Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR COMPRESI VERTEBRA PADA NY. A DI RUANG


TULIP (RG ORTOPEDI) DI RSUD ULIN BANJARMASIN

(STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH)

Preseptor Akademik :

Bernadeta Trihandini, M.Tr. Kep

Preseptor Lahan :

Aldul Wahab, S.Kep., Ners

Oleh :

Dewi Sinta 113063J121007

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN

BANJARMASIN

2021/2022
Lembar Persetujuan

Laporan Fraktur Compresi Vertebra Pada Ny. A Di Ruang Tulip (Rg Ortopedi) Di
RSUD Ulin Banjarmasin oleh Dewi Sinta 113063J121007 ini telah diperiksa dan
disetujui oleh Preceptor Akademik dan Preceptor Klinik.

Menyetujui,
Preseptor Akademik Preseptor Klinik

Bernadeta Trihandini, M.Tr.Kep Aldul Wahab, S.Kep.,Ners

Mengetahui,

Sr. Margaretha Martini, SPC,BSN,MSN

I KONSEP TEORI
A. Anatomi & Fisiologi

Tulang Belakang secara medis dikenal sebagai columna vertebralis


(Malcolm, 2002). Rangkaian tulang belakang adalah sebuah struktur
lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau
ruas tulang belakang. Diantara setiap dua ruas tulang belakang terdapat
bantalan tulang rawan. Panjang rangkaian tulang belakang pada orang
dewasa mencapai 57 sampai 67 sentimeter. Seluruhnya terdapat 33 ruas
tulang, 24 buah diantaranya adalah tulang terpisah dan 9 ruas sisanya
dikemudian hari menyatu menjadi sakrum 5 buah dan koksigius 4 buah
(Pearce, 2006).
Tulang vertebra merupakan struktur komplek yang secara garis
besar terbagi atas 2 bagian. Bagian anterior tersusun atas korpus
vertebra, diskus intervertebralis (sebagai artikulasi), dan ditopang oleh
ligamentum longitudinale anterior dan posterior. Sedangkan bagian
posterior tersusun atas pedikel, lamina, kanalis vertebralis, serta
prosesus tranversus dan spinosus yang menjadi tempat otot penyokong
dan pelindung kolumna vertebrae. Bagian posterior vertebra antara
satu dan lain dihubungkan dengan sendi apofisial (faset). Stabilitas
vertebra tergantung pada integritas korpus vertebra dan diskus
intervertebralis serta dua jenis jaringan penyokong yaitu ligamentum
(pasif) dan otot (aktif) (Pearce, 2006).
Gambar 2.1 Ruas – Ruas Tulang
Belakang (Pustekom Depdiknas
2008).
Vertebra dikelompokan dan dinamai sesuai dengan daerah yang
ditempatinya, yaitu:
a. Vertebra Servikal
Vertebra servikal terdiri dari tujuh tulang atau ruas tulang leher, ruas
tulang leher adalah yang paling kecil. Ruas tulang leher pada umumnya
mempunyai ciri badanya kecil dan persegi panjang, lebih panjang ke
samping daripada ke depan atau ke belakang. Lengkungnya besar,
prosesus spinosus atau taju duri ujungnya dua atau bivida. Prosesus
transverses atau taju sayap berlubang-lubang karena banyak foramina
untuk lewatnya arteri vertebralis (Pearce, 2006).
b. Vertebra Torakalis
Vertebra torakalis terdiri dari dua belas tulang atau nama
lainnya ruas tulang punggung lebih besar dari pada yang servikal
dan disebelah bawah menjadi lebih besar. Ciri khasnya
adalah badannya berbentuk lebar lonjong dengan faset atau lekukan
kecil disetiap sisi untuk menyambung iga, lengkungnya agak kecil,
taju duri panjang dan mengarah kebawah, sedangkan taju sayap yang
membantu mendukung iga adalah tebal dan kuat serta memuat faset
persendian untuk iga (Pearce, 2006).
c. Vertebra Lumbalis

Vetebra lumbalis terdiri dari lima ruas tulang atau nama


lainnya adalah ruas tulang pinggang, luas tulang pinggang adalah
yang terbesar. Taju durinya lebar dan berbentuk seperti kapak
kecil. Taju sayapnya panjang dan langsing. Ruas kelima
membentuk sendi dan sakrum pada sendi lumbo sacral (Pearce,
2006).
d. Vertebra Sakralis

