Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fungsional dan Biomekanika Lumbal

1. Anatomi fungsional lumbal

Regio lumbal terletak pada bagian bawah dari susunan tulang belakang

yang terdiri dari 5 vertebral bodi/ yang mobile, 4 diskus intervertebralis, dengan 1

diskus pada thoracolumbar junction dan lumbosacral junction, oleh karena itu

pada bagian penampang sagittal, regio ini berbentuk lordosis, menyebabkan

posisinya yang paling banyak menahan beban mekanik. Akibat dari bentuk dan

strukturnya tersebut, secara biomekanik, regio ini merupakan regio yang paling

mudah serta cepat mengalami degenerasi (Suyasa, 2018).

Gambar 2.1
Susunan tulang belakang. (1) Vertebra cervical 1-7, (2) Vertebra thoracal 1-12,
(3) Vertebra lumbal 1-5, (4) Os sacrum, (5) Os coxygeal (Aprimurti, 2019).

5
6

Seiring dengan adanya peningkatan beban yang harus disokong, ukuran

tulang vertebrae lumbal semakin bertambah dari L1 hingga L5. Terdapat sejumlah

foramina kecil untuk suplai arteri dan drainase vena pada bagian depan dan

sampingnya, dan pada bagian dorsal tampak sejumlah foramina yang lebih besar

dan satu atau lebih orificium yang besar untuk vena basivertebral. Corpus

vertebrae berbentuk seperti ginjal dan berukuran besar, terdiri dari tulang korteks

yang padat mengelilingi tulang medular yang berlubang-lubang (honeycomb-like).

Permukaan bagian atas dan bawahnya disebut dengan endplate. End plates

menebal di bagian tengah dan dilapisi oleh lempeng tulang kartilago. Bagian tepi

end plate juga menebal untuk membentuk batas tegas, berasal dari epiphyseal

plate yang berfusi dengan corpus vertebrae pada usia 15 tahun (Vitriana, 2001).

Diskus intervertebralis merupakan sendi yang menghubungkan tulang-

tulang vertebra pada tulang belakang. Struktur diskus intervertebralis terdiri dari

tiga daerah anatomi yang terintegrasi yaitu nukleus pulposus di bagian tengah

yang banyak memiliki kandungan air dan kolagen tipe II, anulus fibrosus di

bagian tepi mengandung kolagen tipe I dan II serta terdapat dua end plate yang

terdiri dari tulang rawan hyaline di bagian superior dan inferior (Suyasa, 2018)

Pada tulang belakang manusia, terdapat dua jenis sendi mayor, yaitu

diskus invertebralis dan sendi zigapofiseal. Sendi zigapofiseal sendiri biasa

disebut dengan sendi facet yang terbentuk dari prosessus artikulasis vertebra yang

saling berdekatan. Sendi ini merupakan true synovial joints dengan cairan

synovial (satu prosessus superior dari bawah dengan satu prosessus inferior dari

atas). Sendi ini juga berguna untuk memberikan stabilisasi pergerakan antara dua
7

vertebra dengan adanya translasi dan torsi saat melakukan fleksi dan ekstensi.

Sendi zigapofiseal merupakan sendi yang membatasi pergerakan fleksi lateral dan

rotasi pada tulang belakang (Yueniwati, 2014).

Nucleus Pulposus

Anulus
Anterior
Fibrosus
longitudinal
ligament
Vertebral
Anulus Fibrosus body

Nucleus
Pulposus

Gambar 2.2
Anatomi diskus intervertebralis (Suyasa, 2018)

Selain sebagai stabilisator aktif pada tulang belakang, jaringan kontraktil

juga berfungsi sebagai penunjang pergerakan vertebra yang terdiri dari otot-otot

bagian anterior, posterior, dan lateral. Otot-otot bagian anterior dan lateral

terdiri dari 5 otot, yaitu m. Obliqus eksternus abdominis, m. Obliqus internus

abdominis, m. Rectus abdominis, m. Quadratus lumborum, dan m. Psoas major.

