria Frankle: (13)


a) Frankle A : Kehilangan fungsi motorik dan sensorik lengkap (Complete loss)
b) Frankle B : Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh.
c) Frankle C : fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak berguna (dapat
menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan).
d) Frankle D : Fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak dengan
normal ”gait”).
e) Frankle E : Tidak terdapat gangguan neurologik.

3) Klasifikasi Menurut American Spinal Injury Association (13)


a) Grade A : Hilangnya seluruh fungsi morotik dan sensorik dibawah tingkat lesi
b) Grade B : Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sebagian fungsi sensorik di
bawah tingkat lesi.
c) Grade C : Fungsi motorik intak tetapi dengan kekuatan di bawah 3.
d) Grade D : Fungsi motorik intak dengan kekuatan motorik di atas atau sama
dengan 3.
e) Grade E : Fungsi motorik dan sensorik normal.

11
Gambar 3 : Kriteria Standard Neurological Classification of Spinal Cord Injury
(ASIA)(13)
3.6 Patofisiologi Cedera Medula Spinalis
Trauma pada tulang belakang dapat menimbulkan fraktur atau dislokasi. Tetapi
sewaktu-waktu tidak tampak ada kelainan tulang belakang yang jelas, namun
penderita menunjukkan kelainan neurologic yang nyata. Fraktur tulang belakang bisa
berupa fraktur corpus vertebra (misanya fraktur kompresi korpus vertebra), fraktur
pada lamina, pedikel, dan pada prosesus transverses. Bersama-sama dengan patahnya

12
tulang belakang, ligamentum longitudinalis posterior dan duramater dapat ikut sobek,
bahkan kepingan tulang belakang ini dapat menusuk canalis vertebralis dan
menimbulkan sobekan atau laserasi pada medulla spinalis. Kepingan tulang ini dapat
pula terselip di antara duramater dan kolumna vertebralis dan menimbulkan
penekanan atau kompresi pada medulla spinalis. Arteri dan vena yang melayani
medulla spinalis dapat ikut terputus, misalnya arteria radikularis magna (adam
kiwicz) yang jalannya bersama-sama dengan radiks saraf spinalis thorakal bagian
bawah atau lumbal bagian atas. Keadaan ini akan menimbulkan deficit
sensorimotorik pada dermatom dan miotom yang bersangkutan.(12)
Keadaan tersebut dapat pula menimbulkan hematoma ekstrameduler traumatic
yang menekan pada medulla spinalis. Fraktur tulang belakang dapat terjadi di semua
tempat di sepanjang kolumna vertebra tetapi lebih sering terjadi di daerah servikal
bagian bawah dan di daerah lumbal bagian atas. Pada dislokasi akan tampak bahwa
kanalis vertebralis di daerah dislokasi tersebut menjadi sempit, keadaan ini akan
menimbulkan penekanan atau kompressi pada medulla spinalis atau radiks saraf
spinalis. (12)
Mekanisme rusaknya Medula spinalis dan radiks spinal akibat trauma :
1) Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan
hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan
kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi
oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma
hiperekstensi.
2) Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada
jaringan, hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis
terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.
3) Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan
gangguan aliran darah kapiler dan vena.
4) Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau arteri spinalis anterior dan
posterior.
3.7 Menifestasi klinis