Vertebra sakralis terdiri dari lima ruas tulang atau nama


lainnya adalah tulang kelangkang. Tulang kelangkang berbentuk
segi tiga dan terletak pada bagian bawah kolumna vertebralis,
terjepit diantara kedua tulang inominata. Dasar dari sakrum
terletak di atas dan bersendi dengan vertebra lumbalis kelima dan
membentuk sendi intervertebral yang khas. Tapi anterior dari
basis sakrum membentuk promontorium sakralis. Kanalis sakralis
terletak dibawah kanalis vertebra. Dinding kanalis sakralis
berlubang-lubang untuk dilalui saraf sakral. Taju duri dapat dilihat
pada pandangan posterior dan sakrum.
e. Vertebra Kosigeus
Vertebra Kosigeus nama lainnya adalah tulang tungging.
Tulang tungging terdiri dari empat atau lima vertebra yang
rudimenter yang bergabung menjadi satu (Pearce, 2006).
Fungsi dari kolumna vertebralis atau rangkaian tulang
belakang adalah bekerja sebagai pendukung badan yang kokoh
sekaligus juga bekerja sebagai penyangga dengan perantaraan
tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungannya
memberi fleksibilitas dan memungkinkan membengkok tanpa
patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan
yang terjadi bila menggerakan berat seperti waktu berlari dan
meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum tulang
belakang terlindung terhadap goncangan. Gelang panggul
adalah penghubung antara badan dan anggota bawah. Sebagian
dari kerangka axial, atau tulang sakrum dan tulang koksigeus,
yang letaknya terjepit antara dua tulang koxa, turut membentuk
tulang ini. Dua tulang koxa itu bersendi satu dengan lainnya di
tempat simfisis pubis (Pearce, 2006).
2. Artikulasio
Permukaan atas dan bawah korpus dilapisi oleh kartilago hialin
dan dipisahkan oleh discus intervertebralis dan fibroblastilaginosa.
Tiap discus memiliki anulus fibrosus di perifer
dan nukleus pulposus yang lebih lunak di tengah yang terletak lebih
dekat ke bagian belakang daripada bagian depan discus. Nukleus
pulpsus kaya akan glikosaminoglikan sehingga memiliki kandungan
air yang tinggi, namun kandungan air ini berkurang dengan
bertambahnya usia. Kemudian nukleus bisa mengalami hernia melalui
anulus fibrosus, berjalan ke belakang (menekan medula spinalis) atau
ke atas (masuk ke korpus vertebralis – nodus Schmorl). Diskus
vertebra lumbalis dan servikalis paling tebal, karena ini paling banyak
bergerak (Faiz dan Moffat, 2004).

Persendian pada korpus vertebra adalah symphysis (articulation


cartilaginosa sekunder) yang dirancang untuk menahan berat tubuh dan
memberikan kekuatan. Permukaan yang berartikulasio pada vertebra
yang berdekatan dihubungkan oleh diskus IV dan ligamen. Discus IV
menjadi perlengketan kuat di antara korpus vertebra, yang
menyatukannya menjadi kolummna semirigid kontinu dan membentuk
separuh inferoir batas anterior foramen IV. Pada agregat, discus
merupakan kekuatan (panjang) kolumna vertebralis. Selain memungkinka
gerakan di antara vertebra yang berdekatan, deformabilitas lenturnya
memungkinkan discus berperan sebagai penyerap benturan (Moore dan
Dalley, 2013).

3. Ligamentum
Vertebra lumbal agar dapat stabil dibantu oleh ligamen- ligamen
yang berada di lumbal. Berikut adalah sistem ligamen yang ada pada
vertebra lumbal :
a. Ligamen utama dari vertebra lumbal (lumbar spine) adalah
ligamen longitudinal anterior. Ligamen ini berfungsi sebagai
stabilisator pasif pada saat gerakan ekstensi lumbal dan
merupakan ligamen yang tebal dan kuat.
b. Ligamen longitudinal posterior merupakan ligamen yang
berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.
Ligamen ini mengandung serabut saraf afferent nyeri sehingga
bersifat sensitif dan banyak memiliki sirkulasi darah.
c. Ligamen flavum merupakan ligamen yang mengandung serabut
elastin lebih banyak daripada serabut kolagen jika dibandingkan
dengan ligamen lainnya di vertebra. Ligamen flavum memiliki
fungsi dalam mengontrol gerakan fleksi lumbal.
d. Ligamen supraspinosus dan interspinosus merupakan ligamen
yang berperan dalam gerakan fleksi lumbal. Ligamen
intertransversal merupakan ligamen yang berfungsi untuk
mengontrol gerakan lateralfleksi pada daerah lumbal kearah
kontralateral (Anshar dan Sudaryanto, 2011).
4. Otot – otot Vertebra Lumbal
a. Erector spine
Merupakan kelompok otot yang luas dan terletak dalam facia
lumbodorsal, serta muncul dari suatu aponeurosis pada sacrum,
crista illiaca dan procesus spinosus thoraco lumbal.
Kelompok otot ini terbagi atas beberapa otot yaitu: a. M.
Longissimmus, b. M. Iliocostalis, c. M. Spinalis. Kelompok otot ini
merupakan penggerak utama pada gerakan ekstensi lumbal dan
sebagai stabilisator vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan
tegak. Kerja otot tersebut dibantu oleh M. transverso spinalis dan
paravertebral muscle (deep muscle) seperti M. intraspinalis dan M.
intrasversaris, M. trasversus abdominal, M. lumbal multifidus, M.
diafragma, M. pelvic floor (Ansar dan Sudaryanto, 2011).

