Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN STENOSIS SPINAL


DI RSD dr. SOEBANDI JEMBER

OLEH:
Aprinia Fajar Sukmawati, S.Kep.
NIM 212311101119

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2022
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stenosis merupakan penyempitan pada kaliber orifisium tuba, yang
menyebabkan penurunan aliran cairan atau gas disertai penekanan pada komponen
padatnya (struktur saraf), bila tidak terjadi penekanan maka kanalnya dikatakan
mengalami penyempitan namun bukan stenosis (Apsari dkk., 2018). Stenosis spinal
adalah kondisi degeneratif yang terjadi secara bertahap dari waktu ke waktu dan
mengacu pada penyempitan saluran akar tulang belakang dan saraf, pembesaran
sendi facet, kekakuan ligament dan pertumbuhan tulang dan taji tulang yang
berlebihan. Stenosis dapat terjadi di sepanjang area tulang belakang (serviks, toraks,
lumbar), tetapi paling sering terjadi di area lumbar (Bohinski, 2020).
Kelainan pada tulang belakang dapat menyebabkan terjadinya Low Back Pain.
Low Back Pain (LBP) adalah nyeri yang dirasakan didaerah punggung bawah,
diantara sudut iga paling bawah sampai sakrum (Mutia, 2020). Di Amerika, spinal
stenosis menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan tertama Lumbar Spinal
Stenosis (LSS), yang merupakan penyakit degeneratif pada tulang belakang yang
terjadi pada orang berusia lanjut dengan prevalensi dari 1000 orang berusia diatas
50 tahun. Menjadi penyakit terbanyak yang melakukan pembedahan pada spinal
pada usia lebih dari 60 tahun dan lebih dari 125.000 prosedure laminektomi
dilakukan pada kasus LSS dengan insiden tertinggi terjadi pada pria daripada
wanita (Aryani, 2019).
Stenosis di tulang belakang merupakan penyakit yang terjadi karena adanya
penyempitan kanal pada tulang yang mengelilingi saraf. Hal ini dapa tterjadi
dikarenakan adanya faktor dari trauma atau penuaan. Penyempitan yang terjadi di
bagian bawah punggung disebut lumbar stenosis, yang menekan saraf dan dapat
menyebabkan rasa sakit, mati rasa, atau kelemahan pada bokong, hingga kaki si
penderita. Ketika penderita melakukan ekstensi trunk, ruang disekitar saraf semakin
sempit dan membuat gejala yang dirasakan semakinmemburuk. Dan apabila
melakukan flexi trunk akan membuka ruang dan dapatmembuat gejala yang
dirasakan lebih baik (Aryani, 2019).

1
Proses terapi pada Lumbal Spinal Stenosis memiliki tujuan untuk mengurangi
rasa nyeri, mengembalikan fungsi pergerakan dan mobilitas, mencegah
kekambuhan serta mencegah timbulnya nyeri kronik. Salah satu terapi yang
menjadi pengobatan LSS yaitu terapi non-farmakologi yang bertujuan untuk
mengurangi nyeri pada punggung bawah (trunk), serta meningkatkan lingkup gerak
sendi, dan lain sebagainya. (Mutia, 2020).

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah berdasarkan latar belakang diatas adalah “Bagaimana
penatalaksanaan asuhan keperawatan pada klien dengan stenosis spinal?”.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari laporan pendahuluan ini adalah mendiskripsikan tentang
penatalaksanaan asuhan keperawatan pada klien dengan stenosis spinal.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari laporan pendahuluan ini adalah:
a. Mampu menjelaskan konsep dasar penyakit stenosis spinal
b. Mampu menjelaskan konsep asuhan keparawatan pada klien dengan stenosis
spinal.

2
BAB 2. KONSEP PENYAKIT

2.1 Anatomi dan Fisiologi


2.1.1 Anatomi Tulang Belakang
Secara medis, tulang belakang dikenal sebagai columna vertebralis. Tulang
belakang merupakan komponen yang kompleks, terdiri dari berbagai saraf, tulang,
sendi, tendon, ligamen, dan otot yang menyatu bersama (Umami, 2021). Rangkaian
tulang belakang adalah sebuah struktur lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang
yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang, diantara tiap dua ruas tulang
belakang terdapat bantalan tulang rawan.Panjang rangkaian tulang belakang pada
orang dewasa mencapai 57sampai 67 sentimeter (Azan, 2018). Columna vertebralis
terdiri dari 7 saraf cervikalis, 12 saraf thoracalis, 5 saraf lumbalis, 5 saraf sacralis,
dan 4-5 saraf cocsigialis (Kurniadita, 2020). Vertebra dipisahkan oleh cakram, yang
bertindak sebagai peredam kejut yang mencegah vertebra saling bergesekan. Di
tengah setiap vertebra adalah ruang hampa yang disebut kanal tulang belakang yang
berisi sumsum tulang belakang, saraf tulang belakang, ligamen, lemak, dan
pembuluh darah (Bohinski, 2020).

