Anda di halaman 1dari 63

20

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Tulang Belakang


Ruas tulang belakang (vertebra) merupakan penyusun rangkaian tulang
belakang (kolumna vertebralis) yang berfungsi melindungi medulla spinalis dan
saraf tulang belakang, menopang berat tubuh, mempertahankan postur tegak
tubuh, tempat menempelnya rusuk, dan berperan penting dalam melakukan
gerakan. Panjang kolumna vertebralis pada orang dewasa dapat mencapai 70 cm
yang terdiri dari 33 ruas. Secara umum, terdapat lima segmen kolumna
vertebralis, yakni servikalis (7 vertebra bagian leher), torakalis (12 vertebra),
lumbalis (5 vertebra), sakrum (fusi 5 vertebra), dan koksigis/tulang ekor (fusi 4
vertebra).
Kolumna vertebralis terlihat lurus ketika dilihat dari anterior atau posterior.
Ketika dilihat dari samping, kolumna vertebralis berbentuk seperti huruf S dengan
4 kurvatura. Kurvatura servikal dan lumbal melengkung ke depan (lordosis),
sedangkan kurvatura torakal dan sakral melengkung ke belakang (kifosis)

Gambar 3.1 Anatomi kolumna vertebralis4.


21

Tulang belakang merupakan bagian yang menyokong tubuh manusia bersama


dengan panggul untuk mentransmisikan beban kepada kedua kaki melalui sendi
yang terdapat pada pangkal paha5. Tulang belakang terdiri dari beberapa bagian
struktur yaitu4:
1) Tulang belakang cervical: terdiri atas 7 tulang yang memiliki procesus
spinosus yang pendek kecuali tulang ke-2 dan ke-7. Tulang ini merupakan
tulang yang mendukung bagian leher.
2) Tulang belakang thorax: terdiri atas 12 tulang. Procesus spinosus pada
tulang ini terhubung dengan tulang rusuk. Kemungkinan beberapa gerakan
memutar dapat terjadi pada tulang ini.
3) Tulang belakang lumbal: terdiri atas 5 tulang yang merupakan bagian
paling tegap konstruksinya dan menanggung beban terberat dari tulang
yang lainnya. Bagian ini memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi tubuh
dan beberapa gerakan rotasi dengan derajat yang kecil.
4) Tulang sacrum: terdiri atas 5 tulang dimana tulang-tulangnya tidak
memiliki celah dan bergabung (intervertebral disc) satu sama lainnya.
Tulang ini menghubungkan antara bagian punggung dengan bagian
panggul.
5) Tulang belakang coccyx: terdiri atas 4 tulang yang juga tergabung tanpa
celah antara 1 dengan yang lainnya. Tulang coccyx dan sacrum tergabung
menjadi satu kesatuan dan membentuk tulang yang kuat.

Gambar 3.2 Elemen posterior tulang belakang normal tampak aksial dan lateral4.
22

3.2 Ligamen Tulang Belakang


Untuk dapat berdiri tegak, tulang belakang ditopang oleh ligamen dan otot-otot
batang tubuh. Ligamentum longitudinal anterior dan posterior membentang dari
leher hingga sakrum dan terletak pada bagian anterior dan posterior korpus
vertebra. Kedua ligamen ini berfungsi untuk mencegah hiperekstensi dan
hiperfleksi tulang belakang. Antara dua vertebra yang berdekatan, tepatnya di
posterolateral foramen vertebralis, terdapat ligamentum flavum yang terbentuk
dari jaringan ikat elastik yang kuat. Elastisitasnya yang tinggi berfungsi untuk
mempertahankan dan mengembalikan postur tegak tubuh setelah melakukan
fleksi.

3.3 Diskus Intervertebralis


Antara vertebra terdapat jaringan tulang rawan bernama diskus intervertebralis.
Nukleus pulposus merupakan struktur elastis yang terletak dibagian tengah diskus
intervertebralis dan di sekelilingnya terdapat struktur seperti cincin yang terdiri
dari serat kolagen dan fibrokartilago bernama anulus fibrosus. Kedua struktur ini
membuat diskus intervertebral berfungsi sebagai peredam kejut (shock
absorption) dan menjaga fleksibilitas tulang belakang. Antara setiap ruas tulang,
terdapat celah yang memisahkan pedikel vertebra, yakni foramen intervertebralis.
Celah ini berfungsi sebagai jalur masuk atau keluar saraf ke atau dari medulla
spinalis.

Gambar 3.3 Ligamentum dan diskus intervertebralis pada tulang belakang4.


23

3.4 Karakteristik Vertebra


Pada umumnya, semua vertebra memiliki struktur yang sama, berupa korpus
vertebra di anterior dan arkus vertebra anterior dan posterior di posterior. Kedua
arkus tersebut menyatu dan membentuk foramen vertebralis (di sepanjang
kolumna vertebralis disebut kanalis vertebralis) yang dilalui medulla spinalis.
1. Vertebra Thoracalis (T1-T12)
Vertebra torakalis memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan vertebra
servikalis. Ciri khasnya adalah korpus vertebra berbentuk seperti hati, foramen
vertebralis bulat (sirkuler), dan prosesus spinosus panjang dan arahnya ke bawah.
Selain T11 dan T12, prosesus transversus vertebra torakalis memiliki sendi faset
untuk persendian dengan tulang iga.
2. Vertebra Lumbalis (L1-L5)
Vertebra lumbalis adalah vertebra yang terbesar. Ciri khasnya berupa korpus
vertebra sangat besar dan berbentuk seperti ginjal, pedikel dan lamina lebih tebal
dan lebih pendek dibandingkan vertebra lain, prosesus spinosus pendek, datar, dan
berbentuk kapak, serta foramen vertebralis berbentuk segitiga. L5 membentuk
sendi lumbosakral dengan sakrum.

Gambar 3.4 Vertebra thoracalis X tampak axial dan vertebra lumbalis IV tampak
kranial4.
24

3.5 Spondilitis Tuberkulosis


3.5.1 Definisi dan Epidemiologi

Gambar 3.5 Gibbus. Tampak penonjolan bagian posterior tulang belakang ke arah dorsal
akibat angulasi kifotik vertebra3.

Spondilitis TB adalah penyakit radang granulomatosa pada tulang belakang


(vertebrae) yang bersifat kronik yang disebabkan oleh bakteri spesifik yaitu
Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis yang menyerang vertebrae disebut
dengan spondilitis tuberkulosa. Spondilitis tuberkulosa sering mengenai thoracal 8
hingga lumbal 3, dan sering mengenai bagian korpus vertebrae9.
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal atau Pott’s disease of the spine.
Dilaporkan ±3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini.
Percival Pott pada tahun 1779 menemukan adanya hubungan antara kelemahan
alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang didukung dengan temuan
basil tuberkulosa oleh Koch tahun 18829.
Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India dan China sebagai negara
dengan populasi penderita TB terbanyak. Setidaknya hingga 20% penderita TB
paru akan mengalami penyebaran TB ekstraparu. TB ekstraparu dapat berupa TB
otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular, dan
endometrial. Sebelas persen dari TB ekstraparu adalah TB osteoartikular, dan
kurang lebih setengah penderita TB osteoartikular mengalami infeksi TB tulang
belakang10.
25

Sebanyak 50 % penderita spondilitis TB mempunyai lesi di tulang belakang


dan 10-45% diantaranya mengalami defisit neurologis. Keterlibatan infeksi
bakteri Mycobacterium tuberculosis di tulang belakang ini akan mempersulit
penatalaksanaan dan memperberat kondisi klinis karena adanya potensi defisit
neurologis dan deformitas yang permanen. Ironisnya, tulang belakang adalah
lokasi infeksi tuberkulosis tulang yang paling sering, yakni sekitar 50% kasus
tuberkulosis osteoartrikular. Apabila infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis
ini mengenai korpus vertebra, maka kerusakan yang terjadi menimbulkan
instabilitas tulang belakang dan gangguan struktur di sekitarnya. Pasien dapat
lumpuh akibat kompresi pada medula spinalis.
Spondilitis TB dapat berasal dari infeksi langsung (primer), yaitu bakteri
langsung menginfeksi korpus, ataupun infeksi tidak langsung (sekunder), yaitu
bakteri menyebar secara hematogen atau limfogen dari lokasi infeksi di tempat
lain ke korpus tulang belakang. Kebanyakan spondilitis TB merupakan infeksi
sekunder dari paruparu, tetapi pada beberapa kasus merupakan infeksi primer.

3.5.2 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies
Mycobacterium yang lain dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya,
seperti Mycobacterium africanum, Mycobacterium bovine, ataupun non-
tuberculous mycobacteria yang banyak ditemukan pada penderita HIV.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat
tahan asam11.

3.5.3 Klasifikasi
Spondilitis TB dapat diklasifikasikan berdasarkan: 1) usia penderita, 2) durasi,
3) organ yang terlibat. 4) bentuk, 5) hasil pemeriksaan BKPH dan Kombinasinya.
1. Berdasarkan Usia
Klasifikasi spondilitis TB berdasarkan usia penderita dibedakan menjadi 6
kategori yang dapat dilihat pada Tabel 3.1.
2. Berdasarkan Durasi
Klasifikasi spondilitis TB berdasarkan durasi (lama diderita) terdiri atas 3
kategori, yaitu:
26

a. Kategori Akut
Keluhan yang dialami masih ringan dan hasil anamnesis maupun
pemeriksaan fisik belum ada komplikasi.
b. Kategori Kronik
Keluhan yang dialami semakin berat, tetapi dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik belum ada komplikasi. Seringkali penderita sudah tidak
terlalu terganggu secara struktur dan fungsi, seperti bengkok atau gibus, karena
keluhan yang dialami hanya berhubungan dengan tulang, otot, dan kulit.
c. Kategori Neglected
Keluhan yang dialami semakin berat, berlarut-larut dengan bertambahnya
waktu, serta telah terjadi komplikasi. Keluhan yang dialami berhubungan pada
kualitas hidup, saraf, tulang, otot, dan kulit, terlebih pada kualitas hidup dan
tulang.
3. Berdasarkan Organ yang Terlibat
Klasifikasi spondilitis TB berdasarkan organ yang terlibat dibedakan atas
tulang, saraf, otot, dan kulit yang dievaluasi melalui pencitraan radiologi. Semakin
banyak organ yang terlibat maka kondisi penyakit semakin berat. Kondisi ini
dapat berupa keterlibatan:
• korpus vertebra saja
• korpus vertebra dengan abses,
• korpus vertebra dengan abses dan gangguan saraf,
• korpus vertebra dengan abses,gangguan saraf, dan otot, atau
• korpus vertebra dengan abses, gangguan saraf, otot, dan kulit.
Berdasarkan keterlibatan organ maka spondilitis TB dapat diklasifikasikan atas
beberapa tingkatan (grade), seperti yang tertera pada Tabel 3.2.
4. Berdasarkan Bentuk
Klasifikasi spondilitis TB berdasarkan bentuk kerusakan pada korpus vertebra
dibedakan atas:
a. Sentral
Destruksi awal terletak di sentral korpus vertebra.
b. Anterior
27

Lokasi awal berada di korpus vertebra bagian superior atau inferior dan
merupakan penyebaran perkontinuitatum dari vertebra di atasnya.
c. Paradiskus
Destruksi terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan
diskus intervertebralis.
d. Atipikal
Campuran beberapa bentuk sehingga tidak memiliki pola yang jelas.
5. Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Bakteriologi serta Kombinasinya
Klasifikasi spondilitis TB hasil pemeriksaan bakteriologi didasarkan pada hasil
pemeriksaan mikrobiologi dan histopatologi, yaitu BTA (B), kultur (K), PCR (P),
dan histopatologi (H). Sementara itu, kombinasi hasil pemeriksaan dapat berupa:
BKPH positif, BKP positif, BKH positif, BPH positif, BP positif, BH positif,
KPH positif, KP positif dan seterusnya sesuai kombinasi yang mungkin.
Hasil pemeriksaan bakteriologi dan kombinasinya ini terkait erat dengan
strategi pemberian obat anti tuberkulosis (OAT), yang mana hanya yang hasil
pemeriksaan kultur positif yang dapat diberikan OAT. Hal ini sesuai dengan baku
emas diagnosis infeksi Mycobacterium tuberculosis yaitu OAT hanya diberikan
pada penderita TB aktif untuk membunuh bakteri hidup.
28

Tabel 3.1 Klasifikasi spondilitis TB berdasarkan usia.


