Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN

KASUS

PARAPARESIS
UMN

Laporan Ini Disusun Sebagai Salah Satu Persyaratan Mengikuti


Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Neurologi Rumah Sakit Umum Haji
Medan

Disusun Oleh :

Cindy Tiara
Regi Mohamammad Rochmat
Muhammad Dirgantara HR

Pembimbing :
dr. Luhu A. Tapeheru Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN


NEUROLOGI RUMAH SAKIT UMUM HAJI
MEDAN SUMATERA UTARA FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Paraparese adalah terjadinya gangguan antara dua anggota gerak tubuh bagian

bawah.Hal ini terjadi karena adanya efek antara sendi facet superior dan inferior

(parsinterartikularis). Paraparese adalah adanya defek pada pars interartikularis tanpa

subluksasi korpus vertebrata .parapareses terjadi pada 5% dari populasi. Kebanyakan

penderita tidak menunjukan gejala atau gejalanya hanya minimal, dan sebagian besar kasus

dengan tindakan konservatif memberikan hasil yang baik. Parapareses dapat terjadi pada

semua level vertebrata, tapi yang paling sering terjadi pada vertebrata lumbal bagian bawah

(Iskandar,2006).

Kasus cidera pada tulang vertebra sekitar 70% karena trauma dan kurang lebih

setengahnya termasuk cedera pada vertebra, sekitar 50% dari kasus trauma dikarenakan oleh

kecelakan lalu-lintas. Kecelakaan industry sekitar 26%, kecelakaan dirumah sekitar

10%mayoritas dari kasus trauma di temukan adanya fraktur atau dislokasi, kurang dari 25%

hanya fraktur saja(Bromley,2006).

Permasalahan yang sering terjadi akibat cidera tulang belakang terutama paraparese

yaitu impairment seperti penurunan kekuatan otot pada ke dua ekstremitas bawah sehingga

potensi terjadi kontraktur otot, keterbatasan LGS, decubitus, dan penurunan atau gangguan

sensasi. Fungsional limitation seperti adanya gangguan fungsional dasar seperti gangguan

miring, duduk dan berdiri serta gangguan berjalan, dan disability yaitu ketidakmampuan

melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan. Pasien yang terkena penyakit

paraparese akan mengalami kelemahan pada bagian anggota gerak tubuh bagian bawah,

pasien akan mengalami kelumpuhan, contohnya sulit berjalan, sulit melakukan aktifitas

sehari-hari, nyeri di bagian ekstremitas bawah dan goyah atau mudah terjatuh.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Medula Spinalis

Tulang belakang atau vertebra adalah susunan tulang beraturan dan terdapat 33 tulang

punggung pada manusia, 7 tulang cervical, 12 tulang thorax (thoraks atau dada), 5 tulang

lumbal, 5 tulang sacral, dan 4 tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Tulang punggung

terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri dari badan tulang atau corpus

vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae.

