Anda di halaman 1dari 32

2.

1 Anatomi Fisiologi Tulang Belakang

Kolumna vertebra atau rangkaian tulang belakang adalah pilar mobile


melengkung yang kuat sebagai penahan tengkorak, rongga thorak, anggota gerak atas,
membagi berat badan ke anggota gerak bawah dan melindungi medula spinalis. ( John
Gibson MD, 1995 : 25 ). Kolumna vertebra terdiri dari beberapa tulang vertabra yang
di hubungkan oleh diskus Intervertebra dan beberapa ligamen. Masing - masing
vertabra di bentuk oleh tulang Spongiosa yang diisi oleh sumsum merah dan ditutupi
oleh selaput tipis tulang kompakta. Kolumna vertebra terdiri atas 33 ruas tulang yang
terdiri dari :
 7 ruas tulang cervical
 12 ruas tulang thorakal
 5 ruas tulang lumbal
 5 ruas tulang sakral (sacrum)
 5 ruas tulang ekor (coccygis)

2.1.1 Vertebra dan Persendiannya

Vertebra memiliki perbedaan yang khas yang memperlihatkan seperti :


1. Korpus yaitu lempeng tulang yang tebal, dengan permukaan yang agak
melengkung diatas dan bawah .
2. Arkus vertebra terdiri dari :
a. Pedikulus di sebelah depan : Tulang berbentuk batang memanjang kebelakang
dari korpus, dengan takik pada perbatasan vertebra membentuk foramen
intervertebralis.
b. Lamina di sebelah belakang : lempeng tulang datar memanjang ke belakang
dan ke samping bergabung satu sama lain pada sisi yang berbeda.
3. Foramen vertebra : Suatu lubang besar dibatasi oleh korpus pada bagian
depan, pedikulus di samping dan di belakang.
4. Foremen Transversarium : lubang disamping , diantara dua batasan
vertebra , di dalamnya terdapat saraf spinal yang bersesuaian.
5. Processus articularis posterior dan inferior ; berarti kulasi dengan processus
yang serupa pada vertebra diatas dan dibawah.
6. Processus tranversus : memproyeksikan batang tulang secara tranversal.
7. Spina : Suatu processus yang mengarah ke belakang dan ke bawah.
8. Diskus intervertebra adalah diskus yang melekatkan kepermukaan korpus
dari dua takik vertebra : Diskus tersebut terbentuk dari anulus fibrosus,jaringan
fibrokartilago yang berbentuk cincin pada bagian luar, dan nukreus pulposus,
substansi semi-cair yang mengandung beberapa sarat dan terbungkus di dalam
anulus fibrosus.

2.1.2 Ligamentum

Beberapa ligamentum yang menghubungkan vertebra :


1. Dari Ligamentum longitudinalis anterior melebar ke bawah pada bagian depan
korpus vertebra
2. Ligamentum longitudinalis posterior melebar ke bawah pada bagian belakang
dari korpus vertebra ( yaitu didalam kanalis vertebra ).
3. Ligamen pendek menghubungkan processus tranversus dan spinalis dan
mengelilingi persendian processus artikuler.

2.1.3 Vertebra Cervicalis

Vertebra cervikalis bentuknya kecil, mempunyai korpus yang tipis, dan


processus tranversus yang di tandai dengan jelas karena mempunyai foramen
( didalamnya terdapat arteri vertebralis ) dan berakhir dalam dua tuberkolosis.
2.1.4 Vertebra Torakalis

Vertebra torakalis bentuknya lebih besar daripada yang cervikal dan


disebelah bawah menjadi lebih besar.Ciri khas vertebra torakalis adalah badannya
berbentuk lebar lonjong ( bentuk jantung ) dengan faset atau lekukan kecil disetiap
sisi untuk menyambung iga, lengkungnya agak kecil, prosesus panjang dan
mengarah kebawah, sedangkan prosesus tranversus , yang membantu faset
persendian untuk iga.

2.1.5 Vertebra Lumbalis

Vertebra lumbalis bentuknya adalah yang terbesar, badannya sangat besar


dibandingkan dengan badab vertebra yang lainnya dan berbentuk seperti ginjal,
prosesus spinosusnya lebar dan berbentuk seperti kapak kecil, prosesus
tranversusnya panjang dan langsing, ruas kelima membentuk sendi dengan sakrum
pada sendi lumbo sakral.

