Anda di halaman 1dari 23

SPONDILITIS TB

BAB II
SPONDILITIS TUBERKULOSIS
A.   Anatomi Fisiologi  
 Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah sebuah struktur lentur yang
dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang ( Evelyn C.
Pearce, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis ). Di bagian dalam tulang terdapat rongga yang
memanjang ke bawah yang berisi sumsum tulang belakang yang merupakan jaringan saraf,
bagian dari susunan saraf pusat. Saraf tersebut mengatur gerakan otot dan organ lain, seperti
usus, jantung dan lainnya.
Susunan anatomi atau struktur tulang belakang terdiri dari :
a.    Tujuh vertebra servikal atau ruas tulang bagian leher yang membentuk daerah tengkuk.
b.    Dua belas vertebra torakalis atau ruas tulang punggung yang membentuk bagian
belakang torax atau dada.
c.    Lima vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang yang membentuk daerah lumbal atau
pinggang.
d.   Lima vertebra sakralis atau ruas tulang kelangkang yang membentuk sakrum atau tulang
kelangkang.
e.    Empat vertebra kosigeus atau ruas tulang tungging atau ekor yang membentuk tulang ekor.

Lengkung ruas tulang bagian leher melengkung ke depan, lengkung ruas tulang dada ke arah
belakang, daerah pinggang melengkung ke depan dan pelvis atau kelangkang lengkungannya
kearah belakang.
Vertebra servikalis atau ruas tulang leher adalah yang paling kecil dibandingkan dengan ruas
tulang lainnya, ciri dari ruas tulang punggung adalah semakin ke bawah semakin membesar
dilihat dari segi ukurannya yang memuat persendian untuk tulang iga. Ruas tulang pinggang
adalah yang terbesar dibandingkan dengan badan vertebra lainnya. Sakrum atau tulang
kelangkang terletak di bagian bawah tulang belakang dengan bentuk segitiga, dan ruas tulang
ekor terdiri dari 4 atau 5 vertebra yang bergabung menjadi satu dan letaknya berada di bagian
paling bawah dari tulang belakang atau spine. Ruas-ruas tulang belakang diikat oleh serabut yang
dinamakan dengan ligamen.
Secara  anatomis  setiap  ruas  tulang  belakang  akan  terdiri  dari  dua bagian :
1.  Bagian depan
Bagian ini struktur utamanya adalah badan tulang belakang (corpus vertebrae). Bagian ini fungsi 
utamanya  adalah  untuk  menyangga  berat  badan.  Di  antara  dua  korpus  vertebra yang 
berdekatan  dihubungkan  oleh  struktur  yang  disebut  diskus  intervertebralis  yang bentuknya 
seperti  cakram,  konsistensinya  kenyal  dan  berfungsi  sebagai  peredam  kejut (shock
absorber). 
2.  Bagian belakang
Bagian belakang dari ruas tulang belakang ini fungsinya untuk :
         Memungkinkan  terjadinya  pergerakan  tulang  belakang  itu  sendiri.  Hal  ini dimungkinkan
oleh karena di bagian ini terdapat dua persendian.
         Fungsi  perlindungan,  oleh  karena  bagian  ini  bentuknya  seperti  cincin  dari  tulang yang 
amat  kuat  dimana  di  dalam  lubang  di  tengahnya  terletak  sumsum  tulang belakang (medulla
spinalis/spinal cord).
         Fungsi  stabilisasi.  Karena  fungsi  tulang  belakang  untuk  manusia  adalah  sangat penting, 
maka  fungsi  stabilisasi  ini  juga  penting  sekali.  Fungsi  ini  didapat  oleh kuatnya  persendian 
di  bagian  belakang  yang  diperkuat  oleh  adanya  ligamen  dan otot-otot  yang  sangat  kuat. 
Kedua  struktur  terakhir  ini  menghubungkan  tulang belakang  baik  dari  ruas  ke  ruas  yang 
berdekatan  maupun  sepanjang  tulang belakang mulai dari servikal sampai kogsigeal.

Vaskularisasi kolumna vertebralis


 Arteria spinalis yang mengantar darah kepada vertebra, adalah cabang dari :
         Arteria vertebralis dan arteria servikalis ascendens di leher
         Arteria interkostalis posterior di daerah thorakal
         Arteria subkostalis dan arteria lumbalis di abdomen
         Arteria iliolumbalis dan arteria sakralis lateralis
Arteria spinalis  memasuki  foramen  intervertebralis dan  bercabang  menjadi cabang akhir
dan cabang  radikular.  Beberapa  dari  cabang-cabang  ini  beranastomosis  dengan  arteri-arteri
medulla spinalis.
Vena  spinalis  membentuk  pleksus  vena  yang  meluas  sepanjang  kolumna  vertebralis, 
baik  di sebelah dalam (pleksus venosi vertebralis profundus) dan juga di sebelah luar (pleksus
venosi vertebralis  superficialis)  kanalis  vertebralis.  Vena  basivertebralis  terletak  dalam 
korpus vertebra.

B.   Definisi Spondilitis Tuberculosis  
 Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberkulosis ekstra pulmonal yang bersifat kronis
berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosa
yang mengenai tulang vertebra sehingga dapat menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan
paraplegia (Tandiyo, 2010).
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan
peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh mikobakterium tuberkulosa.
Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus ditempat lain dalam
tubuh. Percivall Pott (1793) yang ertama kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan,
bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi,
sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott. (pengantar ilmu bedah ortopedi)
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan granulomatosa
yg bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Dikenal pula dengan nama Pott’s
disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis. Spondilitis ini paling sering
ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada vertebra C1 – 2. Spondilitis
tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.
Spondilitis TB disebut juga penyakit Pott bila disertai paraplegi atau defisit neurologis.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra Th 8-L3 dan paling jarang pada vertebra
C2. Spondilitis TB biasanya mengenai korpus vertebra, sehingga jarang menyerang arkus
vertebra (Mansjoer, 2000).
Dari beberapa definisi spondilitis tuberjulosis dapat disimpulkan bahwa Spondilitis
tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi granulomatosis di  sebabkan  oleh 
kuman  spesifik  yaitu  mycubacterium  tuberculosa  yang  mengenai  tulang vertebra.