29

Tabel 3.2 Klasifikasi spondilitis TB berdasarkan keterlibatan organ.

Gambar 3.6 Bentuk-bentuk spondilitis TB.


30

6. Berdasarkan Regio Infeksi (Servikal, Torakal, Lumbar)


Pada dasarnya setiap regio tulang belakang dapat terinfeksi bakteri
Mycobacterium tuberculosis, tetapi regio tulang yang memiliki fungsi untuk
menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar
lebih sering terkena dibandingkan dengan regio lainnya. Area torakolumbal,
terutama torakal bagian bawah (umumnya T10) dan lumbal bagian atas,
merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan
tekanan mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan lumbal.
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di
tempat lain. Sekitar 90-95% tuberkulosis tulang belakang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis tipik (2/3 tipe human dan 1/3 tipe bovine) dan 5-10
% sisanya oleh Mycobacterium atipik. Bakteri ini berbentuk batang, tidak motil,
tidak dapat diwarnai dengan cara konvensional tetapi tahan terhadap pewarnaan
asam (metode Ziehl-Neelsen), sehingga dikenal sebagai bakteri tahan asam
(BTA).
Bakteri ini tumbuh lambat dalam media diperkaya telur selama 6-8 minggu.
Spesies Mycobacterium lainnya, seperti Mycobacterium africanum,
Mycobacterium bovine, ataupun mycobacterium nontuberkulosis juga dapat
menjadi etiologi spondilitis TB, tetapi biasanya banyak ditemukan pada penderita
HIV. Kemampuan Mycobacterium tuberculosis memproduksi niasin merupakan
karakteristik yang dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain.

3.5.4 Patofisiologi
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran secara hematogen atau limfogen
melalui nodus limfatikus para aorta dari fokus tuberkulosis di luar tulang belakang
yang sebelumnya sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal dari
fokus primer di paru, sedangkan pada orang dewasa berasal dari fokus
ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Dari paru-paru, kuman dapat sampai ke
tulang belakang melalui pleksus venosus paravertebral Batson10.
Patogenesis tuberkulosis pada imunokompeten yang belum pernah terpajan
berpusat pada pembentukan imunitas seluler yang menimbulkan resistensi
terhadap organisme dan menyebabkan terjadinya hipersensitivitas jaringan
terhadap antigen tubercular. M. tuberculosis masuk bersama udara pernafasan
31

yang mengandung kuman M. tuberculosis melalui saluran pernafasan ke dalam


paru. Setelah strain virulen mycobacterium masuk ke dalam endosom makrofag
(suatu proses yang diperantarai oleh reseptor manosa makrofag yang mengenali
glikolipid berselubung manosa di dinding sel tubercular), kuman ini mampu
menghambat respons mikrobisida normal dengan memanipulasi pH endosom dan
menghentikan pematangan endosom.
Hasil akhir dari pematangan endosom adalah gangguan pembentukan
fagolisosom efektif sehingga mikobakteri berproliferasi tanpa terhambat. Suatu
gen yang disebut NRAMP1 (Natural resistance-associated macrophage protein
1) diperkirakan berperan dalam aktivitas mikrobisida awal dan gen ini mungkin
berperan dalam perkembangan tuberculosis manusia. Polimorfisme tertentu pada
alel NRAMP1 telah dibuktikan berkaitan dengan peningkatan insiden tuberculosis
dan dipostulasikan bahwa variasi genotype NRAMP1 ini yang mungkin
menyebabkan penurunan fungsi mikrobisida11.
Fase terdini pada tuberculosis primer (≤3 minggu) pada orang yang belum
tersensitisasi ditandai dengan proliferasi basil tanpa hambatan di dalam makrofag
alveolus dan rongga udara, sehingga terjadi bakterimia dan penyemaian di banyak
tempat. Meskipun terjadi bakterimia, sebagian besar pasien pada tahap ini
asimptomatik atau mengalami gejala yang mirip flu. Timbulnya imunitas seluler
dalam 3 minggu setelah pajanan. Antigen mikobakterium yang telah diproses
mencapai kelenjar getah bening regional dan disajikan oleh histokompatibilitas
mayor kelas II (MHC kelas II) oleh makrofag ke sel TH0 CD4+ uncommitted yang
memiliki reseptor sel 𝑇𝛼𝛽. Di bawah pengaruh IL-12 yang dikeluarkan oleh
makrofag, sel TH0 ini mengalami “pematangan” menjadi sel T CD4+ subtype TH1
yang mampu mengeluarkan IFN-𝛾. IFN-𝛾 yang dikeluarkan oleh sel T CD4+
sangat penting untuk mengaktifkan makrofag. Makrofag yang telah aktif
mengeluarkan berbagai mediator :
 TNF berperan merekrut monosit yang pada gilirannya mengalami pengaktifan
dan difererensiasi menjadi histiosit epiteloid yang menandai respons
granulomatosa.
 IFN-𝛾 bersama TNF mengaktifkan gen inducible nitric oxide synthase (iNOS),
yang menyebabkan meningkatnya kadar nitrat oksida di tempat infeksi. Nitrat
32

oksida adalah oksidator yang kuat dan menyebabkan terbentuknya zat antara
nitrogen reaktif dan radikal bebas lain yang mampu menimbulkan kerusakan
oksidatif pada beberapa konstituen mikobakteri dari dinding sel hingga DNA.
Selain mengaktifkan makrofag, sel T CD4+ juga mempermudah terbentuknya
sel T sitotoksik CD8+, yang dapat mematikan makrofag yang terinfeksi oleh
tuberculosis. Pada akhirnya perekrutan monosit bergabung dengan sel T yang
telah tersensitisasi membentuk nekrosis perkejuan dan granuloma epitheloid12.
Granuloma epitheloid ini merupakan sarang primer atau focus “Ghon”. Sarang
primer ini dapat terjadi di setiap bagian dari jaringan paru, jika menjalar sampai
ke pleura maka terjadilah efusi pleura. Dari sarang primer akan timbul peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis local) dan juga diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer
limfangitis local dan limfangitis regional membentuk kompleks primer (ranke).
Semua proses ini membutuhkan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini
selanjutnya dapat menjadi:
- Sembuh sama sekali tanpa menimbulkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
- Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik.
- Berkomplikasi dan menyebar secara : a) Perkontinuitatum yaitu menyebar ke
sekitarnya, b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru
yang di sebelahnya. Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus, c) Secara limfogen ke organ tubuh lain-lainnya, d)
Secara hematogen ke organ tubuh lainnya11.
Sedangkan Infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang selalu merupakan
infeksi sekunder. Berkembangnya kuman dalam tubuh tergantung pada keganasan
kuman dan ketahanan tubuh penderita. Reaksi tubuh setelah terserang kuman
tuberkulosis dibagi menjadi lima stadium, yaitu:13
1. Stadium I (Implantasi)
Stadium ini merupakan kondisi dimana terjadi duplikasi bakteri
Mycobacterium tuberculosis membentuk koloni-koloni baru yang terjadi saat daya
tahan tubuh penderita menurun Stadium ini terjadi awal, bila keganasan kuman
lebih kuat daripada sistem imun. Pada umumnya terjadi pada daerah torakal atau
torakolumbal soliter atau beberapa level. Proses duplikasi ini berlangsung selama
33

6–8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus, sedangkan
pada anak-anak umumnya terjadi pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium II (Destruksi awal)
Ketika stadium implantasi berlanjut, akan terjadi proses destruksi korpus
vertebra serta penyempitan ringan pada diskus yang berlangsung selama 3-6
minggu setelah stadium implantasi (stadium I) dan biasanya mengenai diskus
intervertebralis.
3. Stadium III (Destruksi lanjut dan Kolaps)
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolapsnya vertebra, dan
terbentuknya massa kaseosa serta pus yang berbentuk abses dingin. Kondisi ini
terjadi pada 2–3 bulan setelah stadium destruksi awal. Sekuestrum dapat terbentuk
dan kerusakan diskus intervertebral dapat terjadi. Pada saat inilah terbentuk tulang
baji, terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus
vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus. Bila stadium ini tidak
diterapi maka akan terjadi destruksi yang hebat dan kolaps dengan pembentukan
bahan-bahan perkejuan dan pus (cold abscess).
4. Stadium IV (Gangguan neurologis)
Gangguan neurologis disebabkan oleh adanya tekanan abses ke kanalis
spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis
tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil
sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada regio ini. Komplikasi
neurologis dapat berupa gangguan motoris, sensoris dan otonom.
5. Stadium V (Deformitas residual)
Stadium ini akan terjadi 3-5 tahun setelah munculnya stadium implantasi
(stadium I). Kifosis atau gibus bersifat permanen, yang akan tetap ada bahkan
setelah terapi.. Hal ini disebabkan oleh adanya kerusakan vertebra yang masif di
sebelah depan.

3.5.4 Patogenesis
Lesi tuberkulosis pada tulang belakang dimulai dengan inflamasi paradiskus.
Setelah tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema sumsum tulang belakang dan
osteoporosis terjadi pada tulang. Destruksi tulang terjadi akibat lisis jaringan
34

tulang, sehingga tulang menjadi lunak dan gepeng, terjadi akibat gaya gravitasi
dan tarikan otot torakolumbal.
Selanjutnya, destruksi tulang diperberat oleh iskemi sekunder akibat
tromboemboli, periarteritis, endarteritis. Karena transmisi beban gravitasi pada
vertebra torakal lebih terletak pada setengah bagian anterior badan vertebra, maka
lesi kompresi lebih banyak ditemukan pada bagian anterior badan vertebra
sehingga badan vertebra bagian anterior menjadi lebih pipih daripada bagian
posterior10. Resultan dari hal-hal tersebut mengakibatkan deformitas kifotik.
Deformitas kifotik inilah yang sering disebut sebagai gibbus3.
Daerah yang biasanya sering terkena adalah bagian anterior korpus vertebra.
Destruksi tulang yang progresif mengakibatkan kolaps vertebra dan kifosis. Kanal
spinalis menyempit karena adanya abses atau jaringan granulasi. Hal ini
mengakibatkan kompresi spinal cord dan defisit neurologis.
Beratnya kifosis tergantung pada jumlah vertebra yang terlibat, banyaknya
ketinggian dari badan vertebra yang hilang, dan segmen tulang belakang yang
terlibat. Vertebra torakal lebih sering mengalami deformitas kifotik. Pada vertebra
servikal dan lumbal, transmisi beban lebih terletak pada setengah bagian posterior
badan vertebra sehingga bila segmen ini terinfeksi, maka bentuk lordosis
fisiologis dari vertebra servikal dan lumbal perlahan-lahan akan menghilang dan
mulai menjadi kifosis12.
Jika pada orang dewasa spondilitis TB banyak terjadi pada vertebra torakal
bagian bawah dan lumbal bagian atas, khususnya torakal 12 dan lumbal 1, pada
anak-anak spondilitis TB lebih banyak terjadi pada vertebra torakal bagian atas.8
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas (disebut
juga abses psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari akumulasi
produk likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini sebagian besar
dibentuk dari leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel basil10.
Abses di daerah lumbar akan mencari daerah dengan tekanan terendah hingga
kemudian membentuk traktus sinus/fistel di kulit hingga di bawah ligamentum
inguinal atau regio gluteal.9 Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih dari
satu fokus infeksi vertebra. Hal ini disebut sebagai spondilitis TB non-contiguous,
atau “skipping lesion”. Peristiwa ini dianggap merupakan penyebaran dari lesi
35

secara hematogen melalui pleksus venosus Batson dari satu fokus infeksi vertebra.
Insidens spondilitis TB non-contiguous dijumpai pada 16 persen kasus spondilitis
TB11.
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks terjadi
akibat banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis spinalis oleh abses
paravertebral, 2) subluksasio sendi faset patologis, 3) jaringan granulasi, 4)
vaskulitis, trombosis arteri/vena spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural,
atau 7) invasi duramater secara langsung. Selain itu, invasi medula spinalis dapat
juga terjadi secara intradural melalui meningitis dan tuberkulomata sebagai space
occupying lesion3.
Bila dibandingkan antara pasien spondilitis TB dengan defisit neurologis dan
tanpa defisit neurologis, maka defisit biasanya terjadi jika lesi TB pada vertebra
torakal. Defisit neurologis dan deformitas kifotik lebih jarang ditemukan apabila
lesi terdapat pada vertebra lumbalis. Penjelasan yang mungkin mengenai hal ini
antara lain: 1) Arteri Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang mendarahi
medula spinalis segmen torakolumbal paling sering terdapat pada vertebra torakal
10 dari sisi kiri. Obliterasi arteri ini akibat trombosis akan menyebabkan
kerusakan saraf dan paraplegia. 2) Diameter relatif antara medula spinalis dengan
foramen vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi
vertebra torakal 10, sedangkan foramen vertebrale di daerah tersebut relatif kecil.
Pada vertebra lumbalis, foramen vertebralenya lebih besar dan lebih memberikan
ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior11.