2.1.6 Sakrum

Sakrum atau tulang kelangkangberbentuk segitiga dan terletak padambagian


bawah kolumna vertebralis, terjepit diantara kedua tulang inominata (atau tulang
koxa ) dan membentuk bagian belakabg rongga pelvis ( panggul ). Dasar dari
sakrum terletak diatas dan bersendi dengan vertebra lumbalis kelima dan
membentuk sendi intervetebra yang khas,tepi anterior dari basis
saklrum ,membentuk promontorium sakralis. Kanalis sakralis terletak dibawah
kanalis vertebralis ( saluran tulang belakang ) dan lanjuan dari padanya. Dinding
kanalis sakralis berlubang - lubang untuk dilalui saraf sakral. Prosesus spinosus
yang indemeter dapat dilihat pada pandangan posterior dari sakrum. Permukaan
anterior sakrum adalah lekung dan memperlihatkan empat gili-gili melintang, yang
menandakan tempat penggabungan kelima vertebra sakralis pada ujung gili-gili ini
disetiap sisi terdapat lubang - lubang kecil untuk dilewati urat-urat saraf. Lubang -
lubang ini di sebut foramina. Apex dari sakrum bersendi,dengan tulang koksigius.
Disisinya, sakrum bersendi dengan tulang ileum dan membentuk sendi sakroiliaka
kanan dan kiri.

2.1.7 Koksigeus atau tulang ekor

Koksigeus terdiri atas empat atau lima vertebra yang rudimater yang
bergabung menjadi satu, di atasnya ia bersendi dengan sakrum (Evelyn C pearce
1989)

Definisi
Spondilitis adalah inflamasi satu atau lebih vertebrae (kamus keperawatan, sue
hinchliff ,hal 412). Spondilitis merupakan penyakit peradangan granulomatosabersifat
kronis destruktif pada tulang vertebrae yang bisa disebabkan oleh beberapa hal, misalnya
proses infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis dan imunitas.
Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang
menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang
belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga
ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian
tersebut menjadi jelas.

2.2 Epidemiologi

Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya


berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta
kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber
morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama
di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah
utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang atau maju insidensi ini mengalami
penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Perlu dicermati bahwa di
Amerika dan Inggris insidensi penyakit ini mengalami peningkatan pada populasi imigran,
tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut infeksi HIV (Medical Research
Council TB and Chest Diseases Unit 1980). Selain itu dari penelitian juga diketahui bahwa
peminum alkohol dan pengguna obat-obatan terlarang adalah kelompok beresiko besar
terkena penyakit ini. Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama
mengenai dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun. Sementara di Asia dan Afrika
sebagian besar mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20 tahun). Pola ini
mengalami perubahan dan terlihat dengan adanya penurunan insidensi infeksi tuberkulosa
pada bayi dan anak-anak di HongKong.
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi
pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, akan tetapi
tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai
pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian
yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang paling
sering terkena tuberkulosa tulang (kurang lebih 50% kasus)(Gorse et al. 1983), diikuti
kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di
lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah
(umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat
karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu
dikuti dengan area servikal dan sakral. Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus
pasien dengan spondilitis tuberkulosa.
Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab paling sering
untuk kondisi paraplegia non traumatik. Insidensi paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang
dewasa dibandingkan dengan anakanak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia
terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang belakang, kecuali pada dekade pertama dimana
sangat jarang ditemukan keadaan ini.
2.3 Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang
paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacteriumtuberculosis, walaupun spesies
Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti
Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine
tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada
penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi
pola resistensi obat. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang
bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang
konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri
tubuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi
niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk
membedakannnya dengan spesies lain.

2.4 Klasifikasi

Klasifikasi dari spondilitis, yaitu:


1. Spondilitis Ankilosing
Berasal dari bahasa Yunani, dari kata ankylos yang berarti melengkung dan
spondylos yang berarti vertebra. Ankylosing spondylitis adalah penyakit inflamasi kronis
yang terutama menyerang pada persendian kerangka aksial (spine, sacroiliac joints, dll) dan
juga sendi perifer.
2. Spondilitis Tuberkulosis
Spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronis
destruktif oleh mycobacterium tuberkulosa. Tuberculosis tulang belakang selalu merupakan
infeksi sekunder dari focus di tempat lain dalam tubuh. Spondilytis Tuberkulosis (Pott
disease) ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 – L3 dan paling jarang pada vertebra
C1 – 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang
menyerang arkus vertebrae.

