Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

PASIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS APENDIKSITIS


DI IGD RS. SARI MULIA BANJARMASIN

DI SUSUN OLEH :
Noor Laila Sari (14.IK.407)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA BANJARAMASIN


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
2018
LEMBAR KONSULTASI MAHASISWA (INDIVIDU)
PRAKTIK PRE NERS VII PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA BANJARMASIN
TAHUN AKADEMIN 2017/2018

Jenis
No. Nama Pembimbing Saran Paraf
Konsultasi

Banjarmasin, Juli 2018


Program Studi Ilmu Keperawatan
STIKES Sari Mulia Bag. Praktik Klinik
Keperawatan

............................................................
NIK.
LEMBAR KONSULTASI MAHASISWA (INDIVIDU)
PRAKTIK PRE NERS VII PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA BANJARMASIN
TAHUN AKADEMIN 2017/2018

Jenis
No. Nama Pembimbing Saran Paraf
Konsultasi

Banjarmasin, Juli 2018


Program Studi Ilmu Keperawatan
STIKES Sari Mulia Bag. Praktik Klinik
Keperawatan

............................................................
NIK.
LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL KASUS : Apendiksitis


TEMPAT PENGAMBILAN KASUS : Di Ruang IGD RS. Sari Mulia Banjarmasin
NAMA : Noor Laila Sari
NIM : 14.IK.407

Banjarmasin, Juli 2018

Menyetujui,

RS. Sari Mulia Banjarmasin Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK)


STIKES Sari Mulia Banjarmasin
Preseptor Klinik (PK) Preseptor Akademik (PA)

Parso, S.Kep M. Sobirin Mohtar,Ns.,M.Kep


NIK. 137.02.00.01 NIK. 19.44.2018.174
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL KASUS : Apendiksitis


TEMPAT PENGAMBILAN KASUS : Di IGD RS. Sari Mulia Banjarmasin
NAMA : Noor Laila Sari
NIM :14.IK.407

Banjarmasin, Juli 2018

Menyetujui,

RS. Sari Mulia Banjarmasin Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK)


STIKES Sari Mulia Banjarmasin
Preseptor Klinik (PK) Preseptor Akademik (PA)

Parso, S.Kep M. Sobirin Mohtar,Ns.,M.Kep


NIK. 137.02.00.01 NIK. 19.44.2018.174

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan


STIKES Sari Mulia Banjarmasin

Dini Rahmayani, S.Kep.,Ns.,MPH


NIK. 19.44.2004.008
APENDIKSITIS
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI
1. Anatomi

Gambar 1.1 Anatomi Apendiks


Sumber : Syamsuhidajat & Jong (2004)
Saluran pencernaan (traktus digestivus) pada dasarnya adalah suatu
saluran (tabung) dengan panjang sekitar 30 kaki (9m). yang berjalan
melalui bagian tengah tubuh dari mulut sampai ke anus (sembilan meter
adalah panjang saluran pencernaan pada mayat; panjangnya pada
manusia hidup sekitar separuhnya karena kontraksi terus menerus dinding
otot saluran). Saluran pencernaan mencakup organ-organ berikut: mulut;
faring; esophagus; lambung; usus halus; (terdiri dari duodenum, jejunum,
dan ileum); usus besar (terdiri dari sekum, apendiks, kolon dan rectum);
dan anus (Sherwood, 2001).
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira
10 cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di
bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi,
apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit pada
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden
apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada
kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang
sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens.
(Sherwood, 2001).
2. Fisiologi Apendiks Vermiformis
Apendiks ( umbai cacing ) merupakan perluasan sekum yang rata -
rata panjangnya ada 10 cm. Ujung apendiks dapat terletak di berbagai
lokasi, terutama belakang sekum. Arteri apendialis mengalirkan darah ke
apendiks dan merupakan cabang dari ateri elikolika. Secara fisiologis,
apendiks menghasilkan lendir 1 - 2 ml per hari. Lendir normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalirkan ke sekum.
Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada
patogenesis apendiks Imnunoglobulin sekreatoar yang dihasilkan oleh
GALT (Gut Associated Lympoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran
cerna termasuk apendiks ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh , karena jumlah jaringan limfa kecil sekali
jika dibandingkan dengan jumlanya di saluran cerna dan diseluruh tubuh
(Sjamsuhidayat, 2004).

