Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN PARAPARESE

DI RUANGAN MAWAR RSUD UNDATA PALU

Oleh :

RIWAN RAGOMPI
NIM. 2020032076

CI LAHAN CI INSTITUSI

Ns. Nova Ningsih, S.Kep Ns. Ardin S Hentu,M.Kep

POGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYANUSANTARA PALU

TAHUN 2021
A. Definisi
Paraparese adalah kelemahan otot kedua ekstremitas bawah pada fungsi motorik
dan sensorik pada segmen torakal, lumbal atau sacral medulla spinalis (Sudoyo,
2009). Paraplegia adalah cedera saraf tulang belakang yang disebabkan karena
kecelakaan yang merusak sensorik dan fungsi motorik di  bagian tubuh.
Paraplegia mengalami kelumpuhan pada kedua tungkai kaki dan mati rasa pada
bagian perut hingga ujung kaki akibat cedera pada sumsum tulang belakang. Para
penderita paraplegia juga memiiki masalah lain seperti impotensia, BAK, BAB,
selain itu emosional, depresi, dan stres karena mereka tidak bisa berjalan lagi.
Perbedaan kuadraplegi, paraplegia, tetraplegia, paralisis dan parese. (Kowalak,
2011).
1. Kuadriplegik mengacu pada kehilangan gerakan dan sensasi pada keempat
ekstremitas dan badan yang dikaitkan dengan cedera pada medulla spinalis
cervikalis.
2. Paraplegia mengacu pada kehilangan gerak dan sensasi ekstremitas bawah dan
semua atau sebagian badan sebagai akibat cedera pada torakal, lumbal atau sacral.
3. Paralisis merupakan hilangnya kekuatan untuk memindahkan
tubuh berhubungan dengan injury atau penyakit pada syaraf yang mengatur otot
dalam melakukan perpindahan tubuh.
4. Plegia yaitu kehilangan kekuatan.
5. Paresis yaitu kelemahan yang berarti pada otot yang terkena
6. Paraparese yaitu kelemahan tonus otot pada ekstremitas bawah.
7. Tetraparese yaitu kelemahan tonus otot yang melibatkan salah satu segmen
servikal medulla spinalis dengan disfungsi kedua lengan dan kedua kaki.
B. Anatomi Fisiologi 

1. Anatomi
Tulang belakang atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang membentuk
punggung yang mudah digerakkan. Terdapat 33 tulang punggung pada manusia, 7
tulang cervical, 12 tulang thorax (thoraks atau dada), 5 tulang lumbal, 5 tulang
sacral, dan 4 tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Sebuah tulang punggung
terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri dari badan tulang atau
corpus vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae. Medula
spinalis mulai dari akhir medulla oblongata di foramen magnum sampai konus
medullaris di level Tulang Belakang L1-L2. Medulla Spinalis berlanjut menjadi
Kauda Equina (di Bokong) yang lebih tahan terhadap cedera.

Medula spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yang mempunyai hubungan