2.5 Manifestasi Klinik

Gejala dan tanda yang terjadi pada klien dengan spondilitis, yaitu :
 Nyeri dan kaku pada punggung
 Deformitas pada punggung (Gibbus)
 Pembengkakan setempat (abscess)
 Kelemahan/kelumpuhan extremitas/gangguan fungsi buli-buli dan anus
 Adanya proses tbc

2.6 Predisposisi

Faktor-faktor pendorong yang menyebabkan memburuknya status kesehatan klien


denganspondilitis, yaitu :
1. Usia dan jenis kelamin
Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan hingga masa
pubertas. Bayi dan anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai kekebalan yang lemah.
Hingga usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam bentuk yang berat seperti
tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa, yang berasal dari penyebaran secara
hematogen. Setelah usia 1 tahun dan sebelum pubertas, anak yang terinfeksi dapat terkena
penyakit tuberkulosa milier atau meningitis, ataupun juga bentuk kronis lain dari infeksi
tuberkulosa seperti infeksi ke nodus limfatikus, tulang atau sendi. Sebelum pubertas, lesi
primer di paru merupakan lesi yang berada di area lokal, walaupun kavitas seperti pada
orang dewasa dapat juga dilihat pada anak-anak malnutrisi di Afrika dan Asia, terutama
perempuan usia 10-14 tahun. Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami peningkatan
dalam mencegah penyebaran secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam mencegah
penyebaran penyakit di paru-paru.
Angka kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi pada
wanita cenderung menurun dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensi ini kemudian
meningkat kembali pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak usia terjadinya infeksi
berkisar antara usia 40-50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun.
2. Nutrisi
Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akanmenurunkan
resistensi terhadap penyakit.
3. Faktor toksik
Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan dayatahan
tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau immunosupresan lain.
4. Penyakit
Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia
meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa.
5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)
Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan
pemukiman yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya malnutrisi,
sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh.
6. Ras
Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau Amerika
asli, mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakitini.

2.7 Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada klien dengan spondilitis, yaitu :


1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury).
Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa,
sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia –
prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan
granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi
sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi
dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda
spinalis.
2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal kedalam pleura.

2.8 Prognosis

Diagnosis sedini mungkin, dan dengan pengobatan yang tepat, prognosisnya baik
meskipun tanpa tindakan operatif. Penyakit dapat kambuh jika pengobatan tidak teratur
atau tidak dilanjutkan setelah beberapa saat, yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi
terhadap pengobatan

2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik pada klien dengan spondilitis, antara lain :


1. Laboratorium :
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam.
b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative (PPD) positif.
Hasil yang positif dapat timbul pada kondisipemaparan dahulu maupun yang baru terjadi
oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area
berindurasi,kemerahan dengan diameter ³ 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72
jamsetelah suntikan.Hasil yang negatif tampak pada ± 20% kasus (Tandon and Pathak1973;
Kocen 1977) dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) danpada pasien yang
immunitas selulernya tertekan (seperti baru sajaterinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit
lain)
c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan bilas
lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paruparu yang aktif)
d. Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif.
e. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins, typhoid,
paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang 13 sulit dan pada pusat kesehatan
dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding.
f. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa).
Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi TBC.
Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih baik.
Cairan serebrospinal akan tampak:
1) Xantokrom
2) Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
3) Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut responnya bisa
berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik (Kocen and Parsons 1970; Traub et al
1984)
4) Kandungan protein meningkat.
5) Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat kuat
mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.
6) Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis), punksi lumbal akan
menunjukkan genuine dry tap. Pada pasien ini adanya peningkatan bertahap kandungan
protein menggambarkan suatu blok spinal yang mengancam dan sering diikuti dengan
kejadian paralisis. Pemberian steroid akan mencegah timbulnya hal ini (Wadia 1973).
Kandungan protein cairan serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat mencapai
1-4g/100ml.
2. Radiologis
Gambaran dari radiologis bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.
Pemeriksaan radiologis, antara lain:
a. Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya tuberkulosa
di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).
b. Foto polos seluruh,tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8 minggu
onset penyakit.
Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior
corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak
penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae anterior
yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous. Infeksi
tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau prosesus spinosus.
Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya deformita
scoliosis (jarang).
Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang
sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari
lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya).
Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi karena adanya
stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih
tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan
korpus vertebra yang belum menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang melibatkan
vertebra torakal. Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan
psoas. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi.
Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami peningkatan
densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya
abses epidural sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu indikasi tindakan
operasi (tergantung ukuran abses).
3. Computed Tomography – Scan (CT)
Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang
sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel tampak
lebih baik dengan CT Scan.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat kompresif
dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat untuk
membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau operatif
dan membantu menilai respon terapi. Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen
tulang kecil dan kalsifikasi di abses.
5. Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi)
Lesi spinal mungkin diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan
pengalaman dan pembacaan histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang absolut)
(berhasil pada 50% kasus).

