Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Low Back Pain Musculoskeletal

1. Definisi

Nyeri punggung bawah menurut Simon dan Travel yang di kutip

Kuswantoro dan kawan-kawan adalah sindroma nyeri di bagian dorsal yang dapat

timbul dimana saja antara Vth12 dan bagian bawah pinggul atau lubang dubur,

sedangkan muskuloskeletal berasal dari kata muscular yang berarti otot dan skelet

yang berarti rangka. Jadi yang di maksud disini adalah sistem otot rangka beserta

jaringan penyokongnya (Kuswantoro et al, 1987).

Menurut kamus besar bahasa Indonesia yang di maksud dengan punggung

adalah bagian belakang tubuh (baik manusia maupun hewan) dari leher sampai

tulang ekor. Dalam bahasa kedokteran inggris, pinggang di kenal sebagai “ low

back” (punggung bawah) yang secara anatomis adalah bagian belakang tubuh dari

Vth12 sampai bagian pantat atau anus, sedangkan pengertian muskuloskeletal

meliputi struktur anatomi sebagai berikut: tulang dan periosteum, kartilago,

kapsul synovial, ligamen, muskulus (otot), tendon dan fascia, meniscus intra

artikulair dan bursa. Sedangkan nyeri punggung bawah muskuloskeletal dalam

penelitian ini adalah suatu sindroma klinik yang ditandai dengan gejala utama rasa

nyeri atau perasaan lain yang tidak enak di daerah tubuh bagian belakang dari

rusuk terakhir atau Vth12 sampai bagian pantat atau anus yang disebarkan unsur

jaringan muskuloskeletal tanpa disertai gangguan neurologis (Mancini, 1985), dan

7
8

struktur anatomi pada pengertian muskuloskeletal ini meliputi: tulang dan

periosteum, kartilago, kapsul synovial, ligamen, otot, tendon dan fascia dan bursa.

2. Anatomi fungsional punggung bawah

Secara anatomi yang dimaksud dengan punggung bawah adalah mulai dari

tulang belakang lumbal pertama sampai seluruh tulang sacrum dan jaringan lunak

disekitarnya termasuk diskus intervertebralis, ligamen, otot dan fascianya

(Sidharta, 1984). Tulang belakang atau kolumna vertebralis terdiri dari 26 tulang

belakang yang dihubungkan satu sama lain oleh ligamen, diskus dan otot dimana

struktur tulang belakang membentuk 4 kurva yaitu lordosis cervicalis, khiposis

thorakalis, lordosis lumbalis dan kiposis sakralis (White & Panjabi, 1990)..

Secara fungsional, kolumna vertebralis di daerah lumbal tersusun dari

serangkaian unit fungsional dan setiap unitnya terdiri dari segmen anterior dan

posterior.

Gambar 2.1
Kiri: vertebra dilihat dari samping kiri menggambarkan sikap badan statis,
Tengah: beberapa kemungkinan “aligment” pada mulut L-S yang berbeda-beda,
9

Kanan: sudut lumbosakral dilihat dari samping. A= fisiologis, B=sudut membesar,


C=sudut mengecil (Sumber: Cailliet, 1981)

Segmen anterior dibentuk oleh korpus vertebralis yang dihubungkan satu

sama lainnya oleh diskus intervertebralis dan diikat oleh ligamen longitudinal

anterior dan posterior lumbalis yang melekat erat pada korpus vertebralis (Albar,

2000).

Ligamen longitudinal posterior setinggi vertebra lumbalis pertama (LI)

mulai menyempit secara progresif sehingga setinggi diskus vertebra lumbalis ke

lima dan sakral pertama (L5-S1) lebarnya tinggal separuhnya. Ligamen yang

mengecil ini secara fisiologis merupakan titik lemah dimana gaya statik bekerja

dan dimana gerakan spinal yang terbesar terjadi, disitulah mudah terjadi cidera

kinetik (Calliet, 1981). Bagian anterior ini berfungsi sebagai penahan berat badan,

peredam gerakan yang tiba-tiba.

Diskus intervertebralis merupakan penghubung antara dua korpus

vertebara, terdiri dari annulus vibrosus yaitu masa fibroelastik yang membungkus

nucleus pulposus, suatu cairan colloid gel yang mengandung mukopolisakarida.

Dengan pergeseran cairan didalam diskus, tekanan akan diteruskan ke segala arah

dengan sama. Dengan bertambahnya usia atau akibat suatu trauma, jaringan

fibroelastik digantikan oleh jaringan ikat sehingga elastisitasnya menurun.

Segmen posterior terdiri dari arkus vertebra, prosesus transversus, prosesus

spinosus dan persendian facet (apofisis) yang satu sama lain diikat menjadi

kesatuan bangunan oleh ligamen interspinosus, ligamen intertransversus, ligamen

supraspinosus dan ligamen flavum (Albar, 2000). Fungsi segmen posterior


10

melindungi struktur syaraf (medulla spinalis) yang terdapat didalam kolumna

vertebra lumbal. Bidang persendian (faset) adalah penentu arah gerakan vertebra.

Pada daerah lumbal facet terletak pada bidang vertikal segitiga sehingga

memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi kearah posterior dan anterior. Pada

sikap lordosis lumbalis (hiperekstensi lumbal) kedua faset saling mendekat

sehingga gerakan kelateral, oblique dan berputar terhambat, tetapi pada posisi

sedikit fleksi ke depan (lordosis dikurangi) kedua faset saling menjauh sehingga

memungkinkan gerakan ke lateral berputar. (Calliet, 1981). Kolumna vertebra

lumbal mempunyai 3 fungsi penting yaitu fungsi statik untuk menyangga beban

dan menyokong sikap badan, fungsi dinamik (pergerakan) dengan adanya sendi

facet dan diskus intervertebralis, fungsi protektif terhadap medulla spinalis dan

akar-akarnya (Cailliet, 1981).

Ada dua kelompok otot utama yang menunjang kolumna vertebral lumbal

yaitu (1) kelompok ekstensor lumbal yang terdiri dari 3 lapisan kelompok otot

paraspinal yang terletak di bagian posterior yaitu: otot lapisan luar (terdiri dari

mm. illiokostalis, mm. longisimus, mm. spinalis), kelompok otot lapisan tengah

(terdiri dari mm. semi spinalis dan mm. multifidi) dan kelompok otot lapisan

dalam(terdiri dari mm. interspinalis, mm. intertransversarii dan mm. rotatores).

Sebagian otot–otot para spinal posterior tersebut juga berperan membantu gerakan

rotasi aksial yaitu mm. semispinalis, mm. multifidi, mm. rotatores dan mm.

erector spine, sedangkan lateral fleksi digerakkan oleh mm. erector spine, (2)

kelompok otot-otot fleksor lumbal yang terdiri dari otot abdominalis yaitu mm.

obliqus eksternalis dan internalis, mm. transversus abdominis dan illiopsoas.


11

Sebagian otot tersebut juga berperan dalam rotasi aksial yaitu mm. obliqus

eksternalis dan internalis sedangkan lateral fleksi oleh m. illiopsoas (Cailliet,

1981).