b. Abdominal
Merupakan kelompok otot ekstrinsik yang membentuk dan
memperkuat dinding abdominal. Ada 4 otot abdominal yang
penting dalam fungsi spine, yaitu M. rectus abdominis,

M. obliqus external, M. obliqusinternal dan M. transversalis


abdominis (global muscle). Kelompok otot ini merupakan fleksor
trunk yang sangat kuat dan berperan dalam mendatarkan kurva
lumbal. Di samping itu M. obliqus internal dan external berperan
pada rotasi trunk (Ansar dan Sudaryanto, 2011).

c. Deep lateral muscle


Merupakan kelompok otot intrinstik pada bagian lateral
lumbal yang terdiri dari Musculus Quadratus Lumborum dan
Musculus Psoas, kelompok otot ini berperan pada gerakan
lateral fleksi dan rotasi lumbal (Ansar dan Sudaryanto, 2011).
5. Persarafan Vertebra
Sendi-sendi di antara korpora vertebra dipersarafi oleh ramus
meningei kecil setiap nervus spinalis (Gambar 2.2). Sendi-sendi di
antara prosesus artikularis dipersarafi oleh cabang-cabang dari ramus
posterior nervus spinalis.

Gambar 2.2 Persarafan sendi-sendi vertebra. Pada tingkat


vertebra tertentu, sendi menerima serabut saraf dari dua
nervus spinalis yang berdekatan
(Sumber : Snell, 2003).

6. Biomekanik Vertebra Lumbal


Diskus intervertebralis berperan untuk menstabilkan dan
mempertahankan satu pola garis lurus vertebra dengan cara
menjangkarkan antara satu diskus dengan diskus yang lainnya. Selain
itu, diskus intervertebralis juga berperan dalam penyerapan energi,
pendistribusian beban tubuh, dan menjaga fleksibilitas vertebra.
Struktur diskus terdiri atas cincin luar (anulus fibrosus) yang
mengelilingi substansi gelatin lunak, yang disebut nukleus
pulposus. Prosesus transversus merupakan titik penting bagi ligamen
dan otot untuk memulai gerakan vertebra. Titik ini berperan untuk
menjaga stabilisasi. Ligamen di sekitar vertebra memandu gerakan
segmental, berkontribusi untuk menjaga stabilitas instrinsik vertebra
dengan cara membatasi gerakan yang berlebihan. Ada dua sistem
utama ligamen di vertebra, yaitu sistem intrasegmental dan
intersegmental. Sistem intrasegmental, yang terdiri dari ligamentum
flavum, kapsul faset, ligamen interspinosus dan ligamen
intertransversus, berfungsi memegang satu vertebra secara bersama–
masa. Sistem intersegmental tidak hanya memegang satu vertebra, tapi
juga ligamentum longitudinal anterior dan posterior serta
supraspinosus.

Gerakan intervetebralis memiliki enam derajat kebebasan yaitu


rotasi dan translasi sepanjang sumbu inferior–superior, medial–
lateral dan posterior–anterior. Kondisi vertebra akan berubah secara
dinamis ketika fleksi dan ekstensi (Rahim, 2012).

a. Gerakan fleksi lumbal


Gerakan ini menempati bidang sagital dengan axis gerakan
frontal. Sudut yang normal gerakan fleksi lumbal sekitar 60°.
Gerakan ini dilakukan oleh otot fleksor yaitu otot rectus
abdominis dibantu oleh otot-otot esktensor spinal (Kapanji,
2010).
b. Gerakan ekstensi lumbal
Gerakan ini menempati bidang sagital dengan axis frontal,
sudut ekstensi lumbal sekitar 35°. Gerakan ini dilakukan oleh
otot spinalis dorsi, otot longisimus dorsi dan iliococstalis
lumborum (kapanji, 2010).

c. Gerakan rotasi lumbal


Terjadi di bidang horizontal dengan aksis melalui
processus spinosus dengan sudut normal yang dibentuk 45°
dengan otot pergerakan utama M. iliocostalis lumborum untuk
rotasi ipsi leteral dan kontra lateral, bila otot berkontraksi
terjadi rotasi ke pihak berlawanan oleh M. obliques eksternal
abdominis. Gerakan ini dibatasi oleh rotasi samping yang
berlawanan dan ligamen interspinosus (Kapanji, 2010).

