Anda di halaman 1dari 16

REFARAT

DEPRESI PASCA SKIZOFRENIA

“Refarat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik


senior di bagiab SMF Psikiatri RSUD dr.Pirngadi Medan”

DISUSUN OLEH :

Aswiani La Jumani

71220891077

DOKTER PEMBIMBING :

dr. Ritha Mariati Sembiring, M.Ked(KJ) Sp.KJ

SMF PSIKIATRI

RSUD dr. PIRNGADI

MEDAN

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat melengkapi jurnal ini, untuk melengkapi
persyaratan kepaniteraan klinik senior dibagian SMF Psikiatri RSUD dr Pirngadi
Medan dengan judul “Depresi Pasca Skizofrenia”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ritha Mariati Sembiring,


M.Ked(KJ) Sp.KJ khususnya sebagai pembimbing penulis dan semua staff
pengajar di SMF Psikiatri RSUD dr Pirngadi Medan, serta teman-teman di Klinik
Kepaniteraan Senior.

Penulis menyadari bahwa jurnal ini memiliki banyak kekurangan baik dari
kelngkapan teori dan bahasa yang diucapkan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun untuk kesempurnaan
jurnal ini. Penulis berharap jurnal ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 29 November 2022

Penulis

(K.S.Wildan Anugrah)
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Extremitas superior merupakan bagian dari anggota gerak yang cukup
banyak digunakan untuk menjalankan aktifitas sehari-hari seperti menulis,
mengangkat barang dan lain-lain, sehingga sangat rentan terjadi cidera.
Beberapa macam cidera yang dapat terjadi pada extremitas superior antara
lain: cidera pada bahu, cidera pada siku, cidera pada lengan bawah,
pergelangan tangan dan tangan. Cidera ini biasanya disebabkan oleh kesalahan
gerak atau kesalahan posisi, penggunaan yang berlebihan, faktor pekerjaan
dan trauma.
Nyeri bahu adalah gangguan muskuloskeletal ketiga yang paling umum.
Perkiraan dari semua gangguan bahu adalah 10 per 1.000 penduduk, dengan
kejadian puncak 25 per 1.000 penduduk usia 42-46 tahun. Di antara usia 60
tahun atau lebih, 21% ditemukan memiliki sindrom bahu, sebagian besar yang
disebabkan rotator cuff.
Rotator Cuff merupakan kelompok otot stabilitator aktif sendi
glenohumeralis dan sekaligus sebagai penggerak. Dengan demikian fungsi
“rotator cuff” berkaitan dengan fungsi pemeliharaan sikap dan membuat sendi
glenohumeralis dan berkaitan dengan sikap tubuh serta gerak tubuh atas secara
keseluruhan.
Sakit pada “Rotator Cuff” dapat disebabkan oleh trauma besar atau kecil
baik secara langsung ataupun tidak langsung, atau oleh infeksi, metabolismae,
neoplasma atau kongenital.. Dalam makalah ini hanya diulas penyebab trauma
atau gangguan trofik dalam kaitannya dengan sikap tubuh baik lokal maupun
segmental, gerak anggota tubuh, mobilitas lokal dan segmental serta kaitannya
dengan nutrisi.
Dalam klinis ternyata penyakit pada “Rotator Cuff” cukup kompleks.
Gangguan segmental “cervical” bawah dan “thoracal” atas serta hiper aktifitas
sistem simpatis dapat menyebabkan patologi pada “Rotator Cuff”.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fraktur Klavikula

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang


rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial. Untuk
mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan, kita harus
mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat
menyebabkan tulang patah. Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan
tulang menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan
tarikan. Fraktur klavikula adalah cedera yang sering terjadi terutama pada
usia muda dan individu yang aktif. Insidensinya sekitar 2.6% dari semua
fraktur. Fraktur klavikula merupakan salah satu cedera tulang yang paling
sering, yang jarang memerlukan reduksi terbuka.

Mekanisme trauma dari fraktur klavikula terjadi karena penderita jatuh


pada bahu, biasanya tangan dalam keadaan terulur. Bila gelang bahu
mendapat trauma kompresi dari sisi lateral, penopang utama untuk
mempertahankan posisi adalah klavikula dan artikulasinya.