13
Lesi trauma medulla spinalis akibat trauma pada tulang belakang dapat
berupa : (13)
1) Komosio Medulla Spinalis
Yaitu kelainan pada medulla spinalis yang bersifat sementara akibat trauma
yang sembuh seteah beberapa jam atau beberapa hari tanpa meninggalkan gejala
sisa. Kerusakan reversible yang mendasari komosio medulla spinalis, beruapa
edema, perdarahan perivaskuler kecil-kecil dan infark di sekitar pembuluh darah.
Pada inspeksi makroskopis, medulla spinalis tampak utuh. Lesi reversibel ini
biasanya disebabkan trauma tidak langsung.
2) Kontusio Medulla Spinalis
Lesi ini sering dijumpai sebagai akibat fraktur atau dislokasi tulang
belakang atau dapat juga akibat hiperekstensi, hiperflexi atau rotasi tulang
belakang tanpa adanya kelainan tulang belakang pada pemeriksaan foto rontgen.
Pada keadaan ini terdapat perdarahan interstitial dalam substansi medulla spinalis
dengan tanpa tampak ada terputusnya kontinuitas medulla spinalis dan piameter.
Kerusakan yang timbul bersifat permanen dan meninggalkan gejala-gejala sisa.
Pungsi lumbal dalam stadium permulaan dapat memperlihatkan likuor yang
bercampur sedikit dengan darah dengan test quekenstedt yang positif. Kontusio
medulla spinalis merupakan manifestasi terbanyak dari trauma medulla spinalis.
3) Laserasio Medulla Spinalis
Pada keadaan ini medulla spinalis menjadi robek. Ini biasanya disebabkan
trauma langsung misalnya kena peluru, tertusuk benda tajam atau fragmen tulang.
Pada pungsu lumbal ditemukan likuor yang bercampur banyak darah.
4) Kompresi Medulla Spinalis
Keadaan ini dapat disebabkan oleh dislokasi tulang belakang, hematom
ekstramedullar traumatic dan dapat pula oleh karena medulla spinalis itu tertekan
kepingan tulang belakang yang patah dan terselip diantara duramater dan kolumna
vertebralis. Pada pungsi lumbal ditemukan sindrom froin, yaitu likuor yang
berwarna xantokrom, quekenstedt yang negative atau memperlihatkan stop parsial,
kadar protein dalam likuor yang meningkat dengan jumlah sel /mm yang normal.

14
Gejala-gejala trauma medulla spinalis bergantung pada komplit atau tidak
komplitnya lesi dan juga tingginya lesi tersebut. Lesi yang mengenai separuh segmen
kiri atau kanan medulla spinalis akan menimbulkan sindrom brown sequard.
Hematomieli menimbulkan gejala-gejala siringiomieli, sedang lesi yang komplit akan
menimbulkan paralisis atau anastesi total dibawah tempat lesi. Bila lesi komplit itu
berada di daerah torakalis, kita akan mendapatkan paraplegia dengan gangguan
sensibilitas di bawah lesi. Sehingga bila lesi komplit itu berada di daerah servikal
maka akan timbul tetraplegia dengan anastesi dibawah lesi. Di samping itu aka nada
pula gangguan vegetative. Lesi di daerah servikal bagian atas yaitu C1-C4 merupakan
keadaan yang sangat berbahaya karena timbulnya paralisis pada nervus frenikus. Ini
akan menyebabkan lumpuhnya otot-otot diafragma sehingga dapat menimbulkan
kematian dengan cepat. Lesi di daerah di daerah C8-T1 dapat disertai adanya gejala
sindrom horner. Lesi di daerah konus medularis, disamping konus, sering kali pula
kauda equine ikut terkena sehingga di samping gejala-gejala paraplegia/paraparesis,
gangguan sensibilitas dan vegetative, aka nada juga tanda laseque yang positif. Lesi
dapat juga hanya mengenai kauda equine sehingga menimbulkan gejala gangguan
motorik dan sensorik yang bersifat perifer dengan tanda laseque yang positif. (13)

3.8 Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan utama pada fraktur adalah nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau
kronis tergantung dari lamanya serangan. Hal yang paling penting ditanyakan
adalah bagaimana kronologis terjadinya fraktur tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan dapat diketahui luka
kecelakaan yang lain. (1)
Pada anamnesis riwayat penyakit dahulu ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget yang
menyebabkan fraktue patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu,

15
penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya osteomielitis akut
maupun kronis dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang. (1)
Pada pasien juga perlu ditanyakan apakah memiliki riwayat fraktur
sebelumnya, osteoporosis, hipertensi, riwayat merokok, sosio-ekonomi, riwayat
penggunaan obat sebelumnya, riwayat alergi dan riwayat penyakit lainnya. (1)

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada fraktur lumbal yaitu pemeriksaan
reflek, pemeriksaan fungsi perkemihan dan pencernaan, pemeriksaan motorik, dan
pemeriksaan regional. (1,6)
a) Pemeriksaan refleks
 Pemeriksaan refleks dalam: refleks achiles meghilang da refleks patella
biasanya melemah karena kelemahan pada otot hamstring.
 Pemeriksaan refleks patologis: pada fase akut refleks fisiologis akan
menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali
didahului dengan refleks patologis.
 Refleks bulbocavernosus didapatkan positif menandakan adanya syok
spinal.
b) Pemeriksaan sistem perkemihan dan pencernaan
 Bila terjadi lesi pada kauda ekuina (kandung kemih dikontrol oleh pusat
S2-S4) atau dibawah pusat spinal kandung kemih akan menyebabkan
interupsi hubungan antara kandung kemih dan pusat spinal. Pengosongan
kandung kemih secara periodik tergantung dari refleks lokal dinding
kandung kemih. Pada keadaan ini, pengosongan dilakukan oleh aksi otot-
otot detrusor dan harus diawali dengan kompresi secara manual pada
dinding perut atau dengan merenggangkan perut. Pengosongan kandung
kemih yang bersifat otomatis seperti ini disebut kandung kemih otonom.
Trauma pada kauda ekuina, pasien mengalami hilangnya refleks kandung
kemih yang bersifat sementara dan pasien mungkin mengalami
inkontinensia urin.

