1. DEFINISI AIRWAY
Jalan Napas (Airway) merupakan suatu kebutuhan pokok makhluk hidup.
Tubuh kita tidak dapat bertahan lama jika tanpa oksigen. Literatur mengatakan bahwa otak
akan mengalami kerusakan permanen bila tidak mendapat pasokan oksigen yang cukup
dalam waktu kurang dari 5 menit. Yang termasuk sebagai komponen jalan napas adalah
hidung dan mulut, faring, epiglotis, trakea, laring, bronkus brochiolus dun alveoli.
1
miruman masuk melalui mulut, sehingga akan diteruskan ke esofagus: Tetapi, pada
keadaan tertentu scperti trauma atau penyakit, refleks ini tidak dapat herjalan
sebagaimana mestinya, sehingga dapat terjadi masuknya benda padat atau cair ke laring
yang dapat mengakibatkan tersedak (chccking).
d. Laring dan Trakea
Laring adalah bagian paling pertama cari saluran pernapasan bagian bawah. Pada
bagian ini terletak pita suara. Setelah melalui laring, udara akan melalui trakea. Pada
bayi, trakea berukuran lebilh kecil, sehingga tindakan mendongakkan kepala secara
berlebihan (hiperekstensi) akan menyebabkan sumbatan pada jalan napas.
e. Bronkus dan Paru
Ujung bawah trakea akan bercabang menjadi dua, yaitu bronkus kanan dan bronkus
kiri. Bronkus kanan lebih besar dan lebih vertial/lurus dibanding bronkus kiri, sehingga
lebih mudah terjadi sumbatan bila ada benda asing yarg masuk jalan napas. Setiap
bronkus akan terbagi-bagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil yang disebut
bronkiolus. Pada ujung terakhir, ada yang disebut alveolus. Pada alveolus inilah terjadi
difusi pertukaran gas oksigen dan karbondioksida yang diangkut oleh darah.
2
Pembebasan jalan napas adalah tindakan untuk menjamin pertukaran udara secara normal
sehingga pasien tidak jatuh dalam kondisi hipoksia dan atau hperkarbia. Prioritas utama
dalam manajemen jalan napas adalah membebaskan jalan napas dan mempertahankarn
agar jalan napas tetap bebas untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal
sehingga menjamin kecukupan oksigen tubuh. Pengelolaan jalan napas dapat dilakukan
dengan 2 cara yaitu dengan alat dan tanpa alat (cara manual). Cara manual dapat dilakukan
di mana saja, dan kapan saja, walaupun hasil lebih baik bila menggunakan alat namun
pertolongan cara manual yang cepat dan tepat dapat meughindarkan resiko kematian atau
kecacatan permanen. Pada kasus trauma, pengelolaan jalan napas tanpa alat dilakukan
dengan tetap memperhatikan kontrol tulang leher. Jika sumbatan jalan napas tidak teratasi,
maka pasien akan mengalami
a. Gelisah karena hipoksia
b. Gerak otot napas tambahan (retraksi sela iga, tracheal tug)
c. Gerak dada dan perut paradoksal
d. Sianosis
e. Kelelahan dan meninggal
Langkah yang harus dikerjakan untuk pengelolaan jalan napas yaitu
1) Bicara kepada pasien. Pasien yang dapat menjawab dengan jelas adalah tanda bahwa
jalan napasnya bebas. Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan jalan napas buatan
dan bantuan pernapasan. Penyebab obstruksi pada pasien tidak sadar umumnya adalah
jatuhnya pangkal lidah ke belakang Jika ada cedera kepala, leher, atau dada dan
diperlukan tindakan intubasi maka pada waktu intubasi trakea, tulang leher (cervical
spine) harus dilindungi dengan imobilisasi segaris (in-line imobilisation).
2) Berikan suplemen oksigen, kalau perlu ventilasi dibantu. Oksigen diberikan dengan
sungkup muka (simple masker) (rebreatking/non rebreathing mask) atau nasal kateter
atau nasal prong walaupun belum sepenuhnya jalan napas dapat dikuasai dan
dipertahankan bebas.