Saat berada dalam posisi statik, misalnya saat berdiri, otot – otot ekstensor

lumbal merupakan kelompok otot yang terutama berperan menjaga agar postur

tubuh tetap tegak untuk melawan gaya gravitasi. Sedangkan saat melakukan

gerakan lumbal maka kelompok otot fleksor dan ekstensor lumbal tersebut

bergantian secara konsentrik dan eksentrik untuk mengontrol gerakan, sehingga

memungkinkan suatu gerakan punggung yang terkoordinasi, stabil dan halus

(Cailliet, 1981).

Postur yang baik adalah apabila kita melakukan aktivitas yang tidak

memerlukan tenaga, tidak melelahkan, tidak menimbulkan nyeri, dapat

dipertahankan untuk jangka waktu tertentu secara estetis memberi penampilan

yang dapat diterima. Di sini terjadi keseimbangan antara kerja ligamen dan tonus

minimal dari otot.

Tiga faktor yang mempengaruhi postur pada orang dewasa, (1) familiar

hereditary posture seperti kyphosis dorsalis, sway back, laxity dari ligament dan

lain-lain, (2) struktur yang abnormal baik dari tulang, otot maupun peryarafannya

antara lain cerebral palsy, parkinsonism, hemiplegia, rheumatoid arthritis,

poliomyelitis, (3) postur yang diakibatkan kebiasaan dan latihan. Secara

keseluruhan postur dipengaruhi oleh keadaan anatomi, suku bangsa, latar

belakang, kebudayaan, lingkungan pekerjaan, seks dan keadaan psikologis

seseorang.
12

Sudut lumbosakral disebut juga sudut ferguson adalah sudut yang dibentuk

oleh permukaan atas dari tulang sakrum dengan garis horizontal. Normal besar

sudut lumbosakral adalah 30 derajat. Makin besar sudut lumbosakral berarti

makin besar lordosis lumbal.

Pada saat pelvis berputar atau rotasi pada axis tranversal yang di bentuk

oleh caput femoris. Ketika terjadi gerakan rotasi pelvis ke atas maka akan

memperkecil sudut lumbosakral, sedangkan pada gerakan rotasi pelvis ke bawah

akan memperbesar sudut lumbosakral. Bila sympisis pubis digerakkan ke atas

maka sakrum akan tertekan ke belakang sehingga memperkecil sudut lumbosakral

atau mengurangi lordosis lumbalis. Inilah yang disebut gerakan pelvic telting yang

berefek mengurangi lordosis lumbal.

Gerakan ekstensi vertebra lumbalis hanya sedikit. Hiperekstensi dari

vertebra lumbalis hanya sedikit dan dicegah oleh ligamen longitudinal anterior.

Sedang gerakan fleksi 60%-75% terjadi antara L5 dan S1, 20%- 25% terjadi

antara L4 dan L5 dan 5%-10% terjadi antara L1 sampai L4 (terbanyak antara L2

dan L4).

Gambar 2.2
Tempat dan besarnya fleksi yang mungkin pada vertebrae lumbalis (Calliet,
1981).
13

Bila seseorang membungkuk untuk mencoba menyentuh lantai dengan jari

tangannya tanpa fleksi dari lutut, selain fleksi dari lumbal harus dibantu dengan

rotasi dari pelvis pada sendi coxae. Rasio antara rotasi pelvis dan fleksi lumbal

disebut ritme lumbal-pelvis.

Biomekanik vertebra lumbal, gerakan vertebra lumbal ditentukan oleh

gerakan komulatif dari rangkaian unit fungsional kolumna vertebralis didaerah

lumbal, dimana 80% - 90% gerakan fleksi dan ekstensi terjadi pada VL4-VL5 dan

diskus intervertebralis VL5-S1 dan sisanya gerakan disegmen-segmen lain serta

pada gerakan fleksi lumbal akan dibatasi oleh teregangnya ligamen interspinosus,

supraspinosus, interkapsuler dan ligamen flavum (Hills, 2006). Sebenarnya

gerakan fleksi lumbal hanya mencapai 600 - 750, hal ini karena adanya gerakan

rotasi tulang pinggul pada sendi paha (rotasi pelvic). Gerakan yang simultan

dalam suatu rasio yang ritmik antara gerakan lumbal dengan rotasi pelvis pada

bidang sagital disebut Lumbar pelvic rhythm. Sedangkan gerakan ekstensi lumbal

dibatasi oleh penguluran ligamen longitudinal anterior, gerakan lateral fleksi di

batasi oleh penguluran maksimal ligamen kontralateral dan pada gerakan rotasi

lumbal secara umum dibatasi oleh peregangan ligamen kapsuler (Hills, 2006).

3. Etiologi

Berdasarkan etiologinya sinarki dan morki (2000) mengelompokkan nyeri

punggung bawah menjadi: (1) degeneratif, (2) inflamasi atau non infeksi, (3)

infeksi, (4) metabolik, (5) neoplasma, (6) traumatik, (7) congenital, (8)

muskuloskeletal, (9) visogenik, (10) vaskuler, (11) psikogenik dan (12) post

operasi punggung. Data yang ada kurang lebih 85% kasus nyeri punggung bawah
14

adalah muskuloskeletal, kelainan yang mendasari nyeri punggung bawah ini

adalah cidera otot, ligamen, strain, sprain serta spasme otot (Wirawan, 2004).

Penelitian yang akan di lakukan yaitu kepada semua pasien yang menderita nyeri

punggung bawah muskuloskeletal

Faktor mekanik sebagai penyebab utama dari nyeri punggung bawah

muskuloskeletal yang diklasifikasikan menjadi 2 kategori yaitu statik dan dinamik

(Cailliet, 1981).

a. Statik atau postural nyeri punggung bawah

Nyeri punggung bawah pada tipe ini terjadi karena kesalahan postur

seperti kepala menunduk ke depan, perut menonjol ke depan dan lordosis lumbal

berlebihan. Hal ini berpengaruh terhadap posisi faset sendi. Pada keadaan normal

sudut lumbosakral (pergusson) 30 derajat, tumpuan vertebra L5 pada sakrum

memberikan gaya geser 50 persen. Dengan bertambahnya sudut pergusson maka

gaya geserpun akan bertambah. Kesalahan postur ini akan menimbulkan strain

atau regangan pada ligamen dan menyebabkan kelelahan otot.

Akibat statik yang menimbulkan nyeri punggung bawah karena adanya

deviasi dari postur atau sikap tubuh, sehingga terjadi perubahan letak Titik Pusat

Berat Badan (TPBB). Supaya tidak jatuh waktu berdiri, tubuh akan berusaha

mengembalikan ke tempat normal, dengan demikian akan menggunakan kekuatan

extra dari tubuh, hal ini sering di ikuti peregangan–peregangan dari ligamen yang

dapat menimbulkan nyeri. Bila terjadi terus menerus dalam jangka waktu lama,

akan menimbulkan kelemahan otot yang lebih lanjut akan merupakan sumber
15

nyeri pula. Menurut Sidharta (1984), kemungkinan faktor penyebab statik pada

nyeri punggung bawah muskuloskeletal adalah:

1) Pergeseran titik pusat berat badan bergeser kedepan

Pergeseran titik pusat berat badan ke depan di sebabkan oleh beberapa

faktor yaitu:

a) Kebiasaan tubuh yang jelek

Postur tubuh dikatakan baik apabila berdiri tegak akan relax tanpa perlu

mengeluarkan tenaga yang berlebihan, tidak melelahkan, tidak menimbulkan

nyeri dalam jangka waktu lama dan memberikan estetika yang baik, secara fisik

akan tampak kepala tegak, kurva tengkuk normal. Sedangkan sikap yang jelek

adalah kepala menunduk, bahu melengkung ke depan, perut menonjol ke depan,

lordosis lumbal tampak berlebihan dan pantat menonjol ke belakang

(hiperlordosis). Keadaan ini akan menimbulkan titik pusat berat badan bergeser ke

depan.