16
 Pada keadaan spinal syok, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus
paralitik, di mana secara klinis didapatkan hilangnya bowel sound,
kembung, dan defekasi tidak ada. Keadaan ini merupakan gejala awal dari
tahap syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu.
c) Pemeriksaan Motorik
Paralisis motorik dan paralisis alat-alat dalam tergantung pada ketinggian
terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi
segmental dari saraf yang terkena.
d) Pemeriksaan lokalis
 Look : adanya perubahan warna kulit, abrasi, memar pada punggung.
Pada pasien yang sudah lama dirawat di rumah sering didapatkan adanya
dekubitus pada bokong. Adanya hambatan untuk beraktivitas kerena
kelemahan, kehilangan sensori, dan mudah lelah menyebabkan masalah
pada pola aktivitas dan istirahat.
 Feel : prosesus spinosus dipalpasi untuk mengkaji adanya suatu celah
yang dapat diraba akibat robeknya ligamentum posterior menandakan
cedera yang tidak stabil. Sering didapatkan adanya nyeri tekan pada area
lesi.
 Move : gerakan tulang punggung atau spina tidak boleh dikaji. Disfungsi
motor paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan pada seluruh
ekstremitas bawah. Kekuatan otot pada penilaian dengan menggunakan
derajat kekuatan otot didapatkan nilai 0 atau paralisis total.
c. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap seperti haemoglobin, leukosit, tombosit,


kreatinin dan profil koagulasi.

b) Foto Rongent

17
Pemeriksaan posisi AP, lateral dan oblique dilakukan untuk menilai hal-
hal berikut:
 Diameter anteroposterior kanal spinal
 Kontur, bentuk dan kesejajaran vertebra
 Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal
 Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus
 Ketinggian ruangan diskus intervertebralis
c) CT- Scan dan MRI
CT-Scan dan MRI bermanfaat untuk menunjukan tingkat penyumbatan
kanalis spinalis. Pada fraktur dislokasi cedera paling sering terjadi pada
sumbungan thorakolumbal dan biasanya disertai dengan kerusakan pada
bagian terbawah korda atau kauda ekuina. Pasien harus diperiksa dengan
sangat hati-hati agar tidak membahayakan korda atau akar saraf lebih jauh. (1,6)

3.9 Komplikasi
1. Infeksi
2. Syok hipovolemik atau traumatic
3. Sindrom emboli lemak
4. Sindrom kompartemen
5. Koagulasi intravaskuler diseminata (KID)

3.10 Penatalaksanaan Cedera Medula Spinalis


Penatalaksanaan pada fraktur vertebra lumbal diawali dengan mengatasi nyeri
dan stabilisasi untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi. Semua tergantung
dengan tipe fraktur. Beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan, antara lain
sebagai berikut: (1,14,15,16)

1. Reduksi fraktur (seting tulang)

18
Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran dan rotasi anatomis.
Reduksi tertutup, traksi atau reduksi dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur.
 Reduksi tertutup : dilakukan dengan mengembalikan fragmen ke
posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi
dan traksi manual.
 Reduksi terbuka
Dengan pendekaan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi
interna dalam bentuk pen, kawat, sekrup, plat, paku atau batang logam.
2. Traksi
Alat yang digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
Beratnya fraksi disesuaikan dengan spasme otot yang teraji.
3. Imobilisasi fraktur
Reduksi fraktur, fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipatahkan dalam
posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadinya penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna. Metode fiksasi ekstera
meliputi pembalutan, gibs, bidai, frakasi, pen, teknik gips atau fiksator
eksterna.
4. Dekompresi Anterior dan Posterior
a) Dekompresi Anterior
Pendekatan anterior semula diperkenalkan Hodgson dalam menindak
spondilitis tuberkulosa. Keuntungan utamanya adalah memungkinkan
tindakan langsung terhadap lesi kompresif anterior. Ini terutama penting
pada infeksi dan tumor metastatik karena lebih dari 90% lesi terjadi
anterior. Sebagai tambahan, ia tidak bernilai dalam menindak fraktura
burst, terutama setelah 72 jam. Kerugiannya adalah ketidakmampuannya
memberikan fiksasi yang stabil.
Berbagai alat fiksasi anterior telah dikembangkan dengan kerugian
utama kerusakan vaskuler. Alat Dunn, karena tebal, berkaitan dengan
cedera vaskuler segera maupun tunda, hingga tak digunakan lagi. Alat
Kostuik- Harrington digunakan untuk beberapa tahun tanpa adanya