B. DEFINISI
Apendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10
cm (94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Apendiks
berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam
sekum.Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks
cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi.(Brunner dan
Sudarth, 2002). Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis,
dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini
dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih
sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer,
Arief,dkk, 2007).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena
struktur yang terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk
berkumpul dan multiplikasi (Chang, 2010). Apendisitis merupakan inflamasi
di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab yang jelas, setelah obstruksi
apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh
darahya (Corwin, 2009).

C. ETIOLOGI
Apendiksitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada faktor
prediposisi yaitu (Mansjoer, 2000):
1. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini
terjadi karena:
a) Hiperplasia (meningkatnya jumlah sel) dari folikel limfoid ini merupakan
penyebab terbanyak.
b) Adanya faekolit (feses yang terperangkap) dalam lumen apendiks
c) Adanya benda asing seperti biji-bijian
d) Striktura (penyempitan) lumen karena fibrosa akibat peradangan
sebelumnya.
e) Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan
Streptococcus
f) Laki-laki lebih banyak dari wanita. Paling banyak pada umur 15-30 tahun
(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan
limpoid pada masa tersebut.
g) Tergantung pada bentuk apendiks:
1) Apendik yang terlalu panjang
2) Massa appendiks yang pendek
3) Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
4) Kelainan katup di pangkal appendiks

D. KLASIFIKASI
Klasifikasi apendiksitis menurut Mansjoer, 2000 ada beberapa macam yaitu:
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut
pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh
proses infeksi dari apendiks. Penyebab obstruksi dapat berupa :
a) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
b) Fekalit
c) Benda asing
d) Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi
tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra
luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada
dinding apendiks.
Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi
dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
2. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan
trombosis.Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada
apendiks.Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding
appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram
karena dilapisi eksudat dan fibrin.Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi
edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas
di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.
Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan
tanda-tanda peritonitis umum.
3. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua
syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan
menghilang satelah apendektomi. Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik
adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total
lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan
infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen.
4. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apendiktomi dan
hasil patologi menunjukan peradangan akut.Kelainan ini terjadi bila serangn
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan.Namun, apendisitis tidak perna
kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut.Resiko
untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen.Insidens apendisitis rekurens
biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik.Pada
apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering
penderita datang dalam serangan akut.
5. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin
akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa
jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi.
Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang
dicurigai bisa menjadi ganas.Penderita sering datang dengan eluhan ringan
berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa
memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul
tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.
6. Tumor Apendiks (Adenokarsinoma apendiks)
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu
apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke
limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi
harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
7. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas
spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom
karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas
karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6%
kasus tumor karsinoid perut.Sel tumor memproduksi serotonin yang
menyebabkan gejala tersebut di atas. Meskipun diragukan sebagai
keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan adanya
metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik
apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan
operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan

E. PATOFISIOLOGI
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.Makin
lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium (Corwin, 2009).
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan
bawah.Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian
aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi (Mansjoer, 2000).
Jika semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.Pada anak-anak, karena omentum lebih
pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis.Keadaan
tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
F. PATHWAY

Fekolit Cacing Ascaris Erosi Mukosa Hyperplasia

Obtruksi

Peningkatan HCL Tekanan Intraluminal Nyeri = Supuratif akut

Anoreksia Mukosa terbendung

Mual, Muntah Aliran darah


terganggu
Defisit Volume
Cairan Ultrasi dan Invasi bakteri

Peritonium Trombosis Vena

Peritonitis Pembengkakan dan iskemia

Pembedahan Perforasi akut


Cemas
Luka insisi
Resiko Infeksi

Nyeri

Gambar 2.1 Patofisiologi Apendiksitis


Sumber : Mansjoer( 2000) & Corwin (2009)
G. MANIFESTASI KLINIK
Tanda gejala yang timbul pada pasien dengan apendiksitis menurut Corwin
(2009) yaitu:
1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan,
mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
2. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
3. Nyeri tekan lepas dijumpai.
4. Terdapat konstipasi atau diare.
5. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
6. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
7. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih
8. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
9. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang
secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
10. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai
abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
11. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien
mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.

G. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis.Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis.Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan.Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas.Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering
pada anak kecil dan orang tua.Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah
2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi
pada anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang
masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna
memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan
pembuluh darah (Smelzer, 2002).
Adapun jenis komplikasi menurut Smeltzer (2002) diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula
berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus.
Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh
omentum
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut.Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama
sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat
diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul
lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri
tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis.Bila infeksi
tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya
peritonitis umum.Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik,
usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi,
syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.Peritonitis disertai rasa sakit perut
yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang menurut Manjoer (2001) pada pasien apendiksitis
yaitu:
1. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP).Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu
komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya
proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein.
Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
2. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang
pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith
dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya
pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas
dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai
tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
yaitu 90-100% dan 96-97%.
3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa
adanya kemungkinan kehamilan.
6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan
Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon.
7. Uji Psoas Dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi
sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha
kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menepel di m. poas mayor,
tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi (Mansjoer, 2001).
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian
antibiotik.Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada
penderita Apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian
cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik
2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks
(appendektomi).Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik
dapat mengakibatkan abses dan perforasi.Pada abses appendiks
dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen.Komplikasi
utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium.Bila diperkirakan
terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau
antibiotik.Pasca appendektomi diperlukan perawatan intensif dan
pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi
intra-abdomen.

J. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien apendiksitis
menurut Fatma (2010) berupa pengkajian sistematis meliputi pengumpulan
data, analisa data dan penentuan masalah. Pengumpulan data diperoleh
dengan cara intervensi, observasi, pemeriksaan fisik.
1. Identitas klien
2. Riwayat keperawatan
a. Keluhan utama
b. Riwayat kesehatan / penyakit sekarang
c. Riwayat kesehatan / penyakit dahulu
d. Riwayat kesehatan / penyakit keluarga
e. Riwayat tumbuh kembang (usia 2 tahun)
3. Pemeriksaan fisik
4. Pemeriksaan tumbuh kembang
5. Pemeriksaan penunjang

K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan pada pasien apendiksitis yaitu, (NANDA, 2012):
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan
intestinal oleh inflamasi)
2. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan
peritaltik.
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
4. Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
L. INTERVENSI KEPERAWATAN
Tujuan, kriteria hasil, dan intervensi keperawatan menurut Johnson (2002) dan Mc Closkey (2002)

Rencana keperawatan
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Intervensi
Tujuan dan Kriteria Hasil

Nyeri akut berhubungan dengan: NOC : NIC :


Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis),  Pain Level,  Lakukan pengkajian nyeri secara
kerusakan jaringan  pain control, komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
 comfort level durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
DS: Setelah dilakukan tinfakan keperawatan presipitasi
 Laporan secara verbal selama …. Pasien tidak mengalami nyeri,  Observasi reaksi nonverbal dari
DO: dengan kriteria hasil: ketidaknyamanan
 Posisi untuk menahan nyeri  Mampu mengontrol nyeri (tahu  Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
 Tingkah laku berhati-hati penyebab nyeri, mampu menemukan dukungan
 Gangguan tidur (mata sayu, tampak menggunakan tehnik nonfarmakologi  Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
capek, sulit atau gerakan kacau, untuk mengurangi nyeri, mencari nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
menyeringai) bantuan) kebisingan
 Terfokus pada diri sendiri  Melaporkan bahwa nyeri berkurang  Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Fokus menyempit (penurunan persepsi dengan menggunakan manajemen  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
waktu, kerusakan proses berpikir, nyeri intervensi
penurunan interaksi dengan orang dan  Mampu mengenali nyeri (skala,  Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas
lingkungan) intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/
 Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan,  Menyatakan rasa nyaman setelah dingin
menemui orang lain dan/atau aktivitas, nyeri berkurang  Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri:
aktivitas berulang-ulang)  Tanda vital dalam rentang normal ……...
 Respon autonom (seperti diaphoresis,  Tidak mengalami gangguan tidur  Tingkatkan istirahat
perubahan tekanan darah, perubahan  Berikan informasi tentang nyeri seperti
nafas, nadi dan dilatasi pupil) penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
 Perubahan autonomic dalam tonus otot berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan
(mungkin dalam rentang dari lemah ke dari prosedur
kaku)  Monitor vital sign sebelum dan sesudah
 Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, pemberian analgesik pertama kali
merintih, menangis, waspada, iritabel,
nafas panjang/berkeluh kesah)
 Perubahan dalam nafsu makan dan
minum
Konstipasi berhubungan dengan NOC: NIC :
 Fungsi:kelemahan otot abdominal,  Bowl Elimination Manajemen konstipasi
Aktivitas fisik tidak mencukupi  Hidration  Identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan
 Perilaku defekasi tidak teratur Setelah dilakukan tindakan keperawatan konstipasi
 Perubahan lingkungan selama …. konstipasi pasien teratasi  Monitor tanda-tanda ruptur bowel/peritonitis
 Toileting tidak adekuat: posisi defekasi, dengan kriteria hasil:  Jelaskan penyebab dan rasionalisasi
privasi  Pola BAB dalam batas normal tindakan pada pasien
 Psikologis: depresi, stress emosi,  Feses lunak  Konsultasikan dengan dokter tentang
gangguan mental  Cairan dan serat adekuat peningkatan dan penurunan bising usus
 Farmakologi: antasid, antikolinergis,  Aktivitas adekuat  Kolaburasi jika ada tanda dan gejala
antikonvulsan, antidepresan, kalsium  Hidrasi adekuat konstipasi yang menetap
karbonat,diuretik, besi, overdosis laksatif,  Jelaskan pada pasien manfaat diet (cairan
NSAID, opiat, sedatif. dan serat) terhadap eliminasi
 Mekanis: ketidakseimbangan elektrolit,  Jelaskan pada klien konsekuensi
hemoroid, gangguan neurologis, obesitas, menggunakan laxative dalam waktu yang
obstruksi pasca bedah, abses rektum, lama
tumor  Kolaburasi dengan ahli gizi diet tinggi serat
 Fisiologis: perubahan pola makan dan dan cairan
jenis makanan, penurunan motilitas  Dorong peningkatan aktivitas yang optimal
gastrointestnal, dehidrasi, intake serat dan  Sediakan privacy dan keamanan selama
cairan kurang, perilaku makan yang buruk BAB
DS:
 Nyeri perut
 Ketegangan perut
 Anoreksia
 Perasaan tekanan pada rektum
 Nyeri kepala
 Peningkatan tekanan abdominal
 Mual
 Defekasi dengan nyeri
DO:
 Feses dengan darah segar
 Perubahan pola BAB
 Feses berwarna gelap
 Penurunan frekuensi BAB
 Penurunan volume feses
 Distensi abdomen
 Feses keras
 Bising usus hipo/hiperaktif
 Teraba massa abdomen atau rektal
 Perkusi tumpul