Anamnesis harus bisa menggambarkan semua aspek agar penanganan


pasien dapat optimal. Selain data demografik standar, mekanisme trauma juga
penting untuk diketahui. Fraktur klavikula yang disebabkan oleh trauma
ringan biasanya tidak menyebabkan cedera organ lainnya atau trauma intra
toraks. Namun, pada kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari ketinggian, harus
dicari cedera lainnya. Lengan pasien biasanya didekatkan ke dada untuk
mencegah pergerakan. Biasanya dapat terlihat adanyan penonjolan pada
subkutan dan kadang-kadang ada fragmen tulang yang melukai kulit. Adanya
deformitas pada gelang bahu paling baik diperiksa saat pasien berdiri.

Pemeriksaan radiologis yang diperlukan minimal adalah rontgen dengan


proyeksi anterior dan kemiringan 30 derajat sefalik. Biasanya didapatkan
fraktur pada 1/3 tengah dari tulang, fragmen bagian luar biasanya terletak
lebih rendah dari fragmen bagian dalam. Fraktur pada 1/3 lateral dapat
terlewatkan, atau perkiraan derajat pergeserannya dapat lebih rendah, kecuali
jika rontgen proyeksi bahu juga dikerjakan. Rontgen sendi sternoclavicular
pada fraktur 1/3 medial juga lebih baik dikerjakan. Saat menilai kemajuan
klinis, harus diingat bahwa ‘clinical’ union biasanya mendahului
‘radiological’ union beberapa minggu sebelumnya. CT scan dengan
rekonstruksi tiga dimensi mungkin diperlukan untuk menentukan derajat
pemendekan secara akurat atau untuk mendiagnosis fraktur dislokasi
sternoklavikula dan untuk meyakinkan union dari sebuah fraktur.

Fraktur klavikula biasanya diklasifikasikan berdasarkan posisi dari fraktur


oleh Allman menjadi proximal (Group I), middle (Group II), dan distal
(Group III) third fractures. Pembagian secara general berhubungan dengan
pendekatan klinis yang akan dikerjakan. Karena tingginya tingkat delayed
union and non-union pada fraktur 1/3 distal, Neer membaginya menjadi tiga
subklasifikasi berdasarkan kondisi ligamentum dan derajat pergeseran. Neer
tipe I (ligamentum korakoklavikular masih intak), Neer tipe II (ligamentum
korakoklavikular robek atau lepas dari fragmen medial tetapi ligamentum
trapezoid tetap intak dengan segmen distal), dan Neer tipe III (intraartikular).
Neer tipe II disubklasifikasikan menjadi dua oleh Rockwood menjadi tipe
IIA: konoid dan trapezoid melekat pada fragmen distal dan tipe IIB: konoid
lepas dari fragmen medial.

Terdapat kesepakatan bahwa fraktur klavikula 1/3 tengah non displaced


seharusnya diterapi secara non operatif. Sebagian besar akan berlanjut dengan
union yang baik, dengan kemungkinan non union di bawah 5% dan kembali
ke fungsi normal. Manajemen non operatif meliputi pemakaian simple sling
untuk kenyamanan. Sling dilepas setelah nyeri hilang (setelah 1-3 minggu)
dan pasien disarankan untuk mulai menggerakkan lengannya. Tidak ada bukti
yang menyatakan bahwa penggunaan figure-of-eight bandage memberikan
manfaat dan dapat berisiko terjadinya peningkatan insidens terjadinya luka
akibat penekanan pada bagian fraktur dan mencederai struktur saraf; bahkan
akan meningkatkan risiko terjadinya non union.

Terdapat lebih sedikit kesepakatan mengenai manajemen fraktur 1/3


tengah. Penggunaan simple splintage pada fraktur dengan pemendekan lebih
dari 2 cm dipercaya menyebabkkan risiko terjadinya malunion simptomatik –
terutama nyeri dan tidak adanya tenaga saat pergerakan bahu – dan
peningkatan insidens terjadinya non-union. Sehingga dikembangkan teknik
fiksasi internal pada fraktur klavikula akut yang mengalami pergeseran berat,
fragmentasi, atau pemendekan. Metode yang dikerjakan berupa pemasangan
plat (terdapat plat dengan kontur yang spesifik) dan fiksasi intramedular.