Sedangkan otot-otot bagian posterior terdiri dari 6 otot, yaitu m. Latisimus dorsi,

m. Longissimus dorsi, m. Illiocostalis thoracic, m. Illiocostalic lumborum, m.

Spinalis thoracic, dan m. Erector spine. Selain beberapa otot tersebut, otot pada

tungkai juga memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas lumbal. Otot-otot
8

tersebut diantaranya adalah m. Hamstring, m. Quadriceps, m. Gluteal, m.

Gastrocnemius, m. Soleus, otot-otot fleksor panggul, dan otot-otot adduktor

panggul (Kinanthi, 2019).

Gambar 2.3
Otot daerah punggung. (1) m. Spinalis thoracis, (2) m. Iliocostalis lumborum, (3)
m. Obliqus externus abdominis, (4) m. Obliqus internus abdominis, (5) m.
Iliocostalis thoracis, (6) m. Latissimus dorsi, (7) m. Erector spine (Kinanthi,
2019).

Pada tulang belakang juga terdapat beberapa ligamen yang menyusunnya,

diantaranya yaitu (1) Ligamen longitudinal anterior, terletak dari anterior basal

tulang oksipital hingga bagian anterior atas sacrum, (2) Ligamen longitudinal

posterior, terletak belakang korpus vertebra dalam kanalis spinalis yang berasal

dari C2 sampai sacrum, (3) Ligamen kapsular, memiliki serabut yang tebal dan

saling berhubungan erat, dan melekat di tepi prosessus artikularis yang


9

berdekatan, (4) Ligamen flavum, pada bagian atas melekat pada permukaan

anterior lamina di atasnya, sedangkan pada bagian bawah melekat pada tepi

posterior atas lamina di bawahnya, (5) Ligamen interspinosus, tersusun dari

gabungan serabut-serabut yang berjalan pada antar prosessus spinosus, (6)

Ligamen supraspinosus, terletak di ujung C7 hingga krista sakralis median dan

melekat pada tiap prosessus spinosus, (7) Ligamen intertransversal, berasal dari

perjalanan antar prosessus transversus, (8) Ligamen iliolumbal, penghubung dua

tulang belakang lumbal bawah dengan krista illiaca dan letaknya melekat pada

prosessus transversus (Yueniwati, 2014).

2. Biomekanika lumbal

Mobilitas lumbal paling besar pada saat pergerakan fleksi/

ekstensi (mobilitas kumulatif pada segmen (L1-L5: 57°) dan terbatas selama

lateral bending (L1-L5: 26°) serta rotasi axial (Ll- L5: 8°). Pergerakan

fleksi/ekstensi lumbal spinalis yang memiliki jangkauan luas menyebabkan celah

fisiologis pada sendi facet di fase akhir gerakan, dan hal ini dapat mengakibatkan

tekanan yang maksimal di tepi bawah facet inferior selama ekstensi dan tepi atas

facet superior selama fleksi. Pada posisi berdiri tegak, sendi facet antara

L5 dan sakrum menerima beban ke arah depan yang berkelanjutan oleh karena

adanya lordosis lumbal (Suyasa, 2018).


10

Gambar 2.4
Pergerakan lumbal spinalis. (A) Fleksi lateral (side fleksi). (B) Fleksi dan
ekstensi. (C) Rotasi (Suyasa, 2018).

Gerakan fleksi atau ekstensi lumbal spinalis dapat mengakibatkan celah

fisiologis pada sendi facet di fase akhir gerakan, hal ini disebabkan karena

gerakan tersebut memiliki jangkauan yang lebih luas daripada gerakan yang

lainnya. Hal ini mengakibatkan adanya tekanan yang maksimal di tepi atas facet

superior selama fleksi dan tepi bawah facet inferior selama. Pada posisi berdiri

tegak, dengan adanya lordosis lumbal mengakibatkan sendi facet antara L5 dan

sakrum menerima beban ke arah depan yang berkelanjutan (Suyasa, 2018).