3) Nilai jalan napas. Sebelum melakukan tindakan untuk membebaskan jalan napas lanjut
maka yang harus dilakukan pertama kali yaitu memeriksa jalan napas sekaligus
melakukan pembebasan jalan napas secara manual apabila pasien tidak sadar atau
kesadaran menurun berat (coma). Cara pemeriksacn Look-Lisien-Feel (LLF) dilakukan
secara simultan, menilai jalan napas sekaligus fungsi pernapasan:
3
L-Look (lihat) Lihat gerakan napas arau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga,
warna mukosa/kulit dan kesadaran. Lihat apakah korban mengalami kegelisahan
(agitasi), tidak capat berbicara, penurunan kesadaran, sianosis (kulit biru dan keabu-
abuan) yang menunjukkan hipoksemia. Sianosis dapat dilihat pada kuku, lidah, telinga,
dan kulit sekiar mulut. Lihat apakah terdapat retraksi dan penggunaan otot-otot napas
tambahan.
L-Listen (dengar) Dengar aliran udara pernapasan, dengan adanya suara-suara napas
yang abnormal. Pernapasan yang berbunyi (suara napas tambahan) adalah pernapasan
yang tersumbat. Suara mendengkur, berkumur, dan stridor mungkin berhubungan
dengan sumbatan parsial pada daerah faring sampai laring. Suara parau (hoarseness,
disfonia) menunjukkan sumbatan pada faring
F-Feel (rasakan) Rasakan ada tidaknya udara yang dapat didengarkan dari hidung dan
mulut. Dengan perlakuan seperti ini maka dapat dengan cepat ditentukan apakah ada
atau tidaknya sumbatan pada jalan napas. Rasakan adanya aliran udara pernapasan
dengan menggunakan pipi penolong.
4
5
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)
6
2. MEMBEBASKAN JALAN NAPAS DENGAN ALAT
Cara ini dilakukan bila pengelolaan tanpa alat yaitu secara manual tidak berhasil sempurna
atau pasien memerlakan bantuan untukk mempertaharkan jalan napas dalam jangka waktu
lama bahkan ada indikasi pasien memerlukan definitive airway. Alat yang digunakan
bermacam-macam sesuai dengan jenis sumbatan dan tingkat kesadaran pasien yang
intinya bertujuan mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka.
2.1 BASIC AIRWAY ADJUNCT (Alat hantu dasar untuk membcbaskan jalan napas)
2.1.1 Oropharyngeal Tube (pipa orofaring)
1. Lazim disebut sebagai Goedel atau Mayo. Alat ini digunakan untuk
mempertahankan jalan napas tetap terbuka dan menahan pangkal lidah agar
tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan napas pada pasien tidak
sadar.
2. Indikasi : Alat pembebasan jalan napas ini hanya boleh digunakan pada pasien
koma, tidak sadar dengan GCS < 10 karena bila pasien masih setengah sadar
alat ini dapat menyebabkan munculnya refleks muntah atau merangsang
timbulnya spasme laring (laringospasme). Dengan adanya refleks muntah dan
atau spasme laring tersebut akan menambah masalah dalam pembebasan jalan
napas. Selain untuk tujuan tersebut diatas alat ini juga digunakan untuk
memfasilitasi dalam melakukan suction atau untuk mencegah lidah atau ETT
tergigit, berfungsi sebagai bite block
3. Kontraindikasi: dimana masih ada refleks muntah 8-10 pasien tidak sadar atau
basien dengan kesadaran menurun, GCS Pipa orofaring Pipa nasofaring
4. Teknik Pemasangan Oropharyngeal Tube:
1) Siapkan pipa orofaring yang tepat ukurannya. Bersihkan dan basahi agar licin.
2) Ukuran yang tepat dapat diperoleh dengan cara mencari pipa orofaring yang
panjangnya sama dengan jarak dari sudut bibir sampai ke tragus atau dari
tengah bibir sampai ke angulus mandibula.