19
komplikasi intra maupun pasca bedah. Metil metakrilat yang diperkuat
batang logam digunakan untuk kelainan metastatik, dapat memberikan
stabilisasi segera serta memperbaiki kualitas hidup pasien dengan
harapan hidup pendek.
Alat fiksasi internal anterior serta metil metakrilat
dikontraindikasikan pada infeksi. Fiksasi internal juga tidak untuk
penghubung lumbosakral karena harus menempatkan instrumen didekat
pembuluh iliak (juga tidak untuk penghubung servikotorasik). Bila
elemen posteriornya intak pada fraktura burst pada penghubung
torakolumbar serta pada fraktura torasik atau tumor, tandur penyokong
krista iliak trikortikal sederhana disertai penyangga eksternal pasca
bedah cukup memadai. Bila ada kerusakan elemen posterior, tandur
penyangga dapat ditempatkan dianterior, diikuti instrumentasi posterior
tahap kedua dan tindakan fusi. Hal yang serupa, tindakan anterior
dapat dikerjakan sebagai tahap kedua bila usaha mereduksi melalui
ligamentoaksis gagal pada fraktura burst akut.
b) Dekompresi Posterior
 Instrumentasi Distraksi Harrington
Semula digunakan Harrington untuk fraktura torakolumbar tahun
1958. Sudah banyak dilaporkan untuk mengatasi fraktura tulang
belakang, dengan atau tanpa pengawatan sublaminer. Ideal untuk
fraktura burst dimana kolom media mengalami kompresi.
Dilakukan bila ligamen longitudinal anterior intak. Bila ligamen
longitudinal anterior rusak atau tegang dan disrupsi, instrumentasi
distraksi akan menyebabkan gangguan neurologis karena distraksi
berlebihan. Bila dilakukan dini, 48-72 jam, pada fraktura burst,
deformitas dapat dikurangi dan terbukti bahwa kerusakan kanal dapat
disingkirkan lewat ligamentoaksis. Namun dilaporkan adanya
perburukan neurologis setelah instrumentasi distraksi dengan
gagalnya reduksi fragmen tulang didalam kanal. Sebagai tambahan,

20
penting untuk menilai adekuasi reduksi dengan mielografi
intraoperatif atau ultrasonografi atau mielogram pasca bedah dan
CT scan. Bila reduksi tidak lengkap, tindakan dekompresif anterior
tahap kedua diindikasikan.
Lebih disukai untuk melakukan dekompresi melalui pendekatan
posterolateral melalui pedikel mendahului tindakan reduksi terhadap
deformitas serta tindakan stabilisasi. Ini pendekatan yang aman,
karena kanal bebas dari fragmen tulang hingga risiko atas timbulnya
gangguan neurologis dapat dikurangi. Hal ini harus dikerjakan bila
operasi ditunda lebih dari 48-72 jam. Dawson memperlihatkan pada
penelitian biomekanik terhadap kadaver dengan fraktura burst,
memasang kait pada tiga tingkat diatas segmen fraktura dan dua
tingkat dibawah, cenderung memaksimalkan stabilitas. Timbul
masalah pada tulang belakang lumbar bawah karena instrumentasi
dibawah L3 berakibat peninggian insidens nyeri pinggang bawah.
Sebagai tambahan, pemakaian instrumentasi distraksi pada tulang
belakang lumbar bawah dapat menimbulkan kifosis lumbar iatrogenik
atau sindroma 'flat back', yang sangat mengganggu. Untuk alasan
ini, instrumentasi distraksi tidak dilakukan dibawah L 4.
Instrumentasi terhadap L3 atau L4, harus diusahakan untuk
mempertahankan kurva sagital. Untuk mendapatkannya, pinggang
harus hiperekstensi untuk membentu mempertahankan lordosis
lumbar, proses spinosus segmen bawah dikawati bersama untuk
mencegah distraksi pada tingkat ini, dan batang dengan ujung
persegi digunakan agar kontur bidang sagital dapat dipertahankan.