d. Gerakan lateral fleksi lumbal


Gerakan pada bidang frontal dan sudut normal yang di
bentuk sekitar 30° dengan otot pergerakan m. Abliquesinternus
abomiminis, m rektus abdominis.Pada posisi normal,
seharusnya semua komponen struktur stabilitator terjadi
harmonisasi gerak, yaitu antara otot dan ligamen. Bagian
lumbal mempunyai kebebesan yang besar sehingga
kemungkinan terjadinya cidera yang besar walaupun tulang-
tulang vertebra dan ligament di daerah punggung lebih kokoh
(Cailliet, 2003). Posisi berdiri sudut normal lumbosakral untuk
laki-laki 30° dan wanita 34°.
Semakin besar sudut lumbosacral, semakin besar kurva
lordosis, begitu pula sebaliknya (kepandji, 2010).

B. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan tulang rawan
(R. Syasmsuhidayat, 1997). Fraktur vertebra adalah terputusnya discuc
inverterbralis yag berdekatan dan berbagai tingkat perpidahan fragmen
tulang (Theodore, 1993). Fraktur kompresi adalah fraktur yag tersering
yang dipegaruhi koluma vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh
kecelakaan jatud dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun
mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase
kanker dari tempat lain ke veterbra kemudian membuat bagian vertebra
tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami fraktur
kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih
pendek ukurannya darpada ukuran veterbra sebenarnya.

C. Etiologi
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari
ketinggian
3. Kecelakaan sebab olahraga (penunggang kuda, pemain sepak bola,
penyelam dll)
4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra
5. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi
patologias yang menimbulkan enyakit tulangbatau melemahnya
tulang (Harsono, 2000)

D. Tanda dan gejala


1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratya sampai fragme tulang
diimobilsasi
2. Deformitas adalah persegeran fragmen pada fraktur
3. Terjadinya pemendekan tulang akibat kontraksi otot yang melekat
diatas dan dibawah tempat fraktur
4. Krepitus adalah derik tulang yang teraba akibat gesekan antara
fragmen satu dengan yang lainnya
5. Pembengkakan padan perubahan warna local pada kulit terjadinya
sebagai akibat trauma dan perubahan yang megikuti fraktur
(Smeltzer, S, 2001)

E. Klasifikasi trauma vertebra


1. BEATSON (1963) membedakan atas 4 grade:
a. Grade I = Simple Compression Fraktur
b. Grade II = Unilateral Fraktur Dislocation
c. Grade III = Bilateral Fraktur Dislocation
d. Grade IV = Rotational Fraktur Dislocation
2. BEDBROCK membagi atas:
a. Trauma vertebra seperti compression, extension dan flexion
rotation injury
b. Trauma medulla spinalis seperti : comotio, con-tusi, stretching
gangguan vaskuler, thrombus dan hematoma.
3. E. SHANNON STAUPER membagi :
a. Extenson injury,
b. Simple flexion ijury dan,
c. Flexion compression fraktur dislocation.
4. HOLDS WORTH membagi trauma:
Fleksi, rotasi, fleksi, rotasi, ektensi, kompreasi vertical (diret
shearing force)
5. Pembagian umum:
a. Fraktur stabil
1) Fraktur wdging sederhana (simple wedges fraktur)
2) Burst fraktur
3) Extention
b. Fraktur stabil
1) Disloksasi
2) Fraktur dislokasi
3) Shearing fraktur