Gambar 1: Anatomi Tulang Belakang Manusia

Medula spinalis mulai dari akhir medulla oblongata di foramen magnum


sampai konus medullaris L1-L2. Medulla spinalis berlanjut menjadi kauda equina (di
bokong) yang lebih tahan terhadap cedera. Medula spinalis terdiri atas traktus
ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang
raba, suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang membawa
informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh).
Medula spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yang mempunyai
hubungan istemewa, yaitu arteri spinalis dan arteri radikularis. Arteri spinalis
dibagi menjadi arteri spinalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri
vertebralis, sedangkan arteri radikularis dibagi menjadi arteri radikularis posterior
dan anterior yang dikenal juga ramus vertebromedularis arteria interkostalis.
Medula Spinalis disuplai oleh arteri spinalis anterior dan arteri spinalis
posterior. Nervus spinalis/akar nervus yang berasal dari medula spinalis melewati
suatu lubang di vertebra yang disebut foramen dan membawa informasi dari
medula spinalis samapi ke bagian tubuh dan dari tubuh ke otak. Ada 31 pasang
nervus spinalis dan terdapat empat pleksus, yaitu:
a. Pleksus servikalis (C1-C4), mempersarafi leher dan bagian belakang
kepala. Salah satu cabang terpenting yaitu cabagn frenikus yang
mempersarafi diafragma.
b. Pleksus brakhialis (C5-T1 atau T2), mempersarafi ekstremitas atas.
Cabang-cabang pada lengan yang penting yaitu saraf radialis, medianus
dan ulnaris. Saraf-saraf torakal (T3-T11) tidak membentuk pleksus tetapi
keluar dari ruang intercostal sebagai saraf interkostalis.
c. Pleksus lumbalis (T12-L4), mempersarafi otot-otot dan kulit tubuh bagian
bawah dan ekstremitas bawah. Saraf utamanya yaitu saraf femoralis dan
obturatorius.
d. Pleksus sakralis (L4-S4), saraf utama dari pleksus ini adalah saraf
isiadikus, saraf terbesar dalam tubuh. Saraf isiadikus menembus bokong
dan turun ke bawah melalui bagian belakang paha. Cabang-cabangnya
mempersarafi otot paha posterior, tungkai dan kaki dan hamper seluruh
kulit tungkai. Pleksus koksigealis, dimulai dari S4 sampai saraf
koksigealis. Saraf-saraf dari sakralis bawah dan pleksus koksigealis
mempersarafi perineum.
Ujung akhir dari medula spinalis disebut cornus medularis yang letaknya di L1
dan L2. Setelah akhir medula spinalis, nervus spinalis selanjutnya bergabung
membentuk cauda equina.

Gambar 2: Susunan Saraf Spinalis

Medula spinalis berfungsi sebagai pusat refleks spinal dan juga sebagai jaras
konduksi impuls dari atau ke otak. Medula spinalis terdiri dari substansia alba
(serabut saraf bermielin) dengan bagian dalam terdiri dari substansia grisea
(jaringan saraf tak bermielin). Substansia alba berfungsi sebagai jaras konduksi
impuls aferen dan eferen antara berbagai tingkat medulla spinalis dan otak.
Substansia grisea merupakan tempat integrasi refleks-refleks spinal.
Pada penampang melintang, substansia grisea tampak menyerupai huruf H
capital, kedua kaki huruf H yang menjulur ke bagian depan tubuh disebut kornu
anterior atau kornu ventralis, sedangkan kedua kaki belakang dinamakan kornu
posterior atau kornu dorsalis.

Kornu ventralis terutama terdiri dari badan sel dan dendrit neuron-neuron motorik
eferen multipolar dari radiks ventralis dan saraf spinal. Sel kornu ventralis (lower
motor neuron) biasanya dinamakan jaras akhir bersama karena setiap gerakan
(baik yang berasal dari korteks motorik serebral, ganglia basalis atau yang
timbul secara refleks dari reseptor sensorik) harus diterjemahkan menjadi suatu
kegiatan atau tindakan melalui struktur tersebut.
Kornu dorsalis mengandung badan sel dan dendrit asal serabut-serabut
sensorik yang akan menuju ke tingkat SSP lain sesudah bersinaps dengan serabut
sensorik dari saraf-saraf sensorik.
Substansia grisea juga mengandung neuron-neuron internunsial atau neuron
asosiasi, serabut eferen sistem saraf otonom, serta akson-akson yang berasal dari
berbagai tingkatan SSP. Neuron internunsial menghantar impuls dari satu neuron
ke neuron lain dalam otak dan medulla spinalis. Dalam medulla spinalis neuron-
neuron internunsial mempunyai banyak hubungan antara satu dengan yang lain,
dan hanya beberapa yang langsung mempersarafi sel kornu ventralis. Hanya
sedikit impuls saraf sensorik yang masuk ke medulla spinalis atau impuls motorik
dari otak yang langsung berakhir pada sel kornu ventralis (lower motor neuron).
Sebaliknya, sebagian besar impuls mula-mula dihantarkan lewat sel-sel
internunsial dan kemudian impuls tersebut mengalami proses yang sesuai,
sebelum merangsang sel kornu anterior. Susunan seperti ini memungkinkan
respons otot yang sangat terorganisasi.
Gambar 3: Peta Dermatom Sistem Sensori Saraf