11

Gambar 2.5
Pergerakan sendi intervertebralis saat mendapat beban dan saat pergerakan
vertebra (Suyasa, 2018)

Diskus bertindak menyerupai ligamen yang memungkinkan dan

mengendalikan gerakan tiga dimensi pada kompleks tulang belakang yaitu

kompresi vertikal dan distraksi, ekstensi fleksi, bending lateral dan rotasi axial.

Dengan nukleus berperan seperti silinder bertekanan, diskus juga berperan sebagai

shock absorber utama dari tekanan mekanis yang ditransmisikan

selamapergerakan ke tengkorak dan otak. Ketika diskus diberikan beban simetris,

nukleus akan mentransmisikan muatan ke segala arah untuk mendorong endplate,

sementara jika ada muatan eksentrik, akan cenderung bergerak ke arah tekanan

rendah, di mana serat anulus berada di bawah tekanan. Gerakan membungkuk

akan menginduksi beban tarik dan kompresi pada sisi berlawanan dari lapisan

anulus terluar bersamaan dengan bulging pada sisi kompresi dan peregangan pada

sisi tarikan (Suyasa, 2018)


12

B. Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang

digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Nyeri adalah suatu pengalaman

sensorik yang multidimensional. Fenomena ini dapat berbeda dalam intensitas

(ringan,sedang, berat), kualitas (tumpul, seperti terbakar, tajam), durasi (transien,

intermiten, persisten), dan penyebaran (superfisial atau dalam, terlokalisir atau

difus). Meskipun nyeri adalah suatu sensasi, nyeri memiliki komponen kognitif

dan emosional, yang digambarkan dalam suatu bentuk penderitaan. Nyeri juga

berkaitan dengan reflex menghindar dan perubahan output otonom (Bahrudin,

2017).

Nyeri yang dirasakan pada kondisi low back pain berhubungan dengan

mobiltas lumbal dan keterbatasan aktifitas fungsional. Keadaan otot yang lemah

menimbulkan transmisi stimulus nyeri pada ekstensor dibandingkan fleksor, yang

mengakibatkan otot tidak kuat mengangkat beban. Nyeri tekan pada kondisi LBP

disebabkan karena adanya spasme pada muscle spindles. Hal ini disebabkan

karena adanya rangsangan yang tidak jelas dari luar otot yang dipersepsikan

sebagai sumber nyeri, sedangkan muscle spindles di inversi oleh sistem saraf

simpatis. Aktifitas otot akan terhambat karena adanya perlengketan otot yang

tidak sempurna sehingga akan melepaskan pancaran rangsang saraf yang

berbahaya yang akan menimbulkan rasa nyeri. Spasme otot pada kondisi low back

pain dapat dijumpai pada nyeri myofascial yang dapat dibuktikan dengan adanya
13

nyeri gerak dan nyeri tekan pada daerah yang bersangkutan (trigger point),

spasme otot punggung bawah, dan berkurangnya lingkup gerak sendi pada

kelompok otot yang bersangkutan (loss of range og motion) (Febriana, 2013).

The international association for the study of pain (2015) mengemukakan

bahwa nyeri adalah pengalaman sensorik dan perasaan yang tidak menyenangkan

terkait dengan kerusakan pada struktur jaringan baik terjadi secara aktual maupun

potensial yang dialami seseorang. Nyeri juga dapat didefinisikan sebagai sesuatu

yang sukar dipahami dan fenomena yang kompleks meskipun universal, tetapi

masih merupakan misteri (Taylor et al, 2011).

Sistem saraf memiliki suatu mekanisme dalam mendeteksi adannya

rangsangan seperti tekanan yang kuat dari luar, suhu ekstrem, defisit oksigen dan

paparan bahan kimia tertentu yang berpotensi menyebabkan kerusakan jaringan.