3.5.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis spondilitis TB sama seperti pasien TB pada umumnya,
pasien mengalami keadaan sebagai berikut, berat badan menurun selama 3 bulan
berturut-turut tanpa sebab yang jelas, demam lama tanpa sebab yang jelas,
pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit, batuk lebih dari 3 minggu,
terjadi diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare disertai
benjolan/masa di abdomen dan tanda-tanda cairan di abdomen. Manifestasi klinis
pada spondilitis TB tidak ditemukan pada bayi di bawah 1 tahun. Penyakit ini
baru muncul setelah anak belajar berjalan atau melompat1-4,7,8.
36

Gejala klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien biasanya


mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifik pada daerah vertebra yang terinfeksi.
Demam subfebril, menggigil, malaise, berkurangnya berat badan atau berat badan
tidak sesuai umur pada anak yang merupakan gejala klasik TB paru juga terjadi
pada pasien dengan spondilitis TB10. Pada pasien dengan serologi HIV positif,
rata-rata durasi dari munculnya gejala awal hingga diagnosis ditegakkan adalah
selama 28 minggu. Apabila sudah ditemukan deformitas berupa kifosis, maka
patogenesis TB spinal sudah berjalan selama ±3-4 bulan12.
TB spinal adalah jenis TB skeletal yang sangat berbahaya karena dapat
dikaitkan dengan kerusakan neurologis akibat kompresi struktur saraf yang
berdekatan dan deformitas tulang belakang yang signifikan. Kerusakan neurologis
yang tampak adalah paraplegia (kelumpuhan).
Pengaruh TB pada tulang belakang baru menujukan manifestasi setelah terjadi
kompresi medulla spinalis pada kolom anterior vertebra. Hal ini ditandai dengan
peningkatan kelenturan yang berlebihan pada refleks tendon dan ekstensor
plantar. Ketika kompresi meningkat, pasien mulai kehilangan kemampuan
motorik secara bertahap (gradual) akibat adanya lesi pada saraf motorik bagian
atas. Kompresi yang cukup berat dapat menyebabkan blok konduksi saraf secara
keseluruhan di kolom anterior.
Selain kolom anterior, kolom lateral juga dapat terpengaruh secara parsial.
Akibatnya, terjadi penurunan sensasi nyeri, suhu, dan sentuhan kasar. Ketika
kompresi semakin meningkat, kolom posterior juga dapat terpengaruh. Hal ini
menyebabkan hilangnya fungsi sensorik dan gangguan otot sfingter.
Defisit neurologis terjadi pada 12-50% penderita. Defisit yang mungkin antara
lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau sindrom kauda
equina. Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati).
Spondilitis TB servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih berbahaya
karena dapat menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak akibat
gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu dan
timbul sesak napas (millar asthma)10. Umumnya gejala awal spondilitis servikal
adalah kaku leher atau nyeri leher yang tidak spesifik. Nyeri lokal dan nyeri
radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfingter distal dari lesi vertebra
37

akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani. Nyeri lokal dan nyeri
radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfi ngter distal dari lesi vertebra
akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani. Insiden paraplegia pada
spondilitis TB (Pott’s paraplegia), sebagai komplikasi yang paling berbahaya,
hanya terjadi pada 4-38 % penderita.
Pott’s paraplegia dibagi menjadi dua jenis yaitu paraplegia onset cepat (early
onset) dan paraplegia onset lambat (late onset). Paraplegia onset cepat (early
onset) terjadi saat akut, saat pasien masih menderita TB. Biasanya dalam dua
tahun pertama, yang disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh abses atau
proses infeksi. Oleh karena itu, kelumpuhan terjadi secara cepat dalam kurun
waktu dua tahun. Komplikasi saraf dapat terjadi akibat kompresi mekanik oleh
abses, jaringan granulasi, debris tuberkular, jaringan kaseosa, dan tekanan lokal
dari subluksasi patologis atau dislokasi vertebra. Akibatnya, medula spinalis dapat
mengalami edema akibat inflamasi dan mielomalasia.
Sedangkan paraplegia onset lambat (late onset) terjadi saat penyakit sedang
tenang, tanpa adanya tanda reaktivasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh
tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi
tulang sebelumnya12. Kelumpuhan baru terjadi beberapa tahun setelah pasien
sembuh dari TB. Hal ini disebabkan karena adanya faktor intrinsik yang
menyebabkan kerusakan medulla spinalis, yaitu tekanan dari anterior tulang
kepada medula spinalis atau vasokonstriksi dari jaringan parut di sekitar dura.
Medula spinalis akan mengalami edema, atrofi, dan gliosis interstitial sekunder.
Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi terjadi dari
anterior, sesuai dengan posisi motorneuron di kornu anterior medula spinalis,
kecuali jika ada keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan sensorik
bisa lebih dahulu muncul2.
Pada vertebra servikal bawah dan torakal atas, ditemukan gejala lokal,
misalnya kekakuan kifosis angular sampai gibbus, nyeri sepanjang pleksus
brakialis. Abses retrofaringeal, supraklavikular dan mediastinal jarang
menyebabkan gangguan saraf spinal. Bila terjadi penekanan saraf simpatis, akan
timbul sindrom Horner dan kaku leher. Pada daerah torakal dan lumbal dapat
ditemukan kifosis angular sampai gibbus, nyeri pada daerah tersebut dapat
38

menyebar ke ekstrimitas bawah, khususnya daerah lateral paha. Juga dapat


ditemukan abses iliaka atau abses psoas. Pada daerah lumbosakral dapat dijumpai
gejala lokal misalnya deformitas, nyeri yang menyebar ke ekstrimitas bawah,
abses psoas, dan gangguan gerak pada sendi panggul8.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa defisit neurologis meningkat
secara berurutan saat kompresi pada kolom vertebra meningkat. Defisit neurologis
dapat dikategorikan ke dalam lima tahap (Tabel 3.1).
Tabel 3.3 Klasifikasi defisit neurologis (Pott’s Paraplegia)10.

Stadium Gambaran Klinis

-Pasien tidak sadar akan gangguan neurologis,


I. Tidak terdeteksi/
tetapi klinisi menemukan adanya klonus pada
terabaikan (negligible)
ekstensor plantaris dan atau pergelangan kaki.
-Pasien mengalami spastisitas dengan defisit
motorik. Skor motorik yang untuk tetraplegia
adalah 60-100, sedangkan pada paraplegia adalah
II. Ringan 80-100. Kerusakan sensorik menandakan
kompresi pada kolom lateral.
-Pasien menyadari adanya gangguan neurologis,
tetapi masih mampu berjalan dengan bantuan.
-Pasien spastik terbaring di tempat tidur. Skor
motorik untuk tetraplegia adalah 0-30, dan untuk
paraplegia adalah 50-80. Skor sensorik sama
III. Moderat dengan tahap II.
-Tidak dapat berpindah tempat (non-ambulatorik)
karena kelumpuhan (dalam posisi ekstensi) dan
defisit sensorik < 50%.
-Pasien terbaring di tempat tidur dengan
kehilangan sensorik berat dan/atau luka tekan.
IV. Berat Skor motorik untuk tetraplegia adalah 0 dan
paraplegia adalah 50. Ada gangguan dari kedua
sensasi kolom lateral dan posterior.
39

-Stadium III + kelumpuhan dalam posisi fleksi,


defisit sensorik > 50%.
-Sama seperti tahap IV dan disertai keterlibatan
V. Sangat Berat kandung kemih dan usus dan/atau spasme fleksor
tetraplegia/paraplegia (gangguan sfingter).

Tabel 3.4 Derajat kerusakan paraplegia10.

Derajat Gambaran Klinis

Terjadi kelemahan pada anggota gerak bawah


setelah melakukan aktivitas atau setelah berjalan
Derajat 1
jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf
sensorik.
Terjadi kelemahan pada anggota gerak bawah
Derajat 2 tapi penderita masih dapat melakukan
pekerjaannya.
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah
Derajat 3 yang membatasi gerak/aktivitas penderita serta
hipoestesia/anestesia.
Terjadi gangguan saraf sensorik dan motorik
Derajat 4
disertai gangguan defekasi dan mikturisi.

3.5.6 Diagnosis
3.5.6.1 Diagnosis TB Paru7.
 Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
 Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA +). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto thorax, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
40

 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto


thorax saja. Foto thorax tidak selalu memberikan gambaran yang khas
pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
 Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktivitas
penyakit.
 Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.

Gambar 3.7 Diagram alur diagnosa TB paru7.

3.5.6.2 Diagnosis TB Ekstra Paru7.


 Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang
belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
41

 Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat


ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis
tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan
alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi,
foto thorax dan lain-lain.
3.5.6.3 Diagnosis Spondilitis TB
1. Anamnesis
Pada kasus spondilitis TB, anamnesis dilakukan untuk mengetahui keluhan
nyeri pada tulang belakang, gangguan neurologis, deformitas (bongkok, benjolan,
atau gibus), adanya sinus/fistula di punggung, pinggang, atau lipat paha, hingga
kelumpuhan. Untuk memudahkan anamnesis, gejala-gejala tersebut dapat
dieksplorasi secara berkelompok menjadi gejala sistemik TB (penurunan berat
badan dan/atau tidak adanya kenaikan berat badan pada anak), gejala lokal akibat
destruksi vertebra (deformitas, nyeri punggung akibat unstable spine), dan gejala
neurologis akibat keterlibatan saraf (nyeri ekstremitas, defisit neurologis, lesi
UMN). Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada
banyak faktor7. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan
berevolusi lambat. Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu
diagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga tahun, sebagian besar kasus didiagnosa
sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.
Tanda-tanda spondilitis TB dapat muncul secara gradual atau mendadak akibat
kolapsnya vertebra. Gejala awal dapat berupa nyeri radikuler di sekitar tulang
belakang yang menjalar ke dada atau perut, kemudian diikuti paraparesis yang
lambat laun semakin memberat menjadi paraplegia, spastisitas, klonus,
hiperrefleks, dan refleks Babinski positif bilateral. Nyeri ketuk dan gangguan
motorik dapat ditemukan pada kasus spondilitis TB yang telah melibatkan
deformitas dan adanya penekanan saraf.
Untuk mendapatkan diagnosis yang akurat tentunya perlu anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cermat sehingga memperoleh gambaran utuh bagaimana
bakteri Mycobacterium tuberculosis masuk ke tubuh hingga menetap di
lingkungan mikro tubuh, seperti di tulang belakang ataupun organ lainnya.
42

Seluruh proses itu akan diikuti oleh keluhan keluhan subjektif yang dirasakan oleh
pasien seperti panas, rasa tidak enak badan, menggigil, nyeri, dan sebagainya.
Berikut beberapa hal yang dapat ditanyakan pada pasien dengan curiga
spondilitis TB:
 Gambaran adanya penyakit sistemik: kehilangan berat badan, keringat
malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan
malam hari serta cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat
berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas
pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien dengan kondisi kurang
gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya berat badan dan
berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan jelas.
 Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah
disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari
nodus limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
 Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai
nyeri di daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal
atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada
lesi di bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke
bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk
mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Inspeksi ini dilakukan saat pasien dalam posisi berdiri, berjalan, duduk, dan
tidur (posisi terkelungkup dan miring ke kanan atau kiri). Pertama didahului
dengan inspeksi umum untuk melihat apakah pasien dalam kondisi baik,
apakah tampak kurus, apakah cara berjalannya normal, dan sebagainya.
Selanjutnya, inspeksi lokal dilakukan untuk melihat adanya benjolan, gibbus,
abses, sinus, asimetri kiri-kanan atau atas-bawah. Berikut beberapa hal yang
harus diperhatikan pada saat inspeksi:
 Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah
kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
43

 Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk
dalam posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya
di oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga
menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin
mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka
tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama
pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch sehingga akan
menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara
kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan
tetraparesis. Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan
merupakan salah satu penyebab kompresi cervicomedullary di negara yang
sedang berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran klinisnya
serupa dengan tuberkulosa di regio servikal.
 Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi
kaku. Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari
sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya
sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku. Jika terdapat
abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi
rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika
menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda
spinalis dan menyebabkan paralisis.
 Di regio lumbar, abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak
yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar
melalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi
panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi
dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas
paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi
sendi panggul.
 Tampak adanya deformitas, dapat berupa: kifosis (gibbus/angulasi tulang
belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan
dislokasi.
44

 Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit


neurologis). Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia
pada spondilitis lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan
servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak
bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang
spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi
gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
 Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan
nyeri akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari
pembengkakan tulang ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut
disebabkan karena tuberkulosa.

