Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PASIEN DENGAN FRAKTUR THORACIC SPINE

DI RUANG DIPONEGORO BAWAH RSUD KANJURUAN

Bertujuan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Klinik Keperawatann Medikal Bedah II

Disusun Oleh :

Sarah Zalena

P17211204125

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN & PROFESI NERS

2022/2023
I. DEFINISI
a. Pengertian
1. Fraktur
Fraktur merupakan terputusnya kontinunitas jaringan tulang yang
umunya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer et al., 2000). Sedangkan
menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Documentations
menyebutkan bahwa fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang
disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and
Sorensen’s Medical Surgical Nursing.
2. Patah Tulang Tertutup
Dalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000, diungkapkan
bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain
menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih
(karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Henderson,
1997)
3. Patah Tulang Radius Ulna
Radius ulna berada pada lengan bagian bawah, yang sebelah
proksimal berhubungan dengan sendi siku dan distal berhubungan dengan
sendi pergelangan tangan. Radius ulna mempunyai peran spesifik
dibandingkantulang lainnya. Ulna memiliki peran besar dalam arikulasi pada
sendi siku dengan humerus, sedangkan radius berperan dalam artikulasi
denganpergelangan tangan. Fraktur radius ulna adalah fraktur tulang Panjang
yang paling banyak terjadi, lalu diikuti oleh humerus.
Faktur pada radius ulna dapat terjadi di bagian proksimal, tengah,
dandistal dari tulang radius ulna. Pada proksimal fraktur dapat terjadi
padaolekranon, kepala radius, dan leher radius. Pada bagian tengah, fraktur
dapat terjadi pada batang radius dan ulna. Pada bagian distal fraktur dapat
terjadi pada distal radius dan distal ulna.

Menurut (Mansjoer et al., 2000) mekanisme terjadinya fraktur:


