Dosen Pembimbing :
Dr. Catur Budi Susilo, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Disusun Oleh :
1.3 Tujuan
1.2.1 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien fraktur
1.2.2 Tujuan Umum
1. Dapat menjelaskan definisi fraktur
2. Dapat mengetahui etiologi dari fraktur
3. Dapat mengetahui patofisiologi dari fraktur
4. Dapat memahami klasifikasi fraktur
5. Dapat mengetahui menifestasi klinis dari fraktur
6. Dapat mengetahui pathway dari fraktur
7. Dapat mengetahui pemeriksaan diagnostik pada fraktur
8. Dapat mengetahui penatalaksanaan medis pada fraktur
9. Dapat mengetahui apasaja komplikasi yang disebebkan oleh fraktur
10. Dapat memahami konsep askep dan menerapkan askep pada studi
kasus pada pasien fraktur.
BAB II
ISI
1. Definisi
Menurut Masjoer A, 2005 Fraktur atau sering disebut patah tulang
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
penyebabnya dapat dikarenakan penyakit pengeroposan tulang diantaranya
penyakit yang sering disebut osteoporosis, biasanya dialami pada usia
dewasa. Dan dapat juga disebabkan karena kecelakaan yang tidak terduga.
kesim
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang
tidak mampu lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya. (Doenges,
2000:625)
Menurut Suddarth (2002:2353) Fraktur adalah diskontiunitas jaringan
tulang yang banyak disebabkan karena kekerasan yang mendadak atau tidak
atau kecelakaan.
Menurut Santoso Herman (2000:144) Fraktur adalah terputusnya
hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh
kekerasan.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2000:43)
Jadi, fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, yang dapat
disebabkan oleh trauma maupun penyakit atau patologis.
2. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak
langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang
di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama
pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges,
2000:627)
Menurut Carpenito (2000:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian
yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya, dan penarikan.
Menurut (Doenges, 2000:627) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda
paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur
2) Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat kejadian kekerasan.
3) Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang
abnormal(kongenital,peradangan, neuplastik dan metabolik).
3. Patofisiologi
Patofisiologi fraktur adalah jika tulang mengalami fraktur, maka
periosteum, pembuluh darah di korteks, marrow dan jaringan disekitarnya
rusak. Terjadi pendarahan dan kerusakan jaringan di ujung tulang.
Terbentuklah hematoma di canal medulla. Pembuluh-pembuluh kapiler dan
jaringan ikat tumbuh ke dalamnya, menyerap hematoma tersebut, dan
menggantikannya. Jaringan ikat berisi sel-sel tulang (osteoblast) yang
berasal dari periosteum. Sel ini menghasilkan endapan garam kalsium dalam
jaringan ikat yang di sebut callus. Callus kemudian secara bertahap dibentuk
menjadi profil tulang melalui pengeluaran kelebihannya oleh osteoclast
yaitu sel yang melarutkan tulang (Smelter & Bare, 2001)
.Pada permulaan akan terjadi pendarahan disekitar patah tulang, yang
disebabkan oleh terputusnya pembuluh darah pada tulang dan periost, fase
ini disebut fase hematoma. Hematoma ini kemudian akan menjadi medium
pertumbuhan sel jaringan fibrosis dengan kapiler didalamnya. Jaringan ini
yang menyebabkan fragmen tulang-tulang saling menempel, fase ini disebut
fase jaringan fibrosis dan jaringan yang menempelkan fragmen patah tulang
tersebut dinamakan kalus fibrosa. Ke dalam hematoma dan jaringan fibrosis
ini kemudian juga tumbuh sel jaringan mesenkin yang bersifat osteogenik.
Sel ini akan berubah menjadi sel kondroblast yang membentuk kondroid
yang merupakan bahan dasar tulang rawan. Kondroid dan osteoid ini mula-
mula tidak mengandung kalsium hingga tidak terlihat foto rontgen. Pada
tahap selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi. Kesemuanya ini
menyebabkan kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang.
4. Proses penyembuhan luka
terdiri dari beberapa fase yaitu :
1. Fase hematum
Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematume disekitar
fraktur
Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat
2. Fase granulasi jaringan
Terjadi 1 – 5 hari setelah injury
Pada tahap phagositosis aktif produk neorosis
Itematome berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi pembuluh
darah baru fogoblast dan osteoblast.