3) Buka mulut pasien (chin lift atau gunakan ibu jari dan telunjuk).
4) Arahkan lengkungan merghadap ke langit-langit, menghadap ke palatum.
Masukkan separohnya kemudian pipa orofaring diputar 180° (sehingga
lengkungan mengarah ke arah lidah).
5) Dorong pelan-pelan sampai posisi tepat.
7
6) Yakinkan lidah sudah tertepang pipa orofaring, lihat, dengar, dan raba
napasnya.
2.1.2 Nasopharyngeal Tube (pipa nasofaring).
1. Alat ini berbentuk pipa dari karet atau plastik atau silicon yang lembut dan
tidak berbalon yang berfungsi sebagai jalan aliran udara antara lubang hidung
dan faring. Alat ini dapat digunakan pada pasien tidak sadar maupun sciengah
sadar (kesadaran menurun), GCS >10. Alat ini tidak menimbulkan refleks
murtah maupun batuk tetapi tidak berfungsi menyangga lidah seperti pada
orofaring. Perlu perhatian khusus dalam penggunaan alat ini pada kasus fraktur
basis kranii atau trauma maksilofasial.
2. Indikasi: Pasien tidak sadar atau pasien dengan penurunan kesadaran dan
bernapas spontan (GCS > 10)
3. Kontraindikasi: Fraktur basis kraaii, Fraktur maksilofasial berat
4. Teknik Pemasangan Nasopharyageal Tube
1) Nilai lubang hidung, septum nasi, tentukan pilihan ukuran pipa.
2) Ukuran pipa yang tepat dapat diperoleh dengan cara mencari pipa rasofaring
yang panjangnya sama dengan jarak dari ujung hidung sampai ke tragus dan
diameternya sesuai dengan jari kelingking tangan kanan pasien.
3) Pakai sarang tangan.
4) Beri jelly pada pipa dan kalau ada maka tetesi kedaa lubang hidung dengan
obat tetes hidung atau larutan vasokonstriktor (misal: efedrin atau Otrivin).
5) Hati-hati dengan kelengkungan tube yang merghadap ke arah depan, ujungnya
diarahkan ke arah telinga.
6) Masukkan pipa nasofaring melalui lubang hidung dengan lembut. Ujung tajam
pipa berada di lateral untuk menghindari plexus Kiesselbach yang berada pada
septum nasi. Bila mengalami sedikit hambatan jangan dipaksakan, putar sedikit
pipa tersebut. Dan bila tetap gagal maka pipa dicoba dimasukkan melalui
lubang hidung satunya.
7) Dorong pelan-pelan hngga seluruhnya masuk sampai dasar nasofaring, lalu
pasang plester (kalau perlu).
8) Evaluasi: Look- Listen-Feel dan check napas
9
6) Pipa encotrakheal sesuai ukuran dan stylet
7) Pelumas (Gelly)
8) Forcep magill
9) Laringoscope (handle dan blade sesuai ukuran, selalu periksa baterai &
lampu)
10) Obat-obatan sedatif i.v.
11) Sarung tangan
12) Plester can gunting
13) Bantal kecil tebal 10 cm (bila tersedia)
2. Teknik Intubasi Endotracheal Tube (ETT):
1) Sebelum intubasi berikan oksigen, sebaiknya gunakan bantal dan pastikan
jalan napas terbuka (hati-hati pada cedera leher).
2) Siapkan endotracheal tube, periksa balon (cuff), siapken stylet, beri pelumas
(jelly)
3) Siapkan laringoskop (pasang blade pada handle), lampu harus menyala
terang
4) Pasang laringoskop dengan tangan kiri, masukkan ujung blade ke sisi kanan
mulut pasicn, geser lidah pasien ke kiri
5) Tekan tulang rawan krikoid (untak mencegth aspirnsi = Sellick Maneuver).
6) Lakukan traksi sesuai sumbu panjang laringoskop (hati-hati cedera gigi, gusi,
bibir).
