TINJAUAN PUSTAKA
2
Gambar 2.2. Struktur Kolumna Vertebralis Lumbal (Moore et al., 2010)
3
Gambar 2.4. Struktur Korpus Vertebra (Moore et al., 2010)
4
Gambar 2.5. Struktur Arkus Vertebralis (Moore et al., 2010)
5
fibrogelatinosa yaitu nucleus pulposus yang berfungsi sebagai suatu bantalan atau peredam
kejutan. Pada beberapa bagian vertebra, ketebalan diskus invertebralis bisa berbeda. Bila
diperlukan pergerakan di antara dua vertebra secara lebih bebas maka cakram antar ruas
vertebra tebal, yakni di daerah servikalis dan lumbal, dimana kolom vertebral berbentuk
cekung ke depan (Ryan et al., 2004).
Fungsi mekanik diskus invertebralis mirip dengan balon yang diisi air yang
diletakkan di antara kedua sisi telapak tangan. Bila suatu tekanan kompresi yang merata
bekerja pada vertebra maka tekanan itu akan disalurkan secara merata ke seluruh diskus
invertebralis. Bila suatu gaya bekerja pada satu yang lain, nukleus pulposus akan melawan
gaya tersebut secara lebih dominan pada sudut sisi lain yang berlawanan. Keadaan ini terjadi
pada berbagai macam gerakan vertebra seperti fleksi, ekstensi dan laterofleksi (Vitriana,
2001).
6
Terdapat beberapa ligament pada tulang belakang yaitu:
Ligamen longitudinal anterior, merupakan struktur fibrosa yang bermula dari bagian
anterior basal tulang dan berakhir di bagian anterior atas sakrum
Ligamen longitudinal posterior, terletak dibelakang korpus vertebra dalam kanalis
spinalis dari C2 hingga sakrum
Ligamentum kapsular, melekat pada tepi prosessus artikularis yang berdekatan.
Ligamen ini berkembang baik di tulang belakang lumbal, serabutnya tebal dan
berhubungan erat, berjalan tegak lurus terhadap aksis sendi.
Ligamentum flavum, merupakan jaringan ikat yang elastic. Bagian atas melekat pada
permukaan anterior lamina di atasnya dan bagian bawah melekat pada tepi posterior
atas lamina di bawahnya.
Ligamen interspinosus, merupakan gabungan serabut-serabut yang berjalan dari dasar
prosessus spinosus yang satu ke ujung prosessus spinosus selanjutnya.
Ligamen supraspinosus, merupakan struktur yang berkembang baik dan ujung tulang
belakang C7 hingga Krista sakralis median, melekat ke setiap prosessus spinosus.
Ligamentum intertransversal, berjalan dari prosessus transversus ke prosessus
transversus yang lainnya.
Ligamentum iliolumbal melekat pada prosessus transversus, menghubungkan dua
tulang belakang lumbal bawah dengan Krista iliaka sehingga akan membatasi
pergerakan sendi sakroiliaka.
Gambar 2.7. Posisi Ligamen pada Tulang Belakang (Hansberger et al., 2006)
7
2.1.4. Kanalis Spinalis
Kanalis spinalis berbentuk oval pada tulang belakang L1 dan berbentuk segitiga pada
tulang belakang L5. Karena saraf lumbalis yang paling besar terdapat pada L5, sedangkan di
daerah tersebut terjadi penyempitan, maka terdapat kemugkinan adanya penjepitan saraf oleh
struktur-struktur pembentuk foramen. Korda spinalis akan berkahir dengan konus medularis
setinggi batas inferior vertebra L1. Area lumbrosacral dari kanalis spinalis mengandung
cauda equine (Ryan et al., 2004).
8
Gambar 2.9. Vaskularisasi arteri pada Tulang Belakang
Pola pembuluh darah untuk saluran vena berjalan dengan jalur yang sama dengan
suplai arteri. System vena mengalirkan darah dari system vena internal dan eksternal ke
dalam vena cava inferior. Sistem vena disusun dalam bentuk konfigurasi seperti tangga
anterior dan posterior dengan sejumlah hubungan yang bersilangan. Hasil fungsional dari
anastomosis luas system vena ini adalah adanya pergerakan konstan darah dari pembuluh
darah besar ke pembuluh darah kecil dan sebaliknya tergantung derajat tekanan intra
abdominal (Hosten & Liebig, 2002).