b) Obesitas dan kehamilan

Terutama kehamilan trimester akhir, pelvis akan di pindahkan sedikit ke

depan menyebabkan lordosis lumbal bertambah.

c) Pemendekan tendo Achilles

Pemendekan tendo Achilles biasanya disebabkan karena sering memakai

sepatu dengan tumit tinggi (3cm atau lebih).

d) Kelemahan otot-otot dinding perut, serta kelainan atau pemendekan

otot-otot punggung.
16

2) Pergeseran titik pusat berat badan ke samping

Panjang tungkai yang tidak sama, menyebabkan titik pusat berat badan

akan bergeser ke samping, kearah tungkai yang lebih pendek, maka tubuh akan

mengadakan kompensasi. Tubuh akan menarik kembali kearah beralawanan,

sehingga timbul scoliosis kompensatoar dan bila berlangsung lama akan

menimbulkan sprain dan strain sehingga timbul nyeri.

a) Terganggunya irama lumbal-pelvis

Terlalu banyak duduk dan lama, dapat menimbulkan pemendekan otot-otot

hamstring yang selanjutnya akan mengganggu irama lumbal-pelvis.

b) Gangguan fleksibilitas sendi dan ekstensibilitas jaringan ikat

Kurang olahraga dapat menyebabkan fleksibilitas jaringan ikat menjadi

kurang baik sehingga otot-otot maupun ligament mudah sekali menjadi sprain dan

strain. (Sidharta, 1984).

b. Kinetik atau dinamik nyeri punggung bawah

Disini nyeri yang timbul akibat kelainan pada ritme lumbal pelvis, yang

dapat disebabkan oleh kelainan atau defek pada vertebra sehingga mempengaruhi

pergerakan atau struktur vertebra normal tetapi fungsinya tidak sempurna. Pada

nyeri punggung bawah dinamik ada 3 penyebab antara lain:

1) Tekanan abnormal pada punggung bawah yang normal

Dalam keadaan normal seseorang mampu mengangkat beban dengan berat

tertentu tanpa menimbulkan cidera atau strain ligamen. Cidera ini dapat terjadi

apabila: (1) beban terlalu berat sehingga otot tidak mampu menahan, (2) beban
17

yang diangkat jaraknya terlalu jauh dari tubuh dan (3) waktu mengangkat terlalu

lama.

2) Tekanan normal pada punggung bawah yang abnormal

Kelainan ini dapat terjadi pada struktur yang memperkuat tulang belakang:

(1) Persendian, ligamen, otot atau gabungan tersebut seperti: skoliosis posisi sendi

faset sejajar, tetapi akan miring bila flexi atau extensi, (2) pemendekan hamstring

atau kurangnya fleksibilitas menahan rotasi pelvis (irama lumbal pelvis tidak

semestinya) maka saat tubuh flexi, rotasi pelvis telah maximal sedangkan flexi

total belum tercapai, akibatnya lengkuk lumbal akan bertambah sehingga

ligamentum longitudinal posterior akan tertarik dan menyebabkan kerobekan

ligament tersebut, (3) pemendekan otot punggung bawah dan ligamen.

3) Tekanan normal pada punggung bawah yang normal tetapi tubuh tidak

siap menghadapi stress tersebut.

Keadaan ini timbul apabila tubuh melakukan gerakan secara mendadak

misalnya mengangkat beban yang berat tetapi menduga beban itu ringan sehingga

tubuh tidak siap. Hal ini menyebabkan kelainan pada fungsi irama lumbal pelvis

sewaktu tubuh kembali ke posisi tegak sehabis membungkuk, sehingga terjadi

lordosis premature (Sidharta, 1984). Beban statik maupun dinamis tersebut

memicu kontraksi otot postural meningkat, sehingga terjadi peningkatan gamma

motor neuron yang akan mengakibatkan nyeri, apabila berlangsung lama akan

menimbulkan jaringan spasme dan fibrotik.


18

4. Patofisiologi

Di daerah punggung bawah ada jaringan yang peka nyeri dan ada jaringan

yang memiliki akhiran syaraf sensorik sehingga tidak sensitif terhadap nyeri.

Struktur vertebra lumbal mendapat persyarafan dari cabang kecil spinal,

dipercabangkan dekat di sebelah distal ganglion spinale, yaitu cabang

sinusvertebralis. Cabang sinusvertebralis ini membelok, kembali memasuki

foramen intervertebralis ke dalam canalis intervertebralis. Serabut-serabut saraf

ini memelihara persyarafan pada ligamentun longitudinal anterior dan posterior,

lapisan synovial faset, kartilago faset, periosteum, pembuluh darah, bangunan luar

annulus vibrosus. Dengan demikian bangunan tersebut adalah peka nyeri.

Sedangkan otot-otot paravertebralis disarafi oleh ramus dorsalis nervus spinalis

(Meliala & Pinzon, 2003).

Bangunan peka nyeri mengandung reseptor nosiseptif (nyeri) yang

terangsang oleh berbagai stimulus lokal (mekanis, thermal dan kimia). Stimulus

ini akan direspon dengan pengeluaran berbagai mediator inflamasi yang akan

menimbulkan persepsi nyeri. Mekanisme nyeri merupakan proteksi yang

bertujuan untuk mecegah pergerakan sehingga proses penyembuhan

dimungkinkan. Salah satu bentuk proteksi nyeri adalah spasme otot, akan

membatasi gerakan sehingga akan menimbulkan kerusakan yang lebih berat,

namun dengan adanya spasme otot ini, juga akan terjadi vasokontriksi pembuluh

darah yang meyebabkan ischemia dan sekaligus menjadi titik picu (trigger point)

terjadinya nyeri (Meliala & Pinzon, 2003).


19

Proses terjadinya nyeri punggung bawah muskuloskeletal adalah karena

mengangkat beban terlalu berat pada posisi membungkuk, gerakan mendadak

melampaui kekuatan otot tersebut misalnya ketika mengejar dan memukul bola

(tennis, bulu tangkis, golf dan lain-lain) (lalang, 2004). Cidera ini menimbulkan

kerusakan jaringan lunak yang akan merangsang reseptor nyeri atau nosiseptor.

Keadaan ini akan berlanjut dengan adanya bahan kimia yang mengumpul di

sekitar nyeri. Bahan kimia ini berasal dari: (1) bocoran membran sel yang rusak,

(2) hasil sintesa enzim-enzim setelah trauma atau saat terjadi ekstravasasi dan

migrasi sel setelah ruda paksa dan (3) reseptor nyeri sendiri saat mengalami

rangsangan. Salah satu zat tersebut yaitu substansi “P” yang akan menghasilkan

peningkatan mikrosirkulasi lokal dan ekstravasasi plasma yang peka dan

menyebabkan chemical stimulasi sehingga menyebabkan nyeri (Sri witono, 1987)

dan (Joesoef, 1996). Karena adanya nyeri menyebabkan penderita takut bergerak

sehingga terjadi penurunan mobilitas sendi tulang belakang dan kecenderungan

penderita mengambil posisi yang paling nyaman tanpa memperhatikan posisi

yang benar, bila dibiarkan terus akan menghambat kesembuhan bahkan dapat

memperburuk keadaan (Mc.Farland, 2000).