Gambar 1. Columna vertebralis tampak depan, belakang, samping


Berdasarkan daerah yang ditempatinya, columna vertebralis dikelompokan
menjadi beberapa bagian yaitu (Fitria, 2018):

3
a. Vertebra servikalis
Vertebra servikal terdiri dari tujuh tulang atau ruas tulang leher, ruas tulang
leher adalah yang paling kecil. Ruas tulang leher pada umumnya mempunyai ciri
badanya kecil dan persegi panjang, lebih panjang ke samping daripada ke depan
atau ke belakang. Lengkungnya besar, prosesus spinosus atau taju duri ujungnya
dua atau bivida. Prosesus transverses atau taju sayap berlubang-lubang karena
banyak foramina untuk lewatnya arteri vertebralis.
b. Vertebra torakalis
Vertebra torakalis terdiri dari dua belas tulang atau nama lainnya ruas tulang
punggung lebih besar dari pada yang servikal dan disebelah bawah menjadi lebih
besar. Ciri khasnya adalah badannya berbentuk lebar lonjong dengan faset atau
lekukan kecil disetiap sisi untuk menyambung iga, lengkungnya agak kecil, taju
duri panjang dan mengarah kebawah, sedangkan taju sayap yang membantu
mendukung iga adalah tebal dan kuat serta memuat faset persendian untuk iga.
c. Vertebra lumbalis
Vetebra lumbalis terdiri dari lima ruas tulang atau nama lainnya adalah ruas
tulang pinggang, luas tulang pinggang adalah yang terbesar. Taju durinya lebar dan
berbentuk seperti kapak kecil. Taju sayapnya panjang dan langsing. Ruas kelima
membentuk sendi dan sakrum pada sendi lumbo sacral.
d. Vertebra sakralis
Vertebra sakralis terdiri dari lima ruas tulang atau nama lainnya adalah tulang
kelangkang. Tulang kelangkang berbentuk segi tiga dan terletak pada bagian bawah
columna vertebralis, terjepit diantara kedua tulang inominata. Dasar dari sakrum
terletak di atas dan bersendi dengan vertebra lumbalis kelima dan membentuk sendi
intervertebral yang khas. Tapi anterior dari basis sakrum membentuk
promontorium sakralis. Kanalis sakralis terletak dibawah kanalis vertebra.
Dinding kanalis sakralis berlubang-lubang untuk dilalui saraf sakral. Taju duri
dapat dilihat pada pandangan posterior dan sakrum.
e. Vertebra kosigeus
Vertebra kosigeus nama lainnya adalah tulang tungging. Tulang tungging terdiri
dari empat atau lima vertebra yang rudimenter yang bergabung menjadi satu.

4
2.1.2 Fisiologi Tulang Belakang
Menurut Pearce, fungsi dari columna vertebralis atau rangkaian tulang
belakang adalah bekerja sebagai pendukung badan yang kokoh sekaligus juga
bekerja sebagai penyangga dengan perantaraan tulang rawan cakram
intervertebralis yang lengkungannya memberi fleksibilitas dan memungkinkan
membengkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan
yang terjadi bila menggerakan berat seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan
demikian otak dan sumsum tulang belakang terlindung terhadap goncangan. Gelang
panggul adalah penghubung antara badan dan anggota bawah. Sebagian dari
kerangka axial, atau tulang sakrum dan tulang koksigeus, yang letaknya terjepit
antara dua tulang koxa, turut membentuk tulang ini. Dua tulang koxa itu bersendi
satu dengan lainnya di tempat simfisis pubis (Kurniadita, 2020).

2.2 Definisi Stenosis Spinal


Stenosis merupakan penyempitan pada kaliber orifisium tuba, yang
menyebabkan penurunan aliran cairan atau gas disertai penekanan pada komponen
padatnya (struktur saraf), bila tidak terjadi penekanan maka kanalnya dikatakan
mengalami penyempitan namun bukan stenosis (Apsari dkk., 2018). Stenosis spinal
merupakan penyakit yang terjadi di tulang belakang karena adanya penyempitan
kanal pada tulang yang mengelilingi saraf. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya
faktor dari trauma atau penuaan (Aryani, 2019).
Menurut Bohinski (2020), stenosis spinal adalah kondisi degeneratif yang
terjadi secara bertahap dari waktu ke waktu dan mengacu pada penyempitan saluran
akar tulang belakang dan saraf, pembesaran sendi facet, kekakuan ligament dan
pertumbuhan tulang dan taji tulang yang berlebihan. Stenosis dapat terjadi di
sepanjang area tulang belakang (serviks, toraks, lumbar), tetapi paling sering terjadi
di area lumbar.

