Preseptor Akademik :
Preseptor Lahan :
Oleh :
BANJARMASIN
2021/2022
Lembar Persetujuan
Laporan Fraktur Compresi Vertebra Pada Ny. A Di Ruang Tulip (Rg Ortopedi) Di
RSUD Ulin Banjarmasin oleh Dewi Sinta 113063J121007 ini telah diperiksa dan
disetujui oleh Preceptor Akademik dan Preceptor Klinik.
Menyetujui,
Preseptor Akademik Preseptor Klinik
Mengetahui,
I KONSEP TEORI
A. Anatomi & Fisiologi
3. Ligamentum
Vertebra lumbal agar dapat stabil dibantu oleh ligamen- ligamen
yang berada di lumbal. Berikut adalah sistem ligamen yang ada pada
vertebra lumbal :
a. Ligamen utama dari vertebra lumbal (lumbar spine) adalah
ligamen longitudinal anterior. Ligamen ini berfungsi sebagai
stabilisator pasif pada saat gerakan ekstensi lumbal dan
merupakan ligamen yang tebal dan kuat.
b. Ligamen longitudinal posterior merupakan ligamen yang
berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.
Ligamen ini mengandung serabut saraf afferent nyeri sehingga
bersifat sensitif dan banyak memiliki sirkulasi darah.
c. Ligamen flavum merupakan ligamen yang mengandung serabut
elastin lebih banyak daripada serabut kolagen jika dibandingkan
dengan ligamen lainnya di vertebra. Ligamen flavum memiliki
fungsi dalam mengontrol gerakan fleksi lumbal.
d. Ligamen supraspinosus dan interspinosus merupakan ligamen
yang berperan dalam gerakan fleksi lumbal. Ligamen
intertransversal merupakan ligamen yang berfungsi untuk
mengontrol gerakan lateralfleksi pada daerah lumbal kearah
kontralateral (Anshar dan Sudaryanto, 2011).
4. Otot – otot Vertebra Lumbal
a. Erector spine
Merupakan kelompok otot yang luas dan terletak dalam facia
lumbodorsal, serta muncul dari suatu aponeurosis pada sacrum,
crista illiaca dan procesus spinosus thoraco lumbal.
Kelompok otot ini terbagi atas beberapa otot yaitu: a. M.
Longissimmus, b. M. Iliocostalis, c. M. Spinalis. Kelompok otot ini
merupakan penggerak utama pada gerakan ekstensi lumbal dan
sebagai stabilisator vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan
tegak. Kerja otot tersebut dibantu oleh M. transverso spinalis dan
paravertebral muscle (deep muscle) seperti M. intraspinalis dan M.
intrasversaris, M. trasversus abdominal, M. lumbal multifidus, M.
diafragma, M. pelvic floor (Ansar dan Sudaryanto, 2011).
b. Abdominal
Merupakan kelompok otot ekstrinsik yang membentuk dan
memperkuat dinding abdominal. Ada 4 otot abdominal yang
penting dalam fungsi spine, yaitu M. rectus abdominis,
B. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan tulang rawan
(R. Syasmsuhidayat, 1997). Fraktur vertebra adalah terputusnya discuc
inverterbralis yag berdekatan dan berbagai tingkat perpidahan fragmen
tulang (Theodore, 1993). Fraktur kompresi adalah fraktur yag tersering
yang dipegaruhi koluma vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh
kecelakaan jatud dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun
mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase
kanker dari tempat lain ke veterbra kemudian membuat bagian vertebra
tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami fraktur
kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih
pendek ukurannya darpada ukuran veterbra sebenarnya.
C. Etiologi
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari
ketinggian
3. Kecelakaan sebab olahraga (penunggang kuda, pemain sepak bola,
penyelam dll)
4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra
5. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi
patologias yang menimbulkan enyakit tulangbatau melemahnya
tulang (Harsono, 2000)
F. Epidemiologi
Fraktur kompresi vertebra merupakan jenis fraktur yang sering
terjadi dan merupakan masalah yang serius. Setiap tahun sekitar
700.000 insidensi di Ameika Serikat, dimana prevalensinya meningkat
25% pada wanita yang berumur diatas 50 tahun. Satu dari dua wanita
dan satu dari empat laki-laki berumur lebih dari 50 tahun menderita
osteoporosis berhubungan dengan fraktur. Insidensi fraktur kompresi
vertebra meningkat secara progresif berdasarkan semakin
bertambahnya usia, dan prevalensinya sama antara laki-laki (21,5%)
dan wanita (23,5%), yang diukur berdasarkan suatu studi pemeriksaan
radiologi. Meskipun hanya sekitar sepertiga menunjukkan gejala akut,
awalnya semua berhubungan dengan angka yang signifikan
meningkatkan mortalitas dan gangguan fungsional dan psikologis
(Hanna & Letizia, 2007).