B. Mekanisme Nyeri Punggung Bawah Muskuloskeletal

Berdasarkan mekanismenya maka nyeri yang terjadi pada NPB

muskuloskeletal adalah nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi yaitu nyeri yang

terjadi sebagai akibat adanya masalah-masalah mekanik yang sering kali tidak kita

sadari terjadi mengenai komponen muskuloskeletal di daerah punggung bawah


20

dan juga akibat dari kurangnya melakukan aktivitas fisik yang benar. Stimulus

mekanik tersebut akan merangsang nosiseptor atau reseptor nyeri perifer

(Wirawan, 2004). Reseptor saraf perifer atau nosiseptor yang terdapat pada

struktur kutan, somatik dalam maupun viscera tubuh (meliputi kulit, bantalan

lemak, otot, ligamen, fascia, kapsul sendi, tulang, subkondral, dan dinding

pembuluh darah). Adanya stimulasi noksius atau stimualasi noksius potensial,

nosiseptor akan melepaskan zat-zat kimia endogen yang selanjutnya akan

mentranduksi stimulasi ini untuk selanjutnya menjadi impuls nyeri (nosiseptif).

Gambar 2.3
Gambar mekanisme nyeri muskuloskeletal (Borenstein, 1985).

1. Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi

Meurut Kuntono (2004), nyeri nosiseptif terjadi jika ujung-ujung saraf

perifer utuh (nosiseptor) distimulasi oleh stimulus berbahaya seperti luka (akibat

panas, mekanik dan kimia), penyakit dan peradangan. Nyeri ini karena aktivasi

terus menerus dari nosiseptor A dan C dalam merespon stimulus berbahaya. Nyeri
21

nosiseptif dapat diklasifikasikan terutama menjadi nyeri visceral (nyeri yang

muncul dari organ visceral) dan nyeri somatik (nyeri yang muncul dari organ

sepeerti kulit, otot tulang dan kapsul sendi) nyeri somatik dapat dikategorikan

lebih lanjut sebagai nyeri somatik dangkal (kutaneus) atau nyeri somatik dalam.

Perbedaan antara nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik adalah bahwa

dalam hal nyeri nosiseptif, system saraf berfungsi baik. Ada hubungan erat antara

persepsi nyeri dan intensitas stimulus pada nyeri nosiseptif, dan nyeri adalah

indikasi adanya kerusakan jaringan nyata maupun potensial. Karasteristik nyeri

yang bervariasi tergantung pada perbedaan stimulus tersebut diproses oleh

berbagai jenis jaringan. Sebagai contoh, nyeri kutan diuraikan secara umum

sebagai sensasi terbakar atau tusukan, tajam yang terlokalisir dengan baik, nyeri

somatik dalam sebagai suatu sensasi tumpul atau sakit yang menyebar, dan nyeri

visceral, sebagai suatu sensasi kram dalam yang menyebar ke tempat yang lebih

luas dari luka awal (yang dinyatakan sebagai nyeri reveral atau reffered pain)

Perjalanan nyeri nosisetif disederhanakan menjadi 2 tahab:

a. Sistem nosiseptif

Sistem nosiseptif yaitu rangkaian proses tranduksi, transformasi, konduksi,

transmisi dan proses sentral dari semua informasi nosiseptif. Perjalanan impuls

saraf nyeri mulai ditangkap oleh reseptor di perifer, kemudian diteruskan

melewati serat saraf aferen untuk masuk ke dalam medulla spinalis dan

selanjutnya melalui traktus spinatalamikus lateralis dibawa ke batang otak dan

akhirnya masuk ke thalamus. Bila impuls sampai disini nyeri mulai bisa

dirasakan, tetapi deskripsi terperinci belum jelas.


22

b. Tingkat pusat

Perjalanan nyeri tingkat pusat yaitu perjalanan nyeri dari batang otak ke

korteks serebri dan korteks asosiasi sensorik. Bila impuls sampai di sini maka

berat ringannya, sifat dan lokasi nyeri dapat dideskripsi dengan jelas dan

terperinci oleh yang bersangkutan. Nosiseptif adalah system sensor saraf yang

memberikan sinyal-sinyal pengawasan terhadap datangnya stimulus atau situasi

yang membahayakan sistem syaraf (stimulasi noksius). Dengan adanya stimulasi

noksius, nosiseptor akan melepaskan zat-zat kimia endogen yang di perifer

mentranduksi stimulus menjadi impils nyeri (nosiseptif).

Impuls nyeri dari perifer di transmisi ke kornu dorsalis medulla spinalis

melalui serabut saraf aferen (serat A-gamma dan C) kemudian impuls nyeri dari

medulla spinalis diteruskan melalui traktus spinotalamus kontra lateralis dan

medialis dan melalui traktus spinoretikularis ke batang otak. Serabut bermealin

alfa dan beta merelay stimulasi nyeri ke neotalamus dan kortek somatosensori

dimana kualitas nyeri dapat dideskripsikan dan letaknya dapat dilokalisir sehingga

seseorang dapat menarik diri dari stimulus noksius. Sedang serat C tidak

bermealin melakukan sinapsis dengan batang otak, nucleus otak tengah dan

system limbik kortikal. Sedangkan pada penderita nyeri punggung bawah

muskuloskeletal nyeri yang dirasakan dapat berasal dari struktur penyangga

tulang belakang (ligamen, otot, tulang, sendi). Stuktur ini peka terhadap

rangsangan nyeri karena terdapat syaraf sensoris kecuali ligamen flavum dan

diskus intervertebralis dan ligamen interspinosum tidak peka nyeri karena tidak
23

memiliki persyarafan sensoris. Oleh karena itu semua gangguan yang mengenai

struktur diatas bisa menimbulkan nyeri. (Cailliet, 1981).

2. Modulasi Nyeri

Menurut Kuntono (2004), ada beberapa tingkat dalam susunan afferen

dimana nyeri dapat di modulasi yaitu: (1) pada reseptor, pada tingkat ini sasaran

modulasi pada reseptor di perifer. Modulasi diperoleh dengan menurunkan

eksitabilitas reseptor (misalnya dengan pendinginan), memperlancar proses

pembuangan iritan atau zat-zat yang bisa merangsang nyeri melalui peredaran

darah, menurunkan aktivitas nosisensorik (misalnya dengan pemanasan), (2) pada

tingkat spinal , pada tingkat ini sasaran modulasi pada substansia gelatinosa

dengan bertujuan memberikan inhibisi terhadap transmisi stimulasi nyeri.

Berdasarkan teori gerbang control oleh Melzak dan Wall, maka untuk dapat

mengurangi atau menghilangkan nyeri, SG harus diaktifkan sehingga gerbang

menutup, (3) tingkat sentral, pada tingkat ini komponen kognitif dan psikologik

berperan di dalam modulasi nyeri. Hal ini menunjukkan bahwa nyeri meliputi 2

aspek yaitu aspek sensorik dan psikologis. Dengan demikian susunan saraf pusat

juga berperan dalam modulasi nyeri.