5
Gambar 2.Perbedaan antara spinal normal dan spinal stenosis
2.3 Etiologi
Penyempitan ruang pada tulang belakang disebabkan oleh banyak hal. Meski
begitu, kesemuanya memiliki kesamaan yakni mengubah struktur tulang belakang
sehingga menyebabkan ruang di sekitar tulang belakang menyempit (Dewangga
dan Rahayu, 2018).
Menurut Khasanah (2021), penyebab dari spinal stenosis antara lain:
a. Pertumbuhan Tulang Berlebihan
Peradangan pada tulang, seperti osteoarthritis dapat merusak tulang rawan di
persendian termasuk tulang belakang. Tulang rawan adalah pelindung yang
menutupi sendi. Saat tulang rawan melemah, tulang mulai bergesekan satu sama
lain sehingga tubuh merespons untuk menumbuhkan tulang baru. Tulang baru ini
tumbuh berlebihan (taji tulang) yang terjadi di sekitar tulang belakang dapat meluas
dan mempersempit ruang pada tulang belakang dan menjepit saraf pada area
tersebut. Penyakit paget pada tulang juga dapat menyebabkan pertumbuhan
berlebihan pada tulang belakang yang akhirnya bisa menekan saraf..
b. Disk Hernia
Di setiap vertebra (tulang yang membentuk punggung) terdapat bantalan bulat
yang dapat dan ini disebut dengan disk vertebra. Seiring bertambahnya usia, disk
vertebra akan mengalami retakan di tepi luar yang menyebabkan cairan khusus dari
disk ini menembus lapisan luar yang lemah. Disk akan menggembung, memakan
ruang pada tulang belakang dan menekan saraf di dekat disk.

6
c. Penebalan Ligament
Ligamen adalah pita serat yang menahan tulang belakang. Arthritis dapat
menyebabkan ligamen menebal dari waktu ke waktu sehingga memakan ruang
sehingga penyempitan dapat terjadi.
d. Fraktur atau cedera pada tulang belakang
Tulang patah, terkilir (keseleo), atau peradangan yang terjadi di dekat tulang
belakang dapat mempersempit ruang kanal dan memberi tekanan pada saraf tulang
belakang.
e. Tumor
Pertumbuhan jaringan yang abnormal di dalam dan di antara di sumsum tulang
belakang atau pada tulang belakang itu sendiri dapat mempersempit ruang dan
mengiritasi saraf di sekitarnya.
Selain beberapa penyebab di atas, ada sejumlah faktor yang dapat
meningkatkan risiko seseorang menderita stenosis spinal, yaitu (Tamin, 2020):
a. Berusia 50 tahun ke atas
b. Memiliki kelainan bentuk tulang belakang sejak lahir
c. Mengalami cedera tulang belakang sebelumnya
d. Menderita skoliosis.

2.4 Patafisiologi
Stenosis memberat seiring usia walaupun tidak selalu menimbulkan gejala.
Karena perbedaan kompensasi, dua individu dengan stenosis yang sama bisa tidak
memunculkan gejala yang sama. Kecepatan perubahan tersebut terjadi tampaknya
juga penting. Penderita dapat menjadi simtomatik dengan kompresi yang derajatnya
lebih ringan jika terjadi dengan cepat. Ini menjelaskan mengapa pada pasien dengan
stenosis dapat menjadi simtomatik hanya dengan herniasi diskus akut yang ringan
(Lathif, 2015).
Sejalan dengan pertambahan usia cairan tersebut berkurang, akibatnya nukleus
pulposus mengalami dehidrasi dan kemampuannya mendistribusikan tekanan
berkurang, memicu robekan pada annulus. Kolagen memberikan kemampuan
peregangan pada diskus. Nucleus tersusun secara eksklusif oleh kolagen tipe-II,

7
yang membantu menyediakan level hidrasi yang lebih tinggi dengan memelihara
cairan, membuat nucleus mampu melawan beban tekan dan deformitas. Annulus
terdiri dari kolagen tipe-II dan kolagen tipe-I dalam jumlah yang sama, namun pada
orang yang memasuki usia 50 tahun atau lebih tua dari 50 tahun kolagen tipe-I
meningkat jumlahnya pada diskus. Proteoglikan pada diskus intervertebralis
jumlahnya lebih kecil dibanding pada sendi kartilago, proteinnya lebih pendek,
dan jumlah rantai keratin sulfat dan kondroitin sulfat yang berbeda.
Kemampatan diskus berkaitan dengan proteoglikan, pada nucleus lebih padat
daripada di annulus. Sejalan dengan penuaan, jumlah proteoglikan menurun dan
sintesisnya juga menurun. Annulus tersusun atas serat kolagen yang kurang
padat dan kurang terorganisasi pada tepi perbatasannya dengan nukleus dan
membentuk jaringan yang renggang dengan nukleus pulposus (Apsari dkk., 2018).