2.9.2 Terapi
Pada prinsipnya, penatalaksanaan tuberkolosis tulang belakang harus dilakukan
sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Penatalaksanaan terdiri atas :
1. Terapi Konservatif
Meliputi tirah baring, memperbaiki keadaan umum klien, pemberian nutrisi yang bergizi,
pemasangan brace pada klien yang dioperasi ataupun yang tidak dioperasi, pemberian obat
antituberkulosis). Obat-obat yang diberikan terdiri atas :
a. INH
 Dosis oral 5 mg/kg BB per hari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak-anak
10 mg/kg BB
 Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler
 Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena
 Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat
 Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal
 Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak pasien berusia lanjut
usia, peripheral neuropathy karena defisiensi piridoksin secara relatif (bersifat reversibel
dengan pemberian suplemen piridoksin)
 Relatif aman untuk kehamilan
b. Rifampin (RMP)
 Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat dari basil, baik di
intra ataupun ekstraseluler
 Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling rendah (seperti pada
nekrosis perkijuan).
 Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam bentuk sediaan
oral dan intravena
 Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal
 Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus gastrointestinal,
cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent peripheral neuritis.
Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan INH
 Relatif aman untuk kehamilan
 Dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.
c. Pyrazinamide (PZA)
 Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang bersifat asam dan
paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam lesi perkijuan
 Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis
 Efek samping :
1) Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang dipergunakan dalam jangka
yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila diberikan dalam jangka pendek.
2) Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang tampak. Arthralgia dapat timbul
tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam urat.
 Dosis : 15-30mg/kg/hari
 Asam para-amino salisilat, dosis oral 8-12 mg/kg BB.
d. Etambutol
 Dosis oral 15-25 mg/kg BB untuk anak-anak dan pada orang dewasa 300-400 mg per
hari.Ethambutol (EMB)
 Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler
 Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
 Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi buta warna,
berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central scotoma.
 Relatif aman untuk kehamilan
 Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
e. Streptomisin (STM) , pada saat ini tidak digunakan lagi
 Bersifat bakterisidal
 Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga dipergunakan untuk
melengkapi pemberian PZA
 Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
 Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan vertigo (terutama sering
mengenai pasien lanjut usia)
 Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
 Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari

Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan mencegah terjadinya


kekebalan kuman tuberculosis terhadap obat yang diberikan, perawat memberikan
kombinasi beberapa obat tuberkulostatik. Standar pengobatan di Indonesia yang
berdasarkan program P2TB paru adalah :
a. Kategori 1.
Untuk klien baru BTA positif dan BTA negative/Rontgen poistif, obat yang diberikan
dalam dua tahap, yaitu :
1) Tahap I : diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan
Pirazinamid 1500 mg. Obat diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
2) Tahap II : diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat diberikan 3x
seminggu (intermiten) selama 4 bulan (54 kali).
b. Kategori 2. Untuk klien BTA positif yang pernah minum obat selama lebih dari sebulan,
termasuk klien dengan BTA positif yang kambuh / gagal obat diberikan dalam dua tahap,
yaitu :
1) Tahap I : diberikan Streptomisin 750 mg (injeksi), INH 300 mg, Rifampisin 450 mg.
Pirazinamid 1500 mg dan etambutol 750 mg. Obat diberikan setiap hari. Streptomisin
injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
2) Tahap II : diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg. Obat
diberikan 3x seminggu (intermiten) selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum klien bertambah baik,
laju endap darah menurun dan menetap, gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang,
gambaran raduologis ditemukan adanya union pada vertebrata.
2. Terapi Operatif. Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi
klien tuberculosis tulang belakang, tindakan operatif masih memegang peranan penting
dalam beberapa hal, misalnya cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia, dan
kifosis. Indikasi pelaksanaan operasiyang perlu diketahui perawat sebagai bahan untuk
melakukan kolaborasi, yaitu :
 Bila dengan terapi konservatif tidak ada perbaikan paraplegia atau kondisi tersebut
bertambah berat.
 Adanya abses yang besar sehingga diperlukan system drainase abses secara terbuka,
penatalaksanaan debridement, dan bone graft.
 Pada pemeriksaan radiologi (foto polos, mielografi, CT scan, dan MRI), didapatkan adanya
penekanan langsung pada medulla spinalis.
 Koreksi deformitas pada spondilitis tuberkulosa yang telah mengalami penyembuhan.
3.2 Patofisiologi Spondilitis
Kuman Tuberkolosis