Dengan memahami tentang mekanisme seputar nyeri diatas bertujuan

supaya kita khususnya fisioterapi dapat memutuskan atau mengantisipasi hal-hal

yang menyebabkan nyeri serta dapat memodulasi nyeri dengan mengaplikasikan

berbagai modalitas fisioterapi.


24

3. Nyeri myofascial

Syndrome nyeri myofascial adalah nyeri otot rangka yang ditandai nyeri

lokal dan nyeri kiriman (reffered pain), serta kehadiran titik-titik pemicu

myofascial (Kuntono, 2010).

Ketika otot dan atau fascia mengalami trauma, cidera, peradangan atau

sikap tubuh yang salah berkepanjangan, serat-serat fascia yang mengelilingi otot

tersebut akan menjadi retriksi. Restriksi fascia dapat menghasilkan kekuatan

tekanan yang sangat besar, lebih dari 2 pon (kurang lebih 1 kg) setiap inci bujur

sangkar terhadap jaringan otot, serabut saraf dan pembuluh darah. Tekanan yang

sangat besar tersebut dapat menciptakan berbagai gejala terutama nyeri,

keterbatasan gerak fungsional pada otot dan sendi, menciptakan ketegangan otot

dengan pola-pola abnormal, dapat menarik vertebra sehingga tejadi kompresi

pada sendi facet atau diskus dan dapat menyebaban disfungsi jaringan

(Travell,1992).

Nyeri akan menyebabkan reaksi reaksi protektif di otot berupa spasme otot

yang bertujuan membatasi gerakan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan

memungkinkan berlangsungnya proses penyembuhan. Akan tetapi spasme otot

menyebabkan restriksi fascia menekan jaringan otot sehingga memperberat nyeri

dan pada gilirannya akan terjadi lingkaran setan dan saling memperburuk

keadaan, nyeri - spasme otot - restriksi fascia – nyeri - spasme otot - dan

seterusnya.

Aktivasi nosiseptor akan menimbulkan kontraksi pada alfa motor neuron

(ekstrafusal) yang akan meningkatkan ketegangan muscle spindle akibat adanya


25

aktifasi gamma motor neuron oleh kontraksi otot. Kontraksi dan ketegangan

gamma motor neuron akan mengakibatkan otot sisi yang lesi menjadi ischemic,

sehingga memperberat kondisi tersebut. Apabila berlanjut pada waktu yang lama

maka otot akan bersifat menjadi fibrosis dan nyeri menjadi kronis. Salah satu

upaya untuk menghindari kondisi tersebut diatas, maka menghambat aktivasi

gamma motor neuron dapat diberikan stretching ataupun dengan myofascial

release.

C. Aktifitas Fungsional

Aktivitas fungsional adalah aktivitas kehidupan sehari-hari yang

berhubungan dengan lingkup gerak lumbal, misalnya membungkuk, berjongkok

atau memutar tubuh secara berulang-ulang. Pengukuran dilakukan dengan

menggunakan kuisioner disabilitas NPB Oswestri atau Oswestry Disability Indeks

(ODI). Interprestasi hasil pengukuran tingkat kemampuan aktivitas fungsional

adalah dengan menggunakan kategori, yaitu 0%-20% = disabilitas ringan

(minimal), 21%-40% = disabilitas sedang (moderat), 41%-60% = disabilitas berat

(severe), 61%-80% = aktivitas sangat terbatas (cripple), 81%-100% = tidak

mampu beraktivitas (Fairbank, 1980).

.
D. Teknologi Intervensi

Berdasarkan permasalahan yang ada pada nyeri punggung bawah

muskuloskeletal yaitu adanya nyeri, spasme otot dan nyeri gerak yang menuju
26

pada gangguan fungsional pemberian tindakan fisioterapi berupa infra red (IR),

william’s flexion exercise dan myofascial release.

1. Infra red (IR)

Infra red (IR) merupakan pancaran gelombang elektromagnetik dengan

panjang gelombang 7.700 A0- 4.000.000 A0, yang digunakan untuk tujuan

pengobatan berkisar antara 7.700 A0- 120.000A0 atau 150.000A0( Amstrong).

Efek terapeutik dari infra red (IR) adalah mengurangi atau menghilangkan rasa

sakit, meningkatkan suplai darah, dan rileksasi otot (Sujatno et al, 2002).

Penetrasi Infra red (IR) hanya sampai kepada lapisan superficial

epidermis, yaitu sekitar 0,5 mm pada gelombang panjang (non penetrating),

panjang gelombang diatas 12.000 A0- 150.000 A0. Sedangkan pada gelombang

pendek (panjang gelombang antara 7.700 A0-12.000A0, daya penetrasinya lebih

dalam dari yang gelombang panjang , yaitu sampai jaringan sub kutan kira – kira

dapat mempengaruhi secara langsung terhadap pembuluh darah kapiler, pembuluh

imfe, ujung-ujung syaraf dan jaringan lain kulit (Sujatno et al, 2002).

Generator infra merah pada dasarnya digolongkan dalam dua golongan

yaitu (1) non luminous, mengandung sinar infra merah dengan panjang

gelombang 7.700 Aº sampai 150.000 Aº, pancaran maksimum sekitar 40.000 Aº.

Generator yang kecil mempunyai kekuatan antara 250-500 watt sedangkan yang

besar 750-1000 watt, dimana panas diproduksi secara elektris pada kawat yang

ditempelkan didalam ceramic pada suatu reflektor eksternal. Untuk semua lampu

non luminous diperlukan waktu pemanasan, kira-kira 5 menit untuk lampu yang

kecil dan 15 menit untuk jenis lampu yang besar (Low et al, 2000), (2) Luminous,
27

mengandung sinar infra merah gelombang pendek 70% dan gelombang panjang

24%, sinar visible 5% dan ultraviolet 1% (Wadsworth et al, 1980) dengan

kekuatan pada lampu kecil 250-500 watt sedangkan pada lampu besar 600-1500

watt. Generator luminous ini terdiri dari filamen dari bahan kawat tungsten yang

dibungkus dalam gelas lampu, dimana dalamnya dibuat hampa udara atau

mengandung gas tekanan rendah. Lampu pijar ini dilengkapi dengan reflektor

yang bermacam-macam dan sebagian dilengkapi dengan filter atau kaca

penyaring, yang dimaksudkan untuk mengabsorbsi sinar visible dan ultraviolet

( Low et al, 2000 ). Jarak penyinaran untuk lampu non luminous antara 45-60 cm

sedangkan untuk lampu luminous antara 35-45 cm, apabila sinar infra merah di

absorbsi oleh kulit maka panas akan timbul dan diteruskan ke atau pada jaringan

lain yang lebih dalam sirkulasinya.

Ada beberapa pendapat mengenai mekanisme pengurangan nyeri ini yaitu:

(1) apabila diberikan mild heating, maka pengurangan rasa nyeri disebabkan oleh

adanya efek sedatif pada superficial sensory nerves ending (ujung – ujung saraf

sensoris superficial), (2) rasa yang ditimbulkan oleh karena adanya akumulasi

sisa-sisa hasil metabolisme yang disebut zat “P” yang menumpuk dijaringan.

Dengan adanya sinar infra red (IR) yang memperlancar sirkulasi darah, maka zat

“P” juga akan ikut terbuang, sehingga rasa nyeri berkurang/menghilang, (3) rasa

nyeri bisa juga ditimbulkan oleh karena adanya pembengkakan hal ini akan

mengurangi rasa nyeri yang ada. Kontra indikasi dari infra red (IR) antara lain

,yaitu daerah dengan insufisiensi darah, gangguan sensibilitas kulit, adanya

kecenderungan terjadinya pendarahan.