 Tipe Ekstensi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah
dalam posisi supinasi
 Tipe Fleksi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam
posisi pronasi
4. Platting
Platting adalah satu bentuk dari fiksasi internal menggunakan plat yang
terletak sepanjang tulang dan berfungsi sebagai jembatan yang difiksasi
dengan sekrup. Terdapat keuntungan dan kerugian yang dapat diakibatkan
oleh pemasangan platting, yaitu:
 Keuntungan
1) Tercapainya kestabilan dan perbaikan tulang seanatomis
mungkin yang sangat penting bila ada cedera vaskuler, saraf,
dan lain-lain.
2) Aliran darah ke tulang yang patah baik sehingga
mempengaruhi proses penyembuhan tulang.
3) Klien tidak akan tirah baring lama.
4) Kekakuan dan oedema dapat dihilangkan karena bagian fraktur
bisa segera digerakkan.
 Kerugian
1) Fiksasi internal berarti suatu anestesi, pembedahan, dan
jaringan parut.
2) Kemungkinan untuk infeksi jauh lebih besar.
3) Osteoporosis bisa menyebabkan terjadinya fraktur sekunder
atau berulang.
b. Anatomi dan Fisiologi
1. Struktur Tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran,
tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar
disebut Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan
dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut benang
sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya
keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan
sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut Sistem
Haversian. Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal Haversian.
Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit
antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan
Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal
Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya terdapat
pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman.
Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang
sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari
sistem Haversian, yang didalamnya terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.
Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon
yang didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah
merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah
yang memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan bone
marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses
fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES).
Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast.
 Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah
tulang baru.
 Osteosit merupakan osteoblast yang ada pada matriks.
 Osteoklast merupakan adalah sel penghancur tulang dengan menyerap
kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua
Sel tulang ini diikat oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks.
Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan
substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi,
oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah.
Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan
fosfat) yang menyebabkan tulang keras. Sedangkan aliran darah dalam tulang
antara 200 – 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black, 1995;
Ignatavicius & Bayne, 1991)
2. Tulang Panjang
Adalah tulang yang panjang berbentuk silinder dimana ujungnya bundar dan
sering menahan beban berat (Ignatavicius & Bayne, 1991). Tulang panjang
terdiriatas epifisis, tulang rawan, diafisis, periosteum, dan medula tulang.
Epifisis (ujung tulang) merupakan tempat menempelnya tendon dan
mempengaruhi kestabilan sendi. Tulang rawan menutupi seluruh sisi dari
ujung tulang dan mempermudah pergerakan, karena tulang rawan sisinya
halus dan licin. Diafisis adalah bagian utama dari tulang panjang yang
memberikan struktural tulang. Metafisis merupakan bagian yang melebar dari
tulang panjang antara epifisis dan diafisis. Metafisis ini merupakan daerah
pertumbuhan tulang selama masa pertumbuhan. Periosteum merupakan
penutup tulang sedang rongga medula (marrow) adalah pusat dari diafisis
(Black, 1995)
3. Tulang Humerus
Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas), korpus,
dan ujung bawah.
 Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang
membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan bagian
dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang lebih
ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas dibawah leher
anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas Mayor dan
disebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu Tuberositas
Minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus
intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Dibawah
tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur.
 Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih.
Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas
deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan
oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah
lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-
spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.
 Ujung Bawah
Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi dibentuk
bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi sebelah
dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan
disebelah luar etrdapat kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada
kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu
epikondil lateral dan medial. (Pearce, 2016)
4. Tulang Radius Ulna
Tulang pengumpil atau radius adalah tulang lengan bawah yang
menyambungkan bagian siku dengan tangan di sisi ibu jari.
Tulang hasta atau ulna merupakan tulang berbentuk panjang dan tipis
yang berada di lengan bawah. Bersama tulang radius, tulang hasta berperan
dalam membentuk postur tubuh dan mendukung pergerakan lengan bawah.
5. Fungsi Tulang
 Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.
 Tempat mlekatnya otot.
 Melindungi organ penting.
 Tempat pembuatan sel darah.
 Tempat penyimpanan garam mineral.
(Ignatavicius & Bayne, 1991)
c. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis,
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Berdasarkan sifat fraktur
 Fraktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi.
 Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit
2. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur
 Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
 Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
1) Hair Line Frakur
2) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya
3) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang
3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma
 Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
 Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
 Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
 Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
 Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
4. Berdasarkan jumlah garis patah
 Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan
 Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan
 Fraktur Multiple: Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama
5. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang
 Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh
 Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergesaran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
1) Dislokasi ad logitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping)
2) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)
3) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh)
6. Fraktur kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang
7. Fraktur patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan
jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1. Tingkat 0
Fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya
2. Tingkat 1
Fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan
3. Tingkat 2
Fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan
4. Tingkat 3
Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman
sindroma kompartement
(Apley & Solomon, 1995; Black, 1995; Henderson, 1997; Mansjoer et al.,
2000; Oswari, 1993; Pearce, 2016; Reksoprodjo, 1995)

II. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan (Apley & Solomon, 1995). Tapi apabila tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpenito, 1999).
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi
karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya
(Black, 1995)
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap
besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas,
kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang (Ignatavicius & Bayne, 1991).
b. Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh
aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah
fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak
dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini
berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro
kartilago yang berasal dari periosteum, endosteum, dan bone marrow yang
telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk
ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan
terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru
yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung
selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk
tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan
osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang
yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago,
membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal.
Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang) menjadi lebih padat sehingga
gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur
menyatu.
4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang
berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan
memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur,
dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara
fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin
perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang
normal.
5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih
tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang
tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk
struktur yang mirip dengan normalnya.
c. Komplikasi fraktur
1. Komplikasi Awal
 Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
 Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari
luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
 Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
 Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
 Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia.
 Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
2. Komplikasi dalam Waktu Lama
 Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
 Nonuion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion
ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena
aliran darah yang kurang.
 Malnunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik
(Black, 1995)

III. ETIOLOGI
Menurut (Oswari, 1993) penyebab terjadinya fraktur antara lain:
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langusng menyebabka patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau
miring
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jatuh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan

IV. GEJALA DAN TANDA


a. Nyeri terus menerus dan bertambah berat. Nyeri berkurang jika fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Deformitas dapat disebabkan oleh pergeseran fragmen pada eksremitas.
Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
c. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah
tempat fraktur.
d. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam
atau beberapa hari setelah cedera.
f. Pada pemeriksaan harus diperhatikan keutuhan faal nervus radialis dan arteri
brakialis. Saat pemeriksaan apakah ia dapat melakukan dorsofleksi pergelangan
tangan atau ekstensi jari-jari tangan.