C.   Klasifikasi  Spondilitis Tuberculosis  
 Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis:
1.                 Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah ligamentum
longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat
menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
2.                 Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai
tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini
dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat
terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio
torakal.
3.                 Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan dibawahnya.
Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari
sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang
ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena
adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
4.                 Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat diidentifikasikan.
Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan
granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di
pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi
intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui
tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
Menurut kumar membagi perjalanan penyakit ada lima stadium yaitu :
1.                 Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri
akan berduplikasi membentuk oloni yang berlangsung selama 6 – 8 minggu. Kedaan ini
umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak – anak umumnya pada daerah sentral
vertebrata.
2.                 Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjai destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang
ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 – 6 minggu.
3.                 Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masih, kolaps vertebra yang terbentuk masa kaseosa serta
pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi 23 bulan setelah stadium destruksi
awal. Selanjutnya dapat berebentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat
ini terbentuk tulang baji terutama disebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus
vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4.                 Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh
komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih
kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :
Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau setelah
berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
Derajat II : terdapa kelemahan pada anggota gerak bawah tai penderita masih dapat melakukan
pekerjaannya.
Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktifitas
penderita serta hipestesia atau anestesia.
Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris ,disertai gangguan defekasi dan miksi.
Tuberkulosis paraplegi atau pott paraplegia dapat terjadi suara dini atau lambat tergantung dari
keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses
paravetbral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi
jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif atau sembuh terjadi oleh karena
tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang
progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tubrkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan
dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vesikuler vertebra. Derajat I – III
disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.
5.                 Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 35 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau
gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.

D.   Etiologi   Spondilitis Tuberculosis  

Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling
sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium  tuberculosis, Tuberkulosis tulang belakang
merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh
mikrobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh
mikobakterium tuberkulosis atipik. Walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat
juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab
paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous
mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi
penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-
fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional.
Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat
dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan
karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan
spesies lain.
Lokalisai spondilitis tuberkulosis terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal
atas, sehingga di duga aadanya infeksi sekunder dari suatu teberkulosis traktus urinaris, yang
penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena peravertebralis.

E.   Patofisiologi  Spondilitis Tuberculosis  
  Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada saat
terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia.
Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan
tulang. Enam hingga delapan minggu kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat
mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna.
Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling sering
menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra.
Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus vertebra.
Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan
korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra
sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang
dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang
bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya (Alfarisi, 2011)
            Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis
serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan
mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan
berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah (Alfarisi, 2011).
            Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan
menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami
protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses
dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau kavum pleura. Abses pada
vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah
paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat
menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat
menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada
bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat
mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea (Qittun, 2008)
            Abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah vertebra torakalis atas dan tengah,
tetapi yang paling sering pada vertebra torakalis XII. Bila dipisahkan antara yang menderita
paraplegia dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis X sedang yang
non paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk
yang mempengaruhi medulla spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal
VIII sampai lumbal I sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan paraplegia.
Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan
kanalis vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakalis
X, sedang kanalis vertebralis di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis I, kanalis
vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi
dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa paraplegia lebih sering terjadi
pada lesi setinggi vertebra torakal. Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi
melalui kombinasi 4 faktor yaitu (Mclain et al., 2004):
1.         Penekanan oleh abses dingin
2.         Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis
3.         Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya
4.         Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak.

F.    Manifestasi Klinis  Spondilitis Tuberculosis  


Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena proses
destruksi lanjut berupa:
a.     Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis yang
menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
b.    Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas defisit
sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal (Tachdjian, 2005).
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis
pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu
sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak-
anak sering disertai dengan menangis pada malam hari. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler
yang mengelilingi dada atau perut, kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin
memberat, spastisitas, klonus, hiper-refleksia dan refleks babinski bilateral (Hidalgo, 2006).
Pada stadium awal belum ditemukan deformitas tulang vertebra dan belum terdapat nyeri
ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan
spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang lebih lanjut.
Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus, termasuk akibat penekanan medulla spinalis
yang menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa
ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah paravertebra, dan
tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah disebutkan di atas (Craig, 2009).
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri dan kekakuan di daerah belakang
kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Harus
diingat pada mulanya penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul
terutama gangguan motorik. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai kecuali bila
bagian posterior tulang juga terlibat (Wheeles, 2011).

G.  Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan Pasien Spondilitis Tuberculosis  


Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera untuk menghentikan
progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi paraplegia atau defisit neurologis.
Prinsip pengobatan Pott’s paraplegia yaitu:
1.      Pemberian obat antituberkulosis.
2.      Dekompresi medula spinalis.
3.      Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.
4.      Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) (Graham, 2007).
Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari :
Terapi konservatif
a.                Tirah baring (bed rest).
b.      Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra.
c.                Memperbaiki keadaan umum penderita.
d.      Pengobatan antituberkulosa.
Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap Intensif
Pada tahap intensif ( awal ) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk
mencegah terjadinya  kekebalan terhadap semua OATterutama rifampisin . Bila pengobatan
tahap intensif tersebut diberikan  secara tepat  biasanya penderita menular menjadi tidak menular
dalamkurun waktu 2 minggu sebagian besar penderita TBC BTA positif  menjadi BTA negatif
( konversi ) pada akhir pengobatan intensif.
‘[
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit , namum dalam jangka waktu
yang lebih lama.
PADUAN OAT DI INDONESIA
WHO dan IUATLD ( Internatioal Union Against Tuberculosis and lung Disease )
merekomendasikan paduan OAT Standar 
Yaitu :
Kategori  1 :
         2HRZE / 4 H3R3
         2HRZE / 4 HR
         2HrZE / 6 HE
Kategori  2:
         2HRZES / HRZE /5H3R3E3
         2HRZES / HRZE / 5HRE
Kategori 3:
         2HRZ / 4H3R3
         2 HRZ / 4 HR
         2HRZ / 6 HE

Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT


Kategori 1 :  2 HRZE / 4H3R3
Kategori  2 :  2HRZES / HRZE / 5H3R3E3
Kategori 3 : 2 HRZ / 4H3R3
Disamping ketiga kategori ini disediakan paduan obat sisipan ( HRZE )

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk memudahkam
pemberian obat dan  menjamin kelangsungan ( kontinuitas ) pengobatan sampai selesai satu (1)
paket untuk satu ( 1) penderita dalam satu (1)  masa pengobatan.
a)  Kategori -1 ( 2HRZE / 4H3R3 )
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid ( H), Rifampisin ( R ), Pirasinamid ( Z) dan Etambutol ( E )
Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZE ). Klemudian diteruskan
dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid ( H) dan  Rifampisin ( R ) diberikan tiga kali
dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
         Penderita baru TBC Paru BTA Positif
         Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang “ sakit berat “ dan
         Penderita TBC Ekstra Paru berat.
Tabel : Panduan OAT Kategori 1
Dosis Per hari / Kali
Jumlah
Lamanya Kaplet
Tahap Tablet Tablet Tablet hari
Pengobata Rifampisi
pengobatan Isoniasid Pirasinamid Etambutol /kali
n n
@300mg @ 500 mg @ 250 mg menelan
@ 450 mg
obat’
Tahap
Intensi 2 Bulan 1 1 3 3 60
osis harian)
Tahap
lanjutan
2 Bulan 2 1 - - 54
( Dosis 3 X
seminggu )
Keterangan : dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 kg
Satu paket kombipak kategori 1 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZE untuk
tahap intensif dan 54 blister  HRH untuk tahap lanjutan masing-masing dikemas dalam dos kecil
dan disatukan dalam 1 dos besar.

b)  Kategori –2 ( 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3 )


Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid ( H) ,
Rifampisin ( R), Pirasinamid ( Z ),dan Etambutol ( E) setiap hari . Setelah itu diteruskan dengan
tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan  tiga kali dalam seminggu. Perlu
diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan  obat.
Obat ini diberikan untuk :
         Penderita kambuh ( relaps )
         Penderita Gagal ( failure )
         Penderita dengan Pengobatan setelah lalai ( after default )

Tabel 2 : Paduan OAT Kategori 2


Etambutol
Jumlah
Tahap Tablet Kaplet Tablet Strepto- Hari /
Lamanya Tablet Tablet
Isoniasid Rifampisin Pirasinamid misin Kali
Pengobatan @250 @500
@300mg @ 450 mg @ 500 mg Injeksi Menelan
mg mg
Obat

Tahap 2 bulan 1 1 3 3 - 60
Intensif
0,75 gr
(dosis
harian) 1 bulan 1 1 3 3 - 30
Tahap
Lanjutan
5 bulan 2 1 - 1 2 - 66
(dosis 3 x
seminggu)
Keterangan : dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 kg
           
Satu paket kombipak kategori 2 berisi 156 blister harian yang terdiri dari 90 blister HRZE untuk
tahap intensif dan 66 blister  HRE untuk tahap lanjutan masing-masing dikemas dalam dos kecil
dan disatukan dalam 1 dos besar disamping itu  disediakan 30 vial streptomicin @ 1,5 gr dan
pelengkap pengobatan ( 60 spuit dan aquabidest ) untuk tahap intensif.
 c)  Kategori –3 ( 2HRZ / 4H3R3 )
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZ ) diteruskan dengan
tahap lanjutan terdiri dari  HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu ( 4H3R3 ).
Obat ini diberikan untuk :
 Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan
 Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe ( limfadenitis ) pleuritis eksudativa
unilateral TBC kulit , tbc  tulang ( kecuali tulang belakang ) sendi dan kelenjar aderenal.
Tabel 3 : Paduan OAT Kategori 3
Tablet Kaplet Tablet Jumlah
Tahap Lamanya
Isoniadid Rifampisin Pirasinamid hari
Pengobatan Pengobatan
@ 300mg @ 450 mg @ 500 mg menelan
obat
Tahap intensif
2 bulan 1 1 3 60
(dosis harian)
Tahap Lanjutan
(dosis 3x 4 bulan 2 1 - 54
seminggu )
Keterangan : dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 kg
           
Satu paket kombipak kategori 3 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZ untuk
tahap intensif dan 54 bliter  HR untuk tahap lanjutan masing masing di kemas dalam dos kecil
dan disatukan dalam 1 dos besar

d)  OAT SISIPAN ( HRZE )


Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau
penderita BTA positif  pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA
positif diberikan obat sisipan ( HRZE ) setiap hari selama 1 bulan
Tabel 4 : Paduan OAT Sisipan
Tablet Jumlah
Tablet Kaplet Tablet
Tahap Lamanya Etambuto hari/kali
Isponiasid Rifampisin Pirasnandi
pengobatan Pengobatan l @ 250 menelan
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg
mg obat
Tahap
Intensif
1 bulan 1 1 3 3 30
(dosis
harian)
Keterangan dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33 – 50 kg
Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil

Terapi Operatif
1.                 Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin
berat. Biasanya 3 minggu sebelum operasi, penderita diberikan obat tuberkulostatik.
2.                 Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka, debrideman,
dan bone graft.
3.                 Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT, atau MRI ditemukan adanya
penekanan pada medula spinalis (Ombregt, 2005).
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita spondilitis
tuberkulosa tetapi operasi masih memegang peranan penting dalam beberapa hal seperti apabila
terdapat cold absces (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.
a.                      Cold abscess
Cold absces yang kecil tidak memerlukan operasi karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan
pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.
b.                 Lesi tuberkulosa
1)      Debrideman fokal.
2)      Kosto-transveresektomi.
3)      Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
c.                  Kifosis
1)      Pengobatan dengan kemoterapi.
2)      Laminektomi.
3)      Kosto-transveresektomi.
4)      Operasi radikal.
5)      Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang.
Operasi kifosis dilakukan apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis bertendensi untuk bertambah
berat, terutama pada anak. Tindakan operatif berupa fusi posterior atau operasi radikal