9
Vena yang memperdarahi tulang veryebra servikalis adalah vena jugularis interna dan
eksterna yang merupakan percabangan dari Vena Cava Superior. Sedangkan vena yang
memperdarahi tulang vertebra lainnya berasal dari Vena Cava Inferior. Selain itu, vena azigos
berkomunikasi dengan pleksus Batson yang berfungsi sebagi jalur alternatif ketika Vena
Cava superior teroklusi, maupun secara parsial ataupun total. Batson pleksus berjalan pada
foramen vertebralis. Batson merupakan vena yang tidak memiliki katup (Tortora &
Derrickson, 2009).
10
Gambar 2.11. Vaskularisasi Vena Kolumna Vertebralis (superior view)
Saraf sinuvertebral dianggap sebagai struktur utama saraf sensoris yang mempersarafi
struktur tulang belakang. Saraf ini berasal dari saraf spinal yang terbagi menjadi bagian
utama posterior dan anterior. Saraf ini akan bergabung dengan cabang simpatetis ramus
communicans dan memasuki kanalis spinalis melalui foramen intervertbralis, yang melekuk
ke atas di sekitar dasar pedikel menuju garis tengah pada ligamentum longitudinal posterior.
Saraf sinuvertebral mempersarafi ligamentum longitudinal posterior, lapisan superficial
annulus fibrous, pembuluh darah rongga epidural, duramater bagian anterior, tetapi tidak
pada duramater bagian posterior (duramater posterior tidak mengandung akhiran saraf),
selubung dural yang melingkupi akar saraf spinal dan periosteum vertebral bagian posterior
(Vitriana, 2001).
11
Gambar 2.12. Sistem persarafan tulang belakang lumbal.
2.2.2. Etiologi
Spondylitis Tuberkulosis merupakan suatu infeksi sekunder dari infeksi tuberculosis
di tempat lain berasal dari infeksi primer paling sering yaitu dari infeksi pari-paru yang
disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Infeksi tuberculosis dapat juga terjadi pada
traktus urinario sehingga menyebabkan infeksi sekunder pada tulang vertebra segmen
torakolumbalis. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang
bersifat acid-fastnon-motile (tahan terhadap asam pada pewarnaan, sehingga disebut juga
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA)) dan tidak dapat diwarnai dengan cara pewarnaan yang
konvensional.
12
2.2.3. Klasifikasi
Klasifikasi spondilitis TB telah dilakukan beberapa pihak dengan tujuan untuk
menentukan deskripsi keparahan penyakit, prognosis dan tatalaksana. Klasifikasi Pott’s
paraplegia disusun untuk mempermudah komunikasi antar klinisi dan mempermudah
deskripsi keparahan gejala klinis pasien spondilitis TB. Klasifikasi klinikoradiologis untuk
memperkirakan durasi perjalan penyakit berdasarkan temuan klinis dan temuan radiologis
pasien, bisa dilihat pada tabel 2. Klasifikasi menurut Gulhane Askeri Tip Akademisi
(GATA) baru-baru ini telah disusun untuk menentukan terapi yang dianggap paling baik
untuk pasien yang bersangkutan, bisa dilihat pada tabel 3. Sistem klasifikasi ini dibuat
berdasarkan kriteria klinis dan radiologis, antara lain: formasi abses, degenerasi diskus,
kolaps vertebra, kifosis, angulasi sagital, instabilitas vertebra dan gejala neurologis; membagi
spondilitis TB menjadi tiga tipe (I, II, dan III) (Zuwanda & Janitra, 2013).
Untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan klinis, dan memprediksi
prognosis pasien spondilitis TB dengan cedera medula spinalis, dapat digunakan klasifikasi
American Spinal Injury Association(ASIA) impairment scale. Sistem ini adalah pembaruan
dari system klasifikasi Frankel dan telah diterima secara luas. ASIA impairment
scalemembagi cedera medula spinalis menjadi 5 tipe (A, cedera medula spinalis komplit, B –
D, cedera medula spinalis inkomplit, E, normal) (tabel 4). Hasil penelitian tentang prognosis
pasien dengan cedera medula spinalis menyatakan bahwa pasien dengan cedera medula
spinalis ASIA A, hanya memiliki paling tinggi lima persen kemungkinan menjadi ASIA D,
20 – 50 persen pada ASIA B untuk menjadi ASIA D dalam 1 tahun, 60 – 75 persen pada
ASIA C untuk menjadi ASIA D dalam 1 tahun (Young). Klasifikasi Pott’s paraplegia bisa
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi Pott’s paraplegia
13
Tabel 2 Klasifikasi Klinikoradiologis
2.2.4. Patogenesis
Patologi TB paru
Droplet Mycobacterium tuberculosismasuk melalui saluran napas dan akan
menimbulkan fokus infeksi di jaringan paru. Fokus infeksi ini disebut fokus primer (fokus
Ghon). Kuman kemudian akan menyebar secara limfogen dan menyebabkan terjadinya
limfangitis lokal dan limfadenitis regional. Gabungan dari fokus primer, limfangitis lokal dan
limfadenitis regional disebut sebagai kompleks primer. Jika sistem imun penderita tidak
cukup kompeten infeksi akan menyebar secara hematogen/ limfogen dan bersarang di seluruh
14
tubuh mulai dari otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular,
hingga endometrial (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
Patologi Spondilitis TB
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen melalui
nodus limfatikus para-aorta dari fokus tuberkulosis di luar tulang belakang yang sebelumnya
sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal dari fokus primer di paru, sedangkan
pada orang dewasa berasal dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil) (Vitriana,2002).
Dari paru-paru, kuman dapat sampai ke tulang belakang melalui pleksus venosus
paravertebral.
Lesi tuberkulosis pada tulang belakang dimulai dengan inflamasi paradiskus. Setelah
tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema sumsum tulang belakang dan osteoporosis
terjadi pada tulang. Destruksi tulang terjadi akibat lisis jaringan tulang, sehingga tulang
menjadi lunak dan gepeng terjadi akibat gaya gravitasi dan tarikan otot torakolumbal.
Selanjutnya, destruksi tulang diperberat oleh iskemi sekunder akibat tromboemboli,
periarteritis, endarteritis. Karena transmisi beban gravitasi pada vertebra torakal lebih terletak
pada setengah bagian anterior badan vertebra, maka lesi kompresi lebih banyak ditemukan
pada bagian anterior badan vertebra sehingga badan vertebra bagian anterior menjadi lebih
pipih daripada bagian posterior (Agrawal, Patgaonkar, & Nagariya, 2010).
Resultan dari hal-hal tersebut mengakibatkan deformitas kifotik. Deformitas kifotik
inilah yang sering disebut sebagai gibbus (gambar 2.11). Beratnya kifosis tergantung pada
jumlah vertebra yang terlibat, banyaknya ketinggian dari badan vertebra yang hilang, dan
segmen tulang belakang yang terlibat. Vertebra torakal lebih sering mengalami deformitas
kifotik (Issac & Adjei, 2011). Pada vertebra servikal dan lumbal, transmisi beban lebih
terletak pada setengah bagian posterior badan vertebra sehingga bila segmen ini terinfeksi,
maka bentuk lordosis fisiologis dari vertebra servikal dan lumbal perlahan-lahan akan
menghilang dan mulai menjadi kifosis (Jain, Dhammi, & Mishra, 2010)
15
Gambar 2.13. Gibbus. Tampak penonjolan bagian posterior
tulang belakang ke arah dorsal akibat angulasi kifotik vertebra
(Zuwanda & Janitra, 2013)
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas (disebut juga
abses psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari akumulasi produk
likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini sebagian besar dibentuk dari leukosit,
materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel basil (Agrawal, Patgaonkar, & Nagariya, 2010).