istemewa, yaitu arteri spinalis dan arteri radikularis. Arteri spinalis dibagi
menjadi arteri spinalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri vertebralis,
sedangkan arteri radikularis dibagi menjadi arteri radikularis
 posterior dan anterior yang dikenal juga ramus vertebromedularis arteria
interkostalis. Medula Spinalis disuplai oleh arteri spinalis anterior dan arteri
spinalis posterior. Nervus spinalis/akar nervus yang berasal dari 4 acral 4
spinalis melewati suatu lubang di vertebra yang disebut foramen dan membawa
informasi dari spinalis sampai ke bagian tubuh dan dari tubuh ke otak.
2. Fisiologis
Ada 31 pasang nervus spinalis dan dibagi dalam empat kelompok nervus spinalis,
yaitu :
a. Nervus servikal : berperan dalam pergerakan dan perabaan pada lengan, leher,
dan anggota tubuh bagian atas
b.  Nervus thorak : mempersarafi tubuh dan perut
c. Nervus lumbal dan nervus sacral : mempersarafi tungkai, kandung kencing,
usus dan genitalia.
Susunan neuromuskular terdiri dari Upper Motor Neuron (UMN) dan Lower
Motor Neuron (LMN). UMN merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang
menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik cerebrum sampai inti-
inti motorik di saraf kranial di batang otak sampai cornu anterior medulla
spinalis. Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi
dalam susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal.
Susunan piramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan traktus
kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya untuk geraakan-gerakan otot
kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal fungsinya untuk gerakan-
gerakan otot tubuh dan anggota gerak. Sedangkan lower motor neuron (LMN),
yang merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari cornu anterior
medulla spinalis sampai ke efektor dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh
seseorang.
Dari otak medula spinalis turun ke bawah kira-kira ditengah punggung dan
dilindungi oleh cairan jernih yaitu cairan serebrospinal. Medula spinalis
terdiri dari berjuta-juta saraf yang mentransmisikan informasi elektrik dari dan ke
ekstremitas, badan, oragan-organ tubuh dan kembali ke otak. Otak dan medula
spinalis merupakan sistem saraf pusat dan yang mehubungkan saraf- saraf
medula spinalis ke tubuh adalah sistem saraf perifer. Medula spinalis terdiri atas
traktus ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti
rangsang raba, suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang
membawa informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh).
Motorneuron dengan aksonnya merupakan satu-satunya saluran bagi
impuls motorik yang dapat menggerakkan serabut otot. Bilamana terjadi
kerusakan pada motorneuron, maka serabut otot yang tergabung dalam unit
motoriknya tidak dapat berkontraksi, kendatipun impuls motorik masih dapat
disampaikan oleh sistem pyramidal dan ekstrapiramidal kepada tujuannya.

 Upper Motor Neuron (UMN) 


Merupakan neuron-neuron yang menyalurkan impuls motoric pada bagian
perjalanan terakhir (dari kornuanterior medulla spinalis) ke sel otot skeletal
(final common pathway motoric impuls). Lower Motor Neuron dibagi
menjadi:

1. α-motoneuron akson tebal, menyalurkan impuls ke serabut otot ekstrafusal


2. γ-motoneuron akson halus, menyalurkan impuls ke serabut otot intrafusal
 Tiap motorneuron menjulurkan 1 akson yang bercabang-cabang dan
tiap cabangnya mensarafi seutas serabut otot. Otot untuk gerakan
tangkas terdiri dari banyak unit motoric yang kecil-kecil, sedangkan
otot untuk gerakan sederhana terdiri dari kesatuan motoric besar
berjumlah sedikit.

 Pola impuls motorik dari lintasan pyramidal menyalurkan impuls ke


system output striatal extrapyramidal, fungsinya untuk
menggalakkan/menghambat α-γ-motoneuron. Bila hubungan antara
UMN dan LMN diputus, motoneuron masih bisa menggerakkan otot,
akan tetapi gerakannya tidak sesuai dan cenderung reflektorik,
massif. Namun bila motoneuronnya yang rusak, impuls tetap
disampaikan, namun otot yang terhubungan tidak bisa digerakkan
sehingga menimbulkan atrofi otot
C. ETIOLOGI
Penyebab paraparese menurut Smeltzer (2014) adalah sebagai berikut:
 Faktor trauma tulang belakang, paling banyak terjadi karena
jatuh dari ketinggian.
 Faktor infeksi myelin
 Tumor atau neoplasma pada medulla spinalis
 Abses tuberculosa
 Spina bifida thoracoumbal
 Proses degenerasi medulla spinalis.

D. PATOFISIOLOGI
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien s
embuhsempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salahsatu
atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla (membuat pasien paralisis). Bila
hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes keekstradul subdural
atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada
cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur (Sudoyo, 2009).
Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya inisaja tetapi proses
patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cidera medulla spinalis akut. Suatu
rantai sekunder kejadian- kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia,edema, lesi,
hemorargi. Cidera medulla spinalis dapat terjadi pada lumbal 1-5.
Lesi 11 – 15 : kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat paha dan bagian dari
bokong.
Lesi L2 : ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha.
Lesi L3 : Ekstremitas bagian bawah.
Lesi L4 : Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha.
Lesi L5 : Bagian luar kaki dan pergelangan kaki.
E. PATHWAY

Trauma medulla spinalis, infeksi myelin,


trauma medulla spinalis

Lesi mendesak medulla spinalis

Merusak daerah jaras kortikospinalis lateral

Kelumpuhan UMN pada otot-otot bagian


tubuh yang terletak dibawah tingkat lesi

T2-T4: kelumpuhan anggota gerak bawah, hilangnya rasa pada kedua putting susu
T5-T8: kelumpuhan pada anggota gerak bagian bawah dan kehilangan rasa pada daerah
tulang dada
T9-T11: Kelumpuhan pada kaki dan kehilangan rasa pada daerah umbilicus
T12-L1: Kelumpuhan pada daerah dibawah paha
L2-L5: kelumpuhan pada keldua kaki S1-S2: Kelumpuhan pada kedua kaki
S3-S5: Kehilangan kontrol pada kandung kemih dan usus. Kehilangan sensasi pada daerah
perineum

Hambatan mobilitas fisik


Retensi urin Konstipasi
Disfungsi seksual
Kerusakan Integritas Kulit Ketidakefektifan koping
F. MANIFESTASI KLINIS
Nurarif (2013) menjelaskan bahwa lesi yang terjadi pada medulla spinalis dapat
menimbulkan gejala klinis:
1. Gangguan fungsi motoric
a) Lesi pada medulla spinalis merusak kornu anterior medulla spinalis sehingga
menimbulkan kelumpuhan LMN pada otot-otot yang dipersyarafi oleh kelompok
motoneuron ynag terkena lesi dan menyebabkan nyeri punggung yang terjadi
secara tiba-tiba.
b) Gangguan motoric dibawah lesi: dapat terjadi kelumpuhan UMN karena jaras
kortikospinal lateral segmen thorakal terputus. Gerakan reflex tertentu yang
tidak dikendalikan oleh otak akan tetap utuh atau bahkan meningkat. Misalnya,
reflex lutut tetap ada dan bahkan meningkat. Meningkatnya reflex ini
menyebabkan kejang tungkai..
1. Gangguan fungsi sensorik
Karena lesi total juga merusak kornu posterior medulla spinalis maka akan terjadi
penurunan atau hilang fungsi sensitabilitas di bawah lesi. Penderita tidak dapat
merasakan adanya rangsangan taktil, rangsang nyeri, rangsang thermal.
2. Gangguan fungsi autonomy karena terputusnya jaras ascenden spinothalamicus maka
penderita kehilangan kontrol vesika urinaria dan kehilangan kontrol saat defekasi
(disfungsi kandung kemoh dan usus).

G. KOMLIKASI
Mansjoer (2009) menjelaskan bahwa komplikasi yang dapat muncul akibat dari
paraparese adalah :

1. Gangguan penghubung dari lokasi pusat hambatan yang lebih tinggi di otak.

2. Infeksi dan sepsis dari berbagai sumber meliputi saluran kemih, saluran
pernapasan dan decubitus.
H. PEMRIKSAAN DIAGNOSTIK

Mansjoer (2009) menjelaskan bahwa pemeriksaan penunjang untuk


mengetahui penyebab dari paraparese adalah:
a. Pemeriksaan Laboratorium
b. Hematologi
1) Hemoglobin dapat menurun karena destruksi sum-sum tulang vertebra atau
perdarahan. Peningkatan leukosit menandakan selain adanya infeksi juga karena
kematian jaringan.
2) Kimia klinik: fungsi pembekuan darah sebelum terapi antikoagulan.
3) Juga dapat terjadi gangguan elektrolit karena terjadi gangguan dalam fungsi
perkemihan dan fungsi gastrointestinal.
c. Radiognostik
1) CT Scan untuk melihat adanya edema, hematoma, iskemia dan infark
2) MRI menunjukkan daerah yang mengalami fraktur, infark hemoragik.
3) Rontgen menunjukkan daerah yang mengalami fraktur dan kelainan tula

I. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan cedera medulla spinalis menurut Mansjore (2009) antara lain:


1. Penanganan awal cedera medulla spinalis, yaitu:

1) Mempertahankan usaha bernapas

2) Mencegah syok

3) Imobilisasi leher (neck collar dan long spine board

Selain itu, fokus selanjutnya adalah mempertahankan tekanan darah dan


pernapasan, stabilisasi leher, mencegah komplikasi (retensi urine atau alvi,
komplikasi kardiovascular atau respiratorik, dan thrombosis vena-vena profunda)
2. Penanganan lanjut trauma medulla spinalis dapat dilakukan dengan:

a) Farmakoterapi

Pemberian kortikosteroid dosis tinggi, khususnya metilprednisolon, telah


ditemukan unruk memperbaiki prognosis dan mengurangi kecacatan bila
diberikan dalam 8 jam cedera.

b) Hipotermia

Teknik pendinginan atau penyebaran hipotermia ke daerah cedera dari medulla


spinalis, untuk mengatasi kekuatan autodestruktif yang mengikuti tipe cedera ini,
cara ini keefektifannya masih diselidiki.
c) Tindakan pernapasan

Oksigen diberikan untuk mempertahankan PO2 arteri tinggi, karena anoksemia


dapat menimbulkan atau memperburuk deficit neurologic medulla spinalis.
Intubasi endotrakea diberikan bila perlu, perawatan ekstrem dilakukan untuk
menghindari fleksi atau ekstensi leher, yang dapat menimbulkan tekanan pada
cidera servikal diaphragma pacing (stimulasi listrik terhadap saraf frenik) dapat
dipertimbangkan unituk pasien dengan lesi servikal tinggi tetapi biasanya
dilakukan setelah fase akut.

1) Traksi dan Reduksi skelet

Penatalaksanaan cidera medulla spinalis memerlukan imobilisasi dan reduksi


dislokasi (memperbaiki posisi normal) dan stabilisasi kolum vertebra.

2) Fraktur servikal dikurangi dan spinal servikal disejajarkan dengan beberapa


bentuk traksi seklet seperti tong seklet atau callipers, atau dengan
menggunakan alat halo.

3) Intervensi pembedahan, pembedahan diindikasikan bila :

1. Deformitas pasien tidak dapat dikurangi dengan traksi


2. Tidak ada kestabilan tulang servikal

3. Cedera terjadi pada daerah toraks atau lumbal

4. Status neurologic pasien memburuk.

Pembedahan dilakukan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi


atau dekompresi medulla. Laminektomi (eksisi cabang posterior dan prossesus
spinosus vertebra) diindikasikan pada adanya defisit neurologic progresif,
dicurigai adanya hematoma epidural, atau cedera penetrasi yang memerlukan
debridemen pembedahan, atau memungkinkan visualisasi langsung dan eksplorasi
medulla.

Penderita menghadapi ketidakmampuan fisik sepanjang hidup sehingga


memerlukan tindak lanjut dan perawatan terus menerus dari professional
kesehatan seperti psikiatris, perawat rehabilitasi, ahli terapi okupasi.

3. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Potter & Perry (2009), pasien dengan paraparese perlu dilakukan ROM.
ROM terdiri dari gerakan pada persendian sebagai berikut :
1. Leher, Spina, Servikal

Gerakan Penjelasan Rentang


Fleksi Menggerakan dagu menempel ke dada, rentang 45°
Ekstensi Mengembalikan kepala ke posisi tegak, rentang 45°
Hiperektensi Menekuk kepala ke belakang sejauh rentang 40-
mungkin, 45°
Fleksi lateral Memiringkan kepala sejauh mungkin rentang 40-
sejauh mungkin kearah setiap bahu, 45°
Rotasi Memutar kepala sejauh mungkin dalam rentang
gerakan sirkuler, 180°
2. Bahu

Gerakan Penjelasan Rentang


Fleksi Menaikan lengan dari posisi di samping rentang
tubuh ke depan ke posisi di atas kepala, 180°
Ekstensi Mengembalikan lengan ke posisi di rentang
samping tubuh, 180°
Hiperektensi Mengerkan lengan kebelakang tubuh, rentang 45-
siku tetap lurus, 60°
Abduksi Menaikan lengan ke posisi samping di rentang
atas kepala dengan telapak tangan jauh 180°
dari kepala,
Adduksi Menurunkan lengan ke samping dan rentang
menyilang tubuh sejauh mungkin, 320°
Rotasi dalam Dengan siku pleksi, memutar bahu rentang 90°
dengan menggerakan lengan sampai ibu
jari menghadap ke dalam dan ke
belakang,
Rotasi luar Dengan siku fleksi, rentang 90°
menggerakan
lengan sampai ibu jari ke atas dan
samping kepala,
Sirkumduksi Menggerakan lengan dengan lingkaran rentang
penuh, 360°

3. Siku

Gerakan Penjelasan Rentang


Fleksi Menggerakkan siku sehingga lengan rentang
bahu bergerak ke depan sendi bahu dan 150°
tangan sejajar bahu,
Ektensi Meluruskan siku dengan menurunkan rentang
tangan, 150°

4. Lengan bawah

Gerakan Penjelasan Rentang


Supinasi Memutar lengan bawah dan tangan rentang 70-
sehingga telapak tangan menghadap ke 90°
atas,
Pronasi Memutar lengan bawah sehingga rentang 70-
telapak tangan menghadap ke bawah, 90°

5. Pergelangan tangan
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menggerakan telapak tangan ke sisi rentang 80-
bagian dalam lengan bawah, 90°
Ekstensi Mengerakan jari-jari tangan sehingga rentang 80-
jari-jari, tangan, lengan bawah berada 90°
dalam arah yang sama,
Hiperekstensi Membawa permukaan tangan dorsal ke rentang 89-
belakang sejauh mungkin, 90°
Abduksi Menekuk pergelangan tangan miring ke rentang 30°
ibu jari,
Adduksi Menekuk pergelangan tangan miring ke rentang 30-
arah lima jari, 50°

6. Jari- jari tangan

Gerakan Penjelasan Rentang


Fleksi Membuat genggaman, rentang 90°
Ekstensi Meluruskan jari-jari tangan, rentang 90°
Hiperekstensi Menggerakan jari-jari tangan ke rentang 30-
belakang sejauh mungkin, 60°
Abduksi Mereggangkan jari-jari tangan yang rentang 30°
satu dengan yang lain,
Adduksi Merapatkan kembali jari-jari tangan, rentang 30°

7. Ibu jari

Gerakan Penjelasan Rentang


Fleksi Mengerakan ibu jari menyilang rentang 90°
permukaan telapak tangan,
Ekstensi menggerakan ibu jari lurus menjauh rentang 90°
dari tangan,
Abduksi Menjauhkan ibu jari ke samping, rentang 30°
Adduksi Mengerakan ibu jari ke depan tangan, rentang 30°
Oposisi Menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari
-
tangan pada tangan yang sama.

8. Panggul

Gerakan Penjelasan Rentang


Fleksi Mengerakan tungkai ke depan dan rentang 90-
atas, 120°
Ekstensi Menggerakan kembali ke samping rentang 90-
tungkai yang lain, 120°
Hiperekstensi Mengerakan tungkai ke belakang rentang 30-50°
tubuh,
Abduksi Menggerakan tungkai ke samping rentang 30-50°
menjauhi tubuh,
Adduksi Mengerakan tungkai kembali ke
posisi media dan melebihi jika rentang 30-50°
mungkin,
Rotasi Memutar kaki dan tungkai ke arah
rentang 90°
dalam tungkai lain,
Rotasi luar Memutar kaki dan tungkai menjauhi
rentang 90°
tungkai lain.
Sirkumduksi Menggerakan tungkai melingkar -

9. Lutut

Gerakan Penjelasan Rentang


Fleksi Mengerakan tumit ke arah belakang rentang 120-
paha, 130°
Ekstensi Mengembalikan tungkai kelantai, rentang 120-
130°

10. Mata kaki

Gerakan Penjelasan Rentang


Dorsifleksi Menggerakan kaki sehingga jari-jari rentang 20-30°
kaki menekuk ke atas,
Plantarfleksi Menggerakan kaki sehingga jari-jari rentang 45-50°
kaki menekuk ke bawah,

11. Kaki

Gerakan Penjelasan Rentang


Inversi Memutar telapak kaki ke samping rentang 10°
dalam,
Eversi Memutar telapak kaki ke samping rentang 10°
luar,

12. Jari-jari kaki

Gerakan Penjelasan Rentang


Fleksi Menekukkan jari-jari kaki ke bawah, rentang 30-60°
Ekstensi Meluruskan jari-jari kaki, rentang 30-60°
Abduksi Menggerakan jari-jari kaki satu rentang 15°
dengan yang lain,
Adduksi Merapatkan kembali bersama-sama, rentang 15°

J. ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Data – data yang sering muncul saat dilakukannya pengkajian pada pasien dengan
paraparese, anatara lain (Nurarif, 2013):
2. Riwayat

a. Keluhan Utama

Biasanya didapatkan laporan kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas,


inkontinensia defekasi dan berkemih
b. Riwayat Kesehatan Sekarang

Biasanya terjadi riwayat trauma, pengkajian yang didapat meliputi hilanya


sensibilitas, paralisis, ileus paralitik, retensi urine, hilangnya refleks
c. Riwayat Penyakit Dahulu

Adanya riwayat infeksi, tumor, cedera tulang belakang, DM, jantung, anemia,
obat antikoagulan, alkohol.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat kelurga dengan penyakit yang sama.
3. Pola Gordon

a. Aktifitas / Istirahat

Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan
umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
b. Sirkulasi

Hipotensi, Hipotensi postural, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.


c. Eliminasi

Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emesis berwarna
seperti kopi tanah /hematemesis.
d. Integritas Ego

Takut, cemas, gelisah, menarik diri.

e. Makanan /cairan

f. Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)

g. Higiene

Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)


h. Nyeri /kenyamanan

Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.

i. Pernapasan

Pernapasan dangkal, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki,


pucat, sianosis.
j. Keamanan
Suhu yang berfluktuasi, jatuh.
4. Periksaan fisik
Pasien dengan paraparese akan timbul randa dan gejala pada bagian
neurosensorinya (Sudoyo, 2009). Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
fisik pada :
a. Kesadaran: GCS
b. Fungsi motorik: Kelumpuhan, kelemahan
c. Fungsi sensorik: Kehilangan sensasi / sensibilitas.
d. Refleks fisiologis: Kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon
dalam. Kehilangan tonus otot /vasomotor.

Skala
Tingkat Fungsi Otot %
Tingkat Skala Lovett
Normal
Tidak ada kontraktilitas 0 0 0 (nol)
Kontraktilitas ringan, tidak 1 10 T
ada gerakan (trace/mimimal)
Rentang gerak penuh, 2 25 P (poor/buruk)
tanpa gravitasi

Rentang gerak penuh, 3 50 F (fair/cukup)


dengan gravitasi
Rentang gerak penuh, 4 75 G (good/baik)
melawan gravitasi, terdapat sedikit
tahanan
Rentang gerak penuh, 5 100 N (normal)
melawan gravitasi, tahanan penuh

Refleks patologis: reflek patologis ynag sering diperiksa adalah ekstensor plantar respons
atau reflek Babinski.
Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena
pengaruh trauma spinal.

5. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan paraparese


antara lain (Nurarif, 2013):
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakmampuan
berjalan
2. Retensi Urin berhubungan dengan cedera medulla spinalis
3. Konstipasi berhubungan dengan gangguan neurologis
4. Disfungsi seksual berhubungan dengan gangguan neurologis
5. Ketidakefektifan koping berhubungan dengan ketidakmampuan
beradaptif dengan situasi yang dialami.
A. Intervensi Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN RENCANA KEPERAWATAN
1 Hambatan mobilitas Setelah dilakukan tindakan Lower Extremity Monitoring
fisik berhubungan keperawatan selama 3x24 jam, pasien 1. Inspeksi hyiene kulit
dengan mampu melakukan mobilisasi secara 2. Kaji adanya edema pada ekstremitas
ketidakmampuan bertahap dengan kriteria: 3. Kaji kuku terhadap adanya penebalan jamur
berjalan Joint Movement: 4. Kaji warna kulit, suhu, hidrasi, tekstur
Pasien mampu melakukan ROM 5. Kaji status mobility misalnya berjalan tanpa
secara pasif atau aktif dengan pendamping, atau menggunakan alat bantu atau
melakukan gerakan fleksi, ekstensi, tidak bisa berjalan atau menggunakan kursi roda.
hiperekstensi, abduksi, adduksi, 6. Inspeksi adanya kelaiann pada tungkai
rotasi dalam, rotasi luar, gerakan 7. Kaji capilar refill time
memutar. 8. Kaji reflex tendon

Body Mechanics Perfomance: Exercise Therapy: Joint Mobiltity


Mempertahankan kekuatan otot 1. Kaji adanya keterbatasan pergerakan sendi dan
yang normal kekuatan otot pasien
Mempertahankan fleksibilitas 2. Jelaskan kepada pasien dan kelaurga tentang
sendi yang normal pentingnya latihan
3. Kaji dan pantau areaynag nyeri selama
melakukan latihan ROM aktif
4. Lindungi pasien dari cedera selamaalatihan
5. Lakukan ROM paif atau aktif sesuai kemampuan
pasien
6. Tentukan jadwal melakukan latihan ROM
7. Libatkan keluarga dalam latihan
8. Kaji respon pasie setelah melakukan latihan ROM
9. Beri pujian setiap tindakan yang dilakuakn pasien.
2 Retensi urin 1. setelah dilakukan tindakan Self care Assistence : Toileting
berhubungan dengan keprawatan salaam 3x24 jam 1. Sediakan alat bantu untuk berkemih (misal : kateter).
gangguan diharapkan pasien dapat 2. Monitor integritas kulit pasien terutama di daerah bokong.
neuromuskular mengontrol pola berkemih
dengan kriteria: Urinary Catheterization (0580)
Urinary Elimination 1. Jelaskan prosedur dan rasional dilakukan pemasangan
Pola eliminasi urun kembali kateter.
normal seperti semula. 2. Siapkan alat alat pemasangan kateter.
3. Pertahankan teknik aseptic.
4. Gunakan kateter yang paling kecil.
5. Hubungkan kateter dengan drainase bag.
6. Amankan atau rekatkan kateter di kulit.
7. Monitor intake dan output.

Tube Care : Urinary (1876)


1. Pertahankan system drainase kateter tertutup.
2. Bersihkan kulit disekitar area pemasangan kateter.
3. Bersihkan saluran kateter bagian luar disekitar meatus.
4. Atur posisi pasien dan saluran kateter untuk meningkatkan
drainase urin.
5. Kosongkan urin bag bila penuh.
6. Monitor distensi bladder.
7. Buka kateter sesegara mungkin bila pasien sudah dapat
berkemih dengan normal.

Urinary Bladder Training


1. Tentukan interval pertama pasien untuk berkemih.
2. Tentukan jadwal untuk memulai dan mengakhiri proses
berkemih.
3. Tentukan interval berkemih jika tidak dalam waktu 1
jam lebih baik jika kurang dari 2 jam.
4. Ingatkan pasien untuk berkemih sesuai dengan jadwal
yang ditentukan.

3 Konstipasi 2. Setelah dilakukan tindakan Bowel management


berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam 1. catat kapan terakhir BAB
gangguan Bowel Elimination 2. Kaji pergerakan bowel seperti frekuensi,,
neuromuscular 1.Pola eliminasi teratur konsistensi, volume, warna
2.Pasien mengontrol eliminasi 3. berikan informasi tentang manfaat makan makanan
bowel yang banyak mengandung serat
3.konsistensi feces lemberk serta 4. Berikan retal suppositoria
warna feces normal 5. Beriakn air hangat setelah makan
4.Otot sfingter ani normal seperti 6. pastikan cairan yang diminum cukup sesuai kebutihan tubuh
semua

4 Disfungsi seksual Setelah dilakuakan tindakan Sexual Counseling


berhubungan dnegan keperawatan seama 3x24 jam 1. Diskusika tentang dampak trauma yang
gangguan neurologis pasien dapat mempertahankan dialami terhadap pola seksualiats
pola seksualitas yang normal 2. Dukung pasien dalam menyampaiakn
dengan kriteria ketakutannya terhadap perasalah seksualitas
3. Gunakan humor atau dukung pasien dengan hal
Sexual Functioning yang lucu untuk mengurangi kecemasan yang
dialami
1. Menggunakan alata bantu
sesuai kebutuhan
2. Melakukan aktifitas seksual
dengan partner seperti
sebelumnya.
5 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Coping enhancement
koping keperawatan selama 3x24 jam, 1. Kaji pengaruh masalah yang dialmi terhadap
berhubungan pasien dapat memiliki harapan yang situasi pasien saat ini
dnegan positif terhadap truma yang dialami 2. Dukung pasien untuk menjelaskan perubahan
ketidakmamapuan dengan kriteria: peran yang dialami
beradapatasi 3. Lakukan pendekatan yang tenang dan terapeutik
dengan situasi 4. Dengarkan keluhan pasien secara tenang.
yang dialami Pastiakn untuk tidak memotong pembuicaraan
dan bersifat menggurui pasien
5. Dukung pasien untuk mengemukakan harapan nya
6. Dukung pasien untuk mengemukakan
kemampouan yang dimiliki.
7. Berikan pujian untuk setiap hal positif
yang dikemukakan pasien
8. Libatkan keluarga
DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo, Aru W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jarkarta: Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Smeltzer C, Suzanne, dan Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah

Brunner & Suddarth,

Edisi 8, Alih Bahasa Agung Waluyo. Jakarta: EGC Carpenito L. J. 2006. Rencana Asuhan

Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien

, Edisi 3. Jakarta: EGC Wilkinson, J. M. 2009. Buku Saku Diagnosis Keperawatan NANDA

NIC NOC, Edisi 9. Jakarta: EGC

NANDA International. 2009. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009- 2011.

Jakarta: EGC
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. R
DENGAN DIAGNOSA MEDIS PARAPARESE
DI RUANGAN MAWAR RSUD UNDATA PALU

Oleh :

RIWAN RAGOMPI
NIM. 2020032076

CI LAHAN CI INSTITUSI

Ns. Nova Ningsih, S.Kep Ns. Ardin S Hentu, M.Kep

POGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYANUSANTARA PALU
TAHUN 2021

Anda mungkin juga menyukai