H.  Pemeriksaan Diagnostik Spondilitis Tuberculosis  
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
1.  Pemeriksaan Laboratorium
•   Peningkatan laju endap darah (LED) dan mungkin disertai leukositosis, tetapi hal ini tidak dapat
digunakan untuk uji tapis. Newanda (2009) melaporkan 144 anak dengan spondilitis tuberkulosis
didapatkan 33% anak dengan laju endap darah yang normal.
•   Uji Mantoux positif
•   Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan
mikobakterium
•   Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
•   Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
•   Pungsi lumbal., harus dilakukan dengan hati-hati, karena jarum dapat menembus masuk abses
dingin yang merambat ke daerah lumbal. Akan didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah,
test Queckenstedt menunjukkan adanya blokade sehingga menimbulkan sindrom Froin yaitu
kadar protein likuor serebrospinalis amat tinggi hingga likuor dapat secara spontan membeku.
•   Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein) pada 66 % dari 35 pasien spondilitis tuberkulosis yang
berhubungan dengan pembentukan abses.
•   Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
•   Pemeriksaan dengan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) dilaporkan memiliki
sensitivitas 60-80 % , tetapi pemeriksaan ini menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan
alergi.Pada populasi dengan endemis tuberkulosis,titer antibodi cenderung tinggi sehingga sulit
mendeteksi kasus tuberkulosis aktif.
•   Identifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) masih terus dikembangkan. Prosedur
tersebut meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkan nucleotida tertentu pada
fragmen DNA, amplifikasi menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai DNA utuh
yang dapat diidentifikasi dengan gel. Pada pemeriksaan mikroskopik dengan pulasan Ziehl
Nielsen membutuhkan 10 basil permililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 10 basil
permililiter spesimen. Kesulitan lain dalam menerapkan pemeriksaan bakteriologik adalah
lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi
baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya.Saat ini mulai dipergunakan system BATEC (Becton
Dickinson Diagnostic Instrument System). Dengan system ini identifikasi dapat dilakukan dalam
7-10 hari.Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya
harga alat dan juga karena system ini memakai zat radioaktif maka harus dipikirkan bagaimana
membuang sisa-sisa radioaktifnya (Newanda, 2009).
2.  Pemeriksaan Radiologis
a.    Foto Thoracolumbal
Pemeriksaan radiologis merupakan suatu pencitraan yang ideal harus dapat memberikan keterangan
mengenai:
•       Jumlah vertebra yang terlibat, sudut kifosis yang terjadi
•  Seberapa jauh destruksi tulang telah terjadi, apakah hanya terbatas pada kolumna anterior atau sudah
mencapai kolumna posterior
• Ada tidaknya keterlibatan jaringan lunak, termasuk pembentukan abses dan sekuesterisasi diskus
interverbralis
•       Ada tidaknya kompresi medula spinalis dan tingkat keseriusannya
  Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru. Hal in sangat diperlukan untuk
menyingkirkan diagnosa banding penyakit yang lain
      Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai
penyempitan discus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat
ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal
berbentuk sarang burung (bird’s net), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal
abses terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga
timbul kifosis (Newanda, 2009).
  Dekalsifikasi suatu korpus vertebra (pada tomogram dari korpus tersebut mungkin terdapat suatu
kaverne dalam korpus tersebut) oleh karena itu maka mudah sekali pada tempat tersebut suatu fraktur
patologis. Dengan demikian terjadi suatu fraktur kompresi, sehingga bagian depan dari korpus vertebra
itu adalah menjadi lebih tipis daripada bagian belakangnya (korpus vertebra jadi berbentuk baji) dan
tampaklah Suatu Gibbus pada tulang belakang itu (Craig, 2009) 

      “Dekplate” korpus vertebra itu akan tampak kabur (tidak tajam) dan tidak teratur.
      Diskus Intervertebrale akan tampak menyempit.
      Abses dingin.
Foto Roentgen, abses dingin itu akan tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk kumparan
(“Spindle”). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan paling jarang pada
vertebra C1-2 (Newanda, 2009)

b.      Pemeriksaaan CT-scan
        CT scan menggambarkan luasnya infeksi secara lebih akurat dan mendeteksi lesi lebih
dini dibandingkan foto polos. Pada suatu penelitian, didapatkan 25% penderita
memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT scan dan MRI. CT scan secara efektif dapat
melihat kalsifikasi pada abses jaringan lunak. Selain itu CT scan dapat digunakan untuk
memandu prosedur biopsi (Newanda, 2009).
        Lesi terlihat osteolitik iregular, bermula pada korpus dan kemudian menyebar sehingga
vertebra kolaps dan terjadi herniasi diskus ke dalam vertebra yang hancur. CT scan dapat
menggambarkan keterlibatan elemen posterior bilateral akan berakibat instabilitas tulang
belakang sehingga tindakan operatif merupakan indikasi dan prosedur anterior strut grafting
mungkin tidak adekuat sehingga dibutuhkan instrumentasi posterior (Newanda, 2009).
o  CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi irreguler, skelerosis,
kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.
o Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak. Terlihat destruksi litik pada vertebra (panah hitam)
dengan abses soft-tissue (panah putih) (Newanda, 2009).