3. Fase formasi callus
Terjadi 6 – 10 harisetelah injuri
Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus
4. Fase ossificasi
Mulai pada 2 – 3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembu
Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan
garam kalsium yang menyatukan tulang yang patah
5. Fase consolidasi dan remadelling
Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus terbentuk
dengan oksifitas osteoblast dan osteuctas (Black, 1993 : 19 ).
5. Klasifikasi
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang
praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme
trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen
tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
f. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1. 1/3 proksimal
2. 1/3 medial
3. 1/3 distal
g. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulangulang.
h. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan
jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
ddan ancaman sindroma kompartement.
6. Manifestasi klinis
Adapun tanda dan gejala dari fraktur menurut Smeltzer & Bare (2001)
antara lain:
a. Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti :
1. Rotasi pemendekan tulang
2. Penekanan tulan
b. Bengkak
Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur
c. Ekimosis dari perdarahan subculaneous
d. Spasme otot, spasme involunters dekat fraktur
e. Tenderness
f. Nyeri mungkin disebabkan oleh spame otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
g. Kehilangan sensani (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/
perdarahan).
h. Pergerakan abnormal
i. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
j. Krepitasi
Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi/luasnya
fraktur/luasnyatrauma, skan tulang, temogram, scan CI:
memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
b. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.
c. Peningkatan jumlal sop adalah respons stress normal setelah trauma.
d. Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
e. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multiple, atau cederah hati.
7. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan dan Terapi Medis
a. Pemberian anti obat antiinflamasi.
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest, Fisioterapi
Adapun prinsip penanganan fraktur menurut Smeltzer & Bare (2001)
meliputi:
a. Reduksi fraktur
Penyambungan kembali tulang penting dilakukan agar posisi dan
rentang gerak normal pulih. Sebagian besar reduksi dapat dilakukan
tanpa intervensi bedah (reduksi tertutup). Pada kebanyakan kasus reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya
(ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi
manual. Dan apabila diperlukan tindakan bedah (reduksi terbuka) dengan
pendekatan bedah fragmen tulang di reduksi. Alat fiksasi interna dalam
bentuk pin, kawat, skrup, plat, paku atau batangan logam dapat
digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya
sampai penyembuhan tulang yang sulit terjadi. Alat ini dapat diletakkan
di sisi tulang atau dipasang melalui fragmen tulang atau langsung
kerongga sum sum tulang. Alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi
yang kuat bagi fragmen tulang.
b. Imobilisasi Fraktur
Setelah fraktur di reduksi, fraktur tulang harus di imobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajarannya yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin, atau fiksator eksterna. Implant logam dapat digunakan
untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.
c. Fisioterapi dan mobilisasi
Fisioterapi dilakukan untuk mempertahankan supaya otot tidak
mengecil dan setelah fraktur mulai sembuh mobilisasi sendi dapat
dimulai sampai ekstremitas betul betul telah kembali normal.
d. Analgetik
Diberikan untuk mengurangi rasa sakit yang timbul akibat trauma.
Nyeri yang timbul dapat menyebabkan pasien gelisah sampai dengan
shock yang biasanya di kenal dengan shock analgetik.
8. Komplikasi
Komplikasi Awal
a) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang
lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
b) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang
terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah
dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan
yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena
tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena
sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran
darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang
ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.
d) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi
bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti
pin dan plat.
e) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang
dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
Komplikasi Dalam Waktu Lama
a) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang
baik.
9. Konsep Asuhan Keperawatan
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau
metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5
tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat,
agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur
adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik
tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
(a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang
menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang
dirasakan atau digambarkan klien. Apakah
seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa
reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar,
dan dimana rasa sakit terjadi.
(d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa
nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan
fungsinya.
(e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan,
apakah bertambah buruk pada malam hari atau
siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk
menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap
klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit
tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan
yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain
itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan
penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama
tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka
di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan
penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi
terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit
yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun
dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan
akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien
seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi
nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar
sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada
lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
(c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada
gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta
bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada
pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan
Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri,
keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain
itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur
(Doengos. Marilynn E, 2002).
(d) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak,
maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji
adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan
klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(e) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga
dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D,
1995).
(f) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu
timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan
terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
(g) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang
terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada
indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain
itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
(h) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien
tidak bisa melakukan hubungan seksual karena
harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak
serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga,
perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D,
1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas
tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan
karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum
(status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum
dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk
dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih
sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang
dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(b) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(c) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(d) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan
baik fungsi maupun bentuk.
(e) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(f) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(g) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(h) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
(i) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi,
simetris, tak oedema.
(j) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak
anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(k) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.
Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(l) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung.
(m) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(n) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
(o) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau
tidaknya tergantung pada riwayat penyakit
klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus
raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara
tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan
ronchi.
(p) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(q) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler,
hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang
cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
(r) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak
ada kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta
bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler
(untuk status neurovaskuler € 5 P yaitu Pain, Palor,
Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada
sistem muskuloskeletal adalah:
a. Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
Cicatriks (jaringan parut baik yang alami
maupun buatan seperti bekas operasi).
Cape au lait spot (birth mark).
Fistulae.
Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
Benjolan, pembengkakan, atau cekungan
dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar
periksa)
b. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu
posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral
(posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah,
baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
Perubahan suhu disekitar trauma (hangat)
dan kelembaban kulit. Capillary refill time €
Normal 3 – 5 “
Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat
fluktuasi atau oedema terutama disekitar
persendian.
Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak
kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau
konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan
atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada
benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c. Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel,
kemudian diteruskan dengan menggerakan
ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan
nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini
perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum
dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan
ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik.
Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat
adalah gerakan aktif dan pasif. (Reksoprodjo,
Soelarto, 1995)
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting
adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray).
Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan
tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari
karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa
permintaan x- ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai
dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(a) Bayangan jaringan lunak.
(b) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi
periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(d) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin
perlu tehnik khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu
struktur saja tapi struktur yang lain tertutup
yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini
ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada
struktur lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang
saraf spinal dan pembuluh darah di ruang
tulang vertebrae yang mengalami kerusakan
akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-
jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning:
menggambarkan potongan secara transversal
dari tulang dimana didapatkan suatu struktur
tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.
(b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang
dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam
membentuk tulang.
(c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat
Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino
Transferase (AST), Aldolase yang meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test
sensitivitas: didapatkan mikroorganisme
penyebab infeksi.
(b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya
pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan
diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi
infeksi.
(c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi
saraf yang diakibatkan fraktur.
(d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang
rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.
(e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini
didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat
fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
2. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien
fraktur adalah sebagai berikut:
3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan
menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi
dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat,
menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Pertahankan imobilasasi bagian Mengurangi nyeri dan
yang sakit dengan tirah baring, mencegah malformasi.
gips, bebat dan atau traksi
b.
2. Tinggikan posisi ekstremitas Meningkatkan aliran balik vena,
yang terkena. mengurangi edema/nyeri.
4. Evaluasi
a. Nyeri berkurang atau hilang
b. Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer
c. Pertukaran gas adekuat
d. Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
e. Infeksi tidak terjadi
f. Meningkatnya pemahaman klien terhadap penyakit yang dialami
CONTOH KASUS
PENGKAJIAN
Tanggal pengkajian : 20 September 2017
Jam pengkajian : 16:50 WIB
Diagnosa medis : Fraktur Femur Dextra
A. Biodata
1. Identitas pasien
Nama : Tn. D
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Pendidikan : SMA
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Patebon, Kendal
Pekerjaan :-
Keterangan :
SESUDAH
KETERANGAN SEBELUM SAKIT
SAKIT
Frekuensi 3 kali sehari 3 kali sehari
Jenis Nasi, lauk, sayur, Nasi, lauk, sayur,
buah, teh manis, dan buah, teh manis,
air putih dan air putih
Porsi 1 porsi habis 1 porsi habis
Pola minum 10 gelas/hari, the, 10 gelas/hari, the,
air putih, susu air putih, susu
Berat badan 60kg 60kg
Keluhan Tidak ada Tidak ada
b. Keadaan sakit saat ini tidak mempengaruhi pola makan dan minum
pasien
c. Pasien menyukai makanan yang agak asin dan pedas, tidak ada
pantangan makanan dan tidak memiliki alergi.
d. Pasien tidak mengkonsumsi vitamin atau obat penambah nafsu
makan, tidak merasakan mual dan muntah maupun anoreksia, dan
tidak ada penurunan berat badan yang berarti.
e. Pola minum pasien seperti biasa, pasien minum ±10 gelas per hari
(air, susu, teh)
f. Pasien tidak terpasang infus
3. Pola Eliminasi
a. Eliminasi Alvi
Pasien BAB sekali dalam sehari biasanya pada saat pagi, konsistensi
lunak berbentuk dengan bau khas dan warna kuning kecoklatan,
pasien agak susah dalam BAB karena kesulitan menekuk kakinya saat
BAB.
b. Eliminasi Urin
Dalam memenuhi kebutuhan BAK nya, pasien akan BAK jika sudah
terasa sangat mendesak dikarenakan pergerakannya yang terbatas dan
susah, namun warna, bau dan jumlahnya normal (warna kuning pucat,
bau khas amoniak, jumlah ±1000-2000 cc/hari). Pasien tidak
mengalami nyeri saat BAK maupun kesulitan posisi saat BAK.
Mandir
Aktivitas Dibantu Keterangan
i
Selama seminggu setelah
rawat inap dari RS, mandi
masih disibin oleh keluarga.
Mandi √ - Saat pengkajian, pasien
sudah dapat mandi sendiri
di kamar mandi dengan alat
bantu krug.
Pasien dapat berpakaian
Berpakaian - √
sendiri
Pasien pergi ke toilet
Pergi ke toilet √ - dengan dibantu alat krug
atau dipapah oleh keluarga
Pasien berjalan
Berpindah/berjalan √ - menggunakan alat bantu
jalan krug
Pasien BAB dan BAK
Mengontrol BAB
√ - mandiri dengan alat bantu
dan BAK
jalan krug
Pasien dapat mandiri dalam
Makan minum - √
makan minum
Tingkat
E
ketergantungan
Keterangan Penilaian :
A : Mandiri untuk 6 fungsi E : Mandiri untuk 2 fungsi
B : Mandiri untuk 5 fungsi F : Mandiri untuk 1 fungsi
C : Mandiri untuk 4 fungsi G : Tergantung untuk 6 fungsi
D : Mandiri untuk 3 fungsi
Saat dikaji, klien mengatakan setelah pulang dari rumah sakit, klien tidak
memiliki masalah berarti saat tidur. Klien tidak mengalami perubahan
pola tidur. Namun saat dirawat di rumah sakit, klien mengatakan sering
terganggu tidurnya karena nyeri post-op yang dirasakan. Saat dikaji, klien
tiap harinya tidur selama 6-7 jam, klien tidak terbiasa tidur siang. Klien
tidak mengalami gangguan tidur dan klien merasa nyaman saat bangun.
2. Tanda-Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 130/100 mmHg
b. Nadi : 90 x/menit (teratur dan kuat)
c. Pernapasan : 18 x/menit (teratur dan kuat)
d. Suhu : 38 ⁰C
3. Pengukuran antropometri : TB : 170 cm BB : 60 kg BB ideal : 70kg
IMT : 20,7
4. Kepala : Bentuk bulat simetris, tidak ada luka
a. Rambut: Hitam, agak ikal, tebal, agak kotor
b. Mata : Mampu melihat jelas pada jarak normal (6m), ukuran pupil
kecil dan keduanya bereaksi terhadap cahaya (kanan dan kiri),
konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak memakai alat
bantu penglihatan dan tidak ada sekret pada mata.
c. Hidung: Bersih, tidak ada sputum deviasi, tidak ada sekret, tidak ada
epistaksis, tidak ada polip, tidak ada nafas cuping hidung, dan tidak
menggunakan oksigen
d. Telinga: Mampu mendengar dengan jelas pada jarak yang normal,
tidak ada nyeri, tidak ada sekret telinga, tidak ada pembengkakan,
tidak menggunakan alat bantu
e. Mulut: Selaput mukosa lembab dan berwarna merah muda, bersih, gigi
utuh, agak kuning, dan bersih, gusi tidak bengkak, tidak ada bau mulut,
bibir lembab dan berwarna merah kehitaman
f. Leher dan Tenggorokan: Posisi trakea simetris, tidak ada benjolan
pada leher, tidak ada alat yang terpasang, tidak ada nyeri waktu
menelan, tidak ada pembesaran tonsil, vena jugularis tidak menonjol,
tidak ada obstruksi jalan nafas
g. Ekspresi wajah: Tidak menunjukkan ekspresi wajah nyeri, tetapi saat
kakinya ditekuk/diregangkan, ekspresi wajah pasien tampak
meringis/mengernyit menahan nyeri.
5. Dada dan Thorak: Bentuk simetris, pergerakan simetris dan sama kanan-
kiri, tidak ada luka, dan tidak menggunakan otot bantu pernapasan
a. Paru-Paru
1) Inspeksi: Bentuk dan pergerakan simetris, tidak ada luka, tidak ada
jejas, nafas teratur
2) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan, taktil fremitus
kanan dan kiri simetris
3) Perkusi: Bunyi sonor
4) Auskultasi: Tidak ada suara nafas tambahan, suara vesikuler
b. Jantung
1) Inspeksi: Bentuk simetris, tidak ada luka, tidak ada memar
2) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan, ictus
cordis teraba di SIC ke-5, midclavicula sinistra
3) Perkusi: Bunyi redup, tidak ada pelebaran dinding jantung
4) Auskultasi: Suara irama jantung teratur, terdengar S1 & S2
normal, tidak ada bunyi jantung tambahan.
c. Abdomen
1) Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada asites
2) Auskultasi : Terdengar bunyi peristaltik usus 10x/menit
3) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan,
tidak teraba massa
4) Perkusi : Terdengar bunyi timpani
6. Genital: Bersih, tidak ada luka, tidak ada tanda infeksi, tidak terpasang
kateter dan tidak ada hemoroid
7. Ekstremitas
a. Inspeksi Kuku : Warna merah muda pucat, bersih, utuh
b. Capillary Refill : Cepat (< 2 detik)
c. Kemampuan berfungsi : (mobilitas dan keamanan) untuk semua
ekstremitas
8. Kulit: Kulit bersih, warna sawo matang, lembab, turgor elastis, tidak ada
edema. Terdapat luka bekas jahitan sepanjang ±20 cm di femur kanan
superior, luka sudah mulai kering, tidak ada tanda infeksi, balutan luka
sudah dibuka.
E. Data Penunjang
1. Hasil Pemeriksaan Penunjang (Hasil rontgen)
Hasil rontgen di daerah femur dextra ap-lat menunjukkan tampak fraktur
kominutif pada 1/3 distal os. Femur dextra dengan aposisi dan aligment
kurang baik, tak tampak lusensi soft tisue, tampak soft tisue swelling
2. Diit yang diperoleh : TKTP, tiga kali sehari satu porsi
ANALISA DATA
A. Pengelompokan Data
1. Data Subyektif
a. Klien mengatakan dirinya dilakukan operasi pemasangan pen pada
area frakturnya
b. Klien mengatakan sulit bergerak karena keadaan kakinya yang fraktur
c. Klien mengatakan tidak bisa beraktivitas normal seperti biasanya
karena fraktur tersebut
d. Klien mengatakan belum bisa menapakkan telapak kaki kanannya
e. Klien mengatakan kesulitan berpindah dari berdiri ke duduk
f. Klien mengatakan takut jatuh karena jalannya yang tidak seimbang
2. Data Obyektif
a. Klien menderita fraktur kominutif pada 1/3 distal os. Femur dextra
b. Klien tampak kesulitan saat bergerak atau berpindah
c. Klien tampak lambat saat bergerak
d. Klien tampak kesulitan membolak-balik posisi
e. Klien tampak tidak nyaman dengan keadaannya
f. Klien tidak seimbang saat berjalan dan tampak kesulitan
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa 1 : Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal dibuktikan dengan klien kesulitan bergerak (00085)
Diagnosa 2 : Resiko jatuh berhubungan dengan penggunaan alat bantu (krug)
(00155)
PERENCANAAN KEPERAWATAN
A. Prioritas Diagnosa
Diagnosa
Prioritas Rasional
Keperawatan
Masalah tersebut yang
paling mengganggu
klien dan menghambat
Hambatan mobilitas penyembuhan klien,
fisik berhubungan jika tidak teratasi maka
dengan gangguan klien akan terganggu
Prioritas Sedang
muskuloskeletal pergerakan dan
ditandai dengan klien aktivitasnya, masalah
kesulitan bergerak tersebut jika tidak
teratasi maka masalah
lain juga tidak bisa
teratasi
Resiko jatuh akan
Resiko jatuh teratasi dengan
berhubungan dengan sendirinya jika masalah
Prioritas Rendah
penggunaan alat bantu dengan prioritas sedang
(krug) (hambatan mobilitas
fisik) teratasi
Tujuan &
Dx. Kep. Intervensi Rasional Paraf
Kriteria Hasil
Hambatan Setelah Kaji kemampuan Sebagai data dasar
mobilitas dilakukan pasien dalam untuk melakukan
fisik tindakan mobilisasi intervensi
keperawatan selanjutnya
selama 3 x 24
jam, Bantu klien untuk Memudahkan
diharapkan menggunakan pasien dalam
hambatan tongkat saat mobilisasi
mobilitas fisik berjalan dan
klien dapat cegah terhadap
teratasi, cedera
dengan kriteria
hasil : Ajarkan pasien Menambah
berhubunga a. Klien tentang teknik pengetahuan pasien
n dengan mampu ambulasi dan pasien dapat
gangguan meningkat kooperatif
muskuloske dalam
letal aktivitas Ajarkan pasien Agar menambah
ditandai fisik bagaimana pengetahuan pasien
dengan b. Klien merubah posisi dan pasien dapat
klien mampu dan berikan kooperatif
kesulitan berjalan bantuan jika
bergerak dengan diperlukan
langkah
yang
efektif
dengan alat
bantu
c. Klien
mampu
bergerak
dengan
mudah
Resiko Setelah Identifikasi Mengetahui
dilakukan perilaku dan seberapa besar
tindakan faktor yang resiko pasien akan
keperawatan mempengaruhi mengalami jatuh
selama 3 x 24 risiko jatuh
jam, Menghindari atau
diharapkan Identifikasi meminimalisir
klien tidak karakteristik faktor lingkungan
beresiko jatuh, lingkungan yang yang dapat
dengan kriteria dapat meningkatkan
hasil : meningkatkan potensi pasien jatuh
a. Perilaku potensi untuk
penecgaha jatuh Menurunkan resiko
n jatuh: jatuh klien
jatuh
tindakan Sarankan
berhubunga
individu perubahan dalam
n dengan
atau gaya berjalan Menambah
penggunaan
pemberi pasien pengetahuan
alat bantu
asuhan anggota keluarga
(krug)
untuk Didik anggota pasien dan anggota
meminimal keluarga tentang keluarga pasien
kan faktor faktor risiko yang dapat kooperatif
resiko yang berkontribusi
dapat terhadap jatuh
memicu dan bagaimana
jatuh di mereka dapat
lingkungan menurunkan
individu resiko tersebut
b. Tidak ada
kejadian
jatuh
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
No.
Dx. Tgl./Jam Tindakan Respon Pasien Paraf
Kep.
S: Pasien mengatakan
otot kaki kanannya
belum kuat untuk
menopang berat
badan, berjalan masih
kesulitan, masih
kesulitan berpindah
27-09-17
Mengkaji kemampuan dari duduk ke berdiri
1 16.00
pasien dalam mobilisasi maupun sebaliknya
WIB
O: Pasien tampak
masih kesulitan dalam
bergerak dan berjalan,
pasien membutuhkan
tenaga lebih untuk
menggerakkan kaki
kanannya
2 27-09-17 Mengidentifikasi S: Pasien mengatakan
16.10 perilaku dan faktor sering hampir jatuh
WIB yang mempengaruhi saat dirinya latihan
risiko jatuh berjalan, dan pasien
menggunakan dinding
sebagai pegangannya
selain dari alat bantu
jalannya
O: Saat latihan, pasien
tampak tidak
seimbang saat berdiri
dan berpotensi untuk
jatuh
S: Pasien mengatakan
sering hampir jatuh
saat dirinya berjalan
menggunakan alat
tersebut menunjukkan
kebingungan
EVALUASI KEPERAWATAN