28

Indikasi infra red (IR) yaitu kondisi peradangan setelah subakut, arthritis,

gangguan sirkulasi darah, penyakit kulit, persiapan latihan dan massage.

Kontraindikasi infra red (IR) yaitu daerah yang insufisiensi pada darah,

gangguan sensibilitas kulit, adanya kecenderungan terjadinya perdarahan. Waktu

yang digunakan untuk terapi pada kondisi akut 10-15 menit, sedangkan untuk

kronis 15-30 menit (Sujatno et al, 2002).

2. William’s flexion exercise

William’s flexion exercise pertama kali dikembangkan oleh Dr. Paul

Williams pada tahun 1937. Tujuan dari latihan fleksi ini adalah untuk mengurangi

tekanan oleh beban tubuh pada sendi faset (articular weigh-bearing stress) dan

meregangkan otot dan fascia (meningkatkan ekstensibilitas jaringan lunak) di

daerah dorsolumbal, serta bermanfaat untuk mengoreksi postur tubuh yang salah.

Latihan fleksi ini juga dapat meningkatkan stabilitas di daerah lumbal karena

secara aktif melatih otot-otot abdominal, gluteus maximus dan hamstring.

Disamping itu latihan fleksi akan meningkatkan tekanan intra abdominal yang

mendorong kolumna vertebralis lumbal kearah belakang, dengan demikian akan

membantu mengurangi hiperlordosis lumbal dan mengurangi tekanan pada diskus

intervertebralis (Hooper, 1999).

Secara teoritis, latihan fleksi ini dapat membantu mengurangi nyeri

meregangkan (stretching) fleksor hip dan ekstensor lumbal , untuk relaksasi dan

penguluran otot-otot punggung bawah yang mengalami spasme (kejang otot)

akibat dari aktivitas motor reflex yang terjadi pada jaringan yang rusak oleh

karena trauma. Adanya spasme atau ketegangan otot menimbulkan nyeri.


29

Rangsangan ini diterima oleh serabut-serabut afferen medulla spinalis, kemudian

menghasilkan kontraksi beberapa otot akibat spinal motor reflek. Nosiseptif

stimulus ini dapat dijumpai di beberapa tempat seperti kulit, organ visceral,

bahkan otot itu sendiri. Adanya kontraksi otot-otot tadi dapat meningkatkan rasa

sakit, melalui nosiseptor di dalam otot dan tendon. Hal ini akan meningkatkan

rasa sakit sehingga akan menimbulkan lingkaran setan, kejang otot-nyeri-kejang

otot-nyeri dan seterusnya. Kondisi ini akan diperburuk oleh adanya ischemia lokal

sebagai akibat dari kontraksi otot yang kuat dan terus-menerus atau mikrosirkulasi

yang tidak adekuat sebagai akibat dari disregulasi system simpatis (Kuntono H,

2000), oleh karena itu sangat beralasan menggunakan william’s flexion exercise

dalam pengurangan nyeri akibat spasme otot nyeri punggung bawah

muskuloskeletal.

WFE tidak direkomendasikan pada kasus nyeri punggung bawah akut,

karena dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, tidak ada bukti yang kuat

bahwa WFE memberikan efek terpeutik pada keadaan akut (malmivaara, dkk,

1995; parlevliet, dkk, 2005). Bahkan latihan fisik aktif sebaiknya dihindari pada

minggu pertama pada kasus nyeri punggung bawah akut. Program WFE umumnya

di berikan setelah fase nyeri akut dapat dikontrol atau dikurangi (Hills, 2001), atau

pada nyeri punggung bawah subakut dan kronis (Moffet, 1999).

Secara umum teknik ini terdiri dari dua bagian penguatan dan penguluran

otot-otot punggung, program latihan ini terdiri dari 7 kategori gerakan yaitu:

pelvic tilting, single knee to chest, double knee to chest, partial sit-up, hamstring
30

stretch, bicycling, dan wall squat. Adapun gerakannya adalah sebagai berikut:

(Mancini, 2007).

a. Pelvic tilting

Berbaring terlentang dengan kedua lutut fleksi dan posisi kaki datar di atas

bed. Tekan dan luruskan punggung kearah bed. Pasisi ini dipertahankan selama 5-

10 detik.

Gambar 2.4. Pelvic tilting (model, 2011)


b. Single knee to chest

Berbaring terlentang dengan lutut fleksi dan posisi kaki datar diatas bed.

Secara perlahan, tarik lutut kanan dengan kedua tangan sejauh mungkin kearah

dada, dan pertahankan selama 5-10 detik. Kemudian kembali ke posisi awal

secara perlahan-lahan dan ulangi gerakan yang sama untuk lutut yang kiri.

Gambar2.5.Single knee to chest (model, 2011)


31

c. Double knee to chest

Berbaring terlentang kedua lutut fleksi dan posisi kaki datar diatas bed.

Seperti gerakan pada nomor 2, namun sekarang kedua lutut ditarik dersama-sama

sejauh mungkin kearah dada. Pertahankan selama 5-10 detik dan kemudian

kembali ke posisi awal secara perlahan-lahan.

Gambar 2.6 Double knee to chest (model, 2011)

d. Partial sit-up

Lakukan gerakan pelvic-tilting (nomor 1) dan pada saat yang bersamaan

naikkan kepala, leher, dan bahu dari atas bed. Pertahankan selama 5-10 detik dan

kemudian perlahan kembali ke posisi semula.

Gambar 2.7. Partial sit-up (model, 2011)


32

e. Hamstring stecth

Berbaring terlentang dengan kedua kaki lurus. Kemudian salah satu

tungkai diangkat dalam posisi lutut yang lurus sampai telapak kaki mengarah

lurus ke atas, kedua tangan menopang pada bagian belakang paha. Pertahankan 5-

10 detik, kemudian perlahan-lahan tungkai diturunkan ke posisi awal. Lakukan

gerakan yang sama untuk tungkai yang satunya.

Gambar 2.8. Hamstring stretch (model, 2011)

f. Bicycling

Berbaring terlentang, kedua lengan lurus dismping tubuh. Kepala dan

leher dinaikkan dari bed dan kedua tungkai melakukan gerakan seperti mengayuh

sepeda. Pertahankan 5-10 detik.

Gambar 2.9. Bicycling (model,2011).


33

g. Wall squat

Berdiri dengan punggung menempel pada dinding, tekankan tumit,

bokong, punggung atas atau bahu dan kepala kearah dinding. Kemudian kedua

kaki digeser ke depan, turunkan tubuh berlahan-lahan dengan menekuk lutut

sampai kira-kira 90 derajat dan punggung tetap menempel pada dinding.

Kontraksikan otot-otot abdomen sehingga punggung bawah menjadi rata dengan

dinding. Tahan selama 5-10 detik. Kemudian kembali ke posisi semula.

Gambar 2.10. Wall squat (model, 2011).