Gambar 3.8 Hal-hal yang harus diperhatikan saat inspeksi7.


45

b. Palpasi
Pada posisi tengkurap atau duduk, dokter dapat meraba gibbus, abses, rasa
panas atau hangat, dan menentukan dimana level temuan itu. Pada saat
bersamaan, dokter mengamati ekspresi pasien apakah tampak nyeri atau tidak.
Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit
diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan
abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa
iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot
sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar
dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi
destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess. Spasme otot protektif disertai
keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.

Gambar 3.9 Palpasi punggung7.

c. Perkusi
Perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus
vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.
d. Movement
Minta pasien bungkuk (fleksi anterior), fleksi lateral, dan rotasi badannya.
Pemeriksaan ini dapat menilai dampak proses infeksi pada gangguan
neurologis. Pasien diminta duduk, berdiri, dan berjalan, kemudian hasilnya
46

dinyatakan dalam skala Frankel, yakni A (tidak bisa sama sekali) hingga E
(normal).

Gambar 3.10 Berbagai macam gerakan yang dilakukan pada saat pemeriksaan fisik7.

Tabel 3.5 Frankel Grading for Spinal Cord Injury10.


47

e. Pemeriksaan Sensorik
Pemeriksaan sensorik menilai rabaan halus, kasar, panas, dan dingin.
Hasilnya kemudian dibandingkan atas dan bawah, Apabila ada gangguan,
tentukan level dermatom yang terlibat. Lakukan tes sensasi propioseptif untuk
menentukan apakah pasien dapat menentukan arah gerakan jempol oleh dokter
saat matanya tertutup.

Gambar 3.11 Prosedur pin prick test7.

Gambar 3.12 Pemeriksaan sensorik sesuai dermatom7.


48

3. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Radiologi (Imaging)
Terdapat dua prinsip pencitraan pada tulang belakang, antara lain
membantu visualisasi kelainan tulang belakang serta melihat dampak atau
kerusakan akibat proses infeksi yang menyebabkan perubahan struktur di
sekitar tulang belakang, antara lain pada korda spinalis, medula spinalis,
pembuluh darah, otot, dan paravertebral.
Terdapat tiga modalitas utama yang digunakan dalam pencitraan struktur
tulang belakang. Foto polos X-ray, modalitas yang paling direkomendasikan,
mengambil gambar sesuai level tulang belakang yang sesuai. Pada tahap awal
spondilitis TB, pencitraan tampak normal. Selanjutnya, foto polos digunakan
untuk skrining ketika dicurigai terdapat spondilitis infeksi.
a. Foto polos x-ray
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering
dilakukan dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil
sebaiknya dua jenis, AP dan lateral. Pada fase awal, akan tampak lesi
osteolitik pada bagian anterior badan vertebra dan osteoporosis regional.
Penyempitan ruang diskus intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan
diskus. Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya memberikan gambaran
fusiformis. Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan
membentuk angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang
paravertebral dapat terlihat, yang merupakan cold abscess. Namun, sayangnya
sinar-X tidak dapat mencitrakan cold abscess dengan baik13.

Gambar 3.13 Pencitraan sinar-X proyeksi AP pasien spondilitis TB. Sinar-X


memperlihatkan iregularitas dan berkurangnya ketinggian dari badan vertebra T9 (tanda
bintang), serta juga dapat terlihat massa paravertebral yang samar, yang merupakan cold
abscess (panah putih)13.
49

Foto polos dapat menilai struktur tulang dan kondisi jaringan lunak di
sekitar tulang. Kerusakan yang dapat dilihat, antara lain kompresi, burst atau
pecah, pergeseran, gibus, pendorongan struktur tulang ke kanal spinalis, abses
di daerah paravertebral (paravertebral abses). Selain itu, dapat juga digunakan
untuk mengevaluasi struktur di posterior tulang belakang (prosesus spinosus
dan lamina). Pada foto rontgen, proyeksi anteroposterior dan lateral digunakan
untuk melihat adanya gambaran infeksi di satu atau lebih ruas vertebra,
kerusakan tulang vertebra, gibus, kifosis, dan abses. Pada daerah servikal,
biasanya digunakan foto anteroposterior dan lateral. Pada daerah torakal foto
diambil dari lateral. Untuk melihat infeksi pada lumbosakral, foto diambil
setinggi torakolumbal dari anteroposterior dan lateral.

Gambar 3.14 Foto X-ray dan CT scan. Foto tersebut menunjukkan erosive awal pada
bagian anterolateral dari corpus vertebrae3.

Temuan awal pada foto polos adalah gambaran radiolusen dan hilangnya
plate margin, destruksi korpus vertebra terutama di anterior, hilangnya
ketinggian diskus, erosi lempeng akhir, geode vertebra, sekuestrasi tulang,
massa skeloris dan paravertebral. Adanya kalsifikasi pada paraspinal dapat
dicurigai disebabkan TB. Selanjutnya, infeksi dapat berlanjut hingga ke
segmen vertebra lainnya sehingga tampak beberapa level vertebra terlibat.
50

Ketinggian diskus yang berkurang dapat menetap. Pada tahap akhir, dapat
ditemukan sclerosis, ankilosis tulang, kolaps vertebra, dan pelebaran anterior
yang menyebabkan terjadinya kifosis dan gibus.

Gambar 3.15 Deformitas gibus (struktur torakolumbal memendek, menghasilkan


kifosis dari angulasi tajam)3.
b. CT-Scan
Modalitas selanjutnya yang dapat digunakan adalah pemeriksaan CT yang
dapat memperlihatkan struktur tiga dimensi kerusakan tulang belakang akibat
proses infeksi dengan lebih detail dibanding foto polos X-ray. Selain itu,
pemeriksaan CT juga menggambarkan ekstensi lesi karena resolusinya yang
kontras. Pemeriksaan CT dilakukan untuk melihat gambaran dekstruksi pada
tulang belakang, osteoporosis, penyempitan kanal yang mengakibatkan
penekanan saraf, abses, dan deformitas, serta keterlibatan infeksi tulang dan
jaringan lunak. Fase awal penyakit dapat ditemukan massa paraspinal dan
abses yang berada di anterolateral korpus vertebra dan menyebar ke jaringan
dan epidural.
Pada pemeriksaan CT, dilakukan deskripsi terhadap destruksi tulang
(fragmentasi, osteolitik, subperiosteal, atau terlokalisir). Kombinasi foto polos
dan pemeriksaan CT dapat membuat klinisi yakin bahwa terdapat suatu
kelainan pada tulang. Computed Tomography-Scan (CT-Scan) bermanfaat
untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang sulit dilihat pada
foto polos. Keterlibatan lengkung saraf posterior seperti pedikel tampak lebih
51

baik dengan CT Scan13. CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis


tulang, destruksi badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan
penyempitan kanalis spinalis11.

Gambar 3.16 Pencitraan CT-Scan pasien spondilitis TB potongan aksial setinggi


T12. Pada CT-scan dapat terlihat destruksi pedikel kiri vertebra L3 (panah hitam),
edema jaringan perivertebra (kepala panah putih), penjepitan medula spinalis (panah
kecil putih), dan abses psoas (panah putih besar)10.

CT myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula


spinalis apabila tidak tersedia pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi
penyuntikan kontras melalui punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu
dilanjutkan dengan CT scan. Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat
juga berguna untuk memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas
kerusakan jaringan tulang. Penggunaan CT scan sebaiknya diikuti dengan
pencitraan MRI untuk visualisasi jaringan lunak12.

Gambar 3.17 Potongan Axial CT-Scan. Gambar tersebut menunjukkan adanya


fragmentary bone pattern (A), abses pada jaringan lunak paraspinal dengan permulaan
kalsifikasi pada dinding (B)1.
52

Gambar 3.18 (A) Spondilitis tuberculosis (potongan aksial), menunjukkan


kerusakan litik pada korpus vertebral (panah hitam) dengan abses jaringan lunak
sekitar (panah putih). (B) Kalsifikasi abses psoas (potongan aksial), menunjukkan
abses tuberculosis psoas bilateral dengan kalsifikasi perifer (panah)2.

c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


MRI merupakan modalitas dengan sensitivitas tinggi (namun tidak
spesifik), yang digunakan untuk menggambarkan kelainan struktur dan
jaringan lunak pada tulang dengan lebih detail. Kondisi badan vertebra, diskus
intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk abses paraspinal dapat
dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini14. Untuk mengevaluasi spondilitis
TB, sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial dan sagital yang meliputi
seluruh vertebra untuk mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous10. MRI
juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan. Peningkatan
sinyal T1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian jaringan radang
granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini berkorelasi dengan
gejala klinis12.
MRI sangat direkomendasikan terutama pada awal kasus dengan
kecurigaan spondilitis tanpa komplikasi spinal dan neurologis. Adapun MRI
juga membantu dalam mengidentifikasi komplikasi yang terjadi. Setiap
perubahan pada perkembangan penyakit dapat tertangkap MRI saat modalitas
lain tidak dapat menggambarkannya. MRI dapat menggambarkan ukuran
abses serta kerusakan otot dan medulla spinalis. Dengan pemeriksaan MRI,
dapat diperoleh gambaran lebih detail struktur anatomi dan jaringan lunak
yang terkena, misalnya medula spinalis, ligamentum flavum, diskus
53

intervertebra, ligamentum longitudinal, dan jaringan lunak lain disekitarnya.


MRI mampu melokalisir lokasi lesi dan deteksi awal destruksi tulang. MRI
juga dapat menggambarkan struktur di sekitar tulang belakang, antara lain
pembuluh darah dan perluasan abses ke paravertebral.

Gambar 3.19 Pencitraan MRI A) T1, B) T2 menunjukkan kerusakan yang parah


pada T11/T12 dengan kifosis yang signifikan1.
54

Modalitas lainnya yang dapat digunakan pada pasien spondilitis TB, yaitu
USG, pemeriksaan PET, dan bone scan. Ketiganya jarang digunakan untuk
diagnosis spondilitis TB, namun lebih sering digunakan jika curiga terdapat
neoplasma. Sejatinya, pemeriksaan radiologi, seperti radiografi polos, bone
scan, pemeriksaan CT, dan MRI bisa digunakan namun tidak mampu
mendiagnosis TB Spinal secara pasti. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
diagnosis banding yang menunjukkan gambaran serupa dengan TB Spinal
pada gambaran radiologi, seperti osteomielitis akibat jamur, tumor tulang, dan
tumor metastasis. Radiografi polos dan pemeriksaan CT bisa menggambarkan
gangguan struktural pada tulang belakang.
 Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi dilakukan untuk memastikan apakah infeksi
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis saja atau bakteri lainnya, seperti
bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus, Streptococcus epidermidis, dan
lain-lain) atau bakteri anaerob. Sebelum mengumpulkan sampel, dokter perlu
mengomunikasikan dengan mikobiolog bahwa akan melakukan kultur dan
pemeriksaan resistensi antibiotik, serta sampaikan pula jenis antibiotik apa
saja yang digunakan di rumah sakit tersebut. Selanjutnya, komunikasikan
jaringan apa yang akan diambil dan apakah diambil dengan core needle
biopsy, fine-needle aspiration biopsy (FNAB), ataukah saat operasi. Penting
untuk menanyakan apakah mikrobiolog dapat hadir saat pengambilansampel
dan memastikan medium transport ke laboratorium. Pada prinsipnya, ada dua
jenis pemeriksaan yang dilakukan:
a. Kultur/Biakan
Kultur bakteri Mycobacterium tuberculosis merupakan baku emas dalam
diagnosis karena dapat membuktikan keberadaan bakteri hidup dari spesimen.
Kultur Mycobacterium tuberculosis bisa dilakukan pada media tertentu,
seperti Lowenstein Jensen (media padat) dan Middlebrook (media cair). Hasil
biakan diperoleh setelah 4-6 minggu. Hasil kultur bakteri positif
menunjukkan infeksi yang aktif pada pasien dan membutuhkan setidaknya
konsentrasi 103 basil per mililiter spesimen. Infeksi Mycobacterium
tuberculosis dikatakan aktif apabila hasil kultur positif, dan sebaliknya.
55

Adapun hasil uji resistensi biakan baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya.
Media yang digunakan untuk kultur adalah medium berbasis telur, media
Lowenstein-Jensen dan media berbasis cairan seperti Bexton-Dikinson dan
BACTEC. Sebelum kultur, pasien dianjurkan untuk menurunkan atau
melepas kebiasaan merokok. Selain itu, konsumsi floroquinolone juga perlu
dihentikan karena dapat menyebabkan bakteri kultur tumbuh lebih lambat.
b. Pewarnaan Basil Tahan Asam (BTA)
Pemeriksaan mikroskopis BTA adalah pewarnaan dengan Ziehl Neelsen
untuk mendapat informasi Mycobacterium tuberculosis yang mati dari
spesimen secara cepat. Pemeriksaan ini membutuhkan 104 basil per mililiter
spesimen. Walaupun hasil BTA dapat diperoleh cepat, BTA memerlukan
cukup banyak mikroorganisme dalam spesimen dan spesifisitas BTA kurang.
Sementara itu, hasil kultur diperoleh cukup lama, minimal sebulan.
Pemeriksaan biomolekular Polymerase Chain Reaction (PCR) kemudian
menjadi pilihan alternatif yang unggul dalam hal sensitivitas dan spesifitas
dengan waktu yang diperlukan pun relatif cepat.

