Anda di halaman 1dari 20

Askep Tetraparese

A. Anatomi Vertebra
Tulang belakang atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang membentuk
punggung yang mudah digerakkan. terdapat 33 tulang punggung pada manusia, 7
tulang cervical, 12 tulang thorax (thoraks atau dada), 5 tulang lumbal, 5 tulang sacral,
dan 4 tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Sebuah tulang punggung terdiri atas
dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri dari badan tulang atau corpus vertebrae,
dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae.

Medula spinalis mulai dari akhir medulla oblongata di foramen magnum


sampai konus medullaris di level Tulang Belakang L1-L2. Medulla Spinalis berlanjut
menjadi Kauda Equina (di Bokong) yang lebih tahan terhadap cedera.
Medula spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yang mempunyai hubungan
istemewa, yaitu arteri spinalis dan arteri radikularis. Arteri spinalis dibagi menjadi
arteri spinalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri vertebralis, sedangkan
arteri radikularis dibagi menjadi arteri radikularis posterior dan anterior yang dikenal
juga ramus vertebromedularis arteria interkostalis. Medula Spinalis disuplai oleh
arteri spinalis anterior dan arteri spinalis posterior. Nervus spinalis/akar nervus yang
berasal dari medula spinalis melewati suatu lubang di vertebra yang disebut foramen
dan membawa informasi dari medula spinalis sampai ke bagian tubuh dan dari tubuh
ke otak.
Ada 31 pasang nervus spinalis dan dibagi dalam empat kelompok nervus
spinalis, yaitu :
a. nervus servikal : berperan dalam pergerakan dan perabaan pada lengan, leher, dan
anggotatubuh bagian atas
b. nervus thorak : mempersarafi tubuh dan perut
c. nervus lumbal dan nervus sakral : mempersarafi tungkai, kandung kencing, usus
dan genitalia.

Gambar 2. Hubungan nervus spinalis dengan vertebra


B. Fisiologi Sistem Saraf
Susunan neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan lower motor
neuron (LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik
yang
menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik cerebrum sampai inti-inti
motorik di saraf kranial di batang otak sampai cornu anterior medulla spinalis.
Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam susunan
piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari traktus
kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya untuk geraakan-
gerakan otot kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal fungsinya untuk gerakan-
gerakan otot tubuh dan anggota gerak. Sedangkan lower motor neuron (LMN), yang
merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari cornu anterior medulla
spinalis sampai ke efektor dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang.
Dari otak medula spinalis turun ke bawah kira-kira ditengah punggung dan dilindungi
oleh cairan jernih yaitu cairan serebrospinal. Medula spinalis terdiri dari berjuta-juta saraf
yang mentransmisikan informasi elektrik dari dan ke ekstremitas, badan, oragan-organ tubuh
dan kembali ke otak. Otak dan medula spinalis merupakan sistem saraf pusat dan yang
mehubungkan saraf-saraf medula spinalis ke tubuh adalah sistem saraf perifer. Medula
spinalis terdiri atas traktus ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak
seperti rangsang raba, suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang membawa
informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh).
Motorneuron dengan aksonnya merupakan satu-satunya saluran bagi impuls motorik
yang dapat menggerakkan serabut otot. Bilamana terjadi kerusakan pada motorneuron, maka
serabut otot yang tergabung dalam unit motoriknya tidak dapat berkontraksi, kendatipun
impuls motorik masih dapat disampaikan oleh sistem pyramidal dan ekstrapiramidal kepada
tujuannya.
UMN dibagi menjadi 2 sistem, yaitu:
1. Sistem Piramidal
 Mulai dari sel-sel neuron di lapisan V koreks precentralis (area 4 Brodmann)
 Neuron-neuron tersebut tertata di daerah gyrus precentralis yang mengatur gerakan
tubuh tertentu → penataan somatotropik
 Serabut-serabut eferen berupa akson-akson neuron di girus precentralis turun ke
neuronneuron yang menyusun inti saraf otak motorik, terbagi menjadi 2:
a. Di brain stem melalui traktus kortikobulbaris, Fungsi: gerakan otot-otot kepala
serta Leher
b. Di kornu anterior medula spinalis melalui traktus kortikospinalis,
mempersarafisel-selmotorik batang otak secara bilateral, kecuali nervus VII dan
XII , Fungsi: menyalurkan impuls motorik untuk gerakan-gerakan tangkas otot-
otot tubuh dan anggota gerak.
Kelainan traktus piramidalis setinggi :
Hemisfer : Hemiparese tipikal(gangguan ekstremitas sesisi dengan nervus cranialis
dan kontralateral terhadap lesi).
Batang otak : Hemiparesis alternans(gangguan ekstremitas kontralateral terhadap lesi
dan nervus cranialisnya).
Medulla spinalis : Tetra/Paraparese
2. Sistem Ekstrapiramidal
Dimulai dari serebral korteks, basal ganglia, subkortikal nukleus secara tidak
langsung ke spinal cord melalui multisynap conection
Inti-inti yang menyusun ekstrapyramidal:
a. Korteks motorik tambahan (area 4s, 6, 8).
b. Ganglia basalis (Nucleus kaudatus, Putamen, Globus pallidus, substansia nigra),
Korpus subtalamikum (Luysii), Nucleus ventrolateralis Talami.
c. Nucleus ruber & substansia retikularis batang otak.
d. Cerebellum
Berfungsi untuk gerak otot dasar /gerak tonic, pembagian tonus secara harmonis,
mengendalikan aktifitas piramidal.
Gangguan pada ekstrapiramidal : Kekakuan, rigiditas, ataksia, tremor, balismus, khorea,
atetose.
LMN
Merupakan neuron-neuron yang menyalurkan impuls motoric pada bagian perjalanan
terakhir (dari kornuanterior medulla spinalis) ke sel otot skeletal (final common pathway
motoric impuls).
LMN dibagi menjadi:
 α-motoneuron besar, akson tebal, menyalurkan impuls ke serabut otot ekstrafusal
 γ-motoneuron kecil, akson halus, menyalurkan impuls ke serabut otot intrafusal
 Tiap motorneuron menjulurkan 1 akson yang bercabang-cabang dan tiap cabangnya
mensarafi seutas serabut otot. Otot untuk gerakan tangkas terdiri dari banyak unit
motoric yang kecil-kecil, sedangkan otot untuk gerakan sederhana terdiri dari
kesatuan motoric besar berjumlah sedikit.
 Pola impuls motoric dari lintasan pyramidal menyalurkan impuls ke system output
striatal extrapyramidal, fungsinya untuk menggalakkan/menghambat α-γ-
motoneuron. Bila hubungan antara UMN dan LMN diputus, motoneuron masih bisa
menggerakkan otot, akan tetapi gerakannya tidak sesuai dan cenderung reflektorik,
massif. Namun bila motoneuronnya yang rusak, impuls tetap disampaikan, namun
otot yang terhubungan tidak bisa digerakkan sehingga menimbulkan atrofi otot.
C. GANGGUAN MEDULLA SPINALIS
1. Cedera Traumatik
a. Terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis.
b. Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik sebagai lesi
traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau
paralisis.
c. Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation
Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis
traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.
2. Cedera Non Traumatik
a. Terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor
mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada
medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal.
b. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron,
myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik,
penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan
perkembangan
Ada dua tipe lesi, yaitu :
1. Lesi komplit
Menyebabkan kehilangan kontrol fungsi motorik dan sensorik secara total
dari bagian dibawah lesi. Penyembuhan jauh lebih kecil dibandingkan lesi
inkomplit.
2. Lesi Inkomplit
Menyebabkan terjadi kelumpuhan otot ringan (parese) dan atau mungkin
kerusakan sensorik. Sindrom sumsum tulang belakang inkomplit meliputi the
anterior cord syndrome, the Brown- Sequard syndrome, dan the central cord
syndrome. Sindrom lainnya meliputi the conus medullaris syndrome, the cauda
equina syndrome, dan spinal cord concussion.
 Sindroma korda anterior
Terjadi akibat gaya fleksi dan rotasi pada vertebra menyebabkan dislokasi ke
anterior atau akibat fraktur kompresi dari corpus vertebra dengan penonjolan
tulang ke kanalis vertebra.
 Sindroma korda sentralis
Biasanya dijumpai pada orang tua dengan spondilosis servikal. Cedera
hiperekstensi menyebabkan kompresi medula spinalis antara osteofit ireguler
dari corpus vertebra di anterior dengan ligamentum flavum yang menebal di
posterior.
 Sindroma korda posterior
Sindroma ini umumnya dijumpai pada hiperekstensi dengan fraktur pada
elemen posterior dari vertebra.
 Sindroma Brown-sequard
Secara klasik terjadi akibat cedera tusukan tetapi juga sering dijumpai pada
fraktur massa lateral dari vertebra. Tanda dari sindroma ini sesuai dengan
hemiseksi dari medula spinalis.
 Conus medullaris syndrome
Adalah trauma vertebra sakral dengan atau tanpa keterlibatan saraf lumbal.
Sindrom ini ditandai arefleksia pada kandung kemih, pencernaan. Hilangnya
fungsi motorik dan sensorik pada ekstremitas bawah bervariasi.
 Cauda equina syndrome
Melibatkan trauma saraf lumbosakral dan ditandai arefleksia pada pencernaan
dan /atau kandung kemih, dengan hilangnya fungsi motorik dan sensorik
ekstremitas bawah yang bervariasi. Trauma ini biasanya disebabkan oleh
herniasi diskus lumbal sentral.

D. Parese
Parese adalah kelemahan/kelumpuhan parsial yang ringan/tidak lengkap atau
suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya atau gangguan fungsi motorik pada suatu
bagian tubuh akibat lesi pada mekanisme saraf atau otot. Kelemahan adalah hilangnya
sebagian fungsi otot untuk satu atau lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan
gangguan mobilitas bagian yang terkena. Parese pada anggota gerak dibagi mejadi 4
macam, yaitu :
 Monoparese adalah kelemahan pada satu ekstremitas atas atau ekstremitas bawah.
 Paraparese adalah kelemahan pada kedua ekstremitas bawah.
 Hemiparese adalah kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas atas dan
satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
 Tetraparese adalah kelemahan pada keempat ekstremitas.
E. Tetraparese
Tetraparese juga diistilahkan juga sebagai quadriparese, yang keduanya
merupakan parese dari keempat ekstremitas. ”tetra” dari bahasa yunani sedangkan
“quadra” dari bahasa latin. Tetraparese adalah kelumpuhan/kelemahan yang
disebabkan oleh penyakit atau trauma pada manusia yang menyebabkan hilangnya
sebagian fungsi motorik pada keempat anggota gerak, dengan kelumpuhan/kelemahan
lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai.Hal ini diakibatkan
oleh adanya kerusakan otak, kerusakan tulang belakang pada tingkat tertinggi
(khususnya pada vertebra cervikalis), kerusakan sistem saraf perifer, kerusakan
neuromuscular atau penyakit otot. Kerusakan diketahui karena adanya lesi yang
menyebabkan hilangnya fungsi motorik pada keempat anggota gerak, yaitu lengan
dan tungkai. Penyebab khas pada kerusakan ini adalah trauma (seperti tabrakan mobil,
jatuh atau sport injury) atau karena penyakit (seperti mielitis transversal, polio, atau
spina bifida).
Pada tetraparese kadang terjadi kerusakan atau kehilangan kemampuan dalam
mengontrol sistem pencernaan, fungsi seksual, pengosongan saluran kemih dan
rektum, sistem pernafasan atau fungsi otonom. Selanjutnya, dapat terjadi
penurunan/kehilangan fungsi sensorik. adapun manifestasinya seperti kekakuan,
penurunan sensorik, dan nyeri neuropatik. Walaupun pada tetraparese itu terjadi
kelumpuhan pada keempat anggota gerak tapi terkadang tungkai dan lengan masih
dapat digunakan atau jari-jari tangan yang tidak dapat memegang kuat suatu benda
tapi jari-jari tersebut masih bisa digerakkan, atau tidak bisa menggerakkan tangan tapi
lengannya masih bisa digerakkan. Hal ini semua tergantung dari luas tidaknya
kerusakan.
F. Etiologi
Penyebab umum dari tetraparase, yaitu :
- Complete/incomplete transection of cord with fracture
- Prolapsed disc
- Cord contusion-central cord syndrome, anterior cordsyndrome
- Guillain-Barre Syndrome (post infective polyneuropathy)
- Transverse myelitis Acute myelitis
- Anterior spinal artery occlusion
- Spinal cord compression
- Haemorrhage into syringomyelic cavaty
- Poliomyelitis
G. Epidemiologi
Tetraparese salah satunya disebabkan karena adanya cedera pada medula spinalis.
menurut Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord Injury
Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000 kasus baru cedera medula spinalis
setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan
diperkirakan 20 per 100.000 penduduk, dengan angka tetraparese 200.000 per tahunnya.
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera medula spinalis.
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan in komplet berdasarkan
ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Pembagian ini penting untuk
meramalkan prognosis dan penanganan selanjutnya.. Data di Amerika Serikat
menunjukkan urutan frekuensi disabilitas neurologis karena cedera medula spinalis
traumatika sbb : (1) tetraparese inkomplet (29,5%), (2)paraparese komplet (27,3%), (3)
paraparese inkomplet (21,3%), dan (4) tetraparese komplet (18,5%).
H. Klasifikasi Tetraparese
Pembagian tetraparese berdasarkan kerusakan topisnya
1. Tetrapares spastik
Tetraparese spastik terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron
(UMN), sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertoni.
2. Tetraparese flaksid
Tetraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor neuron
(LMN), sehingga menyebabkan penurunan tonus atot atau hipotoni.
I. Patofisiologi Tetraparese
Tetraparese dapat disebabkan karena kerusakan Upper Motor Neuron (UMN)
atau kerusakan Lower Motor Neuron (LMN). Kelumpuhan/kelemahan yang terjadi
pada kerusakan Upper Motor Neuron (UMN) disebabkan karena adanya lesi di
medula spinalis. Kerusakannya bisa dalam bentuk jaringan scar, atau kerusakan
karena tekanan dari vertebra atau diskus intervetebralis. Hal ini berbeda dengan lesi
pada LMN yang berpengaruh pada serabut saraf yang berjalan dari horn anterior
medula spinalis sampai ke otot.
Pada columna vertebralis terdapat nervus spinalis, yaitu nervus servikal,
thorakal, lumbal, dan sakral. Kelumpuhan berpengaruh pada nervus spinalis dari
servikal dan lumbosakral dapat menyebabkan kelemahan/kelumpuhan pada keempat
anggota gerak. Wilayah ini penting, jika terjadi kerusakan pada daerah ini maka akan
berpengaruh pada otot, organ, dan sensorik yang dipersarafinya.
Ada dua tipe lesi, yaitu lesi komplit dan inkomplit. Lesi komplit dapat
menyebabkan kehilangan kontrol otot dan sensorik secara total dari bagian dibawah
lesi, sedangkan lesi inkomplit mungkin hanya terjadi kelumpuhan otot ringan (parese)
dan atau mungkin kerusakan sensorik. Lesi pada UMN dapat menyebabkan parese
spastic sedangkan lesi pada LMN menyebabkan parese flacsid.
 Lesi di Mid- or upper cervical cord
Tiap lesi di medula spinalis yang merusak daerah jaras kortikospinal lateral
menimbulkan kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN) pada otot-otot bagian tubuh
yang terletak di bawah tingkat lesi. Lesi transversal medula spinalis pada tingkat
servikal, misalnya C5 mengakibatkan kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN) pada
otot-otot tubuh yang berada dibawah C5, yaitu sebagian otot-otot kedua lengan yang
berasal yang berasal dari miotom C6 sampai miotomC8, lalu otot-otot thoraks dan
abdomen serta segenap otot kedua tungkai yang mengakibatkan kelumpuhan parsial
dan defisit neurologi yang tidak masif di seluruh tubuh. Lesi yang terletak di medula
spinalis tersebut maka akan menyebabkan kelemahan/kelumpuhan keempat anggota
gerak yang disebut tetraparese spastik.
 Lesi di Low cervical cord
Lesi transversal yang merusak segmen C5 ke bawah itu tidak saja
memutuskan jaras kortikospinal lateral, melainkan ikut memotong segenap lintasan
asendens dan desendens lain. Disamping itu kelompok motoneuron yang berada
didalam segmen C5 kebawah ikut rusak. Ini berarti bahwa pada tingkat lesi
kelumpuhan itu bersifat Lower Motor Neuron (LMN) dan dibawah tingkat lesi
bersifat Upper Motor Neuron (UMN). Dibawah ini kelumpuhan Lower Motor Neuron
(LMN) akan diuraikan menurut komponen-komponen Lower Motor Neuron (LMN)
Motoneuron-motoneuron berkelompok di kornu anterius dan dapat mengalami
gangguan secara selektif atau terlibat dalam satu lesi bersama dengan bangunan
disekitarnya, sehingga di dalam klinik dikenal sindrom lesi di kornu anterius, sindrom
lesi yang selektif merusak motoneuron dan jaras kortikospinal,sindrom lesi yang
merusak motoneuron dan funikulus anterolateralis dan sindrom lesi di substantia
grisea sentralis . Lesi ini biasanya disebabkan karena adanya infeksi, misalnya
poliomielitis. Pada umumnya motoneuron-motoneuron yang rusak didaerah
intumesensia servikal dan lumbalis sehingga kelumpuhan LMN adalah anggota gerak
Kerusakan pada radiks ventralis (dan dorsalis) yang reversibel dan menyeluruh dapat
terjadi. Kerusakan itu merupakan perwujudan reaksi imunopatologik. walaupun
segenap radiks (ventralis/dorsalis) terkena, namun yang berada di intumesensia
servikalis dan lumbosakralis paling berat mengalami kerusakan. Karena daerah ini
yang mengurus anggota gerak atas dan bawah. Pada umumnya bermula dibagian
distal tungkai kemudian bergerak ke bagian proksimalnya. Kelumpuhannya meluas ke
bagian tubuh atas, terutama otot-otot kedua lengan. Kelainan fungsional sistem saraf
tepi dapat disebabkan kelainan pada saraf di sumsum tulang belakang atau kelainan
sepanjang saraf tepi sendiri. Salah satu penyakit dengan lesi utama pada neuron saraf
perifer adalah polineuropati.
Lesi di otot dapat berupa kerusakan struktural pada serabut otot atau selnya
yang disebabkan infeksi, intoksikasi eksogen/endogen, dan degenerasi herediter.
Karena serabut otot rusak, kontraktilitasnya hilang dan otot tidak dapat melakukan
tugasnya. Penyakit di otot bisa berupa miopati dan distrofi, dapat menyebabkan
kelemahan di keempat anggota gerak biasanya bagian proksimal lebih lemah
dibanding distalnya. Pada penderita distrofia musculorum enzim kreatinin fosfokinase
dalam jumlah yang besar, sebelum terdapat manifestasi dinikadar enzim ini di dalam
serum sudah jelas meningkat. akan tetapi mengapa enzim ini dapat beredar didalam
darah tepi masih belum diketahui. Di samping kelainan pada sistem enzim, secara
klinis juga dapat ditentukan kelaian morfologik pda otot. jauh sebelum tenaga otot
berkurang sudah terlihat banyak sel lemak (liposit) menyusup diantara sel-sel serabut
otot. Ketika kelemahan otot menjadi nyata, terdapat pembengkakan dan nekrosis-
nekrosis serabut otot. Seluruh endoplasma serabut otot ternyata menjadi lemak. Otot-
otot yang terkena ada yang membesar dan sebagian mengecil. Pembesaran tersebut
bukan karena bertambahnya jumlah serabut otot melainkan karena degenerasi lemak.
Kelemahan otot (atrofi otot) dapat kita jumpai pada beberapa penyakit.
J. Tetraparese dapat dijumpai pada beberapa keadaan
1. Sindrom Guillain Barre (SGB)
Adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks
spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya
timbul setelah suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu
kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan
dan kadang-kadang juga muka.
Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB akan timbul
autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-saraf perifer.
Infeksiinfeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada medula
spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di negara-
negara tropik penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu
perlekatan pascainfeksi itu dapat menjirat radiks ventralis (sekaligus radiks dorsalis).
Karena tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang
berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis dan
lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi. Oleh
karena itu kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak,
kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut
bergandengan dengan adanya defisitsensorik pada kedua tungkai atau otot-otot
anggota gerak.
Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang dapat atau
tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel infiltrat
terutama terdiri dari sel limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak pula, makrofag,
serta sel polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma
dan sel mast. Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini bisa
terbatas pada segmen proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf
perifer. Predileksi pada radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya permeabilitas
antara darah dan saraf pada daerah tersebut
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower
motor neuron. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua
ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan, anggota gerak atas
dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara
serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau
arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari
bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian
proksimal
2. Mielitis transversa
Dapat menyebabkan satu sampai dua segmen medula spinalis rusak sekaligus,
infeksi dapat langsung terjadi melalui emboli septik, luka terbuka ditulang belakang,
penjalaran osteomielitis atau perluasan proses meningitispiogenik. Istilah mielitis
tidak hanya digunakan jika medula spinalis mengalami peradangan, namun juga jika
lesinya mengalami peradangan dan disebabkan oleh proses patologik yang
mempunyai hubungan dengan infeksi. Adakalanya reaksi imunologik timbul di
medula spinalis setelah beberapa minggu sembuh dari penyakit viral. Pada saat itu
sarang-sarang reaksi imunopatologik yang berukuran kecil tersebar secara difus
sepanjang medula spinalis. Serabut-serabut asenden dan desenden panjang dapat
terputus oleh salah satu lesi yang tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan
kelumpuhan parsial dan defisit sensorik yang tidak masif di seluruh tubuh atau yang
dikenal dengan istilah tetraparese.
3. Poliomielitis
adalah peradangan pada daerah medula spinalis yang mengenai substantia
grisea. Jika lesi mengenai medula spinalis setinggi servikal atas maka dapat
menyebabkan kelemahan pada anggota gerak atas dan bawah.
Pada umumnya kelompok motoneuron di segmen-segmen intumesensia
servikal dan lumbalis merupakan substrat tujuan viral. Tahap kelumpuhan bermula
pada akhir tahap nyeri muskular. Anggota gerak yang dilanda kelumpuhan LMN
adalah ekstremitas.
4. Polineuropati
adalah kelainan fungsi yang berkesinambungan pada beberapa saraf perifer di
seluruh tubuh. Penyebab karena infeksi bisa menyebabkan polineuropati, kadang
karena racun yang dihasilkan oleh beberapabakteri (misalnya pada difteri) atau karena
reaksi autoimun, bahan racun bisa melukai saraf perifer dan menyebabkan
polineuropati atau mononeuropati (lebih jarang), kanker bisa menyebabkan
polineuropati dengan menyusup langsung ke dalam saraf atau menekan saraf atau
melepaskan bahan racun, kekurangn gizi dan kelainan metabolik juga bisa
menyebabkan polineuropati.
Kekurangan vitamin B bisa mengenai saraf perifer di seluruh tubuh, penyakit
yang bisa menyebabkan polineuropati kronik (menahun) adalah diabetes, gagal ginjal
dan kekurangan gizi (malnutrisi) yang berat. Polineuropati kronik cenderung
berkembang secara lambat (sampai beberapa bulan atau tahun) dan biasanya dimulai
di kaki (kadang di tangan).
Kelainan pada saraf perifer dijumpai sebagai berikut : tiga sampai empat hari
pertama pembengkakan dan menjadi irreguler dari selubung myelin. Hari ke lima
terjadi desintegrasi myelin dan pembengkakan aksis silinder. Pada hari ke sembilan
timbul limfosit, hari ke sebelas timbul fagosit dan pada hari ketiga belas proliferasi
Schwan sel. Kesemutan, mati rasa, nyeri terbakar dan ketidakmampuan untuk
merasakan getaran atau posisi lengan, tungkai dan sendi merupakan gejala utama dari
polineuropati kronik. Nyeri seringkali bertambah buruk di malam hari dan bisa timbul
jika menyentuh daerah yang peka atau karena perubahan suhu. Ketidakmampuan
untuk merasakan posisi sendi menyebabkan ketidakstabilan ketika berdiri dan
berjalan. Pada akhirnya akan terjadi kelemahan otot dan atrofi (penyusutan otot).
Kelumpuhan biasanya timbul sesudah tidak ada panas,kelumpuhan otot biasanya
bilateral dan simetris dengan tipe "lower motor neuron”dengan penyebaran
kelumpuhan yang bersifat ascending yaitu mulai dariekstrimitas bawah yang menjalar
ke ekstrimitas atas, tetapi bisa pula descending yaitu mulai dari ekstrimitas atas yang
turun ke ekstrimitas bawah .
5. Miastenia Grafis
Miastenia grafis adalah penyakit neuromuskular yang menyebabkan otot
skelet menjadi lemah dan lekas lelah. Kelelahan/kelemahan ini disebabkan karena
sirkulasi antibodi yang memblok acetylcholine receptors pada post sinaptik
neuromuscular junction, stimulasi penghambatan ini berpengaruh pada.
neurotransmiter asetilkolin. Manifestasi klinisnya dapat berupa kelemahan pada otot
yang mengatur pergerakan mata, kelemahan otot pada lengan dan tungkai, perubahan
ekspresi wajah, disfagia, dan disartria
6. Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
Penyakit Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) adalah suatu kelainan yang
progresif dari sistem saraf yang banyak terjadi pada orang dewasa dengan penyakit
motoneuron. Kondisi tersebut menyebabkan degenerasi saraf motorik bagian atas
(brain dan saraf motorik bagian bawah (spinal cord) dengan kombinasi tanda upper
motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN).
Penurunan kualitas saraf ini, menyebabkan kelemahan pada otot dan dapat
berakhir pada kematian Proses degenerasi hanya menyerang pada neuron motorik,
yaitu sel-sel saraf yang mengatur pergerakkan otot. Akibat kelemahan itu,
kemampuan tubuh untuk mengatur gerakan otot yang disadari akan hilang secara
perlahan-lahan. Misalnya, memegang, menjentik, menggaruk, dan sebagainya.
Namun penyakit ini tidak mempengaruhi saraf sensoris (perasa) dan fungsi mental.
Meskipun penyebab pasti ALS belum diketahui, teori yang dikenal saat ini
menyatakan neurotransmiter glutamat (suatu zat kimia yang menghantarkan impuls
atau sinyal ke sel-sel saraf) kemungkinan memegang peranan sebagai penyebab
matinya sel-sel saraf motorik. Zat-zat kimia lainnya, seperti molekul radikal bebas
dan kalsium kemungkinan juga ikut terlibat. Penyakit ALS mengakibatkan sistem
neuromuscular tidak berfungsi karena kedua saraf motorik penderita ALS telah rusak.
Seiring berjalannya waktu, penyakit ALS menyebabkan saraf–saraf motorik yang
berada di otak dan batang tubuh mengecil, dan pada akhirnya menghilang. Akibatnya,
otot – otot tubuh tidak lagi mendapat sinyal untuk bergerak. Karena otot yang berada
dalam tubuh kehilangan pemasok nutrisinya, sehingga otot–otot yang menjadi lebih
kecil dan melemah. Saraf-saraf di dalam sistem neuromuscular yang memberi nutrisi
ke otot-otot tersebut terlokalisir, sehingga menyebabkan tumbuhnya jaringan yang
rusak mengantikan saraf–saraf yang normal.
K. Skala Kerusakan Berdasarkan American Spinal Injury Association (ASIA)

L. Tatalaksana Cedera Medulla Spinalis


1. Penatalaksanaan Pra-Rumah Sakit
Penatalaksanaan TMS dimulai segera setelah terjadinya trauma. Berbagai
studi memperlihatkan pentingnya penatalaksanaan prarumah sakit dalam menentukan
prognosis pemulihan neurologis pasien TMS.
Evaluasi
Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi primer terdiri atas:
A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure/environmental control
Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level trauma
dapat diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik
dilakukan secara cepat dengan meminta pasien menggenggam tangan pemeriksa dan
melakukan dorsofleksi. Fungsi autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi
urin, priapismus,atau hilang tidaknya tonus sfi ngter ani. Temperatur kulit yang
hangat dan adanya flushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah
level trauma.
2. Penatalaksanaan Gawat Darurat
a. Stabilisasi vertebra
Instabilitas vertebra berisiko merusak saraf. Vertebra servikal dapat
diimobilisasi sementara menggunakan hard cervical collar dan meletakkan bantal
pasir pada kedua sisi kepala. Bila terdapat abnormalitas struktur vertebra, tujuan
penatalaksanaan adalah realignment dan fiksasi segmen bersangkuta.n Indikasi
operasi meliputi fraktur tidak stabil, fraktur yang tidak dapat direduksi dengan
traksi, gross spinal misalignment, kompresi medula spinalis pada trauma
inkomplet, penurunan status neurologis, dan instabilitas menetap pada manajemen
konservatif.
b. Medikamentosa
Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis, perfusi
jaringan dan oksigenasi juga mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres
mekanik. Proses lain yang terjadi di daerah trauma dapat berupa edema,
perdarahan, degenerasi akson, demielinisasi, juga dapat mengubah bioenergetik
seluler. Pada tingkat seluler, terjadi peningkatan kadar asam amino eksitatorik,
glutamat, produksi radikal bebas, opioid endogen serta habisnya cadangan
ATPyang pada akhirnya menyebabkan kematian sel. Bertambahnya pemahaman
fisiologitrauma medula spinalis akan menambah pilihan terapi farmakologi.
Terapi farmakologi, seperti kortikosteroid, 21-amino steroid, antagonis reseptor
opioid, gangliosida, thyrotropinreleasing hormone (TRH), antioksidan, kalsium,
termasuk golongan imunomodulator, sedang diteliti; semuanya memberikan hasil
baik namun sampai saat ini baru kortikosteroid yang secara klinis bermakna.
c. Terapi kerusakan primer
Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok neurogenik yang
berhubungan dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada
awalnya, akan terjadi peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan
kadar katekolamin yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi
lebih ditujukan untuk mencegah hipoperfusi sistemik yang akan memperparah
kerusakan medula spinalis, menggunakan vasopresor; namun, penggunaan
vasopresor ini harus diimbangi dengan pemantauan status cairan karena
penggunaan vasopresor yang berlebihan justru akan membuat vasokonstriksi
perifer yang akan menurunkan aliran darah ke perifer.
d. Terapi kerusakan sekunder
Merupakan sasaran terapi berikutnya karena hal ini akan memperburuk
keluaran (outcome) apabila tidak dilakukan intervensi farmakologis yang tepat
mengingat patofisiologi yang sangat variatif.
e. Kortikosteroid
Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid,
mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis,
menghambat pelepasan endorfin dari hipofisis, dan menghambat respons radang.
Penggunaannya dimulai tahun 1960 sebagai antiinflamasi dan antiedema.
Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding steroid lain karena kadar
antioksidannya, dapat menembus membran sel saraf lebih cepat, lebih efektif
menetralkan faktor komplemen yang beredar, inhibisi peroksidasi lipid, prevensi
iskemia pascatrauma, inhibisi degradasi neurofi lamen, menetralkan penumpukan
ion kalsium, serta inhibisi prostaglandin dan tromboksan. Studi NASCIS I (The
National Acute Spinal Cord Injury Study) menyarankan dosis tinggi sebesar 30
mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi lipid, diberikan sesegera mungkin
setelah trauma karena distribusi metilprednisolon akan terhalang oleh kerusakan
pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme kerusakan sekunder. Penelitian
NASCIS II membandingkan metilprednisolon dosis30 mg/kgBB bolus IV selama
15 menit dilanjutkan dengan 5,4mg/kgBB/jam secarainfus selama 23 jam
berikutnya dengan nalokson (antireseptor opioid) 5,4 mg/kgBB bolus IV,
dilanjutkan dengan 4 mg/kgBB/ jam secara infus selama 23 jam. Hasilnya,
metilprednisolon lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8 jam pascatrauma.
Pada NASCIS III, metilprednisolon dosis yang sama diberikan secara infus
sampai 48 jam ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding pemberian 24
jam. Selain itu, dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni inhibitor peroksidasi
lipid nonglukokortikoid, dan ternyata tidak lebih baik dibanding metilprednisolon.
Terapi ini masih kontroversial; studi terbaru mengatakan belum ada studi kelas 1
dan 2 yang mendasari terapi ini, serta ditemukan efek samping berupa perdarahan
lambung, infeksi, sepsis, meningkatkan lama perawatan di intensive care unit
(ICU), dan kematian.
DAFTAR PUSTAKA

Snell, Richard, Clinical Neuroanatomy for Medical Student, 5thEdition, Saunders Elsevier,
2005.
Ditunno JF, et.al., Spinal Shock Revisited; a four-phase model. Spinal Cord. 2004; 42;383-95
Mardjono M, dkk, Neurologi Klinis Dasar.1988. Jakarta : Dian Rakyat.
Huff, J.S. 2010.Spinal Cord Neoplasma. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/779872-

Anda mungkin juga menyukai