KASUS
PARAPARESIS
UMN
Disusun Oleh :
Cindy Tiara
Regi Mohamammad Rochmat
Muhammad Dirgantara HR
Pembimbing :
dr. Luhu A. Tapeheru Sp. S
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN
Paraparese adalah terjadinya gangguan antara dua anggota gerak tubuh bagian
bawah.Hal ini terjadi karena adanya efek antara sendi facet superior dan inferior
penderita tidak menunjukan gejala atau gejalanya hanya minimal, dan sebagian besar kasus
dengan tindakan konservatif memberikan hasil yang baik. Parapareses dapat terjadi pada
semua level vertebrata, tapi yang paling sering terjadi pada vertebrata lumbal bagian bawah
(Iskandar,2006).
Kasus cidera pada tulang vertebra sekitar 70% karena trauma dan kurang lebih
setengahnya termasuk cedera pada vertebra, sekitar 50% dari kasus trauma dikarenakan oleh
10%mayoritas dari kasus trauma di temukan adanya fraktur atau dislokasi, kurang dari 25%
Permasalahan yang sering terjadi akibat cidera tulang belakang terutama paraparese
yaitu impairment seperti penurunan kekuatan otot pada ke dua ekstremitas bawah sehingga
potensi terjadi kontraktur otot, keterbatasan LGS, decubitus, dan penurunan atau gangguan
sensasi. Fungsional limitation seperti adanya gangguan fungsional dasar seperti gangguan
miring, duduk dan berdiri serta gangguan berjalan, dan disability yaitu ketidakmampuan
melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan. Pasien yang terkena penyakit
paraparese akan mengalami kelemahan pada bagian anggota gerak tubuh bagian bawah,
pasien akan mengalami kelumpuhan, contohnya sulit berjalan, sulit melakukan aktifitas
sehari-hari, nyeri di bagian ekstremitas bawah dan goyah atau mudah terjatuh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tulang belakang atau vertebra adalah susunan tulang beraturan dan terdapat 33 tulang
punggung pada manusia, 7 tulang cervical, 12 tulang thorax (thoraks atau dada), 5 tulang
lumbal, 5 tulang sacral, dan 4 tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Tulang punggung
terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri dari badan tulang atau corpus
Medula spinalis berfungsi sebagai pusat refleks spinal dan juga sebagai jaras
konduksi impuls dari atau ke otak. Medula spinalis terdiri dari substansia alba
(serabut saraf bermielin) dengan bagian dalam terdiri dari substansia grisea
(jaringan saraf tak bermielin). Substansia alba berfungsi sebagai jaras konduksi
impuls aferen dan eferen antara berbagai tingkat medulla spinalis dan otak.
Substansia grisea merupakan tempat integrasi refleks-refleks spinal.
Pada penampang melintang, substansia grisea tampak menyerupai huruf H
capital, kedua kaki huruf H yang menjulur ke bagian depan tubuh disebut kornu
anterior atau kornu ventralis, sedangkan kedua kaki belakang dinamakan kornu
posterior atau kornu dorsalis.
Kornu ventralis terutama terdiri dari badan sel dan dendrit neuron-neuron motorik
eferen multipolar dari radiks ventralis dan saraf spinal. Sel kornu ventralis (lower
motor neuron) biasanya dinamakan jaras akhir bersama karena setiap gerakan
(baik yang berasal dari korteks motorik serebral, ganglia basalis atau yang
timbul secara refleks dari reseptor sensorik) harus diterjemahkan menjadi suatu
kegiatan atau tindakan melalui struktur tersebut.
Kornu dorsalis mengandung badan sel dan dendrit asal serabut-serabut
sensorik yang akan menuju ke tingkat SSP lain sesudah bersinaps dengan serabut
sensorik dari saraf-saraf sensorik.
Substansia grisea juga mengandung neuron-neuron internunsial atau neuron
asosiasi, serabut eferen sistem saraf otonom, serta akson-akson yang berasal dari
berbagai tingkatan SSP. Neuron internunsial menghantar impuls dari satu neuron
ke neuron lain dalam otak dan medulla spinalis. Dalam medulla spinalis neuron-
neuron internunsial mempunyai banyak hubungan antara satu dengan yang lain,
dan hanya beberapa yang langsung mempersarafi sel kornu ventralis. Hanya
sedikit impuls saraf sensorik yang masuk ke medulla spinalis atau impuls motorik
dari otak yang langsung berakhir pada sel kornu ventralis (lower motor neuron).
Sebaliknya, sebagian besar impuls mula-mula dihantarkan lewat sel-sel
internunsial dan kemudian impuls tersebut mengalami proses yang sesuai,
sebelum merangsang sel kornu anterior. Susunan seperti ini memungkinkan
respons otot yang sangat terorganisasi.
Gambar 3: Peta Dermatom Sistem Sensori Saraf
DESCENDENS
Kortikospinalis
Kortikospinalis lateralis Traktus piramidalis membawa impuls untuk
pengendalian voluntar otot ekstremitas
Kortikospinalis ventralis Traktus piramidalis membawa impuls untuk
pengendalian voluntar otot tubuh
c. Pusat kesadaran
Susunan ekstrapiramidal berfungsi untuk gerak otot dasar / gerak otot tonik,
pembagian tonus secara harmonis, mengendalikan aktifitas pyramidal.
ini, istilah paraparese umumnya dipakai untuk semua keadaan kelemahan kedua tungkai,
2.4 Klasifikasi
1. Paraparesis Spastik
2.4 Etiologi
Etiologi dari paraparese diantaranya adalah genetik, infeksi dan virus dan
faktor lingkungan. Selain itu Paraparese juga dapat disebabkan oleh tumor yang
menekan medulla spinalis, baik primer maupun skunder. Juga dapat disebabkan oleh
kelainan vascular pada pembuluh darah medulla spinalis, yang bisa berujung pada
juga dapat terjadi hilang timbul tergantung penyebabnya. Kelumpuhan yang terjadi tidak
hanya di kedua tungkai, namun juga terjadi pada otot di daerah panggul termasuk organ di
terhadap buang air besar dan buang air kecil. Aktivitas seksual dan kesuburan juga dapat
terganggu. Selain kelumpuhan, kedua tungkai dapat mati rasa atau malah menjadi
2.5 Patofisiologi
kortikospinalis lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN (Upper Motor Neuron) pada
toto-otot bagian tubuh yang terletak dibawah tingkat lesi. Lesi transversal medulla spinalis
pada tingkat servikal, Beberapa saraf di leher termasuk saraf oksipital besar dan kecil, saraf
supraklavikularis dan nervus frenikus. Pengelompokan saraf dalam tulang belakang leher
diberi nama setelah mencocokkan cakram serviks. Cakram atau (disk) ini diwakili oleh
huruf “C” dan angka sesuai dengan lokasi cakram antara vertebra lainnya yang membentuk
tulang belakang leher, dimulai dengan C1 di bagian atas dan bekerja turun ke C8. Saraf di
leher mengontrol berbagai fungsi tubuh manusia misalnya saraf C5 dapat mengakibatkan
kelumpuhan UMN (Upper Motor Neuron) pada otot-otot, kedua lengan yang berasal dari
C8, lalu otot-otot toraks dan abdomen serta seluruh otot-otot kedua ekstremitas. Akibat
terputusnya lintasan somatosensory dan lintas autonom neuro vegetative asendens dan
desendens, maka dari tingakat lesi kebawah, penderita tidak dapat melakukan buang air
lumbal atas mengakibatkan kelumpuhan yang pada dasarnya serupa dengan lesi yang
terjadi pada daerah servikal yaitu pada tingkat lesi terjadi gangguan motoric berupa
kelumpuhan LMN (Lower Motor Neuron) pada otot-otot yang merupakan sebagian kecil
dari otot-otot toraks dan abdomen, namun kelumpuhan yang terjadi tidak begitu jelas
terlihat dikarenakan peranan dari otot-otot tersebut kurang menonjol, hal ini dikarenakan
lesi dapat mengenai kornu anterior medulla spinalis. Dan dibawah tingkat lesi dapat terjadi
gangguan motorik berupa kelumpuhan UMN (Upper Motor Neuron) karena saraf
2.6 Komplikasi
1. Ulkus decubitus yaitu luka yang terjadi pada kulit yang terus tertekan akibat
tidak
4. Depresi.
infark, haemoragik.
1. Farmakologi
Baehr, Mathias & Frotscher, Michael. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS.
Jakarta : EGC, hal. 59
Mardjono, Mahar, Prof, dr. 2004. Neurologi klinis dasar. Jakarta : Dian Rakyat,
hal. 37-40
Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta:
EGC, 2012