Sebagian besar fraktur 1/3 distal klavikula mengalami pergeseran minimal


dan ekstra-artikular. Ligamentum korakoklavikula yang intak mencegah
pergeseran jauh dan manajemen non operatif biasanya dipilih.
Penatalaksanaannya meliputi pemakaian sling selama 2-3 minggu sampai
nyeri menghilang, dilanjutkan dengan mobilisasi dalam batas nyeri yang
dapat diterima. Fraktur klavikula 1/3 distal displaced berhubungan dengan
robeknya ligamentum korakoklavikula dan merupakan injuri yang tidak stabil

Sebagian besar fraktur yang jarang terjadi ini adalah ekstra-artikular.


Penatalaksanaan yang dilakukan sebagian besar adalah non operatif kecuali
jika pergeseran fraktur mengancam struktur mediastinal. Fiksasi pada fraktur
berhubungan dengan komplikasi yang mungkin terjadi seperti migrasi dari
implan ke mediastinum, terutama pada penggunaan K-wire. Metode
stabilisasi lain yang digunakan yaitu penjahitan dan teknik graft, dan yang
terbaru locking plates.
2.2 Sindrom rotator cuff

Sindrom rotator cuff adalah gangguan yang paling sering didiagnosis pada
orangorang yang bekerja melibatkan pengangkatan lengan atas lebih dari 30 °
berulang atau berkelanjutan, gerakan berulang dapat mengiritasi otot dan
tendon dengan menempatkan tekanan terhadap tulang di bagian atas tulang
belikat. Ketika lengan dinaikkan berulang kali, tepi depan tulang belikat
(akromion) dapat menggesek seluruh rotator cuff (impingement syndrome
atau painful arc syndrome). Jika cedera rotator cuff diagnosis secara dini,
dapat dilaksanakan identifikasi dan pengobatan yang lebih efektif, sehingga
mencegah cedera lebih lanjut atau kerusakan.

Pekerja yang beresiko untuk terkena sindrom rotator cuff adalah pekerja
yang yang dibutuhkan untuk memindahkan beban berat berulang kali di atas
kepala mereka, seperti pelukis, tukang las, pekerja piring, dan pekerja rumah
jagal. Sindrom ini juga telah dilaporkan pada operator mesin jahit. Hal ini
juga dapat terjadi pada atlet yang terlibat dalam olahraga seperti berenang,
tenis, angkat besi, dan bisbol di mana lengan berulang kali mengangkat di
atas kepala. Pada usia yang lebih muda lebih mungkin untuk mengalami
sindrom rotator cuff sebagai akibat dari trauma, ketidakstabilan sendi bahu,
atau ketidakseimbangan otot. Pada orang tua, sindrom ini lebih sering
berhubungan dengan memakai kronis dan degenerasi bahu. Rotator cuff
syndrome paling umum terjadi di lengan yang lebih dominan.

Rotator cuff syndrome dibagi menjadi tiga tahap. Pada tahap I,


pembengkakan (edema) atau terjadi perdarahan. Tahap I sering dikaitkan
dengan cedera penggunaan yang berlebihan. Pada tahap ini, sindrom dapat
membaik atau malah bertambah parah pada tahap II. Ada adalah peradangan
pada tendon (tendinitis) dan pengembangan jaringan parut (fibrosis). Tahap II
dapat diakibatkan oleh karena sering mengangkat lengan sebatas atau
melebihi tinggi akronion. Posisi yang sedemikian ini bila berlangsung terus-
menerus juga akan menyebabkan terjadinya iskemia pada tendon. Tendinitis
pada bahu yang sering terjadi adalah tendinitis supraspinatus dan tendinitis
bisipitalis. Tahap III sering melibatkan robeknya tendon atau robeknya otot
dan sering menandakan fibrosis dan tendinitis yang menahun.