Epidemiologi dari fraktur dan dislokasi tulang belakang bervariasi
antara 13 hingga 53 kasus per 1 juta populasi. Angka kejadian cidera
tulang belakang lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan wanita pada
cidera tulang belakang traumatik, dan tidak terdapat perbedaan pada
cidera nontraumatik.
Secara Global,menurut sebuah studi di Kanada prevalensi
terjadinya cidera tulang belakang traumatik dan non-traumatik adalah
2525 per 1 juta populasi di tahun 2010. Dari data tersebut juga
dinyatakan bahwa cidera tulang belakang traumatik umumnya terjadi
pada populasi berusia muda, dan cidera tulang belakang non-traumatik
terjadi pada populasi berusia lebih tua. Insidens untuk cidera tulang
belakang yang terjadi akibat trauma bervariasi antara 13 hingga 53
kasus per 1 juta populasi. Angka ini cenderung lebih tinggi terjadi di
Amerika Utara dibandingkan Eropa, hal ini mungkin disebabkan oleh
angka kekerasan yang tinggi di Amerika Serikat.
Di Indonesia, data epidemiologi dari cidera tulang belakang yang
terjadi di Indonesia pada tahun 2014, didapatkan 104 kasus yang
terjadi di Rumah Sakit Umum Fatmawati 37 kasus merupakan kasus
cidera yang disebabkan oleh trauma dan 67 kasus disebabkan oleh
nontraumatik. Studi lain yang dilakukan di Rumah Sakit Dr. Soetomo,
Surabaya terkait cidera tulang belakang didapatkan 442 pasien fraktur
tulang belakang dengan angka perbandingan laki-laki dan perempuan
adalah 3.3:1 dengan rata-rata usia adalah 43.6. Di Indonesia, penyebab
paling sering terjadinya fraktur tulang belakang adalah akibat jatuh
dari ketinggian (38%), yang diikuti oleh kecelakaan lalu lintas (34%)
dan benturan langsung (10%).
Sebuah studi metaanalisis terkait mortalitas cidera tulang belakang
terdapat data in-hospital mortality bervariasi antara 9.6 dan 11.4% dan
7.2% pada pasien pediatri. Sedangkan pada pasien dengan cidera
tulang belakang traumatik didapatkan angka kematian bervariasi dari
10.8% hingga 34.6% di Afrika; 3.1% hingga 12.6% di Amerika dan
1.1% dan 15.9% di Eropa.
G. Pathway
Gangguan spinal
Terjatuh dari Kecelakaan lalu Kecelakaan olahraga Luka tembak/jejas bawaan
ketinggian lintas (penunggang kuda, di daerah vertebra
pemain sepak nola,
penyelam dll)
perdarahan mikroskopik
kerusakan jalur
Blok saraf parasimpatis
simpatik desenden
reaksi peradangan
hipoventilasi
kelemahan fisik umum penurunan
kemampuan Gagal napas
Respon nyeri hebat Penurunan tingkat
perawatan diri
dan akut kesadaran
paralisis dan
DX. kep: Pola napas
paraplegia
tidak efektif
Dx. kep defisit Dx. kep Nyeri akut Dx. kep risiko trauma
perawatan diri: trauma(injury)
Dx. kep gangguan mandi
mobilitas fisik Dx. kep resiko infeksi
I. Penatalaksanaan
1. Medis
Pembagian trauma atau fraktur tulang beakang secara umum:
a. Fraktur stabil
1) Fraktur wedging sederhana (Simple Wedges fraktur)
2) Burst fraktur
3) Extension
b. Fraktur tak stabil
1) Dislokasi
2) Fraktur dislokasi
3) Shearing fraktur
Fraktur tulang belakang terjadi karena trauma
kompresi axial pada waktu tulang belakang tegak. menurut
percobaan beban seberat 315 kg atau 1,03 kg per mm2
dapat mengakibatkan fraktur tulang belakang. daerah yang
paling sering kena adalah daerah yang mobil yaitu VC4.6
dan Th 12-LT-2.
Perawatan :
a. Fraktur stabil (tanpa kelainan neorologis) makan dengan
istirahat saja penderita akan sembuh
b. Fratur dengan kelaina neorologis
Fase akut (0-6 minggu)
1) Live saving dan control vital sign
2) Perawatan trauma penyerta
a) fraktur tulang panjang dan fiksasi interna
b) perawatan trauma lainnya
3) Fraktur/Lesi pada vertebra
c. Konvervatif (postural reduction) (reposisis sendiri)
tidurt telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam
mencegah decubitus, terutama simple kompresi
d. Operatif
Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif
dan operatif. jika dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12
jam pertama dengan cara
1) Lamincktomi
mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada
kanalis spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan
radiks.
2) Fiksasi interna dengn kawat atau plate
3) Anterior fusion atau post spinal fusion
4) Perawatan status urologi
Pada status urologis dinilai tipe kerusakan sarafnya
apakah supra nuldear (reflek bladder) dan infra nuclear
(paralitk bladeer) atau campuran. pada fase akut dipasag
kateter dan kemudian secepatnya dilakukan bladder training
dengan cara penderita disuruh minum segelas air tiap jam
sehingga buli-buli terisi tetapi masih kurang 400 cc.
diharapkan dengan cara ini tidak terjadi pengkertan buli-
buli dan reflek detrusor dapat kembali.
a) Mengetok-ngetoj perut (abdominal tapping)
b) Maneuver crede
c) Rangsangan sendorik dan bagian dalam paha
d) Gravitasi/mengubah posisi
e. Perawatan dekubitus
Dalam perawatan komplikasi ini serring ditemui yang terjadi
karena berkurangnya vaskularisasi di daerah tersebut.
Penanganan cedera akut tanpa gangguan neorologis
Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II
yang sering karena “wishplash Injury” yang degan foto AP
tidak tampak kelainan sebaiknya dilakuakn pemasanga culiur
brace untuk 6 minggu. selanjutnya sesudah 3-6 minggu pist
trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronic instability.
1) Dislukaso feset >50%
2) Loss of paralesisnien dan feset
3) Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi
4) ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa-
anak)
5) Pelebarab body mas CI terhadap corpus cervical II (axis)
>7 mm pada foto AP
Pada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya
dikerjakan emergensi cosed reduction dengan atau tanpa
anestesi. sebaiknya tanpa anstesi karena masih ada control
dan otot leher. harus diingat bahwa reposisi pada cervical
adalah megembalikan ke posisi anatomis secepat mungkin
untuk mencegah keruskaan spinal cord.
Penanganan cedera dengan gangguan neorologis
Patah tulanh belakang dengan gangguan neorologis
komlit, tindakan pe,bedaha terutama ditujukan untuk
memudahkan perawatan dengan tujuan supaya dapat segera
diimobilsasikan. pembedahan dikerjakan jika keadaan
umum penderita sudah baik lebih kurang 24-28 jam tidakan
pembeddaha setelah 608 jam akan memperjelek deficit
neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh
hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil.
prognosa pasca bedah tergantung komplit atau tidaknya
transeksi medulla spinalis.
6. Riwayat psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
7. Pola Fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak.
b. Pola nutrisi dan metabolism
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi,
protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi
yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia.
Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
c. Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan
pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji
frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d. Pola tidur dan istirahat
e. Pola aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain.
f. Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan body image).
h. Pola sensori dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain
tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur.
i. Pola reproduksi seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami
klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak,lama perkawinannya.
8. Pemeriksaan fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi
lebih mendalam.
Gambaran umum:
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
a. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
Head to toe
1) Sistem integument
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, refleknmenelan ada.
4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi,
simetris, tak oedema.
5) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena
tidak terjadi perdarahan).
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.
Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung. Mulut dan faring Tak ada pembesaran tonsil,
gusi tidak terjadi perdarahan,mukosa mulut tidak pucat.
8) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
9) Paru-paru
- Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau
tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru.
- Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus
raba
sama.
- Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau
suara
tambahan lainnya.
- Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing,
atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
10) Jantung
- Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
- Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
- Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-
mur. Abdomen
- Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
- Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
- Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang
cairan.
- Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler,
hepar tidak teraba.
11) Genitalia
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB
B. Diagnose Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (mis, abses
amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi,
trauma, latihan fisik berlebihan
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
musculoskeletal, kerusakan struktur tulang
3. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive,
peningkatan paparan organisme pathogen lingkugan
C. Intervensi dan rasional
Kolaborasi : Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian 1. Pemberian analgesik sesuai order
analgetik, jika perlu dokter
E. Evaluasi Keperawatan
TIM Pokja SDKI DPP PPNi. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan.
TIM Pokja SIKI DPP PPNi. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan.
Zahro, U. (2017). Askep Fraktur Vetrebrae. Retrieved 07, Desember 2021 from
https://www.academia.edu/4819053/Askep_Fraktur_Vertebrae.