Gambar 3.20 a) Foto hasil pewarnaan BTA terhadap filtrat jaringan granulasi
yang digerus, didapatkan gambaran basil tahan asam (bakteri berbentuk batang dan
berwarna merah dengan latar belakang kebiruan). (b) Foto koloni bakteri
Mycobacterium tuberculosis dalam medium MGIT setelah diinkubasi selama 42
hari di mesin MGIT, koloni berwarna putih berbentuk butiran kecil hidrofobik yang
tumbuh di atas medium padat dan tampak pula perubahan warna medium cair menjadi
keruh seperti suspensi. (c) Foto koloni bakteri Mycobacterium tuberculosis dalam
medium Lowenstein Jensen setelah diinkubasi selama 3 minggu, tampak bakteri
Mycobacterium tuberculosis berwarna putih kekuningan seperti butiran kering dan
tumbuh bergerombol1.
56

 Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk
melihat dan menilai reaksi jaringan atau respons imun tubuh terhadap suatu
proses patologis yang memiliki gambaran khas pada masingmasing penyakit.
Pengambilan sampel untuk pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan
aspirasi menggunakan fineneedle atau biopsi jaringan yang dibantu dengan
fluoroskopi atau pemeriksaan CT. Pengambilan sampel tersebut dapat juga
dilakukan saat operasi.
Pada kasus dengan hasil pewarnaan BTA dan kultur negatif, perlu
dilakukan biopsi tulang belakang atau aspirasi abses untuk mengonfirmasi
diagnosis dan mengeliminasi diagnosis banding lainnya. Biopsi tulang dapat
dilakukan secara perkutan dengan dipandu dengan CT scan atau fluoroskopi,
lalu dikirim ke beberapa laboratorium untuk pemeriksaan tambahan, salah
satunya adalah pemeriksaan histopatologi. Pengiriman spesimen oleh tenaga
kesehatan ke laboratorium perlu disertai dengan formulir yang memuat
identitas pasien, jenis dan lokasi spesimen, rincian klinis yang relevan dan
riwayat aspirasi jarum halus. Spesimen untuk pemeriksaan histopatologi
spondilitis tuberkulosa (TB spinal) adalah biopsi tulang, biasanya dengan
biopsi jarum. Apabila diagnosis tidak dapat dipastikan dengan biopsi jarum,
dapat dipertimbangkan biopsi bedah yang disertai dengan kultur. Kultur
umumnya memerlukan waktu yang relatif lama.
Gambaran khas dari pemeriksaan histopatologi spondilitis tuberkulosis
adalah sebagai berikut. Infeksi spondilitis TB pada jaringan tulang akan
menginduksi reaksi radang granulomatosis dan nekrosis dengan karakteristik
yang cukup khas sehingga dapat membantu penegakkan diagnosis.
Ditemukannya tuberkel memberikan nilai diagnostik paling tinggi
dibandingkan temuan histopatologi lainnnya. Adapun tuberkel merupakan
struktur yang dibentuk oleh sel epiteloid, sel datia Langhans, limfosit, dan
nekrosis perkijuan di pusatnya. Untuk menegakkan diagnosis, gambaran
histopatologi perlu dihubungkan dengan penemuan klinis dan radiologis
pasien.
57

Gambar 3.21 Gambaran histopatologi granuloma, sel datia langhans, dan sel-sel
epiteloid dari jaringan spondilitis TB.

 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang bisa dilakukan, meliputi Tuberculin Skin
Test (TST), Complete Blood Count (CBC), pemeriksaan Laju Endapan Darah
(LED), dan pemeriksaan CRP (C-Reactive Protein).
a. Uji Tuberkulin
Uji Mantoux atau yang dikenal pula dengan istilah uji tuberkulin
merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mendeteksi infeksi laten
TB. Uji Mantoux dilakukan dengan cara menginjeksikan zat derivat protein
tuberkulin yang dipurifikasi (tuberculine purified protein derivate) sebanyak
0,1 ml melalui jalur intrakutan ke lengan pasien. Hasil dapat diketahui setelah
48-72 jam. Hasil dikatakan positif jika indurasi >10 mm. Jika indurasi <5
mm, hasil dikatakan negatif. Indurasi yang berkisar antara 5-9 mm dikatakan
meragukan dan perlu diulang. Hasil dapat menunjukkan positif palsu jika
pasien baru saja memperoleh vaksinasi BCG. Uji Mantoux memiliki
keterbatasan dalam hal sensitifitas dan spesifisitas. Di daerah dengan tingkat
tuberkulosis tinggi, sebanyak 20% dari populasi dapat menunjukkan hasil
negatif pada uji Mantoux. Sensitifitas dari uji Mantoux juga menurun pada
pasien dengan immunocompromised.
b. Pemeriksaan CBC
CBC dilakukan dengan berfokus pada hitung total limfosit dan limfosit
CD4. Kadar CD4 yang menurun secara signifikan dapat menggambarkan
kondisi infeksi yang aktif. Pemeriksaan LED bersifat sensitif tetapi tidak
spesifik. Laju endap darah pada pasien dengan TB spinal umumnya akan
meningkat. Laju endap darah dapat meningkat sebesar >20 mm/jam. Laju
58

endap darah akan kembali normal ketika lesi aktif tuberkulosis terkontrol.
Pada infeksi piogenik, peningkatan laju endap darah dapat disertai
leukositosis, tetapi pada pasien dengan TB spinal, peningkatan laju endap
darah umumnya tidak disertai dengan peningkatan kadar leukosit
(leukositosis).
c. Pemeriksaan CRP
CRP merupakan protein serum fase akut yang dihasilkan oleh hati, otot
polos, endotel, dan jaringan adiposa. CRP dapat dikatakan normal jika berada
dalam rentang 0-10 mg/L. Peningkatan kadar CRP (>10 mg/L)
mengindikasikan adanya inflamasi, nekrosis, atau infeksi. Indikasi ini
menyebabkan pemeriksaan CRP kurang spesifik dalam menegakkan
diagnosis TB Spinal. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa sekitar
66% dari 35 sampel penderita TB menunjukkan kadar CRP yang meningkat.
Peningkatan CRP ini berhubungan dengan pembentukan abses.
 Pemeriksaan Biomolekuler
Pemeriksaan biomolekuler TB Spinal difokuskan pada deteksi antibodi
dan antigen spesifik. Deteksi interferon-gamma release assays (IGRAs) dan
ICT tuberkulosis (Immunochromatographic assays) dapat dilakukan sebagai
deteksi dini antibodi pada TB Spinal. Untuk pemeriksaan ICT sendiri
memiliki spesifisitas hingga 98%. Deteksi antigen M. tuberculosis bisa
dilakukan dengan prosedur enzymelinked immunoadsorbent assay (ELISA)
dan polymerase chain reaction (PCR). ELISA menggunakan antigen spesifik
ESAT-6 dan CFP-10 sebagai stimulan. Adapun pemeriksaan PCR berfokus
pada pembentukan 123 pasang basa dengan pengulangan pada segmen
IS6110.
a. IGRAs
Interferon-Gamma Release Assays (IGRAs) merupakan salah satu
pemeriksaan darah yang dapat digunakan untuk diagnosis infeksi
Mycobacterium tuberculosis. Pemeriksaan ini memanfaatkan reaksi
imunologis. Pada pasien dengan infeksi Mycobacterium tuberculosis, sel
darah putih pasien akan melepaskan interferongamma ketika terdapat antigen
dari Mycobacterium tuberculosis. Antigen yang digunakan untuk
59

menginduksi pelepasan IFN-y dalam IGRAs adalah ESAT-6 dan CFP-10.


Kedua antigen tersebut tidak dapat ditemukan pada vaksin BCG sehingga
hasil IGRAs lebih spesifik daripada uji Mantoux. Hasil dari IGRAs dapat
diperoleh dalam kurun waktu kurang dari 24 jam.Kekurangan dari
pemeriksaan ini adalah tidak dapat membedakan antara infeksi laten dan
infeksi aktif.
b. ICT Tuberkulosis (Immunochromatographic Assays)
ICT Tuberkulosis merupakan pemeriksaan serodiagnostik untuk
mendeteksi antibodi yang dihasilkan oleh pasien terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis. Pemeriksaan ini menggunakan strip nitroselulosa yang telah
disensitisasi dengan antigen. Strip dapat dibaca menggunakan densitometer
atau secara manual. Antigen yang sering digunakan adalah antigen 38 kDa
dengan sensitifitas 45%-85% dan spesifisitas sebesar 98%. Teknik ini cukup
mudah dan cepat.
c. ELISA (Enzyme-Linked Immunoabsorbent assay)
ELISA merupakan teknik yang menggabungkan sensitivitas uji enzim
dengan spesifisitas antibodi secara sederhana. ELISA dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya antigen yang dikenali oleh antibodi atau sebaliknya. Hasil
diperoleh dengan melakukan pengukuran nilai absorbansi. Pada diagnosis TB
spinal, ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi antigen mikobakterial A60.
Pemeriksaan ini memiliki sensitifitas sebesar 63% dan spesifisitas sebesar
96%. Meskipun demikian, pemeriksaan ini tidak dapat membedakan antara
infeksi aktif dan infeksi laten.
d. Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR merupakan metode untuk memperbanyak segmen DNA spesifik
suatu bakteri. PCR dilakukan dalam tiga tahapan reaksi dengan suhu yang
berbeda, yaitu denaturasi cetakan DNA, penempelan primer (annealing), dan
elongasi/pemanjangan primer. Keterbatasan jumlah bakteri dalam spesimen
bukanlah suatu masalah jika metode ini digunakan. Hal tersebut dikarenakan
setelah ekstraksi DNA, DNA tersebut akan diperbanyak dengan bantuan
enzim DNA polimerase.
60

Identifikasi bakteri Mycobacterium tuberculosis menggunakan metode


PCR lebih mudah dilakukan dan hasilnya lebih akurat. Sensitifitas
pemeriksaan PCR pada TB spinal sebesar 94,7% dengan spesifisitas sebesar
83,3% dan akurasi sebesar 92%. Akan tetapi, kekurangan dari metode ini
adalah bakteri yang hidup dan bakteri yang mati tidak dapat dibedakan.
Dengan demikian, kita tidak dapat mengetahui kondisi infeksi, apakah telah
sembuh, atau masih aktif. Di sisi lain, metode ini memerlukan instrumen yang
cukup mahal serta tenaga pelaksana yang terlatih dan terampil sehingga biaya
pemeriksaan pun menjadi mahal.