7) Lihat adanya pita suara. Bila perlu isap lender/cairan lebih dulu
8) Masukkan ETT sampai batas masuknya di pita suara
9) Keluarkan stylet dan laringoskop secara hati-hati dan segera konektor tube
dubungkan dengan pipa oksigen, diberikan ventilasi. (Konektor pipa
disambung dengan BVM untuk segera diberi hembusan napas)
10) Kembangkan balon (cuff) ETT, dilakukan oleh asisten yang membantu
11) Pasang pipa orofaring (mayo/guedel tube, atau bite block ) mencegah pipa
tergigit.
12) Periksa posisi ETT apakah masuk dengan benar. Auskaltasi suara
pernapasan atau udara yang ditiupkan. Auskultasi segera, dilakukan paling
10
tidak pada 3 tempat yaitu lapangan auskulatasi lapangan paru bawah kanan-
kiri
13) Amankan posisi (fiksasi) ETT dengan plester.
3. Hal yang perlu diperhatikan
Apabila setelah pipa masuk dan dilakakan tiupan ventilasi (bagging) auskultasi
terdengar suara terlihat dinding dada tidak tampak mengembang, gurgling di
epigastrium berarti intubasi masuk esofagus. Tindakan: ventilasi dihentikan,
ETT dicabut, segera lakukan ventilasi oksigenasi dengan masker paling tidak
selama 3 menit kemudian intubasi ulang. Bila dicoba intubasi 2x lagi tetap
gagal, call for help, sementara vertilasi oksigenasi tetap dipertahankan.
Monitoring saturasi oksigen hila ada alat asien. Siapkan, dipertimbangkan alat
lain misal: crycothyroidotomy. Apabila belum yakin dengan posisi ETT maka
lakukan laringoskopi ulang untuk melihat, memastikan ujung ETT telah
melewati plika vokalis.
2.2.2 LARINGEAL MASK AIRWAY (LMA)
Laryngeal mask airway (L.M.A) merupakan alat untuk pengelolaan jalan napas
yang relatif baru, diciptakan oleh Dr. Archie Brain tahun 1981 di London
Hospital. Teknik pemasangan L.M.A tanpa menggunakan laryngascope. Alat
ini merupakan alat untuk membebaskan jalan napas yang dapat dipakai untuk
banyak maksud dan tujuan yaitu sebagai alat untuk memberikan napas buatan di
Unit Gawat Darurat dan tindakan pembiusan di Kamar Operasi. Pemberian
napas buatan dengan L.M.A ini lebih mudah, efisicn dauipada menggunakan
sungkup muka (jace mask) dan direkomendasikan sebagai alat ntuk CPR, sejak
CPR Guideline 2000. Pemasangan LMA tanpa menggunakan laryngoscope
1. Alat-alat yang diperlukan:
1) L.M.A yang sesuai ukuran (size) dengan penderita
2) Jelly untuk pelican
3) Semprit (spuit) 20-50 cc
4) Alat penghisap (suction pump)
5) Alat untuk memberi napas buatan (BVM)
2. Tehnik pemasangan L.M.A
1) Punggung sungkup laring diberi pelicin dengan jelly dan sungkup dalam
keadaan kempis (deflated).
11
2) Posisi penderita telentang kepala can leher merupakan satu garis, menurut
Brain posisi kepala agak sedikit fleksi.
3) Dagu ditekan
4) Pipa untuk membuka mulut dari L.M.A dipegang sepert memegang pensil,
kemudian sungkup laring dimasukkan ke dalam mulut dengan bagian bawah
singkup menghadap ke caudal
5) Dorong ujung sungkup dengan menempel pada permukaan palatum sampaï
mencapai dinding pharing bagian belakang
6) Kemudian tangan yang mendorong tersebut ditarik keluar, dan pipa
didorong sampai dirasakan adanya tahanan, ini berarti posisi sungkup telah
berada di hypopharing.
7) Tanda berupa garis hitam pada pipa L.M.A harus lurus dengan septum nasi
8) Cuff diisi udara sesuai ukuran (size) dari L.M.A.