Tahap Sindrom rotator cuff paling sering ditemukan pada pasien berusia di
bawah 25, tahap II terjadi paling sering pada orang antara 25 dan 40. Tahap
III terjadi terutama pada pasien di atas usia 50. Pada pria dapat terjadi rotator
cuff syndrome dua kali lebih sering sebagai perempuan, mungkin karena
aktivitas kerja seperti disebutkan di atas. Sindrom ini terjadi secara
independen dari ras, etnis, atau lokasi geografis.

Untuk menegakan diagnosis diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis riwayat kesehatan yang lengkap,
termasuk kegiatan pekerjaan dan kegiatan rekreasi yang akan diambil. Sebuah
penjelasan yang baik dari nyeri bahu termasuk timbulnya, waktu, lokasi,
radiasi, kualitas faktor sakit, menjengkelkan, adanya gejala terkait, dan
hubungan dengan kegiatan apapun membantu untuk mendiagnosis sindrom
rotator cuff. Pasien sering melaporkan nyeri sakit di bahu atau nyeri disebut
sepanjang lengan atas luar. Rasa sakit memburuk ketika lengan diangkat
diatas kepala dan pada malam hari. Gejala lain mungkin termasuk kelemahan
dan mengurangi rentang gerak. Timbulnya gejala sering bertahap. Pertama
disfungsi /gejala yang muncul adalah nyeri. Ketika lemah, rotator cuff tidak
bisa lagi menangani beban yang perlu diangkat (abduksi) dan meregangkan
lengan. Meraih gelas dalam lemari, menggapai untuk menyalakan lampu,
menggunakan sabuk pengaman, mengemudi dengan lengan yang sakit, dll.

Pemeriksaan fisik bahu dimulai dengan pemeriksaan menyeluruh untuk


setiap cacat, bekas luka, edema, atau penurunan curah otot (atrofi).
Berikutnya, seluruh sendi bahu dan semua kelompok otot yang berada palpasi
untuk mengetahui konsistensi otot. Kedua aktif dan pasif ruang gerak
ditentukan dengan memutar lengan pasien pada semua arah, dan dilakukan
pencatatan pada setiap penurunan rentang gerak dan sakit. Rasa sakit
mungkin lebih intens dengan gerakan-gerakan tertentu atau ketika diberikan
tekanan. Hal ini dapat menghilang dengan gerakan lain. Mungkin ada kisi-
kisi, mengklik atau krepitasi di bahu. Pengujian kekuatan otot dan pengujian
neurologis harus dilakukan. Manuver khusus selama pemeriksaan fisik
(seperti Neer impingement, Hawkins- Kennedy impingement, drop-arm,
apprehension, and relocation tests) dapat membantu. Pemeriksaan
menyeluruh meliputi evaluasi tulang belakang leher bersama dengan kedua
lengan dan bahu.

Pemeriksaan penunjang Anteroposterior view, axillary view, supraspinatus


view adalah komponen penting dari evaluasi untuk menyingkirkan endapan
kalsium pada sendi, dan tulang atau penyakit pada persendian. Jika gejala
tidak membaik setelah 3-6 minggu dilakukan terapi konservatif, modalitas
pencitraan canggih lainnya bisa membantu, terutama dalam mendiagnosis
diduga robekan pada rotator cuff. MRI mendeteksi dengan spektrum yang
luas pada penyakit rotator cuff, termasuk degenerasi dari robekan parsial
hingga komplit, selain itu juga dapat menunjukkan jika ada kelainan pada
jaringan lunak, dan terbukti sangat berguna dalam pelacakan pasca operasi
penyembuhan.

Ultrasonografi terbukti berguna dalam mendiagnosis robekan rotator cuff


dan mengevaluasi penyakit cuff lainnya. Meluasnya penggunaan
arthrography telah menurun dengan munculnya MRI. Tapi itu tetap berguna
pada pasien bagi siapa yang memiliki kontraindikasi untuk MRI (misalnya,
orangorang dengan alat pacu jantung, cerebral aneurysm clip, atau stent
jantung baru-baru ini). Arthrography melibatkan injeksi media kontras ke
dalam sendi glenohumeral diikuti oleh sinarx polos. Kebocoran diamati dari
bahan kontras ke dalam subacromial atau ruang subdeltoid menunjukkan
robekan dengan ketebalan penuh pada rotator cuff.

Tes diagnostik lain untuk rotator cuff syndrome adalah skintigrafi tulang
dan CT scan, sering dengan media kontras (CTarthrography). Elektromiografi
(EMG) dan studi kecepatan konduksi saraf (NCVs) mungkin berguna jika
keterlibatan neurologis dicurigai.

Selama fase akut sindrom rotator cuff, pengobatan konservatif terdiri dari
istirahat dan modifikasi aktivitas, es, dan penggunaan (NSAID) tujuannya
adalah untuk mengurangi peradangan dan rasa sakit dan mengembalikan
fungsi bahu yang normal. Kegiatan menyebabkan rasa sakit harus dilanjutkan
secara bertahap ketika rasa sakit hilang. Kadang-kadang suntikan kortison ke
dalam ruang di atas tendon rotator cuff (injeksi kortikosteroid subacromial)
membantu meringankan pembengkakan dan peradangan. Penerapan es ke
daerah lunak untuk 15 menit 3 sampai 4 kali sehari juga membantu dalam
program peregangan dan latihan penguatan untuk meningkatkan rentang
gerak. Pemulihan fungsi harus ditekankan. Program latihan dirumah adalah
penting untuk membantu mencegah kekambuhan.

Pembedahan dapat dipertimbangkan untuk orang-orang yang tidak


menunjukkan perbaikan setelah 3 bulan terapi agresif atau yang terus
menunjukkan kelemahan. Indikasi untuk operasi bervariasi tetapi harus
mempertimbangkan usia, jenis dan tingkat keparahan robekan (parsial untuk
robekan otot ketebalan penuh), durasi gejala, dan kemauan dan kemampuan
untuk mematuhi terapi pasca operasi. Tujuan utama operasi adalah
meningkatkan kekuatan dan menghilangkan rasa sakit. Sindrom rotator cuff
kronis dengan impingment parah dapat diobati dengan memotong di bahu dan
memperbaiki tulang, tendon atau otot (arthroscopic acromioplasty). Operasi
rotator cuff dilakukan untuk memperbaiki rotator cuff yang robek. Deposit
kalsium dapat menyebabkan impingment dan dapat dilakukan pada saat
Operasi yang sama, danharus diikuti dengan terapi fisik untuk meningkatkan
kekuatan dan rentang gerak diikuti dengan program latihan saat pulang.

2.3 Frozen Shoulder

Frozen shoulder adalah kekakuan sendi glenohumeral yang diakibatkan


oleh elemen jaringan non-kontraktil atau gabungan antara jaringan non
kontraktil dan kontraktil yang mengalami fibroplasia. Baik gerakan pasif
maupun aktif terbatas dan nyeri. Pada gerakan pasif, mobilitas terbatas pada
pola kapsular yaitu rotasi eksternal paling terbatas, diikuti dengan abduksi
dan rotasi internal Frozen shoulder merupakan terjadinya peradangan, nyeri,
perlengketan, atropi dan pemendekan kapsul sendi sehingga terjadi
keterbatasan sendi bahu. Frozen shoulder menyebabkan kapsul yang
mengelilingi sendi bahu menjadi mengkerut dan membentuk jaringan parut.
Keluhan yang sering terjadi pada gerak dan fungsi pada sendi bahu pada
dasarnya adalah nyeri dan kekakuan yang mengakibatkan keterbatasan gerak
pada sendi bahu. Masalah aktivitas yang sering ditemukan pada penderita
frozen shoulder adalah tidak mampu menyisir rambut, kesulitan dalam
berpakaian, kesulitan memakai breastholder (BH) bagi wanita, mengambil
dan memasukkan dompet di saku belakang dan gerakan–gerakan lainnya
yang melibatkan sendi bahu.

Frozen shoulder menyerang 2% dari populasi antara usia 40-60 tahun,


serta perbandingan jumlah kasus wanita dan laki laki lebih banyak menyerang
wanita. Pada penelitian Kingston di Amerika Serikat prevalensi rata-rata
frozen shoulder paling sering terjadi pada usia 40 tahun sampai 60 tahun dan
lebih sering terjadi pada wanita (58,4%) dari pada laki-laki (41,6%). Di
Indonesia Prevelensi dari kasus frozen shoulder 2-5% dari populasi
wellknown dan resiko meningkat pada bahu yang tidak dominan. 40% pasien
mengalami nyeri sedang selama kurang lebih 2-3 tahun dan 15% dari kasus
tersebut memiliki disabilitas jangka panjang.

Frozen shoulder karena trauma baik yang tidak disengaja maupun berupa
tindakan operatif medis dapat menyebabkan frozen shoulder. Proses inflamasi
disertai penyembuhan yang melibatkan pertumbuhan jaringan fibrous
berlebih didaerah bahu mendasari adanya rasa nyeri dan keterbatasan luas
gerak sendi pada pasien post trauma atau post pasca operasi tersebut.
Trauma dapat mengakibatkan terganggunya sistem Muskuluskeletal yang
meliputi otot,tulang,sendi,tendon,ligamen,shoulder serta jaringan ikat yang
mendukung dan mengikat jaringan dan organ bersama-sama. Salah satu
trauma yang diakibatkan dari serangkaian kegiatan tersebut adalah frozen
shoulder. Gejala klinisnya mencakup lingkup gerak sendi, keterbatasan otot
dan rasa nyeri karena tidak digunakan serta penyebabnya gangguan ini
merupakan respon autoimun terhadap rusaknya jaringan lokal.

Fisioterapi sangat berperan penting untuk menangani masalah seperti pada


kasus di atas. Fisioterapi merupakan bentuk pelayanan kesehatan yang
ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan,
memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang
kehidupan dengan menggunakan penangan secara manual, peningkatan gerak
peralatan (fisik, elektroteraupeutis dan mekanis) pelatihan fungsi,
komunikasi. Fisioterapi yaitu pelayanan umum untuk masyarakat luas
individu maupun kelompok guna memelihara dan memulihkan gerak secara
manual ataupun dengan elektroterapi. Dalam hal ini peran fisioterapi sangat
dibutuhkan yaitu untuk mengatasi kasus frozen shoulder dengan modalitas
fisioterapi sendiri berupa terapi latihan, elektroterapi. Salah satu elektroterapi
yang bisa digunakan untuk penanganan frozen shoulder yaitu Infra red dan
terapi latihan seperti codman pendular exercise.

Infra red menjadi salah satu modalitas fisioterapi dari beberapa modalitas
fisioterapi yang bertujuan untuk menurunkan nyeri. Infra red sendiri
mempunyai arti gelombang elektromagnetik yang banyak digunakan untuk
terapi dalam bidang ilmu kesehatan terutama fisioterapi, dengan karakteristik
panjang gelombang 770 nm smpai 106 nm serta mempunyai tujuan untuk
rileksasi dan pemanasan struktur muskuloskeleta/superfisial dengan penetrasi
0,8-1 nm. Pengaplikasian infra red pada kulit dapat menimbulkan panas pada
daerah yang disinari. Oleh karena itu sinar infra red bisa meningkatkan
metabolisme yang berefek aliran oksigen juga nutrisi ke jaringan bisa
meningkat, jadi hal ini mempercepat perbaikan jaringan jika terjadi
kerusakan.

Codman pendular exercise merupakan intervensi yang sering digunakan


oleh fisioterapis pada kasus frozen shoulder. Codman pendular exercise
adalah suatu teknik yang diperkenalkan oleh codman, berupa ayunan lengan
dengan posisi badan membungkuk. Tujuannya adalah untuk mencegah
perlengketan pada sendi bahu dengan melakukan gerakan pasif sedini
mungkin yang dilakukan oleh pasien secara aktif dan diberikan beban. Dan
teknik mobilisasi sendiri yang memanfaatkan pengaruh gravitasi untuk
menghasilkan efek tarikan os humeri dari fossa glenoidalis.

2.4 Bursitis

Peradangan atau bursitis adalah radang pada bursa (kantung kecil) yang
terisi oleh cairan sinovial yang berlebih dan biasanya disertai nyeri dan
bengkak diantara rotator cuff dan tulang bagian bahu yang dikenal dengan
nama acromion. Peradangan ini biasa disebut dengan Subacromialis
Bursitis
BAB III

PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai