PENDAHULUAN
Susunan neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan lower
motor neuron (LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf
motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-inti
motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu anterior.Berdasarkan perbedaan
anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam susunan piramidal dan susunan
ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan traktus
kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya untuk gerakan-gerakan otot kepala dan
leher, sedangkan traktus kortikospinal fungsinya untuk gerakan-gerakan otot tubuh
dan anggota gerak. Sedangkan lower motor neuron (LMN), yang merupakan
kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari batang otak, pesan tersebut dari otak
dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang.
Dari otak medula spinalis turun ke bawah kira-kira di tengah punggung dan
dilindungi oleh cairan jernih yaitu cairan serebrospinal. Medula spinalis terdiri dari
berjuta-juta saraf yang mentransmisikan informasi elektrik dari dan ke ekstremitas,
badan, oragan-organ tubuh dan kembali ke otak. Otak dan medulla spinalis
merupakan sistem saraf pusat dan yang mehubungkan saraf-saraf medulla spinalis
ke tubuh adalah sistem saraf perifer. Medula spinalis terdiri atas traktus
ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang raba,
suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang membawa informasi dari
otak ke anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh).
Kelemahan/ kelumpuhan parsial yang ringan/ tidak lengkap atau suatu kondisi
yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu disebut
dengan parese. Kelemahan adalah hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu atau
lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas bagian yang
terkena. Kelemahan/kelumpuhan yang mengenai keempat anggota gerak disebut
dengan tetraparese. Hal ini diakibatkan oleh adanya kerusakan otak,kerusakan tulang
belakang pada tingkat tertinggi (khususnya pada vertebracervikalis), kerusakan
sistem saraf perifer, kerusakan neuromuscular atau penyakitotot. Kerusakan diketahui
karena adanya lesi yang menyebabkan hilangnya fungsimotorik pada keempat
anggota gerak, yaitu lengan dan tungkai. Penyebab khas pada kerusakan ini adalah
trauma (seperti tabrakan mobil, jatuh atau sport injury) atau karena penyakit (seperti
mielitis transversal, polio, atau spina bifida).
Tetraparese berdasarkan topisnya dibagi menjadi dua, yaitu :
Tetraparesspastik yang terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron
(UMN),sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertoni dan tetraparese
flaksid yang terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor neuron
(LMN),sehingga menyebabkan penurunan tonus atot atau hipotoni.Tetraparese dapat
disebabkan karena adanya kerusakan pada susunan neuromuskular, yaitu adanya
lesi. Ada dua tipe lesi, yaitu lesi komplit dan inkomplit. Lesi komplit dapat
menyebabkan kehilangan kontrol otot dan sensorik secara total dari bagian di bawah
lesi, sedangkan lesi inkomplit mungkin hanya terjadi kelumpuhan otot ringan (parese)
dan atau mungkin kerusakan sensorik.
Ujung akhir dari medula spinalis disebut conus medularis yang letaknya di L1 danL2.
Setelah akhir medula spinalis, nervus spinalis selanjutnya bergabungmembentuk
cauda equina3,4.
Gambar 2. Hubungan nervus spinalis dengan vertebra
2.2 Definisi
2.2.1 Parese
Parese adalah kelemahan/kelumpuhan parsial yang ringan/tidak lengkap atau
suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu.
Kelemahan adalah hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu atau lebih
kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas bagian yang terkena.
Parese pada anggota gerak dibagi mejadi 4 macam, yaitu:
Monoparese adalah kelemahan pada satu ekstremitas atas atau ekstremitas
bawah.
Paraparese adalah kelemahan pada kedua ekstremitas bawah.
Hemiparese adalah kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas atas dan
satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
Tetraparese adalah kelemahan pada keempat ekstremitas.
2.2.2 Tetraparese
Tetraparese juga diistilahkan juga sebagai quadriparese, yang keduanya
merupakan parese dari keempat ekstremitas.”Tetra” dari bahasa yunani
sedangkan“quadra” dari bahasa latin. Tetraparese adalah kelumpuhan/kelemahan
yang disebabkan oleh penyakit atau trauma pada manusia yang menyebabkan
hilangnya sebagianfungsi motorik pada keempat anggota gerak, dengan
kelumpuhan/kelemahan lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan
tungkai. Hal ini diakibatkan oleh adanya kerusakan otak, kerusakan tulang belakang
pada tingkat tertinggi (khususnya pada vertebra cervikalis), kerusakan sistem saraf
perifer, kerusakan neuromuscular atau penyakit otot. Kerusakan diketahui karena
adanya lesi yang menyebabkan hilangnya fungsi motorik pada keempat anggota
gerak, yaitu lengan dan tungkai. Penyebab khas pada kerusakan ini adalah trauma
(seperti tabrakan mobil, jatuh atau sport injury) atau karena penyakit (seperti mielitis
transversal, polio, atau spina bifida).
Central cord syndrome (CCS) biasanya terjadi setelah trauma hiperekstensi. Sering terjadi pada
individu di usia pertengahan dengan spondilosiscervicalis. Predileksi lesi yang paling sering adalah
medula spinalis segmenservikal, terutama pada vertebra C4-C6. Sebagian kasus tidak ditandai oleh
adanya kerusakan tulang.Mekanisme terjadinya cedera adalah akibat penjepitanmedula spinalis oleh
ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteofit ataumaterial diskus dari anterior. Bagian medula
spinalis yang paling rentan adalahbagian dengan vaskularisasi yang paling banyak yaitu bagian sentral.
Pada Central Cord Syndrome, bagian yang paling menderita gaya trauma dapat mengalami nekrosis
traumatika yang permanen. Edema yang ditimbulkan dapat meluas sampai 1-2 segmen di bawah dan
di atas titik pusat cedera.
Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebihprominen pada
ekstremitas atas (tipe LMN) dibanding ektremitas bawah (tipeUMN). Pemulihan fungsi ekstremitas
bawah biasanya lebih cepat, sementara padaekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering
dijumpai disabilitasneurologik permanen. Hal ini terutama disebabkan karena pusat cedera palingsering
adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling hebat di medulaspinalis C6 dengan ciri LMN.
Gambaran klinik dapat bervariasi, pada beberapakasus dilaporkan disabilitas permanen yang unilateral
neurologis lokalis pada pasien cedera medula spinalis mengacu pada panduan dari American Spinal
Cord Injury Association/ AISA juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi.
Manifestasi klinisutama dari SGB adalah suatu kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neurondari
otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka.
Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB akantimbul autoantibodi atau
imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-sarafperifer. Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus,
sifilis ataupun trauma padamedula spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput
araknoid. Dinegara-negara tropik penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat
tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks ventralis(sekaligus radiks dorsalis). Karena
tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan,namun kebanyakan pada yang berkelompokan saja,
maka radiks-radiks yangdiinstrumensia servikalis dan lumbosakralis saja yang paling umum
dilandaproses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan LMN paling seringdijumpai pada
otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot di sekitar persendianbahu dan pinggul. Kelumpuhan
tersebut bergandengan dengan adanya defisitsensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota
gerak.
Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang dapatatau tanpa disertai
infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear. Sel-selinfiltrat terutama terdiri dari sel limfosit
berukuran kecil, sedang dan tampak pula,makrofag, serta sel polimorfonuklear pada permulaan
penyakit. Setelah itumuncul sel plasma dan sel mast. Serabut saraf mengalami degenerasi
segmentaldan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada segmen proksimal dan radiks spinalis atau tersebar
sepanjang saraf perifer. Predileksi pada radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya permeabilitas
antara darah dan saraf pada daerah tersebu.
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipelower motor neuron.
Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai darikedua ekstremitas bawah kemudian menyebar
secara asenden ke badan, anggotagerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat
anggota gerakdikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.Kelumpuhan
otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia.Biasanya derajat kelumpuhan otot-
otot bagian proksimal lebih berat dari bagiandistal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal
lebih berat dari bagianproksimal.
d) Miastenia Grafis
Miastenia grafis adalah penyakit neuromuskular yang menyebabkan ototskelet
menjadi lemah dan lekas lelah. Kelelahan/kelemahan ini disebabkan karenasirkulasi
antibodi yang memblok acetylcholine receptors pada post sinaptik neuromuscular
junction, stimulasi penghambatan ini berpengaruh pada neurotransmiter asetilkolin.
Manifestasi klinisnya dapat berupa kelemahan padaotot yang mengatur pergerakan
mata, kelemahan otot pada lengan dan tungkai,perubahan ekspresi wajah, disfagia,
dan disartria.
e) Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
Penyakit Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) adalah suatu kelainan yang
progresif dari sistem saraf yang banyak terjadi pada orang dewasa dengan penyakit
motoneuron. Kondisi tersebut menyebabkan degenerasi saraf motorikbagian atas
(brain) dan saraf motorik bagian bawah (spinal cord) dengankombinasi tanda upper
motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN).Penurunan kualitas saraf ini,
menyebabkan Kelemahan pada otot dan dapatberakhir pada kematian.
Proses degenerasi hanya menyerang pada neuron motorik, yaitu sel-selsaraf
yang mengatur pergerakkan otot. Akibat kelemahan itu, kemampuan tubuhuntuk
mengatur gerakan otot yang disadari akan hilang secara perlahan-lahan.Misalnya,
memegang, menjentik, menggaruk, dan sebagainya. Namun penyakitini tidak
mempengaruhi saraf sensoris (perasa) dan fungsi mental. Meskipunpenyebab pasti
ALS belum diketahui, teori yang dikenal saat ini menyatakan neurotransmiter
glutamat (suatu zat kimia yang menghantarkan impuls atau sinyal ke sel-sel saraf)
kemungkinan memegang peranan sebagai penyebabmatinya sel-sel saraf motorik.
Zat-zat kimia lainnya, seperti molekul radikal bebasdan kalsium kemungkinan juga ikut
terlibat.
Penyakit ALS mengakibatkan sistemneuromuscular tidak berfungsikarena
kedua saraf motorik penderita ALS telah rusak.Seiring berjalannyawaktu, penyakit
ALS menyebabkan saraf–saraf motorik yang berada di otak danbatang tubuh
mengecil, dan pada akhirnya menghilang. Akibatnya, otot – otottubuh tidak lagi
mendapat sinyal untuk bergerak. Karena otot yang berada dalamtubuh kehilangan
pemasok nutrisinya, sehingga otot–otot yang menjadi lebih kecildan melemah. Saraf-
saraf di dalam sistemneuromuscular yang memberi nutrisike otot-otot tersebut
terlokalisir, sehingga menyebabkan tumbuhnya jaringan yangrusak mengantikan
saraf–saraf yang normal.
Uncommon dyselectrolytemia complicating Guillain–Barré
syndrome
Aralikatte Onkarappa Saroja, Karkal Ravishankar Naik, and Mallikarjun S Khanpet1
Abstract
Go to:
Introduction
Hypokalemic paralysis and Guillain–Barré syndrome (GBS) are common differential
diagnoses in patients presenting with acute flaccid paralysis.[1] Urgent recognition of
hypokalemia is needed to prevent potentially lethal complications including cardiac
arrhythmias and respiratory insufficiency.[2] Hypokalemia can be caused by acquired or
inherited metabolic disorders of muscle ion channels and renal tubules.[2] Coexistence of
hypokalemia, hypomagnesemia, and hypocalciuria occurs in Gitelman syndrome (GS), an
inherited renal tubular disorder.[3] We document the coexistence of GBS with hypokalemia
and hypomagnesemia akin to GS.
Go to:
Case Report
A 41-year-old male presented with rapidly progressive symmetrical predominantly proximal
quadriparesis of 4 days duration with tingling paresthesiae in limbs for 2 days. Productive
cough for 2 days without fever occurred 1 week earlier. There was no history of alcohol
consumption or exposure to drugs, bites, stings, and inoculations. He had no past history of
similar symptoms, muscle aches, or thyroid dysfunction. There was no family history of
neuromuscular diseases.
Heart rate was 88 beats/minute and blood pressure was 130/80 mmHg without respiratory
insufficiency. He was awake, alert with symmetrical proximal muscle weakness (shoulders
2/5, elbow and lower limbs 4/5, wrist and fingers 5/5 by Medical Research Council [MRC]
grading). There was mild weakness in the intrinsic hand muscles. Sensations, cranial and
neck muscles were normal; muscle stretch reflexes sluggish and plantars flexor.
The serum potassium was 2.6 mEq/L, magnesium 1.7 mg/dL with mild metabolic alkalosis.
Serum creatinine kinase (CK) was normal. Quadriparesis remained unchanged despite
correction of hypokalemia to 4.0 mEq/L over 12 hours at which time nerve conduction
studies (NCS) revealed increased distal motor latencies, partial conduction block along with
nonlength-dependent reduction of amplitudes [Table 1]. Lumbar cerebrospinal fluid (CSF)
revealed albuminocytological dissociation with 250 mg/dl protein and 20
cells/mm3 (lymphocytes 75%, polymorphs 25%).
Table 1
Serial nerve conduction studies (right side) with serum potassium and magnesium levels on
5th and 40th day from onset of weakness and during follow-up at 18 months
Quadriparesis progressed with appearance of asymmetric lower motor neuron facial
weakness and on fourth hospital day he required mechanical ventilation. Plasmapheresis was
initiated on the third hospital day with 10 L removed over the next 9 days. Serum potassium
and magnesium levels declined despite oral and parenteral supplements. Although patient
could be weaned from ventilator after 12 days with moderate improvement of quadriparesis,
he continued to have persistent hypotension and bradycardia requiring vasopressor support.
The serum cortisol, thyroid hormones, CK-MB, echocardiography, and abdominopelvic
imaging by ultrasound and contrast enhanced computerized tomography were normal.
Repeat nerve conductions before discharge revealed persistence of the abnormalities with
increase in the latencies along with persistent dyselectrolytemia [Table 1]. At discharge 42
days after admission, the muscle power was 4/5 and he walked with minimal assistance. He
was discharged on potassium supplements, spiranolactone, and dietary modification for
hypomagnesemia. During follow-up the weakness completely recovered by 4 months. At the
last follow-up 30 months after discharge, patient has persistent hypomagnesemia (1.5 mg/dl)
with hypocalciuria (90 mg/day; normal 100-300 mg/day). Nerve conductions revealed
significant improvement of distal latencies, amplitudes, and conduction velocities at 18
months [Table 1]. Serum magnesium and potassium levels in his siblings were normal.
Go to:
Discussion
Acute neuromuscular paralysis is one of the common neurological emergencies. GBS and
hypokalemia are commonly encountered causes of acute flaccid paralysis; other less common
causes being hyperkalemia, botulism, porphyria, diphtheria, etc., Common subtypes of GBS
consist of acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) and acute motor axonal
neuropathy (AMAN) based on clinicopathological and electrophysiological findings. When
the initial conduction studies are inconclusive, repeating the study after an interval would
help in the differentiation between the subtypes.[1] Our patient had persistent hypokalemia
and hypomagnesemia with clinical profile of AIDP supported by NCS findings and CSF
showing albuminocytological dissociation.
Hypokalemia can result from excessive loss of potassium in the urine or from the gut, poor
intake, increased translocation into cells or inherited tubular disorders.[4] Hereditary defects
causing hypokalemia are Bartter's syndrome and GS.[2,4] The latter is an autosomal
recessive renal tubular disorder due to mutations in the solute carrier family 12, member 3
gene SLC12A3, which encodes the thiazide sensitive sodium chloride cotransporter.[3,5]
Diagnosis of GS is based on biochemical abnormalities characterized by hypokalemia,
hypomagnesemia, hypocalciuria, and metabolic alkalosis. The prevalence of GS is estimated
to be approximately 1:40,000 and is the most frequent inherited renal tubular disorder.[3]
Though hypomagnesemia has been considered obligatory for the diagnosis of GS, few
patients with severe hypokalemia without hypomagnesemia or hypocalciuria were proved to
be suffering from GS by genetic studies.[2,3] Barter's syndrome is associated with
hypokalemia and hypercalciuria[2] and presence of hypertension suggests
hyperaldosteronism.[6]
Hypomagnesemia occurs in malnutrition, alcoholism, and with parenteral nutrition due to
inadequate intake. Increased losses via kidneys, skin, gastrointestinal tract, or sequestration in
the bone compartment also contribute to magnesium deficiency. Renal loss of magnesium
could result from drugs.[2] Inherited renal magnesium wasting disorders include GS, Bartter's
syndrome, isolated familial hypomagnesemia, hypomagnesemia with hypocalcaemia and
hypomagnesemia with hypercalciuria. Neurological manifestations of hypomagnesemia
include irritability, twitching, tremor and tetany. Cardiac dysfunction includes hypotension,
arrhythmias, and sudden cardiac death. There is associated potassium and calcium
abnormality confounding the cardiac and neurological manifestations.[2,7]
Our patient had severe hypokalemia with mild metabolic alkalosis when he was admitted
with quadriparesis resulting from clinical, electrophysiological, and CSF features consistent
with GBS. He had no predisposing acquired causes known to produce hypokalemia or
hypomagnesemia. Reversible abnormalities in NCS with reduced amplitudes in motor and
sensory conductions occur in patients with hypokalemic periodic paralysis.[8,9] During the
course of the hospital stay, patient had recurrence of hypokalemia and hypomagnesemia that
persisted during the follow-up despite the use of spiranolactone and potassium
supplementation suggesting the presence of underlying metabolic dysfunction.
Plasmapheresis can cause transient hypomagnesemia[10] and possibly contributed to
worsening of the already existing hypomagnesemia. However, presence of persistent
hypomagnesemia and hypokalemia with hypocalciuria up to 30 months after completion of
plasmapheresis suggests the presence of underlying abnormality of magnesium metabolism.
The constellation of spontaneous hypomagnesemia, hypokalemia, hypocalciuria, and
metabolic alkalosis is strongly suggestive of GS. Autonomic nervous system involvement in
GBS can manifest with cardiac arrhythmia, blood pressure fluctuations, and is a relatively
frequent occurrence.[1] These manifestations can also be caused by hypomagnesemia and
hypokalemia.
Acute flaccid paralysis due to either hypokalemia or GBS manifesting as isolated entities
may not perturb the clinician in diagnosis or management. Combination of both these
conditions along with another comorbid dyseletrolytemia could be life-threatening. It is
challenging to treat complex dyselectrolytemia like severe hypokalemia and
hypomagnesemia, which can complicate the clinical burden of autonomic and neurological
dysfunction in GBS. We report one such rare coexistence of complex dyselectrolytemia in a
patient with GBS. While it is essential to prove GS by using genetic studies, the same could
not be done due to lack of facility and remains a possible comorbid clinical entity.
usunan neuromuskulus atau susunan pergerakan
a. Susunan eksteroseptif
o Nyeri
o panas à Ruffini
o dingin à Krause
o rasa raba à Golgi Mansoni
b. Susunan Proprioseptif
o Disalurkan melalui :
o funnikulus dorsalis à girus post.sentralis , serebellum
o Menghantar impuls :
o rasa tekan (vater pacini/ogan Golgi/muscle spindle)
o rasa getar
o rasa gerak
o rasa sikap
o rasa diskriminatif
o Hemiparese / hemiplegia
Tipika
Alternans
SARAF KRANIAL
NERVUS OLFAKTORIUS : saraf penghidu
o Gejala-gejala :
o Anosmia ….Foster kennedy Syndrome
o Hiperosmia
o Paroosmia
o Cacosmia
o Halusinasi Aura
Penyebab :
o Radang
o Fraktura basis
o Tumor lobus frontalis
o Ateroosklerosis
o Hysteri
o Kel. Kongenital.
Tehnik pemeriksaan :
o Pem. Visus :
o hitung jari = 1/60
o lambaian tangan = 1/300
o dpt melihat cahaya = 1/~
o tak dpt melihat cahaya = 0
o Perimeter
o Kampimeter
o Konfrontasi test
o Hemianopsia scotoma
o edema papil
o papil atrofi
o neuritis optika (papilitis , neuritis retrobulber )
o Pem. Pupil :
o normal Ø 3 – 4 mm.
o miosis – midriasis
o refleks cahaya langsung / tdk langsung
o refleks akomodasi
o ref. siliospinale
Kelainan-kelainan pupil berupa :
Parese N.III :
Parese N.IV. :
o Strab.konvergens ringan
o Diplopia
o Sulit melihat lat.bawah
Parese N.VI :
o Diplopia
o Strab.konvergens
o Parese N.VII
o Parese N.VI bilat. à TIK meninggi.
N.III, IV, VI :
o lesi terdpt pd fissura orb. Sup.
o Sinus cavernosus
o tangkai hipofise
o Somato motorik
Nukleus motorik N.V à pertengahan pons à portio minor à foramen ovale à N.V
Cab.3 otot-otot pengunyah, otot dasar mulut
o Refleks kornea
o Refleks bersin
o Refleks Masetter
Ingat :
o Bila ada ggn fisura orbitali superior à N.III, IV & VI, dan N.V Cab.1
o Sinus cavernosus : III, IV, VI & V cab.1 dan 2.
2/3 bag. Depan lidah à korda timpani à ggl genikulatum à nukleus intermedius à
nukleus traktus solitarius à thalamus
Nuc.sal.sup :
à ggl sphenopal.à mukosa & kel.farings.
à can.fasialis à korda timpani: gl.sub maks & gl.sub.ling
Gejala-gejala ggn N.fasialis
1. Ggn. Motorik : Parese fasialis perifer dan Parese fasialis sentral
2. Ggn. Pengecap
3. Ggn. Pendengaran
Etiologi fasialis parese perifer :
1. Infeksi
2. Tumor
3. Trauma kapitis
4. Post operasii mastoidektomi
5. Virus
6. Idiopatis.
o Rinne
o Weber.
o Horisontal
o Vertikal dan penduler
o Vertigo : perifer: ggn labirin, neurinoma akustis, refleks venomen, meniere
sindrome
o Sinus karotikus.
o Neuralgia
Penyebab :
Gejala-gejala :
o Pemeriksaan :
o Atrofi
o Angkat bahu
o Sikap kepala
NERVUS HIPOGLOSUS (XII)
Cat.
Nukleus motorik hipoglosus mendapat persarafan sec.
kontralateral dr korteks motorik hemisfer
Evaluasi
Penilaian pasien, memantau EKG dan kekuatan otot diindikasikan untuk menilai akibat fungsional
hipokalemia. Pada kadar kalium di bawah 2,5 mEq/L, kelemahan otot berat atau perubahan
elektrokardiografik signifikan dapat mengancam jiwa dan memerlukan terapi segera. Terapi segera
diindikasikan apabila terdapat perubahan EKG atau kelainan neuromuskular perifer.
Defisit kalium, tidak terdapat perbedaan jelas antara konsentrasi kalium serum dengan cadangan
kalium tubuh total, sehingga defisit kalium total pada pasien hipokalemia oleh karena kehilangan
kalium hanya dapat diperkirakan. Pada pasien dengan hipokalemia kronik, defisit kalium 200 – 400
mEq diperlukan untuk menurunkan kadar kalium serum sebesar 1 mEq/L. Pada saat kadar kalium
jatuh sampai kurang lebih 2 mEq/L, kehilangan kalium lebih jauh tidak akan mengakibatkan
hipokalemia lebih jauh oleh karena adanya pelepasan kalium dari cadangan selular.
Perkiraan ini mengasumsikan bahwa terdapat distribusi normal kalium di antara sel dan cairan
ekstraselular, dengan kata lain tidak ada kelainan asam basa bersamaan. Keadaan paling sering di
mana perkiraan ini tidak berlaku adalah ketoasidosis diabetikum atau hiperglikemia nonketotik dan
pada keadaan lain seperti paralisis hipokalemik periodik.
Pada ketoasidosis diabetikum, hiperosmolaritas, defisiensi insulin dan mungkin juga asidemia
menyebabkan pergerakan kalium keluar dari sel. Sebagai akibatnya, pasien dengan kelainan ini
mungkin mempunyai kadar kalium total meningkat atau normal pada saat presentasi, meskipun
memiliki defisit kalium berat oelh karena kehilangan dari urin dan saluran cerna. Pada keadaan ini,
suplementasi kalium biasanya dimulai pada saat konsentrasi kalium serum mencapai 4,5 mEq/L atau
lebih rendah, mengingat pemberian insulin dan cairan seringkali menyebabkan penurunan kadar
kalium serum secara cepat.
Terapi
Sediaan kalium, kalium klorida baik oral maupun intravena secara umum lebih disukai dibandingkan
kalium sitrat atau bikarbonat, terutama pada pasien dengan alkalosis metabolik oleh karena terapi
diuretik, vomitus dan hiperaldosteronisme. Pada keadaan lain, kalium sitrat atau bikarbonat
seringkali disukai pada pasien dengan hipokalemia dan asidosis metabolik. Keadaan di atas paling
sering terjadi pada asidosis tubular ginjal dan keadaan diare kronik.
Kalium klorida oral dapat diberikan dalam bentuk kristal, cairan atau da