F. Epidemiologi
Fraktur kompresi vertebra merupakan jenis fraktur yang sering
terjadi dan merupakan masalah yang serius. Setiap tahun sekitar
700.000 insidensi di Ameika Serikat, dimana prevalensinya meningkat
25% pada wanita yang berumur diatas 50 tahun. Satu dari dua wanita
dan satu dari empat laki-laki berumur lebih dari 50 tahun menderita
osteoporosis berhubungan dengan fraktur. Insidensi fraktur kompresi
vertebra meningkat secara progresif berdasarkan semakin
bertambahnya usia, dan prevalensinya sama antara laki-laki (21,5%)
dan wanita (23,5%), yang diukur berdasarkan suatu studi pemeriksaan
radiologi. Meskipun hanya sekitar sepertiga menunjukkan gejala akut,
awalnya semua berhubungan dengan angka yang signifikan
meningkatkan mortalitas dan gangguan fungsional dan psikologis
(Hanna & Letizia, 2007).
Epidemiologi dari fraktur dan dislokasi tulang belakang bervariasi
antara 13 hingga 53 kasus per 1 juta populasi. Angka kejadian cidera
tulang belakang lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan wanita pada
cidera tulang belakang traumatik, dan tidak terdapat perbedaan pada
cidera nontraumatik.
Secara Global,menurut sebuah studi di Kanada prevalensi
terjadinya cidera tulang belakang traumatik dan non-traumatik adalah
2525 per 1 juta populasi di tahun 2010. Dari data tersebut juga
dinyatakan bahwa cidera tulang belakang traumatik umumnya terjadi
pada populasi berusia muda, dan cidera tulang belakang non-traumatik
terjadi pada populasi berusia lebih tua. Insidens untuk cidera tulang
belakang yang terjadi akibat trauma bervariasi antara 13 hingga 53
kasus per 1 juta populasi. Angka ini cenderung lebih tinggi terjadi di
Amerika Utara dibandingkan Eropa, hal ini mungkin disebabkan oleh
angka kekerasan yang tinggi di Amerika Serikat.
Di Indonesia, data epidemiologi dari cidera tulang belakang yang
terjadi di Indonesia pada tahun 2014, didapatkan 104 kasus yang
terjadi di Rumah Sakit Umum Fatmawati 37 kasus merupakan kasus
cidera yang disebabkan oleh trauma dan 67 kasus disebabkan oleh
nontraumatik. Studi lain yang dilakukan di Rumah Sakit Dr. Soetomo,
Surabaya terkait cidera tulang belakang didapatkan 442 pasien fraktur
tulang belakang dengan angka perbandingan laki-laki dan perempuan
adalah 3.3:1 dengan rata-rata usia adalah 43.6. Di Indonesia, penyebab
paling sering terjadinya fraktur tulang belakang adalah akibat jatuh
dari ketinggian (38%), yang diikuti oleh kecelakaan lalu lintas (34%)
dan benturan langsung (10%).
Sebuah studi metaanalisis terkait mortalitas cidera tulang belakang
terdapat data in-hospital mortality bervariasi antara 9.6 dan 11.4% dan
7.2% pada pasien pediatri. Sedangkan pada pasien dengan cidera
tulang belakang traumatik didapatkan angka kematian bervariasi  dari
10.8% hingga 34.6% di Afrika; 3.1% hingga 12.6% di Amerika dan
1.1% dan 15.9% di Eropa.
G. Pathway
Gangguan spinal
Terjatuh dari Kecelakaan lalu Kecelakaan olahraga Luka tembak/jejas bawaan
ketinggian lintas (penunggang kuda, di daerah vertebra
pemain sepak nola,
penyelam dll)

Trauma mengenai tulang belakang

cedera kolumna vertabrais dan


cedera spinalis

perdarahan mikroskopik

kerusakan jalur
Blok saraf parasimpatis
simpatik desenden
reaksi peradangan

kelumpuhan otot pernafasan


terputusnya jaringan
saraf di medulla spinalis syok spinal

hipoventilasi
kelemahan fisik umum penurunan
kemampuan Gagal napas
Respon nyeri hebat Penurunan tingkat
perawatan diri
dan akut kesadaran
paralisis dan
DX. kep: Pola napas
paraplegia
tidak efektif
Dx. kep defisit Dx. kep Nyeri akut Dx. kep risiko trauma
perawatan diri: trauma(injury)
Dx. kep gangguan mandi
mobilitas fisik Dx. kep resiko infeksi

sumber : [ CITATION Feb21 \l


H. Diagnosa Medik
1. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktuk
atau dislok)
2. CT scan : untuk menentuka tempat luka/jejas
3. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
4. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
5. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya
ventilasi
6. Elektromiografi, untuk melokalisasi lesi pada tingkat akar syarat
spinal utama yang terkena
7. Venogram epidural, yang dapat dilakukan dimana keakuratan dan
miogram terbatas.
8. Fungsi lumbal, yang dapat mengkesampingkan kondisi yang
berhubungan, infeksi adanya darah.
9. Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat kaki lurus ke atas) untuk
mendukung diagnose awal dari herniasi discuc intervertabralis
ketika muncul nyeri pada kaki posterior (Tucker, Susan Martin,
1998)

I. Penatalaksanaan
1. Medis
Pembagian trauma atau fraktur tulang beakang secara umum:
a. Fraktur stabil
1) Fraktur wedging sederhana (Simple Wedges fraktur)
2) Burst fraktur
3) Extension
b. Fraktur tak stabil
1) Dislokasi
2) Fraktur dislokasi
3) Shearing fraktur
Fraktur tulang belakang terjadi karena trauma
kompresi axial pada waktu tulang belakang tegak. menurut
percobaan beban seberat 315 kg atau 1,03 kg per mm2
dapat mengakibatkan fraktur tulang belakang. daerah yang
paling sering kena adalah daerah yang mobil yaitu VC4.6
dan Th 12-LT-2.
Perawatan :
a. Fraktur stabil (tanpa kelainan neorologis) makan dengan
istirahat saja penderita akan sembuh
b. Fratur dengan kelaina neorologis
Fase akut (0-6 minggu)
1) Live saving dan control vital sign
2) Perawatan trauma penyerta
a) fraktur tulang panjang dan fiksasi interna
b) perawatan trauma lainnya
3) Fraktur/Lesi pada vertebra
c. Konvervatif (postural reduction) (reposisis sendiri)
tidurt telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam
mencegah decubitus, terutama simple kompresi
d. Operatif
Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif
dan operatif. jika dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12
jam pertama dengan cara
1) Lamincktomi
mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada
kanalis spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan
radiks.
2) Fiksasi interna dengn kawat atau plate
3) Anterior fusion atau post spinal fusion
4) Perawatan status urologi
Pada status urologis dinilai tipe kerusakan sarafnya
apakah supra nuldear (reflek bladder) dan infra nuclear
(paralitk bladeer) atau campuran. pada fase akut dipasag
kateter dan kemudian secepatnya dilakukan bladder training
dengan cara penderita disuruh minum segelas air tiap jam
sehingga buli-buli terisi tetapi masih kurang 400 cc.
diharapkan dengan cara ini tidak terjadi pengkertan buli-
buli dan reflek detrusor dapat kembali.
a) Mengetok-ngetoj perut (abdominal tapping)
b) Maneuver crede
c) Rangsangan sendorik dan bagian dalam paha
d) Gravitasi/mengubah posisi
e. Perawatan dekubitus
Dalam perawatan komplikasi ini serring ditemui yang terjadi
karena berkurangnya vaskularisasi di daerah tersebut.
Penanganan cedera akut tanpa gangguan neorologis
Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II
yang sering karena “wishplash Injury” yang degan foto AP
tidak tampak kelainan sebaiknya dilakuakn pemasanga culiur
brace untuk 6 minggu. selanjutnya sesudah 3-6 minggu pist
trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronic instability.
1) Dislukaso feset >50%
2) Loss of paralesisnien dan feset
3) Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi
4) ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa-
anak)
5) Pelebarab body mas CI terhadap corpus cervical II (axis)
>7 mm pada foto AP
Pada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya
dikerjakan emergensi cosed reduction dengan atau tanpa
anestesi. sebaiknya tanpa anstesi karena masih ada control
dan otot leher. harus diingat bahwa reposisi pada cervical
adalah megembalikan ke posisi anatomis secepat mungkin
untuk mencegah keruskaan spinal cord.
Penanganan cedera dengan gangguan neorologis
Patah tulanh belakang dengan gangguan neorologis
komlit, tindakan pe,bedaha terutama ditujukan untuk
memudahkan perawatan dengan tujuan supaya dapat segera
diimobilsasikan. pembedahan dikerjakan jika keadaan
umum penderita sudah baik lebih kurang 24-28 jam tidakan
pembeddaha setelah 608 jam akan memperjelek deficit
neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh
hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil.
prognosa pasca bedah tergantung komplit atau tidaknya
transeksi medulla spinalis.

II KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang
rasa nyeri klien digunakan:
a. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi factor presipitasi nyeri.
b. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
d. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab
dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang
terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain.
4. Riwayat penyakit terdahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang
sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang.
5. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,
seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara
genetik.

6. Riwayat psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
7. Pola Fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak.
b. Pola nutrisi dan metabolism
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi,
protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi
yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia.
Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
c. Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan
pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji
frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d. Pola tidur dan istirahat

Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan


gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur.

e. Pola aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain.
f. Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan body image).
h. Pola sensori dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain
tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur.
i. Pola reproduksi seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami
klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak,lama perkawinannya.
8. Pemeriksaan fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi
lebih mendalam.
Gambaran umum:
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
a. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
Head to toe
1) Sistem integument
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, refleknmenelan ada.
4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi,
simetris, tak oedema.
5) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena
tidak terjadi perdarahan).
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.
Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung. Mulut dan faring Tak ada pembesaran tonsil,
gusi tidak terjadi perdarahan,mukosa mulut tidak pucat.
8) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
9) Paru-paru
- Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau
tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru.
- Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus
raba
sama.
- Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau
suara
tambahan lainnya.
- Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing,
atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
10) Jantung
- Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
- Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
- Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-
mur. Abdomen
- Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
- Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
- Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang
cairan.
- Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler,
hepar tidak teraba.
11) Genitalia
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB

B. Diagnose Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (mis, abses
amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi,
trauma, latihan fisik berlebihan
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
musculoskeletal, kerusakan struktur tulang
3. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive,
peningkatan paparan organisme pathogen lingkugan
C. Intervensi dan rasional

Dx. Keperawatan Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi Rasional


Nyeri akut Tujuan : setelah (Manajemen nyeri I.08238)
berhubungan dilakukan Observasi : Observasi :
dengan agen tindakan 1. Identifikasi lokasi, 1. Untuk mengetahui daerah nyeri,
pencedera fisik keperawatan karakteristik nyeri, durasi, kualitas, kapan nyeri dirasakan,
(mis, abses diharapkan frekuensi, intensitas nyeri faktor pencetus, memperberat
amputasi, tingkat nyeri 2. Identifikasi skala nyeri nyeri yang dirasakan
terbakar, menurun dengan 3. Identifikasi faktor yang 2. Untuk mengetahui kualitas nyeri
terpotong, kriteria hasil : memperberat dan pasien
mengangkat Tingkat nyeri memperingan nyeri 3. Mengetahui aktivitas yang
berat, prosedur (L.08066) memperberat nyeri
operasi, trauma, 1. Keluhan nyeri Terapeutik : Terapeutik :
latihan fisik berkurang 1. Berikan terapi non 1. Memberikan kompres hangat
berlebihan 2. Meringis menurun farmakologis untuk mengurangi atau latihan napas dalam
3. Gelisah menurun rasa nyeri 2. Untuk membuat rasa nyaman
4. Pasien menunjukkan 2. Kontrol lingkungan yang pada pasien
ekspresi wajah tenang memperberat rasa nyeri (mis:
5. Pasien dapat suhu ruangan,
beristirahat dengan pencahayaan,kebisingan)
nyaman
Edukasi : Edukasi :
1. Anjurkan memonitor nyeri 1. Agar dapat memanajemen nyeri
secara mandiri secara mandiri
2. Ajarkan teknik non 2. Untuk mengurangi nyeri
farmakologis untuk mengurangi menggunakan teknik non
nyeri farmakologis

Kolaborasi : Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian 1. Pemberian analgesik sesuai order
analgetik, jika perlu dokter

Gangguan Tujuan : setelah (Dukungan mobilisasi I.05173)


mobilitas fisik dilakukan Observasi : Observasi :
berhubungan tindakan 1. Identifikasi adanya nyeri atau 1. Diskuasi pada keluarga pasien
dengan gangguan keperawatan keluahan fisik lainnya untuk menggunakn alat bantu
musculoskeletal, diharapkan 2. Identifikasi toleransi fisik (tongkat atau kruk) bertujuan
kerusakan gangguan mobilitas melakukan pergerakan untuk membantu aktivitas
struktur tulang fisik dapat teratasi 3. Monitor frekuensi jantung dan pergeraka pasien
dengan kriteria tekanan darah sebelum memai 2. Diskusikan pada keluarga untuk
hasil : Mobilitas mobilisasi melakukan mobilitas fisik
Fisik (L.05042) 4. Monitor kondisi umum selama bertujuan untuk merelaksasikan
1. Pergerakan melakukan mobilisasi tubuh pasien
ekstremitas Terapeutik : 3. Beritahu kelurga untuk membatu
meningkat 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi pasien dalam meningkatkan
2. Kekuatan otot dengan alat bantu(mis, pagar ambulasi
meningkat tempat tidur) 4. Mencegah terjadinya cedera
3. Rentang gerak 2. Fasilitasi melakukan Terapeutik :
(ROM) meningkat pergerakan, jika perlu 1. Mempermudah klien dalam
4. Nyeri menurun 3. Libatkan keluarga untuk aktivitas
5. Kecemasan menurun membantu pasien dalam 2. Melatih pergerakan pasien
6. Kaku sendi menurun meningkatkan pergerakan 3. Agar mempermudah aktivitas
7. Kelemahan fisik Edukasi: pasien
menurun 1. Jelaskan tujuan dan prosedur Edukasi :
mobilisasi 1. Agar keluarga dan pasien
2. Ajarkan melakukan mobilisasi memahami tindakan yang akan
dini dilakukan
3. Ajarkan mobilisasi sederhana 2. Agar otot kuat
yang harus dilakukan (mis, 3. mengurangi tirah baring lama
duduk ditempat tidur, duduk di
sisi tempat tidur, pindah dari
tempat tidur ke kursi)
Resiko infeksi Tujuan : setelah (Pencegahan Infeksi I.14539)
berhubungan dilakukan Observasi Observasi :
dengan efek tindakan 1. Monitor tanda dan gejala 1. Pencegahan infeksi dilakukan
prosedur keperawatan infeksi local dan sistemik agar mencegah atau mengurangi
invasive, diharapkan resiko Terapeutik : kondisi pasien
peningkatan infeksi tidak terjadi 1. Batasi jumlah pengunjung Terapeutik :
paparan dengan kriteria 2. Berikan perawatan kulit pada 1. Agar menghindari proses
organisme hasil : Tingkat area edema penularan melalui banyak
pathogen infeksi (L.14137) 3. Cuci tangan sebelum dan pengunjung
lingkugan 1. Demam menurun sesdudah kontak dengan pasien 2. Agar luka cepat sembuh
2. Tidak ada tanda- dan lingkungan pasien 3. Mencegah penularan
tanda kemerahan 4. pertahankan teknik aseptic pada mikroorganisme pada tangan
3. Nyeri menurun pasien berisiko tinggi Edukasi :
4. Bengkak Edukasi : 1. Tanda-tanda infeksi meliputi,
menurun 1. jelaskan tanda dan gejala kemerahan, luka berbau, demam
5. Kadar sel darah infeksi atau suhu meningkat, sel darah
putih membaik 2. Ajarkan cara mencuci tangan putih meningkat
6. Cairan berbau baik dan benar 2. Mencegah penularan kuman
busuk menurun 3. ajarkan etika batuk melalui tangan
4. ajarkan cara memeriksa kondisi 3. Agar tidak tertular infeksi
luka atau luka operasi 4. Memantau keadaan luka
5. Anjurkan meningkatkan asupan 5. Agar meningkatkan kekebalan
nutrisi tubuh dan mencukupi kebutuhan
6. anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
cairan 6. Agar tidak terjadi dehidrasi
Kolaborasi :
1. Kolaborasikan pemberian
imunisasi, jika perlu
D. Implementasi
Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses
keperawatan yang dimulai setelah perawat menyusun rencana
keperawatan (Potter & Perry, 2010).
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah status
kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Proses pelaksanaan
implementasi harus berpusat kepada kebutuhan pasien, faktor-faktor
lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi
implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi (Dinarti &
Muryanti, 2017)

E. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan langkah akhir dari proses keperawatan.


Evaluasi adalah kegiatan yang disengaja dan terus menerus dengan
melibatkan pasien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya
(Padila, 2012).

Menurut Setiadi (2012) dalam buku Konsep & penulisan


Asuhan Keperawatan, Tahap evaluasi adalah perbandingan yang
sistematis dan terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan
yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan
dengan melibatkan pasien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya.

Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan pasien


dalam mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil
pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012).

Menurut (Asmadi, 2008)Terdapat 2 jenis evaluasi :

a. Evaluasi formatif (Proses)

Evaluasi formatif berfokus pada aktifitas proses


keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi ini
dilakukan segera setelah perawat mengimplementasikan
rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan
keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi ini meliputi 4
komponen yang dikenal dengan istilah SOPA, yakni subjektif
(data keluhan pasien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisis
data (perbandingan data dengan teori), dan perencanaan.

b. Evaluasi sumatif (hasil)

Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah


semua aktifitas proses keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi
sumatif ini bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan
keperawatan yang telah diberikan. Metode yang dapat
digunakan pada evaluasi jenis ini adalah melakukan wawancara
pada akhir pelayanan, menanyakan respon pasien dan keluarga
terkai pelayanan keperawatan, mengadakan pertemuan pada
akhir layanan.

Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi dalam pencapaian


tujuan keperawatan, yaitu :

1. Tujuan tercapai/masalah teratasi

2. Tujuan tercapai sebagian/masalah teratasi


sebagian

3. Tujuan tidak tercapai/masalah belum teratasi


DAFTAR PUSTAKA
Dewi , L. C. (2017). LP Fraktur Kompresi. Retrieved 07, Desember 2021 from
https://www.alomedika.com/penyakit/ortopedi/fraktur-dan-dislokasi-
tulang-belakang/epidemiologi.

Febrina, A. (2021). Epidemiologi Fraktur dan Dislokasi Tulang Belakang.


Retreieved 07, Desember 2021 from
https://www.alomedika.com/penyakit/ortopedi/fraktur-dan-dislokasi-
tulang-belakang/epidemiologi.

Hakiki, R. f. (2020). Laporan Pendahukuan Fraktur Vertebare. Retrieved 07,


Desember 2021 from
https://www.scribd.com/document/445799236/LAPORAN-
PENDAHULUAN-FRAKTUR-VERTEBRAE.

TIM Pokja SDKI DPP PPNi. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan.

TIM Pokja SIKI DPP PPNi. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan.

Zahro, U. (2017). Askep Fraktur Vetrebrae. Retrieved 07, Desember 2021 from
https://www.academia.edu/4819053/Askep_Fraktur_Vertebrae.

Anda mungkin juga menyukai