Infeksi pada bagian sentral atau depan atau daerah epifisial korpus

Respon Lokal

Vasokonstriksi

Shift cairan ke interstisial Pelepasan mediator kimia dan zat vasoaktif

Kalor Rubor (hiperemi) Vasodilatasi

Dilatasi arteriole dan permeabilitas kapiler >>

Leukosit bergerak ke area cedera  fagositosis

Leukositosis, LED ↑ Sebagian sel ada yang kalah

Pus/eksudat/abses

Osteoporosis dan pelunakan korpus Menyebar ke depan, dibawah ligamentum
longitudinal anterior

Kerusakan pada korteks epifisis Menembus ligamentum dan berekspansi
Discus invertebralis dan vertebra sekitarnya ke berbagai arah
(servikalis dan torakalis)di sepanjang garis ligament yang lemah

Kifosis Perub. Pd vertebra lumbalis

Operasi Gangguan body image Abses lumbal ( massa yg mengeluarkan
cairan putih dg jumlah 0.5 cc)

Resiko infeksi luka imobilisasi Penekanan korda dan radiks saraf
oleh pembesaran abses/tulang yang bergeser

Resiko penyebaran infeksi debridemenParaplegia, stimulus nyeri pd pinggang, gang.
mengomunikasikan proses eliminasi urin
(iritasi radiks L4)

1. nyeri Stimulus nyeri2. Kerusakan mobilitas fisik
(pd pinggang/punggung) Gangguan eliminasi urin

Respon perub psikoPenekanan local paraplegia

Ketidakefektifan Risiko tinggi kerusakan
individu dan keluarga koping integritas kulit
I. PENGKAJIAN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : NY. D (P)
Usia : 36 th
Agama : Islam
Alamat : Kp.Cingenge Ds.Bojong RT 02/ RW03 Kec.Rongga – Bandung
Barat
Pend. Terakhir : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Ruang rawat : Bedah Wanita Kemuning Lt.3
Dx. Medic : Spondilitis TB
Rencana tindakan :Debridement + Decompresi stabilisasi posterior
Tanggal pengkajian : 17Januari 2013
No. Rekam Medik : 12 15 0988

B. RIWAYAT KESEHATAN
1. Keluhan utama
Klien mengatakan tidak bisa menggerakkan tungakainya dan berjalan harus dibantu
dikarenakan sakit pada tulang belakang
2. Riwayat kesehatan sekarang
12 jam SMRS klien belajar berjalan dalam rumah dan terjatuh dalam posisi terduduk,
klien mengeluh nyeri punggung dan sulit menggerakkan kedua tungkai. Pingsan (-),
muntah (-), PTHM (-).
3. Riwayat kesehatan dahulu
3 bulan yang lalu, klien pernah mengalami riwayat trauma yang sama, yaitu terjatuh dan
sudah mulai sulit menggerakkan tungkainya sehingga pernah dibawa ke rumah sakit.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Klien menyatakan dalam keluarga tidak ada yang memiliki penyakit yang sama
dengannya, selain itu, tidak ada riwayat hipertensi dan diabetes pada keluarga.
5. Riwayat Spiritual dan Psikososial
Klien selama di rumah sakit ditemani oleh suaminya, walaupun masih ada
kekhawatiran, klien mengatakan sudah siap dalam menghadapi tindakan operasi, bahkan
klien sudah lama menunggu jadwal operasi datang karena klien ingin segera sembuh dan
kembali menjalani hidup sedia kala. Klien hanya bisa memasrahkan diri kepada Allah
SWT atas apa yang akan terjadi selanjutnya, namun klien berharap bahwa operasi yang
akan dihadapinya berjalan dengan lancar. Selama di RS klien merasa sulit untuk
melaksanakan ibadah dikarenakan dengan kondisi fisiknya, namun klien tetap berusaha
melaksanakannya dengan kondisi berbaring.