V. MASALAH KEPERAWATAN
- (D.0077) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
- (D.0054) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan inetrgitas
struktur tulang
- (D.0109) Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan muskoloskeletal
- (D.0142) Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
- (D.0067) Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan fraktur

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hemoglobin, hematokrit
sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila
kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P
mengikat di dalam darah.
b. Radiologi
Pada rontgen dapat dilihat gambaran fraktur (tempat fraktur, garis fraktur
(transversa, spiral atau kominutif) dan pergeseran lainnya dapat terbaca jelas).
Radiografi humerus AP dan lateral harus dilakukan. Sendi bahu dan siku harus
terlihat dalam foto. Radiografi humerus kontralateral dapat membantu pada
perencanaan preoperative. Kemungkinan fraktur patologis harus diingat. CT-scan,
bone-scan dan MRI jarang diindikasikan, kecuali pada kasus dengan kemungkinan
fraktur patologis. Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT
scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang lebih kompleks

VII. PENATALAKSANAAN
a. Konservatif
Pada umumnya, pengobatan patah tulang shaft humerus dapat ditangani secara
tertutup karena toleransinya yang baik terhadap angulasi, pemendekan serta rotasi
fragmen patah tulang. Angulasi fragmen sampai 300 masih dapat ditoleransi,
ditinjau dari segi fungsi dan kosmetik. Hanya pada patah tulang terbuka dan non-
union perlu reposisi terbuka diikuti dengan fiksasi interna.
Dibutuhkan reduksi yang sempurna disamping imobilisasi; beban pada lengan
dengan cast biasanya cukup untuk menarik fragmen ke garis tengah. Hanging cast
dipakai dari bahu hingga pergelangan tangan dengan siku fleksi 90° dan bagian
lengan bawah digantung dengan sling disekitar leher pasien. Cast (pembalut)
dapat diganti setelah 2-3 minggu dengan pembalut pendek (short cast) dari bahu
hingga siku atau functional polypropylene brace selama ± 6 minggu.
Pergelangan tangan dan jari-jari harus dilatih gerak sejak awal. Latihan
pendulum pada bahu dimulai dalam 1 minggu perawatan, tapi abduksi aktif
ditunda hingga fraktur mengalami union. Fraktur spiral mengalami union sekitar 6
minggu, variasi lainnya sekitar 4-6 minggu. Sekali mengalami union, hanya sling
(gendongan) yang dibutuhkan hingga fraktur mengalami konsolidasi.
Pengobatan non bedah kadang tidak memuaskan pasien karena pasien harus
dirawat lama. Itulah sebabnya pada patah tulang batang humerus dilakukan
operasi dan pemasangan fiksasi interna yang kokoh.
Berikut beberapa metode dan alat yang digunakan pada terapi konservatif:
1. Hanging Cast
Indikasi penggunaan meliputi pergeseran shaft tengah fraktur humerus
dengan pemendekan, terutama fraktur spiral dan oblik. Penggunaan pada
fraktur transversa dan oblik pendek menunjukkan kontraindikasi relatif karena
berpotensial terjadinya gangguan dan komplikasi pada saat penyembuhan.
Pasien harus mengangkat tangan atau setengah diangkat sepanjang waktu
dengan posisi cast tetap untuk efektivitas. Seringkali diganti dengan fuctional
brace 1-2 minggu pasca trauma. Lebih dari 96% telah dilaporkan mengalami
union.
2. Coaptation Splint
Diberikan untuk efek reduksi pada fraktur tapi coaptation splint
memiliki stabilitas yang lebih besar dan mengalami gangguan lebih kecil
daripada hanging arm cast. Lengan bawah digantung dengan collar dan cuff.
Coaptation splint diindikasikan pada terapi akut fraktur shaft humerus dengan
pemendekan minimal dan untuk jenis fraktur oblik pendek dan transversa
yang dapat bergeser dengan penggunaan hanging arm cast. Kerugian
coaptation splint meliputi iritasi aksilla, bulkiness dan berpotensial slippage.
Splint seringkali diganti dengan fuctional brace pada 1-2 minggu pasca
trauma.
3. Thoracobranchial immobilization (velpeu dressing)
Biasanya digunakan pada pasien lebih tua dan anak-anak yang tidak
dapat ditoleransi dengan metode terapi lain dan lebih nyaman jadi pilihan.
Teknik ini diindikasikan untuk pergeseran fraktur yang minimal atau fraktur
yang tidak bergeser yang tidak membutuhkan reduksi. Latihan pasif
pendulum bahu dapat dilakukan dalam 1-2 minggu pasca trauma.
4. Shoulder spica cast
Teknik ini diindikasikan pada jenis fraktur yang mengharuskan
abduksi dan eksorotasi ektremitas atas. Kerugian teknik ini meliputi kesulitan
aplikasi cast, berat cast dan bulkiness, iritasi kulit, ketidaknyamanan dan
kesusahan memposisikan ektremitas atas.