8
2.5 Manifestasi Klinik
Pada sebagian besar kasus, stenosis spinal tidak menimbulkan gejala di awal.
Gejala biasanya muncul seiring memburuknya kondisi. Gejala yang dialami tiap
penderita bisa berbeda-beda, tergantung lokasi terjadinya penyempitan. Berikut ini
adalah beberapa jenis stenosis spinal dan gejalanya (Tamin, 2020):
a. Stenosis leher (cervical stenosis)
Cervical stenosis adalah penyempitan yang terjadi di ruas tulang belakang
bagian leher. Gejala yang dapat muncul adalah:
1) Mati rasa atau kesemutan pada bagian tangan, lengan, kaki, atau telapak kaki
2) Lemah pada bagian tangan, lengan, kaki, atau telapak kaki
3) Sakit leher
4) Keseimbangan tubuh terganggu
5) Kehilangan kemampuan untuk menggerakkan tangan, misalnya menulis
b. Stenosis lumbar (lumbar stenosis)
Lumbar stenosis adalah penyempitan yang terjadi di ruas tulang belakang
bagian punggung bawah. Gejala lumbar stenosis dapat berupa:
1) Mati rasa atau kesemutan pada bagian tungkai dan kaki
2) Lemah pada bagian tungkai dan kaki
3) Nyeri punggung bagian bawah (low back pain)
4) Sakit atau kram pada satu atau kedua tungkai ketika berdiri dalam jangka waktu
yang lama atau ketika berjalan
5) Pada kasus stenosis spinal yang cukup parah, stenosis lumbar dapat
menimbulkan gejala lain, yaitu kehilangan kemampuan untuk menahan buang
air kecil atau buang air besar.

2.6 Klasifikasi
Menurut Laras dan Sasongko (2020), spinal stenosis dikelompokkan menjadi
dua yaitu:
a. Spinal stenosis primer yang disebabkan oleh kelainan kongenital atau kelainan
pertubuhan setelah lahir.

9
b. Spinal stenosis sekunder (stenosis didapat) akibat dari perubahan degeneratif
atau konsekuensi dari infeksi lokal, trauma, atau operasi.
Sedangkan menurut Khasanah (2021) yang berdasarkan lokasi terjadinya,
spinal stenosis dibagi menjadi dua yaitu:
c. Stenosis serviks. Dalam kondisi ini, penyempitan terjadi pada bagian tulang
belakang di leher.
d. Stenosis lumbar. Tipe stenosis ini terjadi pada bagian tulang belakang di
punggung bawah. Ini adalah bentuk stenosis tulang belakang yang paling
umum.

2.7 Komplikasi
Meskipun jarang terjadi, stenosis spinal parah yang tidak diobati dapat
menimbulkan beberapa komplikasi antara lain (Khasanah, 2021):
a. Mati rasa di bagian tulang belakang
b. Gangguan keseimbangan
c. Inkontinensia urine
d. Kelumpuhan

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Penatalaksanaan Non Farmakologi
Penatalaksanaan non farmakologi yang dapat diberikan pada pasien dengan
spinal stenosis antara lain:
a. Terapi Kompres hangat
Kompres hangat biasanya merupakan pilihan yang lebih baik untuk nyeri akibat
osteoartritis. Kompres hangat dapat meningkatkan aliran darah, yang
melemaskan otot dan meredakan nyeri sendi (Anonim, 2020).
b. Terapi kompres dingin
Jika kompres hangat tidak dapat meredakan gejala, dapat menggunakan
kompres dingin (kompres es, paket gel beku, atau kantong kacang polong atau
jagung beku). Biasanya kompres dingin diterapkan ±20 menit. Kompres dingin
dapat mengurangi pembengkakan, nyeri tekan dan peradangan (Anonim, 2020).

10
c. Fisioterapi
Setelah gejala mereda, fisioterapi dapat dilakukan untuk memperkuat otot
punggung dan perut, serta meningkatkan kekuatan dan kelenturan tulang
belakang. Hal ini akan mengembalikan fungsi gerak dan keseimbangan tubuh
yang berkurang akibat stenosis spinal (Tamin, 2020).
d. Terapi holistik
Beberapa pasien ingin mencoba terapi holistik seperti akupunktur, akupresur,
suplemen nutrisi, dan biofeedback. Perawatan untuk stenosis tulang belakang
ini dapat membantu mempelajari mekanisme koping untuk mengelola rasa sakit
serta meningkatkan kesehatan Anda secara keseluruhan(Bohinski, 2020).
e. Operasi
Prosedur operasi dilakukan jika metode pengobatan lain tidak efektif. Operasi
stenosis spinal bertujuan untuk menghilangkan tekanan pada saraf tulang
belakang. Beberapa jenis prosedur operasi yang dapat dilakukan dokter untuk
mengobati stenosis spinal adalah(Tamin, 2020):
1) Laminektomi (operasi dekompresi), untuk mengangkat seluruh bagian dari
ruas tulang belakang (lamina) yang menekan saraf
2) Laminotomi, untuk mengangkat sebagian dari lamina
3) Foraminotomi, untuk mengangkat tulang atau jaringan di tempat keluarnya
saraf pada tulang belakang

2.8.2 Penatalaksanaan Farmakologi


Penatalaksanaan farmakologi yang biasanya diberikan pada pasien dengan
spinal stenosis antara lain (Tamin, 2020):
a. Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), seperti ibuprofen, untuk meredakan
nyeri dan ketidaknyamanan pada tulang belakang
b. Obat antikejang, seperti gabapentin dan pregabalin, untuk mengurangi nyeri
akibat kerusakan pada saraf
c. Obat antidepresan trisiklik, seperti amitriptyline, untuk mengurangi nyeri kronis
d. Obat pereda nyeri golongan opioid, seperti oxycodone, untuk mengurangi nyeri
jangka pendek

11
e. Obat kortikosteroid injeksi, seperti prednison, untuk mengurangi peradangan
dan meringankan nyeri

2.9 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu mendiagnosis
terjadinya spinal stenosis antara lain (Bohinski, 2020):
a. Rontgen, untuk mendeteksi ada tidaknya perubahan pada tulang belakang,
seperti terjadinya taji tulang yang mempersempit ruas tulang belakang.
b. MRI, untk mendeteksi kompresi saraf, kerusakan yang terjadi pada ligamen
atau bantalan tulang belakang, pertumbuhan berlebih tulang, tumor sumsum
tulang belakang, atau abses.
c. Myelogram adalah sinar-X khusus di mana pewarna disuntikkan ke dalam kanal
tulang belakang melalui keran tulang belakang. Sebuah fluoroskop sinar-X
kemudian merekam gambar yang dibentuk oleh pewarna. Myelograms dapat
menunjukkan saraf terjepit oleh disk hernia, pertumbuhan berlebih tulang,
tumor sumsum tulang belakang, dan abses tulang belakang. Rontgen tulang
belakang secara teratur hanya memberikan gambaran tulang yang jelas.
Pewarna yang digunakan dalam myelogram tampak putih pada sinar-X,
memungkinkan dokter untuk melihat sumsum tulang belakang dan kanal secara
detail.
d. CT scan, untuk melihat perubahan struktur tulang.
e. USG Doppler, adalah tes non-invasif yang menggunakan gelombang suara yang
dipantulkan untuk mengevaluasi darah saat mengalir melalui pembuluh darah.
Tes ini dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyakit arteri perifer sebagai
penyebab gejala kaki yang menyakitkan.
f. Pemeriksaan Laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium rutin dilakukan sesuai indikasi, berguna untuk
melihat laju endap darah (LED), morfologi darah tepi, kalsium, fosfor, asam
urat, alkali fosfatase, asam fosfatase, antigen spesifik prostat (jika ditemukan
kecurigaan metastasis karsinoma prostat) danelektroforesis protein serum
(protein myeloma).

12
BAB 3. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian Keperawatan


Pengkajian adalah suatu tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Tahap pengkajian
merupakan dasar utama memberikan asuhan keperawatan sesuai kebutuhan
individu (klien). Pengkajian keperawatan meliputi:
1. Identitas klien, meliputi nama, tanggal lahir, usia, tempat tinggal, agama, status
pendidikan, suku dan lain-lain.
2. Keluhan utama
Pada anamnesis keluhan utama yang lazim didapatkan adalah keluhan adanya
nyeri akibat penyempitan pada tulang belakang. Untuk mendapatkan pengkajian
yang lengkap mengenai nyeri klien, dapat digunakan metode PQRST.
3. Riwayat penyakit sekarang
Didapatkan keluhan nyeri hebat pada daerah tulang belakang dan nyeri di
daerah sekitar tulang ekor sampai kaki, keluhan gastrointestinal seperti lemas,
kelelahan, badan terasa kaku.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pada riwayat penyakit dahulu yang penting untuk dikaji antara lain penyakit
sistemik, seperti DM, hipertensi, tuberculosis, dipertimbangkan sebagai sarana
pengkajian preoperatif serta dengan aktivitas khususnya pekerjaan yang
menyangkut beban berat yang juga mempunyai risiko terkena penyakit spinal
stenosis.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit spinal stenosis atau penyakit
menular lainnya.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : keadaan yang sering muncul sebagai kelemahan fisik
b. Tingkat kesadaran : tingkat kesadaran pada penderita spinal stenosis
biasanya composmetis

14
c. TTV : mengukur tekanan darah biasanya pada penderita spinal stenosis
dalam batas normal
d. Kepala
Rambut : warna rambut, kebersihan rambut, bau dan tidak ada alopesia
Kulit kepala : adanya benjolan/lesi, dan tekstur kulit kepala
Wajah : simetris dan pucat
e. Mata
Kelengkapan dan kesimetrisan mata, bulu mata rontok/tidak, konjungtiva
dan sclera perubahan warna anemis, warna iris hitam, reaksi pupil terhadap
cahaya, pupil isokor, dan warna kornea
f. Telinga
Daun telinga masih simetris kanan dan kiri, gendang telinga tidak tertutup,
serumen berwarna putih ke abu-abuan dan masih dapat bervibrasi dengan
baik apabila tidak mengalami infeksi sekunder, pengkajian terhadap
pendengaran, peradangan.
g. Hidung
Tidak terjadi pembekakan, tidak terjadi perdarahan, tidak terjadi
pembesaran polip dan sumbatan hidung kecuali ada infeksi sekunder
seperti influenza, tidak ada kotoran.
h. Bibir
Sianosis, pucat, mukosa bibir kering/lembab, simetris, dan bentuk bibir
i. Thorax dan paru
Bentuk thorax normal chest, tidak ada retraksi intercosta, tidak ada retraksi
suprasternal, tidak ada sternomastoid, dan tidak ada pernafasan cuping
hidung
j. Dada
Inspeksi : bentuk dada simetris, adanya sianosis/tidak
Palpasi : getaran antara kanan dan kiri sama
Perkusi : pekak terjadi apabila cairan atau jaringan padat menggantikan
bagian paru yang normalnya terisi udara, seperti penyakit efusi pleura,
tumor/pasca penyembuhan TBC

15
k. Abdomen
Inspeksi : bentuk abdomen datar, tidak ada massa/benjolan, tidak ada
bayangan pembuluh darah vena
Auskultasi : tidak ada frekuensi peristaltic usus dan tidak ada obstruksi
usus
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran, permukaan halus
Perkusi : normalnya hasil perkusi pada abdomen adalah tympani
l. Integumen
Inspeksi : tidak ada lesi, tidak ada jaringan parut, warna kulit, ada tidaknya
edema, sianosis, pucat, kemerahan, tekstur halus, turgor/kelenturan baik,
struktur tegang, tidak ada nyeri tekan
m. Genitalia
Warna, kebersihan, benjolan seperti lesi, massa, dan tumor, ada tidaknya
inguinal hernia, ada tidaknya femoral hernia, dan ada tidaknya
pembengkakan
n. Ekstremitas
Otot antar sisi kanan dan kiri simetris, ada tidaknya deformitas, ada
tidaknya fraktur, ada tidaknya keterbatasan dalam aktivitas
7. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi Kesehatan
Ketidaktahuan klien tentang informasi dari penyakit yang dideritanya.
Secara umum, spinal stenosis diakibatkan karena terjadi penyempitan pada
tulang belakang. Dan biasanya penyakit ini terjadi pada usia lanjut serta
pekerja kuli, sehingga bisa menyebabkan penyempitan pada punggung.
Kurangnya pengetahuan klien tentang penyebab dan faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya spinal stenosis.
b. Pola Nutrisi Metabolik
Kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat
c. Pola Eliminasi
Urine dalam jumlah banyak, urin berwarna kuning, feses berbentuk padat.
d. Pola Aktivitas-Latihan

16
Sensitivitas meningkat, otot lemah, kelelahan berat, nyeri saat beraktivitas,
otot lemas, keterbatasan saat beraktivitas
e. Pola Istirahat dan Tidur
Saat nyeri melanda sering kebangun saat tidur
f. Pola Kognitif Perseptual
Adanya rasa khawatir karena nyeri pada bagian punggung
g. Pola Persepsi diri

3.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis terhadap pengalaman atau
respon individu, keluarga, atau komunitas pada masalah kesehatan, pada resiko
masalah kesehatan atau pada proses kehidupan (PPNI, 2016). Kemungkinan
diagnosa keperawatan yang muncul antara lain:
1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen pencedera fisik (mis. Abses, amputasi,
terbakar, terpotong, mengangkat berat, predur operasi, trauma, latihan fisik
berlebihan)
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan sendi.
3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
4. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
5. Risiko Konstipasi b/d kelemahan otot abdom
6. Risiko Inkontinensia Urine Urgensi b/d penurunan kapasitas kandung kemih

3.3 Intervensi
Diagnosa (SDKI) Tujuan dan Kriteria Intervensi (SIKI)
Hasil (SLKI)
Nyeri akut (D.0078) Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (1.09290)
perawatan 3x24 jam Observasi
diharapkan tingkat nyeri 1. Identifiksi lokasi,
menurun dengan kriteria karakteristik, durasi,
hasil: frekuensi, kualitas, intensitas
tingkat nyeri (L.08066) nyeri.
1. Kemampuan 2. Identifiksi skala nyeri.
menuntaskan aktivitas 3. Identifikasi respon nyeri non
meningkat. verbal.
2. Keluhan nyeri 4. dentifiksi yang memperberat
menurun. dan memperingan nyeri

17
3. Ekspresi meringis 5. Identifikasi pengetahuan dan
menurun. keyakinan tentang nyeri.
4. Gelisah menurun Terapeutik
1. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hipnosis, akupresur,
terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aromaterpi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres, hangat/dingin, terapi
bermain.
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat nyeri (mis. Suhu
ruangan,pencahyaan,
kebisingan).
3. Fasilitasi istirahat dan tidur.
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri.
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri.
2. Jelaskan strategi meredakan
nyeri.
3. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri.
4. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat.
5. Anjurkan teknik
nonfamakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu.
Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Ambulasi (1.06171)
mobilitas fisik perawatan 3x24 jam Observasi
(D.0054) diharapkan mobilitas fisik 1. Identifikasi adanya nyeri atau
meningkat dengan kriterian keluhan fisik lainnya.
hasil: 2. Identifikasi toleransi fisik
mobilitas fisik (L.05042) melakukan ambulasi.
1. Pergerakan ekstremitas 3. Monitor frekuensi jantung dan
meningkat. tekanan darah sebelum
2. Kekuatan otot memulai ambulasi.
meningkat 4. Monitor kondisi umum selama
3. Rentang gerak (ROM) melakukan ambulasi.
meningkat. Terapeutik
1. Fasilitasi aktivitas ambulasi
dengan alat bantu
(mis.Tongkat, kruk).

18
2. Fasilitasi melakukan mobilitas
fisik, jika perlu.
3. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi.
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
ambulasi.
2. Anjurkan melakukan ambulasi
dini.
3. Ajarkan ambulasi sederhana
yang harus dilakukan (mis.
Berjalan dari tempat tidur ke
kursi roda, berjalan dari
tempat tidur ke kamar mandi,
berjalan sesuai toleransi).
Defisit Setelah dilakukan Edukasi Kesehatan (I.12383)
pengetahuan perawatan 3x24 jam Observasi
(D.0111) diharapkan tingkat 1. Identifikasi kesiapan dan
pengetahuan meningkat kemampuan menerima
dengan kriteria hasil: informasi.
tingkat pengetahuan 2. Identifikasi faktorfaktor yang
(L.12111) dapat meningkatkan dan
1. Perilaku sesuai anjuran menurunkan motivasi perilaku
meningkat hidup bersih dan sehat.
2. Kemampuan Terapeutik
menjelaskan 1. Sediakan materi dan media
pengetahuan tentang pendidikan kesehatan.
Osteoarthritis 2. Jadwalkan pendidikan
meningkat. kesehatan sesuai kesepakatan.
3. Perilaku sesuai dengan 3. Berikan kesempatan untuk
pengetahuan bertanya.
meningkat Edukasi
1. Jelaskan faktor resiko yang
dapat mempengaruhi
kesehatan.
2. Ajarkan perilaku hidup bersih
dan sehat.
3. Ajarkan strategi yang dapat
digunakan untuk
meningkatkan perilaku hidup
bersih dan sehat.
Ansietas (D.0080) Setelah dilakukan asuhan Reduksi ansietas (I.09314)
keperawatan selama 3x 24 Observasi
jam diharapkan tingkat 1. Identifikasi saat tingkat
ansietas menurun dengan ansietas berubah
kriteria hasil: 2. Identifikasi kemampuan
Tingkat ansietas (L. menambil keputusan
09093) 3. Monitor tanda-tanda ansietas
1. Verbalisasi Terapeutik

19
kebingungan menurun 1. Ciptakan suasana terapeutik
2. Verbalisasi khawatir untuk menumbuhkan
terhadap kondisi yang kepercayaan
dihadapi menurun 2. Temani pasien untuk
3. Perilaku gelisah mengurangi kecemasan
menurun 3. Pahami situasi yang membuat
ansietas
4. Dengarkan dengan penuh
perhatian
5. Gunakan pendekatan yang
tenang dan menyakinkan
6. Diskusikan perencanaan
realitas tentang peristia yang
akan dating
Edukasi
1. Jelaskan prosedur, termasuk
sensasi yang mungkin dialami
2. Informasikan nsecara factual
tentang diagnosis, pengobatan
dan prognosis
3. Anjurkan keluarga untuk tetap
disamping pasien
4. Anjuurkan untuk
mengungkapkan peasaan dan
persepsi
5. Latih kegiatan pengalihan untk
mengurangi ketegangan
6. Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat
antiansietas, jika perlu
Risiko inkontensia Setelah dilakukan asuhan Manajemen eliminasi urine
urine urgensi keperawatan selama 3x 24 (I.04152)
(D.0051) jam diharapkan koninensia Observasi
urine membaik dengan 1. Identifikasi tanda dan gejala
kriteria hasil: retensi atau inkontinensia
Eliminasi urine (L. urine
04034) 2. Identifikasi faktor yang
1. Kemampuan menyebabkan retensi atau
berkemih meningkat inkontinensia urine
2. Distensi kendung 3. Monitor eliminasi urine
kemih menurun Terapeutik
3. Frekuensi berkemih 1. Catat aktu dan haluran
membaik berkemih
4. Sensasi berkemih 2. Batasi asupan cairan jika perlu
membaik 3. Ambil sampel urine tengan
atau kultur
Edukasi
1. Ajarkan tanda dan gejala
infeksi saluran kemih

20
2. Ajarakan cara mengukur
asupan cairan dan haluaran
berkemih
3. Ajarkan cara mengenali tanda
berkemih atau waktu yang
teoat untuk berkemih
4. Anjurkan minum yang cukup,
jika tidak ada kontraindikasi
5. Anjurkan mengurangi minum
sebelum tidur
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat
supositoria uretra, jika perlu
Risiko konstipasi Setelah dilakukan asuhan Manajemen konstipasi (I.04155)
(D.0052) keperawatan selama 3x 24 Observasi
jam diharapkan eliminasi 1. Periksa tanda dan gejala
fekal membaik dengan konstipasi
kriteria hasil: 2. Periksa pergerakan usus,
Eliminasi fekal (L. 04033) karakteristik feses
1. Keluhan defekasi lama 3. Identifikasi faktor risiko
dan sulit menurun konstipasi
2. Konsistensi feses Terapeutik
mambaik 1. Anjurkan diet tinggi serat
3. Frekuensi defekasi Edukasi
membaik 1. Anjurkan peningkatan asupan
4. Peristaltic usus cairan
membaik 2. Ajarkan acara mengatasi
konstipasi
Kolaborasi
Kolaborasi penggunaan obat
pencahar, jika perlu

21
BAB 4. PENUTUP

4.1 Discagarge Planing


Mengingat stenosis spinal umumnya disebabkan oleh penuaan, maka kondisi
ini menjadi sulit untuk sepenuhnya dicegah. Namun, ada beberapa cara yang bisa
dilakukan untuk mengurangi risiko terkena stenosis spinal antara lain (Tamin,
2020):
a. Melakukan olahraga secara teratur.
b. Menjaga berat badan agar tetap ideal.
c. Menjaga postur tubuh yang baik saat duduk atau berdiri dan posisikan bahu
tegak lurus dengan pinggul.
d. Melakukan pemeriksaan ke dokter secara rutin jika memiliki riwayat penyakit
tulang belakang.

22
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2020. Spinal Stenosis.


https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/17499-spinal-stenosis
Apsari, P. I. B., I. K. Suyasa, S. Maliawan, dan S. Kawiyana. 2018. Lumbar spinal
canal stenosis diagnosis dan tatalaksana. E-Jurnal Medika Udayana. 2(9)
Aryani, R. T. 2019. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Lumbal Spinal
Stenosis Di Rsud Dr. Soeselo Slawi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Azan, D. F. Al. 2018. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Nyeri Punggung
Pada Sopir Truk Di PT X Pati. Universitas Muhammadiyah Semarang.
Bohinski, R. 2020. Spinal stenosis. THE IOWA CLINIC
Fitria, A. 2018. Hubungan Posisi Duduk Terhadap Keluhan Low Back Pain Pada
Pengayuh Becak Di Kota Malang. University of Muhammadiyah Malang.
Khasanah, U. K. 2021. Laporan pendahuluan Asuhan Keperawatan Spinal
Stenosis Di Ruang B1 Dr. Ramelan Surabaya. Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Hang Tuang Surabaya.
Kurniadita, A. 2020. Hubungan Ketinggian Blok Dengan Hemodinamik Intra
Spinal Anestesi Di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
Lathif, A. B. Al. 2015. Pengaruh uji provokasi terhadap onset nyeri dan jarak
berjalan pada kasus lumbal spinal stenosis degeneratif (studi di rs orthopaedi
prof dr r soeharso Surakarta)
Mutia, I. 2020. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN KANKER
PAYUDARA DENGAN LITERATUR REVIEW: PENERAPAN TERAPI
MUSIK (INSTRUMENTAL MUSIC) TERHADAP NYERI PASIEN
KANKER PAYUDARA. Universitas Andalas.
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Pratama, A. D. 2019. INTERVENSI fisioterapi pada kasus osteoartritis genu di
rspad gatot soebroto. Jurnal Sosial Humaniora Terapan. 1(2):21–34.
Tamin, R. P. 2020. Stenosis Spinal. https://www.alodokter.com/stenosis-spinal

23
Umami, Z. 2021. Penatalaksanaan fisioterapi dengan modalitas short wave
diathermy (swd), transcutaneous electrical nerve stimulation (tens), dan mc
kenzie exercise pada kasus low back pain et causa ischialgia, zahrotul umami
2021. Universitas Muhammadiyah Gresik.

24

Anda mungkin juga menyukai