Traktus ascendens membawa informasi sensorik ke SSP dan dapat berjalan


ke bagian-bagian medulla spinalis dan otak. Traktus spinotalamikus lateralis
merupakan suatu traktus ascendens penting, yang membawa serabut-serabut untuk
jaras nyeri dan suhu. Jaras untuk raba halus, propiosepsi sadar dan getar
mempunyai serabut-serabut yang membentuk kolumna dorsalis substansia alba
medulla spinalis. Impuls dari berbagai bagian otak yang menuju neuron-neuron
motorik batang otak dan medulla spinalis disebut traktus descendens. Traktus
kortikospinalis lateralis dan ventralis merupakan jaras motorik voluntary dalam
medulla spinalis. Traktus asosiatif merupakan traktus ascendens atau descendens
yang pendek; misalnya, traktus ini dapat hanya berjalan antara beberapa segmen
medulla spinalis, sehingga disebut juga traktus intersegmental. Tabel 1
menyebutkan beberapa traktus ascendens dan descendens yang penting pada
medulla spinalis.
Tabel 1. Traktus Ascendens dan Descendens Utama Medula Spinalis
Traktus Fungsi
ASCENDENS
Kolumna dorsalis (posterior)
Fasikulus kuneatus (T6 Kemampuan untuk melokalisasi stimulus dari
dan di atasnya, bagian sentuhan halus, kemampuan untuk
atas tubuh) membedakan tekanan dan intensitas
Fasikulus grasilis (T7 dan (membedakan dua-titik, persepsi berat badan)
di bawahnya, bagian Kesadaran propioseptif (merasakan posisi)
bawah tubuh) Vibrasi (sensasi fasik)
Hantaran cepat informasi sensorik
Spinotalamikus
Spinotalamikus lateralis Nyeri
Spinotalamikus ventralis Temperatur, termasuk sensasi hangat dan dingin
Kurang dapat melokalisasi stimulus dari sentuhan
kasar serta membedakan tekanan dan intensitas
Sensasi gatal dan geli
Hantaran informasi sensorik lebih lambat
daripada kolumna dorsalis
Spinoserebelaris
Spinoserebelaris dorsalis Propioseptif yang tidak disadari (sensasi otot)
Spinoserebelaris ventralis Koordinasi postur tubuh dan gerakan ekstremitas
Informasi sensorik yang dihantarkan hampir
seluruhnya dari apparatus tendon Golgi dan
gelendong otot
Serabut traktus-besar yang menghantarkan
impuls lebih cepat daripada neuron-neuron lain
dalam tubuh

DESCENDENS
Kortikospinalis
Kortikospinalis lateralis Traktus piramidalis membawa impuls untuk
pengendalian voluntar otot ekstremitas
Kortikospinalis ventralis Traktus piramidalis membawa impuls untuk
pengendalian voluntar otot tubuh

Rubrospinalis Traktus ekstrapiramidalis mengurus integrasi


yang tidak disadari dan koordinasi gerakan
otot yang disesuaikan dengan masukan
propioseptif
Tektospinalis
Traktus ekstrapiramidalis mengurus gerakan
pemindaian dan pergantian refleks pada kepala
dan gerakan refleks pada lengan sebagai
respons terhadap sensasi penglihatan,
Vestibulospinalis pendengaran, atau kulit.
Traktus ekstrapiramidalis terlibat dalam
mempertahankan keseimbangan dan
koordinasi gerakan kepala dan mata
2.2 Fisiologi Sistem Saraf Spinalis

Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskular terdiri atas


Upper Motor Neuron (UMN) dan Lower Motor Neuron (LMN). Upper Motor
Neuron (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang menyalurkan
impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf
kranial di batang otak atau kornu anterior medula spinalis.
Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi
dalam susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri
dari traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Melalui lower motor neuron
(LMN), yang merupakan kumpulan saraf motorik yang berasal dari batang otak,
pesan tersebut dari otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang.
Kedua saraf motorik tersebut mempunyai peranan penting di dalam sistem
neuromuscular tubuh. Sistem ini yang memungkinkan tubuh kita untuk bergerak
secara terencana dan terukur.

2.2.1 Upper Motor Neuron


Traktus kortikospinalis berfungsi menyalurkan impuls motorik pada sel-sel
motorik batang otak dan medula spinalis untuk geraakan-gerakan otot kepala dan
leher. Traktus kortikobulber membentuk traktus piramidalis, mempersarafi sel-sel
motorik batang otak secara bilateral, kecuali nervus VII & XII, berfungsi untuk
menyalurkan impuls motorik untuk gerak otot tangkas. Dalam klinik gangguan
traktus piramidalis memberikan kelumpuhan tipe UMN berupa parese/paralisis
spastis disertai dengan tonus meninggi, hiperrefleksi, klonus, refleks patologis
positif, tak ada atrofi. Rangkaian neuron di korteks selanjutnya membentuk jalan
saraf sirkuit meliputi berbagai inti di sub korteks.dan kemudian kembali ke tingkat
kortikal. Terdiri dari :
a. Korteks serebri area 4, 6, 8

b. Ganglia basalis antara lain nukleus kaudatus, putamen, globus


pallidus, nukleus Ruber, formasio retikularis, serebellum.
Susunan ekstrapiramidal dengan formasio retukularis :
a. Pusat eksitasi / fasilitasi : mempermudah pengantar impuls ke korteks
maupun ke motor neuron.
b. Pusat inhibisi : menghambat aliran impuls ke korteks/motor neuron.

c. Pusat kesadaran
Susunan ekstrapiramidal berfungsi untuk gerak otot dasar / gerak otot tonik,
pembagian tonus secara harmonis, mengendalikan aktifitas pyramidal.

2.2.2 Lower Motor Neuron


Merupakan neuron yang langsung berhubungan dgn otot, dapat dijumpai
pada batang otak dan kornu anterior medulla spinalis. Gangguan pada LMN
memberikan kelumpuhan tipe LMN yaitu parese yang sifatnya flaccid, arefleksi,
tak ada refleks patologis, atrofi cepat terjadi.

2.2.3 Susunan Somestesia


Perasaan yang dirasa oleh bagian tubuh baik dari kulit, jaringan ikat, tulang
maupun otot dikenal sebagai somestesia. Terdiri dari:
1. Perasaan eksteroseptif dalam bentuk rasa nyeri, rasa suhu dan rasa
raba.
2. Perasaan proprioseptif : disadari sebagai rasa nyeri dalam, rasa
getar,rasa tekan, rasa gerak dan rasa sikap.
3. Perasaan luhur: diskriminatif & dimensional.
2.3 Definisi

Parese adalah kelemahan/ kelumpuhan parsial yang ringan/ tidak lengkap


atau suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan
terganggu. Kelemahan adalah hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu atau lebih
kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas bagian yang terkena.
Parese pada anggota gerak dibagi mejadi 4 macam, yaitu:
e. Monoparese adalah kelemahan pada satu ekstremitas atas atau
ekstremitas bawah.
f. Paraparese adalah kelemahan pada kedua ekstremitas bawah.
g. Hemiparese adalah kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas
atas dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
h. Tetraparese adalah kelemahan pada keempat ekstremitas.
Paraparesis merupakan lesi intraspinal setinggi atau dibawah level medulla
spinalis thorakalis dengan defisit sensoris yang dapat diidentifikasi setinggi dermatom
medulla spinalis yang terkena lesi. Paraparesis juga dapat berasal dari lesi pada lokasi
lain yang mempengaruhi UMN (terutama lesi parasagital dan hidrocepalus) dan LMN
(lesi pada cornu anterior, kauda equina, dan neuropati perifer). Paraparesis digunakan
untuk mendeskripsikan kelemahan pada kedua kaki. Terminologinya cukup luas,
menyangkut gangguan gait yang disebabkan lesi pada UMN, walaupun tidak ditemukan
kelemahan pada pemeriksaan otot secara manual.

Paraparese merupakan hilangnya fungsi motorik kedua tungkai. Pada saat

ini, istilah paraparese umumnya dipakai untuk semua keadaan kelemahan kedua tungkai,

baik yang parsial maupun komplit (Kowalak, 2016).

2.4 Klasifikasi

1. Paraparesis Spastik

Terjadi karena kerusakan yang mengenai Upper Motor Neuron


(UMN), sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertoni.
Rekoil kaki yang kuat untuk tarik intens tiba-tiba dan clonus pergelangan
kaki berkelanjutan.
2. Paraparesis Flaccid
Terjadi karena kerusakan yang mengenai Lower Motor Neuron (LMN),
sehingga menyebabkan penurunan tonus otot atau hipotoni serta tidak ada
peregangan. Recoil kaki lemah untuk tarik intens tiba-tiba dan tidak ada
clonus pergelangan kaki.

2.4 Etiologi

Etiologi dari paraparese diantaranya adalah genetik, infeksi dan virus dan

faktor lingkungan. Selain itu Paraparese juga dapat disebabkan oleh tumor yang

menekan medulla spinalis, baik primer maupun skunder. Juga dapat disebabkan oleh

kelainan vascular pada pembuluh darah medulla spinalis, yang bisa berujung pada

stroke medulla spinalis (Iskandar, 2006)

2.5. Manifestasi Klinik

Kelumpuhan UMN, dicirikan oleh tanda – tanda khas disfungsi susunan


UMN adalah:
1. Tonus otot meninggi atau hipertonia
Gejala ini terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks motorik
tambahan terhadap inti – inti intrinsik medula spinalis. Hipertonia adalah ciri
khas bagi disfungsi komponen ekstrapiramidal susunan UMN. Hipertonia
tidak akan bangkit, bahkan tonus otot menurun, jika lesi paralitik merusak
hanya korteks motorik primer saja. Lesi hipertonia menjadi jelas apabila
korteks motorik tambahan (area 6 dan 4) ikut terlibat dalam lesi. Lesi
paralitik yang menganggu piramidal juga pasti akan menganggu
ekstrapiramidal. Lesi di kapsula interna menganggu serabut – serabut
kortikobulbar/spinal dan juga serabut frontopontin, temporo parietopontin
berikut serabut – serabut striatal utama. Hal itu menggambarkan bahwa
komponen piramidal dan ekstrapiramidal akan mengalami gangguan
bersama. Hal ini terjadi karena lintasan piramidal dan ekstrapiramidal berada
di kawasan yang sama yaitu pendukulus serebri, pes pontis, dan funikulus
posterolateral/sulkomarginal.
Hipertonia yang diiringi kelumpuhan pada UMN tidak melibatkan
semua otot skeletal, melainkan otot fleksor seluruh lengan serta otot
abduktor bahu dan pada tungkai selurug otot ekstensornya serta otot plantar
flexi. Tergantung dalam jumlah serabut penghantar impuls ekstrapiramidal
dan piramidal yang terkena gangguan, anggota gerak yang lumpuh dapat
memperlihatkan hipertonia dalam posisi fleksi atau ekstensi. Hal ini terjadi
pada kelumpuhan UMN yang melanda bagian bagian bawah (paraplegi)
akibat oleh karena lesi transversal di medula spinalis di atas intumensensia
lumbosakralis.
Apabila paraplegi yang disebabkan oleh lesi yang terutama merusak
serabut penghantar impuls piramidal saja, maka parapleginya hanya
menunjukkan hipertonia dalam posisi ekstensi. Apabila jumlah serabut
penghantar impuls ekstrapiramidal (serabut retikulospinalis dan
vestibulospinalis) ikut terlibat dalam lesi, maka paraplegi dalam posisi
fleksi.
2. Hiperfleksia
Pada kerusakan UMN refleks tendon lebih peka daripada keadaan biasa
(normal). Dalam hal ini gerak otot bangkit secara berlebihan, walaupun
rangsangan tendon sangat lemah. Hiperfleksia merupakan keadaan setelah
impuls inhibisi dari susunan piramidal dan ekstrapiramidal tidak dapat
disampaikan motorneuron. Refleks tendon merupakan refleks spinal yang
bersifat segmental. Ini berarti bahwa lengkung refleks disusun oleh neuron –
neuron yang berada di satu segmen. Tetapi ada juga gerak reflektorik, yang
lengkung refleks segmentalnya berjalin dengan lintasan – lintasan UMN
yang ikut mengatur efektornya. Hal ini dijumpai pada refleks kulit dinding
perut. Pada refleks tersebut menghilang atau menurun.
3. Klonus
Hiperfleksia sering diiringi oleh klonus. Tanda ini adalah gerak otot
reflektorik, yang bangkit secara berulang – ulang selama perangsangan
masih berlangsung. Pada lesi UMN kelumpuhannya disertai klonus kaki dan
klonus lutut.
4. Refleks Patologis
Pada kerusakan UMN dapat ditemukannya refleks patologis. Tetapi
mekanisme timbulnya refleks patologis masih belum jelas.
5. Tidak ada atrofi pada otot – otot yang lumpuh
Motor neuron dengan sejumlah serabut–serabut otot yang disarafinya
menyusun satu kesatuan motorik. Kesatuan fisiologik ini mencakup
hubungan timbali balik antara kehidupan motorneuron dan serabut oto yang
disarafinya. Runtuhnya motorneuron akan disusul dengan kerusakan
serabut–serabut saraf motoriknya. Oleh karena itu otot yang terkena akan
menjadi atrofi. Dalam hal kerusakan UMN, motor neuron tidak dilibatkan.
Oleh karena itu otot – otot yang lumpuh karena lesi UMN tidak akan
memperlihatkan atrofi. Namun demikian, otot yang lumpuh masih dapat
mengecil, bukan karena serabut–serabut yang hilang akan tetapi dikarenakan
otot tersebut tidak digunakan yang dikenal disuse atrophy.
6. Refleks automatisme spinal
Jika motorneuron tidak mempunyai hubungan dengan korteks motorik
primer dan korteks motorik tambahan, bukan berarti tudak berdaya
menggerakkan otot. Otot masih dapat digerakkan oleh rangsang yang datang
dari bagian susunan saraf pusat dibawah tingkat lesi yang dinamakan
sebagai gerakan refleks automatism spinal. Pada penderita paraplegi akibat
lesi transversal di medula spinalis atas, dapt dijumpai kejang fleksi lutut
sejenak padahal kedua tungkai lumpuh, apabila penderita terkejut. Tanda –
tanda kelumpuhan UMN tersebut di atas dapat seluruhnya atau sebagian saja
ditemukan pada tahap kedua masa setelah terjadinya lesi UMN.
Paraparese dapat terjadi tiba-tiba maupun secara bertahap. Kelumpuhan tersebut

juga dapat terjadi hilang timbul tergantung penyebabnya. Kelumpuhan yang terjadi tidak

hanya di kedua tungkai, namun juga terjadi pada otot di daerah panggul termasuk organ di

dalamnya. Sehingga, penderita paraparese juga dapat mengalami hilangnya kontrol

terhadap buang air besar dan buang air kecil. Aktivitas seksual dan kesuburan juga dapat

terganggu. Selain kelumpuhan, kedua tungkai dapat mati rasa atau malah menjadi

kesemutan dan nyeri. Beberapa penyebab dari paraparese dapat mengakibatkan

kelumpuhan yang perlahan-lahan naik ke tubuh bagian atas (Bromley,2006).

2.5 Patofisiologi

Lesi yang mendesak medulla spinalis sehingga merusak daerah saraf

kortikospinalis lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN (Upper Motor Neuron) pada

toto-otot bagian tubuh yang terletak dibawah tingkat lesi. Lesi transversal medulla spinalis

pada tingkat servikal, Beberapa saraf di leher termasuk saraf oksipital besar dan kecil, saraf

supraklavikularis dan nervus frenikus. Pengelompokan saraf dalam tulang belakang leher

diberi nama setelah mencocokkan cakram serviks. Cakram atau (disk) ini diwakili oleh

huruf “C” dan angka sesuai dengan lokasi cakram antara vertebra lainnya yang membentuk

tulang belakang leher, dimulai dengan C1 di bagian atas dan bekerja turun ke C8. Saraf di

leher mengontrol berbagai fungsi tubuh manusia misalnya saraf C5 dapat mengakibatkan

kelumpuhan UMN (Upper Motor Neuron) pada otot-otot, kedua lengan yang berasal dari

miotoma saraf C6 sampai miotoma saraf

C8, lalu otot-otot toraks dan abdomen serta seluruh otot-otot kedua ekstremitas. Akibat

terputusnya lintasan somatosensory dan lintas autonom neuro vegetative asendens dan

desendens, maka dari tingakat lesi kebawah, penderita tidak dapat melakukan buang air

besar dan kecil, serta tidak memperlihatkan reaksi neuro vegetative.


Lesi transversal yang memotong medulla spinalis pada tingkat thorakal atau tingkat

lumbal atas mengakibatkan kelumpuhan yang pada dasarnya serupa dengan lesi yang

terjadi pada daerah servikal yaitu pada tingkat lesi terjadi gangguan motoric berupa

kelumpuhan LMN (Lower Motor Neuron) pada otot-otot yang merupakan sebagian kecil

dari otot-otot toraks dan abdomen, namun kelumpuhan yang terjadi tidak begitu jelas

terlihat dikarenakan peranan dari otot-otot tersebut kurang menonjol, hal ini dikarenakan

lesi dapat mengenai kornu anterior medulla spinalis. Dan dibawah tingkat lesi dapat terjadi

gangguan motorik berupa kelumpuhan UMN (Upper Motor Neuron) karena saraf

kortikospinal lateral segmen thorakal terputus (Bromley, 2006).

2.6 Komplikasi

Komplikasi dapat meliputi (Kowalak, 2016):

1. Ulkus decubitus yaitu luka yang terjadi pada kulit yang terus tertekan akibat

tidak

dapat menggerakan bagian tersebut.

2. Penggumpalan darah pada pembuluh darah tungkai ( deep vein thrombosis )

3. Pneumonia atau infeksi paru-paru.

4. Depresi.

5. Kelumpuhan pada otot pernapasan.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui penyakit

paraparese antara lain (Bromley, 2006).

1. MRI (Magnetic resonance imaging): menunjukkan daerah yang mengalami fraktur,

infark, haemoragik.

2. CT scan: untuk melihat adanya edema, hematoma, iskemi dan infark.

3. Rontgen: menunjukan daerah yang mengalami fraktur, dan kelainan tulang


2.7 Penatalaksanaan

1. Farmakologi

Jika terjadi kompresi medulla spinalis

a. Metylprednisolon 30 mg/kg BB bolus intravena salama 15 menit,


dilanjutkan dengan 5,4 mg/kg BB 45 menit setelah bolus selama 23
jam. Hasil optimal bila pemberian dilakukan < 8 jam onset.

b. Bila terdapat comotio medulla spinalis, fraktur atau dislokasi tidak


stabil harus disingkirkan. Jika pemulihan sempurna, pengobatan
tidak diperlukan. Antibiotic pada umumnya untuk menyembuhkan
infeksi saluran kemih.
DAFTAR PUSTAKA

Baehr, Mathias & Frotscher, Michael. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS.
Jakarta : EGC, hal. 59

Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes neurologi. Surabaya : EMS

Harsono. 2009. Neurologi Kapita Selekta.Yogyakarta : Gadjah Mada University


Press

Mardjono, Mahar, Prof, dr. 2004. Neurologi klinis dasar. Jakarta : Dian Rakyat,
hal. 37-40
Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta:
EGC, 2012

Snell, Richard S. 2007. Neuroanatomi klinik. Jakarta : EGC, hal. 188

Anda mungkin juga menyukai