5. Functional bracing
Memberikan efek kompresi hidrostatik jaringan lunak dan
mempertahankan aligment fraktur ketika melakukan pergerakan pada sendi
yang berdekatan. Brace biasanya dipasang selama 1-2 minggu pasca trauma
setelah pasien diberikan hanging arm cast atau coaptation splint dan bengkak
berkurang. Kontraindikasi metode ini meliputi cedera massif jaringan lunak,
pasien yang tidak dapat dipercaya dan ketidakmampuan untuk
mempertahankan asseptabilitas reduksi. Collar dan cuff dapat digunakan
untuk menopang lengan bawah; aplikasi sling dapat menghasilkan angulasi
varus (kearah midline).
b. Tindakan Operatif
Pasien kadang-kadang mengeluh hanging cast tidak nyaman, membosankan
dan frustasi. Mereka bisa merasakan fragmen bergerak dan hal ini kadang-kadang
cukup dianggap menyusahkan. Hal penting yang perlu diingat bahwa tingkat
komplikasi setelah internal fiksasi pada humerus tinggi dan sebagian besar fraktur
humerus mengalami union tanpa tindakan operatif.
Meskipun demikian, ada beberapa indikasi untuk dilakukan tindakan
pembedahan, diantaranya:
 Cedera multiple berat
 Fraktur terbuka
 Fraktur segmental
 Fraktur ekstensi intra-artikuler yang bergeser
 Fraktur patologis
 Siku melayang (floating elbow) pada fraktur lengan bawah (antebrachi)
dan humerus tidak stabil bersamaan
 Palsi saraf radialis (radial nerve palsy) setelah manipulasi
 Non-union
Fiksasi dapat berhasil dengan
 Kompresi plate and screws
 Interlocking intramedullary nail atau pin semifleksibel
 External Fixation
Plating menjadikan reduksi dan fiksasi lebih baik dan memiliki keuntungan
tambahan bahwa tidak dapat mengganggu fungsi bahu dan siku. Biar
bagaimanapun, ini membutuhkan diseksi luas dan perlindungan pada saraf
radialis. Plating umumnya diindikasikan pada fraktur humerus dengan kanal
medulla yang kecil, fraktur proksimal dan distal shaft humerus, fraktur humerus
dengan ekstensi intraartikuler, fraktur yang memerlukan eksplorasi untuk evaluasi
dan perawatan yang berhubungan dengan lesi neurovaskuler, serta humerus non-
union.
Interlocking intramedullary nail diindikasi pada fraktur segmental dimana
penempatan plate akan memerlukan diseksi jaringan lunak, fraktur humerus pada
tulang osteopenic, serta pada fraktur humrus patologis. Antegrade nailing
terbentuk dari paku pengunci yang kaku (rigid interlocking nail) yang dimasukkan
kedalam rotator cuff dibawah control (petunjuk) fluoroskopi. Pada cara ini,
dibutuhkan diseksi minimal namun memiliki kerugian, yaitu menyebabkan
masalah pada rotator cuff pada beberapa kasus yang berarti. Jika hal ini terjadi,
atau apabila nail keluar dan fraktur belum mengalami union, penggantian nailing
dan bone grafting mungkin diperlukan; atau dapat diganti dengan external fixator.
Retrograde nailing dengan multiple flexible rods dapat menghindari masalah
tersebut, tapi penggunaannya lebih sulit, secara luas kurang aplikatif dan kurang
aman dalam mengontrol rotasi dari sisi yang fraktur.
External fixation mungkin merupakan pilihan terbaik pada fraktur terbuka dan
fraktur segmental energy tinggi. External fixation ini juga prosedur penyelamatan
yang paling berguna setelah intermedullary nailing gagal. Indikasi umumnya pada
fraktur humerus dengan non-union infeksi, defek atau kehilangan tulang, dengan
luka bakar, serta pada luka terbuka dengan cedera jaringan lunak yang luas.