c.       Pemeriksaan MRI
        Kelebihan MRI adalah kemampuannya dalam proyeksi multiplanar dan dalam spesifitas
terutama jaringan lunak yang dapat ditampilkan lebih baik sehingga dapat mendeteksi lesi
lebih awal dan lebih menyeluruh (Newanda, 2009).
        Pada MRI akan ditemui penurunan intensitas sinyal fokus infeksi pada gambaran T1-
weighted dan peningkatan sinyal yang heterogen pada gambaran T2-weighted. Pada
pemberian kontras infeksi tuberkulosis memperlihatkan penyangatan inhomogen pada
infiltrasi sumsum tulang dengan tepi lesi menyangat. Abses tuberkulosis pada pemberian
kontras akan memperlihatkan penyangatan perifer dengan nekrosis sentral. Keterlibatan
diskus invertebralis sebagian besar akan menampilkan gambran klasik diskitis berupa
peningkatan singal pada gambaran T2-weighted, penurunan sinyal pada gambaran T1-
weighted dan menyangat setelah pemberian kontras (Newanda, 2009).
        MRI menggambarkan perluasan infeksi paling baik dan dapat memperlihatkan
penyebaran granuloma tuberkulosis di bawah ligamentum longitudinal anterior dan posterior.
MRI dapat membedakan jaringan patologis yang mengakibatkan penekanan pada struktur
neurologis. Hal ini penting karena intervensi bedah dibutuhkan pada defisit neurologis yang
disebabkan penekanan oleh deformitas tulang berupa kifosis atau oleh konstriksi akibat
fibrosis di sekeliling kanalis neuralis ((Newanda, 2009)).
        Mehta mengajukan klasifikasi tuberkulosis vertebra torakal berdasarkan ekstensi lesi
yang terlihat pada MRI untuk perencanaan strategi pembedahan.
• Mengevaluasi infeksi diskus intervertebrata dan osteomielitis tulang belakang.
• Menunjukkan adanya penekanan saraf.
Dilaporkan 25 % dari pasien mereka memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT-Scan
dan MRI yang lebih luas dibandingkan dengan yang terlihat dengan foto polos.CT-Scan efektif
mendeteksi kalsifikasi pada abses jaringan lunak . Selain itu CT-Scan dapat digunakan untuk
memandu prosedur biopsy (Newanda, 2009).

3.  Bakteriologis
Kultur kuman tuberkulosis merupakan baku emas dalam diagnosis. Tantangan yang dihadapi
saat ini adalah bagaimana mengonfirmasi diagnosis klinis dan radiologis secara
mikrobakteriologis. Masalah terletak pada bagaimana mendapatkan spesimen dengan jumlah
basil yang adekuat. Pemeriksaan mikroskopis dengan pulasan Ziehl-Nielsen membutuhkan 104
basil per mililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 103 basil per mililiter spesimen.
Kesulitan lain dalam menerapakan pemeriksaan bakteriologis adalah lamanya waktu yang
diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4
minggu sesudahnya. Saat ini mulai dipergunakan sistem BACTEC (Becton Dickinson
Diagnostic Intrument System). Dengan sistem ini identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari.
Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan
juga karena sistem ini memakai zat radioaktif. Untuk itu dipikirkan bagaimana membuang sisa-
sisa radioaktifnya (Newanda, 2009).
Pada negara di mana terdapat prevalensi tuberkulosis yang tinggi atau tidak terdapat sarana
medis yang mencukupi, penderita dengan gambaran klinis dan radiologis yang sugestif
spondilitis tuberkulosis tidak perlu dilakukan biopsi untuk memastikan diagnosis dan memulai
pengobatan (Newanda, 2009).

4.  Histopatologis
     Infeksi tuberkulosis pada jaringan akan menginduksi reaksi radang granulomatosis dan nekrosis
yang cukup karakteristik sehingga dapat membantu penegakan diagnosis. Ditemukannya
tuberkel yang dibentuk oleh sel epiteloid, giant cell dan limfosit disertai nekrosis pengkejuan di
sentral memberikan nilai diagnostik paling tinggi dibandingkan temuan histopatologis lainnnya.
Gambaran histopatologis berupa tuberkel saja harus dihubungkan dengan penemuan klinis dan
radiologis (Newanda, 2009).

I.      Komplikasi  Spondilitis Tuberculosis  
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
1.             Pott’s paraplegia
      Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun sequester atau
invasi jaringan granulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif
dengan cara dekompresi medula spinalis dan saraf.
      Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau
perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.
2.      Ruptur abses paravertebra
      Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema
tuberkulosis.
      Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang
merupakan cold absces (Lindsay, 2008).
3.                    Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus
intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung karena
keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis –
prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada
tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena
invasi dura dan corda spinalis 
J.     Asuhan Keperawatan Pada Pasien Spondilitis Tuberculosis  
1.      Data Fokus
Data Subjektif Data Objektif
1.      Klien mengatakan nyeri hebat pada 1.      Kesadaran klien composmentis
tulang belakang yang dirasa sejak 3 2.      Klien tampak sakit berat
bulan terakhir 3.      Klien tampak kurus
2.      Klien mengatakan awalnya keluhan 4.      TB: 170 cm, BB: 49 kg
tidak dihiraukannya, tetapi lama 5.      TTV:
kelamaan dirasa bertambah parah Suhu: 380C
3.      Klien mengatakan nyeri bertambah RR: 28x/m
pada saat istirahat dan berkurang bila Nadi: 100x/m
olahraga TD: 120/80 mmHg
4.      Klien mengatakan keluhan disertai 6.      Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
lelah, demam, nafsu makan kurang,       Kepala: dbn
batuk, kedua tungkai bawah terasa       Thorax: simetris, deformitas (-), luka (-)
lemah, dan badan makin membungkuk       Cor: dbn
5.      Klien mengatakan 2 minggu yang lalu       Pulmo: vbs, ronchi (+), wheezing (-)
klien merasa sesak, batuk makin berat,       Abdomen: dbn
dan keluhan lain bertambah parah.       Ekstremitas: tungkai bawah paralisis
6.      Klien mengatakan bahwa klien bekerja       Pada inspeksi terlihat adanya kifosis pada
sebagai kuli bangunan vertebra
7.      Klien mengatakan tinggal di tempat       Pada palpasi dirasakan tulang belakang keropos
yang padat dan kumuh serta ventilasi (loss bone)
yang kurang 7.      Pada pemeriksaan lab ditemukan:
8.      Klien mengatakan pernah berobat       Hb: 12 gr/dl
kepuskesmas, tetapi hanya diberikan       Leukosit: 17.000 ul
obat analgesik dan antipiretik, dan       LED: meningkat (110mm/jam)
keluhannya dirasa hanya membaik       Mantoux test: positif
sementara 8.      Pada pemeriksaan diagnostik ditemukan:
      Foto thorax: corakan paru bertambah
      Pemeriksaan rontgen: diskus menyempit, lose
bone pada tulang anterior, adanya gibus dan
deformitas

Data Tambahan
Data Subjektif Data Objektif
1.      Kemungkinan klien 1.      Kemungkinan ditemukan klien tampak batuk tidak efektif
mengatakan kesulitan 2.      Kemungkinan ditemukan pasien terlihat gelisah
mengeluarkan dahak 3.      Kemungkinan ditemukan sputum berwarna hijau kekuningan
2.      Kemungkinan klien 4.      Kemungkinan ditemukan langkah kaki klien terlihat pendek
mengatakan sering keluar karena mencoba menghindari nyeri
keringat pada malam hari5.      Kemungkinan ditemukan klien menggerakkan kakinya bila
3.      Kemungkinan klien berbalik, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya.
mengatakan adanya 6.      Kemungkinan ditemukan klien menekuk lututnya saat
riwayat batuk lama (lebih mengambil sesuatu dari lantai dan tetap mempertahankan
dari 3 minggu) berdahak panggulnya tetap kaku
disertai nyeri dada. 7.      Kemungkinan ditemukan makanan klien hanya setengah porsi
yang dihabiskan
8.      Pada pemeriksaan lab kemungkinan ditemukan:
      Mikrobiologi (dari jaringan tulang/abses): Bakteri tahan asam
(+)
9.      Pada pemeriksaan diagnostik kemungkinan ditemukan:
      X-Ray: destruksi korpus vertebra bagian anterior, peningkatan
wedging anterior
      CT scan : 
-  lesi lytic  irregular, kolaps disk dan kerusakan tulang
-  abses jaringan lunak
      MRI
-  infeksi disk  space, menunjukkan perluasan penyakit ke dalam 
jaringan lunak dan penyebaran debris tuberkulosis di bawah
ligamen longitudinalis anterior dan posterior
-  kompresi neural

2.      Analisa data
No Data Masalah Etiologi
1. DS: Hambatan Nyeri,
1.      Klien mengatakan nyeri hebat pada tulang mobilitas paraplegia,
belakang yang dirasa sejak 3 bulan terakhir fisik paralisis
2.      Klien mengatakan awalnya keluhan tidak ekstremitas
dihiraukannya, tetapi lama kelamaan dirasa bawah,
bertambah parah
kelemahan fisik
3.      Klien mengatakan nyeri bertambah pada saat
istirahat dan berkurang bila olahraga
(anggota gerak)
4.      Klien mengatakan keluhan disertai lelah,
demam, nafsu makan kurang, batuk, kedua
tungkai bawah terasa lemah, dan badan makin
membungkuk
DO:
1.      Klien tampak sakit berat
2.      TB: 170 cm, BB: 49 kg
3.      TTV:
Suhu: 380C
RR: 28x/m
Nadi: 100x/m
TD: 120/80 mmHg
4.      Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
   Ekstremitas: tungkai bawah paralisis
   Pada inspeksi terlihat adanya kifosis pada
vertebra
   Pada palpasi dirasakan tulang belakang
keropos (loss bone)
5.      Pada pemeriksaan diagnostik ditemukan:
   Pemeriksaan rontgen: diskus menyempit, lose
bone pada tulang anterior, adanya gibus dan
deformitas
Data tambahan:
6.      Kemungkinan ditemukan langkah kaki klien
terlihat pendek karena mencoba menghindari
nyeri
7.      Kemungkinan ditemukan klien
menggerakkan kakinya bila berbalik, bukan
mengayunkan dari sendi panggulnya.
8.      Kemungkinan ditemukan klien menekuk
lututnya saat mengambil sesuatu dari lantai
dan tetap mempertahankan panggulnya tetap
kaku
Data tambahan:
9.      Pada pemeriksaan diagnostik kemungkinan
ditemukan:
      X-Ray: destruksi korpus vertebra bagian
anterior, peningkatan wedging anterior
      CT scan : 
-  lesi lytic  irregular, kolaps disk dan kerusakan
tulang
-  abses jaringan lunak
2. DS: Bersihan Peningkatan
1.      Klien mengatakan keluhan disertai lelah, jalan nafas produksi sekret
demam, nafsu makan kurang, batuk, kedua tidak dan
tungkai bawah terasa lemah, dan badan makin efektif ketidakmampuan
membungkuk batuk efektif
2.      Klien mengatakan 2 minggu yang lalu klien
merasa sesak, batuk makin berat, dan keluhan
lain bertambah parah.
3.      Klien mengatakan tinggal di tempat yang
padat dan kumuh serta ventilasi yang kurang
Data tambahan:
4.      Kemungkinan klien mengatakan kesulitan
mengeluarkan dahak
5.      Kemungkinan klien mengatakan adanya
riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu)
berdahak disertai nyeri dada.
6.      Kemungkinan ditemukan makanan klien
hanya setengah porsi yang dihabiskan
DO:
1.      Klien tampak sakit berat
2.      TTV:
Suhu: 380C
RR: 28x/m
Nadi: 100x/m
TD: 120/80 mmHg
3.      Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
   Pulmo: vbs, ronchi (+), wheezing (-)
4.      Pada pemeriksaan lab kemungkinan
ditemukan:
   Mikrobiologi (dari jaringan tulang/abses):
Bakteri tahan asam (+)
5.      Pada pemeriksaan diagnostik ditemukan:
   Foto thorax: corakan paru bertambah
   Pemeriksaan rontgen: diskus menyempit, lose
bone pada tulang anterior, adanya gibus dan
deformitas
Data tambahan
6.      Kemungkinan ditemukan klien tampak batuk
tidak efektif
7.      Kemungkinan ditemukan pasien terlihat
gelisah
8.      Kemungkinan ditemukan sputum berwarna
hijau kekuningan
9.      Pada pemeriksaan lab kemungkinan
ditemukan:
   Mikrobiologi (dari jaringan tulang/abses):
Bakteri tahan asam (+)
3.  DS: Resiko peningkatan
1.      Klien mengatakan awalnya keluhan tidak penyebaran pemajanan
dihiraukannya, tetapi lama kelamaan dirasa infeksi lingkungan
bertambah parah terhadap
2.      Klien mengatakan bahwa klien bekerja pathogen;
sebagai kuli bangunan
kerusakan
3.      Klien mengatakan tinggal di tempat yang
padat dan kumuh serta ventilasi yang kurang
jaringan
4.      Klien mengatakan pernah berobat
kepuskesmas, tetapi hanya diberikan obat
analgesik dan antipiretik, dan keluhannya
dirasa hanya membaik sementara
Data tambahan:
5.      Kemungkinan klien mengatakan sering keluar
keringat pada malam hari
6.      Kemungkinan klien mengatakan adanya
riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu)
berdahak disertai nyeri dada.
DO:
1.      TTV:
Suhu: 380C
RR: 28x/m
Nadi: 100x/m
TD: 120/80 mmHg
2.      Pada pemeriksaan lab ditemukan:
   Leukosit: 17.000 ul
   LED: meningkat (110mm/jam)
   Mantoux test: positif
Data tambahan:
3.      Kemungkinan ditemukan tampak
pembengkanan di kedua sisi leher klien
4.      Pada pemeriksaan diagnostik kemungkinan
ditemukan:
       MRI
-  infeksi disk  space, menunjukkan perluasan
penyakit ke dalam  jaringan lunak dan
penyebaran debris tuberkulosis di bawah
ligamen longitudinalis anterior dan posterior
-  kompresi neural

3.      Diagnosa Keperawatan
a.       Hambatan mobilitas fisik b.d Nyeri, paraplegia, paralisis ekstremitas bawah, kelemahan fisik
(anggota gerak)
b.      Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d Peningkatan produksi sekret dan ketidakmampuan batuk
efektif
c.       Resiko penyebaran infeksi b.d peningkatan pemajanan lingkungan terhadap pathogen; kerusakan
jaringan

4.      Intervensi Keperawatan
a.       Hambatan mobilitas fisik b.d Nyeri, paraplegia, paralisis ekstremitas bawah, kelemahan fisik
(anggota gerak)
Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam klien dapat menunjukan cara melakukan mobilisasi secara
optimal sesuai dengan kondisis daerah spondilitis.
Kriteria Hasil : Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat
kemampuan, mengidentifikasi individu atau masyarakat yang dapat membantu, klien terhindar
dari cidera, nyeri berkurang.
Intervensi:
1)      Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, lamanya, dan intensitas (skala 0 ± 10). Perhatikan
petunjuk verbal dan non-verbal.
Rasional: Membantu dalam mengidentifikasi derajat ketidaknyamanan dan kebutuhan
untuk /keefektifan analgesic.
2)      Berikan alternatif tindakan kenyamanan (massage, perubahan posisi).
Rasional: Meningkatkan sirkulasi umum menurunkan area tekanan lokal dan kelelahan otot.
3)      Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contohnya relaksasi progresif, latihan nafas dalam,
imajinasi visualisasi dan sentuhan terapeutik.
Rasional: Meningkatkan sirkulasi umum, mengurangi area tekanan dan kelelahan otot.
4)      Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik.
Rasional: Diberikan untuk mengurangi nyeri dan spasme otot. 
5)      Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam melakukan mobilisasi.
Rasional : membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan untuk kebutuhan
individual.
6)      Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu.
Rasional : klien dalam keadaan cemas dan tergantung sehingga hal ini di lakukan untuk
mencegah frustasi dan menjaga harga diri klien.
7)      Atur posisi fisiologis, meliputi :
a.       Kaji kesejajaran dan tingkat keyamanan selama klien berbaring sesuai dengan daerah spondilitis.
Rasional : memberikan data dasar tentang kesejajaran tubuh dan kenyamanan klien untuk
perencanaan selanjutnya.
b.      Atur posisi telentang dan letakkan gulungan handuk / bantal di daerah bagian bawah punggung
yang sakit dengan menjaga komdisi kurvatura tulanga belakang dalam kondisi optimal.
Rasional : mengurangi kemungkinan stimulus nyeri, kontraktur sendi, dan kemungkinan untuk
pergerakan optimal pada ekstremitas atas.
c.       Sokong kaki bawah yang mengalami paraplegia dengan bantal dengan posisi jari-jari kai
mengahadap langit.
Rasional : posisi optimal untuk mencegah footdrop yang sering terjadi akibat kondisi kaki yang
jatuh (posisi ekstensi) terlalu lama di tempat tidur. Adanya bantal akan mencegah terjadinya
rotasi luar kaki dan mengurangi tekanan pada jari-jari kaki.
8)      Lakukan latihan ROM
Rasional : latihan yang efektif dan berkesinambungan akan mencegah terjadinya kontraktur
sendi dan atrofi otot yang sering terjadi pada klien spondilitis TB.
9)      Ajak klien untuk berfikir positif terhadap kelemahan yang dimilikinya. Berika klien motivasi
dan izinkan klien melakukan tugas, beri umpan balik positif atas usahanya.
Rasional : klien memerlukan empati, tetapi perawata perlu mengetahui perawatan yang konsisten
dalam menganani klien, dan menganjurkan klien untuk terus mecoba.
10)  Kolaborasi pemberian OAT
Rasional : pemberian regimen OAT (Obat Anti Tuberkulosis) sesuai panduan akan mengatasi
masalah utama pada klien spondilitis.
11)  Tindakan operatif
Rasional : memberikan stabiltas pada tulang belakang dengan tindakan pembedahan, yaitu
pendekatan anterior dengan debridement, eksisi dan fusi anterior, serta pendekatan posterior
dilakukan dengan dekompresi dan stabilisasi dengan pemasangan PSSW (Pedicle Screw And
Sublaminary Wire Plate)