Hal tersebut dilakukan dengan maksud mencegah kerusakan lebih lanjut dengan

cara tubuh secara tidak sadar menimbulkan gerakan refleks (Patel, 2010).

Proses yang terjadi dari awal kerusakan jaringan hingga dapat

dipersepsikan sebagai suatu nyeri merupakan rangkaian proses elektrofisiologis

yang disebut dengan nosiseptif. Ada 4 proses yang mewakili terjadinya nyeri

nosiseptif yaitu (Zuhri, 2020)

1. Transduksi

Merupakan peristiwa diamana suatu stimuli nyeri diubah menjadi aktivitas

kelistrikan yang kemudian diterima oleh ujung-ujung saraf sensoris. Stimuli dapat

berupa agen fisik, thermal, dan kimiawi.


14

2. Transmisi

Merupakan suatu proses penghantaran stimuli nyeri dari saraf perifer

menuju sentral dengan melewati PHC di medulla spinalis. Terdiri dari :

a. First order neuron (neuron orde pertama)

Orde pertama atau aferen primer mentransmisikan impuls dari reseptor

sensorik ke tanduk dorsalis medula spinalis (PHC) terdiri dari empat jenis serabut

saraf dalam penghantaranya yaitu A-alfa, A-beta, A-delta, dan C. Serabut saraf Aa

dan Ab dicirikan sebagai serabut saraf afferen berdiameter besar dan serabut saraf

Ad dan C sebagai afferen berdiameter kecil (Zuhri, 2020).

b. Second order neuron (neuron orde kedua)

Second order neuron membawa pesan sensorik dari tanduk dorsal ke

thalamus dikategorikan menjadi 2 jenis yakni pertama, nociceptive-specific

neuron (NS) yang secara ekslusif responsif terhadap impuls dari serabut Ad dan

C. kedua disebut wide-dinamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap

stimulus noksius maupun stimulus non noksius yang menyebabkan menurunya

respon treshhold serta meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan

signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri (Zuhri,

2020).

c. Third order neuron (neuron orde ketiga)

Menghantarkan impuls dari thalamus ke korteks sensorik primer (girus post

central lobus parietalis) di mana input diintegrasikan, ditafsirkan dan

ditindaklanjuti (Zuhri, 2020).


15

3. Modulasi

Penghantaran stimuli nyeri yang dilakukan serabut saraf afferen tipe A-

delta dan tipe C melalui sel-sel neuron di PHC tidak semuanya diteruskan menuju

otak, melainkan ditempat ini terjadi suatu mekanisme inhibisi baik itu, inhibisi

endogen maupun inhibisi eksogen. Apabila stimuli yang masuk lebih dominan

maka penderita akan merasakan suatu rangsangan nyeri. Sedangkan bila pengaruh

inhibisi lebih kuat maka penderita tidak merasakan suatu rangsangan nyeri.

Semua ini merupakan interaksi antara sistem anlgesik endogen (endorphin, NA,

5HT) dengan stimuli nyeri yang masuk di PHC.

4. Persepsi

Stimuli nyeri yang berhasil dihantarkan oleh serabut saraf afferent melalui

jaras spinotalamikus sampai dengan ke otak (cortex cerebri) kemudian akan

mengalami suatu kejadian yang kompleks, termasuk interprestasi dan persepsi

sehingga individu mampu menginteprestasikan dan mempersepsikan nyeri yang

dialaminya.

C. Low back pain non spesifik

Low back pain non-spesifik didefinisikan sebagai low back pain tidak

disebabkan oleh patologi spesifik yang dikenal dan dapat dikenali (mis. infeksi,

tumor, osteoporosis, fraktur, structural kelainan bentuk, kelainan infeksi, sindrom

radikular, atau sindrom cauda equina). Low back pain menjadi salah satunya

masalah terbesar untuk sistem kesehatan masyarakat di dunia barat selama paruh

kedua abad ke-20, dan sekarang tampaknya meluas ke seluruh dunia 1, 2 Data

dari AS menunjukkan bahwa proporsi kunjungan dokter dikaitkan sakit punggung


16

telah berubah sedikit dalam dekade terakhir, 3 tetapi biaya telah meningkat secara

substansial.

Menurut Kinanthi (2019) LBP non spesifik disebabkan oleh 3 faktor yaitu :

1. Postur tubuh yang jelek

Beberapa postur tubuh yang jelek seperti tubuh membungkuk ke depan,

kepala menunduk, tidak tegak, dindin perut abnormal dan punggung hiperlordosis

akan mengakibatkan kelelahan pada otot-otot stabilisator dan ligamen, sehingga

daerah pada punggung bawah akan menimbulkan rasa nyeri.

2. Otot-otot stabilisator pada vertebra tidak seimbang

Dampak dari tidak seimbangnya otot-otot stabilisator pada vertebra yaitu

adanya kelemahan pada otot-otot perut dan overuse pada otot-otot punggung yang

memicu adanya spasme otot.

3. Kesalahan teknik yang digunakan untuk mengangkat dan membawa

barang

Menurut Purnamasari (2010) faktor resiko pada kasus low back pain

dapat dibedakan menjadi 5, yaitu :

1. Jenis kelamin

Pada awalnya jenis kelamin laki-laki dan perempuan saling memiliki

faktor resiko low back pain yang sama besarnya, namun pada usia 60 tahun atau

lebih jenis kelamin perempuan lebih banyak mengalami keluhan low back pain.

Hal ini disebabkan karena perempuan akan mengalami siklus menopause yang
17

berakibat adanya penurunan hormone estrogen yang menimbulkan terjadinya

nyeri di punggung bawah.

2. Usia

Berdasarkan teori yang ada, low back pain tidak terlalu terikat dengan

usia seseorang, karena keluhan tersebut dapat terjadi kapan saja dan pada usia

berapa saja. Namun low back pain biasanya dirasakan dimulai pada usia 20 tahun

dan paling banyak pada usia 50 tahun ke atas. Hal ini disebabkan karena

penurunan fungsi pada bagian tubuhnya terutama struktur tulangnya yang sudah

tidak elastis lagi. Oleh karena itu, usia pada saat ini bukan termasuk faktor yang

memperberat LBP, melainkan sudah termasuk dalam faktor pendukung.

3. Obesitas

Obesitas memilik faktor yang paling mendukung untuk terjadinya

keluhan low back pain. Hal ini dibuktikan bahwa seseorang yang mengalami

obesitas memiliki dampak 5 kali lebih besar mengalami keluhan LBP daripada

orang yang memiliki berat tubuh ideal. Apabila seseorang mengalami obesitas,

otomatis berat badannya akan menambah daya kerja pada lumbal, yang

mengakibatkan tulang belakang akan menerima beban yang berlebih yang

berakibat kerusakan pada tulang belakang.


18

4. Trauma

Trauma sendiri terjadi tergantung dari mekanisme seseorang mengalami

keluhan pada tulang belakang. Trauma dapat dibedakan menjadi dua yaitu trauma

besar dan trauma kecil. Trauma besar terjadi karena terbedolnya insersi otot

erector trunk. Pada kasus ini seseorang dapat menunjukkan daerah nyeri tekan

dan adanya ruptur ligament interspinosum baik partial maupun mutlak. Sedangkan

trauma kecil terjadi karena adanya strain pada sakroiliaka dan lumbosacral. Hal

ini disebabkan karena kedua daerah tersebut mengalami kerja yang berlebih yang

mengakibatkan adanya rasa pegal, ngilu, dan panas pada daerah punggung bawah.

5. Infeksi

Low back pain dapat terjadi karena adanya peradangan pada tulang

belakang akibat adanya infeksi atau masalah pada sistem imun tubuh. Beberapa

penyakit dari arthtritis dapat menyebabkan terjadinya keluhan low back pain.

D. Bridging exercise

Bridging exercise biasa disebut pelvic bridging exercise yang mana latihan

ini baik untuk latihan penguatan stabilisasi pada glutei, hip dan punggung bawah

(Miller, 2012). Bridging exercise adalah cara yang baik untuk mengisolasi dan

memperkuat otot gluteus dan hamstring (belakang kaki bagian atas ). Jika

melakukan latihan ini dengan benar, bridging exercise digunakan untuk stabilitas

dan latihan penguatan yang menargetkan otot perut serta otot-otot punggung

bawah dan hip. Akhirnya, bridging exercise dianggap sebagai latihan rehabilitasi
19

dasar untuk meningkatkan stabilitas atau keseimbangan dan stabilisasi tulang

belakang (Quinn, 2012).

Meskipun bridging exercise merupakan latihan yang mudah untuk

dilakukan, sangat bermanfaat dalam mempertahankan kekuatan di punggung

bawah dan berguna dalam program pencegahan sakit punggung bawah. Bridging

exercise juga merupakan latihan yang bagus yang memperkuat otot-otot

paraspinal, otot-otot kuadrisep di bagian atas paha, otot-otot hamstring di bagian

belakang paha, otot perut dan otototot glutealis (Cooper, 2009).

Bridging exercise memiliki tujuan sebagai berikut : (1) Mengisolasi dan

memperkuat otot erector spine, gluteus, dan hamstring. (2) Untuk stabilitas dan

latihan penguatan yang menargetkan otot perut serta otot otot punggung bawah

dan hip. (3) Sebagai latihan rehabilitasi dasar untuk meningkatkan stabilisasi

tulang belakang (Quinn, 2012).

Gambar 2.6
Bridging exercise (Balakrishnan, 2015)
20

Cara melakukan bridging exercise sebagai berikut : (1) Berbaring di

permukaan datar seperti lantai, karpet atau matras. (2) Tekuk lutut dan

menempatkan kaki rata di lantai dengan jarak antara kedua kaki enam sampai

delapan inci. (3) Telapak tangan harus rata di lantai di samping tubuh. (4)

Rilekskan tubuh bagian atas dan punggung saat kontraksikan perut dan

kontraksikan otot dasar panggul. (5) Keluarkan napas saat menekan tangan dan

lengan bawah ke lantai dan perlahan-lahan mendorong panggul ke arah atas. (6)

Latihan ini dilakukan selama 2 minggu sebanyak 3 kali terapi tiap minggu,

repetisi untuk penguatan 5-8 kali per set, dilakukan secara perlahan tanpa

menimbulkan rasa sakit, pertahankan 5–8 detik, kembali ke posisi awal lalu rileks.

Begitu seterusnya sampai 2-3 set. (Cooper, 2009).

E. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Ui-Cheol Jeong et.al pada tahun 2015 di

Korea, dengan judul ” The effects of bridging exercise and lumbar stabilization

exercise on lumbar muscle strength and balance in chronic low back pain

patients”. Desain penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan

rancangan pre dan post-test control group design dengan jumlah subjek 40 orang

dan terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberikan intervensi

bridging exercise, sedangkan kelompok kedua diberikan intervensi lumbar

segmental stabilization exercise dengan dosis yang sama. Hasilnya menunjukan

bahwa bridging exercise lebih baik dalam menurunkan nyeri chronic low back

pain daripada lumbar segmental stabilization exercise.


21

Penelitian yang dilakukan oleh Eni Rahmawati pada tahun 2017 di

Yogyakarta, dengan judul ”Pengaruh Core Stability Inti Terhadap Penurunan

Nyeri Pinggang Akibat Duduk Statis di SMP N 3 Pakem”. Jenis penelitian ini

adalah penelitian eksperimental. Sedangkan rancangan penelitiannya dengan pre

and post test two control group design dengan membedakan antara kelompok

perlakuan kesatu tidak diberikan penanganan dan kelompok perlakuan kedua

diberikan core stability exercise dengan dosis latihan dilakukan selama 2 minggu

sebanyak 6 kali terapi, repetisi untuk penguatan 10-15 kali perset, dilakukan

secara perlahan tanpa menimbulkan rasa sakit, pertahankan 5–10 detik, kembali

ke posisi awal lalu rileks. Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ini dapat

disimpulkan yaitu “Ada Pengaruh Core Stability Inti Terhadap Penurunan Nyeri

Pinggang Akibat Duduk Statis Di SMP N 3 Pakem”


22

F. Kerangka Pikir

Etiologi:

• Postur tubuh yang jelek Faktor resiko:


• Otot-otot stabilisator
pada vertebra tidak • Jenis kelamin
seimbang • Usia
• Kesalahan teknik yang • Obesitas
digunakan untuk • Trauma
mengangkat dan • Infeksi
membawa barang

Muscle Imbalance
Otot Abdominal
dan Erector spine

Low Back Pain


Non Spesifik

Nyeri

Penguatan otot erector spine


Bridging exercise
dan penguluran otot abdominal

Penurunan nyeri low


back pain

Gambar 2.7
Kerangka Pikir
23

Keterangan:

Seseorang dapat mengalami nyeri punggung bawah non spesifik akibat

dari faktor-faktor seperti postur tubuh yang jelek, otot-otot stabilisator pada

vertebra tidak seimbang, kesalahan teknik yang digunakan untuk mengangkat dan

membawa barang. Sedangkan dari faktor individu itu sendiri seperti usia, jenis

kelamin, obesitas, dan trauma. Dengan adanya faktor-faktor tersebut seseorang

dapat mengalami ketidakseimbangan pada otot-otot abdominal dengan otot-otot

erector spine. Salah satu intervensi fisioterapi yang dapat diberikan pada kasus

nyeri punggung bawah kronis non spesifik adalah bridging exercise. Latihan ini

bermanfaat untuk menguatkan otot-otot punggung bawah sehingga stabilitas

tubuh terbantu dengan baik. Sehingga dengan bridging exercise diharapkan nyeri

yang diarasakan dapat menurun. Nyeri dievalusi dengan menggunakan VAS

sebelum dan sesudah bridging exercise.


24

G. Kerangka Konsep

• Medika mentosa
• Aktivitas subjek

Dosis + Keterampilan FT’s

Bridging Post test Nyeri


Subyek Pre test exercise menurun
Penelitian
LBP Non Dibandingkan
Spesifik Pre test Post test Nyeri
menurun

• Medika mentosa
• Aktivitas subjek

Gambar 2.8
Kerangka Konsep
Keterangan:
Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria ekslusi dibagi menjadi

2 kelompok secara acak. Kelompok 1 diberi perlakuan berupa bridging exercise,

sedangkan Kelompok 2 sebagai kelompok kontrol. Sebelum dan sesudah

diberikan intervensi fisioterapi berupa bridging execise diukur dengan

menggunakan alat ukur VAS untuk mengetahui pengaruh yang terjadi, yaitu

adanya penurunan nyeri punggung bawah. Dosis dan keterampilan Fisioterapis

dikendalikan, sedangkan faktor lain yang mungkin mempengaruhi hasil perlakuan


25

yaitu konsumsi obat penurun nyeri (medika mentosa) dan aktifitas subjek di luar

perlakuan tidak dikendalikan.

H. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah : (1) Ada pengaruh pemberian

bridging exercise terhadap penurunan nyeri pada low back pain non spesifik. (2)

Tidak ada pengaruh kelompok kontrol terhadap penurunan nyeri pada low back

pain non spesifik. (3) Ada perbedaan pengaruh pemberian bridging exercise

dengan kelompok kontrol terhadap penurunan nyeri pada low back pain non

spesifik. (4) Bridging exercise lebih berpengaruh dibandingkan kelompok kontrol

terhadap penurunan nyeri pada low back pain non spesifik

Anda mungkin juga menyukai