VIII. ASUHAN KEPERAWATAN


a. Pengkajian Keperawatan Primer
Menurut (Jainurakhma et al., 2021) Setelah pasien sampai di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) yang pertama kali harus dilakukan adalah mengamankan dan
mengaplikasikan prinsipAirway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure
(ABCDE).
1. Airway
Pada pengkajian Airway, Penilaian kelancaran airway pada klien yang
mengalami fraktur meliputi, pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas atau
fraktur di bagian wajah.Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus
memproteksi tulang servikal karena itu tehnik Jaw Thurst dapat digunakan
pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya
memerlukan pemasangan airway definitif.
2. Breathing
Pengkajian pada pernapasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan
napas dan keadekuatan pernapasan pada pasien
a) Look
 Lihat pengembangan dada
 Retraksi intercostal
 Penggunaan otot aksesoris pernapasan
b) Listen
 Apakah terdengar suara napas
 Bunyi napas (Ngorek, bersiul, megak dan lain-lain)
 Suara napas tambahan (ronchi, wheezing, rales, dll)
c) Feel
 Apakah ada hembusan darah dari hidung
 Frekuensi napas
3. Circulation
Pada pengkajian kegawatdaruratan pada pasien fraktur femur,
dilakukan penilaian terhadap fraktur ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang
harus diperhatikan di sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac
output. Pendarahan sering menjadi permasalahan utama pada kasus patah
tulang, terutama patah tulang terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan
kehilangan darah dalam paha 3 – 4 unit darah dan membuat syok kelas III.
Menghentikan pendarahan yang terbaik adalah menggunakan penekanan
langsung dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang mengalami
pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai yang baik dapat
menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi gerakan dan
meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada patah tulang
terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan
pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting
disamping usaha menghentikan pendarahan.