 Instrumentasi Luque
Memberikan stabilitas yang lebih baik terhadap stres
translasional dan rotasional. Namun ia lebih rawan dalam menahan
fleksi-ekstensi dan tidak memberikan perlindungan aksial.

21
Karenanya khas digunakan untuk merawat fraktura-dislokasi dimana
kolom media rusak karena shear. Mungkin juga digunakan pada
pasien dengan tumor metastatik yang mengenai beberapa tingkat
disebelah depan dimana tehnik reseksi anterior serta penanduran
tidak mungkin dilakukan. Lamanya operasi lebih panjang,
perdarahan lebih banyak, risiko gangguan neurologis lebih besar saat
melalukan kawat sublaminer dan saat menyelesaikan pengawatan.
Kawat sublaminer juga tidak dilalukan pada daerah dimana
kanalnya sempit.
Instrumentasi umumnya meluas dari tiga tingkat diatas dan dua
atau tiga tingkat dibawah tingkat yang cedera. Bila diperlukan
reduksi, sering diselesaikan seperti dengan Harrington.

 Instrumentasi Cotrel-Dubouset (CD)


Instrumentasi CD sudah sangat jauh menggantikan sistem distraksi dan
kompresi Harrington. Instrumentasi dapat dibatasi dua tingkat diatas
dan dua dibawah tingkat yang cedera. Kerugian cara ini adalah bahwa ia
terkadang lebih sulit dan rumit untuk dilakukan disamping lebih mahal.
Lamanya operasi sedikit lebih lama, perdarahan sedikit lebih banyak.
Karena tebal, sering menonjol jelas pada orang kurus. Ia mengisi lebih
banyak daerah yang akan dimanfaatkan untuk daerah tandur tulang.
Keuntungannya fleksibilitasnya lebih serta stabilitas yang dihasilkan akan
lebih baik. Cara ini digunakan untuk memberikan kekuatan kompresif
posterior untuk fraktura Chance serta cedera distraksi fleksi. Sangat
efektif untuk menetralkan kekuatan shear pada cedera translasional
seperti fraktura-dislokasi slice dan rotasional. Juga digunakan pada psien
dengan cedera kelainan metastatik lebih dari satu tingkat untuk mana
dekompresi anterior tidak memungkinkan karena terkenanya banyak
segmen. Bagaimanapun pada pasien osteoporotik berat, tetap

22
digunakan instrumentasi segmental Luque, karena akan memberikan
sanggaan yang lebih besar.

5. Stabilisasi
Stabilisasi memiliki tujuan untuk mengembalikan stabilitas tulang dan
mengoreksi deformitas yang terjadi akibat fraktur. Stabilisasi dilakukan
dengan menggunakan plate dan screw sebagai sarana untuk menstabilkan
tulang. Stabilisasi dapat dilakukan pada bagian anterior dan posterior tulang
spinal. Tindakan terakhir adalah pemberian fusion yaitu semacam alat pada
susunan tulang yang bertujuan untuk menjaga kesejajaran dan stabilitas tulang
yang fraktur hingga tulang baru muncul. Selain pemasangan fusion,
penggunaan bone graft atau graft replacement harus digunakan untuk
merangsang pertumbuhan tulang yang patah.
6. Vertebroplasty dan Baloon Kyphoplasty
Pada pasien dengan nyeri hebat dan penurunan status fungsional, pilihan
terapi yang bisa dipilih yaitu dengan menginjeksi semen untuk menstabilkan
fraktur, yaitu vertebroplasty perkutaneus. Tindakan ini merupakan salah satu
tindakan invasif minimal yang dilakukan dengan bantuan radiologi. Pada
vertebroplasty perkutaneus, semen disuntikkan ke dalam vertebrae yang retak
untuk memperkuat dan menstabilkan corpus vertebrae, sehingga nyeri yang
dirasakan dapat berkurang dengan cepat.
Pada baloon kyphoplasty, satu atau dua balon digembungkan ke dalam
vertebrae sehingga dapat dapat mengembalikan ketinggian dan mengurani
deformitas yang terjadi. Balon dikembangkan dan semen disuntikkan ke
dalam rongga yang dibuat untuk menstabilkan vertebrae yang rusak.

7. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi

23
Dilakukan dengan berbagai pendekatan perubahan posisi, strategi, peredaan
nyeri, pemberian analgetik, latihan atau aktivitas sehari-hari yang diusahakan
untuk memperbaiki fungsi.
8. Pengelolaan penderita dengan paralisis meliputi hal-hal berikut:
 Pengelolaan kandung kemih dengan pemberian cairan yang cukup,
kateterisasi, dan evakuasi kandung kemih dalam 2 minggu.
 Pengelolaan saluran pencernaan dengan pemberian laxantia setiap 2
hari
 Nutrisi dengan diet tinggi protein secara intravena
 Cegah dekubitus
 Fisioterapi untuk mencegah kontraktur
9. Penanganan cedera dengan gangguan neurologis
Fraktur tulang belakang dengan gangguan neurologis komplit, tindakan
pembedahan terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan
supaya dapat segera diimobilisasikan. Pembedaha dikerjakan jika keadaan
umum penderita sudah baik lebih kurang 24-48 jam. Tindakan pembedahan
setelah 6-8 jam akan memperburuk defisit neurologis karena dalam 24 jam
pertama pengangaruh hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil.
Prognosa pasca bedah tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula
spinalis.

24
BAB III
KESIMPULAN

Cedera tulang belakang atau yang dikenal juga sebagai spinal cord injury (SCI)
adalah cedera pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang
menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis,
dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian. Penyebab tersering terjadinya
cedera medula spinalis disebabkan oleh adanya trauma seperti kecelakaan lalu lintas
(50%), jatuh (25%), olahraga (10%), atau kecelakaan kerja. Penatalaksanaan pada
cedera tulang belakang dimulai dari awal tempat kejadian hingga sampai di rumah
sakit yang diawali dengan mengatasi nyeri dan stabilisasi untuk mencegah kerusakan
yang lebih parah, mencegah kecacatan, serta menurunkan angka mortalitas.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Noor, Z. (2016). Buku Ajar : Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba


Medika.
2. Nuffield Orthopaedic Centre. (2007). Information and exercises following back
surgery. Oxford : NHS.
3. Snell, R. (2010). Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
4. Sloane, E. (2003). Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
5. Sherwood, L (2014). Fisiologi manusia : dari sel ke sistem.alih bahasa : Brahm U
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. Price, S. A. (2006). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Ed. 4.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
7. The International Spinal Cord Society. International perspectives on
spinal cord injury (ISCOS). Geneva: WHO; 2013.
8. Go BK, DeVivo MJ, Richards JS. The epidemiology of spinal cord injury. In:
Stover SL, DeLisa JA, Whiteneck GG, eds. Spinal Cord Injury: Clinical
Outcomes From the Model Systems. Gaithersburg, Md: Aspen; 1995:21–55
9. Surkin J, Smith M, Penman A, et al. Spinal cord injury incidence in Mississippi:
a capture-recapture approach. J Trauma. 1998;45:502–504. 4. National Spinal

26
Cord Injury Database. Spinal Cord Injury, Facts and Figures. 2001. Birmingham,
AL: National Spinal Cord Injury Statistical Center (NSCISC).
10. Greenberg, MS. (2001). Spine Injuries in Handbook of Neurosurgery 5 th ed.
Georg Thieme Verlag Stuttgart.
11. Evans R. (1996). Neurology and trauma.. Philadelphia: W.B. Saunders
Company. pp.276-77
12. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Disease of Spinal Cord in Principles of
Neurology, 7 ed. McGraw-Hill, New York, 2001.
13. Schreiber D. Spinal Cord Inuries, eMedicine Journal, April, 2002
14. Hanna, J., Letizia, M (2007). Kyphoplasty : a treatment for osteoporotic vertebral
compression fracture. Orthopaedic Nursing. vol. 26 number 6. Proquest
Literature.
15. Hanafiah, H (2007). Penatalaksanaan trauma spinal. Majalah Kedokteran
Nusantara. Vol 40 no. 2. Medan : Universitas Sumatera Utara.
16. Hurlbert RJ. (2006). Strategies of medical intervention in the management of
acute spinal cord injury.The Journal Of Spinal Cord Medicine. 3(1); 16-21.

27

Anda mungkin juga menyukai