C. Riwayat ADL
Kebutuhan Sebelum Masuk Rumah Sakit Selama di Rumah Sakit
Makan dan Minum Makan : 3 x /hari Makan : 3 x/hari (diet
Porsi 1 piring TKTP)
Minum : 8 – 9 gelas/hari Porsi 1/2 piring
Minum : 2 1/2 botol ukuran
sedang air mineral /hari
(1500 cc)
Istirahat tidur Tidur siang : 1 jam Tidur siang : 1,5 jam
Tidur malam : 21.00 – 04.30 Tidur malam : 21.00 –
05.00
Klien mengatakan
terkadang terbangun karena
nyeri
Pola eliminasi BAK : 3-4 x/hari BAK : 3-4 x/hari
BAB : 1x/hari BAB : 1x/hari
Konsistensi lembek, kuning Konsistensi lembek,
kecoklatan
Personal Hygiene Mandi 2x/hari Klien hanya dibilas karena
keterbatasan gerak
Aktivitas Klien sebagai ibu rumah tangga Klien hanya bisa terbaring
D. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum : Tampak lemah
b) Kesadaran : Compos Mentis
c) Tanda-tanda Vital
TD : 102/80 mmHg
HR :93 x/menit
RR : 22 x/menit
T : 36,5oC

d) Kepala
- Rambut : warna hitam, bersih.
- Mata : Bola mata simetris, reaksi pupil simetris, sklera putih, konjugtiva merah
muda, penglihatan jelas
- Telinga : pendengaran jelas, serumen (-)
- Hidung : Pernapasan cuping hidung (-),
- Mulut : lembab, karies (-), tidak ada gangguan menelan.
e) Leher
Bentuk simetris, pembesaran Jvp (-), pembesaran tiroid (-).
f) Dada
Bentuk simetris, benjolan (-), suara napas vesikuler.
g) Abdomen
Datar, nyeri tekan (-), BU (+),
h) Ekstremitas
Klien sulit dalam menggerakkan kedua tungkainya.

E. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium 05/11/12
Hb : 11,4
Ht : 34
Leukosit : 7200
Eritrosit : 4,24
Trombosit : 324000
MCV :78,9
MCH : 26,9
MCHC : 34,1
LED : 95

II. ANALISA DATA


Data Etiologi Masalah
Pre Operatif
DS: Klien mengatakan Rencana tindakan Cemas
masih ada kekhawatiran operasi
menjelang tindakan ↓
operasi Kurangnya informasi

DO: klien tampak kecemasan
tegang, HR 92 x/m, TD
130/80, RR 22x/m
Intra Operatif
DS: - Prosedur sayat bedah Resiko infeksi
DO: dilakukan sayatan ↓
bedah pada tulang Peningkatan port d entri
belakang Th 12 – L1 bakteri

Resiko infeksi
DS: Penggunaan alat pada Resiko cedera
DO: penggunaan set alat prosedur pembedahan
operasi dan alat ↓
dispossible (kasa, Kurangnya pengawasan
sarung tangan, hecting ↓
set, dll) Alat tertinggal di dalam
Resiko cedera

Resiko cedera
DS: Prosedur bedah Resiko gangguan
DO: dilakukan ↓ keseimbangan cairan;
pembedahan Adanya perdarahan kurang dari kebutuhan
↓ tubuh
Resiko gangguan
keseimbangan cairan
Post Operatif
DS: Pemajanan lama pada Resiko gangguan
DO: suhu kamar operasi kamar operasi dengan termoregulasi; hipotermi
16 °C, lamanya operasi suhu ruangan 16-20 °C
±3 jam ↓
Mempengaruhi
termoregulasi tubuh

Resiko gangguan
termoregulasi; hipotermi
DS: - Pembedahan pada femur Resiko infeksi
DO: luka jahitan area ↓
femur, luka drain. Luka dengan jahitan