9) Pastikan jalan napas dengan mendengarkan suara napas dada saat atau
melihat gerak diberi napas buatan.
10) Pasang blok (bite block) di samping pipa dan fiksasi.
2.2.3 KRIKOTIROTOMI
1. Definisi
Cricethyroidotomy adalah tindakan menembus atau membuka membrana
krikotiroid dengan menggunakan jarum besar berkanula atau menggunakan
pisau Dapat dilakukan 2 jenis krikotirotom Krikotirotomi dengan jarum (Needle
Cricotnyroidotomy) Krikotirotomi dengan pembedahan, dengan pisau (Surgical
Cricothyroidotomy)
2. Tujuan: Mengatasi sementara keadaan hipoksia yang disebabkan karena
tersumbatnya jalan napas bagian atas. Cara ini dipilih pada kasus atau tidak
mungkin dilakukan. Dipilih tindakan krikotirotomi dengan jarum yang paling
tidak 20 menit kemudian harus diikuti krikotirotomi dengan pisau. Untuk
petugas medis yang terlatih dan terampil dapat melakukan kedua teknik
krikotirotomi tersebut.
3. Indikasi: pasien yang mengalami tersumbatnya jalan napas bagian atas sehingga
terjadi hipoksia berat. Teknik ini merupakan sebagai usaha untuk mencapai
jalan napas secara cepat pada keadaan dimana tidak dimungkinkan untuk
dilakukannya intubasi endotrakeal dari atas. Merupakan tindakan life saving
12
yang harus segera dilakukan. Contoh: obstruksi jalan napas atas akibat adanya
edema, benda asing/chocking atau tumor yg mencesak jalan napas bagian atas.
pasien dengan cedera maksilofasial, cedera laring, Pasien-pasien dengan
4. Kontra Indikasi: Tidak ada kontra indikasi mutlak di dalam hal penyelamatan
jalan napas utamanya untuk mencapai tujuan mengatasi hipoksia darurat. Akan
tetapi perlu dipertimbangkan pada kasus-kasus antara lain : Koagulopati dan
Cedera leher dengan pergeseran letak trachea
5. Alat :
1) Jarum infus ukuran besar, no 14
2) Spuit 10 cc
3) Aquades/PZ, normal saline
4) Alkohol swab, desinfektan, sarung tangan
5) Sumber Oksigen dan selang
6) Lampu penerang ada yang membantu
6. Teknik
1) Cari titik tusuknya dengan cara: dari jakun (thyroid cartilage raba ke bawah
inilan marker titik tusuknya. Di bawah titik tusuk ini ada ring yang agak lebih
besar dari ring tulang trachea
2) Isi Spuit dengar Aquades/PZ
3) Desinfeksi daerah tusukan dengan alkohol swab/ desinfektan
4) Tusuk di membrana cricothyroidea dengan arah ke bawah untuk menghindari
melukai pita suara. Menusuk sambil menarik piston dari spuit. Jika sudah
keluar gelembung bearti sudah masuk jalan nafas
5) Selaajutnya cabut jarum sisakan kanul infus yang di dalamnya
6) Sambungkan kanul tersebut dengan selang oksigen 100 % O2 > 10 liter per
menit untuk selanjutnya pasien diberi oksigen dengan sistem jet insuflasi (4:1
atau 3:1 tergantung kondisi pasien)
7) Teknik iní hanya bertahan 10-20 menit saja karena jikn terlalu lama akan
terjadi penumpukan karbondioksida.
8) Untuk itu tindakan ini perlu dilanjutkan dengan teknik Surgical
Cricothyroidotomy
14
Membersihkan benda asing cair dalam jalan napas menggunakan alat pengisap
(suction). Bila terdapat sumbatan terdengar suara tambahan berupa "gargling", maka
Referensi :
Purwadianto, Agus dan Budi Sampurna.2007. Kedaruratan Medik.Tangerang Selatan :
BINARUPA AKSARA Publisher
15