PARAPARESE
Klasifikasi:
1. Paraparese spastik: terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor
neuron (UMN) sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau
hipertonus.
2. Paraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor
neuron (LMN) sehingga menyebabkan penurunan tonus otot atau
hypotonus.
Paraparesis Inferior
2. Fisiologi
Ada 31 pasang nervus spinalis dan dibagi dalam empat kelompok
nervus spinalis, yaitu :
a. Nervus servikal : berperan dalam pergerakan dan perabaan pada lengan,
leher, dan anggota tubuh bagian atas
b. Nervus thorak : mempersarafi tubuh dan perut
c. Nervus lumbal dan nervus sacral : mempersarafi tungkai, kandung kencing,
usus dan genitalia. 2
Susunan neuromuskular terdiri dari Upper Motor Neuron (UMN) dan
Lower Motor Neuron (LMN). UMN merupakan kumpulan saraf-saraf motorik
yang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik cerebrum
sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak sampai cornu anterior
medulla spinalis. Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok
UMN dibagi dalam susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan
piramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Traktus
kortikobulbar fungsinya untuk geraakan-gerakan otot kepala dan leher,
sedangkan traktus kortikospinal fungsinya untuk gerakan-gerakan otot tubuh
dan anggota gerak. Sedangkan lower motor neuron (LMN), yang merupakan
kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari cornu anterior medulla
spinalis sampai ke efektor dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang.
1,2
C. Etiologi
Penyebab paraparese menurut Smeltzer (2014) adalah sebagai berikut:
1. Faktor trauma tulang belakang, paling banyak terjadi karena jatuh dari
ketinggian.
2. Faktor infeksi myelin
3. Tumor atau neoplasma pada medulla spinalis
4. Abses tuberculosa
5. Spina bifida thoracoumbal
6. Proses degenerasi medulla spinalis.
D. Manifestasi Klinis
Nurarif (2013) menjelaskan bahwa lesi yang terjadi pada medulla
spinalis dapat menimbulkan gejala klinis:
1. Gangguan fungsi motorik
a. Lesi pada medulla spinalis merusak kornu anterior medulla spinalis
sehingga menimbulkan kelumpuhan LMN pada otot-otot yang
dipersyarafi oleh kelompok motoneuron ynag terkena lesi dan
menyebabkan nyeri punggung yang terjadi secara tiba-tiba.
b. Gangguan motorik dibawah lesi: dapat terjadi kelumpuhan UMN
karena jaras kortikospinal lateral segmen thorakal terputus. Gerakan
reflex tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan tetap utuh atau
bahkan meningkat. Misalnya, reflex lutut tetap ada dan bahkan
meningkat. Meningkatnya reflex ini menyebabkan kejang tungkai.
Reflex yang tetap dipertahankan menyebabkan otot yang terkena
menjadi memendek sehingga terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot
yang spastik teraba kencang dan keras dan sering mengalami kedutan.
2. Gangguan fungsi sensorik
Karena lesi total juga merusak kornu posterior medulla spinalis maka akan
terjadi penurunan atau hilang fungsi sensitabilitas di bawah lesi. Penderita
tidak dapat merasakan adanya rangsangan taktil, rangsang nyeri, rangsang
thermal.
3. Gangguan fungsi autonomy karena terputusnya jaras ascenden
spinothalamicus maka penderita kehilangan kontrol vesika urinaria dan
kehilangan kontrol saat defekasi (disfungsi kandung kemoh dan usus).
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
2. Hematologi
a. Hemoglobin dapat menurun karena destruksi sum-sum tulang vertebra
atau perdarahan. Peningkatan leukosit menandakan selain adanya
infeksi juga karena kematian jaringan.
b. Kimia klinik: fungsi pembekuan darah sebelum terapi antikoagulan.
c. Juga dapat terjadi gangguan elektrolit karena terjadi gangguan dalam
fungsi perkemihan dan fungsi gastrointestinal.
d. Radiognostik
e. CT Scan untuk melihat adanya edema, hematoma, iskemia dan infark
f. MRI menunjukkan daerah yang mengalami fraktur, infark hemoragik.
g. Rontgen menunjukkan daerah yang mengalami fraktur dan kelainan
tulang.
F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan cedera medulla spinalis menurut Mansjore (2009)
antara lain:
a. Penanganan awal cedera medulla spinalis, yaitu:
1) Mempertahankan usaha bernapas
2) Mencegah syok
3) Imobilisasi leher (neck collar dan long spine board)
4) Selain itu, fokus selanjutnya adalah mempertahankan tekanan darah
dan pernapasan, stabilisasi leher, mencegah komplikasi (retensi
urine atau alvi, komplikasi kardiovascular atau respiratorik, dan
thrombosis vena-vena profunda)
b. Penanganan lanjut trauma medulla spinalis dapat dilakukan dengan:
1) Farmakoterapi
Pemberian kortikosteroid dosis tinggi, khususnya metilprednisolon,
telah ditemukan unruk memperbaiki prognosis dan mengurangi
kecacatan bila diberikan dalam 8 jam cedera.
2) Hipotermia
Teknik pendinginan atau penyebaran hipotermia ke daerah cedera
dari medulla spinalis, untuk mengatasi kekuatan autodestruktif yang
mengikuti tipe cedera ini, cara ini keefektifannya masih diselidiki.
3) Tindakan pernapasan
Oksigen diberikan untuk mempertahankan PO2 arteri tinggi, karena
anoksemia dapat menimbulkan atau memperburuk deficit
neurologic medulla spinalis. Intubasi endotrakea diberikan bila
perlu, perawatan ekstrem dilakukan untuk menghindari fleksi atau
ekstensi leher, yang dapat menimbulkan tekanan pada cidera
servikal diaphragma pacing (stimulasi listrik terhadap saraf frenik)
dapat dipertimbangkan unituk pasien dengan lesi servikal tinggi
tetapi biasanya dilakukan setelah fase akut.
4) Traksi dan Reduksi skelet
Penatalaksanaan cidera medulla spinalis memerlukan imobilisasi
dan reduksi dislokasi (memperbaiki posisi normal) dan stabilisasi
kolum vertebra.
5) Fraktur servikal dikurangi dan spinal servikal disejajarkan dengan
beberapa bentuk traksi seklet seperti tong seklet atau callipers, atau
dengan menggunakan alat halo.
6) Intervensi pembedahan, pembedahan diindikasikan bila :
a) Deformitas pasien tidak dapat dikurangi dengan traksi
b) Tidak ada kestabilan tulang servikal
c) Cedera terjadi pada daerah toraks atau lumbal
d) Status neurologic pasien memburuk.
Pembedahan dilakukan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi
atau dekompresi medulla. Laminektomi (eksisi cabang posterior dan
prossesus spinosus vertebra) diindikasikan pada adanya defisit neurologic
progresif, dicurigai adanya hematoma epidural, atau cedera penetrasi yang
memerlukan debridemen pembedahan, atau memungkinkan visualisasi
langsung dan eksplorasi medulla.
Penderita menghadapi ketidakmampuan fisik sepanjang hidup sehingga
memerlukan tindak lanjut dan perawatan terus menerus dari professional
kesehatan seperti psikiatris, perawat rehabilitasi, ahli terapi okupasi.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Potter & Perry (2009), pasien dengan paraparese perlu
dilakukan ROM. ROM terdiri dari gerakan pada persendian sebagai berikut :
a. Leher, Spina, Servikal
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menggerakan dagu menempel ke dada, rentang 45°
Ekstensi Mengembalikan kepala ke posisi tegak, rentang 45°
Hiperektensi Menekuk kepala ke belakang sejauh rentang 40-
mungkin, 45°
Fleksi lateral Memiringkan kepala sejauh mungkin rentang 40-
sejauh mungkin kearah setiap bahu, 45°
Rotasi Memutar kepala sejauh mungkin dalam rentang
gerakan sirkuler, 180°
b. Bahu
c. Siku
d. Lengan bawah
e. Pergelangan tangan
g. Ibu jari
h. Pinggul
i. Lutut
j. Mata kaki
k. Kaki
l. Jari-Jari Kaki
G. Komplikasi
Mansjoer (2009) menjelaskan bahwa komplikasi yang dapat muncul
akibat dari paraparese adalah :
2. Gangguan penghubung dari lokasi pusat hambatan yang lebih tinggi di
otak.
3. Infeksi dan sepsis dari berbagai sumber meliputi saluran kemih, saluran
pernapasan dan decubitus.
II. LANDASAN TEORITIS ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Data – data yang sering muncul saat dilakukannya pengkajian pada
pasien dengan paraparese, anatara lain (Nurarif, 2013):
1. Riwayat
a. Keluhan Utama
Biasanya didapatkan laporan kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas,
inkontinensia defekasi dan berkemih
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya terjadi riwayat trauma, pengkajian yang didapat meliputi
hilanya sensibilitas, paralisis, ileus paralitik, retensi urine, hilangnya
refleks
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat infeksi, tumor, cedera tulang belakang, DM, jantung,
anemia, obat antikoagulan, alkohol.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat kelurga dengan penyakit yang sama.
2. Pola Gordon
a. Persepsi dan Penanganan Kesehatan
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan dan penanganan kesehatan.
Persepsi terhadap arti kesehatan, dan piñata laksanaan kesehatan,
kemampuan menyusun tujuan, pengetahuan tentang praktek kesehatan.
Komponen:
b. Nutrisi-Metabolik
Menggambarkan intake makanan, keseimbangan cairan dan elektrolit,
nafsu makan, pola makan, diet, fluktuasi BB dalam 6 bulan terakhir,
kesulitan menelan, mual / muntah, kebutuhan julah zat gizi, masalah /
penyembuhan kulit, akanan kesukaan.
Komponen
c. Eliminasi
Menggambarkan pola fungsi eksresi, kandung kemih dan kulit.
Komponen
d. Aktivitas-Latihan
Menggambarkan pola aktivitas dan latihan, fungsi pernafasan dan sirkulasi.
Komponen
e. Tidur-Istirahat
Menggambarkan pola tidur-istirahat dan persepsi pada level energi.
` Komponen
f. Kognitif-Persepsi
Menggambarkan pola pendengaran, penglihatan, pengecap, taktil,
penciuman, persepsi nyeri, bahasa, memori dan pengambilan keputusan.
Komponen
Komponen
h. Peran – Hubungan
Menggambarkan keefektifan hubungan dan peran dengan keluarga-
lainnya. Komponen
1) Apakah ada perubahan besar dalam kehidupan dalam bbrp thn terakhir
2) Dalam menghadapi masalah apa yang dilakukan?efektif?
3) Apakah ada orang lain tempat berbagi?apakah orang tersebut ada
sampai sekarang?
4) Apakah anda selalu santai/tegang setiap saat
5) Adakah penggunaan obat/zat tertentu
k. Nilai – Kepercayaan
Menggambarkan spiritualitas, nilai, sistem kepercayaan dan tujuan
dalam hidup. Komponen
Skala
Tingkat Fungsi Otot %
Tingkat Skala Lovett
Normal
Tidak ada kontraktilitas 0 0 0 (nol)
Kontraktilitas ringan, tidak 1 10 T
ada gerakan (trace/mimimal)
Rentang gerak penuh, 2 25 P (poor/buruk)
tanpa gravitasi
Rentang gerak penuh, 3 50 F (fair/cukup)
dengan gravitasi
Rentang gerak penuh, 4 75 G (good/baik)
melawan gravitasi, terdapat
sedikit tahanan
Rentang gerak penuh, 5 100 N (normal)
melawan gravitasi, tahanan
penuh
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan
paraparese antara lain (Nurarif, 2013):
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan
2. Retensi Urin berhubungan dengan cedera medulla spinalis
3. Konstipasi berhubungan dengan gangguan neurologis
4. Disfungsi seksual berhubungan dengan gangguan neurologis
5. Ketidakefektifan koping berhubungan dengan ketidakmampuan
beradaptif dengan situasi yang dialami.
C. Intervensi Keperawatan
Kowalak, P. J., Welsh, W., & Mayer, B. (2011). Buku Ajar Patofisologi. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif dkk. (2009). Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius FK UI
Moorhead, Sue et.al. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC), Fifth Edition.
Missouri: Elsevier Mosby
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., and Cheever, K.H. (2014). Texbook of
medical surgical nursing. 12th ed. Philadelphia: Lipincott Williams &
Wilkins.
Sudoyo, Aru W. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II Ed. IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
LAPORAN PENDAHULUAN
PARAPARESE INFERIOR
OLEH :
DEWI ANITA
1841312047