FRAKTUR TERTUTUP
Pembimbing:
Dr. M. Yogialamsa, Sp.OT (K)
Disusun Oleh:
Augustinus Yohanes
112019033
LEMBAR PENGESAHAN
Presentasi referat dengan judul:
Fraktur Tertutup
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
RSAU Dr. Esnawan Antariksa periode 7 Februari 2022 – 16 April 2022
Disusun oleh:
Augustinus Yohanes
112019033
Selaku dokter pembimbing Departemen Bedah Orthopaedi RSAU Dr. Esnawan Antariksa
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas nikmat yang diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah Referat dengan judul “Fraktur Tertutup”. Makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik di Stase Ilmu Bedah. Dalam
kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada dr. M.
Yogialamsa, Sp. OT (K) selaku pembimbing atas pengarahannya selama penulis belajar dalam
Kepaniteraan Klinik. Dan kepada para dokter dan staff Ilmu Bedah RSAU Dr. Esnawan
Antariksa, serta rekan-rekan seperjuangan dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah. Penulis
sangat terbuka dalam menerima kritik dan saran karena penyusunan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur adalah suatu diskontinuitas susunan tulang yang disebabkan karena trauma
atau keadaan patologis. Fraktur tidak selalu disebabkan oleh trauma yang berat, kadang-
kadang trauma ringan saja dapat menimbulkan fraktur bila tulangnya sendiri terkena penyakit
tertentu. Juga trauma ringan yang terus menerus dapat menimbulkan fraktur. Kekuatan, sudut,
tenaga, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur
yang terjadi disebut lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang
patah, sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.1
Di Indonesia angka kejadian patah tulang atau insiden fraktur cukup tinggi,
berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI tahun 20131didapatkan sekitar delapan juta
orang mengalami kejadian fraktur dengan jenis fraktur yang berbeda dan penyebab yang
berbeda. Dari hasil survey tim Departemen Kesehatan RI tahun 2011 didapatkan 25%
penderita fraktur yang mengalami kematian, 45% mengalami catat fisik, 15% mengalami
stress psikologis seperti cemas atau bahkan depresi, dan 10% mengalami kesembuhan dengan
baik. Sedangkan menurut World Hearth Oraganization (WHO) tahun 2013 menyebutkan
bahwa kecelakaan lalu lintas mencapai 120.2226 kali atau 72% dalam setahun.2
Bila secara klinis ada atau diduga ada fraktur, maka harus dibuat 2 foto tulang yang
bersangkutan. Sebaiknya dibuat foto antero-posterior (AP) dan lateral. Bila kedua proyeksi ini
tidak dapat dapat dibuat karena keadaan pasien yang tidak mengizinkan, maka dibuat 2
proyeksi yang tegak lurus satu sama lain.1.2
Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri
dan bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas, putusnya kontinuitas tulang, gangguan
muskuloskeletal dan gangguan neurovaskuler. Namun tidak semua tanda dan gejala tersebut
terdapat pada setiap fraktur. Maka dari itu penting bagi seorang klinisi untuk mengetahui
bagaimana gambaran radiologi pada fraktur untuk menentukan suatu diagnosis.1,2
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Anatomi dan Fisiologi Tulang
Tulang adalah jaringan hidup yang strukturnya dapat berubah apabila mendapat
tekanan. Seperti jaringan ikat lain, tulang terdiri atas sel-sel, serabut-serabut, dan matriks.
Tulang bersifat keras oleh karena matriks ekstraselularnya mengalami kalsifikasi, dan
mempunyai derajat elastisitas tertentu akibat adanya serabut-serabut organik. Dapat dibedakan
dua jenis tulang, yakni tulang kompakta dan tulang spongiosa. Perbedaan antara kedua jenis
tulang tadi ditentukan oleh banyaknya bahan padat dan jumlah serta ukuran ruangan yang ada
di dalamnya. Semua tulang memiliki kulit luar dan lapisan substansia spongiosa di sebelah
dalam, kecuali apabila masa substansia spongiosa diubah menjadi cavitas medullaris.3
Fungsi Tulang antara lain adalah menopang tubuh, proteksi sistem kerangka
melindungi sebagian besar organ dalam tubuh yang sangan penting untuk berlangsungnya
kehidupan, seperti otak yang dilindungi oleh tulang cranial, vertebrae yang melindungi sistem
saraf dan tulang costa yang melindungi jantung dan paru-paru, mendasari gerakan sebagian
besar dari otot melekat pada tulang, dan ketika otot berkontraksi, maka otot akan menarik
tulang untuk melakukan pergerakan, homeostasis mineral, memproduksi sel darah dimana
sumsum tulang merah adalah tempat dibentuknya sel darah merah, beberapa limfosit, sel darah
putih granulosit dan trombosit, penyimpanan trigliserid sumsum tulang kuning sebagian besar
terdiri dari sel adiposa yang menyimpan trigliserid.3,4
11
area rasa sakit, efusi, maupun krepitasi. Seringkali akan ditemukan cedera lain yang
terjadi bersaman dengan cedera utama.6
- Pergerakan (Movement). Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi
lebih penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan sendi – sendi di
bagian distal cedera. Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan
secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma.
Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga
uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.6,7
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Polos
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur. Walaupun
demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Untuk foto polos, terdapat prinsip rule of two yaitu6 :
- 2 posisi proyeksi (minimal AP dan lateral)
- 2 sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, dibawah dan diatas sendi yang
mengalami fraktur
- 2 anggota gerak
- 2 trauma, pada trauma hebat sering menyebabkan fraktur pada 2 daerah tulang.
Misal: fraktur kalkaneus dan femur, maka perlu dilakukan foto pada panggul dan
tulang belakang
- 2 kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya tulang skafoid foto pertama
biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan foto berikutnya 10-14 hari
kemudian.
12
2. Penilaian klinis nilai luka, apakah luka tembus tulang atau tidak, adakah trauma
pembuluh darah atau saraf atau trauma alat-alat dalam yang lain.
3. Resusitasi kebanyakan penderita dengan fraktur multiple tiba di rumah sakit dengan
syok, sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada frakturnya sendiri
berupa transfusi darah dan cairan-cairan lainnya serta obat-obat anti nyeri.
13
Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu fraksi skeletal atau reduksi
terbuka dengan fiksasi eksterna tulang. fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi dengan
fiksasi eksterna.6,8
4. Penutupan Kulit
Apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari
terjadinya kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup. hal ini dilakukan apabila penutupan
membuat kulit sangat tegang. dapat dilakukan split thickness skin-graft serta pemasangan
drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan serum pada luka yang dalam. luka
dapat dibiarkan terbuka setelah beberapa hari tapi tidak lebih dari 10 hari. kulit dapat
ditutup kembali disebut delayed primary closure. yang perlu mendapat perhatian adalah
penutupan kulit tidak dipaksakan yang mengakibatkan sehingga kulit menjadi tegang.6,8
5. Pemberian Antibiotik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. antibiotik diberikan
dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan sesuadah tindakan operasi. Co
amoxiclav atau cefuroxime (klindamisin jika alergi penisilin) merupakan antibiotic
pilihan pertama sebagai pencegahan terhadap bakteri gram positif dan gram negative.
Bersamaan saat dilakukan debridement dapat dikombinasikan dengan gentamisin.6
14
6. Pencegahan Tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus. pada
penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian toksoid tapi bagi
yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia)6
Perawatan lanjut dan rehabilitasi fraktur terbuka :
1. Menghilangkan nyeri.
2. Mendapatkan dan mempertahankan posisi yang memadai dari fragmen fraktur
3. Mengusahakan terjadinya union.
4. Mengembalikan fungsi secara optimal dengan mempertahankan fungsi otot dan
sendi, mencegah atrofi otot, adhesi dan kekakuan sendi, mencegah komplikasi seperti
dekubitus, trombosis vena, infeksi saluran kencing serta pembentukan batu ginjal.
5. Mengembalikan fungsi secara maksimal dengan fisioterapi untuk memperkuat otot-
otot serta gerakan sendi baik secara isomeric(latihan aktif static) pada setiap otot
yang berada pada lingkup fraktur serta isotonic yaitu latihan aktif dinamik pada otot-
otot tungkai dan punggung.4,5
15
normal dari fragmen tulang. Semakin besar area permukaan kontak diantara
fragmen maka semakin memungkinkan untuk pentembuhan terjadi. Celah diantara
ujung fragmen adaah penyebab yang umum dari delayed union atau non-union.
Fraktur yang melibatkan permukaan artikular harus direduksi sampai mendekati
sempurna karena iregulitas sekecil apapun akan menyebabkan distribusi beban
yang abnormal diantara permukaan dan mempredisposisikan perubahan degenaratif
di kartilago artikular.6
Terdapat 2 cara untuk melakukan reduksi, yaitu closed dan open. Pada closed
reduction, diperlukan anestesi yang memadai dan relaxasi otot lalu dilakukan three-
fold manoeuvre: (1) bagian distal dari tungkai/ lengan ditarik pada garis tulang; (2)
seiring fragmen terlepas, mereka akan tereposisi kembali (dengan membalikan arah
awal dari gaya jika bisa diberikan); (3) alignment dibenarkna pada setiap bidang.
Hal ini paling efektif saat periosteum dan otot pada satu sisi dari fraktur masih
intak; jaringan lunak yang mengikatnya mencegah over-reduction dan
menstabilkan fraktur setelah direduksi.6
16
dan allignment yang lebih baik bisa didapat; hal ini membantu untuk fraktur batang
femur dan tibia dan bahan fraktur supracondylar humerus pada anak- anak.6
Pada umumnya, closed reduction dipakai untuk minimally displaced
fractures, untuk fraktur pada anak dan fraktur yang stabil setelah reduksi dan dapat
dilakukan dalam bentuk splint atau cast. Fraktur yang tidak stabil juga dapat
direduksi menggunakan metode closed reduction sebelumnya saat akan dilakukan
internal atau external fixasi. Hal ini menghindari manipulasi langsung dari letak
fraktur dengan open reduction, yang merusak suplai darah lokal dan dapat
menyebabkan waktu penyembuhan yang lama; makin banyak ahli bedah yang
beralih ke manoeuvres reduksi yang menghindari pajanan pada letak fraktur,
bahkan saat tujuannya untuk dilakukan internal atau external fixasi.6
Operasi untuk reduksi fraktur dengan pengawasan langsung diindikasikan
jika: (1) saat closed reduction gagal, baik karena kesulitan mengontrol fragmen atau
karena jaringan lunak yang ada diantaranya; (2) saat terdapat fragmen artikular
besar yang membutuhkan posisi akurat atau (3) untuk traksi (avulsi) fraktur dimana
fragmen dibersamakan. Sebagai aturan, bagaimanapun, open reduction hanyalah
tahap pertama dari fixasi internal.6
Hold reduction atau sering digunakan kata imobilisasi bertujuan untuk
mencegah displacement. Beberapa halangan gerak dibutuhkan untuk penyembuhan
jaringan lunak dan untuk memungkinkan gerakan bebas pada bagian yang tidak
terkena. Beberapa metode hold reduction adalah sebagai berikut:6
a) Continuous traction
Traksi dilakukan pada tungkai di bagian distal fraktur, supaya melakukan
suatu tarikan yang terus-menerus pada poros panjang tulang itu. Cara ini sangat
berguna untuk fraktur batang yang bersifat oblik atau spiral yang mudah bergeser
oleh kontraksi otot. Traksi tidak dapat menahan fraktur tetap diam; traksi dapat
menarik tulang panjang secara lurus dan mempertahankan panjangnya tetapi
reduksi yang tepat kadang- kadang sukar dipertahankan. Dan sementara itu pasien
dapat menggerakkan sendi-sendinya dan melatih ototnya. Traksi cukup aman,
asalkan tidak berlebihan dan berhati-hati menyisipkan pen traksi. Masalahnya
adalah kecepatan: bukan karena fraktur menyatu secara perlahan-lahan tetapi
17
karena traksi tungkai bawah akan menahan pasien tetap di rumah sakit. Maka dari
itu, segera setelah fraktur menempel traksi harus digantikan dengan bracing, jika
metode ini dapat dilaksanakan.
Macam-macam traksi :
Traksi dengan gaya berat
Cara ini hanya berlaku pada lengan. Karena pemakaian wrist sling, berat
dari lengam memberikan traksi yang terus menerus ke humerus. Untuk
kenyamanan dan stabilitas, terutama pada fraktur transverse, plaster U-slab dapat
dibalutkan atau, lebih baik lagi, removable plastic sleeve dari axilla sampai sedikit
diatas siku ditahan dengan Velcro.
Traksi kulit
Dapat menahan tarikan yang tak lebih dari 4 atau 5 kg. Strapping Holland
atau Elastoplast ditaruh pada kulit yang sudah dicukur dan ditahan dengan plaster.
Malleolus dilindungi oleh Gamgee tissue, dan tali atau pengerat digunakan untuk
traksi.
Traksi skeletal
Stiff wire atau pin dimasukan – biasanya dibelakang tuberkel tibia untuk
cedera panggul, paha dan lutut, atau melewati calcaneus untuk fraktur tibia – dan
tali diikatkan ke tempat tersebut untuk mengaplikasikan traksi.
Komplikasi traksi :
o Hambatan sirkulasi
o Cedera pada nervus
o Infeksi pada tempat masuknya pin
b. Cast Splintage
Plaster of Paris masih banyak digunakan sebagai splint, terutama untuk fraktur
tungkai bagian distal dan kebanyakan fraktur anak- anak. Dia cukup aman, selama
praktisi memperhatikan bahaya ketatnya casting dan tekanan pada luka dicegah. Walau
begitu, sendi yang terkena plaster tidak dapat bergerak dan mudah kaku. Saat bengkak
dan hematom terselesaikan, lekatan dapat terbentuk dan menyambungkan serat otot
18
dengan serat lainnya dan tulang; pada fraktur artikular, plaster menutupi permukaan
yang ireguler terus menerus (closed reduction jarang sempurna) dan tidak mempunyai
kesempatan untuk bergerak menghambat penyembuhan defek kartilago.6
Kekakuan dapat dikurangi dengan: (1) delayed splintage – dengan menggunakann
traksi sampai gerak didapat lalu baru memberikan plaster; atau (2) memulai dengan cast
konvensional tetapi, setelah beberapa minggu, saat tungkai dapat dihandle tanpa
ketidaknyamanan yang berarti, mengganti cast dengan bracing fungsional yang
memberikan kesempatan untuk pergerakan sendi.6
Komplikasi dari cast splintage sendiri adalah: (1) cast yang kencang – contohnya
saat timbul pembengkakan saat cast sudah terpasang; (2) sakit karena tekanan cast
splintage itu sendiri; (3) abrasi atau laserasi kulit – dalam komplikasi ini plaster harus
dilepas; (4) cast yang longgar – seperti ketika proses bengkak sudah mereda saat
terpasang cast.6
c. Internal Fixation
Pada fixasi internal, fragmen tulang dapat diperbaiki dengan screw, metal plate
yang ditopang screw, long intramedullary rod atau nail (dengan atau tanpa locking
screw), circumferential band atau kombinasi dari semua ini. Jika dipasang dengan benar,
fixasi internal dapat menopang fraktur dengan aman sehingga gerak dapat dimulai sejak
itu; dengan gerak yang dapat dimulai dini, kekaukan dan edema dapat dicegah.
Walaupun begitu, perlu diingat bahwa fraktur belum menyatu namun gerak dapat
dilakukan karena adanya jembatan metal dan dalam hal ini unprotected weighbearing
masih belum aman dilakukan.6
Risiko dari fixasi internal yang paling besar adalah sepsis. Resiko infeksi
bergantung pada: (1) pasien – jaringan yang terkena, luka kotor dan pasien yang tidak fit
tidaklah aman dilakukan fixasi internal; (2) ahli bedah; (3) fasilitas.6
Indikasi dari internal fixasi yang paling utama adalah:6
1. Fraktur yang tidak dapat direduksi selain dengan operasi
2. Fraktur yang tidak stabil dan cenderung dapat redisplace setelah dilakukannya
reduksi (contohnya fraktur pada tengah batang dari lengan atas dan fraktur
displaced pergelangan kaki). Juga termasuk fraktur yang mungkin ditarik oleh
19
gerakan otot (seperti fraktur transverse dari patella atau olecranon).
3. Fraktur yang menyatu secara butuk dan lambat, terutama fraktur dari leher femur
4. Fraktur patologis dimana penyakit tulang menghambat penyembuhan
5. Fraktur multiple dimana fixasi dini (baik dengan fixasi internal ataupun external)
menurunkan resiko komplikasi dan late multisystem organ failure
6. Fraktur pada pasien dengan kesulitan perawatan seperti pasien dengan paraplegia,
cedera yang banyak dan lansia.
d. External fixation
Fraktur dapat ditopang dengan transfixing screw atau tensioned wires yang melewati
tulang keatas dan kebawah dari fraktur dan terpasang ke external frame.6
Indikasi fixasi external:
1. Fraktur yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak yang buruk (termasuk
20
fraktur terbuka) atau yang terkontaminasi, dimana fixasi internal berisiko dan akses
berulang dibutuhkan untuk inspeksi luka, dressing atau bedah plastik.
2. Fraktur disekitar sendi yang butuh internal fixasi namun jaringan lunaknya terlalu
bengkak untuk operasi yang aman, disini, bentangan fixasi external memberikan
stabilitas sampai kondisi jaringan lunak membaik.
3. Pasien dengan cedera multiple, terutama jika ada fraktur femur bilateral, fraktur
pelvis dengan perdarahan hebat, dan dengan tungkai dan cedera yang berhubungan
dengan dada atau kepala.
4. Fraktur yang tidak menyambung, yang bisa dipotong atau dikompresi; terkadang ini
dikombinasikan dengan pemanjangan tulang untuk mengganti segmen yang
dipotong.
5. Fraktur yang terinfeksi, dimana fixasi internal tidak memungkinkan.
21
BAB III
KESIMPULAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktural dari tulang. Fraktur memiliki tanda-tanda dan
manifestasi klinis seperti bengkak, memar, nyeri , dan deformitas. Penanganan inisial pada
pasien dengan curiga fraktur adalah primary survey (A,B,C,D) kemudian, diikuti dengan
secondary survey dan stabilisasi sementara menggunakan bidai. Jika didapatkan adanya fraktur
tertutup dapat langsung dilakukan reduksi, retensi dan rehabilitasi. Dalam penanganan fraktur
perlu diperhatikan prinsip reposisi dan imobilisasi supaya fungsi bagian yang patah dapat
menyambung kembali dan berfungsi dengan baik dan tidak terjadi komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. David I. P. Orthopedic Traumathology – A Residents Guide. 2nd edition. Leipzig: Springer.
2008.
2. Sari NK, Asmara AA. Gambaran prevalensi fraktur humerus di Rumah Sakit Umum Pusat
(RSUP) Sanglah, Bali, Indonesia periode tahun 2015-2016. Intisari Sains. 2020. 11(1) : 194-
7.
3. Vanputte Cinnamon, Regan Jennifer, Russo Andrew. Seeley’s Anatomy and
Physiology. 10th edition. New York: McGraw Hill. 2014.
4. Sherwood, Lauralee. Pertahanan Tubuh. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. 2nd edition.
Jakarta: EGC. 2001.
5. Wineski LE. Snell’s clinical Anatomy by Regions. 9 th edition. Philadelphia: Wolters Kluwer.
2002.
6. Solomon Louis, Warwick David, Nayagam Selvadurai. Apley’s System of
Orthopaedics and Fractures. 9th ed. London: Hodder Arnold. 2010.
7. Salter Robert B. Textbook of the Disorders and Injuries of the Musculosceletal
System. 3rd edition. Pennsylvania: Lippincott William and Wilkins. 1999.
22
8. Zalavras, Charalampos G, Patzakis, Michael J. Open fractures: evaluation and management.
Journal of the American Academy of Orthopaedic Surgeon. 2003. 11(3) : 212-9.
23