Terjadinya gangguan neurologis menandakan bahwa penyakit telah lanjut, meski masih dapat
ditangani. Pemeriksaan fisik neurologis yang teliti sangat penting untuk menunjang diagnosis
dini spondilitis TB. Pada pemeriksaan neurologis bisa didapatkan gangguan fungsi motorik,
sensorik, dan autonom. Kelumpuhan berupa kelumpuhan upper motor neuron (UMN), namun
pada presentasi awal akan didapatkan paralisis flaksid, baru setelahnya akan muncul
spastisitas dan refleks patologis yang positif. Kelumpuhan lower motor neuron (LMN)
mononeuropati mungkin saja terjadi jika radiks spinalis anterior ikut terkompresi. Jika
kelumpuhan sudah lama, otot akan atrofi, yang biasanya bilateral. Sensibilitas dapat diperiksa
pada tiap dermatom untuk protopatis (raba, nyeri, suhu), dibandingkan ekstremitas atas dan
bawah untuk proprioseptif (gerak, arah, rasa getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi sekresi
keringat rutin dikerjakan untuk menilai fungsi saraf autonom. Abses di daerah lumbar akan
mencari daerah dengan tekanan terendah hingga kemudian membentuk traktus sinus/fistel di
kulit hingga di bawah ligamentum inguinal atau regio gluteal (Vitriana, 2001)
Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih dari satu fokus infeksi vertebra. Hal ini
disebut sebagai spondilitis TB non-contiguous, atau “skipping lesion”. Peristiwa ini dianggap
merupakan penyebaran dari lesi secara hematogen melalui pleksus venosus Batson dari satu
fokus infeksi vertebra. Insidens spondilitis TB non-contiguous dijumpai pada 16 persen kasus
spondilitis TB. Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks
terjadi akibat banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral,
16
2) subluksasio sendi faset patologis, 3) jaringan granulasi, 4) vaskulitis, trombosis arteri/ vena
spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural atau 7) invasi duramater secara langsung. Selain
itu, invasi medula spinalis dapat juga terjadi secara intradural melalui meningitis dan
tuberkulomata sebagai space occupying lesion. Bila dibandingkan antara pasien spondilitis
TB dengan defisit neurologis dan tanpa defisit neurologis, maka defisit biasanya terjadi jika
lesi TB pada vertebra torakal. Defisit neurologis dan deformitas kifotik lebih jarang
ditemukan apabila lesi terdapat pada vertebra lumbalis (Zuwanda & Janitra, 2013)
Penjelasan yang mungkin mengenai hal ini antara lain: 1) Arteri Adamkiewicz yang
merupakan arteri utama yang mendarahi medula spinalis segmen torakolumbal paling sering
terdapat pada vertebra torakal 10 dari sisi kiri. Obliterasi arteri ini akibat trombosis akan
menyebabkan kerusakan saraf dan paraplegia. 2) Diameter relatif antara medula spinalis
dengan foramen vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi
vertebra torakal 10, sedangkan foramen vertebrale di daerah tersebut relatif kecil. Pada
vertebra lumbalis, foramen vertebralenya lebih besar dan lebih memberikan ruang gerak bila
ada kompresi dari bagian anterior (Zuwanda & Janitra, 2013).
17
Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua tahun pertama. Paraplegia
onset cepat disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh abses atau proses infeksi.
Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit sedang tenang, tanpa adanya tanda-
tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh tekanan jaringan fibrosa/parut atau
tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang sebelumnya. Gejala motorik biasanya yang
lebih dahulu muncul karena patologi terjadi dari anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di
kornu anterior medula spinalis, kecuali jika ada keterlibatan bagian posterior medula spinalis,
keluhan sensorik bisa lebih dahulu muncul. Penelitian di Nigeria melaporkan bahwa
paraplegia terjadi pada 54 persen pasien yang mengalami gangguan kekuatan motorik.
Sedangkan deformitas tulang belakang hanya terjadi pada 21 persen pasien-pasien tersebut.
Tingginya angka paraplegia mungkin disebabkan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang
masih rendah sehingga pasien baru datang ke layanan kesehatan jika penyakit sudah melanjut
dengan gejala yang berat.
2.2.6. Diagnosis
Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering disalahartikan sebagai neoplasma
spinal atau spondilitis piogenik lainnya. Ironisnya, diagnosis biasanya baru dapat ditegakkan
pada stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas tulang belakang dan defisit neurologis.
Penegakan diagnosis seperti pada penyakitpenyakit pada umumnya melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, diikuti dengan pemeriksaan penunjang. Keberhasilan melakukan diagnosis
dini menjanjikan prognosis yang lebih baik.
18
Pemeriksaan fisik umum dapat menunjukkan adanya fokus infeksi TB di paru atau di
tempat lain, meskipun pernah dilaporkan banyak spondilitis TB yang tidak menunjukkan
tanda-tanda infeksi TB ekstraspinal. Pernapasan cepat dapat diakibatkan oleh hambatan
pengembangan volume paru oleh tulang belakang yang kifosis atau infeksi paru oleh kuman
TB. Infiltrat paru akan terdengar sebagai ronkhi, kavitas akan terdengar sebagai suara
amforik atau bronkial dengan predileksi di apeks paru. Kesegarisan (alignment) tulang
belakang harus diperiksa secara seksama. Infeksi TB spinal dapat menyebar membentuk
abses paravertebra yang dapat teraba, bahkan terlihat dari luar punggung berupa
pembengkakan. Permukaan kulit juga harus diperiksa secara teliti untuk mencari muara
sinus/fistel hingga regio gluteal dan di bawah inguinal (trigonum femorale). Tidak tertutup
kemungkinan abses terbentuk di anterior rongga dada atau abdomen. Terjadinya gangguan
neurologis menandakan bahwa penyakit telah lanjut, meski masih dapat ditangani.
Pemeriksaan fisik neurologis yang teliti sangat penting untuk menunjang diagnosis dini
spondilitis TB. Pada pemeriksaan neurologis bisa didapatkan gangguan fungsi motorik,
sensorik, dan autonom. Kelumpuhan berupa kelumpuhan upper motor neuron (UMN),
namun pada presentasi awal akan didapatkan paralisis flaksid, baru setelahnya akan muncul
spastisitas dan refleks patologis yang positif. Kelumpuhan lower motor neuron (LMN)
mononeuropati mungkin saja terjadi jika radiks spinalis anterior ikut terkompresi. Jika
kelumpuhan sudah lama, otot akan atrofi, yang biasanya bilateral. Sensibilitas dapat diperiksa
pada tiap dermatom untuk protopatis (raba, nyeri, suhu), dibandingkan ekstremitas atas dan
bawah untuk proprioseptif (gerak, arah, rasa getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi sekresi
keringat rutin dikerjakan untuk menilai fungsi saraf autonom.
19
1. Sinar-X
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering dilakukan dan
berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil sebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan
lateral. Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior badan vertebra dan
osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis menandakan terjadinya
kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya memberikan gambaran
fusiformis (Moesbar, 2006).
Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk
angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat terlihat, yang
merupakan cold abscess. Namun, sayangnya sinar-X tidak dapat mencitrakan cold abscess
dengan baik (Gambar 2.12).
Gambar 2.14. Pencitraan sinar-X proyeksi AP pasien spondilitis TB. Sinar-X memperlihatkan
iregularitas dan berkurangnya ketinggian dari badan vertebra T9 (tanda bintang), serta juga dapat
terlihat massa paravertebral yang samar, yang merupakan cold abscess (panah putih) (Zuwanda &
Janitra, 2013).
2. CT Scan
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan vertebra, abses
epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan knalis spinalis (Gambar 2.14 dan Gambar
2.15). CT myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis apabila
tidak tersedia pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras melalui
punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan.CT scan dapat
juga berguna untuk memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan
jaringan tulang. Penggunaan CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan MRI untuk
visualisasi jaringan lunak (Moesbar, 2006).
20
Gambar 2.15. Pencitraan CT-scan pasien spondilitis TB potongan aksial
setingkat T 12. Pada CT-scan dapat terlihat destruksi pedikel kiri vertebra L3
(panah hitam), edema jaringan perivertebra (kepala panah putih), penjepitan
medula spinalis (panah kecil putih), dan abses psoas (panah putih besar)
(Zuwanda & Janitra, 2013).
3. MRI
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi badan
vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk abses paraspinal dapat
dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini. Untuk mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya
dilakukan pencitraan MRI aksial dan sagital yang meliputi seluruh vertebra untuk mencegah
terlewatkannya lesi noncontiguous. MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan
jaringan. Peningkatan sinyal T1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian jaringan
radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini berkorelasi dengan gejala
klinis (Jain et al, 2012).
21
Gambar 2.17. Pencitraan MRI potongan sagital pasien
spondilitis TB. Pada MRI dapat dilihat destruksi dari badan
vertebra L3-L4 yang menyebabkan kifosis berat (gibbus),
infiltrasi jaringan lemak (panah putih), penyempitan kanalis
spinalis, dan penjepitan medula spinalis.Gambaran ini khas
menyerupai akordion yang sedang ditekuk (Zuwanda & Janitra,
2013).
4. Pencitraan lainnya
Ultrasonografi dapat digunakan untuk mencari massa pada daerah lumbar. Dengan
pemeriksaan ini dapat dievaluasi letak dan volume abses/massa iliopsoas yang mencurigakan
suatu lesi tuberkulosis. Bone scan pada awalnya sering digunakan, namun pemeriksaan ini
hanya bernilai positif pada awal perjalanan penyakit. Selain itu, bone scan sangat tidak
spesifik dan beresolusi rendah. Berbagai jenis penyakit seperti degenerasi, infeksi, keganasan
dan trauma dapat memberikan hasil positif yang sama seperti pada spondilitis TB. Pencitraan
dengan Gadolinium diketahui berguna untuk mendeteksi infeksi TB diseminata. Penggunaan
pencitraan ini masih belum lazim pada spondilitis TB.