Dosis latihan dinyatakan dalam jumlah pengulangan gerakan atau durasi

tiap sesi latihan, intensitas (bila menggunakan beban atau tahanan), frekuensi

(berapa kali dalam seminggu) dan lamanya latihan (Tan, 1998). Latihan ini dapat

dilakukan sebanyak 3-5 kali pengulangan dalam sesi latihan, durasi latihan selama

15-30 menit, dan frekuensi latihan 1-2 kali perhari selama seminggu. Evaluasi

dapat dilakukan setelah 2-4 minggu setelah menjalani program latihan (Pullock &

Wilmore, 1990).
34

3. Myofascial release

Pemendekan otot (muscle contracture) sering terjadi pada otot postural

atau otot tonish, sehingga sering mengakibatkan gangguan keseimbangan otot

dalam mempertahankan posisi postural (musculair disbalance). Akibat dari

musculair disbalance akan selalu diikuti hypertonus pada otot-otot yang

mengalami pemendekan (contracture). Hypertonus otot yang terjadi terus-

menerus merupakan salah satu nyeri myofascial. Syndrome nyeri myofascial

adalah nyeri otot rangka yang ditandai nyeri lokal dan nyeri kiriman (reffered

pain), serta kehadiran titik-titik pemicu myofascial (Kuntono, H.P, 2010)

Myofascial release adalah teknik yang memfokuskan pada streching,

membuka dan mengendurkan connective tissue. Teknik ini diselesaikan dengan

mengurangi jumlah perlengketan jaringan abnormal antara connevtive tissue

(Archer, 2001) yang dikutip Takarini, 2009.

Tujuan teknik myofascial release adalah untuk melepaskan batasan-

batasan (hambatan-hambatan) di lapisan dalam fascia. Teknik ini diselesaikan

dengan stretching pada bagian-bagian otot yang elastis pada fascia, di sepanjang

garis-garis silang, dan mengubah kekenyalan fascia. Fisioterapis yang

menentukan berapa banyak, berapa lama dan bagaimana kuat peregangan yang

sesuai dengan keadaan tubuh tersebut (Carol, J. & Diane, K., 1989). Tujuan

myofascial release adalah untuk menghilangkan restriksi pada jaringan lunak

myofascial yang menyebabkan nyeri, pengurangan nyeri terjadi karena

pembebasan tekanan dari fascia yang menekan jaringan otot, pembuluh darah dan

serabut syaraf dibawahnya dan lewat mekanisme autogenic inhibisi pada organ
35

tendon golgi di jaringan dan untuk mengembalikan keterbatasan gerak akibat

problem muskuler dan mengurangi nyeri baik yang bersifat nososeptf maupun

neuropatik, selain itu myofascial release juga dapat digunakan untuk memperbaiki

postural apabila ada kelainan postural akibat adanya pemendekan otot, pada

kondisi nyeri akibat entrapment maka penguluran otot menjadi solusi yang baik

untuk mengurangi nyeri neuropatik dan nyeri radikuler (Kuntono, 2010).

Sebelum melakukan terapi menggunakan myofascial release ada beberapa

aturan yang harus di ketahui terlebih dahulu (Kuntono, P, 2010).

a. Posisi pasien

Pasien diposisikan enak dan nyaman sehingga otot relaks. Otot pada posisi

penguluran submaksimal yang berlawanan dengan fugsi otot tersebut.

b. Posisi terapis

Terapis harus menggunakan prinsip ergonomis dan berdiri atau

memposisikan diri sedekat mungkin dengan pasien serta otot diulur sesuai dengan

keterbatasan pemendekan tanpa menimbulkan nyeri yang mengkibatkan otot

menjadi lebih spasme.

c. Fiksasi

Untuk memfiksasi bagian tubuh tertentu bisa digunakan tangan terapis

atau menggunakan sabuk maupun bantuan (difiksasi) orang lain. Fiksasi terutama

di berikan pada daerah perekatan otot terutama origo dan fiksasi yang lain pada

daerah insesio otot yang diulur dilakukan sedekat mungkin dengan ruang sendi

tanpa menimbulkan nyeri.


36

d. Indikasi

Grade I: tekanan pada trigger point diberikan submaksimal, gerakan

penekanan mengikuti arah serabut otot dari origo ke insersio, indikasi untuk

mengurangi nyeri dan spasme otot stadium sub akut. Grade II: tekanan pada

trigger point diberikan optimal sampai ada rasa nyeri tetapi masih dalam batas

dirasakan normalis, gerakan panekanan mengikuti arah serabut otot dari origo ke

insersio di sertai dengan gerakan menyilang untuk membuat regangan pada

myofibril otot yang mengalami nyeri, indikasi untuk mengurangi nyeri dan

spasme stadium kronik pada kondisi otot fibrosis. Grade III: Tekanan pada trigger

point diberikan semaksimal sampai ada rasa nyeri tetapi masih dalam batas

normal, gerakan penekanan mengikuti arah serabut otot dari orogo ke insersio

disertai dengan gerakan menyilang untuk membuat regangan pada myofibril otot

yang mengalami nyeri, indikasi untuk mengurangi nyeri dan spasme stadium

kronik pada kondisi otot fibrosis dan kontraktur.

e. Cara penguluran dan arah gerakan

Tangan terapis memegang bagian tubuh sedekat mungkin dengan posisi

otot yang hendak diulur. Otot yang diulur diberikan tahanan submaksimal pada

posisi otot yang telah terulur submaksimal pula.Tahanan manual di berikan kea

rah penguluran otot dan di berikan penguluran otot dan di pertahankan posisinya

oleh pasien selama kurang lebih 6-8 detik. Bersamaan dengan pemberian tahanan

fisioterapis memberikan hitungan 1-8 dilanjutkan dengan tarik nafas kurang lebih

sampai hitungan 10-12 dan diakhiri dengan tiup nafas kemudian otot disarankan

untuk relaks secara optimal. Pada saat otot relaks tangan terapis yang aktif
37

menggerakkan (mengulur) kearah berlawanan dengan fungsi otot sampai

dirasakan ada penambahan panjang otot tanpa adanya nyeri yang menimbulkan

spasme otot. Gerakan penguluran dapat diulang 4-6 kali.

f. Mekanisme pengurangan nyeri dengan myofascial release

Pengurangan nyeri dengan myofascial release terjadi oleh karena

pembebasan tekanan fascia terhadap otot dan adanya mekanisme autogenic

inhibisi pada muscle spindle dan organ golgi tendon.

1) Pembebasan tekanan fascia terhadap jaringan otot

Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya bahwa fascia banyak

mengandung komponen elastin dan kolagen sehingga fascia bersifat elastis dan

kuat tetapi juga dapat restriksi pemberian tekanan yang kuat terhadap jaringan di

bawahnya. Myofascial release menyebabkan pereganan terhadap komponen

elastin pada fascia, peregangan melintang terjadi di titik-titik nodal fascia

sehingga terjadi fiscositas substansi dasar fascia (kolagen dan elastin) dari padat

menjadi lunak dan lembut. Perubahan fiscositas ini akan meningkatkan produksi

asam hyaluronic dan menyebabkan fascia menjadi lebih licin (Barnes, 2009).

Perubahan-perubahan tersebut di atas mengakibatkan tekanan terhadap jaringan

otot dan jaringan peka nyeri lainnya di hilangkan sehingga nyeri akan berkurang.