b.      Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d Peningkatan produksi sekret dan ketidakmampuan batuk
efektif
Tujuan: Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi, akan menjadi peningkatan keefektifan
pembersihan jalan nafas dan aspirasi dapat dicegah.
Kriteria Hasil : frekusensi pernapasan dalam batas normal, suara napas terdengar bersih,ronki
tidak terdengar, klien menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di
saluran napas.
Intervensi:
1)      Kaji keadaan jalan napas
Rasional : Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa cairan mukus,
perdarahan, bronko spasme dan atau posisi dari trakeostomi atau selang endotrakeal yang
berubah.
2)      Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada kedua paru (bilateral)
Rasional : pergerakan dada yang simetris dengan suara naspa yang keluar dari paru-paru
menandakan jalan napas tidak terganggu. Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi
pada pnemonia/atelektasis seperti ronki atau mengi.
3)      Anjurkan klien melakukan batuk efektif.
Rasional : batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret dari saluran napas.
4)      Atur/ubah posisi secara teratur setiap 2 jam.
Rasional : mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru-paru, mengurangi resiko
atelektasi.
5)      Berikan minuman hangat jika keadaan memungkinkan
Rasional : membantu pengenceran sekret, mempermudah pengeluaran sekret.
6)      Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan
sekret disaluran napas.
Rasional : pengetahuan diharapkan akan membantu meningkatkan kepatuhan klien terhadap
rencanan terapeutik.
7)      Ajarkan klien tentang metode yang tepat tentang pengontrolan batuk.
Rasional :batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif menyebabkan frustasi.
8)      Lakukan pernapasan diafragma
Rasional : pernapasan diafragma menurunkan frekuensi pernapasan dan meningkatkan ventilasi
alveolar.
9)      Ajarkan klien tentang tindakan untuk mengurangi viskositas sekresi, mempertahankan hidrasi
yang adekuat, meningkatkan asupan cairan 1000-1500 cc/hari bila tidak ada kontraindikasi.
Rasional : untuk menghindari pengentalan dari sekret atau pada mukus pada saluran bagian atas.
10)  Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik serta batuk
Rasional : higiene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
11)  Kolaborasi dengan tim medis, radiologi, dan fisioterapi.
a)      Pemberian mukolitik & ekspetoran
Rasional : mukolitik merupakan agen untuk mobilisasi sekret. Ekspektoran untuk memudahkan
pengeluaran atau mobilisasi lendir dan mengevaluasi perbaikan klien atas pengembangan paruya.
b)      Pemberian OAT
Rasional : pemberian regimen OAT sesuai panduan akan mengatasimsalah utama pada klien
spondiitis tuberkulosa.
c)      Konsul foto thorak.
Rasional : Sebgai bahan evaluasi hasil pengobatan dan mengidentifikasi komplikasi dari
akumulasi sekret yang berbahaya seperti pneumoni aspirasi.

c.       Resiko penyebaran infeksi b.d peningkatan pemajanan lingkungan terhadap pathogen; kerusakan


jaringan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan resiko Infeksi
berhubungan dengan peningkatan pemajanan lingkungan terhadap pathogen; kerusakan jaringan
berkurang sampai dengan hilang.
Kriteria Hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi, suhu tubuh normal, hasil pemeriksaan laboratorium
(leukosit, LED) normal.
Intervensi:
1)      Implementasikan teknik isolasi yang tepat sesuai indikasi
Rasional : Isolasi untuk menurunkan resiko kontaminasi silang/terpajan pada flora bakteri
multitel
2)      Tekankan pentingnya tehnik cuci tangan yang baik untuk semua individu yang datang kontaak
dengan pasien.
Rasional : Mencegah kontaminasi silang/menurunkan resiko infeksi
3)    Mengkaji patologi penyakit (fase aktif atau inaktif) dan potensial penyebaran infeksi melalui
airbone droplet selama batuk, bersin, meludah, berbicara, tertawa,  dll.
Rasional : Untuk mengetahui kondisi nyata dari masalah pasien fase inaktif tidak berarti tubuh
pasien sudah terbebas kuman Tubekulosis.
4)    mengidentifikasi resiko penularan terhadap orang lain seperti anggota dan keluarga dan teman
dekat. Mengintruksikan kepada pasien juka batuk atau bersin, maka ludahkan ke tissue.
Rasional : Mengurangi resiko anggota keluarga untuk tertular dengan penyakit yang sama
dengan pasien.
5)      Menganjurkan penggunaan tissue untuk membuang sputum. Mereview pentingnya mengontrol
nfeksi, misalnya dengan menggunakan masker.
Rasional : Penyimpanan sputum pada wadah yang terdesinfeksi dan penggunaan masker dapat
meminimalkan penyebaran infiksi melalui droplet.
6)      Memonitor suhu sesuai indikasi.
Rasional : Peningkatan suhu menandakan terjadinya infeksi sekunder.
DAFTAR PUSTAKA

Lukman & Nurna Ningsih.. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba
Medika

Mutaqqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
Jakarta : EGC.

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta:
EGC

Doenges, Marilynn E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 3. Edisi 8. Jakarta: EGC.

Carpenito, J.L. 1999. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi 2 (terjemahan). Jakarta:


EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3 Revisi. Jakarta: EGC.

NANDA International. Diagnosis Keperawatan. 2011. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne c. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah vol.3. Jakarta : EGC

Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dengan Intervensi NIC dan Kriteria
hasil NOC. Edisi 7. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai