Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang

melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini masih belum

diketahui dengan jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari tiga jenis, yaitu colitis

ulseratif (ulcerative colitis), penyakit crohn (crohn’s disease), dan bila sulit

membedakan kedua hal ini dimasukan dalam kategori indeterminate colitis.1

Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD yang pasti maupun

penjelasan yang memadai mengenai pola distribusinya. Secara umum

diperkirakan bahwa proses patogenesis IBD diawali oleh adanya infeksi, toksin,

produk bakteri atau diet intralumen kolon, yang terjadi pada individu yang rentan

dan dipengaruhi oleh faktor genetik, defek imun, lingkungan, sehingga terjadi

kaskade proses inflamasi pada dinding usus. Manifestasi tersering dari IBD adalah

diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut.1

Tingginya angka kejadian IBD menciptakan tantangan bagi klinisi terkait

dengan pengetahuan yang belum komplit tentang penegakan diagnosis pada crohn

diseases. Pencitraan untuk crohn diseases dipastikan, walaupun dengan pencitraan

paling canggih. Namun dengan manifestasi klinis berupa gangguan saluran

pencernaan yang kronik sebagai gejala spesifik dari crohn diseases, pemeriksaan

USG dan CT Scan dengan media kontras oral dapat membantu untuk menentukan

diagnosis.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi crohn disease

Penyakit Crohn (Crohn disease) adalah penyakit peradangan transmural

kronis pada saluran pencernaan yang tidak diketahui penyebabnya. Crohn

disease dapat melibatkan setiap bagian dari saluran pencernaan dari mulut ke

anus, tetapi paling umum mempengaruhi usus halus dan kolon.(2,3) Crohn

disease disebut juga enteritis regional dan merupakan suatu penyakit

peradangan granulomatosa kronis pada saluran pencernaan yang sering terjadi

berulang.2

B. Epidemiologi

Crohn disease adalah penyakit bedah yang umum utama dari usus kecil,

dengan kejadian tahunan dari 3-7 kasus per 100.000 populasi umum; kejadian

tertinggi terjadi di Amerika Utara dan Eropa Utara. Investigasi lebih lanjut

memperlihatkan peningkatan prevalensi di Afrika Selatan dan Australia. Area

perkotaan memiliki insidens yang lebih tinggi pedesaan.2,4

Gambar 1. Distribusi georafi Crohn Diseas4

2
Crohn disease terutama menyerang orang dewasa muda pada dekade

kedua dan ketiga kehidupan. Namun, terdapat distribusi bimodal yang jelas

dengan puncak kedua yang jauh lebih kecil terjadi pada dekade keenam
(2,3)
kehidupan. Crohn disease lebih sering terjadi pada penduduk kota, dan

meskipun laporan sebelumnya menyatakan dominasi perempuan agak lebih

tinggi, keduanya memiliki perbandingan yang kira-kira sama.3 Risiko untuk

crohn disease sekitar dua kali lebih tinggi pada perokok daripada bukan

perokok. Beberapa studi telah menunjukkan peningkatan insiden crohn

disease pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral. Namun, penelitian

yang lebih baru telah menunjukkan tidak ada perbedaan.2 Crohn disease

cenderung bersifat familial dan paling sering terjadi pada.3 Meskipun crohn

disease jarang pada orang kulit hitam Afrika, orang kulit hitam di Amerika

Serikat memiliki angka yang mirip dengan kulit putih. Kelompok etnis

tertentu, terutama orang-orang Yahudi, memiliki insiden lebih besar untuk

terjadinya crohn disease dibandingkan subyek kontrol dengan usia dan gender

yang sama. Terdapat hubungan kekeluargaan yang kuat terkait penyakit ini,

dengan risiko terjadinya crohn disease meningkat sekitar 30 kali lipat untuk

saudara kandung dan 14- 15 kali lipat untuk semua kerabat tingkat pertama.

Analisis lain yang mendukung peran genetik untuk crohn disease

menunjukkan tingkat kesesuaian dari 67% pada kembar monozigot.3

C. Etiologi

Penyebab crohn disease masih belum diketahui. Sejumlah penyebab

potensial telah diusulkan, dengan kemungkinan yang paling mungkin yaitu

infeksi, imunologi, dan genetik. Kemungkinan lain yang ditemukan termasuk

3
faktor lingkungan dan makanan, merokok, dan faktor psikososial. Meskipun

faktor-faktor yang terakhir dapat berkontribusi pada proses penyakit secara

keseluruhan, tidak mungkin bahwa faktor-faktor tersebut mewakili mekanisme

etiologi utama untuk crohn disease.2

1. Infeksi

Meskipun sejumlah agen infeksi telah diusulkan sebagai penyebab

potensial dari crohn disease, dua yang telah menerima perhatian adalah

infeksi mikobakteri, terutama Mycobacterium paratuberculosis, dan virus

measles (campak). Keberadaan mycobacteria atypical sebagai penyebab

crohn disease diusulkan oleh Dalziel pada tahun 1913. Penelitian

selanjutnya menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) telah

mengkonfirmasi adanya mycobacteria dalam sampel usus pasien dengan

crohn disease. Transplantasi jaringan dari pasien dengan crohn disease telah

menyebabkan ileitis, tapi terapi antimikroba yang ditujukan terhadap

mycobacteria belum efektif dalam mengatasi proses penyakit.2,5

2. Faktor imunologi

Kelainan imunologi yang telah ditemukan pada pasien dengan crohn

disease mencakup reaksi imunitas humoral dan seluler yang langsung

menyerang sel-sel saluran intestinal, menunjukkan fenomena autoimun.

Perhatian telah difokuskan pada peran sitokin, seperti interleukin (IL) -1,

IL-2, IL-8, dan TNF-α, sebagai faktor yang berkontribusi dalam respon

inflamasi intestinal. Peran respon imun masih kontroversial pada crohn

disease dan mungkin dapat mewakili efek dari proses penyakit dan bukan

merupakan penyebab sebenarnya.2,5

4
3. Faktor genetik

Faktor genetik memainkan peran penting dalam patogenesis crohn

disease karena faktor risiko tunggal terkuat terjadinya penyakit adalah

memiliki riwayat keluarga dengan crohn disease. Studi di Eropa dan

Amerika melaporkan adanya lokus pada kromosom 16q (disebut locus

IBD1). Kelompok investigasi independen mengidentifikasi lokus IBD1

sebagai gen CARD15 / NOD2, anggota dari superfamili protein pengatur

apoptosis CED4 / APAF1, yang menengahi respon imun bawaan terhadap

mikroba patogen, yang menyebabkan aktivasi NF-kB. Individu dengan

varian alel dari CARD15 / NOD2 memiliki risiko relatif 40 kali lipat untuk

menderita crohn disease dibandingkan dengan populasi umum; lokus IBD1

tampaknya relatif spesifik untuk crohn disease dan tidak untuk kolitis

ulserativa. Daerah genomik penyakit radang usus lainnya termasuk IBD2

pada kromosom 12q (diamati lebih dalam ulcerative colitis) dan IBD3,

mengandung kawasan kompleks histokompatibilitas utama terletak pada

kromosom 6p. Diduga lokus IBD telah diidentifikasi pada kromosom 5q,

19p, 7q, dan 3p.2,5,6

Bahkan dengan bukti kuat hubungan genetik untuk crohn disease, perlu

diulangi bahwa ada tingkat substansial konkordansi kurang dari 100% antara

kembar monozigot, menunjukkan bahwa warisan Mendel sederhana tidak

dapat menjelaskan pola terjadinya. Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa

beberapa penyebab (misalnya, faktor lingkungan) berkontribusi pada etiologi

dan patogenesis penyakit ini.2

5
D. Patofisiologi

Chorn disease merupakan salah satu jenis penyakit infamasi pada usus

(Inflammatory Bowel Disease - IBD) yang penyababnya hingga saat ini masih

idiopatik dan proses patogenesisnya baru mulai dimengerti. 6 Berdasarkan

hipotesis yang diterima saat ini, IBD dihasilkan oleh disregulasi respon sistem

imun mukosa terhadap antigen intraluminal.7

Terdapat beberapa hal yang berperan penting dalam patogenesis crohn

disease. Sistem imun bawaan merupakan pertahanan nonspesifik tubuh

terhadap patogen, yang berespon segera atau dalam beberapa jam pertama

setelah terpapar. Hal ini dianggap secara umum sebagai lini pertma pertahanan

dan termasuk beberapa barier fisiologis seperti kulit, dan mukosa saluran

pencernaan demikian juga dengan sel imun yang mengidentifikasi dan

menghilangkan benda asing. Sistem imunitas bawaan bereaksi terhadap bahan-

bahan kimia dari antigen dibandingkan antigen spesifik itu sendiri. Sistem

imun yang didapat, berespon secara spesifik terhadap antigen. Antigen tersebut

diproses dan dikenali dan sel imun yang spesifik terhadap antigen tersebut

kemudian secara selektif berproliferasi.7

Pandangan tradisional dari patogenesis IBD adalah bahwa IBD dimediasi

oleh sel dari sistem imun yang didapat (Gambar 2). Inflamasi kronik dapat

dihasilkan dari aktifitas efektor limfosit dan sitokin proinflamasi yang terlalu

agresif yang berdampak terhadap mekanisme kontrol. IBD dapat terjadi akibat

kegaglan primer dari limfosit dan sitokin seperti interleukin 10, dan

transforming growth factor-β, untuk mengatur jalur inflamasi dan efektor.7

6
Gambar 2. Paradikma tradisional tentang patognesis IBD
(Presentasi antigen intraluminal kepada limfosit mukosa oleh APCs ) menuntun pada
pembangkitan respon efektor. Pada usus yang normal (kiri), inflamasi yang jelas
dicegah dengan mengontrol aktivasi sel T efektor mukosa (T eff) melalui dua
mekanisme berbeda. Pertama subpopulasi sel T reguator (T reg) pada sistem imun
mukosa menekan aktivitas sel T efektor melalui produksi interleukin 10 dan
transforming growth factor-β. Kedua, kontrol juga disediakan oleh apoptosis T eff
sehingga mencegah ekspansi berlebihan yang tidak diinginkan. Pada indifidu dengan
IBD, kedua mekanisme ini tampaknya kurang baik. Penyimpangan sinyal dari sitokin
regulator seperti transforming growth factor-β telah dinyatakan pada crohn disease)7

Mekanisme patogenesis sentral dari crohn disease adalah resistensi sel T

untuk mengalami apoptosis setelah aktivasi. Penyebab pasti dari fenomena ini

belum dapat dijelaskan sepenuhnya, namun kemampuan antibodi anti tumor

necrosis factor dan anti interleukin 12 untuk secara efisien mencegah dan

menghindai rekurensi klinis dan eksperimental secara luas dimediasi oleh

kemampuannya untuk mengembalikan homeostasis mukosa dan mengarahkan

kembali jalur sel T efektor mukosa pada jalur apoptosis. Pada kedua skenario,

tampaknya limfosit memegang peranan penting. Namun, terdapat bukti yang

7
muncul bahwa pertahanan dalam sistem imun bawaan mungkin memainkan

peran yang sama atau bahkan lebih dalam IBD. 7

Bukti peran sistem imun bawaan datang dari penemuan baru-baru ini yang

berhubungan tentang hubungan antara crohn disease dan mutasi “loss of

function” pada domain caspase-activating and recruitement protein gen 15

(card 15 - dinamakan demikian karena protein yang dikodenya mengandung

protein CARD - domain interaksi), yang juga dikenal dengan NOD2

(nucleotide oligomerization binding domain 2). Protein NOD2 merupakan

sebuah reseptor intraseluler untuk sebuah komponen dari polipeptida dinding

sel bakteri dan yang berikutnya akan memainkan peran penting dalam

mengaktivasi sel-sel sistem imun bawaan dengan mengaktifkan NF-KB. Telah

dinyatakan bahwa penyakit yang berhubungan dengan penyakit yang

berhubungan dengan variasi NOD2 kurang efektif dalam mengenal dan

melawan mikroba luminal, yang mempu memasuki lamina propria dan memicu

reaksi inflamasi. Data lain menyatakan bahwa NOD2 meregulasi respon imun

untuk mencegah reaksi berlebihan terhadap mikroba dalam lumen.6,7

Penelitian saat ini mengindikasikan bahwa kerusakan respon inflamasi

karena defek sistem imun saluran pencernaan dapat mendasari fase awal dari

sebuah IBD. Dalam konteks ini, kurangnya sekresi yang tepat dari pertahanan

(peptida yang diproduksi oleh enterosit untuk mengontrol mikroba komensal)

mungkin relefan dengan patogenesis IBD.7

8
Gambar 3. Usulan signifikansi fungsional mutasi NOD2 pada crohn disease
(Reseptor NOD intraseluler dan reseptor transmembran Toll-like (TLRs) merupakan
molekul penting untuk pengenalan patogen - berhubungan dengan pola molekuler,
aktivasi sistem imun bawaan dan mempertahankan homeostasis mukosa. Muramil
dipeptida, sebuah komponen dari dinding sel bakteri mengikat CARD15/NOD2, yang
kemudian mengaktivasi nuklear factor-KB (NF- KB). NOD2 diekspresikan dalam
makrofag (kanan) dan di sel paneth pada basis kripta intestinal (kiri). Sebuah epitelial
yang berorientasi pada pola kehilangan fungsi dapat berasosiasi dengan
ketidakmampuan untuk secara efektif membersihkan mikroorganisme intraluminal
sebagai hasil dari penurunan sekresi peptida antibakterial oleh sel paneth (kiri).
Sebagai kemungkinan lain, fungsi yang hilang dapat juga berakibat pada hilangnya
kemampuan NOD2 untuk melemahkan TLR-2 dalam makrofag, meningkatkan
aktivasi NF- KB dan produksi sitokin proinflamasi (kanan))7

Epitel intestinal, yang dipertimbangkan sebagai bagian dari sistem imun

bawaan, berperan aktif dalam memelihara homeostasis mukosa. Sehingga,

disfungsi sel epitel dapat berkontribusi dan bahkan dapat menyebabkan defek

primer IBD. Sel epitel membuat barier selektif yang kuat antara tubuh dan

lingkungan mikro intraluminal. Kegagalan berier ini dapat menyebabkan

inflamasi, yang paling banyak melalui paparan antigen fekal yang

menyebabkan aktivasi yang tidak tepat dari sistem imun mukosa. Didalam

mukosa intestinal, terdapat kesatuan antara sel epitelium dan sel-sel sistem

imun. Sel epitelial dapat bertindak sebagai antigen presenting cell karena dapat

9
mengambil dan memproses antigen kemudian mempresentasikannya kepada

sel sistem imun, sejalan dengan aktivasi stimulus yang tepat. Penyimpangan

dari komunikasi ini berpotensi untuk memciptakan sinyal yang tidak tepat yang

mengaktifkan sel efektor dan menyebabkan inflamasi. 7

Sel epitelial merupakan penghasil sitokin yang meregulasi perekrutan sel

inflamasi akut dan kronik didalam mukosa intestinal. Sebagai tambahan,

banyak sitokin yang diperkirakan menjadi pusat patogenesis IBD seperti tumor

necrosis factor (TNF), interleukin 1, dan interleukin 6, di keluarkan dalam

epitel intestinal. Penyimpangan dari sekresi kemokin proinflamasi dan sitokin

oleh sel-sel epitel merupakan bagian yang melengkapi disregulasi respon imun

yang menginisiasi inflamasi intestinal.7

Disfungsi dari sistem imun yang didapat pada crohn disease dan kolitis

ulseratif diyakini menunjukan fenotip imunologi yang berbeda. Crohn disease

digambarkan sebagai prototipikal penyakit T-helper (Th) 1 karena mediator

primer dari inflamasi adalah sitokin Th 1 interleukin 12, interferon - γ dan

TNF. Sedangkan kolitis ulseratif sering dilihat sebagai kondisi tipe Th-2 karena

respon dari peningkatan ekspresi sitokin Th-2 interleukin 5, walaupun

hubungan yang jelas dengan interleukin 4 yang merupakan sitokin definitif dari

Th 2 tidak pernah tampak. 7

10
Gambar 4. Patogenesis IBD7

Penelitian yang dibuat untuk mencari tahu lebih jauh paradikma Th 1 dan

Th 2 dalam inflamasi mukosa masih terbatas, dan dibutuhkan pengertian yang

lebih baik tentang variabilitas yang terjadi dalam spektrum IBD. Data yang

dikumpulkan mendukung dugaan bahwa perbedaan klinikopatologi pada kolitis

ulseratif dan crohn disease mungkin dicerminkan dari jalur imunogenetik yang

berbeda. 7

Suatu model yang menyatukan peran mikroba lumen, fungsi epitel dan

imunitas mengusulkan sebuah siklus dimana masuknya komponen bakteri

intralumen transepitelial kemudian mengaktivasi respon sistem imun bawaan

dan yang didapat. Secara genetik, host yang rentan akan mengeluarkan TNF

dan sinyal yang berhubungan dengan imun langsung ke epitel untuk

11
meningkatkan permeabilitas tight junction, yang menyebabkan peningkatan

masukan material lumen intestinal.6

Tempat paling umum terjadinya Crohn disease adalah usus kecil dan usus

besar. Keterlibatan kedua usus besar dan kecil telah dicatat pada 55% pasien.

Tiga puluh persen dari pasien datang dengan penyakit usus kecil saja, dan pada

15%, penyakit muncul terbatas pada usus besar. Proses penyakit terputus-putus

dan segmental. Pada pasien dengan penyakit kolon, rektum sparing adalah

karakteristik dari Crohn disease dan membantu untuk membedakannya dari

kolitis ulserativa. Keterlibatan perirectal dan perianal terjadi pada sekitar

sepertiga dari pasien dengan Crohn disease, terutama mereka dengan

keterlibatan kolon. Crohn disease juga dapat menyerang mulut, kerongkongan,

lambung, duodenum, dan apendiks.2

Pada eksplorasi, usus tampak tebal berwarna merah muda keabu-abuan

atau merah ungu muda, dengan daerah eksudat putih abu-abu tebal atau fibrosis

dari jaringan serosa. Daerah usus yang sakit terpisah oleh daerah yang secara

makroskopis tampak normal disebut skip area sering ditemukan. Temuan yang

bermakna dari Crohn disease adalah bungkusan lemak yang luas disebabkan

oleh pertumbuhan sirkumferensial dari lemak mesenterika sepanjang dinding

usus. Seiring dengan progresifitas penyakit usus menjadi bertambah tebal,

keras, dan elastis. Usus bagian proksimal yang tidak terlibat dapat berdilatasi

akibat obstruksi dari segmen yang sakit. Segmen yang terkena biasanya

menempel pada loop usus yang berdekatan atau pada organ lain, dengan fistula

interna biasa ditemukan pada daerah ini. Mesenterium segmen yang terkena

biasanya tebal, dengan pembesaran nodus limfa.2,6

12
Gambar 5 . Gambaran patologis makroskopis crohn disease. A. Permukaan serosa
menggambarkan “fat wrapping” dan inflamasi yang luas. B. Spesimen yang
telah direseksi menggambarkan fibrosis bermakna dari dinding intestinal,
striktur dan inflamasi segmental mukosa2

Pada usus yang tebuka, lesi patologis sebelumnya merupkan ulkus

“apthous” superfisial yang dikenali di mukosa. Seiring dengan progresifitas

penyakit, ulkus semakin tampak tegas dan menghasilkan inflamasi transmural

lengkap. Ulkus dikarakteristikan secara linear dan dan dapat bergabung untuk

membentuk sinus transfersal dengan daerah mukosa normal diantaranya

sehingga memberikan gambaran cobblestone appearance.

Gambar 6. Cobblestone appearance dan penebalan mukosa 5

13
E. Diagnosis

1. Manifestasi Klinis

Crohn disease dapat terjadi pada berbagai usia, namun biasanya pasien

dengan crohn disease adalah dewasa muda pada dekade ke dua dan tiga

kehidupan. Onset penyakit ini biasanya tersembunyi, dengan perjalanan

penyakit yang lama dan berkepanjangan. Secara khusus, terdapat periode

simptomatik berupa nyeri abdomen dan diare diselingi periode

asimptomatik dengan panjang yang berbevariasi. Seiring waktu, periode

simptomatik berangsur-angsur menjadi lebih sering, lebih berat, dan lebih

lama. Gejala yang paling sering terjadi adalah nyreri perut yang intermiten

dan bersifat kolik, terbanyak ditemukan pada abdomen bagian bawah.

Namun, nyeri tersebut dapat lebih berat dan terlokalisasi serta dapat

menyerupai tanda dan gejala apendisitis akut.2,8,9,10

Diare merupakan gejala berikutnya yang paling sering terjadi dan

terjadi kira-kira pada 85% pasien. Berbeda dengan koliitis ulseratif, pasien

dengan crohn disease secara khusus memiliki pergerakan usus yang lebih

sedikit, dan feses jarang mengandung mukus, pus, dan darah. Gejala

sistemik yang non spesifik termasuk demam ringan (muncul pada sepertiga

pasien), penurunan berat-badan, lemas dan malaise. 2,8,9,10

Manifestasi ekstraintestinal pada crohn disease mungkin tampak pada

30% pasien. Gejala yang paling umum adalah lesi kulit, yang meliputi

eritema nodosum dan pioderma gangrenosum, arthritis dan arthralgia,

uveitis dan iritis, hepatitis dan pericholangitis, dan stomatitis aphthous.

Selain itu, amiloidosis, pankreatitis, dan sindrom nefrotik dapat terjadi pada

14
pasien ini. Gejala-gejala ini dapat mendahului, menyertai, atau muncul

secara terpisah dari penyakit usus yang mendasari. 2,8,9,10

Tabel 1. Manifestasi ekstraintestinal pada Crohn's Disease2

Manifestasi ekstraintestinal pada Crohn's Disease


Kulit Mata Sendi
Erythema Multiform Iritis Peripheral atrhitis
Erythema Nodosum Uveitis Ankylosing Spondylitis
Pyoderma gangrenosum Conjungtivis
Darah Kidney
Anemia Hepar Nephrotic syndrome
Thrombocytosis Nonspecific triaditis Amyloidosis
Phlebothrombosis Sclerosing cholangitis
Arterial thrombosis
Pankreas General
Pancreatitis Amyloidosis

Gambar 7. Manifestasi intestinal pada crohn disease7

2. Pemeriksaan Penunjang

15
Diagnosis crohn disease harus dipertimbangkan pada pasien dengan

episode nyeri perut berulang dan kronis, diare dan kehilangan berat badan.

a. Laboratorium

Secara khusus, perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody

(pANCA) dan anti-Saccharomyces cerevisiae (ASCA) adalah dua

autoantibodi yang terkait dengan penyakit inflamasi usus. Sebuah studi

kohort melaporkan pada pasien dengan yang ASCA positif / pANCA

negatif spesifisitasnya 92% untuk penyakit Crohn dan 98% untuk

ulcerative colitis pada pasien yang ASCA negatif / pANCA positif. Pada

pemeriksaan darah juga dapat ditemukan anemia, penurunan albumin,

dan peningkatan CRP terutana pada fase akut. Pada pemeriksaan feses

dapat ditemukan steatorea maupun occult blood. 2,8,9,10

b. Radiologis

1) Foto Rongent

Peranan x-foto polos dalam mengevaluasi Crohn’s disease adalah

terbatas. Dua keunggulan utama x-foto polos adalah (1) untuk

memastikan adanya obstruksi usus dan (2) untuk mengevaluasi adanya

pneumoperitoneum sebelum dilakukannya pemeriksaan radiologis

lanjutan. Melalui x-foto polos dapat pula diketahui adanya sacroiliitis

atau batu ginjal oksalat yang mungkin terjadi pada penderita Crohn’s

disease.2,10,11,12,13

Pemeriksaan barium enema kontras ganda bermanfaat dalam

mendiagnosis penyakit inflamasi usus dan untuk membedakan antara

Crohn’s disease dengan colitis ulcerativa, khususnya pada tahap dini

16
penyakit. Pada pemeriksaan kontras ganda, Crohn’s disease tahap dini

ditandai dengan adanya ulkus aptosa yang tersebar, yang terlihat

sebagai bintik-bintik barium yang dikelilingi oleh edema yang

radiolusen. Ulkus-ulkus aptosa seringkali terpisah oleh jaringan usus

yang normal dan terlihat sebagai skip lesions. 2,10,11,12,13

Gambar 8. Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohn’s disease


menunjukkan sejumlah ulkus aptosa12

Sejalan dengan makin parahnya penyakit, ulkus-ulkus yang

kecil akan membesar, lebih dalam, dan saling berhubungan menjadi

ulkus-ulkus yang berbentuk seperti bintang, berpinggiran tajam, atau

linear. Ulkus-ulkus ini paling sering terlihat di daerah ileum terminal

disepanjang perbatasan mesenterium. Gambaran ini patognomonik

dari Crohn’s disease. Sebagaimana inflamasi menembus lapisan

submukosa dan muskularis, ulkus-ulkus tersebut terpisah satu sama

lain oleh edema pada dinding usus dan pada pemeriksaan dengan

kontras terlihat gambaran pola-pola “cobblestone” atau nodular, yaitu

pengisian kontras pada lekukan ulkus yang terlihat radioopaque

dikelilingi mukosa usus yang radiolusen. 2,10,11,12,13

17
Gambar 9. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada
ileum terminalis memperlihatkan ulserasi linear, longitudinal dan transversal
yang membentuk “cobblestone appearance”.2

Kadang-kadang terjadi inflamasi transmural yang berakibat

pengecilan diameter lumen usus dan distensinya menjadi terbatas. Hal

ini tampak sebagai “string sign”. 2,10,11,12,13

Gambar 10. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada


ileum terminalis memperlihatkan beberapa penyempitan dan striktura, yang
memberikan gambaran “string sign”. 2

2) CT Scan

Peranan pencitraan CT dalam evaluasi Crohn’s disease telah diterima

secara luas. Kemampuan CT untuk mencitrakan keterlibatan usus dan

patologi ekstraluminal (misalnya, abses, obstruksi, fistula)

18
membuatnya menjadi cara pencitraan yang penting. Hasil pencitraan

CT pada Crohn’s disease tahap dini adalah penebalan dinding usus,

yang biasanya melibatkan usus halus bagian distal dan colon,

meskipun setiap segmen pada saluran cerna dapat terlibat. Biasanya,

penebalan dinding usus mencapai 5 – 15 mm. 11,12,13

Gambar 11. Gambaran CT Scan pada pasien dengan Crohn’s disease,


tampak penebalan dinding ileum dan inflamasi mesenterium. 2

Ulserasi pada mukosa dapat terdeteksi pada potongan tipis CT. dapat

pula terlihat adanya lilitan mesenterium, penebalan lapisan lemak

mesenterium, adenopati lokal, fistula, dan abses. 11,12,13

Gambar 12. CT scan pada Crohn’s disease menunjukkan penebalan dinding


usus halus, dan inflamasi dan adenopati pada mesenterium. 11

Edema atau inflamasi jaringan lemak mesenterium menimbulkan

peningkatan hilangnya densitas lemak, yang disebut “hazy fat” pada

CT. Inflammasi atau fibrosis jaringan lemak yang lebih besar

19
menimbulkan menghilangnya densitas pita linear jaringan lunak yang

melintasi mesenterium. Pada CT, sebuah massa yang berbatas kabur

dengan densitas campuran dapat menunjukkan adanya flegmon atau

tahap dini pembentukan abses. Pembesaran kelenjar limfe biasanya

terlihat proksimal terhadap dinding usus disepanjang sisi

mesenterium. 2,10,11,12,13

Pada CT scan, abses-abses terlihat sebagai massa berbentuk bulat atau

oval dengan densitas rendah, berbatas jelas, dan seringkali multilokus.

Terlihatnya gambaran gelembung-gelembung gas menunjukkan

adanya hubungan fistula dengan usus atau, lebih jarang, timbul dari

infeksi oleh mikroorganisme yang menghasilkan gas. 11,12,13,14

Gambar 13. CT scan pada Crohn disease menunjukkan penebalan dinding


colon kanan dengan inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang
berhubungan.14

Gambar 15 . CT scan pada Crohn’s disease fase kronis menunjukkan


penebalan dinding colon kanan tanpa inflamasi pada jaringan lemak
mesenterium yang berhubungan, dan sejumlah besar proliferasi lemak
disekeliling colon kanan yang memisahkan colon dari keseluruhan usus,
sehingga disebut “creeping fat”.14

20
CT Scan merupakan prosedur radiologis pilihan pertama pada pasien-

pasien dengan gejala-gejala akut Crohn’s disease. Kemampuan CT

Scan dalam mencitrakan dinding usus, organ-organ abdomen yang

lokasinya berdekatan dengan usus, mesenterium dan retroperitoneum

membuatnya lebih unggul terhadap pemeriksaan radiologi

konvensional dengan kontras barium dalam mendiagnosis komplikasi-

komplikasi yang menyertai Crohn’s disease. CT Scan dapat secara

langsung menunjukkan penebalan dinding usus, edema mesenterika,

limfadenopati, phlegmon dan abses. Sensitivitas CT Scan untuk

Crohn’s disease adalah sekitar 71%.13,14

CT Scan tidak hanya merupakan prosedur diagnostik terpilih, tetapi

dapat pula digunakan dalam penatalaksanaan abses, yaitu melalui

prosedur CT-guided percutaneous abscess drainage, yang telah

menampakkan hasil yang sangat memuaskan.

3) MRI

Secara tradisional, MRI hanya memberikan manfaat yang terbatas

dalam pemeriksaan abdomen karena banyaknya artefak yang

bergerak. Dengan adanya peningkatan gradien dan pencitraan dengan

menahan napas telah memungkinkan pencitraan MRI terhadap

abdomen dan pelvis pada sebagian besar pasien. Serbagai tambahan,

untuk mencapai pencitraan yang optimal dengan MRI seringkali

membutuhkan penggunaan sejumlah besar volume zat kontras positif

atau negatif yang diberikan baik secara oral atau melalui selang

nasojejunal atau rectal. Akan tetapi, pasien dengan penyakit akut

21
mungkin tidak dapat men-toleransi pemberian sejumlah besar cairan

per oral. Jika terjadi distensi usus suboptimal, akan terjadi gangguan

dalam mendeteksi segmen-segmen usus yang ter-inflamasi.10,11,14

Secara tradisional, MRI dapat mengevaluasi komplikasi-komplikasi

anorectal Crohn’s disease dengan baik. MRI dengan teknik regular

fast spin-echo,dapat mendeteksi adanya fistula, saluran sinus, dan

abses pada regio anorectal.14

Saluran sinus dan fistula sering terlihat hiperintense pada pencitraan

T1-weighted dan hiperintense pada T2-weighted karena kandungan

cairannya. Dengan supresi lemak, sinyal cairan dapat di-intensifikasi

dan dengan mudah terlihat hiperintense pada pencitraan T2-weighted.

Suatu abses sering terlihat sebagai pengumpulan yang terisolasi dari

daerah-daerah dengan intensitas sinyal tinggi (high-signal-intensity

areas) pada pencitraan T2-weighted, khususnya pada fossa ischioanal.

Parameter-parameter penyakit aktif mencakup penebalan dinding,

proliferasi fibrosa dan lemak, dan enhancement dinding usus dengan

zat kontras gadolinium-based. Selama fase inflamasi aktif,

enhancement gadolinium dinding usus dapat pula terlihat pada

pencitraan T2-weighted, dan dapat dengan mudah dibedakan dari usus

yang normal. Pola enhancement dideskripsikan sebagai “berlapis-

lapis” dan spesifik untuk Crohn’s disease.14

22
Gambar 16. Pencitraan MRI pada pasien dengan Crohn’s disease
menunjukkan penebalan dinding colon kanan dengan peningkatan sinyal
intramural pada pencitraan T1-weighted. Hal ini dipercaya sebagai gambaran
adanya deposisi lemak intramural11

Gambar 17. Magnetic resonance enteroclysis menampilkan striktur pada


usus11

c. Endoskopi

Endoskopi merupakan alat diagnosis yang paling berguna dan dapat

digunakan untuk mengambil material biopsi. Endoskopi dapat

menampilkan perubahan tipikal pada kolon jika terlibat atau ileum jika

23
dapat dilakukan pemeriksaan. Saat ini ada yang dikenal dengan kapsul

endoskopi. Yang merupakan kapsul plastik disposibel yang beratnya 3,7

gram dengan ukuran diameter 11 mm, dan panjang 26 mm. Kapsul ini

berisikan chip kamera silikon, lensa dengan lengan fokal pendek, empat

white light-emitting, dan sumber iluminasi, dua batray oksida perak, dan

sebuag transmiter. Gerakan peristaltis akan mendorong kapsul melalui

saluran pencernaan dan gambar kan diterima dengan rata-rata 2 gambar

per detik. Kapsul endoskopi ini tidak bisa digunakan jika diketahui

terjadi striktur karena dapat menyebabkan obstruksi yang menyebabkan

harus dilakukannya operasi pada pasien yang sebenarnya tidak

membutuhkan operasi.10,11,13

Gambar 18 . Gambaran usus yang diperoleh dari kapsul endoskopi A. Ulserasi


ekstensif dan striktur B. Sebuah ulkus yang dalam. 13

d. Histopatologi

Gambaran mikroskopis dari crohn disease aktif yaitu tampak neutrofil

yang berlimpah yang menginfiltasi dan merusak kripta epitel.Neutrofil

dalam kripta disebut abses kripta dan sering dikaitkan dengan kerusakan

kripta. Ulserasi umum terjadi pada crohn disease, dan mungkin ada

transisi tiba-tiba antara ulserasi dan mukosa normal yang berdekatan.

Siklus berulang kehancuran crypt dan regenerasi menyebabkan distorsi

arsitektur mukosa; kriptus biasanya lurus dan sejajar mengambil bentuk

24
percabangan aneh dan tidak biasa orientasi satu sama lain (Gambar. )

Metaplasia epitel, konsekuensi lain dari cedera kambuh kronis, sering

mengambil bentuk gastric antral-appearing glands, dan disebut

metaplasia pseudopyloric.

Gambar 19 . Patologi mikroskopis crohn disease. A. Tampak kripta yang tidak


teratur akibat cedera da regenerasi berulang B. Granuloma non kaseosa, C.
Crohn disease transmuran dengan granuloma pada submukosa dan serosa 6

Metaplasia sel Paneth juga dapat terjadi di usus besar kiri, di mana sel-sel

Paneth normalnya tidak ada. Perubahan arsitektur dan metaplastik dapat

bertahan bahkan ketika peradangan aktif telah diselesaikan. Atrofi

mukosa, dengan hilangnya kriptus, dapat terjadi setelah penyakit berjalan

bertahun-tahun. Noncaseating granuloma (Gambar.), ciri dari crohn

disease, ditemukan di sekitar 35% kasus dan dapat terjadi di daerah

penyakit aktif atau daerah yang tidak terlibat dalam setiap lapisan

dinding usus (Gambar. ). Granuloma juga dapat muncul pada kelenjar

getah bening mesenterika. Granuloma kutaneus membentuk nodul yang

25
menandakan adanya sebagai crohn disease metastasis. Tidak adanya

granuloma tidak menyingkirkan diagnosis penyakit Crohn.6

F. Diagnosis Banding

Diagnosis banding penyakit Crohn meliputi penyebab spesifik dan

nonspesifik peradangan usus. Inflamasi bakteri, seperti yang disebabkan oleh

Salmonella dan Shigella, TB usus, dan infeksi protozoa, seperti amebiasis,

dapat muncul sebagai ileitis. Pada pasien dengan immunocompromised, infeksi

yang jarang terjadi, terutama mikobakteri dan cytomegaloviral, telah menjadi

lebih sering dan dapat menyebabkan ileitis. Ileitis distal akut dapat menjadi

manifestasi awal dari penyakit Crohn, tetapi mungkin juga tidak terkait, seperti

ketika ileitis disebabkan oleh agen bakteriologis (misalnya, Campylobacter

atau Yersinia). Pasien biasanya datang dengan gejala yang sama dengan pasien

apendisitis akut dengan onset mendadak nyeri kuadran kanan bawah, mual,

muntah, dan demam.2,10

Dalam kebanyakan kasus, penyakit Crohn pada usus besar dapat dengan

mudah dibedakan dari kolitis ulserativa. Namun, pada 5% sampai 10% dari

pasien, penggambaran antara Crohn dan kolitis ulserativa mungkin sulit.

Kolitis ulseratif hampir selalu melibatkan rektum, dengan peradangan yang

berkurang dari rektum ke daerah ileokolika. Sebaliknya, penyakit Crohn

mungkin lebih buruk di sisi kanan dari usus besar daripada di sisi kiri, dan

kadang-kadang rektum normal. Kolitis ulserativa juga menunjukkan

keterlibatan yang saling menyambung dari rektum ke segmen proksimal,

sedangkan pada penyakit Crohn keterlibatan usus adalah secara segmental.

Meskipun kolitis ulserativa melibatkan mukosa usus besar, namun tidak meluas

26
jauh sampai ke dalam dinding usus, seperti halnya penyakit Crohn. Perdarahan

merupakan gejala yang lebih sering terjadi pada kolitis ulseratif. Keterlibatan

perianal dan fistula rektovaginal jarang terjadi pada kolitis ulceratif, tetapi

lebih sering pada penyakit Crohn. Gambaran lain dari endoskopi penyakit

Crohn adalah skip lesion, keterlibatan usus yang asimetris, dan cobblestone

appearance yang dihasilkan dari ulserasi diselingi dengan pulau-pulau edema

mukosa.2,10

Tabel 2. Perbedaan Kolitis Ulseratif dan Crohn disease2

Kolitis Ulserosa Morbus Crohn


Patologi
Inflamasi Inflamasi akut berkambuh Inflamasi kronik berkambuh
Lokasi primer Sebagian kolon Tiap bagian saluran cerna
Rektum Selalu (95%) Sekitar 25-50%
Ileum Mungkin sedikit 80% termasuk
Sebagian refluks 50% semata-mata
Dinding (bagian usus yang Mukosa dan submoka Transmural sampai dengan
terserang) serosa
Penyebaran lesi Menyeluruh sampai rectum Lesi lompat diskontinu
Granulomatosa Tidak ada Khas jika ada
Fibrosis Dinding Kurang sekali Menonjol
Mukosa tampak seperti batu Jarang (pseudo polip, Sering
koral (Cobblestone) granular, kasar)
Mengenai kolon kanan Kadang terkena Sering terkena
Autoantibodi Sering Tidak ditemukan
Gambaran Klinis
Bersifat familial Ya Ya
Diare Sangat frekuen Tidak dominan
Perdarahan rektal Hampir selalu Mungkin
Nyeri perut Sedang, sebelum defekasi Nyeri sekali berupa serangan
sewaktu-waktu
Massa perut Jarang Biasa teraba
Keadaan Umum Biasanya sedang Sering sakit keras
Manifestasi Kadang Lebih jarang dari kolotis
ekstragastrointestinal ulseratif
Penyulit
Striktur Jarang Hampir salalu
Fistel Jarang Hampir salalu
Abses Kadang-kadang Sering
Kelainan anus Jarang Sering
Perdarahan yang banyak Sewaktu serangan akut Jarang
Obstruksi usus Jarang Hampir selalu
Obstruksi parsial
Perforasi Pada megakolon toksik Bebas : jarang
Tertutup : sering (abses)

27
Megakolon toksik Sewaktu serangan akut Jarang
Kejadian keganasan Risiko tinggi Risiko sedang
Tatalaksana

Steroid local Sewaktu serangan akut Efek kurang jelas


Steroid sistemik Kambuh berat Kambuhan berat
Sulfasalasin Obat dasar pilihan Efek kurang
Diet khusus Tidak berguna Mungkin berguna
Imunosupresi Mungkin berguna Jarang berguna
Tindakan bedah Pencegahan malignitas, kolitis Umumnya dilakukan
fulminans, penyulit (obstruksi, abses)

28
Crohn disease juga dapat didiagnosis dengan apendisitis akibat nyeri akut pada

daerah perut kanan bawah. Penyakit lainnya yang menyerupai crohn disease

seperti limfoma intestinal, tuberkulosis intestinal, iskemik enteritis,

divertikulitis, gastroenteritis berat, kolitis pseudomembran, dan irritable bowel

sindrome.2,10

G. Komplikasi

Komplikasi intestnal utama dari crohn disease termasuk obstruksi dan

perforasi. Obstruksi terjadi akibat lesi fibrosis kronis, yang menyebabkan

penyempitan lumen, sehingga terjadi obstruksi parsial atau near complite.

Perforasi bebas pada ruang peritoneal dapat menyebabkan peritonitis pada

pasien dengan crohn disease, namun presentasinya jarang. Biasanya yang lebih

sering terbentuk fistula antara sisi yang mengalami perforasi dan organ yang

berdekatan seperti loop usus halus dan kolon, vesika urinaria, vagina, lambung,

dan kadang kulit, serta biasanya pada bagian laparatomi sebelumnya. Abses

yang terlokalisasi dapat terjadi di dekat sisi yang mengalami perforasi. Pasien

dengan crohn disease dapat mengalami megakolon toksik yang muncul dengan

dilatasi kolon yang bermakna, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.2

Crohn disease yang berjalan lama merupakan predisposisi kanker baik

pada usus kecil dan usus besar. Risiko relatif untuk adenokarsinoma pada usus

kecil pada crohn disease minimal 100 kali lipat lebih besar dibandingkan

subyek kontrol. Karsinoma ini biasanya muncul pada sisi yang mengalami

29
sakit kronis dan lebih sering terjadi pada ileum. Sebagian besar tidak terdeteksi

sampai stadium lanjut, dan prognosis buruk. Meskipun risiko relatif untuk

kanker usus kecil pada crohn disease cukup tinggi, risiko absolut masih kecil.

Perhatian yang lebih besar ditujukan pada pengembangan dari kanker

kolorektal pada pasien dengan keterlibatan kolon dan durasi yang penyakit

yang panjang. Meskipun risiko kanker lebih rendah pada crohn disease

dibandingkam pada pasien dengan kolitis ulserativa yang luas, bukti terbaru

menunjukkan bahwa dengan durasi yang sama dan tingkat anatomi penyakit,

risiko kanker pada crohn disease dari usus besar sama besar seperti yang di

ulseratif kolitis. Displasia diduga merupakan prekursor lesi untuk kanker

terkait crohn disease. Kanker ekstraintestinal, seperti karsinoma sel skuamosa

dari vulva dan kanal analis, limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin, mungkin

lebih sering terjadi pada pasien dengan crohn disease.2

Penyakit perianal (fisura, fistula, striktur, atau abses) terjadi pada 25%

pasien dengan crohn disease yang terbatas pada usus kecil, 41% pada pasien

dengan ileocolitis, dan 48% dari pasien dengan keterlibatan kolon saja. Crohn

disease harus dicurigai pada setiap pasien dengan beberapa, fistula perianal

kronis. 2

H. Penatalaksanaan

Tidak ada obat untuk penyakit Crohn, sehingga kedua terapi baik medis dan

pembedahan terutama paliatif dan diarahkan untuk menghilangkan eksaserbasi

akut atau komplikasi dari penyakit. Obat yang telah menunjukkan keberhasilan

dalam induksi dan pemeliharaan remisi termasuk aminosalicylates (misalnya,

30
sulfasalazine, mesalamine), kortikosteroid, agen imunosupresif (misalnya,

azathioprine, 6-merkaptopurin, dan methotrexate), antibiotik, dan infliximab

(antibodi anti-TNF-α). Terapi inovatif lainnya berdasarkan target molekul

selektif saat ini sedang dianalisis.2

1. Terapi medikamentosa

a. Aminosalisilat

Sulfasalazine (Azulfidine), sebuah obat aminosalicylate, adalah

obat yang paling sering diresepkan untuk penyakit Crohn. Gugus aktif

sulfasalazine adalah asam 5-aminosalisilat. Sulfasalazine diberikan

peroral dan telah terbukti secara acak pada percobaan bemanfaat pada

pasien dengan penyakit Crohn. Manfaat yang jelas dicatat pada pasien

dengan kolitis dan ileocolitis, sedangkan efektivitas sulfasalazine saja

dalam pengobatan penyakit Crohn yang terbatas pada usus kecil masih

kontroversial. Berbeda dengan penggunaannya dalam ulcerative colitis,

sulfasalazine belum terbukti dapat mempertahankan remisi atau untuk

mencegah kekambuhan setelah operasi pada penyakit Crohn. Obat-obat

baru yang mirip Sulfasalazine (misalnya, mesalamine) yang memiliki

sediaan slow release asam 5-aminosalisilat selama perjalanan melalui

usus kecil dan usus besar sedang dievaluasi. Uji klinis telah

menunjukkan keberhasilan mesalamine dengan dosis 4 g / hari tanpa

peningkatan efek samping. Penelitian juga sedang dilakukan untuk

mengevaluasi dosis lebih tinggi. Mesalamine dianggap terapi lini

pertama untuk penyakit Crohn.2,15,16

31
b. Kortikosteroid

Kortikosteroid, terutama prednison, bermanfaat dalam

menginduksi remisi pada penyakit Crohn aktif. Namun, tidak efektif

dalam mempertahankan remisi pada penyakit Crohn. Kortikosteroid

lebih baru yang telah dievaluasi, budesonide telah ditemukan yang

memberi manfaat yang lebih menjanjikan. Dalam sebuah penelitian,

dosis tinggi budesonide lebih efektif dibandingkan plasebo dalam

mencapai remisi pada pasien dengan penyakit Crohn aktif. Meskipun

kombinasi sulfasalazine dan kortikosteroid dapat digunakan untuk

mempertahankan pasien untuk jangka pendek setelah resolusi

eksaserbasi inflamasi akut, penggunaan jangka panjang dari senyawa

ini, baik sendiri atau dalam kombinasi, belum terbukti bermanfaat

dalam mencegah kekambuhan penyakit. Mengingat respon yang relatif

baik untuk mesalamine dan keamanannya, budesonide dapat dianggap

sebagai alternatif untuk mesalamine sebagai terapi lini pertama untuk

pasien dengan penyakit aktif Crohn.2,15,16

c. Antibiotik

Antibiotik tertentu ditemukan efektif dalam terapi primer penyakit

Crohn. Antibiotik yang banyak digunakan metronidazol, yang dalam

beberapa penelitian telah ditunjukkan perbaikan yang signifikan dalam

aktivitas penyakit. Antibiotik lain yang telah digunakan dengan

berbagai keberhasilan termasuk ciprofloxacin, tetrasiklin, ampisilin, dan

klindamisin. Mekanisme kerja antibiotik pada penyakit Crohn tidak

32
jelas, dan efek samping dari antibiotik ini menghalangi penggunaan

jangka panjannya. Oleh karena itu, antibiotik mungkin memainkan

peran ajuvan dalam pengobatan penyakit Crohn dan pada pasien

tertentu, mungkin berguna dalam mengobati penyakit perianal, fistula

enterocutaneous, atau penyakit usus aktif.2,15

d. Agen imunosupresif

Agen imunosupresif seperti azathioprine dan 6-merkaptopurin

efektif dalam pengobatan penyakit Crohn. Meskipun memiliki potensi

toksisitas, obat ini telah terbukti relatif aman pada pasien penyakit

crohn, dengan efek samping yang paling umum termasuk pankreatitis,

hepatitis, demam, dan ruam. Implikasi paling membingungkan dari

imunosupresan ini supresi sumsum tulang dan potensi keganasan. Agen

imunosupresif lainnya yang telah digunakan meliputi metotreksat,

siklosporin, dan tacrolimus (FK-506). Tacrolimus menghambat

produksi IL-2 oleh sel T-helper dan, dalam percobaan multicenter

secara acak baru-baru ini, ditemukan efektif untuk perbaikan fistula,

tetapi tidak pada remisi fistula pada pasien dengan penyakit Crohn

perianal.2,15,16

e. Terapi Antisitokin dan sitokin

Terapi yang paling menjanjikan yang muncul dalam beberapa

tahun terakhir adalah pengenalan terapi imunomodulator menggunakan

sitokin dan antiisitokin. Antibodi monoklonal untuk TNF-α sangat

menjanjikan. Uji klinis menunjukkan kontrol yang cepat dari penyakit

33
Crohn aktif, penyembuhan jaringan, dan remisi yang potensial. Sebuah

uji coba terkontrol secara acak menunjukkan bahwa infliximab,

antibodi monoklonal chimeric untuk TNF-α, bermanfaat dan aman

dalam pengobatan penyakit Crohn tingkat sedang sampai berat dan

mengakibatkan penutupan fistula pada 46% dari pasien dibandingkan

dengan hanya 13% dari pasien menerima plasebo. Meskipun sangat

efektif pada pasien dengan penyakit Crohn tertentu dengan fistula, tidak

setiap pasien merespon infliximab. Selain itu, ada peningkatan risiko

reaktivasi tuberkulosis, infasi jamur dan infeksi oportunistik lainnya,

demielinasi lesi sistem saraf pusat, aktivasi multiple sclerosis laten, dan

memperburuk penyakit jantung kongestif. Hasil menjanjikan juga telah

diperoleh dengan menggunakan anti-inflamasi sitokin IL-10. Sebuah

percobaan multicenter acak menemukan bahwa IL-10 menunjukkan

peningkatan yang signifikan dalam status klinis 46% pasien dengan

penyakit Crohn dibandingkan dengan 19% dari subyek kontrol yang

menggunakan plasebo. 2,15,16

Agen terapi lainnya sedang diteliti termasuk antagonis reseptor IL-

1, anti-IL-12, anti-IL-18, dan antibodi-anti-interferon γ, anti-adhesi

antibodi molekul, dan faktor pertumbuhan. Senyawa yang juga sedang

dievaluasi dalam melakukan blok jalur sinyal tertentu (misalnya, NF-

kB, MAP kinase, dan PPARG) dalam studi terbatas, beberapa senyawa

ini telah menunjukkan perbaikan klinis. Sebuah percobaan baru-baru ini

juga telah dilaporkan dimana penggunaan natalizumab, sebuah

34
recombinant humanized monoclonal antibody terhadap α4-integrin,

menunjukan keberhasilan dalam mengurangi tanda-tanda dan gejala

penyakit Crohn yang setidaknya mirip dengan infliximab.2,15,16

2. Terapi nutrisi

Terapi nutrisi pada pasien dengan penyakit Crohn telah digunakan

dengan berbagai tingkat keberhasilan. Penggunaan chemically defined

elemental diet telah ditunjukkan dalam beberapa studi untuk mengurangi

aktivitas penyakit, terutama pada pasien dengan penyakit lokal di usus

kecil. Diet polimer cair mungkin sama efektifnya dengan elemental

feedings dan lebih diterima oleh pasien. Dengan beberapa pengecualian,

diet elemental standar belum efektif dalam pemeliharaan remisi pada

penyakit Crohn. Nutrisi parenteral total (TPN) juga telah terbukti

penggunaannya pada pasien dengan penyakit Crohn aktif, namun, tingkat

komplikasi meningkat pada orang-orang untuk nutrisi enteral. Meskipun

peran utama terapi nutrisi dipertanyakan pada pasien dengan penyakit

inflamasi usus, pasti ada peran sekunder untuk suplementasi gizi untuk

mengisi simpanan nutrisi yang habis, sehingga memberi waktu sintesis

protein dan penyembuhan usus, dan untuk mempersiapkan pasien sebelum

operasi. 2,15,16

3. Terapi Pembedahan

Meskipun penatalaksanaan medis ditunjukkan selama eksaserbasi

akut dari penyakit, kadang kebanyakan pasien dengan penyakit Crohn

kronis memerlukan pembedahan selama perjalanan penyakitnya. Pada

35
pasien dengan lama sakit lebih dari 20 tahun, probabilitas kumulatif

melakukan operasi adalah 78%. Indikasi untuk operasi terbatas pada

komplikasi yang mencakup obstruksi usus, perforasi usus dengan

pembentukan fistula atau abses, perforasi bebas, perdarahan

gastrointestinal, komplikasi urologi, kanker, dan penyakit perianal. Anak-

anak dengan penyakit Crohn yang mengalami gejala sistemik, seperti

retardasi pertumbuhan, bisa mendapat keuntungan dengan melakukan

reseksi. Komplikasi ekstraintestinal penyakit Crohn, meskipun bukan

merupakan indikasi primer untuk operasi, sering menurun setelah reseksi

usus yang terlibat, dengan pengecualian pada spondilisis ankilosis, dan

komplikasi hepatik.2

Terapi operatif pada pasien dengan penyakit Crohn harus secara

khusus ditujukan untuk komplikasi, dan hanya segmen usus yang terlibat

dalam proses komplikasi yang harus direseksi. Bahkan jika daerah yang

berdekatan usus jelas bermasalah, bagian tersebut harus diabaikan. Pada

awal sejarah terapi bedah pada penyakit Crohn, ahli bedah cenderung

untuk melakukan reseksi lebih luas dengan harapan menyembuhkan atau

remisi yang signifikan. Namun, reseksi luas yang berulang mengakibatkan

tidak ada remisi atau penyembuhan yang lebih baik dan menyebabkan

sindrom usus pendek, yang merupakan komplikasi bedah. Frozen section

untuk menentukan penyakit mikroskopis tidak dapat tidak dianjurkan.

Oleh karena itu, pengobatan operatif dari komplikasi harus dibatasi pada

segmen usus yang terlibat dengan komplikasi, dan tidak ada yang upaya

36
harus dilakukan untuk mereseksi usus lebih meskipun penyakit jelas dapat

terlihat.2

Peran operasi laparoskopi untuk pasien dengan penyakit Crohn

telah diterima sebagai pendekatan bedah alternatif. Pada pasien dipilih

dengan tepat, misalnya, orang-orang dengan abses lokal, fistula intra-

abdominal sederhana, penyakit perianastomotic berulang dan penyakit

yang terbatas pada ileum distal mana ileocecectomy diindikasikan, teknik

ini tampaknya layak dan aman. Uji klinis acak diperlukan untuk menilai

peran potensi masa depan operasi laparoskopi dalam pengelolaan pasien

dengan crohn disease.2

4. Penatalaksanaan Masalah Spesifik

a. Ileitis akut

Pasien dapat datang dengan nyeri abdomen akut terlokalisasi pada

kuadran kanan bawah dan tanda-tanda dan gejala yang konsisten

dengan diagnosis apendisitis akut. Pada eksplorasi, apendiks ditemukan

normal, tetapi ileum terminal mengalami edema dan berwarna daging

merah, dengan mesenterium menebal dan pembesaran kelenjar getah

bening. Kondisi ini, dikenal sebagai ileitis akut, Yang merupakan self-

limited disease. Ileitis akut bisa jadi merupakan manifestasi awal dari

penyakit Crohn. Agen bakteriologis seperti Campylobacter atau

Yersinia dapat mengakibatkan ileitis akut. Reseksi usus sebaiknya tidak

dilakukan. Meskipun di masa lalu pengelolaan apendiks masih

kontroversial, jelas sekarang bahwa dengan tidak adanya keterlibatan

37
inflamasi akut apendiks atau sekum, apendektomi tetap harus

dilakukan. Hal ini mengeliminasi apendiks sebagai sumber nyeri perut

di masa yang akan datang.2

b. Obstruksi

Obstruksi usus adalah indikasi yang paling umum untuk terapi

pembedahan pada pasien dengan penyakit Crohn. Obstruksi pada pasien

seperti ini sering parsial, dan penatalaksanaan nonoperative

diindikasikan awalnya. Intervensi operasi diperlukan dalam kasus

obstruksi lengkap dan pada pasien dengan obstruksi parsial yang

kondisinya tidak membaik dengan penatalaksanaan nonoperative.

Pengobatan pilihan obstruksi usus pada pasien dengan penyakit Crohn

adalah reseksi segmental dari segmen yang terlibat dengan

reanastomosis primer. Hal ini mungkin melibatkan reseksi segmental

dan anastomosis primer dari segmen pendek ileum sisi tersebut

mengalami komplikasi. Lebih umum, sekum terlibat secara

berkelanjutan dengan ileum terminal, dalam hal reseksi ileum

terminaldan kolon yang terlibat diperlukan dan ileum yang

dianastomosiskan ke kolon asendens atau transfersal.2

38
Gambar 20 . Reseksi ileum, ileosekal valve, caecum, dan kolon asendens,
pada chron disease pada ileum. Kontinuitas intestinal dikembalikan dengan
anastomosis end to end2

Pada pasien dengan obstruksi yang disebabkan oleh striktur (baik

tunggal atau ganda), salah satu pilihan adalah untuk melakukan

strictureplasty yang efektif memperlebar lumen tapi menghindari

reseksi usus. Strictureplasty dilakukan dengan membuat insisi

longintudinal melalui sebuah daerah usus yang menyempit diikuti

dengan penutupan secara transfersal dalam cara yang mirip dengan

Heineke-Mikulicz pyloroplasty. Untuk segmen usus yang panjang yang

mengalami penyakit chorn (> 10 cm), strictureplasty dapat dilakukan

mirip dengan Finney pyloroplast atau side-to-side isoperistaltic

strictureplasty. Strictureplasty banyak diterapkan pada pasien yang

memiliki area penyempitan multipel yang pendek sepanjang segmen

panjang usus, pada pasien yang telah memiliki beberapa reseksi

sebelumnya dari usus kecil, dan ketika area penyempitan disebabkan

obstruksi fibrosa lebih dari peradangan akut. Prosedur ini

39
mempertahankan usus dan berhubungan dengan angka komplikasi dan

kekambuhan sebanding dengan reseksi dan reanastomosis.

Gambar 21. A. Teknik strikturplasti dengan cara Heineke-Mikulicz pyloroplasty


B. untuk segmen yang lebih panjang strikturplasti dilakukan dengan cara yang sama
dengan Finney pyloroplasty2

Di masa lalu, prosedur bypass digunakan secara umum. Saat ini,

bypass dengan pengecualian hanya digunakan pada pasien usia lanjut,

pasien dengan risiko buruk, pasien yang telah memiliki beberapa

reseksi sebelumnya dan tidak mampu untuk kehilangan lebih banyak

ususnya, dan pasien yang dengan reseksi akan membuat abses masuk

atau membahayakan struktur normal.2

c. Fistula

Fistula pada pasien dengan penyakit Crohn relatif sering terjadi

dan biasanya terhadap usus kecil yang berdekatan, kolon, atau organ

40
lain disekitarnya (misalnya, kandung kemih). Adanya fistula

enteroenteral secara radiografi tanpa tanda-tanda sepsis atau komplikasi

lain tidak dengan sendirinya merupakan indikasi untuk operasi. Namun,

banyak dari pasien ini akhirnya akan memerlukan reseksi sejalan

dengan perkembangan dan pasien yang telah mengalami sakit perut

yang berat. Fistula enterocutaneous dapat terjadi tetapi jarang spontan

dan lebih mungkin untuk mengikuti reseksi atau drainase abses intra-

abdominal. Idealnya, fistula enterocutaneous harus dikelola dengan

eksisi saluran fistula bersama dengan segmen usus yang sakit dan

melakukan reanastomosis primer. Jika fistula terbentuk antara dua atau

lebih loop usus yang sakit yang berdekatan, segmen yang terlibat harus

dipotong. Atau, jika fistula melibatkan organ normal yang berdekatan,

seperti kandung kemih atau kolon, hanya segmen dari usus kecil yang

sakit dan saluran fistulous yang harus direseksi, dan defek pada organ

yang normal hanya ditutup secara sederhana. Kebanyakan pasien

dengan fistula ileosigmoid tidak memerlukan reseksi sigmoid karena

penyakit ini biasanya terbatas pada usus kecil. Namun, jika segmen

sigmoid juga ditemukan memiliki penyakit Crohn, itu harus direseksi

bersama dengan segmen usus kecil yang sakit.2

d. Perforasi Bebas

Perforasi ke dalam rongga peritoneum bebas terjadi kadang-kadang

tapi tidak umum pada pasien dengan penyakit Crohn. Ketika ini terjadi,

segmen usus yang terlibat harus direseksi dan, dengan adanya

41
kontaminasi minimal, anastomosis primer harus dilakukan. Jika terjadi

peritonitis umum, pilihan yang lebih aman adalah melakukan

Enterostomi sampai sepsis intra-abdominal terkontrol dan kemudian

kembali untuk restorasi kontinuitas usus. 2

e. Perdarahan gastrointestinal

Meskipun anemia karena kehilangan darah kronis umum terjadi

pada pasien dengan penyakit Crohn, perdarahan gastrointestinal yang

mengancam jiwa jarang terjadi. Insiden perdarahan lebih sering terjadi

pada pasien dengan penyakit Crohn yang melibatkan kolon

dibandingkan usus kecil. Seperti komplikasi lain, segmen yang terlibat

harus direseksi dan kontinuitas usus dipulihkan. Arteriografi mungkin

berguna untuk melokalisasi pendarahan sebelum operasi.2

f. Komplikasi urologi

Komplikasi genitourinari terjadi pada 4%- 35% dari pasien dengan

penyakit Crohn. Komplikasi urologi yang paling sering adalah obstruksi

ureter, yang biasanya terjadi akibat penyakit ileokolika dengan abses

retroperitoneal. Pembedahan penyakit usus primer memberi manfaat

pada kebanyakan pasien. Dalam beberapa kasus penyakit radang lama,

fibrosis periureterik dapat muncul dan memerlukan ureterolysis.2

g. Kanker

Pasien dengan penyakit Crohn lama pada usus kecil dan,

khususnya, usus besar memiliki peningkatan insiden kanker.

Penatalaksanaan pasien ini adalah sama dengan pasien yang lain (yaitu,

42
reseksi kanker dengan margin yang tepat dan kelenjar getah bening

regional). Pasien dengan kanker yang berhubungan dengan penyakit

crohn umumnya memiliki prognosis yang lebih buruk daripada mereka

yang tidak memiliki penyakit crohn, sebagian besar didasarkan pada

kenyataan bahwa terdapat keterlambatan diagnosis pada pasien ini.2

h. Penyakit kolorektal

Prinsip yang sama berlaku untuk pasien dengan penyakit Crohn

terbatas pada kolon untuk orang-orang dengan penyakit pada usus kecil;

yaitu, reseksi bedah harus dibatasi segmen yang menyebabkan

terjadinya komplikasi. Indikasi operasi meliputi kurangnya respon

terhadap penatalaksanaan medis atau komplikasi dari kolitis crohn,

yang meliputi obstruksi, perdarahan, perforasi, dan megakolon toksik.

Tergantung pada segmen yang sakit, operasi umumnya termasuk

kolektomi segmental dengan anastomosis colocolonic, kolektomi

subtotal dengan ileoproctostomy, dan pada pasien dengan penyakit

perianal dan rektal yang luas, proctocolectomy total dengan Brooke

ileostomy. Pasien dengan megakolon toksik harus menjalani kolektomi,

penutupan rektum proksimal, dan end ileostomy. Masalah utama yang

terjadi setelah proctocolectomy pada pasien dengan penyakit Crohn

adalah tertundanya penyembuhan luka pada perineum. Beberapa seri

telah melaporkan bahwa 25% - 60% dari luka perineum terbuka 6 bulan

setelah operasi. Luka persistent yang tidak menyembuh memerlukan

eksisi dengan penutupan sekunder. Kavitas yang besar atau sinus dapat

43
diisi menggunakan pedikel otot yang memiliki vaskularisasi yang baik

(Otot gracilis, semimembranosus, rektus abdominis) atau omentum atau

dengan menggunakan graft myocutaneous glutealis inferior.2

i. Penyakit perianal

Penyakit yang melibatkan daerah perianal termasuk fisura dan

fistula dan cukup sering terjadi pada pasien dengan penyakit Crohn,

terutama mereka dengan keterlibatan kolon. Pengobatan penyakit

perianal harus konservatif. Antibiotik dan agen imunosupresif

(misalnya, azathioprine dan 6-merkaptopurin) telah digunakan dengan

berbagai keberhasilan. Laporan menyatakan penggunaaan antibodi

TNF-α infliximab dan tacrolimus memberikan hasil yang baik. Eksisi

luas pada abses atau fistula tidak diindikasikan, tetapi intervensi yang

lebih konservatif, termasuk penempatan kateter drainase dan noncutting

setons, lebih disukai. Fistulotomy definitif diindikasikan pada sebagian

besar pasien dengan fistula superfisial trans-sfingter rendah, dan fistula

intersphincteric rendah, meskipun harus diakui bahwa beberapa derajat

stenosis anal dapat terjadi sebagai akibat dari peradangan kronis. Fistula

trans-sfingter tinggi, suprasphincteric, dan extrasphincteric biasanya

diobati dengan noncutting setons. Fisura biasanya lateral, relatif tanpa

rasa sakit, besar, dan indolent serta biasanya berespon dengan

penatalaksanaan konservatif. Abses harus didrainase, tetapi excisions

besar jaringan tidak boleh dilakukan. Penutupan flap fistula perineal

mungkin diperlukan dalam kasus tertentu.2

44
j. Penyakit duodenum

Penyakit Crohn duodenum terjadi pada 2% - 4% dari pasien

dengan penyakit Crohn. Intervensi operasi jarang terjadi. Indikasi

utama untuk operasi pada pasien ini adalah obstruksi duodenum yang

tidak berespon baik terhadap terapi medikamentosa. Penggunaan

gastrojejunostomy untuk bypass penyakit adalah prosedur pilihan

dibandingkan reseksi duodenum. Strictureplasties telah dilakukan dan

berhasil pada pasien tertentu.2

I. Prognosis

Operasi yang ditujukan pada penyakit Crohn tidak bersifat kuratif. Operasi

mengurangi gejala-gejala signifikan yang sering terjadi. Tingginya tingkat

kekambuhan dilaporkan di sebagian besar penelitian. Bukti endoskopi

memperlihatkan kekambuhan terdeteksi pada sekitar 70% dari pasien dalam

waktu 1 tahun dari operasi dan di 85% dalam kurun waktu 3 tahun. Sebagian

besar kekambuhan ini tidak menunjukkan gejala. Setelah reseksi pertama untuk

penyakit Crohn, sekitar 45% pasien akhirnya akan membutuhkan operasi

kedua, di antaranya hanya 25% akan memerlukan operasi ketiga. Mayoritas

pasien tersebut melaporkan menghilangnya gejala setelah operasi, pemulihan

perasaan kesejahteraan dan kemampuan untuk makan normal, dan

pengurangan kebutuhan terapi medis.2,3

Tingkat kematian standar pada pasien dengan penyakit Crohn meningkat

pada pasien yang penyakitnya dimulai sebelum usia 20 dan pada mereka yang

45
memiliki penyakit ini selama lebih dari 13 tahun. Studi tentang kelangsungan

hidup jangka panjang telah menyatakan bahwa pasien dengan penyakit Crohn

memiliki tingkat kematian yang sekitar dua sampai tiga kali lebih tinggi dari

pada populasi umum. Kanker gastrointestinal tetap menjadi penyebab utama

kematian terkait penyakit Crohn. Penyebab lain kematian terkait penyakit

termasuk sepsis, komplikasi tromboemboli, dan gangguan elektrolit.2

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Djojoningrat D. IBD alur diagnosis dan pengobatannya di Indonesia.


Dalam : Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrat M, Setiani S. Editor.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I, Ed. 5. Jakarta: Internal Publishing;
2010. p. 591.

2. Inflammatory Disease. In Courtney M. Townsend, R. Daniel Beauchamp,


B, Mark Evers, Keneth L. Mattox, editors Sabiston Textbook Of Surgery.
18th ed. California. Saunders 2007.
3. Lindseth GN. Gangguan usus halus. Dalam : Prince SL, Wlison LM.
Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Jilid 1. Ed. 6. Jalarta:
EGC; 2005.
4.
5. Debas HT. Gastrointestinal surgery: pathophysiologi and management.
Springer: 2004.
6. Kumar R, Abbas A, DeLancey A, Malone E. Robbins and cotran
pathologic basis of disease. 8th Edition. Saunders Elsevier Inc. 2010.
7. Bamias G. Nyce M, De La Rue SA, Cominelli F. New Concepts in the
pathophysiology of inflamatory bowel disease. Ann Intern Med.
2005;143:895-904.

8. Keshav S. The gastrointestinal system at a glance. 1st Edition. Blackwell


Science. 2003.
9. McLatchie G. Borley N, Chikwe J. Oxford handbook of clinical surgery.
Oxford University Press. 2013.

10. Doherty GM. Current Diagnosis & Treatment Surgery. 13th Edition.
McGraw and Hill. 2010.
11. Williams N, Bulstrode CJK, O’Connell PR. Bailey and love’s short
practice of surgery.Taylor and Francis Group. 2013.

47
12. Klingensmith ME, Aziz A, Bharat A, Fox AC, Porembka MR. The
Washington manual of surgery, 6th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins. 2012.
13. Garden OJ, Bradbury AW, Forsythe JLR, Parks RW. Principles and
practice of surgery 6th Edition. Elsevier Churchill Livingstone. 2012.

14. Sala E, Freeman Alan H, Lomas David J, Helmut Ringl. Radiology for
Surgeons in Clinical Practice. Springer. London. 2008.
15. Norton Jeffrey A, Barie Philip S, Bollinger Randal R, Surgery Basic
Sceince And Clinical Evidence. 2nd Edition. Springer. New York. 2008. p.
975
16. Bayless TM, Diehl AM. Advance therapy in gastroienterology and liver
disease. 5th Edition. Decker Inc. 2005.

48

Anda mungkin juga menyukai