Spondilitis piogenik adalah salah satu penyakit dengan presentasi gejala yang serupa dengan
spondilitis TB dan tidak mudah untuk membedakan keduanya tanpa pemeriksaan penunjang
yang adekuat. Spondilitis piogenik umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus,
Streptococcus, dan Pneumococcus. Secara epidemiologi, spondilitis piogenik lebih sering
22
menyerang usia produktif, sekitar usia 30–50 tahun. Hingga saat ini, prevalensi spondilitis
piogenik dilaporkan meningkat diakibatkan banyaknya penyalahgunaan antibiotik, tindakan
invasif spinal, pembedahan spinal.
Telah dilakukan studi untuk membedakan kedua penyakit melalui MRI. Jung dkk
menjabarkan beberapa perbedaan temuan MRI secara rinci yang mengarahkan pada infeksi
TB: 1) sinyal abnormal paraspinal berbatas tegas. 2) dinding abses tipis dan halus. 3) adanya
abses paraspinal dan intraoseus. 4) penyebaran subligamen lebih dari 2 vertebra. 5)
keterlibatan vertebra torakal. 6) lesi multipel. Bila ada temuan radiologis selain yang
disebutkan di atas, tampaknya diagnosis infeksi piogenik lebih mungkin.
Tumor metastatik spinal mencakup 85 persen bagian dari semua tumor tulang belakang
yang mengakibatkan kompresi medula spinalis. Insiden tertinggi kasus tumor metastasik
spinal pada usia di atas 50 tahun. Urutan segmen yang sering terlibat yaitu torakal, lumbar
dan servikal. Neoplasma dengan kecenderungan bermetastasis ke medula spinalis meliputi
tumor payudara, prostat, paru, limfoma, sarkoma, dan mieloma multipel. Metastasis
keganasan saluran cerna dan rongga pelvis relatif melibatkan vertebra lumbosakral,
sedangkan keganasan paru dan mamae lebih sering melibatkan vertebra torakal.
23
2.2.8. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Spondilitis TB dapat diobati secara sempurna hanya dengan OAT saja hanya jika
diagnosis ditegakkan awal, dimana destruksi tulang dan deformitas masih minimal. Seperti
pada terapi TB pada umumnya, terapi infeksi spondilitis TB adalah multidrug therapy.
Secara umum, regimen OAT yang digunakan pada TB paru dapat pula digunakan pada TB
ekstraparu, namun rekomendasi durasi pemberian OAT pada TB ekstraparu hingga saat ini
masih belum konsisten antarahli.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia telah merumuskan regimen terapi OAT untuk
pasien TB. Untuk kategori I, yaitu kasus baru TB paru kasus baru dengan TB ekstraparu,
termasuk TB spinal, diberikan 2 HRZE (HRZS) fase inisial dilanjutkan 4HR fase lanjutan,
atau 2HRZE (HRZS) fase inisial dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan, atau 2RHZE(HRZS) fase
inisial dilanjutkan 6HE fase lanjutan. Pemberian regimen bisa diperpanjang sesuai dengan
respons klinis penderita. Sedangkan untuk kategori II, yaitu kasus gagal pengobatan, relaps,
drop-out, diberikan 2RHZES fase inisial dilanjutkan 5HRE fase lanjutan, atau 2HRZES fase
inisial dilanjutkan 5H3R3E3 fase lanjutan.
Deksametason jangka pendek dapat digunakan pada kasus dengan defisit neurologis
yang akut untuk mencegah syok spinal. Namun, belum ada studi yang menguji efektivitasnya
pada kasus spondilitis TB. Pemberian bisfosfonat intravena bersamaan dengan kemoterapi
OAT telah dicoba pada beberapa pasien dan dikatakan dapat meningkatkan proses perbaikan
tulang. Nerindronat 100 mg pada pemberian pertama, dan 25 mg setiap bulan berikutnya
selama 2 tahun telah diujicobakan dengan hasil yang memuaskan. Nerindronat disebutkan
dapat menghambat aktivitas resorpsi osteoklas dan menstimulasi aktivitas osteoblas. Namun,
studi ini masih terbatas pada satu pasien dan perlu dievaluasi lebih lanjut. Terapi
medikamentosa dikatakan gagal jika dalam 3–4 minggu, nyeri dan atau defisit neurologis
masih belum menunjukkan perbaikan setelah pemberian OAT yang sesuai, dengan atau tanpa
imobilisasi atau tirah baring (Zuwanda & Janitra, 2013). Dosis OAT yang dianjurkan untuk
anak dan dewasa dapat dilihat pada tabel 4.