4. Disabillity
Pada Pengkajian DIssability dilakukan pengkajian neurologi, untuk
mengetahui kondisi umum pasien dengan cepat mengecek tingkat kesadaran
pasien dan reaksi pupil pasien
5. Exposure
Pada pengkajian exposure, Pasien harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, seiring dengan cara menggunting, guna memeriksa dan evaluasi
pasien. setelah pakaian dibuka, penting bahwa pasien diselimuti agar pasien
tidak hipotermia. pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma
muskuloskeletal seperti fraktur adalah imobilisasi patah tulang dan
pemeriksaan radiologi
b. Pengkajian Keperawatan Sekunder
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Menurut (Ignatavicius &
Bayne, 1991) Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan data
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, nomor register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
(3) Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
(Ignatavicius & Bayne, 1991)
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh
mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat.
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak.
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C
dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan
penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau
protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain
itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain.
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keuarga dan dalam masyrakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya
(10) Pola Penanggulangan Stress Pada klien fraktur timbul rasa
cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien bisa tidak efektif
(11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk klien fraktur tidak dapat
melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien
c. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
1. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
 Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien
 Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut
 Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
b) Secara sistematik dari kepala sampai kelamin
a. Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
b. Kepala
Tidak ada gangguan, yaitu normo cephalik, simetris, tidak ada
benjolan, tidak ada nyeri kepala
c. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
d. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan)
f. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
g. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
i. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j. Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fernitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi
k. Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur
l. Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit
m. Ingunital-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB
2. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskoloskeletal
adalah:
a) Look (Inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal).
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (Palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaik mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat
di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap
dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif. (Reksoprodjo, 1995)
d. Diagnosa Keperawatan
1. (D.0077) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
2. (D.0054) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan inetrgitas
struktur tulang
3. (D.0109) Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan
muskoloskeletal
4. (D.0142) Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
5. (D.0067) Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan fraktur
e. Rencana Intervensi Keperawatan
Menurut (Tim Pokja SDKI, 2018; Tim Pokja SIKI, 2018)
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
(D.0077) Nyeri akut (L.08066) Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri (I.08238)
Setelah dilakukan dilakukan 1. Observasi
tindakan keperawatan selama 3x24  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
jam diharapkan tingkat nyeri kualitas, intensitas nyeri
menurun dengan kriteria hasil :  Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri menurun  Identifikasi respon nyeri non verbal
2. Tampak meringis menurun 2. Terapeutik
3. Sikap protektif menurun  Berikan teknik non farmakologis untuk
4. Gelisah menurun mengurangi rasa nyeri
5. Kesulitan tidur menurun  Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
6. Frekuensi nadi membaik pemilihan strategi meredakan nyeri
7. Tekanan darah membaik 3. Edukasi
8. Pola napas membaik
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Ajarkan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgesic, jika perlu
(D.0054) Gangguan Mobilitas Fisik (L.05042) Mobilitas Fisik Dukungan mobilisasi (I.05173)
Setelah dilakukan asuhan Observasi
keperawatan selama 3 x 24 jam 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
diharapkan mobilitas fisik 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
(L.05042) meningkat, dengan Terapeutik
kriteria hasil: 1. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
1. Pergerakan ekstremitas memulai mobilisasi Monitor kondisi umum selama
meningkat melakukan mobilisasi
2. Kekuatan otot meningkat 2. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis.
3. Rentang gerak (ROM) pagar tempat tidur)
meningkat 3. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu Libatkan
4. Nyeri menurun keluarga untuk membantu pasien dalam
5. Gerakan terbatas menurun meningkatkan pergerakan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi Anjurkan
melakukan mobilisasi dini
2. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
(mis. duduk di (empat tidur, duduk di sisi tempat
tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi)
(D.0129) Ganguan Integritas Kulit/ Setelah dilakukan asuhan Perawatan luka (I.14564)
keperawatan selama 3 x 24 jam
Jaringan diharapkan Integritas Kulit dan Observasi
Jaringan (L.14125) 1. Monitor karakteristik luka (mis: drainase, warna,
membaik, dengan kriteria hasil: ukuran, bau)
 Kerusakan jaringan menurun 2. Monitor tanda –tanda inveksi
 Kerusakan lapisan kulit menurun Terapiutik
 Kemerahan menurun 1. Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
2. Cukur rambut di sekitar daerah luka, jika perlu
3. Bersihkan dengan cairan nacl atau pembersih non
toksik,sesuai kebutuhan
4. Bersihkan jaringan nekrotik
5. Berika salep yang sesuai di kulit /lesi, jika perlu
6. Pasang balutan sesuai jenis luka
7. Pertahan kan teknik seteril saaat perawatan luka
8. Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
9. Jadwalkan perubahan posisi setiap dua jam atau
sesuai kondisi pasien
10. Berika diet dengan kalori 30-35 kkal/kgbb/hari dan
protein1,25-1,5 g/kgbb/hari
11. Berikan suplemen vitamin dan mineral (mis vitamin
a,vitamin c,zinc,asam amino),sesuai indikasi
12. Berikan terapi tens(stimulasi syaraf
transkutaneous), jika perlu
Edukasi
1. Jelaskan tandan dan gejala infeksi
2. Anjurkan mengonsumsi makan tinggi kalium dan
protein
3. Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Kolaborasi
1. Kolaborasi prosedur debrid dement (mis: enzimatik
biologis mekanis, autolotik), jika perlu
2. Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu
(D.0109) Defisit Perawatan Diri Setelah dilakukan asuhan Observasi
keperawatan selama 3 x 24 jam 1. Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai
diharapkan Perawatan Diri usia
(L.11103) meningkat, dengan 2. Monitor tingkat kemandirian
kriteria hasil: 3. Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri,
 Kemampuan mandi meningkat berpakaian, berhias, dan makan
 Kemampuan mengenakan Terapeutik
pakaian meningkat 4. Sediakan lingkungan yang terapeutik (mis. Suasana
 Kemampuan makan meningkat hangat, rileks, privasi) Siapkan keperluan pribadi
 Kemampuan ke toilet (mis. Parfum, sikat gigi, dan sabun mandi)
(BAB/BAK) meningkat 5. Dampingi dalam melakukan perawatan diri sampai
 Verbalisasi keinginan
melakukan perawatan diri mandiri
meningkat 6. Fasilitasi untuk menerima keadaan ketergantungan
 Minat melakukan perawatan diri 7. Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak mampu
meningkat melakukan perawatan diri
 Mempertahankan kebersihan 8. Jadwalkan rutinitas perawatan diri Edukasi Anjurkan
diri meningkat melakukan perawatan diri secara konsisten
 Mempertahankan kebersihan sesuai kemampuan
mulut meningkat Edukasi
9. Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten
sesuai kemampuan
(D.0142) Risiko Infeksi Setelah dilakukan asuhan Observasi
keperawatan selama 3 x 24 jam Terapeutik
diharapkan Tingkat Infeksi  Batasi jumlah pengunjung
(L.14137) menurun, dengan kriteria  Berikan perawatan kulit pada area edema
hasil  Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
 Demam menurun pasien dan lingkungan pasien
 Kemerahan menurun  Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko
 Nyeri menurun tinggi
 Bengkak menurun Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar Ajarkan
etika batuk
 Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka
operasi
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
(D.0067) Risiko Disfungsi Neurovaskuler Setelah dilakukan asuhan Observasi
Perifer keperawatan selama 3 x 24 jam 1. Identifikasi penyebab perubahan sensasi
diharapkan Neurovaskuler Perifer 2. Identifikasi penggunaan alat pengikat, prostesis,
(L.06051) meningkat, dengan sepatu, dan pakaian Periksa perbedaan sensasi tajam
kriteria hasil atau tumpul
 Sirkulasi arteri meningkat 3. Periksa perbedaan sensasi panas atau dingin
 Sirkulasi vena meningkat 4. Periksa kemampuan mengidentifikasi lokasi dan