3.5.6.4 Diagnosis Banding


1. Spondilitis Ankilosa
a. Definisi
Spondilitis ankilosa berasal dari kata ankylos yang berarti melengkung dan
spondylos yang berarti vertebra, merupakan penyakit inflamasi kronik, yang
bersifat sistemik, ditandai dengan adanya kekakuan progresif serta menyerang
sendi tulang belakang (vertebrae) dengan penyebab yang belum diketahui.
Penyakit ini dapat melibatkan sendi-sendi perifer, sinovial dan tulang rawan
sendi, serta akan mengakibatkan terjadinya osifikasi tendon dan ligamen yg
mengakibatkan fibrosis dan ankilosis tulang. Spondilitis ankilosis adalah suatu
penyakit peradangan kronik progresif yang terutama menyerang sendi
sakroiliaka dan sendi-sendi tulang belakang6.
b. Etiopatogenesis
Etiologi dari spondilitis ankilosa masih belum diketahui. Tetapi dilaporkan
spondilitis ankilosa merupakan penyakit yang diperantari oleh sistem imun,
dibuktikan dengan adanya peningkatan IgA dan berhubungan erat dengan HLA
B27. Secara imunologi terdapat interaksi antara class I HLA molecule B27 dan
Limfosit T. Tumor necrosis factor (TNF-α) teridentifikasi sebagai pengatur
sitokin. Kecenderungan terjadinya spondilitis ankilosa sebagai penyakit yang
diturunkan secara genetik6.
Penyakit ini bersifat kronis progresif yang menyerang pada sendi
sakroiliaka, sendi panggul serta sendi-sendi sinovial. Bagian intervertebra
menjadi meradang dan akhirnya terjadi fusi atau kekakuan atau persatuan
61

tulang pada sendi sakroiliaka dan spinal yang melalui servikal. Proses fusi ini
terjadi setelah 10-20 tahun, penyakit ini dapat timbul pada usia 10-30 tahun
dan biasanya menjadi progresif setelah 50 tahun dan lebih banyak terjadi pada
laki-laki6.
c. Manifestasi klinis
Awitan spondilitis ankilosis biasanya timbul perlahan-lahan. Gejala
spondylitis ankilosis diantaranya nyeri dan kekakuan menetap pada punggung
bawah, pantat dan pinggul berlanjut lebih dari 3 bulan. Spondilitis sering
bermula sekitar sendi sakroiliaka. Sendi perifer dapat juga terserang, misal
adalah panggul, bahu dan lutut. Kedua adalah fusi tulang akibat pertumbuhan
berlebih tulang mengakibatkan tulang membentuk sendi yang abnormal. Fusi
mengakibatkan tulang leher, punggung, dan pinggang fleksibilitasnya
terganggu. Fusi tulang rusuk ke tulang belakang dapat membatasi pergerakan
dada ketika nafas dalam. Ketiga adalah nyeri pada ligament dan tendon.
Tendinitis dapat mengakibatkan nyeri dan kaku di belakang tumit. Spondilitis
ankilosis juga memiliki gejala demam, lemah dan kehilangan nafsu makan7.

Gambar 3.22 Fusi tulang pada spondylitis ankilosis7.

2. Spondilitis Piogenik
a. Definisi dan Etiologi
Spondilitis piogenik adalah salah satu penyakit dengan presentasi gejala
yang serupa dengan spondilitis TB dan tidak mudah untuk membedakan
keduanya tanpa pemeriksaan penunjang yang adekuat. Spondilitis piogenik
62

umumnya disebabkan oleh bakteri monomikrobial. Staphylococcus aureus


adalah pathogen utama (20%-84%). Streptococcus (viridans type dan B-
haemolytic streptococci, khusunya group A dan B) serta enterococci diketahui
sebagai penyebab spondilodiscitis (5%-20%). Bakteri gram negative yang
paling sering adalah Escherichia coli, Pseudomonas species, dan Proteus sp.
Ini dihubungkan dengan infeksi genitourinary. Penyebab umum infeksi diskus
iatrogenic adalah bedah tulang belakang dan manipulasi invasive3.
Secara epidemiologi, spondilitis piogenik lebih sering menyerang usia
produktif, sekitar usia 30-50 tahun. Hingga saat ini, prevalensi spondilitis
piogenik dilaporkan meningkat diakibatkan banyaknya penyalahgunaan
antibiotik, tindakan invasif spinal, pembedahan spinal. Di lain pihak, jumlah
kasus baru spondilitis TB semakin berkurang dengan penggunaan OAT.
Spondilitis piogenik memiliki perjalanan yang lebih akut dengan gejala yang
hampir sama dengan spondilitis TB. Vertebra servikal dan lumbal lebih sering
terlibat, dibandingkan dengan spondilitis TB yang lebih sering menyerang
vertebra torakolumbal lebih dari satu vertebra17.
b. Patogenesis
Infeksi spondilitik merupakan hasil dari persebaran secara hematogen,
inokulasi langsung eksternal, atau melalui kontaginosa jaringan. Pada
spondylitis piogenik, saat mikrooganisme masuk dalam vaskuler pada
metafisis, infeksi mulai menyebar. Diskus dirusak oleh enzim bakteri. Infeksi
piogenik umumnya melibatkan vertebrae toraks dan lumbal2.
c. Manifestasi klinis
Spondilitis piogenik rata-rata memiliki masa inkubasi 6,4 bulan untuk
terjadinya tanda klinis, yang meliputi nyeri non spesifik, demam, menifestasi
neurological akibat kompresi pada sumsum tulang dan radiks saraf. Spondilitis
piogenik lebih sering dengan nyeri yang parah dan demam tinggi2.
Tabel 3.6 Perbedaan tanda klinis spondilitis piogenik dan tuberkulosis2.
63

Tabel 3.7 Temuan magnetic resonance imaging pada spondilitis piogenik


dan tuberkulosis2.

3. Spondilitis Fungal
Infeksi fungi pada tulang belakang sering ditemukan pada pasien
imunokompremais, termasuk pasien HIV, diabetes mellitus, pasien kemoterapi
atau post transplantasi dengan terapi imunosupresif. Candida albicans dan
aspergillus adalah penyebab infeksi opotunistik paling umum. Infeksi fungsi
juga dapat mengakibatkan diskitis atau osteomyelitis. Gambaran radiologi yang
didapat mirip dengan infeksi piogenik with hypointense T1-weighted signal
pada endplate yang terinfeksi. Temuan abnormal T2-weighted signal relative
lebih jarang pada pasien dengan diskitis atau osteomelitis fungal. Berbagai
jenis fungsi dapat mengakibatkan spondylitis atau spondylodiskitis dan
tergantung area endemic fungi. Coccidioidomycosis immitis merupakan
endemic di Mexico, Amerika tengah dan Amerika selatan.
Infeksi Histoplasmosis umum terjadi di Amerika serikat, Amerika selatan
dan tengah, Asia, Afrika dan Australia. Infeksi Mucormycosis dan aspergillosis
meningkat pada pasien diabetes mellitus. Infeksi Candida insidennya
meningkat pada pasien imunokompremais. Infeksi Coccidioidomycosis
mengakibatkan ciri khas yang menunjukkan penyempitan celah diskus dan
sering dihubungkan dengan infeksi jaringan lunak paraspinal. Destruksi tulang
jarang terjadi pada coccidioidomyocosis dibanding infeksi piogenik1.
64

Gambar 3.23 Coccidioidomycosis A) Foto Xray Lateral menunjukkan kerusakan


korpus vertebra dan pedikel L4. Peningkatan densitas bagian antero-inferior koprus
L3 B) Sagittal T1-weighted fat-saturated contrast-enhanced image menunjukkan
pengisian multiple koprus vertebrae thorax bawah dan lumbal1.

Gambar 3.24 Coccidioidomycosis, penyebaran secara hematogen: wanita 16 th


dengan perkembangan penyakit jamur setelah berhenti pengobatan jamur.
A)Sagittal T2-weighted image menunjukkan multiple foci of hyperintense signal pada
korpus vertebrae thorax bawah dan lumbar dengan kolaps pada berbagai tingkat serta
spinal malalignment. Kolaps korpus vertebrae thorax bawah atau lumbar atas adalah
hasil retropuslsi osseous dan stenosis spinal yang parah. B) Sagittal T1-weighted fat-
saturated contrast-enhanced image menunjukkan multiple foci of abnormal
enhancement pada korpus vertebrae thorax bawah dan lumbar dengan kolaps pada
berbagai tingkat serta spinal malalignment. Multiple abses intraosseous dan abses
pada jaringan lunak presakral . C) Axial T1-weighted fat saturated contrast-enhanced
image menunjukkan multiple foci of intraosseous abscesses and the abscesses in the
right multifidus and longissimus muscles1.
65

3.5.6.5 Penatalaksanaan
Tatalaksana tuberkulosis bertujuan untuk mengeradikasi bakteri dan
mengembalikan fungsi organ seperti sediakala. Tata laksana TB spinal secara
garis besar dapat dibedakan menjadi prosedur nonoperatif dan operatif. Sebagian
besar kasus spondilitis TB akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada korpus
vertebra. Kerusakan ini akan menyisakan defek dengan bagian yang tidak utuh.
Besarnya volume defek atau bagian korpus yang menjadi tidak utuh ini akan
menimbulkan ketidakstabilan kesatuan tulang belakang dalam menjalankan
fungsinya sebagai pembentuk postur sehingga harus diatasi dengan:
a. Debridement
Debridement adalah suatu tindakan membuang jaringan mati berupa
jaringan lunak, nanah, dan sekuester. Tindakan ini dapat dilakukan dengan cara
kuretase, pencucian, osteotomi, dan nekrotomi. Pendekatan yang dapat
dilakukan antara lain, pendekatan transpedikular, anterior, posterior, dan
melalui kostotransverektomi.
b. Refreshing (refresh tepi defek)
Refreshing dilakukan dengan tujuan mencapai bagian tulang dan jaringan
sehat. Tindakan ini dapat dicapai dengan melakukan osteotomi, nekrotomi,
kuretase, dan sequeterektomi. Pembuktian bahwa tindakan telah mencapai
bagian tulang dan jaringan sehat dilakukan melalui pemeriksaan makroskopis
dengan memperhatikan tanda-tanda vital jaringan seperti tulang mengkilap,
darah segar dari tulang, dan tidak lagi terdapat jaringan yang mudah lepas.
c. Stabilisation (stabilisasi kesatuan vertebra)
Stabilisasi dicapai dengan menambahkan dan menempatkan benda kaku
untuk menyangga struktur tulang yang tidak stabil. Alat yang digunakan
berupa sistem sekrup dan rod yang pada umumnya terbuat dari titanium, yaitu
suatu material logam yang bersifat inert. Sistem sekrup dan rod ini dapat
dipasang di sisi anterior maupun posterior tergantung pada operator yang
memasang berdasarkan sisi tulang belakang yang dianggap kuat menyangga
tulang belakang yang tidak stabil.
66

d. Antimikrobial (pemberian OAT dan/atau antibiotika lokal)


Antimikrobial diberikan sesuai temuan hasil kultur. Apabila hanya
ditemukan bakteri Mycobacterium tuberculosis pada hasil kultur maka
penberian obat anti tuberkulosis (OAT) dapat langsung dimulai sesuai dengan
protokol WHO. Namun bila pada temuan hasil kultur ditemukan lebih dari satu
bakteri, diberikan antibiotik sesuai bakteri yang ditemukan dengan
mempertimbangkan kesesuaian sensitifitas bakteri terhadap antibiotik yang
tersedia.
Yang perlu diperhatikan pada pemberian antibiotik dan/atau OAT adalah
respon imun dan hasil pemberian OAT. Respon imun diamati dengan
pemeriksaan titer sel Th1 dan sel Th2 dengan proporsi titer populasi kedua sel
ini sebagai acuan dalam penilaian perbaikan dan kesembuhan.
e. Biospine (biological spine intervention)
Biospine atau intervensi biologis untuk merangsang pertumbuhan sel
pengisi defek adalah suatu konsep penatalaksanaan defek pada korpus vertebra
dengan memperhitungkan faktor biologi sel dalam bertumbuhkembang
menyesuaikan lingkungan mikro yang ada sehingga tercapai struktur organ
yang sesuai atau menyerupainya. Pendekatan biospine memperhitungkan
keberadaan sel punca, skafold atau substitusi tulang, faktor pertumbuhan,
pasokan oksigen, dan medium pertumbuhan. Kini, sedang dikembangkan
prosedur tata laksana TB spinal yang melibatkan sel punca.
Terapi spondilitis TB dibedakan menjadi terapi medikamentosa, non
medikamentosa, dan terapi konservatif.
1. Terapi Medikamentosa
Obat antituberkulosis (OAT) merupakan obat yang bertujuan untuk membunuh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang masih hidup. Bila diagnosis ditegakkan
lebih awal, dimana destruksi dan deformasi tulang yang terjadi masih minmal,
pemberian OAT saja dapat mengobati spondilitis TB secara sempurna. Serupa
dengan terapi TB pada umumnya, terapi infeksi spondilitis TB adalah multidrug
therapy untuk mencegah resistensi. Regimen OAT yang digunakan pada TB paru
dapat pula digunakan pada TB ekstraparu, tetapi rekomendasi durasi pemberian
OAT pada TB ekstraparu saat ini masih belum konsisten antar ahli.
67

World Health Organization (WHO) merekomendasikan agar kemoterapi


diberikan setidaknya selama 6 bulan. Sementara itu, British Medical Research
Council menganjurkan agar kemoterapi OAT pada spondilitis TB torakolumbal
diberikan selama 6-9 bulan. Sayangnya regimen terapi untuk pasien dengan lesi
vertebra tingkat servikal, multipel, dan disertai defisit neurologis belum dapat
dievaluasi. Meskipun demikian, beberapa ahli merekomendasikan agar pemberian
kemoterapi dilakukan selama 9-12 bulan.
The Medical Research Council Committee for Research for Tuberculosis in the
Tropics menyatakan bahwa isoniazid dan rifampisin harus selalu diberikan selama
masa pengobatan. Selama dua bulan pertama (fase inisial), obat-obat tersebut
dapat dikombinasikan dengan pirazinamid, etambutol dan streptomisin sebagai
obat lini pertama.
Pada kasus resisten pengobatan, pasien diberikan OAT lini kedua. Yang
termasuk sebagai OAT lini kedua antara lain: levofloksasin, moksifloksasin,
etionamid, tiasetazon, kanamisin, kapreomisin, amikasin, sikloserin, klaritromisin
dan lain-lain.
a. Pendekatan Tata Laksana MDR-TB
Adakalanya kuman TB kebal terhadap berbagai macam OAT. Multidrug
resistance tuberculosis (MDR-TB) didefinisikan sebagai keadaan dimana
bakteri basil TB resisten terhadap isoniazid dan rifampisin. Spondilitis MDR-
TB adalah penyakit yang agresif karena tidak dapat hanya diterapi dengan
pengobatan OAT baku. Regimen untuk MDR-TB harus disesuaikan dengan
hasil kultur abses. Perbaikan klinis umumnya bisa tercapai dalam 3 bulan jika
terapi berhasil. Adapula rekomendasi terbaru untuk penanganan MDR-TB,
yaitu dengan kombinasi 5 obat, antara lain: 1) salah satu dari OAT lini pertama
yang diketahui sensitif melalui hasil kultur resistensi, 2) OAT injeksi periode
minimal selama 6 bulan, 3) kuinolon, 4) sikloserin atau etionamid, 5) antibiotik
lainnya seperti amoksisilin klavulanat dan klofazimin. Durasi pemberian OAT
setidaknya selama 18-24 bulan.
The United States Centers for Disease Control menyatakan bahwa
pengobatan spondilitis TB pada bayi dan anakanak setidaknya harus 12 bulan.
Durasi kemoterapi pada pasien imunodefisiensi sama pada pasien tanpa
68

imunodefisiensi. Namun, adapula sumber yang mengatakan durasinya harus


diperpanjang. Kemoterapi pada pasien dengan HIV positif harus disesuaikan
dengan memperhatikan interaksi OAT dan obat anti-retroviral. Zidovudin
dapat meningkatkan efek toksik OAT. Didanosin harus diberikan selang 1 jam
dengan OAT karena bersifat penyanggah antasida.
b. Regimen OBAT TB
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia telah merumuskan regimen terapi OAT
untuk pasien TB. Untuk kategori I, yaitu kasus baru TB paru dengan TB
ektraparu, termasuk TB spinal, diberikan 2 HRZE (HRZS) fase inisial
dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan atau 2 RHZE (HRZS) fase inisial dilanjutkan
6 HE fase lanjutan. Pemberian regimen bisa diperpanjang sesuai dengan
respons klinis penderita. Sedangkan untuk kategori II, yaitu kasus gagal
pengobatan, relaps, drop-out, diberikan 2RHZES fase inisial dilanjutkan 5HRE
fase lanjutan,atau 2RHZES dilanjutkan 5H3R3E3 fase lanjutan.
Pemberian bisfosfonat intravena bersamaan dengan kemoterapi OAT telah
dicoba pada beberapa pasien dan dikatakan dapat meningkatkan proses
perbaikan tulang. Nerindronat 100 mg pada pemberian pertama, dan 25 mg
setiap bulan berikutnya selama 2 tahun telah diuji dengan hasil yang
memuaskan. Nerindrinat disebutkan dapat menghambat aktivitas resorpsi
osteoklas dan menstimulasi aktivitas osteoblast. Namun, studi ini masih
terbatas pada satu pasien dan perlu dievaluasi lebih lanjut.
Terapi medikamentosa dikatakan gagal jika dalam 3-4 minggu, nyeri dan
atau defisit neurologis masih belum menunjukkan perbaikan setelah pemberian
OAT yang sesuai, dengan atau tanpa imobilisasi atau tirah baring.
Dengan berkembangnya penggunaan OAT efektif, terapi pembedahan
relatif ditinggalkan sebagai penatalaksanaan utama spondilitis TB. Pilihan
teknik bedah tulang belakang pada spondilitis sangat bervariasi, tetapi
pendekatan tindakan bedah yang baku dan empiris masih belum ada. Setiap
kasus harus dinilai keadaannya secara individual. Pada pasien yang
direncanakan dioperasi, kemoterapi tetap harus diberikan, minimal 10 hari
sebelum operasi OAT harus sudah diberikan. Kategori regimen OAT yang
69

diberikan disesuaikan jenis kasus dan dilanjutkan sesuai kategori masing-


masing.
Tabel 3.8 Obat-obatan antituberkulosis (OAT).

Tabel 3.9 Obat tuberkulosis, dosis, dan efek samping6.


70

2. Terapi Non-Medikamentosa
Total Treatment Subroto Sapardan
a. Sejarah Total Treatment Subroto Sapardan
Metode total treatment atau tata laksana total untuk mengatasi masalah
infeksi tuberkulosis pada tulang belakang pertama kali diperkenalkan oleh
Subroto Sapardan pada tahun 1984 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta. Metode ini berupa panduan penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis
dengan membagi sepuluh alternatif pengobatan yang memudahkan ahli bedah
memilih jenis tindakan yang sesuai dengan perkembangan penyakitnya.
Setelah 5 tahun dikembangkan, tepatnya pada tahun 1989, metode total
treatment mulai digunakan di rumah sakit pendidikan dan jejaring ortopedi,
serta dipublikasikan oleh berbagai jurnal.
b. Prinsip Total Treatment
Prinsip tata laksana total Subroto Sapardan adalah penanganan masalah
spondilitis tuberkulosis berdasarkan masalah spesifik yang dihadapi pasien.
Setidaknya ada 14 masalah yang dihadapi oleh penderita spondilitis
tuberkulosis, di antaranya keadaan umum buruk, lesi multipel, instabilitas,
deformitas, abses dingin, nyeri, infeksi, fraktur patologis, kifosis progresif,
defisit neurologis, gangguan kardiovaskular, gangguan fungsi paruparu akibat
mengecilnya rongga toraks, serta masalah sosial-ekonomi dan psikogenik.
Berdasarkan pertimbangan terhadap adanya 14 masalah tersebut, dokter bedah
diharapkan dapat memilih tata laksana alternatif yang tepat. Tujuan umum
dikembangkannya TTSS adalah pendekatan penanganan tuberkulosis yang
bukan hanya dipandang sebagai infeksi biasa yang dapat ditangani dokter
umum, melainkan penanganan tuberkulosis beserta permasalahan tulang
belakang yang dapat ditimbulkan. Penatalaksanaan ini nantinya memungkinan
penderita dapat kembali ke kehidupan sosial, keluarga dan lingkungan
kerjanya.Tahapan tata laksana total Subroto Sapardan secara umum adalah:
identifikasi dan klarifikasi masalah yang ada, membuat daftar modalitas tata
laksana mulai dari konservatif sampai agresif, menyesuaikan daftar masalah
dengan pengobatan yang tepat untuk masing-masing penderita, dan mencari
pilihan tata laksana paling sesuai. Dalam perkembangannya, tata laksana total
71

Subroto Sapardan juga mengadopsi tindakan distraksi pada kasus kifosis berat
untuk mencegah kingking medula spinalis.
Tata laksana total Subroto Sapardan merupakan metode yang fleksibel dan
terbuka terhadap perkembangan ilmu kedokteran. Ilmu-ilmu yang baru
ditemukan untuk penanganan spondilitis tuberkulosis seperti tindakan invasif
minimal dapat diintegrasikan pada metode ini sesuai dengan prinsip tata
laksana total Subroto Sapardan.
Tata laksana total Subroto Sapardan terdiri dari sepuluh alternatif dengan
membagi tindakan berdasarkan kondisi pasien. Alternatif 1 merupakan
tindakan konservatif tanpa pembedahan. Alternatif 2 dilakukan pada kasus
abses dengan tulang belakang° stabil sehingga dilakukan debridement dan
evakuasi abses tanpa koreksi. Alternatif 3 dilakukan dengan metode Hongkong
pendekatan anterior. Alternatif 4 dan 5 dilakukan dengan pendekatan anterior
dan posterior, tetapi pada alternatif 5 dilakukan koreksi deformitas. Alternatif 6
dan 7 dilakukan dengan pendekatan posterior, namun pada alternatif 7 juga
dilakukan koreksi deformitas. Alternatif 8 dilakukan pada kasus kifosis berat
dengan shortening procedure. Pada alternatif 9 dan 10, dilakukan distraksi
tanpa shortening procedure. Alternatif 9 dilakukan pada kasus defisit
neurologis atau kelumpuhan. Adapun alternatif 10 dilakukan pada kondisi
pasien tanpa gangguan neurologis.
72

Tabel 3.10 Tujuan tata laksana total oleh Subroto Sapardan.

Gambar 3.25 Tahapan tata laksana total Subroto Sapardan.


73

Tabel 3.11 Versi tabel algoritma alternatif tata laksana total Subroto
Sapardan.

 Alternatif 1
Metode konservatif dengan pengobatan anti-TB dan penyangga tubuh dari
luar (non-operatif) untuk keadaan infeksi stadium dini, keadaan umum baik,
keluhan minimal, dan penderita atau keluarga yang tidak bersedia dilakukan
operasi. Alasan pemilihan alternatif 1 adalah pasien yang tidak mungkin
dilakukan operasi, misalnya pasien yang menolak dilakukan tindakan atau
kondisi pasien yang tidak memungkinkan (contohnya bayi atau anak kecil).
Kondisi lain yang tidak memungkinkan tindakan operasi adalah alat atau
operator yang tidak memadai. Obat anti-TB (OATB) diberikan apabila
diagnosis pasti ditegakkan dengan pendekatan kultur. OATB diberikan sesuai
regimen WHO dengan pendekatan non-pulmoner TB. Tata laksana penyokong
eksternal dilakukan apabila tulang belakang pasien tampak tidak stabil.
Tergantung pada letaknya, penyokong eksternal dapat berupa cervical support
pada daerah servikal, Jewett brace pada daerah torakolumbar, lumbar support
74

pada daerah lumbar, atau gips dan body cast pada bayi yang tidak
memungkinkan pemasangan brace.

Gambar 3.26 Konsumsi obat anti TB dan


pemasangan brace pada Alternatif 1 TTSS.

 Alternatif 2
Operasi untuk evakuasi abses, dilakukan pada kasus infeksi dengan abses
dingin yang besar tetapi dengan lesi tulang yang minimal dengan/tanpa nyeri.
Alternatif 2 dilaksanakan pada kasus tulang belakang yang stabil dengan
masalah utama back pain dengan abses paravertebral anterior maupun
posterior. Prosedur yang dilakukan pada alternatif 2 adalah debridement dan
evakuasi abses. Penyokong eksternal tidak wajib diberikan, namun dapat
digunakan untuk meningkatkan kenyamanan pasien. Pendekatan untuk
alternatif 2 dapat dilakukan baik dari anterior maupun posterior, dengan
pertimbangan jarak abses ke permukaan luar tubuh. Pendekatan dengan jarak
abses yang paling kecil dari permukaan kulit dianggap lebih baik untuk pasien.
Misalnya pasien spondilitis TB dengan abses yang dapat teraba dari permukaan
kulit dan hasil MRI yang menunjukkan kantong abses yang sudah dekat
dengan permukaan kulit, maka tata laksana utamanya adalah evakuasi abses
dan mengurangi jaringan kulit terdekat.