2) Mekanisme autogenik inhibisi

Semua peregangan pada fascia sebenarnya peregangan pada fascia dan

otot, yaitu myofascial. Apabila suatu otot rangka dengan persyarafan yang utuh di

regangkan akan timbul kontraksi. Respon ini disbut reflex regang, rangsangan

adalah regangan pada otot, responnya berupa kontraksi otot yang diregangkan dan
38

reseptornya adalah muscle spindle (kumparan otot). Impuls yang timbul dari

akibat peregangan dari kumparan otot akan dihantarkan ke susunan saraf pusat

melalui serabut saraf sensorik cepat yang langsung bersinaps dengan neuron

motorik otot yang teregang tersebut. Apabila kumparan otot teregang, ujung-

ujung sensoriknya terusik dan potensial reseptorpun terbangkit. Hal ini akan

menimbulkan potensial aksi di saraf sensorik dengan frekuensi yang sebanding

dengan besar rangsangan. Oleh karena iti kumparan otot letaknya sejajar dengan

serat ekstrafusal, bila otot direnggangkan secara pasif, kumparan otot juga akan

teregang. Hal ini memicu reflek berupa kontraksi serat ekstrafusal otot tersebut.

Sebaliknya, serat aferen kumparan otot akan berhenti melepaskan impuls

bila kontraksi otot disebabkan oleh perangsangan listrik terhadap serabut saraf

yang menuju ke ekstrafusal, karena ototnya memendek tanpa pemendekan

kumparannya. Dengan demikian, kumparan otot dan hubungan refleknya

merupakan umpan balik dalam mempertahankan panjang otot, bila otot teregang,

impuls yang dilepaskan kumparan otot akan meningkat dan terjadilah

pemendekan otot, sedangkan bila otot memendek tanpa terjadi perubahan

pelepasan impuls dari eferen gamma, impuls kumparan akan menurun dan otot

relaksasi. Semakin kuat otot diregangkan sampai batas tertentu, semakin kuat

kontraksi refleknya. Akan tetapi apabila tegangan regangan menjadi semakin kuat,

kontraksi akan berhenti tiba-tiba dan otot relaksasi. Relaksasi sebagai respon

terhadap regangan yang berlebihan dinamakan refek regang terbalik atau

autogenic inhibisi (Ganong, 1992).


39

Peregangan pada fascia dan relaksasi otot akan berdampak pada

vaskularisasi setempat meningkat sehingga zat-zat kimia stimulus nyeri diangkat

kembali atau dipecah oleh peredaran darah sehingga nyeri akan berkurang.

3) Teknik-teknik myofascial release

a) Teknik stretching pada otot erector spine

Pada posisi submaksimal penguluran di berikan beban submaksimal,

beban diberikan selama 10 detik pada posisi relaks kemudian dilakukan

penguluran pelvic ke arah ventrodistal dan thoraks pada posisi ventro proksimal.

Gambar 2.11. Teknik stretching pada otot erector spine (Kuntono, 2010).

b) Pada posisi terlentang, pasien disuruh fleksi hip dan knee secara

penuh, terapi memfiksasi kedua lutut pasien, dan memegang daerah lumbal

bawah, penguluran diberikan beban submaksimal, beban diberikan selama 10

detik pada posisi relaks kemudian lakukan stretching ke arah caudal.


40

Gambar 2.11. Teknik stretching pada otot erector spine (model, 2011).

c) Cross handed stretch

Pada posisi tangan menyilang seperti gambar, lakukan stretching kearah

yang berlawanan, pertahankan posisi 10 kali hitungan, dan lakukan 4-6 kali

pengulangan.

Gambar 2.12. Stretching untuk otot paravertebra (Carol J.M, 1989).

d) Stretching pada otot piriformis

Seperti gambar di bawah, lakukan penguluran pertahankan 10 hitungan,

dilakukan pengulangan 4-6 kali.


41

Gambar 2.13. Stretching pada otot piriformis (Carol J.M, 1989).

e) Stretching pada otot quadratus lumborum

Pada posisi submaksimal penguluran diberika beban submaksimal, beban

di tahan selama 10 detik, pada posisi relaks dilakukan penguluran pelvic ke arah

latero distal dan toraks pada posisi latero proksimal.

Gambar 2.14. Stretching pada otot quadratus lumborum (Carol J.M, 1989).
42

E. Kerangka Teori

Nyeri punggung
Faktor statik bawah Faktor dinamik
muskuloskeletal

 Nyeri(nociseptif,
myofascial)  Otot relax
 Spasme otot  Aktivasi nyeri
 Gg.gerak&fungsi

 Nyeri
 Infra red  Aktivitas
 WFE fungsional
 Myofascial release

Gambar 2.15.
Skema teori mengurangi nyeri dan peningkatan aktifitas fungsional.

Keterangan gambar:

Nyeri punggung bawah muskuloskeletal dapat disebabkan oleh faktor

mekanik dan faktor dinamik. Gangguan yang terjadi akibat nyeri punggung bawah

muskuloskeletal yaitu adanya nyeri, ketegangan otot yang menyebabkan spasme

otot daerah lumbal, hal ini yang menyebabkan pasien enggan menggerakkan sendi

lumbalnya. Apabila berlangsung lama akan menyebabkan gangguan fungsional

yaitu saat bangun dari duduk, saat aktivitas bangun dan kembali keposisi semula,

saat aktivitas memutar badan, saat duduk dan berdiri lama, serta saat berjalan

mengalami gangguan. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan intervensi berupa


43

pemberian infra red (IR), william’s flexion exercise dan myofascial release,

sehingga otot releks, aktivasi nyeri menurun dan akan mengakibatkan nyeri

berkurang dan aktivitas fungsional meningkat.

F. Kerangka Konsep

MedikaG.
mentosa dan
Aktifitas subjek

IR & WFE Nyeri 

Aktivitas
fungsional 

Subjek: NPB Dosis dan


muskuloskeletal Ketrampilan ft

Aktivitas
fungsional 

IR&Myofascial Nyeri 
release

Medika mentosa dan


Aktifitas subjek

Input Proses Output

Gambar 2.16.
Kerangka konsep
44

Keterangan gambar:

Subjek dengan kriteria inklusi penderita nyeri punggung bawah

muskuloskeletal yang bersedia mengikuti program fisioterapi selama penelitian di

bagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama mendapatkan intervensi

infra red (IR) dan William flexion exercise sedangkan kelompok kedua infra red

(IR) dan myofascial release. Dimana ada faktor-faktor yang bisa mempengaruhi

selama terapi yang dapat dikendalikan oleh fisioterapi yang digambarkan dalam

garis putus-putus, sedangkan faktor dari luar yang tidak bisa dikendalikan yaitu

kotak yang berada diluar garis putus-putus. Selanjutnya dibandingkan

peningkatan aktivitas fungsional pada kedua kelompok yang mendapatkan

perlakuan terapi yang berbeda.

H. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah : (1) ada pengaruh pemberian infra

red (IR) dan william’s flexion exercise terhadap peningkatan aktivitas fungsional

pada nyeri punggung bawah muskuloskeletal, (2) ada pengaruh pemberian infra

red (IR) dan myofascial release terhadap peningkatan aktivitas fungsional pada

nyeri punggung bawah muskuloskeletal,(3) ada perbedaan pengaruh antara

pemberian pemberian infra red (IR) dan william’s flexion exercise dengan infra

red (IR) dan myofascial release terhadap peningkatan aktivitas fungsional pada

nyeri punggung bawah muskuloskeletal.

Anda mungkin juga menyukai