 Nyeri menurun tekstur benda

 Nadi membaik 5. Monitor terjadinya parestesia, jika perlu


6. Monitor perubahan kulit
 Suhu tubuh membaik
7. Monitor adanya tromboflebitis dan tromboemboli
 Warna kulit membaik
vena
Terapeutik
8. Hindari pemakaian benda-benda yang berlebihan
suhunya (terlalu panas atau dingin)
Edukasi
9. Anjurkan penggunaan termometer untuk menguji
suhu air
10. Anjurkan penggunaan sarung tangan termal saat
memasak
11. Anjurkan memakai sepatu lembut dan bertumit
rendah
Kolaborasi
12. Kolaborasi pemberian analgesik, jika perlu
13. Kolaborasi pemberian kortikosteroid, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. G., & Solomon, L. (1995). Buku ajar ortopedi dan fraktur sistem apley. Edisi
Ketujuh, Widya Medika, Jakarta.

Black, J. M. (1995). Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing: A Nursing Process


Approach. WB Saunder Company.

Carpenito, L. J. (1999). Rencana asuhan dan dokumentasi keperawatan. Jakarta: EGC.

Henderson, M. A. (1997). Ilmu bedah untuk perawat. Yayasan Essentia Medica, Yogyakarta.

Ignatavicius, D. D., & Bayne, M. V. (1991). Medical-surgical nursing: A nursing process


approach. WB Saunders Company.

Jainurakhma, J., Hariyanto, S., Mataputun, D. R., Silalahi, L. E., Koerniawan, D., Rahayu, C.
E., Siagian, E., Umara, A. F., Madu, Y. G., & Rahmiwati, R. (2021). Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat. Yayasan Kita Menulis.

Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W. I., & Setiowulan, W. (2000). Kapita
selekta kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius, 86–92.

Oswari, E. (1993). Bedah dan perawatannya. Gramedia, Jakarta.

Pearce, E. C. (2016). Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. PT Gramedia Pustaka Utama.

Reksoprodjo, S. (1995). Kumpulan kuliah ilmu bedah. Binarupa Aksara.

Tim Pokja SDKI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik (Edisi 1).

Tim Pokja SIKI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan (Edisi 1).

Anda mungkin juga menyukai