24
Tabel 4. Dosis Rekomendasi OAT pada Anak dan Dewasa
2. Pembedahan
Dengan berkembangnya penggunaan OAT yang efektif, terapi pembedahan relatif
ditinggalkan sebagai penatalaksanaan utama pada spondilitis TB. Pada pasien yang
direncanakan dioperasi, kemoterapi tetap harus diberikan, minimal 10 hari sebelum operasi
OAT harus sudah diberikan. Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada spondilitis TB
meliputi drainase abses; debridemen radikal; penyisipan tandur tulang; artrodesis/fusi;
penyisipan tandur tulang; dengan atau tanpa instrumentasi/fiksasi, baik secara anterior
maupun posterior dan osteotomi.
Indikasi pembedahan pada spondilitis TB secara umum sebagai berikut:
1) defisit neurologis akut, paraparesis, atau paraplegia.
2) deformitas tulang belakang yang tidak stabil atau disertai nyeri, dalam hal ini kifosis
progresif (30º untuk dewasa, 15º untuk anak-anak).
3) tidak responsif kemoterapi selama 4 minggu.
4) abses luas.
5) biopsi perkutan gagal untuk memberikan diagnosis.
6) nyeri berat karena kompresi abses.
Jika lesi di servikal, intervensi bedah dilakukan lebih awal mengingat potensi
kecacatan yang akan terjadi. Jika mengikuti klasifi kasi GATA yang telah dijelaskan diatas,
maka intervensi bedah dilakukan pada pasien dengan GATA IB hingga GATA III. Sementara
itu, satu-satunya kontraindikasi pembedahan pada pasien spondilitis TB adalah kegagalan
jantung dan paru. Pada keadaan ini kegagalan jantung dan paru harus ditangani terlebih
dahulu untuk menyelamatkan jiwa pasien (Zuwanda & Janitra, 2013).
25
3. Imobilisasi Pasca-operasi
Imobilisasi yang singkat akan mengurangi morbiditas pasien. Dengan instrumentasi,
kebutuhan imobilisasi semakin berkurang sehingga pasien dapat cepat mencapai status
ambulatorik. Jenis imobilisasi spinal tergantung pada tingkat lesi. Pada daerah servikal dapat
diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal
bagian atas dapat diimobilisasi menggunakan body cast jacket. Sedangkan pada lumbal
bawah, lumbosakral, dan sakral dilakukan imobilisasi dengan body jacket atau korset dari
gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul (Vitriana, 2001).
2.2.9 Prognosis
Prognosis pasien spondilitis TB dipengaruhi oleh:
1) usia
2) deformitas kifotik
3) letak lesi
4) defisit neurologis
5) diagnosis dini
6) kemoterapi
7) fusi spinal
8) komorbid
9) tingkat edukasi dan sosioekonomi
Usia muda dikaitkan dengan prognosis yang lebih baik. Namun, Parthasarathy Dkk
menyimpulkan bahwa pada pasien usia dibawah 15 tahun dan dengan kifosis lebih dari 30ᴼ
cenderung tidak responsif terhadap pengobatan. Kifosis berat, selain memperburuk estetika,
dapat mengurangi kemampuan bernafas. Diagnosis dini sebelum terjadi destruksi badan
vertebra yang nyata dikombinasi dengan kemoterapi yang adekuat menjanjikan pemulihan
yang sempurna pada semua kasus. Adanya resistensi terhadap OAT memperburuk prognosis
spondilitis TB. Komorbid lain seperti AIDS berkaitan dengan prognosis yang buruk.
Penelitian lain di Nigeria mengatakan bahwa tingkat edukasi pasien mempengaruhi motivasi
pasien untuk datang berobat. Pasien dengan tingkat edukasi yang rendah cenderung malas
datang berobat sebelum muncul gejala yang lebih berat seperti paraplegia (Parathasarathy et
al., 1999)
26
DAFTAR PUSTAKA
27