Gambar 3.27 Evakuasi abses


pada Alternatif 2 TTSS.
75

 Alternatif 3
Operasi dengan pendekatan anterior dan instrumentasi anterior,
debridement, dan fusi untuk kasus infeksi di daerah anterior torakolumbal
dengan kifosis minimal dengan/tanpa nyeri. Alternatif 3 adalah pendekatan
dengan metode Hong Kong, yaitu tindakan debridement dengan penyokong
internal di daerah anterior vertebra. Alternatif 3 dilakukan terutama pada kasus
spondilitis TB daerah torakal anterior dan pada sedikit kasus spondilitis TB
daerah lumbar maupun servikal. Metode Hong Kong klasik dilakukan oleh ahli
tulang belakang di Hong Kong yang melakukan pendekatan anterior kemudian
melakukan debridement. Akan tetapi, debridement membuat kolum anterior
vertebra tidak stabil karena pengeluaran debris. Untuk menguatkan kolum
anterior tersebut, dipasang strut graft yang diambill dari tulang iga atau tulang
bulat. Saat ini, metode Hong Kong klasik sudah ditinggalkan dan dimodifikasi
dengan menempatkan anterior cage. Anterior cage terdiri dari beberapa
macam cage yang terbuat dari titanium yang ditempatkan di depan lokasi defek
untuk menyangga tulang belakang. Kasus spondilits TB yang ditangani dengan
alternatif 3 adalah kondisi kerusakan kolum anterior vertebra dengan kolum
posterior masih utuh/intak. Pasien yang ditata laksana dengan alternatif 3 dapat
mengalami hemiparesis atau tanpa gangguan neurologis.

Gambar 3.28 Alternatif 3 TTSS.


76

 Alternatif 4
Operasi dengan pendekatan anterior dan posterior satu tahap, debridement,
dan fusi untuk kasus infeksi dengan tulang belakang yang tidak stabil dan nyeri
hebat. Alternatif 4 dilakukan dengan pendekatan anterior dan posterior. Pada
alternatif ini, dilakukan kombinasi antara modifikasi metode Hong Kong
(pendekatan anterior) dan operasi dengan pendekatan posterior. Pendekatan
anterior dilakukan untuk mengeluarkan debris, sementara pendekatan posterior
dilakukan untuk menyokong dan menstabilkan vertebra. Hal ini dilakukan
karena pada kasus spondilitis TB dengan alternatif 4, kerusakan terjadi pada
kolum anterior maupun posterior. Pasien yang ditata laksana dengan alternatif
4 memiliki tulang belakang yang tidak stabil (instabilitas vertebra). Kasus
spondilitis TB dapat terjadi pada daerah servikal, torakal, maupun lumbar dan
utamanya didapati kerusakan anterior dengan debris banyak. Alternatif 4 dapat
dilakukan dengan one-step atau two-step.

Gambar 3.29 Alternatif 4 TTSS.

 Alternatif 5
Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi anterior, atau pendekatan
anterior dan posterior satu tahap, debridement, dan fusi spontan untuk kasus
infeksi dengan kifosis yang kaku, dengan/tanpa nyeri. Alternatif 5 sebenarnya
merupakan kelanjutan alternatif 4 dengan pendekatan anterior dan posterior.
Perbedaan alternatif 5 dari alternatif 4 adalah perlunya koreksi untuk mengatasi
deformitas kifosis. Kasus spondilitis TB dengan penanganan alternatif 5 adalah
77

di daerah servikal, torakal, maupun lumbar dengan deformitas kifosis atau


gibus yang perlu dikoreksi.

Gambar 3.30 Alternatif 5 TTSS.

 Alternatif 6
Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridement, dan
fusi untuk kasus infeksi di daerah anterior dan atas posterior torakal. Alternatif
6 hanya dilakukan dengan pendekatan posterior dan tidak perlu dilakukan
koreksi deformitas. Indikasi alternatif 6 adalah kasus anterior stabil dan
posterior tidak stabil, atau abses dapat dicapai dengan pendekatan posterior.
Tindakan debridement dilakukan dengan pendekatan posterior ke arah anterior
dan instrumentasi posterior. Kelemahan alternatif 6 adalah tidak adekuatnya
tindakan untuk kasus abses daerah anterior. Alternatif 6 umumnya digunakan
pada kelainan daerah torakal, walaupun dapat digunakan juga pada daerah
servikal maupun lumbar. Seorang ahli bedah perlu mempertimbangkan dengan
cermat apakah pasien dapat ditata laksana dengan alternatif 6 atau tidak,
dengan dasar pertimbangan keterjangkauan letak abses. Pada kondisi tertentu,
alternatif 6 dapat dilanjutkan dengan alternatif lain.

Gambar 3.31 Alternatif 6 TTSS.


78

 Alternatif 7
Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridement dan
fusi untuk kasus infeksi di daerah lumbar disertai kifosis sedang (<750).
Alternatif 7 hanya dilakukan dengan pendekatan posterior. Perbedaan alternatif
6 dengan alternatif 7 adalah perlunya upaya koreksi deformitas kifosis. Koreksi
perlu mempertimbangakan apakah cukup dengan melakukan rod and screw
corrective manipulation (RSCM) technique yang tidak memerlukan
“perusakan” daerah posterior seperti osteotomi, laminektomi,
kostotranversektomi, atau dekompresi.

Gambar 3.32 Instrumentasi dan koreksi tulang belakang pada Alternatif 7


TTSS.

 Alternatif 8
Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridement, dan
fusi untuk kasus infeksi di daerah lumbar disertai kifosis moderat. Pada
alternatif 8 dilakukan shortening procedure. Shortening procedure adalah
dekompresi sirkumferensial dengan tujuan mengurangi atau membuang satu
atau dua segmen vertebra. Alternatif 8 umumnya dikerjakan pada kasus
spondilitis TB dengan kifosis moderat. Sebagai contoh, pada kasus spondilitis
TB T10-12 dengan segmen anterior dan posterior yang kolaps, maka dapat
dilakukan pembuangan T10-12 dengan fusi tanpa traksi (pemanjangan tulang
belakang). Setelah operasi, akan terjadi pemendekan satu atau dua vertebra.
Dahulu, alternatif 8 banyak digunakan karena jarang digunakan alat monitor
fungsi saraf sehingga prosedur traksi dikhawatirkan menyebabkan
79

kelumpuhan. Pada alternatif 8 dapat dilakukan laminektomi,


kostotranversektomi, dan korpektomi dari posterior.

Gambar 3.33 Shortening procedure pada Alternatif 8 TTSS.

 Alternatif 9
Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridement,
distraksi, dan fusi untuk kasus infeksi dengan defisit neurologi disertai kifosis
berat (>900). Pada alternatif 9 hanya dilakukan pendekatan posterior. Kasus
spondilitis TB yang memerlukan penanganan alternatif 9 adalah kasus dengan
kifosis berat di daerah servikal, torakal, torakolumbar, dan lumbar, serta defisit
neurologis (kelumpuhan). Prosedur yang dilakukan pada alternatif 9 adalah
reposisi tulang belakang yang mengalami deformitas. Pada spondilitis TB
dengan indikasi alternatif 9, infeksi tuberkulosis bisa sudah sembuh atau masih
aktif. Prosedur yang digunakan adalah dengan koreksi (osteoromi, teknik
RSCM, atau kombinasi) dan distraksi (dilakukan dalam pengawasan dengan
intraoperative nerve monitoring pada kasus partial plegia). Seringkali dapat
dijumpai defek anterior, tetapi tidak ditata laksana sekaligus pada alternatif 9.

Gambar 3.34 Distraksi pada Alternatif 9


TTSS (tidak dilakukan shortening
procedure).
80

 Alternatif 10
Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridement,
distraksi, dan fusi untuk kasus infeksi tanpa kelainan neurologis disertai kifosis
berat (>900). Alternatif 10 merupakan kelanjutan dari alternatif 9 namun tanpa
adanya defisit neurologis atau kelumpuhan. Prosedur yang dilakukan pada
alternatif 10 adalah koreksi deformitas. Tujuan alternatif 10 adalah mencegah
terjadinya defisit neurologis.

Gambar 3.35 Prosedur pada Alternatif 10 sama dengan Alternatif 9, hanya saja
dilakukan dengan hati-hati agar tidak mencederai saraf yang masih normal.

3. Terapi Konservatif
Tata laksana pasien spondilitis tuberkulosis bertujuan untuk menghilangkan
penyakit, mencegah berkembangnya paraplegia dan kifosis, serta menangani
deformitas dan defisit neurologis yang telah ada. Penyangga eksternal merupakan
salah satu bagian dari tata laksana pasien spondilitis tuberkulosis berupa
pemasangan alat di luar tubuh pasien, seperti leher, toraks, punggung, dada,
pinggang, perut hingga bokong. Dalam kondisi tertentu, alat juga dapat dipasang
di daerah dagu, oksipital, hingga femur. Penyangga eksternal umumnya terbuat
dari bahan metal, campuran gips, atau serat sintetis seperti polietilena.
Penyangga eksternal dapat diberikan pada pasien spondilitis tuberkulosis
ringan hingga sedang dengan tujuan untuk stabilisasi dan memperkuat struktur
tulang dari luar. Penyangga eksternal dapat mencegah terjadinya instabilitas
tulang berupa pergerakan tulang ke arah depan, belakang, samping, atau twisting.
Stabilisasi tulang menggunakan penyangga eksternal ini umumnya dilakukan
81

selama 6 bulan sejak pasien diizinkan rawat jalan. Selama masa itu, pasien tetap
harus kontrol secara berkala. Jika tidak ada kemajuan, maka kemungkinan terjadi
resistensi obat, jaringan sekuester dan kaseonekrotik, nutrisi yang kurang baik,
atau konsumsi obat yang tidak teratur.
Keunggulan penyangga eksternal adalah lebih nyaman bagi pasien karena
pemasangannya dilakukan tanpa perlu tindakan invasif. Sayangnya, penyangga
eksternal hanya dapat diberikan jika tidak ada abses, deformitas vertebra, dan
defisit neurologis yang parah. Berikut ini akan dibahas mengenai beberapa contoh
penyangga eksternal.
a. Thoraco-lumbo-sacral orthosis (TLSO)
TLSO merupakan penyangga eksternal yang dipasang pada daerah torakal,
lumbal, dan sakral. Bahan yang digunakan pada TLSO umumnya bersifat
termoplastik, seperti polipropilena. Ada juga TLSO yang bersifat lebih
fleksibel karena menggunakan bahan yang tidak terlalu kaku. TLSO dipasang
dengan tujuan memberikan tekanan sehingga dapat mendukung pertumbuhan
tulang di daerah tersebut. Alat ini umumnya dipasang pada anak-anak
dikarenakan hanya efektif pada tulang belakang yang masih mengalami
pertumbuhan. Kekurangan dari alat ini adalah dapat menyebabkan kesulitan
bernapas dan beraktifitas karena tidak bersifat fleksibel.
Meskipun TLSO lebih efektif digunakan pada anak-anak, TLSO juga dapat
digunakan pada orang dewasa dengan tujuan stabilisasi tulang belakang daerah
torakal, lumbal, dan sakral. TLSO dapat dipasang dalam keadaan berbaring
ataupun duduk bergantung pada jenis TLSO yang digunakan serta kondisi
pasien. Secara umum, pemasangan TLSO tidak terlalu sulit. Setelah
menentukan bagian depan dan belakang, TLSO dapat dipasang dan diatur
kekencangannya sesuai kenyamanan pasien.
b. Lumbo-sacral orthosis (LSO)
LSO merupakan penyangga eksternal yang digunakan di daerah lumbal dan
sakral. Tujuan penggunaan LSO adalah untuk mengontrol dan menyokong
tulang belakang, mengurangi rasa sakit, mencegah cedera lebih lanjut, dan
mendukung proses penyembuhan. LSO tidak jauh berbeda dengan TLSO baik
dari segi bahan dan cara penggunaanya. LSO dapat mengganggu gerakan
82

pasien karena tidak fleksibel dan menambah beban pada bagian atas tubuh.
Setelah menentukan bagian depan dan belakang, LSO dipasang di sekitar
abdomen sampai ke belakang dan dapat dikencangkan sesuai kenyamanan
pasien.

Gambar 3.36 TLSO (kiri), LSO (kanan).

Gambar 3.37 Algoritma tata laksana spondilitis TB.

Anda mungkin juga menyukai