Meningkatkan port d’
entri tubuh

Resiko infeksi
III. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN PRE OPERASI
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
Pre Operatif
Kecemasan b.d Tupan : 1. Beri informasi mengenai penundaan 1. Kurang informasi dapat menjadi
situasi krisis Kecemasan dapat jadwal dan beri perhatian pemicu timbulnya kecemasan
mnjelang operasi diatasi 2. Dengarkan setiap keluhan pasien
dan kurang Tupen : 3. Dampingi pada setiap tindakan 2. Proses mendengarkan merupakan
informasi Setelah dilakukan 4. Ajarkan teknik napas dalam strategi konseling pada kesehatan
mengenai tindakan perawatan selama H-1 psikologi
operasi, HR 92 (pre operasi) 5. Kolaborasi: 3. Keberadaan perawat dapat membuat
x/m, TD 120/80, kecemasan berkurang - Kolaborasi untuk memberikan pasien lebih nyaman
RR 22x/m dengan kriteria hasil: inform consent pada setiap tindakan 4. Teknik napas dalam merupakan teknik
a. Keluhan meningkatkan relaksasi
kecemasan 5. inform consent atau pemberian
berkurang pengetahuan dan informasi serta
b. Pasien tidak persetujuan tindakan merupakan hak
tampak otonomi pasien, sehingga keputusan
bingung dan merupakan pertimbangan pasien
bertanya-tanya
c. TNRS dalam
kondisi normal
Intra Operatif
Resiko infeksi b.d Tupan: 1. Lakukan disinfeksi area yang akan 1. Disinfeksi dengan menggunakan savlon
peningkatan port Infeksi tidak terjadi disayat dengan menggunakan savlon dan povidone iodine dapat mencegah
d’entri akibat Tupen: dan povidon iodine terpaparnya bakteri
pembuatan sayat Setelah dilakukan 2. Lakukan drapping (pembukaan 2. Drapping merupaka teknik penutupan
d.d dilakukannya perawata selama intra minimal area operasi) arean yang tidak dilakukan tindakan
sayat bedah pada operasi, infeksi tidak 3. Batasi personel di kamar operasi dengan tujuan meminimalkan area
femur dextra terjadi dengan kriteria 4. Kolaborasi untuk dilakukan prosedur kontak
hasil: dengan teknik aseptik 3. Pembatasan kunjungan dan personel
a. Tanda infeksi dalam kamar dapat mencegah
tidak ada tambahan paparan
b. TNRS dalam 4. Teknik aseptic harus senantiasa
batas normal dilakukan demi kesehatan dan
c. Area luka keselamatan pasien
minimal
Resiko cedera Tupan: cedera tidak 1. Lakukan pengecekan jumlah dan 1. Informasi jenis dan jumlah alat
terjadi jenis set alat dan alat habis pakai sebelum dipakai
Tupen: setelah 2. Damping saat prosedur 2. Pendampingan saat prosedur
perawatan selama pembedahan dilakukan dapat meminimalkan terjadinya
intra operatif cedera 3. Catat alat yang ditanam cedera
tidak terjadi dengan 4. Cek dan Hitung kembali alat dan 3. Dokumentasi alat yang di
kriteria hasil: alat habis pakai dan sediaan tanam
1. Set alat pakai dan sebelum dilakukan penutupan 4. Mengecek dan menghitung
set alat sediaan luka kembali untuk meminimalisir
jumlah tetap alat yang tertinggal.
2. Set alat habis
pakai dan sediaan
jumlah tetap
Resiko gangguan Tupan : gangguan 1. Lakukan hidrasi intra operasi dengan 1. Hidrasi dalam hal ini merupakan
keseimbangan keseimbangan cairan pemberian intravena pentalaksanaan kekurangan cairan
cairan kurang dari teratasi 2. Kontrol jumlah pengeluaran darah 2. Koreksi jumlah pengeluaran darah
kebutuhan tubuh Tupen : setelah 3. Kolaborasi: 3. Pemberian transfusi darah adalag
b.d prosedur perawatan selama - Pemberian transfuse darah penatalaksanaan terjadinya syok berat
pembedahan intra operatif resiko
gangguan
keseimbangan cairan
teratasi dengan
kriteria hasil
a. tidak terjadi
tanda syok
hipovolemik
b. akral hangat,
CRT <3 dtk,
kulit
kemerahan
c. TNRS dalam
batas normal
Post Operatif
Resiko gangguan Tupan: gangguan 1. Memastikan suhu ruangan 25 °C 1. Mencegah terpapar pada suhu
termoregulasi; termoregulasi tidak 2. Beri hidrasi hangat ekstrem
hipotermi terjadi 3. Gunakan selimut hangat 2. Hidrasi hangat dapat per intravena
Tupen : setelah dapat meningkatkan asupan cairan
perawatan selama 3. Selimut hangat dapat
post operatif meminimalkan paparan suhu.
gangguan
termoregulasi;
hipotermi tidak
terjadi, dengan
kriteria hasil:
a. Suhu tubuh
dalam batas
normal
b. Akral hangat
c. CRT <3 detik
Resiko infeksi b.d Tupan: 1. Lakukan perawatan luka dengan 1. Perawatan luka dengan benar dapat
peningkatan port Infeksi tidak terjadi teknik aseptic menstimulasi penyembuhan luka
d’entri akibat luka Tupen: 2. Batasi kontak dengan area luka 2. Mengurangi paparan bakteri
pasca bedah d.d Setelah dilakukan 3. Kolaborasi untuk pemenuhan 3. Nutrisi sangat diperlukan bagi
luka jahitan, dan perawata selama post nutrisi dan antibiotik setiap sel, antibiotic dipakai untuk
luka drain operasi, infeksi tidak mencegah infeksi
terjadi dengan kriteria
hasil:
a. Tanda infeksi
tidak ada
b. Proses
penyembuhan
luka baik
c. TNRS dalam
batas normal
IV. CATATAN TINDAKAN
No. Dx Waktu Tindakan Respon Paraf
Pre operatif
1 17/01/2013 1. Mengkaji pre operatif h-1 1. Pasien kooperatif menjawab
2. Memberi informasi mengenai 2. Pasien antusias untuk
pembedahan menjawab
3. Mengukur TNR tingkat kecemasan 3. TD 120/80, N 92x/m, RR
22x/m kecemasan ringan

18/01/2013 1. Melakukan pengkajian pre operatif 1. 104 x/m, TD 100/80, RR


2. mendampingi 24x/m, tingkat kecemasan
3. Mengajarkan teknik napas dalam sedang.
4. Menganjurkan klien dan keluarga 2. Pasien tampak tenang
untuk berdo’a terlenih dahulu 3. Pasien kooperatif untuk
5. Kolaborasi inform consent mengikuti instruksi napas
dalam
4. Klien mengikuti dan tampak
lebih rileks
5. Pasien kooperatif
mendengarkan dan memberi
keputusan
Intra Operatif
1 18/01/2012 1. melakukan disinfeksi area yang akan 1. Area punggung
disayat dengan menggunakan savlon 2. Area tulang belakang terbuka,
dan povidon iodine area tubuh tertutupi
2. melakukan drapping (pembukaan 3. Jumlah personel ruangan 10
minimal area operasi) orang
3. membatasi personel di kamar
operasi
4. Kolaborasi untuk melakukan
prosedur dengan teknik aseptik
2 18/01/2013 1. melakukan pengecekan jumlah dan 1. Alat lengkap
jenis set alat dan alat habis pakai 2. pasien tampak memejamkan
2. mendampingi saat prosedur mata
pembedahan dilakukan 3. lengkap
3. mengecek dan Hitung kembali alat
dan alat habis pakai dan sediaan
sebelum dilakukan penutupan luka
3 18/01/2013 1. melakukan hidrasi intra operasi 1. 2 plabot RL hangat
dengan pemberian intravena 2. 800cc darah di suction
2. mengontrol jumlah pengeluaran 3. Transfusi 2 labu darah
darah
3. Kolaborasi:
- memberikan transfuse darah
Post Operatif
1 18/01/2013 1. Memastikan suhu ruangan 25 °C 1. suhu ruangan 25°C
2. memberi hidrasi hangat 2. 2 plabot RL hangat
3. menggunakan selimut hangat 3. Selimut hangat
2 18/01/2013 1. Lakukan perawatan luka dengan 1. Luka tampak bersih
teknik aseptic 2. Pasien kooperatif untuk
2. Batasi kontak dengan area luka meminimalkan kontak
3. Kolaborasi untuk pemenuhan nutrisi dengan area luka
dan antibiotik 3. Pasien diberikan antibiotic
cefazolin

Anda mungkin juga menyukai