 Sering flatus
 Muntah
Defisit Volume Cairan NOC: NIC :
Berhubungan dengan:  Fluid balance  Pertahankan catatan intake dan output yang
 Kehilangan volume cairan secara aktif  Hydration akurat
 Kegagalan mekanisme pengaturan  Nutritional Status : Food and Fluid  Monitor status hidrasi ( kelembaban
DS : Intake membran mukosa, nadi adekuat, tekanan
 Haus Setelah dilakukan tindakan keperawatan darah ortostatik ), jika diperlukan
selama….. defisit volume cairan teratasi  Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi
DO: dengan kriteria hasil: cairan (BUN , Hmt , osmolalitas urin,
 Penurunan turgor kulit/lidah  Mempertahankan urine output sesuai albumin, total protein )
 Membran mukosa/kulit kering dengan usia dan BB, BJ urine normal,  Monitor vital sign setiap 15menit – 1 jam
 Peningkatan denyut nadi, penurunan  Tekanan darah, nadi, suhu tubuh  Kolaborasi pemberian cairan IV
tekanan darah, penurunan dalam batas normal  Monitor status nutrisi
volume/tekanan nadi  Tidak ada tanda tanda dehidrasi,  Berikan cairan oral
 Pengisian vena menurun Elastisitas turgor kulit baik, membran  Berikan penggantian nasogatrik sesuai
 Perubahan status mental mukosa lembab, tidak ada rasa haus output (50 – 100cc/jam)
 Konsentrasi urine meningkat yang berlebihan  Dorong keluarga untuk membantu pasien
 Temperatur tubuh meningkat  Orientasi terhadap waktu dan tempat makan
 Kehilangan berat badan secara tiba-tiba baik  Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih
 Penurunan urine output  Jumlah dan irama pernapasan dalam muncul meburuk
 HMT meningkat batas normal  Atur kemungkinan tranfusi
 Kelemahan  Elektrolit, Hb, Hmt dalam batas normal  Persiapan untuk tranfusi
 pH urin dalam batas normal  Pasang kateter jika perlu
 Intake oral dan intravena adekuat  Monitor intake dan urin output setiap 8 jam
Kecemasan berhubungan dengan NOC : NIC :
Faktor keturunan, Krisis situasional, Stress,  Kontrol kecemasan Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
perubahan status kesehatan, ancaman  Koping  Gunakan pendekatan yang menenangkan
kematian, perubahan konsep diri, kurang Setelah dilakukan asuhan selama  Nyatakan dengan jelas harapan terhadap
pengetahuan dan hospitalisasi ……………klien kecemasan teratasi dgn pelaku pasien
kriteria hasil:  Jelaskan semua prosedur dan apa yang
DO/DS:  Klien mampu mengidentifikasi dan dirasakan selama prosedur
 Insomnia mengungkapkan gejala cemas  Temani pasien untuk memberikan keamanan
 Kontak mata kurang  Mengidentifikasi, mengungkapkan dan dan mengurangi takut
 Kurang istirahat menunjukkan tehnik untuk mengontol  Berikan informasi faktual mengenai
 Berfokus pada diri sendiri cemas diagnosis, tindakan prognosis
 Iritabilitas  Vital sign dalam batas normal  Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
 Takut  Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa  Instruksikan pada pasien untuk
 Nyeri perut tubuh dan tingkat aktivitas menggunakan tehnik relaksasi
 Penurunan TD dan denyut nadi menunjukkan berkurangnya  Dengarkan dengan penuh perhatian
 Diare, mual, kelelahan kecemasan  Identifikasi tingkat kecemasan
 Gangguan tidur  Bantu pasien mengenal situasi yang
 Gemetar menimbulkan kecemasan
 Anoreksia, mulut kering  Dorong pasien untuk mengungkapkan
 Peningkatan TD, denyut nadi, RR perasaan, ketakutan, persepsi
 Kesulitan bernafas  Kelola pemberian obat anti cemas:........
 Bingung
 Bloking dalam pembicaraan
 Sulit berkonsentrasi
DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.

Fatma.(2010). Askep Appendicitis. Diakses


http://fatmazdnrs.blogspot.com/2010/08/askep-appendicitis.html pada tanggal
02 Juli 2018.

Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.

Mansjoer, A.(2001). Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Mansjoer. A. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius.

Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second
Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.

NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi manusia:dari sel ke sistem. Jakarta : EGC

Smeltzer, Bare (2002).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Brunner &


suddart.Edisi 8.Volume 2. Jakarta, EGC

Sjamsuhidajat, R & Wim, de Jong (ed). 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai